top of page

Hasil pencarian

9590 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Perempuan Penukar Uang

    UANG sebagai alat tukar sudah digunakan di Nusantara sejak zaman Hindu-Budha. Penggunaan dan jenisnya semakin beragam seiring meningkatnya perdagangan internasional, sehingga memunculkan profesi penukar uang . Penukar uang sudah terjumpai oleh Yunus bin Mihran, pedagang asal Siraf, sebuah kota di Teluk Persia, yang mengunjungi kerajaan Sriwijaya dan juga Jawa pada abad ke-10. Mihran menceritakannya dalam Marveilles de l’Indie karya Bozorg ibn Shahryar, seorang kapten kapal. Menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 2 , Yunus menceritakan bahwa di kota kerajaan Maharaja Sriwijaya terdapat pasar besar yang sedemikian banyak jumlahnya, dan dia menghitung ada delapan ratus penukar uang di pasar yang disediakan bagi mereka, tidak termasuk yang tersebar di pasar-pasar lain. Sejak abad ke-10, menurut Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia IV, penukar uang sebagai salah satu fasilitas perdagangan (bersama gudang, penginapan, makanan, keamanan dan ketertiban, dan sebagainya) telah membuat pelayaran melalui laut tidak lagi berkesinambungan, tetapi dapat dilakukan secara bertahap dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain. “Sehingga jungku-jungku dagang dari satu emporium hanya perlu mengarungi lautan ke emporium berikutnya,” tulis Marwati dan Nugroho. Di sini emporium merujuk pada pasar, bukan suatu wilayah kekuasaan. Pengunjung lain yang juga mencatat keberadaan penukar uang adalah Ludovico di Varthema, petualang asal Italia, yang mengunjungi Pidie, Aceh pada 1503-1508. “Warthema pernah melihat lebih kurang 500 orang penukar mata uang di sebuah jalan di Pidie,” tulis Marwati dan Nugroho dalam Sejarah Nasional Indonesia III. Menurut Denys Lombard, yang aktif dalam perdagangan uang dan perniagaan biasanya perempuan. Para pengamat Eropa menyebut peran mereka di pasar-pasar Nusantara hingga kios-kios penukaran uang. Salah satunya, William Dampier, petualang asal Inggris, yang singgah sebentar di Aceh pada akhir abad ke-17, menulis: “Di sini hanya ada perempuan, seperti di Tonkin (Vietnam, red. ); mereka berurusan dengan penukaran uang. Mereka duduk di pasar dan di ujung jalan dengan uang timah.” Para penukar uang, tulis Denys Lombard dalam Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda 1607-1636 , merupakan rakyat biasa yang tidak berwenang dan tidak ikut langsung mengecap keuntungan perniagaan besar. Tetapi mereka mencari nafkah dengan bebas dan tinggal di rumah sendiri. Selain penukar uang, dalam kelompok ini termasuk nelayan, pengrajin, dan pemilik toko. Namun mereka wajib menyerahkan upeti secara tetap, baik berupa uang atau hasil bumi, kepada seorang orang kaya yang mereka anggap sebagai pelindung. Pekerjaan penukar uang merupakan profesi lama yang bertahan hingga sekarang. Ia bisa berupa lembaga maupun perorangan yang biasanya bermunculan menjelang Lebaran.*

  • Sabarudin Berebut Perempuan Berbuntut Kekejaman

    PADA 1945, Komandan Polisi Tentara Keamanan Rakyat (PTKR) Zainal Sabarudin menangkap Soerjo, seorang bekas shudancho , di Sidoarjo. Dia menuduh Soerjo, dengan bukti selembar foto yang menampilkan Soerjo bersanding dengan Ratu Wilhelmina, sebagai spion Belanda. Sabarudin lalu menggelandang Soerjo ke alun-alun Sidoarjo lantas mengikatnya ke tiang. Tanpa proses pemeriksaan lebih lanjut, Sabarudin menembaknya dalam jarak dekat. Tembakan itu tak mengakhiri hidup Soerjo. “Sabarudin mengambil samurai Jepang dan menebas leher pemuda itu hingga tewas,” tulis Moehammad Jasin dalam Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang . Kekejaman Sabarudin melegenda. Hampir semua orang di Surabaya dan Sidoarjo yang hidup pada zaman revolusi pernah mendengar kisah kebengisannya. Dia sewenang-wenang memperlakukan musuh-musuhnya, tawanan perang, bahkan rekan sendiri. Demi menghabisi lawan-lawannya, dia tak ragu melontar fitnah, termasuk kepada Soerjo, sahabatnya. Soerjo memang pernah berfoto bersama Ratu Wilhelmina. Namun foto itu diambil semasa dia sebagai anggota Kelompok Kepanduan Hindia Belanda (NIPV) turut dalam jambore ke Negeri Belanda. Menurut Suhario Patmodiwiryo yang akrab disebut Hario Kecik dalam Si PemburuVolume 2 , alasan pembunuhan itu ialah “rivalisme antara Sabarudin dan Soerjo pribadi dalam masalah memperebutkan seorang puteri Bupati Sidoarjo.” Bukti foto hanyalah alat untuk menggeret Soerjo ke lapangan penghabisan. Zainal Sabarudin Nasution lahir di Kotaraja, Aceh, pada 1922. Sesudah menamatkan sekolah menengah pertama (MULO), dia bekerja sebagai karyawan di kantor kabupaten merangkap penata buku di sebuah perkebunan gula di Sidoarjo. Semasa pendudukan Jepang dia didapuk sebagai komandan kompi Pembela Tanah Air (Peta) di kota yang sama. Usai proklamasi, Sabarudin ditunjuk menjadi kepala PTKR. Mula-mula berpangkat kapten, kemudian mayor. Dia bertugas mengawasi tawanan Jepang, orang-orang Belanda yang meninggalkan kamp dan datang ke Surabaya, serta orang Indonesia yang jadi tahanan. Kepada para tawanan yang tak disukainya, Sabarudin berlaku brutal. Para penentangnya disiksa dan dibunuh, bahkan dengan cara eksekusi yang keji. Menurut Jasin, Sabarudin tega “mengikat orang yang ditangkap pada dua ekor kuda yang kemudian dilarikan ke arah berlawanan. Akibatnya, badan orang itu terputus menjadi dua dan mati. Ada pula yang disirami dengan bensin dan dibakar habis.” Bahkan Sabarudin menjadikan tawanan-tawanan perempuan sebagai budak. “Perempuan-perempuan muda Indo-Eropa dijadikan harem-haremnya,” tulis sejarawan Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi IndonesiaJilid IV.*

