top of page

Hasil pencarian

9587 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Sarekat Djin Melawan Belanda

    BULAN puasa 1926 orang-orang dari kalangan “dunia hitam” kota Padang mendirikan Sarekat Djin. Mula-mula jumlah anggotanya 40 orang. Kemudian terus meluas. Organisasi ini dipimpin oleh Si Patai, seorang bandit legendaris yang namanya menempati klasemen papan atas dalam daftar polisi sejak awal abad 20. Begitu pemberontakan Partai Komunis Indonesia (1926-1927) meletus di ranah Minang, Sarekat Djin melancarkan aksi-aksi sporadis. “Mereka banyak membunuh pejabat pemerintah Hindia Belanda,” kata Mestika Zed, guru besar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Padang, kepada Historia . Beberapa langkah penting yang dilakukan kaum komunis di Minangkabau menjelang pemberontakan 1926-1927 adalah mendirikan organisasi bawah tanah. Nama untuk organisasi bawah tanah itu diserahkan kepada masing-masing daerah. Maka lahirlah, Sarekat Djin, Sarekat Hantu, Sarekat Itam. Pembentukan organisasi bawah tanah tersebut merupakan “realisasi dari gagasan pembentukan DO (Double Organization) di Sumatera Barat berdasarkan instruksi dari CC PKI pada akhir Maret 1926,” tulis Mestika Zed dalam Pemberontakan Komunis Silungkang 1927 , mengutip Kolonial Verslag 1927 . Jauh sebelum peristiwa tersebut, pada 1908  Patai pernah melancarkan aksi melawan  pemerintah kolonial Hindia Belanda yang mengeluarkan peraturan belasting (pajak). Waktu itu gerombolan Si Patai membuat onar di Pauh. Beberapa pegawai pemerintah dibunuh. Namun ketika akan memasuki kota Padang, mereka berhasil dihalau tentara Belanda dekat Alai. “Belanda mengkategorikan Si Patai tidak sekadar penjahat biasa, tapi termasuk bandit yang merongrong pemerintahan. Perang belasting hanyalah momentum yang dimanfaatkannya saja dalam upaya menggulingkan pemerintahan,” tulis Rusli Amran dalam Padang Riwayatmu Dulu . Untuk meringkusnya, pemerintah kolonial mengandalkan dua orang Mantri Polisi Padang yang baru diangkat pada 1905, Bariun Sutan Batang Taris dan Abdullah Umar Marah Saleh Siregar. Suatu hari, Batang Taris mendapat laporan Si Patai dan Sampan sedang berada di lapau (kedai kopi) Ma Anjang di Air Pacah. Pukul 12 malam sebanyak 24 tentara bersenjata lengkap bergerak ke sana. Rombongan ditambah lagi dengan sejumlah pegawai setempat dan dari Alai. Semua berjumlah tidak kurang 35 orang. Pukul 4 pagi lapau Ma Anjang dikepung rapat. Batang Taris berteriak menyeru tantangan. Bukannya gentar, Si Patai melompat keluar seraya menyerang Batang Taris dengan kelewangnya. Seorang serdadu Belanda yang coba-coba ikut campur, kena sabetan kelewang Patai. Sejurus kemudian…door! Si Patai tersungkur. Mukanya kena peluru. Saat tergeletak di tanah, seorang tentara menembaknya dari jarak dekat. Sebutir peluru menembus dadanya. Si Patai tak berkutik. Dalam keadaan terluka parah, ia dipertontonkan kepada orang-orang. Beruntung di dalam penjara kesehatannya berlangsung pulih. “Tiga tahun lamanya dia mendekam di hotel prodeo,” tulis Rusli Amran. Hawa berontak tak kunjung surut dari diri Si Patai. Lepas dari penjara, dia pun kembali jadi bandit. Dalam peristiwa pemberontakan PKI 1926-1927, Si Patai kembali tertangkap. Tapi kali ini dia menemui ajalnya. Patai dipenggal. Kepalanya diarak keliling kota Padang. Hasjim Ning, saudagar terkemuka dari zaman Sukarno hingga Soeharto, mengaku melihat arak-arakan itu. Kata dia, hari itu kota Padang menjadi gempar. Tentara berseragam hijau bersama orang-orang bertelanjang dada berarak keliling kota dengan kelewang terhunus. Berteriak-sorak bagai orang mabuk. Mereka bergerak maju mengelilingi salah seorang di antaranya. Orang yang dikelilingi itu mengacung-acungkan tombaknya. Di ujung tombak itu terpancang kepala Si Patai. Di bagian lehernya yang terpenggal, kelihatan darah sudah menghitam. Matanya terbeliak. Mulutnya ternganga. Rambut Si Patai kusut masai. “Si Patai seorang pemberani dari Pauh, desa bagian utara Kota Padang. Si Patai adalah kepala pemberontak melawan Belanda. Ia telah banyak membunuh tentara dengan parangnya. Tentara akan gentar dan lari lintang pukang bila berhadapan dengannya,” kenang Hasjim sebagaimana ditulis A.A. Navis dalam Pasang Surut Pengusaha Pejuang—Otobiografi Hasjim Ning . Seiring arak-arakan tentara itu berlalu, Hasjim yang ketika itu masih remaja tanggung bergerombol bersama rakyat lainnya di tepi jalan. Orang-orang pun saling lempar cerita, bahwa Si Patai sebetulnya kebal. Dan peluru yang menembus tubuhnya telah dilumuri minyak babi. Hingga ini hari, nama Si Patai masih hidup di kalangan rakyat Padang. Sastrawan A.A Navis pernah mengangkat lakon Si Patai dalam cerpen Kabut Negeri Si Dali . Dalam kisah fiksi itu, Navis “menyelamatkan” Si Patai ke Malaysia. Sekaligus “mempermalukan” Belanda, bahwa yang diarak itu sebetulnya kepala Ujang Patai, yang hanya seorang banci.

