top of page

Hasil pencarian

9589 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Maulwi Saelan, Penjaga Fisik dan Nama Baik Sukarno

    PEKIK merdeka menggema di auditorium Museum Nasional, Jakarta Pusat, 1 Oktober 2014. Maulwi Saelan (88 tahun), mantan wakil komandan pasukan pengawal presiden, Tjakrabirawa, mengumandangkannya sesaat sebelum memberi sambutan acara peluncuran dan diskusi biografinya, Maulwi Saelan: Penjaga Terakhir Soekarno . Sebagai saksi dan pelaku sejarah, Maulwi merasa terpanggil memberi kesaksian dari sebagian kecil sejarah Indonesia, khususnya mengenai Sukarno. Penodaan terhadap nama baik presiden pertama Indonesia itu begitu besar dan terus berlanjut hingga kini akibat sejarah monoversi yang dipaksakan penguasa Orde Baru. “Saya bersedia dan terpanggil untuk menyatakan hitam dan putihnya sejarah, khususnya yang terkait dengan Sukarno,” ujarnya. Kedekatannya dengan Sukarno bermula ketika Maulwi menjadi wakil komandan Tjakrabirawa pada 1962. Semenjak itu, kata Maulwi, “saya berada sangat dekat dengan presiden Sukarno, baik pada situasi penting dan genting, juga pada hal-hal yang kecil, remeh-temeh, hingga berkelakar.” Salah satu informasi terpenting adalah detik-detik di sekitar peristiwa G30S. Kala itu, Maulwi mendampingi dan berada dekat dengan Sukarno. Menurutnya, pernyataan Kolonel KKO Bambang Widjanarko bahwa Sukarno terlibat dan menginstruksikan Letkol Untung untuk menindak para jenderal tidak loyal adalah tidak benar. Pada 4 Agustus 1965 pagi di serambi belakang Istana Merdeka, Sukarno menderita sakit, sehingga tidak mungkin ada pertemuan dengan Untung. Lagipula, Untung hanyalah komandan batalion. “Tidak mungkin dia bisa begitu saja bertemu presiden,” ujarnya. Sejarawan Anhar Gonggong menanggapi perbedaan keterangan dua orang terdekat Sukarno itu. Persoalan yang mesti diingat, menurutnya, adalah tentang rasio dan background ketika keterangan itu diberikan. Ada kondisi-kondisi tertentu yang harus dipahami ketika keduanya memberi keterangan. “Saya khawatir bahwa Widjanarko berada dalam tekanan, sebab kondisinya tidak memungkinkanya untuk tidak mengatakan itu. Bila dia tidak mengatakan itu (keterangan yang diinginkan rezim Orde Baru – red ), boleh jadi dia dipenjara. Faktor itulah yang harus diperhitungkan,” ujar Anhar. Faktor psikis pula yang menjadi sorotan Bonnie Triyana, sejarawan sekaligus penulis biografi Maulwi Saelan. Menurut pemimpin redaksi majalah Historia ini, Bambang Widjanarko, Maulwi Saelan, dan Moh. Sabur (komandan Tjakrabirawa) sama-sama diinterogasi Team Pemeriksa Pusat (Teperpu). Perbedaan faktor psikologi di antara ketiganya dan down mental akibat interogasi dan paksaan menghasilkan keterangan yang berbeda. Widjanarko memberikan keterangan yang sesuai keinginan penguasa, yakni menyatakan Sukarno mengetahui dan merestui penculikan para jenderal. Sedangkan Maulwi memberikan keterangan yang jelas tak dikehendaki penguasa sehingga dia dipenjara. Selepas bebas dari penjara, Maulwi sempat mengajak bertemu Bambang Widjanarko guna mengoreksi cerita keterlibatan Sukarno pada peristiwa G30S. Namun, hingga akhir hayatnya, Bambang tak pernah memenuhi janjinya untuk bertemu Maulwi. Sejarawan Asvi Warman Adam berpendapat, Maulwi menepis anggapan miring bahkan tuduhan keterlibatan Sukarno dalam peristiwa G30S. Selain mengkonfirmasi dan membantah adanya pertemuan pada 4 Agustus 1965, Maulwi juga membantah informasi adanya penyerahan secarik kertas dari Untung kepada Sukarno yang dibawa Sogol, anggota Tjakrabirawa bagian hygiene, di malam 30 September dan dibaca Sukarno di toilet. Bantahan-bantahan itu membuat “Maulwi tak hanya menjaga fisik Bung Karno, tetapi juga menjaga nama baik Sukarno dalam urusan sejarah,” ujar Asvi. Asvi melanjutkan, peran Maulwi sebagai “penjaga” telah berjalan sejak Indonesia berdiri. Dia seorang penjaga revolusi karena ikut dalam perang kemerdekaan di Sulawesi Selatan, Jawa Timur, hingga Yogyakarta. Saat perhelatan Olimpiade Melbourne 1956, dia tampil sebagai penjaga gawang sekaligus kapten timnas Indonesia saat mengadapi Uni Soviet. Peran penjaga itu berlanjut ketika dia menjaga presiden Sukarno saat bertugas di Resimen Tjakrabirawa. Dan terakhir, dia aktif sebagai penjaga pendidikan dengan mendirikan sekolah al-Azhar Syifa Budi.*