  • Cerita Kelam Perempuan Jerman Setelah Nazi Kalah Perang

    RUTH Schumacher, perempuan Jerman kelahiran 1926, tak kuasa terus memendam perasaan. Setelah puluhan tahun bungkam, dia akhirnya buka suara. Dia merupakan salah satu perempuan Jerman yang diperkosa Tentara Merah tak lama setelah Berlin jatuh ke tangan Uni Soviet pada awal Mei 1945. “Selama beberapa dekade, sebagian besar perempuan Jerman diam tentang trauma yang mereka alami,” tulis Eric Westervelt dalam “Silence Broken On Red Army Rapes In Germany,” dimuat di laman npr.org. Kisah Ruth membuka selubung kejahatan perang Tentara Merah Uni Soviet semasa Perang Dunia II. Selain dari diamnya para penyintas, kabut hitam peristiwa kelam itu datang terutama dari bekas negara Uni Soviet yang berusaha keras menutupinya. Kejatuhan Berlin –dan wilayah-wilayah sebelumnya yang dilalui Tentara Merah– menjadi awal petaka bagi banyak perempuan Jerman. “Biarawati, gadis-gadis, perempuan tua, ibu hamil dan ibu yang baru saja melahirkan semua diperkosa tanpa belas kasihan,” tulis Antony Beevor dalam Berlin: The Downfall 1945 . Kejahatan perang itu bahkan sudah berlangsung sejak sebelum Tentara Merah masuk Berlin. Gadis-gadis di tempat-tempat yang dilalui Tentara Merah, termasuk kota-kota di Polandia, harus menyerahkan kehormatannya sebagai ganti dari keselamatan nyawanya. Ruth, salah satunya. Di kota tempat tinggalnya, Leipzig, pemerkosaan terjadi tak lama setelah usainya bombardir Sekutu dan pindahnya pasukan mereka ke tempat lain. “Segera aku diperkosa bergiliran oleh gerombolan yang terdiri dari lima orang Rusia,” kenang janda prajurit Jerman yang bertugas di U-boat itu, sebagaimana dilansir di npr.org . Pengalaman pahit itu juga menghampiri Gabriele Kopp, yang kala itu berusia 15 tahun. Setelah tergesa-gesa melarikan diri dari rumahnya lantaran sang ibu –yang berjanji akan menyusul– mengatakan tentara Soviet sudah mendekat, dia akhirnya tertangkap prajurit Soviet di sebuah desa. “Keesokan harinya, dia dikejar ke rumah orang lain, di mana dia diperkosa oleh seorang tentara, dan kemudian oleh tentara lain segera setelah itu. Keesokan paginya, dia didorong ke sebuah gudang dan diperkosa oleh dua orang lainnya,” tulis Susanne Beyer dalam “Harrowing Memoir: German Woman Writes Ground-Breaking Account of World War II Rape,” dimuat di spiegel.de . Ternyata seorang perempuan paruh baya pengungsi menjadikannya “umpan” kepada tentara Soviet. Masa kelamnya itu berlangsung selama dua pekan sebelum dia akhirnya bisa melarikan diri ke sebuah peternakan. Di masa itu banyak ibu mengorbankan gadis mereka untuk mencari selamat. Mereka ada yang bermain kotor seperti yang mereka lakukan terhadap Kopp, ada juga yang membiarkan serdadu Soviet yang menginap di rumah mereka mendekati gadis-gadis di dalam rumah. Beberapa ibu malah mendukung bila gadisnya didekati Tentara Merah. Letnan Wladimir Gelfand, komandan pleton mortir di Divisi Senapan ke-301, mengalaminya. “Di pinggiran Berlin pada akhir April, dia mendapati pengalaman adanya permohonan dari seorang perempuan muda menarik –yang didukung oleh ibunya– untuk dijadikan pemuas seksual eksklusifnya agar perempuan itu selamat dari keadaan lebih buruk,” tulis Frederick Taylor dalam Exorcising Hitler . Berbeda dengan para gadis, yang tak berdaya, perempuan lebih matang punya keleluasaan lebih besar untuk menyiasati keadaan. Contohnya jurnalis Marta Hillers –penyintas pertama yang menuliskan pengalamannya ke dalam sebuah buku yang terbit pada 1950, tapi memakai nama anonim. Dia yang kala itu sudah berusia tiga puluh tahunan, terpaksa menyerahkan dirinya kepada seorang perwira Soviet agar terhindar dari perkosaan massal Tentara Merah. Sebelumnya, dia beberapa kali diperkosa prajurit Soviet. Bagi Soviet, memperkosa perempuan Jerman merupakan hukuman balasan atas kejahatan bangsa Jerman. “Banyak serdadu Soviet ingin membalaskan dendam mereka akibat penderitaan yang telah ditimbulkan (oleh Jerman, red ) di negeri mereka,” tulis Michael Jones dalam Total War: From Stalingrad to Berlin . Tak adanya perintah khusus untuk hal itu menyebabkan banyak serdadu harus menanyakan komandannya tentang apa saja yang boleh dilakukan terhadap orang Jerman. “Tentang pertanyaan mengenai perempuan, Anda bisa memperlakukan perempuan Jerman agak bebas, asal tak terlihat terorganisir. Satu atau dua dari kalian bisa pergi (mencari perempuan Jerman, red ), melakukan yang kalian perlukan, kembali ke kesatuan, dan hanya itu,” lanjutnya. Stalin sendiri tak pernah mau menghukum prajurit-prajuritnya atas tindak perkosaan mereka terhadap perempuan Jerman. Dia justru memaklumi dengan mengingat beratnya tugas para prajurit dan kebaradaannya yang berjarak ribuan kilometer dari tanah air. Akibatnya, meski tak ada angka pasti, sekitar dua juta perempuan Jerman menjadi korban perkosaan. Menurut Philipp Kuwert, pakar trauma dan kepala Departement Psychiatry and Psychotherapy di University Hospital of Greifswald, rata-rata seorang perempuan Jerman mengalami 12 kali perkosaan. Selain menimbulkan trauma berkepanjangan, perkosaan massal itu juga mengganggu siklus haid para korban. Para ginekolog sampai menamakannya “Russian disease”. Kopp absen haid selama tujuh tahun. Janin yang mereka kandung umumnya diaborsi; yang sampai lahir harus menanggung pengucilan. Banyak dari perempuan itu lalu meninggal tak lama setelah mengalami perkosaan. Mereka yang selamat, mengalami trauma panjang dan umumnya tak berani bersuara; terlebih para penyintas yang kemudian menjadi bekas warga negara Jerman Timur, pemerintah komunis memaksa mereka menandatangani perjanjian untuk tak mengungkap perkosaan massal di ujung Perang Dunia II itu. “Dan aku sudah banyak melewati malam tanpa tidur karena hal itu,” ujar Ruth.*