  • Kisah Persahabatan Haji Rasul dengan Kyai Ahmad Dahlan

    KERETA api dari Surabaya tiba di Yogyakarta. Dari sekian banyak penumpang yang turun, muncul sesosok laki-laki yang penampilannya cukup menarik perhatian. Di dadanya tersemat empat huruf Arab: ha , ain , kaaf , dan hamzah . Kyai Haji Ahmad Dahlan yang sedari tadi menanti di stasiun Tugu langsung menyongsong laki-laki tersebut. Pimpinan Muhammadiyah itu mengetahui, bahwa HAKA –potongan-potongan huruf itu– merupakan inisial tulisan Haji Abdul Karim Amrullah di majalah Al-Munir . “Tidaklah huruf-huruf itu yang jadi perhatian K.H.A Dahlan ketika dia turun tangga kereta api. Melainkan terbusnya, celana pantalon dan baju setengah tiang (baltu) hitam, kaca mata dan tongkat. Berbeda dengan pakaian kebanyakan kyai di Jawa di masa itu,” kata Kyai Raden Haji Hajid, sebagaimana dikutip Hamka dalam Muhammadiyah di Minangkabau . Abdul Karim alias Inyiak Rasul atau Haji Rasul adalah ayah Buya Hamka. Dia kawan seperguruan Ahmad Dahlan. Meski tidak seangkatan, mereka pernah sama-sama berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, imam besar Masjidil Haram di Mekah. “Menurut keterangan yang penulis dapat terima dari Kyai Raden Haji Hajid, kedatangan Syaikh Abdul Karim menjadi tetamu K.H.A Dahlan di Yogya tahun 1917 itu diterima dengan gembira oleh kyai dan murid-muridnya,” tulis Hamka. Tiga hari tiga malam Haji Rasul jadi tamu di Kauman. Dia saksikan langsung bagaimana kawannya memimpin pengajian Muhammadiyah yang kala itu baru berumur lima tahun. Bahagia betul dia melihat semangat Dahlan. Peti-peti bekas dijadikan bangku untuk belajar. Sempat pula dia melihat Ahmad Dahlan mengajar agama Islam di sekolah modern Kweekschool Gouvernement, yang belakangan jadi inspirasi buatnya membuat sistem pendidikan yang sama. Masa itu Dahlan minta izin menyalin tulisan-tulisan Haji Rasul di majalah Al-Munir ke dalam bahasa Jawa untuk disebar-ajarkan kepada murid-muridnya. “Kyai Ahmad Dahlan di Yogyakarta adalah salah seorang langganan dan pembaca setia majalah Al-Munir yang terbit di Padang. Begitu cerita Raden Haji Hajid,” ungkap Hamka. Sementara itu Dahlan sudah pula banyak mendengar kisah baik tentang Sumatera Thawalib di Padang Panjang, sekolah Islam modern pertama di Hindia Belanda. Dalam perjumpaan itu, Dahlan mendengar langsung pengalaman Haji Rasul memimpin pengajian surau Jembatan Besi sejak 1901 hingga menjadi Sumatera Thawalib pada 1912. Pada 8 Desember 1921, empat tahun kemudian, Dahlan mengubah pengajian Muhammadiyah di Kauman menjadi sekolah Pondok Muhammadiyah. “Inilah untuk pertama kalinya Muhammadiyah membuka sekolah,” tulis Saleh Putuhena, mantan Rektor UIN Alauddin Makassar dalam Historiografi Haji Indonesia . “Untuk menjamin mutu pendidikan, pengajar pengetahuan umum dipercayakan kepada orang-orang yang ahli di bidangnya, ilmu pengetahuan agama diajar oleh Ahmad Dahlan dan Raden Haji Hajid.” Tak hanya Dahlan yang terinspirasi. Pada 1918, setahun pasca lawatannya ke Jawa, Sumatera Thawalib membangun gedung baru. Ruang-ruang kelas dilengkapi bangku dan meja, serupa dengan sekolah “modern” yang dikelola Belanda. Agaknya Haji Rasul terinspirasi ketika melihat Ahmad Dahlan mengajar agama Islam di Kweekschool Gouvernement di Yogyakarta. Semenjak itu, menurut sejarawan Taufik Abdullah dalam School and Politics, The Kaum Muda Movement in West Sumatera 1927-1933, meski sebelumnya sudah ada kurikulum berjenjang kelas, kegiatan belajar mengajar di Sumatera Thawalib tidak lagi halaqah (duduk bersila; murid melingkar guru).

  • Setengah Abad Wujudkan Subway di Jakarta

    Pembangunan Mass Rapid Transit (MRT) atau sistem kereta massal cepat di Jakarta memasuki tahap konstruksi skala besar di jalur Fatmawati-Blok M pada Maret 2015. MRT terdiri dari dua jenis jalur: melayang dan bawah tanah. Jika terwujud, jenis jalur terakhir bakal menjadi hal baru di Jakarta. Ia sebelumnya hanya berupa rencana sejak 1964. Soemarno, gubernur DKI Jakarta (periode 1960-1964 dan 1965-1966), pernah berencana membangun lintasan kereta api bawah tanah ( subway ) pada Februari 1964. Menurut dia, jalur kereta api bawah tanah sangat cocok berada di dalam kota, sedangkan jalur di permukaan hanya cocok berada di luar atau pinggiran kota. “Karena menimbulkan kemacetan lalu-lintas,” tulis Djaja, 15 Februari 1964. Soemarno juga mempertimbangkan peningkatan jumlah penduduk Jakarta. Kota ini hanya berpenghuni 800.000 jiwa pada 1944, tetapi naik drastis menjadi 3 juta jiwa pada 1964. Lalu-lintas pun bertambah ramai. “Kebutuhan pengangkutan karenanya dengan sendirinya menjadi bertambah besar,” kata Soemarno. Sarana jalan masih terbatas. “Jalan-jalan utama… belum diperlebar di tahun 1960-an,” tulis Firman Lubis dalam Jakarta 1960-an . Angkutan umum juga kurang memadai. Bus terbatas dan menaikinya pun tidak nyaman. Naik trem apalagi; selalu penuh. Kemacetan mulai membiasa di ibukota. Soemarno memilih mengembangkan moda kereta api untuk mengurangi kemacetan. Dia melihat pengguna kereta api sangat tinggi. “Menurut angka-angka terakhir jumlah penumpang kereta api pada lintas-lintas di Jakarta Raya adalah lebih kurang 80.000 orang sehari,” kata Soemarno. Ini setara dengan daya angkut 2.650 bus. Seiring pembaruan fungsi Stasiun Gambir dan Senen, Soemarno memandang perlu meremajakan jalur kereta api permukaan di sepanjang Manggarai-Gambir-Jakarta Kota (berjarak 9 kilometer) dan Jatinegara-Senen-Jakarta Kota (10 kilometer). Dia hendak mengganti jalur permukaan itu menjadi jalur bawah tanah. Untuk menghubungkan jalur kereta api di Jakarta dengan luar Jakarta, Soemarno menetapkan Jakarta Kota dan Manggarai sebagai stasiun pusat untuk kereta penumpang. “Yang pertama untuk penumpang dari Cirebon, Rangkasbitung, dan Tangerang; yang kedua untuk penumpang-penumpang dari Bandung dan Bogor,” kata Soemarno. Para penumpang dari luar kota bisa melanjutkan perjalanan ke dalam kota melalui jalur bawah tanah. Dengan demikian “kereta api sebagai alat pengangkutan massal dan murah dapat dipertahankan dengan tidak menimbulkan gangguan-gangguan pada lalu-lintas.” Namun dua periode masa jabatannya, Soemarno gagal mewujudkan rencananya. Ali Sadikin, gubernur DKI Jakarta periode 1966-1977, lebih menekankan perbaikan transportasi bus umum (Perusahaan Pengangkutan Djakarta/PPD) ketimbang mewujudkan jalur kereta api bawah tanah. Sempat hilang puluhan tahun, rencana pembangunan kereta api bawah tanah mengemuka lagi pada 1986. Soeprapto, gubernur DKI Jakarta periode 1982-1987, dan pemimpin Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka) berniat mengubah jalur kereta api permukaan. Pilihannya dua: melayang atau bawah tanah. Mereka memilih rel layang. “Rel layang dipilih karena biaya pembuatannya murah,” tulis Kompas, 13 Februari 1986. Saat rel layang resmi beroperasi pada 1992, Sealand International Group, perusahaan besar dari Hong Kong, berminat membangun jalur kereta api bawah tanah di Jakarta dan beberapa kota lainnya. Sejumlah gubernur menyambut gembira kabar itu. Tapi krisis ekonomi menerpa Indonesia pada 1997. Rencana pembangunan pun menguap lagi. Setelah kegagalan berulang-ulang, pembangunan jalur kereta api bawah tanah di Jakarta mulai terlaksana pada 10 Oktober 2013 saat pemerintah provinsi DKI Jakarta meresmikan pembangunan MRT.