  • Ini Bukti Otentik Sukarno Lahir di Surabaya

    MENDADAK masyarakat dihebohkan oleh pidato Presiden Jokowi yang salah menyebut tempat kelahiran Presiden Sukarno. Pidato tersebut disampaikan di Alun-Alun Blitar, Jawa Timur dalam rangka Hari Pancasila, 1 Juni kemarin. "Setiap kali saya berada di Blitar, kota kelahiran Proklamator kita, Bapak Bangsa kita, Bung Karno, hati saya selalu bergetar," kata Jokowi dalam pidatonya. Kontan para pengguna media sosial pun ramai-ramai membahas kekeliruan itu, bahkan sebagian menjadikannya bahan banyolan lewat hastag #HatiSayaBergetar. Jelas pidato Presiden Jokowi keliru. Karena presiden pertama Republik Indonesia itu lahir di Surabaya, bukan di Blitar. Penulis pidatonya, Sukardi Rinakit pun telah memberikan pengakuan serta permohonan maaf atas kekeliruan data sejarah itu. “Kesalahan tersebut sepenuhnya adalah kekeliruan saya dan menjadi tanggung jawab saya,′′ ujar Sukardi lewat siaran pers yang dikirim melalui pesan singkat kepada para wartawan. Secara guyon, beberapa pengguna media sosial melontarkan lagi pertanyaan: “lahirnya normal atau lewat operasi caesar?“ dan sebagian lain mempertanyakan “mana bukti akta kelahirannya?”. Namun Bambang Eryudhawan, seorang arsitek dan juga pemerhati sejarah, punya bukti otentik ihwal kota kelahiran Presiden Sukarno di Surabaya. Kepada redaksi Historia.id dia menunjukkan buku induk Technische Hogeschool (TH, cikal bakal ITB Bandung) yang memuat data Sukarno semasa kuliah di sana. “Ini buku induk mahasiswa TH yang dibuat sejak TH berdiri pada 1920 sampai dengan masa sebelum kedatangan Jepang. Sukarno ada di nomor urut 55. Dia masuk TH Bandung pada 1921, artinya setahun setelah TH didirikan,” kata Bambang yang juga alumnus ITB dan dikenal sebagai arsitek ahli konservasi bangunan kuno itu. Pada data dalam buku induk itu disebutkan jika Sukarno (tertulis di sana "Raden Soekarno") lahir di Surabaya pada 6 Juni 1902, bukan 1901 sebagaimana yang resmi dikenal sebagai tahun kelahirannya. “Tahun itu salah. Itu lumrah karena biasanya dulu anak yang mau masuk sekolah usianya dibuat muda atau bahkan sengaja dituakan oleh orang tuanya. Kemungkinan besar data itu menggunakan data semasa Sukarno sekolah di HBS Surabaya,” kata dia. Tercatat dalam data buku induk itu ayah Sukarno bernama R. Sosrodihardjo, bekerja sebagai guru ( onderwijzer ) di Blitar. Ada sedikit perbedaan dalam penulisan nama ibunya yang dikenal Ida Ayu Nyoman Rai, tertulis dalam buku induk tersebut “Ida Nyomanaka”. Sukarno tercatat sebagai mahasiswa teknik sipil jurusan pengairan ( waterbouwkunde ). Bukan saja data diri Sukarno dan semua mahasiswa TH, seluruh mahasiswa yang pernah sekolah di sana pun dicatat secara lengkap oleh pihak universitas teknik pertama di Indonesia itu. “Buku ini mencatat semua nama mahasiswa baik yang lulus maupun yang tidak lulus dari TH. Bahkan apa pekerjaan mereka setelah lulus pun masuk dalam catatan,” kata Bambang. Nilai Sukarno semasa kuliah di TH pun dicatat dalam buku tersebut. Setelah sempat cuti selama hampir setahun pada 1921, dia melanjutkan kuliahnya pada tahun ajaran 1922/1923. Nilai yang diperoleh pada tahun itu adalah 5,85. Nilai pada 1923/1924 6,75, 1924/1925 6,28 dan nilai pada tahun ajaran 1925/1926 adalah 6,55. Bukti buku induk mahasiswa TH Bandung ini memperkuat keterangan Sukarno sendiri mengenai kota kelahirannya. Dalam otobiografinya Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia , Sukarno berkisah, “Karena merasa tidak disenangi di Bali, Bapak kemudian mengajukan permohonan kepada Departemen Pengajaran untuk pindah ke Jawa. Bapak dipindah ke Surabaya dan di sanalah aku dilahirkan,” demikian kata Sukarno memperjelas kota tempat kelahirannya itu.*

  • Menlu Belanda Sponsori Papua Merdeka, Sukarno: Dia Bajingan!

    PADA 1 Desember 1961, nama Niew Guinea diubah menjadi Papua, diikuti dengan pengibaran bendera Bintang Kejora. Lagu Hai Tanahku Papua mengiringi prosesi upacara itu. Hari itu, elite lokal Papua yang dibentuk pemerintah Belanda mendeklarasikan Negara Papua. Di Perserikatan Bang-Bangsa, Menteri Luar Negeri Belanda, Joseph Luns berkomitmen akan menyokong dekolonisasi Papua sebesar 30 juta dolar Amerika Serikat per tahun hingga rakyat Papua mandiri. Kejadian itu membuat Presiden Sukarno berang. “Dia meledak,” kata Howard Jones, duta besar Amerika Serikat untuk Indonesia, dalam “Foreign Relations of the United States, 1961-1963, Volume XXIII, Southeast Asia . ”Jones melanjutkan laporannya bahwa Sukarno mengumpat: “Luns, Luns, Luns. Dia bajingan! Pemerintah Uni Soviet harus memberitahu dia agar menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia.” Sukarno kemudian mengumandangkan Trikora pada 19 Desember 1961. Joseph Luns adalah tokoh penting di balik lamanya kekuasaan Belanda di Papua. Joseph Marie Antoine Hubert Luns lahir pada 28 Agustus 1911 di Rotterdam. Dia menjabat Menteri Luar Negeri Belanda sejak 1952 dari Partai Katolik yang mengusung kebijakan mempertahankan Papua. Luns pernah mempengaruhi Presiden John F. Kennedy agar berpihak kepada Belanda dalam sengketa Papua. Kepada Kennedy, Luns menyatakan, bahwa setelah Papua, Sukarno berambisi terhadap bagian timur wilayah itu (Papua Nugini) yang dikuasai Australia. Tidak heran jika Joseph Luns adalah representasi orang Belanda yang menjadi musuh publik Indonesia. Setelah campur tangan Amerika Serikat, sengketa Papua selesai pada1963 dengan kemenangan bagi Indonesia. Perlahan, hubungan antara Indonesia dan Belanda dinormalisasi kembali sejak terputus pada 17 Agustus 1960. Sama halnya dengan hubungan Luns dan Sukarno yang mulai mencair. Luns mengunjungi Indonesia pada pertengahan tahun 1964. Sukarno menerimanya di istana. Mereka saling bercengkrama, seakan konflik Indonesia dan Belanda telah luput dari ingatan. Dalam Joseph Luns-Biografie karangan Rene Steenhorst dan Frits Huis yang dikutip Rosihan Anwar dalam Petitte Historie Jilid 1 , menceritakan pertemuan antara Sukarno dan Menteri Luar Negeri Belanda itu. “Saya punya sebuah koleksi seni yang diperoleh lewat bantuan beberapa orang saja. Saya bersedia memperlihatkannya kepada anda. Apakah anda bersedia?” tanya Sukarno. “Apakah saya mau, Tuan Presiden? Itu adalah keinginan hidup saya. Cuma saya tidak berani menanyakannya,” jawab Luns. Sukarno kemudian memperlihatkan lukisan wanita telanjang yang menjadi koleksi seni kegemarannya. “Itu benar-benar payudara yang montok ( weelderige boezems ), bukankah begitu Meneer Luns? Dan yang satu ini benar-benar untuk digigit.” Luns menanggapi, “Ya, tapi jangan dilakukan terlalu sering, he… he… he...” Di hari kunjungannya yang terakhir, Sukarno menceritakan kondisi kesehatannya kepada Luns. Sukarno pada saat itu akan menjalani operasi prostat. Sambil bercanda, Sukarno bertanya kepada Luns, apakah “kemampuannya” nanti akan berkurang. Dengan diplomatis Luns menjawab, “saya tidak belajar ilmu kedokteran, Tuan Presiden.” Setelah mengakhiri kiprah sebagai Menteri Luar Negeri Belanda pada 1971, Luns berkecimpung dalam dunia politik internasional sebagai Sekretaris Jenderal NATO (North Atlantic Treaty Orgnization). Joseph Luns meninggal di Belgia pada 17 Juli 2002.*