  • Kisah Pria Bumiputera yang Menikahi Perempuan Kulit Putih

    SEBUAH foto tersebar di jagat maya awal Agustus 2015. Foto sepasang penganten baru. Bayu Kumbara, manten laki berasal dari Padang, Sumatra Barat, berkulit coklat dan bertampang sederhana. Sedangkan Jennifer Brocklehurst, manten perempuan warga negara Inggris, berkulit bersih dan berparas menarik. Sontak warga jagat maya ramai. Mereka menyebut Bayu sebagai pribumi beruntung setelah berhasil menikahi bule. Pernikahan antar ras di Indonesia sudah sering terjadi dan berjejak sejak masa kolonial. Kadang kala beroleh tanggapan adem-ayem, lain waktu menarik perhatian luas. Lelaki Eropa jamak menikahi perempuan bumiputera. Lalu bagaimana bila sebaliknya, lelaki bumiputera menikahi perempuan Eropa? Ini sangat langka. “Kasus perempuan Eropa yang menikahi lelaki Asia sangatlah luar biasa. Pada abad ke-18 diperlukan persetujuan khusus dari Gubernur Jenderal,” tulis Tineke Hellwig dalam Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda . Pernikahan lelaki bumiputera dengan perempuan Eropa terjumpa di Maluku dan Manado. Mereka menikah sesuai tradisi Kristen. Sebab VOC belum mengeluarkan hukum khusus tentang pernikahan lelaki bumiputera dengan perempuan Eropa. Maka konsekuensi status hukum pernikahan tersebut tak jelas. Misalnya bagaimana status suami dan istri. Berikut pula pembagian hak dan kewajiban mereka dan keturunannya. Memasuki abad ke-19, status hukum pernikahan lelaki bumiputera dengan perempuan Eropa mulai jelas. “Hukum Sipil (terbit pada 1848, red .) untuk orang-orang Eropa telah menentukan bahwa laki-laki Indonesia yang menjadi pasangan resmi perempuan Belanda akan mendapatkan klasifikasi Eropa seperti istrinya melalui perkawinan,” tulis Frances Gouda dalam Dutch Culture Overseas : Praktik Kolonial di Hindia Belanda 1900-1942. Tiga tahun setelah Hukum Sipil terbit, Raden Saleh, pelukis sohor bumiputera, menikah dengan perempuan keturunan Eropa. “Saleh memberikan contoh bagi generasi orang Indonesia berikutnya yang belajar ke Belanda dengan menikahi perempuan Eropa ketika pulang ke Indonesia,” tulis Jean Gelman Taylor dalam Kehidupan Sosial Batavia . Selama beberapa tahun ke depan, pernikahan serupa laku Raden Saleh mengemuka di Hindia Belanda. Jumlahnya tak tercatat pasti. Masih jauh lebih kecil daripada pernikahan lelaki Eropa dan perempuan bumiputera. Tapi ini tetap membuat khawatir khalayak Eropa dan pemerintah kolonial. Mereka kini mulai mengubah pandangannya perihal pernikahan itu. “…Tidak dikehendaki dari pandangan negara, moral, dan sosial,” tulis Gouda. Sekelompok ahli hukum mengajukan keberatan mereka terhadap pernikahan lelaki bumiputera dengan perempuan Eropa. M.C. Piepers, ketua Kongres Peradilan di Batavia, berpendapat setiap pernikahan lelaki bumiputera dan perempuan Eropa memiliki potensi menurunkan derajat kelas orang Eropa. Dia meminta pemerintah kolonial merevisi Hukum Sipil 1848 tentang pernikahan itu. Tujuannya untuk mempertahankan stratifikasi kelas pada masyarakat: golongan pertama, Eropa; golongan kedua, Timur Asing; dan golongan ketiga, bumiputera. Pemerintah kolonial menerima permohonan kelompok Piepers pada 1898 dengan merivisi pasal perihal pernikahan lelaki bumiputera dengan perempuan Eropa. “Setiap perempuan yang menerima perkawinan antar-ras mendapatkan status kewarganegaraan suaminya,” tulis Gouda. Khalayak Eropa dan pemerintah kolonial berharap revisi hukum ini bisa menghambat pernikahan lelaki bumiputera dengan perempuan Eropa. Mereka mengira revisi ini bakal memaksa perempuan Eropa berpikir ulang jika mau membangun bahtera bersama lelaki bumiputera. Perkiraan mereka meleset. Hukum kolonial tak mampu membendung cinta perempuan Eropa pada lelaki bumiputera. Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya 1 , menyebut pernikahan lelaki bumiputera dengan perempuan Eropa justru menjadi umum pada abad ke-20. Bahkan tokoh-tokoh pergerakan nasional beristri orang Eropa. “… di antaranya: Dr. Abdul Rivai, Lukman Djajadiningrat, penyair Noto Suroto, Dr. Radjiman, Dr. Ratu Langie, Sjahrir, Sukawati, Kolonel Surio Santoso, dan Dr. Tjipto Mangunkusumo,” tulis Lombard. Saking seringnya pernikahan lelaki bumiputera dengan perempuan Eropa, media massa ikut membahasnya. “ Soeara Perempoean di Padang Pandjang, Soenting Melajoe di Padang, dan Perempoean Bergerak di Medan, sudah banyak diperkatakan hal ini,” tulis Bintang Hindia , 14 Februari 1925. Perdebatan pun kembali mengemuka. Bintang Hindia menolak pernikahan antar ras di kalangan intelektual. “Jadi tiap perkawinan campuran kedua bangsa itu akan menguatkan ikatan Hindia kepada Belanda,” tulis redaksi Bintang Hindia , beralasan. Mereka meminta kaum intelektual memilih gadis bumiputera sebagai pendampingnya dalam biduk rumahtangga. Toh, pernikahan campur terus berlangsung. Tak habis-habis, tak sudah-sudah. Pada akhirnya, pernikahan berpulang pada kedaulatan calon penganten. Mereka memilih pasangan berdasarkan kesesuaian hati mereka. Bukan pengaruh atau penilaian orang lain.*

  • Seberapa Mahal Meminang Perempuan Bugis?

    PADA suatu malam di Sorowako, seorang pemuda menceritakan perjalanan cintanya selama enam tahun yang harus kandas karena biaya pernikahan. Keluarga pihak perempuan meminta syarat uang panaik sebanyak Rp120 juta. Sementara si pemuda hanya mampu Rp80 juta. Fenomena ini menghantui pemuda dan pemudi di Sulawesi Selatan. Laki-laki harus bekerja keras mengumpulkan uang lalu diserahkan kepada pihak perempuan. Biasanya, pernikahan dengan uang panaik antara Rp5 juta hingga Rp15 juta, dianggap tidak bergengsi. Maka pesta pernikahan pun akan dilaksanakan dengan sederhana. Seorang pemuda lain, Fajar Thalib memandang uang panaik yang dibebankan pada laki-laki cukup membebani, namun pemicu semangat. “Jadi ada usaha besar dalam mencari pekerjaan yang layak dan menghasilkan sejumlah uang. Jadi sebelum menikah, laki-laki tak berpikir bagaimana kehidupan kedepan, tapi berpikir menyelamatkan uang panaik ,” katanya. Guru Besar Antropologi Universitas Negeri Makassar, Ima Kesuma mengatakan, tingginya uang hantaran di masyarakat Bugis sudah berlangsung sejak lama. “ Uang panaik itu untuk menunjukkan gengsi dan kekuatan ekonomi pihak laki-laki,” katanya. “Ingat perempuan di Bugis adalah aset. Ia melambangkan kesuburan dan kehidupan.” Pada masa lalu, kata Ima, anak-anak perempuan di tempatkan di lantai dua rumah. Tempat di mana beras dan sumber makanan disimpan. Sementara anak laki-laki di bagian tengah rumah. “Ini menunjukkan bagaimana perempuan Bugis itu dijaga dengan baik. Maka ketika hendak menikah, calonnya harus benar-benar matang secara ekonomi,” katanya. Rentetan prosesi pernikahan masyarakat Bugis, dilakukan beberapa tahap. Ma’manuk-manuk dimana pihak laki-laki melakukan kunjungan ke pihak perempuan untuk menyatakan maksud perjodohan. Mappassio atau melaksanakan pertunangan. Kemudian lamaran. Akhirnya pernikahan. Uang panaik atau dui menre , adalah uang hantaran yang diserahkan pihak laki-laki pada keluarga mempelai perempuan. Besarannya ditentukan saat prosesi lamaran. Pihak keluarga mempelai laki-laki akan menyampaikan kesanggupan dan mendiskusikannya bersama pihak mempelai perempuan. Tak jarang, di saat seperti ini terjadi debat. Secara harfiah uang panaik adalah uang naik. Pada masa lalu uang hantaran tersebut diserahkan dengan menaiki anak tangga karena rumah-rumah Bugis kebanyakan rumah panggung. Tujuan uang hantaran ini untuk membiayai pesta pernikahan mempelai perempuan.  Meskipun biasanya besaran uang itu tidak selalu menutupi biaya keseluruhan pesta. Namun, kata Ima, pada prinsipnya masyarakat Bugis memegang prinsip eppa sulappa (empat sisi) dalam menentukan calon mempelai pengantin, yaitu pendidikan, akhlak, pekerjaan dan status darah atau keturunan. “Saya kira tiga yang utama adalah pendidikan, akhlak, dan pekerjaan,” katanya. Sementara itu, Susan Bolyard Millar dalam Perkawinan Bugis menuliskan, tradisi uang panaik menjadi penanda status yang boros, bersifat pamer dan agresif. “Dalam setahun, sepasang suami istri yang sedang mencapai masa jaya akan siap mengawinkan anak laki-laki mereka yang paling menjajikan, yang cukup layak dipasangkan dengan wanita berstatus lebih tinggi dengan jumlah uang belanja yang lebih tinggi,” tulisnya. Christian Pelras dalam Manusia Bugis juga menjelaskan, pernikahan di masyarakat Bugis dikenal dengan istilah siala (saling mengambil satu sama lain). Pasangan mempelai ini, walaupun dalam status sosial yang berbeda akan menjadi mitra, sebagai sebuah persekutuan dan penyatuan dua keluarga. Yang juga ditempuh dalam dua sahabat atau mitra usaha. “Dengan kata lain, perkawinan adalah cara terbaik membuat orang lain menjadi ‘bukan orang lain’,” tulis Pelras. Hal itu jugalah yang diyakini Ima, di mana terdapat istilah dalam masyarakat Bugis, tellu cappa (tiga cara dalam berdiplomasi). Ujung pertama adalah lidah yakni diplomasi dilakukan dengan cara berdialog. Diplomasi kedua adalah ujung kelamin atau dengan kata lain upacara pernikahan. Dan diplomasi terakhir jika tak ada jalan lain adalah ujung badik, pertumpahan darah. Diplomasi menggunakan tahapan pernikahan adalah hal lumrah yang dilakukan sejak masa kerajaan. Kerajaan-kerajaan kecil menyerahkan anak gadis mereka untuk dinikahi oleh bangsawan atau raja dari kerajaan berkuasa. “Jika sudah demikian, maka kerajaan bawahan tentu akan menaikkan status dan derajatnya, karena telah memiliki hubungan darah dengan kerajaan besar,” katanya.*