  • Sekolah Rakyat Padang Panjang

    SETELAH penangkapan orang-orang radikal di Sumatera Thawalib pada 1924, aktivis PKI mendirikan Sekolah Rakyat (SR) di Padang Panjang. “Sekolah ini mengikuti pola sekolah yang didirikan Tan Malaka di Semarang,” tulis Audrey Kahin dalam Dari Pemberontakan ke Integrasi . Di SR Padang Panjang inilah organisasi kepemudaan PKI, mulai dari Sarekat Rakyat dan Barisan Muda berkantor pusat. Menurut Gubernur Sumatera Barat G.F.E Gonggrijp, organisasi ini berbasis di sekolah-sekolah. Baik milik pemerintah maupun swasta. “Selain Padang Panjang, seksi-seksi yang paling penting adalah seksi Koto Laweh, Gunung Bunga Tanjung, Silungkang, Solok dan Tiakar-Dangung Dangung, Payakumbuh,” dilansir dari memori serah terima jabatan Gubernur Gonggrijp. Di Dangung Dangung, tiga orang pelajar; Damanhuri Jamil, Suhaimi Rasjad, dan Leon Salim dipecat dari sekolah menengah pemerintah pada April 1925 karena berusaha mendirikan cabang Barisan Muda di sekolahnya. Ketiganya lalu pindah masuk SR Padang Panjang. Dan ditunjuk menjadi anggota dewan pusat Barisan Muda Sumatera Barat. “Anggota Barisan Muda di Padang Panjang sangat aktif,” kenang Leon Salim dalam Proyek Penulisan Riwayat Perjuangan Perintis Kemerdekaan . Leon menceritakan, setiap akhir pekan mereka berkunjung ke cabang-cabang yang ada di Sumatera Barat. Membawa serta sejumlah surat kabar Pemandangan Islam , Djago-Djago! yang diterbitkan para pemimpin mereka. Kongres PKI 1925 memutuskan bahwa Barisan Muda berganti nama jadi Internationale Padvinder Organisatie (IPO) atau Organisasi Pandu Internasional. “Organisasi ini serupa Pramuka. Berseragam dan berlatih secara teratur,” tulis M. Junus Kocek dan Leon Salim dalam Pergerakan Pemuda Minangkabau . IPO punya slogan “Pemuda sedunia bersatulah!”. Nyaris mirip slogan komunis internasional, “Kaum buruh sedunia bersatulah!”. IPO Padang Panjang menerbitkan koran Signaal . Damanhuri Jamil menjadi ketua wilayah dan Leon Salim yang berumur 13 tahun jadi sekretaris. Di samping Padang Panjang, komunis tumbuh subur di Silungkang yang berjarak sembilan mil dari kota tambang, Ombilin Sawahlunto. Maka pada September 1925, IPO menggelar rapat umum Pandu Internasional Silungkang. Di Silungkang ada tokoh seorang saudagar terkemuka bernama Sulaiman Labai. Pada 1915, dia mendirikan Sarekat Islam (SI) Silungkang. SI cabang Silungkang berubah jadi Sarekat Rakyat pada 1924. “Sebagian besar anggotanya ikut dengan para pemimpin mereka masuk menjadi anggota organisasi komunis ini,” tulis Abdul Muluk Nasution dalam Pemberontakan Sarekat Rakyat . Sarikat Rakyat menerbitkan koran Suara Tambang dan jurnal bulanan Panas . Pemerintah Hindia Belanda galau. Nawawi Arief, editor Suara Tambang ditangkap pada 1924 dan disusul penangkapan Idrus, editor Panas pada 1925. Keduanya dituduh melanggar undang-undang pers. Penangkapan ini justru memicu perlawanan. Anggota serikat buruh tambang naik jadi tiga ribu orang. Pembaca Suara Tambang naik jadi sepuluh ribu. “Gerakan komunis di Silungkang, tetap berpedoman kepada kepemimpinan di Padang Panjang,” tulis Kahin. Berdasarkan keputusan Prambanan, 25 Desember 1925, orang-orang komunis di Minangkabau melakukan kegiatan bawah tanah. Mendirikan bengkel-bengkel kecil di daerah-daerah terpencil. Membuat bom rakitan dan granat tangan serta senjata-senjata sederhana lain, dalam mempersiapkan pemberontakan yang akan datang.