  • Orang Afrika: Mengapa Sukarno Disingkirkan?

    BEN MBOI (1935-2015), salah satu dari ratusan anggota DPRGR/MPRS yang memberhentikan Sukarno sebagai presiden dan melantik Soeharto sebagai presiden pada 27 Maret 1968. Namun, kemudian dia merasa menyesal setelah sebuah pengalaman menyentaknya ketika bertemu dengan orang-orang Afrika. Ben menceritakan pengalamannya itu dalam Memoar Seorang Dokter, Prajurit, Pamong Praja. Pada 1971, dia mengambil gelar Master in Public Health di Belgia. Di sana, dia bertemu dokter-dokter dari Afrika dan Timur Tengah, antara lain Tanzania, Uganda, Kongo, Kamerun, Nigeria, Mesir, Irak, Iran, dan Kuwait. Mereka bertanya, “Anda dari mana?” Ben menjawab dari Indonesia. “Oh Indonesia Sukarno?” “Tidak,” kata Ben. “Indonesia Soeharto!” “Di mana Sukarno?” “Sukarno sudah disingkirkan dan sudah meninggal.” “Kenapa dia disingkirkan?” Ben menjawab seperti mode pada saat itu, “Sukarno bersimpati terhadap komunisme.” “Apa? Karena bersimpati pada komunis kamu singkirkan dia? Dia yang membawa kamu jadi merdeka, kamu singkirkan hanya karena dia bersimpati pada komunis? Astaga, kamu lebih pentingkan komunisme daripada kemerdekaan? Kamu tidak tahu terimakasih!” “Supaya Anda tahu, kami orang Afrika merdeka oleh getaran yang digerakkan oleh Sukarno, yang membangkitkan harga diri Afrika dan orang Afrika. Aneh, dia yang bawa kamu ke pintu gerbang kemerdekaan malah kamu singkirkan!” “Saya tidak dapat menjawab. Betapa pentingnya makna kemerdekaan itu. Betapa pentingnya seorang Bapak Bangsa itu, yang membawa kita ke pintu gerbang kemerdekaan,” kata Ben Mboi yang kemudian menjadi gubernur Nusa Tenggara Timur. Salah satu getaran yang digerakkan Sukarno adalah Konferensi Asia Afrika pada 1955. Bangsa-bangsa Asia dan Afrika, terutama yang belum merdeka, memenuhi undangan Sukarno untuk menghadiri Konferensi Bandung itu, untuk menuntut kemerdekaannya. Pada akhir 2005, Presiden Afrika Selatan, Thabo Mbeki memberikan penghargaan bintang kelas satu The Order of the Supreme Companions of OR Tambo kepada Sukarno. Penghargaan itu diterima oleh Megawati Sukarnoputri di kantor kepresidenan Union Buildings, Pretoria. Penghargaan diberikan kepada Sukarno karena dianggap memajukan dan mengembangkan solidaritas internasional untuk melawan penjajahan dan penindasan. Sukarno disebut sebagai pemimpin kharismatis yang menumbuhkan semangat nasionalis. Ironisnya, di dalam negeri masih ada yang menuduh Sukarno terkait peristiwa kudeta Gerakan 30 September 1965 (G30S). “Kok dibilang beliau mau membantu parpol yang mau meng-kup. Yang mau di-kup kan dia,” kata Megawati, dikutip dalam Kisah Istimewa Bung Karno . Ben mengakui bahwa memang masih ada kelompok yang menuduh Sukarno mengetahui, terlibat, bahkan dalang peristiwa G30S. “Malahan kita ketahui Bung Karno tidak suka pakai istilah G30S. Dia memilih memakai istilah Gerakan 1 Oktober atau Gestok,” kata Ben yang tidak yakin Sukarno bagian dari gerakan itu. Mengapa Sukarno memilih istilah Gestok? Menurut sejarawan Onghokham, G30S yang diberi akronim Gestapu (Gerakan September 30) adalah istilah Orde Baru, sedangkan Sukarno sendiri lebih senang menyebutnya Gerakan Satu Oktober (Gestok). Apabila dilihat dari sudut ketepatan sejarah memang istilah Gestok lebih tepat, sedangkan istilah Gestapu bernada politis dan hina bagi gerakan tersebut –Gestapu dihomonimkan dengan Gestapo, polisi rahasia atau alat teror fasisme Hitler. “Akan tetapi mau dikata apa, toh golongan yang memakai istilah Gestapu ini pemenangnya,” tulis Onghokham dalam Sukarno: Orang Kiri, Revolusi & G30S 1965 . Akhirnya, Ben Mboi pun menyadari bahwa “oleh bangsa-bangsa Afrika Sukarno disamakan dengan Musa yang membawa orang Israel keluar dari perbudakan Mesir. Dan kita, orang Indonesia, mencampakan dia dari ingatan sejarah. Mohon maaf, Bung Karno!"*