  • Assikalaibineng, Kitab Kamasutranya Orang Bugis

    PADA malam sebelum hari pernikahannya, Hariyadi menerima pertanyaan dari seorang tetua. “Kau sudah bisa mengelilingi dapur tujuh kali, kah?” Sambil berkelakar pemuda 28 tahun itu menjawab, “Jangankan tujuh kali, 20 kali dan angkat dapur pun bisa.” Maka mulailah ritual itu. Hariyadi lantas digiring masuk ke kamar, berdua saja dengan tetua itu. Dalam tradisi di Luwu, Sulawesi Selatan, adegan itu dikenal dengan nama makkandre guru (belajar). Si calon pengantin akan diberi wejangan tentang bagaimana menggauli, memperlakukan, dan merawat istrinya. Dapur adalah kiasan untuk perempuan. Artinya seorang laki-laki harus benar-benar mengenal perempuan (istrinya). Mengetahui lekuk dan seluk beluk, sebagaimana mengetahui dapur sebagai tempat menyimpan makanan, dan salah satu sumber kehidupan. Dalam ritual makkandre guru calon pengantin pria tak hanya dinasihati bagaimana membahagiakan istri di ranjang namun juga bagaimana memperlakukan istri dengan cara layak dan terhormat. Filolog Universitas Hasanuddin Makassar, Muhlis Hadrawi, yang juga menulis buku Assiklaibineng: Kitab Persetubuhan Bugis , mengatakan jika sejak masa lalu perempuan menjadi simbol kewibawaan yang harus mendapat perhatian lebih. “Di Bugis, perempuan itu adalah makhluk yang mulia,” katanya. Sejak 1997 Muhlis telah mengumpulkan sebanyak 49 manuskrip kerajaan dan catatan dari lontara Bugis dan Makassar perihal seksualitas. Menurut Muhlis Assikalibineng tidak seperti kitab persetebuhan yang lain, yang hanya menampilkan erotisme dan sensualitas. Kitab ini menekankan pula pentingnya laku serta tata cara yang berlandaskan rasa saling menghargai. “Di Assikalaibineng , tidak dibolehkan seorang laki-laki membangunkan sang istri untuk melakukan hubungan seksual, apalagi bila istri sedang capek,” katanya. “Itu sama saja menjadikan perempuan sebagai budak.” Assikalaibeng diciptakan sebagai pegangan laki-laki, untuk membahagiakan perempuan. Dalam Assiklaibineng perempuan digambarkan lebih detail hingga bagian tubuh yang tersembunyi. Misalkan, dalam Serat Centini di Jawa atau pun Kamasutra dari India, menyebut klitoris hanya sekali itu saja. Sementara di Assikalaibineng , klitoris disebutkan hingga bagian paling dalam, sampai empat bagian. “Bayangkan, Assikalaibineng sudah menjelaskan bagaimana foreplay , untuk mencapai klimaks secara bersama,” kata Muhlis. “Jadi kemudian bila ada laki-laki yang lebih duluan klimaks dibandingkan perempuan, maka hubungan itu dianggap gagal.” Tak hanya itu, masyarakat Bugis pun tak membenarkan seorang lelaki, memberikan punggung atau pindah kamar tidur saat selesai berhubungan seks dengan istri. Melainkan, harus tidur bersama dan saling berpelukan. Meski demikian, Assikalaibineng adalah kitab yang menjelaskan seks dan hubungannya dengan Islam, dimana semua diawali dengan basmallah dan wudhu. “Jadi Assikalaibineng menuliskan, bila ingin berhubungan dengan istri, sebaiknya dilakukan setelah salat isya, agar tidak merusak wudhu dan memiliki waktu yang lebih lama sebelum mencapai waktu subuh,” kata Muhlis. Menurut Muhlis, Assiklaibineng ditulis atau buah pikiran dari Syech Yusuf. Kemudian, pengetahuan-pengetahuan itu terus bertambah dan mengalami reproduksi. “Dari puluhan manuskrip yang saya kumpulkan, semua tak sama persis. Selalu ada penambahan dan improvisasi dalam memandang (hubungan),” katanya. Sebelumnya pengetahuan akan seksualitas disebarkan melalui bahasa tutur. Dilakukan secara hati-hati dan dikhususkan pada pasangan yang akan menikah. Dalam lontara terdapat larangan pernikahan sesama jenis (homoseksual). Hukuman bagi mereka yang melakukan homoseksual adalah pengusiran keluar kampung atau bahkan ditenggelamkan di lautan. Homoseksual dianggap sama dengan perzinahan. Dalam catatan sejarah, pengusiran juga dilakukan kepada seorang yang hanya memburu kepuasan. Seperti yang pernah terjadi di Bellawa, sebuah kerajaan kecil dalam wilayah Wajo. Dikisahkah tentang seorang raja bernama La Malloroseng membangun rumah di sisi jalan yang hendak ke pasar untuk memantau perempuan yang disenangi untuk ditidurinya. Rakyat yang gusar mengusir sang raja keluar kampung dan membakar rumahnya. Dia pun diberi gelar anumerta Petta Masuange (Tuan Mesum). Kejadian serupa juga pernah menimpa Raja Bone La Icca. Lontara meriwayatkan sang raja selalu merebut istri orang hanya untuk kepuasannya. Rakyat marah dan menumbuk tubuhnya di bawah tangga istana sampai mati. Maka diberilah raja naas itu mendapat gelar anumerta La Icca Matinroe ri Adengenna (Raja yang tidur di bawah tangga). “Kenapa dia mati ditumbuk, supaya darahnya tidak mengotori tanah,” pungkas Muhlis.*