  • Minang Kiri Sebelah Bofet Merah

    KANTIN itu masih kantin yang dulu. Satu-satunya kantin di lingkungan Perguruan Thawalib Padang Panjang, Sumatera Barat. “Dulu, kantin ini namanya Bofet Merah,” kata A. Rahman Yusuf, Ketua Yayasan Perguruan Thawalib, saat berbincang dengan Historia di depan kantin tua yang kini berganti nama jadi Kantin Jujur. Bofet berasal dari bahasa Perancis, buffet . Artinya rak yang berdiri di ruangan makan, tempat menyimpan makanan untuk disajikan. Entah bagaimana pangkalnya, sampai hari ini, selain lapau, urang awak menyebut kedai atau warung makan dengan sebutan bofet. “Bofet Merah itu tak hanya nama kedai. Tapi juga nama organisasi. Semacam koperasinya anak-anak Thawalib. Menjual kopi, dan aneka kebutuhan harian,” kenang Rahman. Di kantin inilah persemaian bibit komunisme di ranah Minang bermula. Kantin tersebut pernah menjadi markas orang-orang kiri. Djamaludin Tamim dalam Sedjarah PKI menulis, organisasi Bofet Merah berdiri lima hingga enam bulan sebelum lahirnya Partai Komunis Indonesia (PKI) di Semarang pada 1920. Orang-orang Bofet Merah menerbitkan dua surat kabar, Djago-Djago! dipimpin Natar Zainuddin dan Pemandangan Islam yang pemimpin redaksinya Datuak Batuah. Donatur utama dua surat kabar tersebut Abdullah Basa Bandaro, seorang saudagar di Padang. Dia termasuk orang yang membawa Sarikat Islam ke Sumatera Barat. “Pada awal tahun 1923 Datuk Batuah melawat ke Jawa dan juga ke Sigli. Di Jawa ia bertemu dengan Haji Misbach, tokoh Islam-komunis yang menarik perhatiannya karena mengadopsi komunis ke dalam Islam,” tulis Mestika Zed dalam Pemberontakan Komunis Silungkang 1927: Studi Gerakan Sosial di Sumatera Barat . Tahun itu juga organisasi Bofet Merah menjelma jadi PKI cabang Padang Panjang. Posisi ketua dijabat Datuak Batuah. Sekretaris dan bendahara dijabat Djamaludin Tamim. Keduanya tokoh muda dan guru Sumatera Thawalib. “Maka mulailah pelajaran di Thawalib mendapat jiwa baru, jiwa Islam yang revolusioner,” tulis Hamka dalam Kenang-Kenangan HidupJilid I . Paham ini lekas menyebar. Menurut Hamka, masa itu di Padang Panjang sering dijumpai kelompok-kelompok pemuda menyanyikan lagu Internasinale , 1 Mei , Kerja 6 jam sehari dengan bersemangat. Termasuk dirinya. Bagi mereka, komunis sesuai dengan ajaran Islam. Sama-sama antipenindasan. Sama-sama membela kaum mustada’afin , kaum yang tertindas atau kaum proletar dalam terminologi Marxist. Sumatera Thawalib didirikan dan dipimpin Haji Rasul, ayah Buya Hamka pada 1912. Diakui sebagai sekolah modern Islam pertama di Indonesia. Perpustakaan di sekolah ini, selain mengoleksi kitab-kitab agama, juga buku-buku politik, ekonomi, sosial dari macam-macam negara. Dan juga, “berlangganan surat kabar dari berbagai negeri,” tulis Datuk Palimo Kajo dalam Sedjarah Perguruan Thawalib Padang Pandjang . Nah, berita-berita tentang revolusi Bolshevik 1917 di Rusia, yang ramai diulas suratkabar masa itu, menjadi bacaan dan buah bibir di Thawalib. Menurut guru besar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Padang, Mestika Zed, orang-orang di Sumatera Thawalib sudah mempelajari marxisme sejak awal abad 20. “Langsung dari buku berbahasa aslinya. Bukan terjemahan,” katanya kepada Historia di Padang Panjang, tempo hari.

  • Seteru Sang Guru

    HAJI Rasul risau. Pemimpin Sumatera Thawalib Padang Panjang itu tidak sependapat dengan komunisme. Dia berpandangan, komunis sebenarnya hendak menghilangkan agama dengan cara menunggangi agama. “Suatu hari pada 1923, Haji Rasul berdebat sengit dengan Datuak Batuah dan murid-murid Thawalib yang pro komunis. Perdebatan itu menghilangkan wibawa Inyiak Rasul di depan murid Thawalib,” kata Ketua Alumni Thawalib Padang Panjang, Yan Hiksas kepada Historia . Selepas itu, entah dari mana ujung pangkalnya, tiba-tiba beredar desas-desus bahwa Datuk Batuah dan Natar Zainuddin bersekongkol dengan para penghulu adat untuk memberontak terhadap pemerintah dan membunuh orang-orang Eropa, termasuk asisten residen Padang Panjang. “November 1923, Belanda mengirim satu detasemen polisi bersenjata ke Koto Laweh untuk menangkap Datuk Batuah dan Natar Zainudin,” tulis Audrey Kahin dalam buku Dari Pemberontakan Ke Integrasi . “Setelah ditahan di Padang selama sekitar setahun, keduanya diasingkan ke Timor dan kemudian dipindahkan ke Boven Digul pada awal 1927.” Desember 1923, giliran Djamaludin Tamin yang ditangkap karena artikel-artikelnya di Pemandangan Islam memprotes penangkapan rekan-rekannya. Ia dijatuhi hukuman dua tahun penjara pada Mei 1924. Menjalani hukuman selama lima belas bulan di penjara Cipinang, Jakarta dan dibebaskan pada September 1925. “Para siswa Sumatera Thawalib menyalahkan Haji Rasul karena penangkapan guru-guru muda mereka,” tulis Kahin. Puncaknya, Haji Rasul undur diri dari Thawalib. Dia pulang kampung ke Maninjau. Awal 1925 Haji Rasul ke Jawa menemui menantunya, AR. Sutan Mansur yang telah menjadi pemuka Muhammadiyah di Pekalongan. Bulan Juni dia kembali ke Minang. Dan, langsung gencar mempropagandakan Muhammadiyah di setiap dakwahnya. Perkumpulan Sendi Aman yang didirikannya di Sungai Batang, Tanjung Sani, Maninjau, atas persetujuannya menjadi Muhammadiyah cabang Maninjau. Ketuanya Haji Yusuf Amrullah, adiknya. “Boleh dikatakan inilah cabang pertama Muhammadiyah di Sumatera dan di luar Jawa,” tulis Hamka dalam Ayahku: Riwayat Hidup DR. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera . Atas arahannya, pada 20 Juni 1925 murid-murid Sumatera Thawalib Padang Panjang asal Maninjau mendirikan kelompok Tabligh Muhammadiyah. Jamaluddin Sutan dan Makmur Salim bertindak sebagai ketua dan sekretarisnya. “Mereka menerbitkan Khatib al-Ummah . Inilah jurnal Muhammadiyah pertama di daerah ini,” tulis Burhanuddin Daya dalam Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam: Kasus Sumatera Thawalib . Meski menyokong Muhammadiyah, sepanjang hayatnya, Haji Rasul tidak pernah tercatat sebagai anggota, apalagi menjadi pengurus. Dia hanya lakon balik layar. “Haji Rasul melihat Muhammadiyah bagaikan sebuah kendaraan yang bisa ia tumpangi untuk lebih mempercepat gerakan pembaruannya,” tulis Tamrin Kamal dalam Purifikasi Ajaran Islam pada Masyarakat Minangkabau . Basis-basis Muhammadiyah kian meluas. Akan tetapi, komunisme tak kalah hebat. Dalam laporan untuk gubernur jenderal, 23 Juli 1924, penasehat pemerintahan, R. Kern mencatat, komunisme kian subur. “Walaupun Asisten Residen Whitklau telah mengemukakan bahwa pergerakan perlawanan akan padam setelah tertangkapnya Datuk Batuah dan Zainudin, ternyata enam bulan setelah penangkapan itu, orang komunis lebih banyak dari yang sudah-sudah,” tulis Kern dalam laporan berjudul Voorstel om Natar Zainuddin en Hadji Datoeq Batoewah te Interneren, Adviz aan G.G .