  • Sukarno Melepaskan Burungnya

    SUKARNO lahir pada 6 Juni 1901 di Surabaya, di bawah bintang Gemini. Lambang anak kembar ini, bagi Sukarno, mencerminkan dua sisi karakternya: lembut dan keras. “Aku seorang yang suka memaafkan, akan tetapi aku pun seorang yang keras kepala,” kata Sukarno dalam otobiografi Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams. “Aku menjebloskan musuh-musuh negara ke balik jeruji penjara, namun aku tidak tega membiarkan burung terkurung di dalam sangkar.” Hal itu karena Raden Sukemi Sosrodiharjo, mengajari anaknya, Sukarno, untuk menyayangi binatang. Dia pernah memarahi, bahkan memukul pantat Sukarno kecil pakai rotan, karena menjatuhkan sarang burung. “Kukira aku sudah mengajarimu agar menyayangi binatang,” bentak Raden Sukemi. “Masih ingatkah kau arti kata-kata: Tat Twan Asi, Tat Twan Asi ?” Raden Sukemi menjawab sendiri. “Artinya: ‘Dia adalah aku dan aku adalah dia; engkah adalah aku dan aku adalah engkau’ . Dan apakah tidak kuajarkan kepadamu bahwa ini memiliki arti khusus?” Tat Twan Asi adalah ajaran Hindu tentang kesusilaan tanpa batas. “Ya, Pak. Maksudnya, Tuhan berada di diri kita semua,” jawab Sukarno. Raden Sukemi bertanya lagi, “Bukankah engkau sudah diperintahkan untuk melindungi makhluk Tuhan? Dan coba katakan padaku apa sebenarnya burung dan telur itu?” “Mereka adalah ciptaan Tuhan,” jawab Sukarno. Menurut Guntur Sukarnoputra, ayahnya adalah orang yang halus perasaannya. Cinta dan sayangnya pada binatang-binatang bisa dijadikan bukti. “Sewaktu di kompleks Istana ada seekor burung yang dikurung, Bung Karno marah besar kepada pengawal. Kemudian burung itu dilepaskan. Kepada seekor nyamuk pun Bung Karno tidak pernah tega membunuhnya. Nyamuk-nyamuk itu cukup dihalaunya saja keluar dari kelambunya,” kata Guntur dalam Wartawan Bertanya, Guntur Sukarno Menjawab . Sewaktu menjalani pembuangan di Bengkulu, Sukarno membeli 50 ekor burung gelatik dengan harga sangat murah, dan sepasang burung barau-barau atau cucakrawa. Dia beli sangkar yang besar. Dengan memelihara burung, kata Sukarno, “aku mencoba mengalihkan pikiran dari persoalan pribadi.” Namun, malah membuatnya tidak tenang. “Aku harus melepaskan hewan-hewan ini. Aku tidak tega melihat sesuatu dikurung dalam sangkar,” kata Sukarno. Tak hanya melepaskan burung dari sangkar, Sukarno juga melepaskan monyet dan kanguru. “Pernah di Sumatra aku diberi seekor monyet. Hewan itu diikat dengan rantai. Aku tidak tahan melihatnya. Aku lepaskan monyet itu kedalam hutan. Ketika Irian Barat dikembalikan kedalam kekuasaan kami, aku mendapat hadiah seekor kanguru. Hewan itu dikerangkeng. Kuminta agar dia dibawa ke tempat asalnya dan dilepaskan,” katanya.   Selain melepaskannya, Sukarno juga menunjukkan kesayangannya terhadap binatang dengan cara memeliharanya. Dia pernah memelihara anjing, kucing, dan rusa di Istana Bogor, yang semula hanya sembilan rusa jantan dan 48 betina. “Aku menyayangi mereka, memberi mereka pisang dari tanganku dan mereka berbiak,” kata Sukarno. “Adakah presiden lain yang memiliki 700 ekor rusa yang lepas berkeliaran di halaman rumputnya? Hewan-hewan ini sekarang menjadi bagian dari keluarga kami.” Ternyata, kata Guntur, ajaran bapaknya di kala Sukarno kecil untuk menghafal dan menghayati Tat Twam Asi sampai beliau mempunyai anak, belum juga luntur. Dan ajaran ini pun diajarkannya kepada Guntur dan adik-adiknya. “Kalau aku sampai ketahuan menembak binatang, uh , jangan tanya Bapak akan marah setinggi langit,” kata Guntur.*

  • Anjing dalam Sejarah Indonesia

    ANJING kerap dianggap sebagai binatang piaraan yang patuh, setia, dan disayangi. Kebiasaan memelihara anjing sudah berlangsung lama, termasuk di Nusantara. Di Aceh, Meurah Silu, pendiri kerajaan Samudera Pasai, memiliki anjing kesayangan bernama Pasai. “Pasai” kemudian dipakai melengkapi nama kerajaan, yang semula hanya Samudera menjadi Samudera Pasai. Menurut Ali Hasymy dalam Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia , asal nama Pasai, baik dalam  Hikayat Melayu maupun Hikayat Raja-raja Pasai , menyebutkan “setelah sudah jadi negeri itu maka anjing perburuan yang bernama si Pasai itu pun matilah pada tempat itu.” Kebiasaan memelihara anjing juga dicatat Ma Huan, seorang Tionghoa muslim yang mengiringi Laksamana Cheng Ho berkunjung ke Kerajaan Majapahit pada 1416. Dia mencatat rakyat biasa di Majapahit tinggal bersama anjing mereka. Islam yang menyatakan jilatan anjing sebagai najis barangkali menyebabkan kaum Muslim enggan memeliharanya. Kendati demikian, K.H. Mas Mansyur, ketua Muhammadiyah (1937-1941), memelihara anjing betina jenis Keeshond, hadiah dari pemilik restoran Molenkamp, langganan Sukarno di Pasar Baru Jakarta. Sukarno juga pernah memelihara anjing. Mungkin karena anggapan najis dan sikapnya yang patuh pada tuannya itulah yang membuat anjing dipakai sebagai kata umpatan atau merendahkan. Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC), misalnya, pernah menyamakan raja Mataram, Sultan Agung, dengan “seekor anjing yang telah mengotori masjid Jepara.” Begitu pula terhadap kaum pribumi, orang Belanda menyamakannya dengan anjing. Di tempat-tempat keramaian yang hanya untuk kalangan Belanda, Eropa, dan Jepang, biasa tertulis: Verboden voor Inlanders en Honden (dilarang masuk untuk pribumi dan anjing). Kata umpatan atau merendahkan itu kemudian dipakai siapa saja. Kaum pergerakan mendamprat orang-orang yang bekerjasama dengan Belanda sebagai “anjing Belanda”. Sutan Sjahrir pernah menyebut orang yang bekerja sama dengan Jepang, terutama Sukarno, sebagai “anjing-anjing Jepang”. Para politisi dan rakyat Belanda pun mencap Sukarno sebagai “anjing piaraan Jepang”. “Cap tersebut merupakan momok yang terus mengganggu Sukarno dan Hatta pada masa sesudah Perang Dunia II,” tulis Frances Gouda dan Thijs Brocades Zaalberg dalam Indonesia Merdeka Karena Amerika? Sjahrir juga kena batunya ketika menjabat perdana menteri. Karena memilih berunding dengan Belanda, dia dan para pengikutnya diejek sebagai “anjing-anjing Belanda”. Pada masa revolusi, para pejuang mengumpat orang pribumi yang membantu Belanda sebagai “anjing NICA” (Netherlands-Indies Civil Administration, Pemerintahan Sipil Hindia Belanda). Andjing NICA juga sebutan untuk Batalion Infanteri V Brigade W KNIL dari Bandung. Sebaliknya, orang-orang Belanda menyebut kaum pejuang sebagai “anjing Sukarno”.*