  • Sadikin, Proklamator Tentara Nasional Indonesia

    SEJARAH resmi mencatat bahwa Tentara Nasional Indonesia terbentuk pada 5 Oktober 1945 –diperingati sebagai hari ulangtahun TNI. Namun, ternyata proklamasi tentara Indonesia telah dilakukan sebelum proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Sehari sebelumnya, 16 Agustus 1945, Sadikin, seorang bintara Heiho (pembantu prajurit Jepang) bagian artileri udara, mendapat kabar bahwa Jepang telah melakukan kapitulasi atau penyerahan terhadap Sekutu. Dia bersama teman-temannya meminta tentara Jepang untuk tetap di kantor. Dia mengambil-alih pimpinan upacara pengibaran bendera merah putih. “Pada upacara apel Sadikin berpidato bahwa Indonesia sudah merdeka dan Peta/Heiho jadi Tentara Nasional,” kata Jenderal Besar Abdul Haris Nasution dalam Bisikan Nurani Seorang Jenderal. Di buku lain, Jenderal Tanpa Pasukan, Politisi Tanpa Partai , Nasution bahkan menyatakan “Sadikin memproklamirkan Indonesia jauh lebih pagi daripada Bung Karno yang saat itu masih ragu-ragu.” Sadikin lahir di Purwokerto, Jawa Tengah, 11 April 1916. Dia menjadi sersan Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) dari 1939 sampai Jepang menduduki Indonesia. Dia kemudian bergabung dengan bagian artileri udara Heiho serta bertugas di Jakarta, Surabaya, dan Semarang. Menurut Purbo S. Suwondo dalam PETA: Tentara Sukarela Pembela Tanah Air, dalam pidato proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sukarno menghindari pembentukan tentara nasional. Salah satu alasannya karena Jepang dan Inggris (Sekutu) masih memiliki persenjataan lengkap. Baru pada 23 Agustus 1945, Sukarno mengumumkan pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Dia mengundang bekas anggota Peta, Heiho, dan para pemuda untuk memasuki BKR sambil menunggu terbentuknya tentara nasional, Tentara Keamanan Rakyat (TKR), pada 5 Oktober 1945. TKR berubah menjadi Tentara Republik Indonesia pada Januari 1946 dan Tentara Nasional Indonesia pada 3 Juni 1947. Proklamasi tentara oleh Sadikin dijejaki oleh Inspektur I Moehammad Jasin, komandan Polisi Istimewa, yang memproklamasikan Polisi Republik Indonesia di halaman markas Polisi Istimewa, Jalan Coen Boelevard, Surabaya –kini Jalan Polisi Istimewa– pada 21 Agustus 1945.  Baca juga:  Komandan dan Polisi Istimewa Tonton juga: Komandan dan Polisi Istimewa Karier Sadikin terbilang cemerlang. Di masa revolusi, dia berturut-turut menjadi komandan Resimen 6 Cikampek, Brigade 4 Divisi Siliwangi di Tasikmalaya, Brigade 2 Divisi Siliwangi yang hijrah dan berkedudukan di Surakarta, dan kemudian komandan daerah militer Madiun setelah memadamkan peristiwa PKI Madiun. Puncaknya, dia menjabat panglima Divisi Siliwangi (1949-1951) dan panglima Tanjungpura (1951-1956). Setelah itu, dia menjadi inspektur jenderal teritorial dan perlawanan rakyat di markas besar AD. Di masa pensiun, Sadikin menjadi presiden direktur PT Bank Internasional Indonesia di Jakarta dan ketua BPC (Badan Pembina Citra) Siliwangi, Jakarta. Dia tutup usia di Jakarta pada 1 Maret 1986.

  • Empat Puluh Tahun Mencari Tan Malaka

    SEBUAH foto kuno suasana Hindia Belanda berukuran besar terpajang di lorong pintu masuk rumah yang terletak di wilayah Castricum, utara Belanda. Begitu masuk ke dalam ruangan tamu, tamu disambut ribuan buku tersusun rapi dalam rak yang berdiri menempel pada tembok. “Semua buku di sini berbahasa Belanda, tentang sejarah, politik dan sastra. Kalau tentang Indonesia ada di lantai dua,” kata Harry A. Poeze, empunya rumah yang telah ditempatinya sejak periode 1970-an itu.  Harry Poeze identik dengan sosok Tan Malaka. Dialah sejarawan Belanda yang paling menguasai kisah hidup aktivis politik revolusioner dalam sejarah Indonesia itu. Namun di balik ramainya diskusi Tan Malaka akhir-akhir ini, tak banyak yang mengetahui kisah hidup Harry Poeze. Perjumpaan Harry dengan Tan Malaka bermula semenjak dia mahasiswa jurusan ilmu politik di Universitas Amsterdam. Saat itu Harry mengikuti kuliah sejarah Indonesia yang diampu oleh Profesor Wim Wertheim, salah satu sosiolog dan ahli Indonesia yang sangat terkenal. Persentuhannya dengan sejarah Indonesia membuatnya tertarik untuk membaca buku Kemunculan Komunisme Indonesia karya Ruth T. McVey. “Saya tertarik dengan Tan Malaka saat saya mahasiswa ikut mata kuliah Sejarah Indonesia dan saya harus menulis skripsi mengenai sejarah Indonesia. Saya baca sejumlah buku mengenai sejarah perlawanan Indonesia terhadap imperialisme Belanda dan seringkali temukan nama Tan Malaka, tapi disebut riwayat hidupnya penuh teka-teki dan belum diketahui,” ujar Harry yang diterima masuk di Universiteit van Amsterdam pada 1964. Mulai saat itulah Harry menekuni sosok Tan Malaka untuk skripsi sarjananya dan berhasil diselesaikan pada 1972. Dalam skripsinya itu Harry memokuskan kisah Tan Malaka semasa hidup di Belanda mulai 1913-1919 dan saat Tan Malaka diasingkan kembali dari Indonesia ke Belanda pada 1922. Skripsinya kemudian diterjemahkan dan diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia pada 1988 oleh Penerbit Grafiti Pers, Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1897-1925 . Selesai menulis skripsi, Harry tak berhenti mencari tahu siapa Tan Malaka. Dia melanjutkan lagi penelusuran riwayat hidup Tan Malaka untuk disertasi doktornya di universitas yang sama. Selama empat tahun (1972-1976), Harry menelisik ke masa lalu kehidupan Tan Malaka sampai dengan periode kemerdekaan 1945. Pada 1999 penerbit Grafiti Pers menerbitkan buku Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1925-1945 yang naskahnya diterjemahkan dari disertasi Harry . Pencarian tentang siapa Tan Malaka membawanya berkeliling ke banyak negeri, mulai Jerman, Prancis, Inggris, Amerika Serikat, Rusia, Filipina sampai Indonesia. Tan memang seorang aktivis politik dengan rekam jejak internasional. Pekerjaannya sebagai perwakilan Komintern untuk Asia (organisasi komunisme internasional) mengharuskannya berkeliling ke berbagai negeri, membantu mengorganisasi perlawanan rakyat terhadap imperialisme dan kolonialisme. Hasil dari riset selama 40 tahun lebih itu, selain tentu saja buku biografi Tan Malaka sepanjang 3000 halaman yang tahun kemarin baru diluncurkan, adalah bertumpuk dokumen arsip-arsip Tan Malaka. Salah satu koleksi yang diperoleh Harry berasal dari arsip Komintern di Moskow, Rusia. Berkat ketekunannya, Harry berhasil memecahkan beberapa kode rahasia yang kerap digunakan Tan Malaka saat berkorespondensi dengan kawan-kawan seperjuangannya. Banyak surat-surat pribadi Tan Malaka yang berhasil Harry dapatkan. Beberapa di antaranya adalah surat-surat Tan Malaka ke Komintern dengan menggunakan berbagai macam bahasa. “Tan Malaka pandai berbahasa Belanda, Inggris, Jerman, Cina dan banyak lagi bahasa,” kata Harry. Kunjungan Harry untuk meneliti Tan Malaka ke Indonesia baru dilakukan pada 1980. Dalam kesempatan itu, Harry menemui banyak kawan dan lawan politik Tan Malaka untuk diwawancarai. Sampai hari ini hubungan Harry dengan keluarga besar Tan Malaka terjalin dengan sangat baik.  Selain dikenal sebagai sejarawan, tak banyak orang tahu kalau Harry pernah berkarier sebagai politikus. Setahun sebelum Harry merampungkan kuliah sarjananya, dia terpilih sebagai anggota dewan kota Castricum dari Partai Buruh (Partij voor de Arbeid, PVDA). Selama 11 tahun (1971–1982) pria kelahiran Loppersum, 20 Oktober 1947 itu mengabdikan dirinya sebagai politikus di dewan kota Castricum, termasuk sebagai wethouder atau asisten walikota Castrium. “Saya memang anggota Partij van de Arbeid sejak 1965. Ideologi saya sosial-demokrat, cocok dengan pendapat politik saya, sosialisme dengan demokrasi. Saya selalu menentang fanatisme dan ideologi yang absolut,” ujar ayah dua anak itu.  Kekaguman dan keseriusannya menekuni riwayat hidup Tan Malaka mendorong Harry untuk memecahkan misteri kematian tokoh berjuluk bapak republik itu. Jerih payahnya berbuah manis. Pada 2007, dia berhasil menemukan lokasi yang diperkirakan jadi kuburan Tan Malaka. Harry pun sukses mengungkap kisah hari-hari terakhir Tan Malaka sebelum dia dieksekusi mati. Sejumlah nama pelaku eksekusi dan pemberi perintah pembunuhan sudah dikantonginya. Salah satunya adalah Brigjen. Soekotjo, yang pernah menjabat sebagai walikota Surabaya di era Orde Baru. Didorong rasa ingin tahu yang tinggi, Harry pun bergerak menemui berbagai pihak agar jenazah Tan Malaka yang dikubur di Selopanggung, Kediri itu digali untuk dites DNA. Sejak 2009 upaya untuk mengindentifikasi DNA Tan Malaka telah dilakukan oleh tim dokter Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hasilnya memang tak sempurna karena kondisi jasad yang sudah terlalu rusak. Namun berbagai petunjuk yang memperkuat dugaan bahwa pria yang terkubur di sana adalah jasad Tan Malaka cukup jelas, semisal posisi tangan yang terikat ke belakang dan berbagai kesaksian yang berhasil Harry peroleh. Harry berharap pemerintah Indonesia bersedia untuk memakamkan kembali jasad Tan Malaka secara layak di makam pahlawan. “Saya masih menunggu (keputusan) pemakaman kembali Tan Malaka di Kalibata, sebagai puncak dari riset saya selama lebih dari 40 tahun,” pungkas Harry menyimpan harap.*