  • Tinju Kiri Ali di Jakarta

    Pertarungan Muhammad Ali yang paling diingat publik adalah ketika dia menghadapi Joe Frazier pada 8 Maret 1971 di New York, Amerika Serikat. Ali kalah dalam pertandingan bertajuk “Pertarungan Abad Ini” untuk kali pertama setelah menang 31 kali berturut-turut. Gelar juara dunia kelas berat pun lepas dari genggamannya. Publik menanti pertarungan Ali-Frazier selanjutnya. Sebagai pemanasan melawan Frazier, Ali menjalani satu pertandingan di Jakarta. Promotor Raden Sumantri berhasil menggelar pertandingan Ali melawan Rudi Lubbers, juara tinju kelas berat asal Belanda. Awalnya akan dilaksanakan di Surabaya pada 14 Oktober 1973, tapi pertandingan dialihkan ke Stadion Utama Gelora Bung Karno pada 20 Oktober 1973. Ali dielu-elukan bak pahlawan terutama karena dia seorang muslim. Dia juga dianggap representasi pahlawan bagi bangsa-bangsa Dunia Ketiga. “Lubbers jelas menjadi representasi kolonialisme Belanda, dan orang-orang Indonesia bersemangat melihat kemenangan politik mereka terulang di atas ring,” tulis Julio Rodriguez, “Documenting Myth” dalam Sports Matters: Race, Recreation, and Culture suntingan John Bloom dan Michael Nevin Villard. Secara teknis, Ali tidak dalam kondisi terbaik. Persiapannya hanya sepuluh hari. Ali tidak meremehkan reputasi Lubbers sebagai kuda hitam. Seperti kebiasaannya mengumbar omongan kepada pers sebelum bertanding, Ali sesumbar akan menumbangkan Lubbers di ronde kelima. Pertandingan disiarkan secara internasional. Pertandingan nongelar ini tetap menarik khalayak ramai. Tiket yang dibanderol Rp1.000 sampai Rp27.500 ludes terjual. “Salah satu hal yang paling diingat dari pertandingan ini adalah kapasitas Ali yang mampu menarik perhatian khalayak internasional. 35.000 orang Indonesia datang untuk menonton. Ditambah pameran tentang Ali yang ikut menarik 45.000 orang untuk datang melihat-lihat,” tulis David West dalam The Mammoth Book of Muhammad Ali . Panitia berharap acara terselenggara dengan lancar tanpa kendala. Salah satunya yang diantisipasi adalah hujan. Solusinya pawang hujan. Sudah menjadi tradisi di Indonesia, mulai dari acara kecil seperti hajatan sampai acara berskala internasional, sang pengendali air diminta menunjukkan kemampuannya menghalau hujan. "Penyelenggara sempat mengundang pawang hujan dari Aceh, Banten, Jawa Tengah, dan Maluku," tulis Julius Pour dalam  Dari Gelora Bung Karno ke Gelora Bung Karno .     Seperti telah diperkirakan, pertandingan berjalan berat sebelah. Ali mempermaikan Lubbers habis-habisan sampai hidungnya patah dan mata kanannya bengkak. Lubbers bertahan selama 12 ronde. Ali menang angka, bukan knock out seperti sesumbarnya. “Ali harus mengakui bahwa Lubbers lebih tangguh daripada yang dia pikirkan. Begitu pula Rudi yang merasa sudah memberikan yang terbaik yang dia bisa, dan percaya bahwa Ali juga melakukan hal yang sama di pertandingan itu. Pertarungan dengan Ali memberikan Lubbers 15 menit ketenaran. Dia akhirnya kembali ke jalur kejuaraan Eropa,” tulis Joe Ryan dalam Heavyweight Boxing in the 1970’s: The Great Fighters and Rivalries . Ali meraih kemenangan dengan mudah; mayoritas hanya dengan tinju kirinya. Ketika ditanya mengapa dia hanya mengandalkan tangan kiri, Ali menjawab sambil mengepalkan tangan kanan, “Saya harus menyimpan ini untuk Joe Frazier.” Ali kembali melawan Joe Frazier di New York pada 28 Januari 1974. Dia berhasil membalas kekalahan sebelumnya dengan menang angka. Pada 30 Oktober 1974, Ali kembali menjadi juara dunia kelas berat setelah menumbangkan George Foreman dalam pertarungan sengit di Kinshasa, Zaire. Setelah gantung sarung tinju, Ali masih sempat beberapa kali berkunjung ke Indonesia untuk menyapa penggemarnya.

  • Yasuke Si Samurai Hitam

    Pada 1581, massa di Kyoto melabrak rumah misionaris Jesuit, Alessandro Valignano, karena ingin melihat budak yang dibawanya dari Mozambik, Afrika Selatan. Beberapa orang terluka, bahkan ada yang tewas, saking antusias melihat budak itu. Kejadian itu sampai ke telinga Oda Nobunaga (1534-1582), seorang daimyo (tuan tanah-pendekar) Provinsi Owari sekitar Nagoya, yang tengah berdiam di Kyoto. Dia dan pengikutnya menaklukkan sepertiga wilayah Jepang dari kekuasaan para tuan tanah feodal untuk mempersatukan Jepang di bawah panji satu pemerintahan. “Karena merasa dipermalukan oleh insiden tersebut, Oda Nobunaga sendiri yang memanggil si budak Afrika, memeriksanya dengan saksama untuk memastikan bahwa warna kulitnya asli, menghadiahkannya uang, dan menjadikannya pelayan,” tulis Gary P. Leupp dalam Interracial Intimacy in Japan: Western Men and Japanese Women, 1543-1900 . Nobunaga menyematkan nama “Yasuke”, yang artinya kurang lebih “orang berkulit hitam.” Keberadaan Yasuke tercatat dalam beberapa catatan sezaman. Kronik tentang Nobunaga, Shinchokoki , mendeskripsikan pertemuan pertama Yasuke dengan Nobunaga. Saat itu Yasuke berusia 26 atau 27 tahun, tubuhnya hitam legam, kuat, dan bisa sedikit berbahasa Jepang. Tingginya sekitar 188 cm, sangat mencolok bagi ukuran orang Jepang kala itu. Yasuke diizinkan mengenakan baju samurai dan membawa senjata perang Nobunaga dalam beberapa pertempuran. Meski menjalani hidup layaknya samurai, Yasuke tidak memiliki tanah. Dia seorang samurai hanya sebatas nama. Penghambaan Yasuke berakhir ketika Akechi Mitsuhide, panglima Nobunaga, berkhianat dan memaksa Nobunaga melakukan seppuku , ritual bunuh diri, pada Juni 1582. Yasuke akhirnya dilepaskan karena Mitsuhide menganggapnya orang asing yang tak tahu apa-apa. Beberapa kronik menyebutkan dia kemudian diserahkan kembali kepada para misionaris Jesuit. Setelah itu, nama Yasuke menghilang dari sejarah. Karena pengkhianatannya, Mitsuhide tewas sebelas hari kemudian oleh panglima Nobunaga yang lain, Toyotomi Hideyoshi. Baru pada masa kepemimpinan sekutu Nobunaga lainnya, Tokugawa Ieyasu, Jepang dipersatukan di bawah panji Dinasti Tokugawa yang berlangsung selama 250 tahun –dikenal dengan nama Zaman Edo (1603-1867). Pada masa ini, orang-orang kulit hitam kembali berdatangan. Sebagian besar diperdagangkan sebagai budak oleh orang-orang Belanda melalui jaringan dagang VOC. Selama Zaman Edo, sebagian kecil dari mereka bahkan menetap di pos dagang Belanda di Pulau Deshima. “Seperti Yasuke, beberapa orang Afrika ditempatkan oleh para tuan tanah dalam beragam kapasitas, sebagai prajurit, penembak, pemusik, dan penghibur,” tulis John G. Russell, “The Other Other: The Black Presence in the Japanese Experience”, termuat dalam Japan’s Minorities: The Illusion of Homogeneity suntingan Michael Weiner. Kisah hidup Yasuke menginspirasi lahirnya buku cerita anak-anak tentang seorang samurai berkulit hitam yang mengabdi pada Nobunaga. Judulnya Kuro-suke , yang ditulis Kurusu Yoshio pada 1960-an. Kuro-suke kemudian memicu terbitnya buku-buku bacaan historis untuk anak-anak serupa di Jepang. Kisah Yasuke akan diangkat ke layar lebar yang akan diperankan oleh Chadwick Boseman, Sang Raja Wakanda dalam film Black Panther. Film ini akan digarap oleh Eric Feig's Picturestart, De Luca Productions, Solipsist Films, dan X●ception Content. Dalam data filmografi di  imdb.com disebut Yasuke menjadi film terakhir Chadwick Boseman dalam status  pre-production.  Selain akan memerankan Yasuke, Chadwick Boseman juga menjadi produser. Sayangnya, Chadwick Boseman meninggal pada 29 Agustus 2020 di usia 43 tahun karena kanker. Tulisan ini diperbarui pada 29 Agustus 2020 .