  • Henk Sneevliet dan Anjingnya

    ADA beragam nama unik yang diberikan kepada hewan peliharaan. Salah satunya yang dilakukan oleh Henk Sneevliet pada anjing kesayangannya. Ellen Santen, 75 tahun, cucu Henk Sneevliet menunjukkan selembar foto bergambar kakeknya yang sedang bercengkrama dengan anjing kesayangannya. Dalam gambar, terlihat anjing jenis English Springer Spaniel itu sedang berdiri memanjat tubuh tuannya. Foto yang dibuat sekitar tahun 1939 itu masih tersimpan rapi dan terawat baik oleh keluarga Ellen. “Anjing ini diberi nama Toedjoe, ya si Toedjoe, seperti nama kapal Zeven Provincien yang dibelanya,” ujar Ellen kepada Historia di rumahnya di Amsterdam.    Seperti tercatat dalam sejarah, pada 4 Februari 1933, awak kapal Zeven Provincien melakukan pemberontakan, menguasai kapal perang milik Angkatan Laut Kerajaan Belanda yang berada di perairan timur Sumatera. Dalam siaran yang disebarkan dalam tiga bahasa: Indonesia, Inggris dan Belanda itu para kelasi berbangsa Indonesia menyatakan dukungan mereka pada aksi mogok yang dilakukan rekan-rekan mereka di Surabaya. Pemogokan yang dimulai pada Januari 1933 itu menolak pemotongan gaji para pelaut dan buruh pelabuhan bumiputera. Pemberontakan kapal Zeven Provincien berakhir tragis. Ketika tiba di perairan Selat Sunda, kapal tersebut dibombardir. Puluhan awak kapal bangsa Indonesia tewas akibat pemboman itu. Inilah yang membuat Henk Sneevliet melancarkan protesnya yang berujung kepada pemenjaraannya selama lima bulan sejak 21 Februari – 21 Juli 1933. Henk Sneevliet, pembawa komunisme ke Indonesia, dan anjingnya, Toedjoe. (Historia.ID). Bob de Wilde, 91 tahun, suami Ellen, pernah menjadi saksi kala tokoh revolusioner Belanda itu dibebaskan dari penjara. “Ketika dia dibebaskan dari penjara, saya waktu itu berusia 9 tahun datang untuk menyambutnya bersama ibu saya. Waktu itu Henk berpidato tentang pentingnya mendukung usaha pembebasan negeri kolonial seperti Hindia Belanda,” ujar Bob de Wilde, 91 tahun, suami Ellen Santen. Menurut Bob, dari sekian banyak politikus Belanda yang mencalonkan diri sebagai anggota parlemen Belanda saat itu, hanya Henk Sneevliet yang lantang menyuarakan rakyat Hindia Belanda yang sedang dijajah. “Setahu saya, cuma Henk Sneevliet yang berani menyuarakan pembebasan bangsa Indonesia saat itu. Tak banyak politikus yang seberani dia,” kata Bob. Menurut Ellen, selain peduli pada nasib kaum buruh, Sneevliet juga seorang penyayang binatang. Tak hanya berfoto dengan anjingnya, salah satu foto juga memperlihatkan Henk sedang berpose dengan seekor sapi. “Sayang sekali saya tidak tahu siapa nama sapi ini,” kata Ellen terkekeh. Sepanjang hidupnya, Sneevliet memperjuangkan pembebasan negeri-negeri terjajah, termasuk Indonesia. Ketika Belanda diduduki Jerman pada 1940, dia kembali melawan namun akhirnya tertangkap polisi rahasia Nazi, Gestapo dan dieksekusi mati pada 12 April 1942. Lantas bagaimana nasib anjingnya? “Anjing itu tetap dipelihara oleh keluarga kami, tapi saya lupa kapan anjing itu mati,” pungkas Ellen.*