  • Tahun Terakhir Tan Malaka

    SETELAH dibebaskan dari penjara di Magelang pada 16 September 1948, Tan Malaka berupaya menghimpun lagi para pendukungnya. Bersama beberapa rekannya, pada 7 November 1948 dia membentuk Partai Murba dengan asas “antifascis, antiimperialis dan antikapitalis.” Namun Tan enggan memimpin Partai Murba. “Dia tidak mau jadi ketua. Mungkin dia harap jadi Presiden RI dan selalu tidak senang dengan politik diplomasi,” kata sejarawan Harry A. Poeze dalam diskusi bukunya, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 4, di Jakarta, 23 Januari 2013. Buku ini mengisahkan babakan terakhir perjalanan hidup Tan Malaka, sejak September 1948 sampai Desember 1949. Usai kongres pendirian Partai Murba, Tan mesti menentukan pilihan tentang hari depan pergerakannya. Meski Yogyakarta strategis (saat itu sebagai ibukota Republik Indonesia), dia merasa tidak aman di kota itu. “Dikhawatirkan akan terjadi pendudukan Belanda, dan bahaya penangkapan oleh pemerintah,” tulis Poeze. “Dia juga ingin menjajaki alam pikiran rakyat.” Ada dua rencana perjalanan yang hendak ditempuh: Jawa Barat dan Jawa Timur. Kemungkinan ke barat (Banten) pupus mengingat Darul Islam sangat aktif di sana dan membenci kaum komunis, terlebih Banten terisolasi dari pusat Republik. Pilihan Tan jatuh ke Jawa Timur. Selain menjadi medan subur bagi pengikut gerakan kiri, sebagaimana yang dia asumsikan dalam Naar de Republiek Indonesia, “di sanalah pukulan yang menentukan akan diselesaikan.” Pada 12 November 1948, Tan berangkat ke Kediri, mengingat tawaran bantuan dari komandan batalion Sabarudin, dan jaminan keamanan serta perasaan simpati dari komandan divisi Soengkono dan stafnya. Dimulailah jalan gerilya di Jawa Timur. Tan berkesempatan bertemu dengan para prajurit TNI dan pimpinan politik. Jika senggang, tulis Poeze, “dia berjalan-jalan untuk melihat-lihat dan mencaritahu tentang keadaan penduduk kampung yang miskin dan keinginan-keinginan mereka.” Dalam setiap pertemuan maupun pamflet yang dia tulis selama di Jawa Timur, Tan Malaka menuangkan gagasannya akan cita-cita negara sosialis. Dia menjelaskan ide-idenya dalam Gerpolek ( Gerilya, Politik, Ekonomi ) ke tengah-tengah kalangan militer dan mendapat sambutan hangat. Dia pun rutin mengecam politik diplomasi yang dijalankan oleh Sukarno-Hatta yang dia sebut “telah menyia-nyiakan hak-hak mereka sebagai pemimpin.” Dalam ‘Program Mendesak’, dia bahkan menyebut dirinya sebagai pemimpin Revolusi Indonesia. Sebagai contoh kesuksesan propaganda Tan Malaka, sebanyak 17-19 batalion bergabung dalam Gabungan Pembela Proklamasi (GPP) untuk menghadapi serangan Belanda bilamana sewaktu-waktu datang. GPP mesti bertindak sesuai petunjuk Gerpolek . Propaganda Tan Malaka yang anti politik diplomasi Sukarno-Hatta dianggap sebagai ancaman oleh pemerintah. Gerakannya mesti ditumpas. Tan bersama GPP berpindah-pindah markas dan akhirnya melarikan diri ke arah selatan Jawa Timur. Dalam gerilya menyusuri lereng Gunung Wilis, di Selopanggung, Kediri, Tan Malaka ditangkap oleh Letnan Dua Sukoco dari Batalion Sikatan Divisi Brawijaya. Sukoco sempat mempertimbangkan menindak Tan sebagai seorang komunis yang mesti dijatuhi hukuman militer. Tapi kenyataannya berkata lain. “Sukoco orang kanan sekali dan dia beropini lebih baik Tan Malaka ditembak mati,” tutur Poeze. Pada 21 Februari 1949, Tan Malaka dieksekusi mati oleh Suradi Tekebek, orang yang diberi tugas Sukoco. Kematiannya tanpa dibikin laporan maupun pemeriksaan lebih lanjut. Dia dimakamkan di tengah hutan dekat markas Sukoco. “Kematiannya dirahasiakan bertahun-tahun,” ucap Poeze. Setelah pencarian panjang, pada 2009 silam diadakan penggalian makam yang diduga berisi jenazah Tan Malaka di Selopanggung. Sampai kini, penelitian para ahli forensik belum beroleh hasil pasti apakah jenazah yang digali benar-benar milik Tan Malaka atau bukan. “Memang Tan Malaka ini jago menghilang selama hidupnya. Sampai matipun masih ada jagonya itu,” ujar sejarawan Asvi Warman Adam. Menurut Asvi, publik perlu segera mendapat kepastian. “Namun apapun hasilnya mestinya sudah bisa ditetapkan bahwa makam Tan Malaka memang di tempat itu,” tegasnya. Asvi berpendapat sudah waktunya jenazah Tan Malaka dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan di Kalibata. Pemindahan ini menjadi penting sebab menjadi semacam pengakuan bersalah pemerintah Indonesia yang selama puluhan tahun Orde Baru melenyapkan nama Tan Malaka. Nada sedikit berbeda disampaikan pemimpin redaksi majalah Historia.ID , Bonnie Triyana. Dia menganggap gagasan-gagasan Tan Malaka beroleh perhatian dan wajib disikapi lebih dahulu. “Menghidupkan kembali gagasan-gagasan Tan Malaka jauh lebih penting sekarang ini,” tuturnya. “Porsi besar pelajaran sejarah lewat kurikulum 2013 baru-baru ini, misalnya, memberi kesempatan supaya buku-buku Pak Harry ini mestinya sama-sama kita sebarluaskan.”*