  • Perintis Gagasan Wawasan Nusantara

    MOCHTAR Kusuma-Atmadja, pakar hukum laut dan internasional, berulangtahun ke-86 pada 17 Februari lalu. Rambut Mochtar sudah putih semua dan kesehatannya sering turun. Kalau keluar rumah, Mochtar harus menggunakan kursi roda. Tapi perhatian Mochtar pada hukum, laut, dan generasi muda Indonesia belum jua menurun. Soal perhatiannya pada generasi muda itu dibenarkan oleh Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia. “Saya bertemu Pak Mochtar kali pertama pada 1991. Setelah pertemuan itu, Pak Mochtar sering bilang kamu harus memikirkan generasi muda. Mereka harus berilmu. Tanpa ilmu, negara ini akan runtuh,” kata Hikmahanto menirukan Mochtar pada peluncuran biografi Mochtar Kusuma-atmadja Rekam Jejak Kebangsaan Mochtar Kusuma-Atmadja , Sabtu siang, 28 Februari di Hotel Dharmawangsa, Jakarta. Sementara itu mantan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda menilai Mochtar sebagai sosok yang memiliki perhatian khusus pada regenerasi di lingkungan Departemen Luar Negeri dan  menekankan pentingnya mereka memahami gagasan Wawasan Nusantara. Namun dia menyayangkan “macetnya kaderisasi” dan rendahnya pemahaman Wawasan Nusantara tersebut. Mochtar menggagas konsep Wawasan Nusantara pada 1957. Ini bermula dari kejeliannya melihat celah dalam pasal 1 ayat 1 Teritoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie (TZMKO, Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim). Undang-undang laut itu buatan Belanda pada 1939, tapi bertahan hingga Indonesia merdeka. Menurut TZMKO, laut Indonesia hanya berjarak 3 mil dari garis pantai. Di luar jarak 3 mil, termasuk laut internasional. Kapal-kapal asing bebas berlayar. Sementara pulau-pulau Indonesia jadi terpisah, tak menjadi kesatuan. Untuk mengganti TZMKO, Mochtar mengajukan gagasan bahwa Indonesia berhak atas wilayah laut bagian dalam. Mochtar ingin mengintegrasikan wilayah laut dengan daratan: tanah-air. Agar pulau-pulau Indonesia tak terpisah oleh laut, dia mengemukakan perhitungan batas laut baru. Mochtar menghitung batas laut Indonesia menjadi 12 mil dari garis pantai. Gagasan ini belum pernah terpikirkan oleh para ahli hukum laut sebelumnya. “Ini pemikiran revolusioner,” kata Hassan.  Mochtar memperjuangkan gagasan sampai ke Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Semua melalui jalur legal dan konstitusional. Tanpa sebutir peluru pun keluar. “Sebab Pak Mochtar orang yang percaya pada kekuatan hukum. Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat; bisa memberi kemaslahatan bagi bangsa,” kata Hikmahanto. Perjuangan Mochtar tak mudah. Negara-negara maju bersatu menolak gagasannya. “Sebab gagasan ini bisa membatasi kebebasan mereka di laut lepas,” kata Menteri Koordinator Bidang Maritim Indroyono Soesilo dalam sambutannya. Tak heran Mochtar butuh waktu 25 tahun untuk meyakinkan negara-negara maju agar menerima Wawasan Nusantara. Perjuangan Mochtar berbuah pada 1982. PBB menerima konsep Wawasan Nusantara. “Ini membuktikan keyakinan Pak Mochtar bahwa hukum bisa memberi kemaslahatan dan membuktikan pada dunia bahwa putra-putri Indonesia tak hanya bisa membuat undang-undang di negaranya sendiri, tapi juga di dunia,” tutur Hikmahanto. Presiden Indonesia periode 2009-2014 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga memberikan sambutan dalam peluncuran buku Mochtar mengatakan penerimaan masyarakat internasional terhadap Wawasan Nusantara tak lepas dari peran Mochtar. “Beliau memadukan konsep hard dan soft power menjadi smart power . Beliau bisa tegas dan bisa pula sangat halus dalam berjuang… Kita patut memberi penghargaan setinggi-tingginya,” kata SBY   Hingga sekarang gagasan Mochtar masih bertahan. Bahkan Hikmahanto berniat mengembangkannya. “Sekarang kita mesti berpikir bagaimana konsep negara kepulauan bisa menjadi alat tawar diplomasi,” pungkasnya.