  • Kesaksian Korban Rezim Lee Kuan Yew

    LEE Kuan Yew, sosok yang mentransformasi Singapura, negara kecil bersumber daya alam nyaris nol menjadi pemain besar ekonomi dunia tersebut, meninggal dunia pada usia 91 tahun. Perdana menteri Singapura, yang berkuasa dari tahun 1959 sampai 1990 tersebut meninggal karena penyakit pneumonia. Namun bagi sebagian orang, kematian Lee Kuan Yew adalah jalan menuju kebebasan dari tirani. Beberapa bersuara mengomentari kepemimpinan pragmatis, atau dalam istilah yang lebih keras, ‘kediktatoran terselubung’ Lee Kuan Yew selama dirinya berkuasa. Di balik menara pencakar langit dan kekuatan finansial Singapura, bentuk-bentuk otoriterianisme mewujud. “Dia akan selalu diingat sebagai diktator yang berhasil mempertahankan lapisan tipis demokrasi dan khayalan besar akan pemerintahan hukum sampai akhir hayatnya,” tulis Tan Wah Piow, seorang eksil Singapura sejak tahun 1976 yang bermukim di London kepada freemalaysiatoday.com (23/3). Sebelum jadi eksil di London, Tan adalah Presiden Serikat Mahasiswa Universitas Singapura (sekarang Universitas Nasional Singapura, NUS). Pada 1974, dia ditangkap dan diadili karena aktivitasnya menuntut demokrasi dan keadilan sosial yang transparan bagi kaum buruh dianggap mengganggu keamanan nasional. Kasusnya diyakini penuh rekayasa. Sempat dijatuhi hukuman setahun penjara, dia lalu pergi ke Inggris pada 1976 dan menjalani hidup dalam pengasingan. Pada 1987, Tan kembali jadi sosok antagonis ketika dia dituduh pemerintah sebagai otak konspirasi gerakan Marxis di Singapura melalui gereja Katolik. Sekali lagi, pemerintah Singapura melaksanakan operasi pengamanan dengan nama Operation Spectrum . " Operation Spectrum menangkap 22 orang di antara para pengacara, mahasiswa, dan para pekerja Gereja Katolik. Mereka dipenjarakan di bawah Internal Security Act (ISA) yang melenyapkan proses hukum dan hak mereka untuk membela diri di depan pengadilan," tulis Clement Mesenas dalam Dissident Voices: Personalities in Singapore’s Political History . Melalui ISA, pemerintah Singapura telah melakukan pembersihan terhadap kekuatan-kekuatan penentang pemerintahan yang telah dikuasai oleh partai yang didirikan Lee, People′s Action Party (PAP). Hak-hak sipil dan kebebasan pers kerap ditekan. ISA di Singapura awalnya diperkenalkan oleh Malaysia ketika Singapura bergabung pada 1963. Sejarawan Singapura dari Universitas Oxford, P.J. Thum, merujuk pada dokumen yang dikeluarkan pemerintah Inggris, mengemukakan bahwa alasan merger Malaya dan Singapura tahun 1963 adalah sebuah trik politik yang dirancang oleh Inggris, PAP, dan pemerintah Malaya untuk memberangus kaum komunis Singapura melalui ISA. Pada 2 Februari 1963, ISA diteken dan Operation Coldstore dilaksanakan. Targetnya adalah menangkapi orang-orang kiri Singapura, terutama rival dari PAP yang juga partai oposisi, Barisan Sosialis. Total 133 orang ditahan, beberapa menjalani hidup di pengasingan. Setelah Singapura berhasil dikuasai PAP dan Lee Kuan Yew berhasil menyingkirkan lawan-lawan politiknya secara ‘bersih’, maka merger menjadi tidak ada artinya lagi. Singapura berpisah, dan laju politik Lee Kuan Yew tidak terhadang lagi sampai beberapa dekade setelahnya. “Jika alasan pembentukan Malaysia melalui merger antara Federasi Malaya dan PAP adalah untuk menetralkan oposisi politik di Singapura, lalu ketika oposisi itu sudah tidak ada, apa lagi alasan rasional bagi keduanya untuk tetap meneruskan merger tersebut?” ujar Thum mengomentari keluarnya Singapura dari Malaysia pada tahun 1965, sebagaimana dikutip dari theonlinecitizen.com (23/3). Selama berkuasa, Lee Kuan Yew memang pragmatis. Kematian di hari tua yang tenang mungkin adalah salam terakhir dan hadiah yang pantas untuk sosok yang telah memberikan begitu banyak untuk negaranya. Setelah Lee Kuan Yew tiada, dunia kini bisa menilai warisan besarnya untuk Singapura dengan beragam sudut pandang. “Dengan kematian, kebenaran tentang dirinya akan terungkap. Beruntung orang yang sudah tiada tidak bisa lagi menuntut atas dasar pencemaran nama baik untuk membungkam kritik, seperti yang kerap dengan cepat dia lakukan semasa hidupnya,” tambah Tan yang saat ini tinggal di London, masih dalam statusnya sebagai eksil.*

  • Rahasia Lee Kuan Yew

    DI bawah Lee Kuan Yew, Singapura membuat peraturan Internal Security Act (ISA), yang mengizinkan pemerintah menahan seseorang tanpa proses hukum dengan dalih keamanan nasional. Meski kemajuan ekonomi Singapura mencitrakan wajah liberal layaknya negara-negara dunia pertama, nyatanya Singapura masih menjunjung langkah represif dalam menghadapi aspirasi warganya sendiri. “Meskipun ada pemilu berkala yang dilaksanakan dengan jujur, dan peraturan pemilu yang masih mengizinkan semua partai untuk berpartisipasi (kecuali Partai Komunis), adanya penyitaan agenda sosial dan politis oleh elite pemimpin memiliki arti masyarakat telah disingkirkan secara efektif dari partisipasi politik,” tulis Stephen Mccarthy dalam The Political Theory of Tyranny in Singapore and Burma . Setidaknya telah dua kali ISA diteken dan meninggalkan trauma bagi mereka yang menjadi korbannya. Pertama pada tahun 1963 ( Operation Coldstore ), dan kedua tahun 1987 ( Operation Spectrum ). Pemerintah mengambil dalih pembersihan atas upaya-upaya subversif gerakan kiri dalam kedua kasus tersebut. Operation Coldstore secara efektif menumpas gerakan kiri, sekaligus rival-rival politik Lee dari Barisan Sosialis, beberapa bulan sebelum pemilihan umum 1963 dilaksanakan. Karena itulah para korban tersebut meyakini apa yang menimpa mereka adalah sebuah tindakan keji yang murni politis. “Nyatanya ada penahanan tanpa pengadilan melalui ISA, sistem hukum yang mengolok-olok konsep daripada sebuah hukum itu sendiri. ISA adalah hukum di luar hukum itu sendiri. Saat kamu ditahan di bawah ISA, kamu tidak akan mendapatkan perlindungan hukum dalam bentuk apapun,” ujar Lim Hock Siew pada 2009, sembari mengingat ketika dia dipermainkan oleh petugas hukum kala meminta kejelasan soal penangkapannya di tahun 1963. Said Zahari, tahanan politik lainnya menceritakan bagaimana kondisi keras di dalam tahanan. Mulai dari kebingungan soal status tahanan mereka, aksi mogok makan untuk menolak kerja paksa, sampai depresi yang menyebabkan upaya bunuh diri Lim Chin Siong, rival utama Lee dalam berebut pengaruh politik di Singapura sebelum dia ditahan. “Kami menentang sistem berdasarkan prinsip. Kami, sebagai tahanan politik, seharusnya tidak diperlakukan layaknya kriminal biasa seperti ini,” tulis Said Zahari dalam otobiografinya The Long Nightmare: My 17 Years as a Political Prisoner . Salah satu korban lain dari gaya kepemimpinan Lee adalah Chia Thye Poh, yang mendekam di penjara selama 32 tahun. Pada 1966, saat sebagai anggota parlemen dari partai Barisan Sosialis menggelar aksi protes terhadap keputusan pemerintah untuk memisahkan diri dari Malaysia. Menurutnya PAP dan Lee Kuan Yew ada di belakang keputusan itu dan tidak mencerminkan nilai-nilai demokrasi. Pemerintah menggunakan ISA untuk menangkap dia dan kawan politiknya. Chia dijebloskan ke penjara dan mendekam di sana sampai tahun 1998. Setelahnya, Barisan Sosialis tersingkir dari peta politik Singapura. Laju Lee dan PAP tak tertahankan. Pada tahun 1987 ketika ISA kembali dilaksanakan, Lee mendapat kecaman karena kembali dengan semena-mena menangkapi warganya sendiri. Pada 2010, Teo Soh Lung, salah satu korban penangkapan itu mengatakan Lee telah menciderai keadilan dengan menahan dirinya tanpa pengadilan. Dan sudah saatnya sejarah kelam itu diajarkan kepada anak muda. “Anak-anak muda penasaran tentang masa lalu Singapura dan mereka juga ingin tahu tentang apa yang terjadi pada 1987 dan 1988, yakni soal penangkapan dan penahanan tanpa pengadilan 24 orang di bawah ISA, juga pengasingan dari banyak orang lainnya,” tuturnya dalam memoarnya Beyond the Blue Gate: Recollections of a Political Prisoner  seperti dikutip dari theonlinecitizen.com (24/3).*