  • Sekolah ala Tan Malaka

    BANGUNAN itu tak seramai dulu lagi. Letaknya terimpit di antara permukiman warga Kampung Gendong, Semarang. Untuk menuju kesana, pengunjung harus berjalan kaki menembus gang sempit yang membelah kampung. Tiang-tiang penyangga masih berdiri tegak menyokong atap yang kian lama kian renta dimakan usia. Bangunan itu pernah berfungsi sebagai kantor Sarekat Islam cabang Semarang dan semenjak Juni 1921 digunakan sebagai Sekolah Sarekat Islam yang dikelola oleh Tan Malaka. Sekolah yang pada zamannya disebut “SI School” itu ditujukan khusus bagi anak-anak kalangan buruh di Kota Semarang. Sekolah ini bukan sembarang sekolah. Sebuah sekolah yang tak hanya bertujuan untuk membuat siswanya jadi pintar, melainkan sekolah yang hendak “bangunkan hati merdeka sebagai manusia,” kata Tan Malaka dalam pengantar brosur, Sarekat Islam Semarang dan Onderwijs (pendidikan, red .). Tan Malaka tak menghendaki murid-muridnya “kelak lupa pada berjuta-juta kaum kromo yang hidup dalam kemelaratan dan kegelapan.” Demi tujuan menciptakan manusia-manusia merdeka itulah Tan Malaka menyusun kurikulum pendidikan yang berbeda dari kebanyakan sekolah pada waktu itu. Ada tiga dasar pemikiran Tan Malaka dalam rancangan kurikulum sekolahnya, pertama yakni memberi senjata cukup buat pencari penghidupan dan dunia kemodalan (berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa Belanda, Jawa, Melayu, dsb); kedua , memberi haknya murid-murid, yakni kesukaan hidup dengan jalan pergaulan ( vereeniging ); ketiga, menunjukkan kewajiban kelak terhadap berjuta-juta kromo (rakyat kecil, red .). Keunikan sekolah yang dikelola Tan Malaka itu adalah pengajaran bahasa Belanda yang diberikan kepada murid-muridnya yang mayoritas berasal dari golongan kelas bawah. Padahal, sebagian besar penutur bahasa Belanda dari kalangan pribumi saat itu datang dari kelas priayi yang mengenyam pendidikan eksklusif di sekolah-sekolah elite Belanda. Menurut Tan Malaka bahasa Belanda penting untuk diajarkan kepada siswa-siswanya karena di antara mereka “banyak yang kencang otaknya (cerdas, red .) cuma tak bisa bahasa Belanda saja.” Padahal, lanjutnya, “perlawanannya (lawan, red .) ialah kaum modal yang memakai bahasa Belanda, maka perlu sekali kita ajarkan betul bahasa itu.” Tan Malaka menilai pentingnya memberikan hak bermain bagi anak-anak didiknya. Oleh sebab itu, dia tak menghendaki murid-murid SI School menghabiskan waktu berlama-lama di kelas tanpa ada waktu luang untuk bermain dengan anak-anak sebayanya. Menurutnya, anak-anak memiliki hak untuk merasakan kegembiraan dan belum saatnya diseret dalam kehidupan orangtua mereka yang harus kerja keras mengatasi penderitaan hidupnya. Selain untuk mengasah kecerdasan, SI School pun mendidik murid-muridnya untuk peduli nasib rakyat dengan, “membangunkan hati belas kasihan pada kaum terhina itu.” Tan Malaka juga mengajak serta murid-muridnya untuk ikut dalam setiap pertemuan anggota SI Semarang supaya bisa menyaksikan dan mendengarkan langsung aspirasi wong cilik. Tan Malaka berharap murid-muridnya kelak punya kemampuan dan kemauan “hendak membela rakyat tidak dalam buku atau kenang-kenangan saja, malah sudah menjadi watak dan kebiasaannya masing-masing.”*

  • Ketika Tan Malaka Ingin Jadi Presiden

    SETELAH terpilih menjadi ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), Sutan Sjahrir bersama lima belas orang yang sebagian besar pengikutnya bertemu Tan Malaka di Serang, Banten, pada 23 Oktober 1945. Seminggu sebelumnya, Wakil Presiden Mohammad Hatta mengumumkan Maklumat X tentang pembentukan partai-partai politik. Dalam pertemuan itu, Sjahrir meminta kesediaan Tan Malaka menjadi ketua partai sosialis yang akan didirikan dalam waktu dekat. Pertimbangan Sjahrir karena prestise dan daya tarik Tan Malaka yang legendaris akan memberikan keuntungan kepada partai sosialis. Tan Malaka menolak. Menurut sejarawan Harry A. Poeze, Tan Malaka menganggap Sjahrir seorang sosial-demokrat, borjuis kecil, dan bukan seorang revolusioner. Dia juga tak mau menjadi kawan separtai dari kaum sosialis, yang sebagian besar masih berkompromi dengan kapitalisme dan imperialisme. Tan Malaka mengatakan, “Saya seorang komunis, saya tidak mau memimpin partai sosial demokrat.” Selain itu, “Tan Malaka tidak suka jabatan resmi dengan tugas-tugas untuk ke kongres, bertemu orang, dan lain-lain. Ini mungkin karena kepribadiannya dan juga karena Tan Malaka ingin memberi gambaran bahwa dia di atas partai-partai. Dan ini cocok dengan ambisinya menjadi presiden,” ujar Poeze kepada Historia . Menurut penuturan Djohan Sjahroezah, sekretaris jenderal Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang dipimpin pamannya Sjahrir, Tan Malaka mendesak Sjahrir yang memimpin gerakan bawah tanah selama pendudukan Jepang, “supaya menentukan sikap siapa-siapa sebaiknya yang memimpin revolusi nasional, menjadi presiden dan perdana menteri,” tulis Djoeir Moehamad, anggota dewan pimpinan PSI, dalam Memoar Seorang Sosialis. Tan Malaka mengusulkan agar dirinya menjadi presiden dan Sjahrir menjadi perdana menteri sekaligus menteri pertahanan, ekonomi, dalam dan luar negeri. Sjahrir tidak langsung menolak. Dia malah bercerita pernah berkeliling Jawa, terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah, dan berkesimpulan hanya Sukarno-lah pemimpin yang dikenal rakyat. Sjahrir juga mengemukakan bahwa Tan Malaka kurang mengetahui perkembangan terakhir seraya menganjurkan agar berkeliling Jawa untuk mengetahui sejauh mana popularitasnya di mata rakyat. “Kalau saja Anda populer 10% dari Sukarno kami akan mempertimbangkan Anda sebagai presiden,” kata Sjahrir, dikutip Rudolf Mrazek dalam Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia . Sjahrir mengingatkan Tan Malaka, “Kita ini orang Sumatera, tak begitu dikenal oleh masyarakat Jawa. Karena itu sebaiknya kita sokong Sukarno saja sebagai presiden dan Hatta wakilnya.” “Tidak mungkin,” kata Tan Malaka, “Apalagi Sukarno akan diadili Sekutu yang akan menduduki Indonesia, sebab dia boneka fasisme Jepang. Dan pasti nanti kemerdekaan kita dinilai bikinan fasis Jepang.” Kendati menentang kolaborasi Sukarno-Hatta dengan Jepang, Sjahrir memutuskan memimpin pemerintahan sebagai perdana menteri selama tiga periode. Dia kemudian memilih berdiplomasi dengan Sekutu dan Belanda. Sedangkan Tan Malaka beroposisi kepada pemerintahan Sjahrir. Dugaan Tan Malaka bahwa Sukarno-Hatta akan diadili Sekutu tak terjadi. Bahkan Sukarno menjadi presiden selama 22 tahun (1945-1967).*