  • Amat Jantan Indonesia

    AMAT, salah seorang anggota barisan pembantu prajurit Jepang ( Heiho ) di Angkatan Laut, dipuja bak pahlawan. Kisah keberanian dan pengorbanannya dipropagandakan melalui drama, film, hingga lagu. Pemerintah pendudukan Jepang memobilisasi para pemuda untuk bergabung dengan pasukan-pasukan semimiliter. Salah satunya Heiho , yang dibentuk pada April 1943. Syaratnya, pemuda berusia 18-25 tahun, berbadan sehat, berkelakuan baik, dan pendidikan minimal sekolah dasar. Mereka dijanjikan akan ditempatkan di Angkatan Darat dan Angkatan Laut Jepang. Nyatanya, Heiho dimaksudkan untuk membantu pekerjaan-pekerjaan kasar di kesatuan-kesatuan angkatan perang Jepang. “Oleh karena barisan Heiho ini adalah barisan tenaga pekerja, maka umumnya tidak diberi senjata kepada mereka, kecuali satu taikeng (sangkur) yang merupakan satu bagian mutlak dari pakaian seragam yang lengkap,” tulis O.D.P. Sihombing dalam Pemuda Indonesia Menantang Fasisme Djepang . Para Heiho kemudian diberi senjata ketika Jepang semakin terdesak oleh Sekutu. Mereka berperang bersama para serdadu Jepang. Dari sinilah kisah Amat, yang kemudian dikenal dengan sebutan “Amat Heiho Jantan Indonesia”, bermula. Amat terkenal ketika Sekutu berusaha merebut Balikpapan pada 21 Mei 1945 –sumber lain menyebut di Tarakan, Kalimantan. Amat dipropagandakan Jepang sebagai “teladan dan keberanian yang tiada tandingannya, yaitu dengan mengorbankan dirinya sebagai torpedo berjiwa menghancurkan kapal-kapal perang musuh,” tulis Bambang Gunardjo dan Lesek Keti Ara dalam Buku Pantjawindhu Kebangkitan Perdjungan Pemuda Indonesia . Kotot Sukardi, pemimpin Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa (POSD) bentukan Departemen Propaganda Jepang ( Sendenbu ), membuat drama “Turut Bersama Amat”. Sandiwara tersebut membawa pesan semangat berjuang bernyala-nyala untuk membenci musuh dan menuntut bela atas kematian Amat. Ia dipentaskan pada 18-22 Juni 1945 secara serentak di Jakarta, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Bondowoso, dan Situbondo. Sebagian pendapatannya disumbangkan untuk keluarga almarhum Amat. Selain drama, kisah Amat dijadikan film propaganda berdurasi 30 menit dan sebuah lagu berjudul “Amat Heiho Jantan Indonesia” yang dinyanyikan di mana-mana. Liriknya: Amat Heiho Jantan Indonesia / Nun di Tarakan membela negara / Mati berjuang tiada tara / Membela negara gagah perwira. Banyak orang menganggap Amat adalah sosok misterius, bahkan fiktif. Namun, menurut M. Sunjata Kardarmadja dan Sutrisno Kutoyo dalam Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Nusa Tenggara Barat , Amat adalah tokoh nyata. Pada Juni 1945, Sukarno menyaksikan penguburan Amat di Tarakan. Kehadiran Sukarno bisa jadi bagian dari propaganda Jepang. Sebab, sebagai konsekuensi kerjasama dengan Jepang, Sukarno kerap terlibat dalam proyek-proyek propaganda Jepang. Terlepas Amat fiktif atau nyata, para pemuda yang bergabung menjadi Heiho diperkirakan 42.000 orang (Jawa 24.873, Timor 2.504, dan 15.000 daerah lain). Bagi orang Jepang, anggota Heiho lebih terlatih dalam kemiliteran daripada tentara Pembela Tanah Air (Peta) yang didirikan pada Oktober 1943, karena kedudukannya sebagai pembantu prajurit Jepang di medan perang. Di antara mereka ada yang memegang senjata antipesawat terbang, tank, artileri, dan pengemudi. Namun tidak seorang pun yang berpangkat perwira karena pangkat itu hanya diberikan untuk orang Jepang. Hal ini berbeda dari tentara Peta.

  • Burung Besi Pertama Buatan Hindia Belanda

    SEBAGAI pewaris NV Merbaboe, perusahaan pemotongan sapi, Khouw Ke Hien ingin mengembangkan usahanya. Dia merasa transportasi darat dan laut kurang efisien. Di sisi lain, dia butuh mengunjungi dan mengawasi cabang-cabang perusahaan di sejumlah kota dalam waktu singkat. Setelah putar otak, dia memutuskan harus punya pesawat sendiri. Pada Maret 1934, dia menghubungi Achmad bin Talim, teknisi pesawat dari Luchtvaart Afdelling, unit Militaire Luchtvaart Dients. Dia pesan pesawat. Kriterianya lumayan berat. Pesawat itu harus mampu terbang jarak jauh dengan kargo seberat 130 kilogram plus dua penumpang. Ia juga mesti bermesin ganda sehingga bisa tetap terbang bila satu mesin mati. Talim mendiskusikan pesanan tersebut dengan kawan-kawannya. Termasuk dengan Laurents Walraven, desainer teknik di Militaire Luchtvaart-Koninklijke Nederlandsch Indische Leger, yang juga punya design workshop sendiri. Keputusannya: mereka terima pesanan itu. Walraven dan Kapten MP Pattist membuat cetak-biru dan desainnya, sementara Talim dan kawan-kawan lainnya yang mengerjakannya. Walraven mendesain pesawat itu dengan performa apik, yang dia namakan Walraven-2. Dua mesin Pobjoy (ada yang menulis Pobyo) Niagara 7 silinder berkekuatan masing-masing 90 tenaga kuda terpasang di kedua sayap. Menurut artikel “Built in the Dutch East Indies” dalam majalah Flight , 28 Februari 1935, dengan mesin itu “pesawat didesain untuk penerbangan jarak jauh –berkisar 1.100 mil di udara.” Aerodinamika mendapat perhatian penting. Walraven-2 berbeda dari kebanyakan pesawat kala itu yang desainnya belum compact dan rendah nilai estetis. Selain bodi ramping, Walraven-2 bersayap tunggal dan rendah –kala itu umumnya pesawat yang ada bersayap ganda dan letak sayapnya tinggi; mesinnya kebanyakan tunggal. Walraven-2 juga dilengkapi cowl (penutup) mesin dan roda dengan bentuk aerodinamis. “Memang baru pertama kali itulah saya membuat penutup mesin bulat begitu,” kenang Talim, sebagaimana ditulis Cartono Soejatman dan Duni Sudibyo, “Made In Bandung Menggegerkan Eropa”, dimuat dalam Kisah Hebat di Udara I . Talim dan kawan-kawannya mengerjakan pembangunan Walraven-2 di bengkelnya, Jalan Pasir Kaliki (Bandung) saban sore sepulang kerja lantaran pesawat tersebut merupakan proyek sampingan. Setelah selesai, giliran Walraven dan Pattist melengkapi pesawat itu dengan komponen-komponen seperti roda pendarat, pipa besi, kabel, dan sebagainya. “Akhirnya pesawat dapat diselesaikan dan kemudian dilakukan uji terbang oleh pilot Belanda, Kapten C Terluin,” tulis majalah milik TNI AU, Suara Angkasa , Januari 2012. Walraven-2 rampung pada akhir 1934 dan menjalani uji terbang perdana pada 4 Januari 1935. Letnan Cornelis Terluin, yang dipercaya mempiloti, mengatakan dalam evaluasinya bahwa hasil uji baik semua. Di pengujung bulan, Walraven-2 mendapatkan registrasi penerbangan PK-KKH. Hien, yang menyukai dunia penerbangan, senang bukan kepalang. “Dia peranakan pertama yang mendapat diploma pilot dari Depertemen Penerbangan Hindia Belanda,” tulis Sam Setyautama dalam Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia . Rencana gila langsung dibuat Hien: terbang ke Eropa (Amsterdam dan London). Banyak orang tak percaya. Walraven-2 belum pernah uji terbang jarak jauh. Tapi Hien bergeming. Pada September 1935, Walraven-2 lepas landas dari Bandara Andir –sekarang Husein Sastranegara. Hien dan Terluin yang memilotinya. Sekira 20 hari kemudian, Walraven-2 mendarat mulus di Bandara Schipol, Amsterdam. Direktur Maskapai Penerbangan Belanda (KLM) Plesman dan Laurents Walraven, yang sudah terbang lebih dulu, ikut menyambut. Plesman sangat tertarik untuk mengoperasikan Walraven-2 ke dalam armada KLM. Dia meminta Walraven memproduksinya dalam jumlah banyak –dengan penambahan kapasitas angkut dan beberapa modifikasi– untuk dijadikan taksi udara. “Pesawat ini adalah mesin yang sangat menarik, dan, jika diproduksi banyak, akan cocok bukan hanya untuk kepentingan pribadi tapi juga untuk tujuan bisnis,” tulis majalah Flight. Namun, rencana produksi massal –yang rencananya akan dibuat perusahaan patungan antara Hien dan Walraven– tak pernah terlaksana akibat kematian Hien dalam kecelakaan pesawat pada 1938. NV Merbaboe kemudian diteruskan adiknya, Khouw Keng Nio, yang juga mengantongi izin pilot.