  • Cerita Lawas Golkar Terpecah Belah

    MENILIK sejarah, Partai Golkar beberapa kali mengalami konflik internal dan perebutan pengaruh. Golkar semula dengan nama Sekber Golkar, berdiri pada 20 Oktober 1964. Ia disokong 97 organisasi kekaryaan, lalu mengembang hingga 201 organisasi. Pilar utamanya adalah Sentra Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI), Koperasi Serbaguna Gotong Royong (Kosgoro), dan Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR) –dikenal dengan sebutan Trikarya. Golkar ikut Pemilu 1971 dan menang, sehingga melegitimasi kuasa Soeharto. Andil terbesar untuk kemenangan Golkar berasal dari Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia (Korpri), Pertahanan dan Keamanan (Hankam), dan Centre for Strategic and International Studies (CSIS), lembaga pemikir kebijakan yang berkantor di Tanah Abang. Namun, usai pemilu 1971, mereka malah tak akur. David Reeve, sejarawan asal Australia, menduga ada persaingan antarkelompok di Golkar. “Mungkin saja terjadi persaingan antara kelompok Ali Moertopo dan aliansi Hankam-Korpri; gesekan antara Hankam dan Korpri; persaingan antarsejumlah jenderal senior dari masing-masing kelompok ini, di mana semua jenderal menikmati akses sangat dekat dengan presiden; dan ketegangan sipil militer pada semua tingkatan,” tulis David dalam Golkar: Sejarah yang Hilang . Ali Moertopo, asisten pribadi Presiden Soeharto, lekat peranannya dalam pembentukan dan eksistensi CSIS. Menurut Leo Suryadinata, sejarawan National University of Singapore, persaingan dan saling berebut pengaruh dalam Golkar tercermin dalam Musyawarah Nasional (Munas) Golkar 1973. Munas membicarakan beberapa hal tentang ciri Golkar, antara lain kekuasaan di Jakarta, dominasi militer, dan perebutan kekuasaan di berbagai kelompok. Trikarya dan Korpri menginginkan kursi ketua umum, sedangkan Hankam dan CSIS saling sikut untuk membatasi pengaruh satu sama lain. Konflik Hankam dan CSIS bahkan muncul secara tersirat dalam pertunjukan sandiwara di sela-sela Munas. Berlakon “Raden Wijaya, Raja Majapahit”, sandiwara mengisahkan kemenangan Raden Wijaya atas tentara Khubilai Khan. “Mungkin ini dipersiapkan oleh kelompok Hankam yang mencoba mempermalukan kelompok Tanah Abang untuk memperlihatkan bahwa Hankam mempunyai pengaruh yang besar di Golkar,” tulis Leo dalam Golkar dan Militer: Studi Tentang Budaya Politik . Hankam berhasil menghambat kelompok CSIS-Ali Moertopo yang sebelumnya mendominasi Golkar dengan terpilihnya Mayjen Soekowati sebagai ketua umum. Soekowati wafat pada tahun yang sama, dan posisinya diganti Kolonel Amir Murtono. Pada saat bersamaan, Rahman Tolleng, seorang tokoh muda Golkar, menggagas Golkar agar menjadi partai modern. Dia berpendapat Golkar harus lepas dari militer dan birokrasi. Bagi dia, militer dan birokrasi ibarat alat bantu peluncur untuk satelit. “Saat satelit sudah berada di orbit, alat bantu itu harus dilepaskan,” kata Rahman, dikutip dw.de . Gagasan Tolleng jadi polemik. Dia mendapat serangan dari kelompok Hankam dan Korpri. “Dalam tubuh Golkar sendiri banyak yang mencurigai Tolleng sebagai orang PSI. Apalagi korannya di Bandung senantiasa mengkritik pemerintah,” tulis Francois Raillon dalam Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia . PSI adalah singkatan dari Partai Sosialis Indonesia. Sepakterjang Tolleng di Golkar berakhir setelah Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari). Golkar menganggapnya terlibat Malari sehingga memecatnya.*