  • Ketika Adnan Buyung Nasution Bertemu Tan Malaka

    SUATU hari di tahun 1946, seorang lelaki berpakaian pangsi warna hitam datang ke rumah Rahmad Nasution di Yogyakarta. Rahmad memperkenalkan lelaki itu kepada anaknya, Adnan Bahrum Nasution alias Buyung, 12 tahun, sebagai “Oom” yang tak bernama, yang baru belakangan diketahuinya kalau si Oom itu bernama Tan Malaka. Tan Malaka, kata Buyung, sering kali datang ke rumahnya, membahas persoalan politik yang tengah berkecamuk di republik saat itu. Buyung kecil ingat betul apa yang dibicarakan Tan kepada ayahnya: kritik kepada pemerintahan Sjahrir yang waktu itu dianggap terlalu lemah menghadapi Belanda. “Kalau ada maling masuk rumahmu, usir dia keluar, kalau perlu pukul! Jangan ajak dia berunding,” kata lelaki yang akrab dipanggil Bang Buyung itu menirukan Tan Malaka. Maling yang tak perlu diajak berunding maksud Tan Malaka adalah Belanda. Waktu itu Perdana Menteri Sjahrir, alih-alih memobilisasi perlawanan fisik terhadap Belanda, malah memilih jalan diplomasi di meja perundingan. Bagi Tan Malaka, langkah tersebut sama artinya mengajak maling berunding di dalam rumah sendiri. Kisah itu rupanya melekat dalam kenangan Adnan Buyung. Dalam setiap kesempatan wawancara atau pun diskusi bertema sejarah, pengacara berpenampilan khas berambut perak itu kerap menuturkan cerita yang sama. Bahkan menurutnya, Tan Malaka selalu tidur sekamar dengan Adnan Buyung karena tak ada kamar lain yang bisa digunakan sebagai tempat tidur Tan kecuali kamarnya. Sejarawan Harry Poeze memperkuat keterangan Adnan Buyung tentang mengapa Tan Malaka kerap tinggal di rumahnya. Ketika berada di Yogyakarta awal Februari 1946, Tan memang seringkali berpindah-pindah tempat, dari satu rumah pengikutnya ke rumah pengikutnya yang lain, mulai Ismail sampai Sukarni. “Selama bulan-bulan itu ia juga selalu menginap di rumah wartawan Rachmat Nasution, sehingga anaknya –Adnan Buyung Nasution– harus memberikan kamarnya kepada seorang 'oom' tak bernama,” tulis Harry Poeze dalam bukunya Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia jilid pertama. Dalam sebuah kesempatan lain, Adnan Buyung juga pernah berkisah tentang Tan yang tidur di kamarnya. Buyung kecil memilih tidur di bawah dan Tan tidur di ranjang. Si oom tanpa nama itu bercerita tentang banyak hal kepadanya. “Dari situ saya tahu kalau orang ini sangat cerdas,” kenangnya dalam sebuah diskusi Tan Malaka di Cikini beberapa tahun silam. Pelaku Sejarah, Penulis Sejarah Selain dikenal sebagai pengacara, Adnan Buyung juga pelaku dalam beberapa episode sejarah di negeri ini. Sebagai aktivis anti-Sukarno, Buyung terpilih sebagai anggota MPRS yang menolak pertanggungjawaban Presiden Sukarno atas peristiwa G30S 1965. Karena itu pula presiden pertama Indonesia itu jatuh dari kursi kekuasaannya. Namun menurutnya, Sukarno mendapat perlakukan tak adil karena dia hanya dituduh bersalah tanpa pernah diberi kesempatan untuk membela dirinya dalam sebuah pengadilan. Pada saat itu, menurutnya, hanya dialah orang yang menyuarkan perlunya Sukarno diadili agar tuduhan kepadanya bisa dibuktikan atau tidak. “Tapi yang harus orang tahu, dari sekian banyak anggota MPRS, cuma abang yang teriak-teriak supaya Sukarno diadili. Kenapa? Karena dengan diadili di pengadilan, kita bisa buktikan apakah dia bersalah atau tidak. Dan dia bisa membela dirinya. Itu demi keadilan, tapi nggak ada yang mendengarkan abang,” kata Buyung ketika diwawancarai Historia dua tahun silam. Selaku praktisi di bidang hukum, Adnan Buyung juga penulis sejarah di bidang hukum. Disertasinya tentang Konstituante banyak memberikan informasi sejarah mengenai perdebatan yang terjadi di lembaga penyusun Undang-Undang Dasar tersebut. Buyung punya teori seandainya Konsituante tidak buru-buru dibubarkan oleh Sukarno melalui Dekrit 5 Juli 1959, mungkin wajah demokrasi di Indonesia akan berbeda jalannya. Konstituante adalah lembaga yang bertugas menyusun Undang-Undang Dasar baru pengganti UUDS 1950. Dalam sidang Konstituante seringkali terjadi perdebatan sengit antara pendukung Pancasila sebagai dasar negara dengan para pendukung syariat Islam. Namun lagi-lagi Buyung pernah berkisah betapa pun kerasnya perdebatan tersebut, di luar sidang para politikus bisa cair dalam pergaulan pribadinya. Seperti yang terjadi antara Natsir dengan Aidit. “Abang pernah wawancarai Pak Natsir untuk disertasi abang. Pak Natsir cerita waktu istirahat sidang, Aidit tiba-tiba datang bawa dua gelas teh. Sambil duduk, Aidit bertanya pada Natsir, bagaimana kabarnya umi? (istri Natsir, red. )” tutur Buyung mengisahkan bagaimana suasana kekeluargaan terjalin antara para politikus yang berbeda ideologi saat itu. Kontroversi Bukan tokoh jika hidupnya tak diliputi kontroversi. Keputusan Buyung membela anggota kepolisian yang terlibat penembakan mahasiswa Trisakti 1998 yang lampau menjadi bulan-bulanan kritik banyak aktivis HAM. Tak berhenti di sana, keputusannya membela terpidana koruptor Chaeri Wardana alias Wawan suami Walikota Tangsel Airin Rachmi Diany dan juga adik kandung mantan Gubernur Banten Atut Chosiyah menuai banyak kritik. Adnan Buyung selalu punya argumen bahwa setiap orang punya untuk membela diri dan sebagai seorang pengacara dia tak bisa menolak orang yang meminta bantuan untuk dibela. “Sebagai pengacara profesional saya tidak punya alasan untuk menolak orang yang meminta bantuan hukum,” katanya ketika menjawab pertanyaan wartawan tentang keputusannya menjadi pengacara mafia pajak Gayus Tambunan. Pengacara gaek yang kisah hidupnya berwarna-warni itu kini telah tiada. Wafat pada usia 81 tahun, 23 September 2015 kemarin setelah sempat dirawat selama beberapa hari di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan. Selamat jalan, bang.*

bottom of page