  • Musik Gamelan di Luar Angkasa

    BADAN ruang angkasa Amerika Serikat (NASA) menyiapkan dua wahana luar angkasa, Voyager 1 dan Voyager2 , dengan tujuan awal mempelajari planet Jupiter dan Saturnus. Namun, para peneliti juga mempertimbangkan potensi Voyager sebagai wahana penjelajah sistem tata surya yang belum diketahui; yang mungkin akan menjadi kontak pertama manusia dengan kehidupan di luar bumi. Karena itu, sembilan bulan sebelum peluncuran Voyager , NASA meminta Carl Sagan, astronom kenamaan Universitas Cornell, menyusun tim khusus yang bertugas menyiapkan agar wahana Voyager juga berfungsi sebagai “pembawa pesan untuk peradaban ekstraterestrial.” Tim memutuskan Voyager akan membawa musik terbaik, galeri foto, dan suara-suara kehidupan baik alami maupun artifisial. Semuanya direkam dalam piringan suara yang terbuat dari emas, VoyagerGolden Record . Sagan dan timnya menuliskan pengalaman mereka sebagai para pembuat keputusan seleksi dalam buku Murmurs of Earth , terbit tahun 1978. Dalam proses seleksi tersebut, musik gamelan dari Jawa muncul sebagai salah satu usulan. Judulnya Puspawarna , yang liriknya dibuat oleh Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV dari Surakarta (1853-1881), untuk mengenang istri dan selirnya. Puspawarna terkenal di Jawa Tengah dan biasanya dimainkan untuk menyambut pangeran masuk ke istana. Penggagasnya adalah Robert E. Brown, seorang etnomusikolog asal Amerika yang pernah merekam musik Puspawarna secara langsung pada 1971 di keraton Paku Alaman. “ Puspawarna (beragam warna bunga) merujuk pada simbol selera Hinduisme orang-orang Jawa. Namun layaknya bunga, ia juga simbol yang dapat diinterpretasikan sebagai mekarnya dua wujud krusial dalam pembentukan materi tata surya di masa awal penciptaan; bintang-bintang dan galaksi,” tulis David Darling dalam Deep Time . Puspawarna dimainkan Tjokrowasito (K.P.H. Notoprojo), maestro gamelan Indonesia di masanya. Lahir 17 Maret 1909 di Yogyakarta, kariernya sebagai musisi gamelan naik ketika ditunjuk sebagai pemimpin gamelan Paku Alaman tahun 1962. Tahun 1971, dia pindah ke California untuk mengajar gamelan di Institut Seni California dan mencetak generasi-generasi pertama musisi gamelan di Amerika. Dia meninggal dunia di usia 98 tahun di Yogyakarta, pada 2007. “Lou Harrison menghormati jasa-jasa Pak Cokro dengan mendedikasikan sebuah komposisi untuknya. Juga mengusulkan sebuah bintang untuk dinamai dari nama Pak Cokro,” tulis Elon Brinner dalam Music in Central Java: Experiencing Music, Expressing Culture . Lou Harrison adalah komposer kenamaan Amerika yang juga salah satu murid Tjokrowasito. Pada 1983, sebuah bintang baru di rasi Andromeda dinamakan “Wasitodiningrat”, merujuk nama Tjokrowasito ketika dianugerahi gelar Kanjeng Raden Tumenggung oleh Paku Alaman. “Ini bukan hanya satu-satunya hubungan antara Pak Cokro dan luar angkasa. Ketawang Puspawarna yang dimainkan atas arahannya terpilih menjadi salah satu musik yang dikirim ke luar angkasa dalam wahana Voyager tahun 1977 yang mewakili peradaban manusia di jagat raya,” tambah Brinner. Puspawarna yang berdurasi 4 menit 43 detik dicantumkan bersama karya musisi dari berbagai benua di Timur dan Barat. Ia bersanding dengan karya-karya klasik gubahan Johann Sebastian Bach, Wolfgang Amadeus Mozart, dan Ludwig van Beethoven. Total durasi musik adalah 90 menit. Piringan emas juga memuat pesan-pesan sapaan dari 55 bahasa dunia, termasuk bahasa Indonesia: “Selamat malam, hadirin sekalian. Sampai jumpa dan sampai bertemu lagi di lain waktu.” Pengisi suaranya bernama Ilyas Harun. Kedua wahana Voyager diluncurkan pada 1977. Keduanya memuat piringan emas dengan konten yang sama. Saat ini, Voyager 1 menjadi benda buatan manusia yang terjauh. Posisinya sekarang ada di wilayah interstellar , yang merupakan sebuah ruangan luas di antara sistem tata surya dan bintang-bintang. Jaraknya sejauh 19 miliar kilometer dari Bumi. Para ilmuwan menyimpulkan bahwa kecil kemungkinan wahana Voyager ditemukan makhluk asing dari peradaban luar bumi. Karena itu, Voyager lebih sering dianggap sebagai kapsul waktu yang mungkin akan ditemukan kembali oleh peradaban manusia di masa depan.

  • Pengadilan Internasional Peristiwa 1965

    BUKTI-bukti kejahatan terhadap kemanusiaan pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965 telah banyak terungkap. Komisi Nasional HAM pada 2012 yang lalu juga telah menyerahkan hasil penyelidikan pro justisia pelanggaran berat HAM peristiwa 1965 ke Kejaksaan Agung. Namun, sampai hari ini belum ada kejelasan sikap pemerintah atas tragedi kemanusiaan itu. Presiden Joko Widodo dalam kampanye pemilihan presiden berjanji akan “menghormati HAM dan penyelesaian berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa lalu termasuk 1965.” Tapi harapan menipis saat Wakil Presiden Jusuf Kalla, pada peringatan Hari HAM sedunia 10 Desember lalu, menyatakan pemerintah tak akan meminta maaf atas pelanggaran HAM masa lalu. “Dari pertimbangan tersebut, saat diskusi film Jagal bersama Joshua Oppenheimer di Den Haag pada 22 Maret 2013, kami bersepakat akan memberikan tekanan internasional kepada pemerintah Indonesia,” ujar Nursyahbani Katjasungkana, koordinator sekretariat International People’s Tribunal 1965 (IPT 65), pada peluncuran situs 1965tribunal.org , di gedung Lembaga Bantuan Hukum, Jalan Diponegoro No. 74, Jakarta (17/12). Tekanan internasional itu berupa Pengadilan Rakyat Internasional atau International People’s Tribunal 1965 (IPT 1965), yang akan dilaksanakan pada Oktober 2015 di Den Haag, Belanda, bertepatan dengan setengah abad peristiwa 1965. Untuk sampai ke sana, sekretariat IPT 65 bekerjasama dengan organisasi-organisasi penyintas, pegiat HAM, akademisi, peneliti, seniman, jurnalis, mahasiswa, dan berbagai tokoh masyarakat serta aktivis prodemokrasi nasional dan internasional. Sekretariat IPT 65 di Indonesia dan Belanda akan mengumpulkan bukti-bukti berupa dokumen masa lalu, materi audiovisual, pernyataan para saksi atau testimoni dan alat bukti lain yang akan dipresentasikan dalam sidang. “Segala macam testimoni terkait masalah 65 dapat dikirim pada situs IPT, dan nanti akan ada tim yang mengolah,” ujar Saskia Eleonora Wierenga, koordinator peneliti IPT 65,  yang juga penulis buku Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia: Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI. Prosedur IPT 1965 berupa sidang HAM formal, bukan sidang kriminal yang menuntut seseorang atas dakwaan melakukan perbuatan pidana. Melainkan penuntut akan mendakwa negara Indonesia agar bertanggungjawab secara moral dan hukum berdasarkan bukti-bukti kejahatan terhadap kemanusiaan yang tersebar luas dan sistematis pasca 1965-1966. Majelis hakim akan melakukan penghakiman dengan menguji bukti-bukti dan membangun rekam sejarah yang akurat dan sahih sebagai dasar untuk memberikan putusannya. Pembacaan putusannya akan dilaksanakan pada 2016 di Jenewa, Swiss. Menurut Nursyahbani, yang telah bersedia menjadi hakim adalah Elizabeth Odio Bonito, mantan ketua majelis hakim pengadilan internasional Yugoslavia, dan Helen Jarvis, mantan hakim pengadilan internasional Kamboja. IPT 65 akan menyelenggarakan serangkaian kegiatan sepanjang 2015 yang diharapkan dapat membantu proses pemulihan para penyintas serta keluarganya. Pengadilan Rakyat Internasional 1965 pada akhirnya akan menciptakan iklim politik di Indonesia, dimana HAM diakui dan dihormati.*

bottom of page