  • Mat Depok, Sekondan Menteri Keamanan Rakyat

    Nama aslinya Daeran. Lahir tahun 1910. Pernah ditahan Belanda di Pulau Onrust karena merampok. Pada 1935, bebas dari Onrust, dia ke Berland, Matraman. Di sana Daeran bertemu Nyai Emah, perempuan cantik dari Karawang yang jadi “nyainya” orang Belanda. Dengan kepandaiannya, Daeran berhasil mencuri hati Nyai Emah. Si Nyai dibawa kabur ke kampong halamannya di Tanah Baru (kini masuk wilayah Depok –berbatasan langsung dengan Ciganjur, Jakarta Selatan). Jadilah Daeran buronan kompeni. Agar aman, Nyai Emah dititipkan di Pengasinan, Sawangan, di rumah guru silatnya. Pada masa perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Daeran berada di garis depan. Dia berkawan dengan Imam Syafe’i alias Bang Pi’ie, pemimpin para jago di Pasar Senen dengan organisasinya Oesaha Pemoeda Indonesia. Selain di kancah perjawaraan, Daeran dan Bang Pi’ie kawan seperjuangan di Karawang. Para laskar rakyat di Karawang menjuluki Daeran; Mat Depok. Julukan itu dialamatkan kepadanya karena aksi heroik Daeran dalam Peristiwa Gedoran Depok. Pentolan Banteng Merah itu pernah memimpin pemuda menyerbu dan merebut Depok yang tidak mau mengakui proklamasi 17 Agustus 1945. “Sebelum menyerbu Depok (11 Oktober 1945 – red ), orang-orang ngumpul di rumah. Saking ramenya , itu perapatan sampai penuh,” kata Engkong Misar, anak kandung Daeran berbagi kisahke pada Historia . Kini, rumah itu di perempatan tugu Gong Si Bolong, Tanah Baru, Beji, Depok. Dulu, wilayah itu belum masuk Depok. Menurut laporan intelijen Belanda di arsip Algeemeen Secretarie, hari itu orang Depok dipaksa oleh ekstrimis dan rampokkers – begitu bahasa dokumen tersebut–mengibarkan merah putih dan teriak merdeka. Bagi yang melawan dibunuh. Ketika Jakarta dijadikan kota diplomasi menyusul kesepakatan yang diambil Sutan Sjahrir, Daeran ikut hijrah ke Karawang bersama laskar-rakyat di Jakarta dan sekitarnya. Di Karawang, Daeran alias Mat Depok cukup dikenal. “Dulu, di semua daerah yang kita lewati ada aja yang kenal bapak. Walau satu dua orang. Biasanya yang kenal dia itu orang yang berpengaruh di kampong tersebut,” kata Engkong Misar yang saat itu berusia 15 tahun (lahir tahun 1930) dan ikut serta berperang di Karawang. Robert Cribb dalam Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949 beberapa kali menyebut-nyebut nama Camat Nata dan Usman Debot, jawara yang tampil memimpin laskar. Ternyata nama itu dikenal baik oleh Misar. “Itu kawan bapak. Saya kenal. Bahkan saya pernah disuruh mengantar surat oleh Camat Nata.” Suatu hari, dalam sebuah pertempuran, Mat Depok bersama beberapa gerilyawan tertangkap Belanda. Mereka ditahan di penjara Nusa Kambangan. Ketika bebas setelah perang usai, Daeran pulang ke Tanah Baru, hidup bersama pujaan hati, Nyai Emah. Dan kini di dadanya sudah ada tato besar bertuliskan: MAT DEPOK. “Siapa pun yang pernah jumpa Pak Daeran pasti tahu tato itu. Pak Daeran suka pakai jas warna hitam tanpa dalaman. Jadi, tatonya kema-mana,” ungkap Buang Jayadi, Ketua Gong Si Bolong, kelompok kesenian tertua di Depok ketika dijumpai Historia di kediamannya. Tahun 1950-an, sebagaimana dikisahkan Engkong Misar, datang utusan Bang Pi’ie ke rumahnya di Tanah Baru, Depok. Mat Depok diajak berunding oleh Bang Pi’ie untuk sama-sama membantunya di Komando Militer Kota Besar Djakarta Raya. “Dulu bapak ditugaskan Bang Pi’ie menjaga keamanan.” Belakangan, Bang Pi’ie diangkat menjadi Menteri Negara Keamanan Rakyat dalam Kabinet Dwikora oleh Bung Karno. Dan sebagai sekondan lama, Mat Depok lagi-lagi diajak serta. Kini, Mat Depok telah tiada, namun lakon hidupnya masih jadi buah bibir. Setidaknya di kampung halamannya: Tanah Baru, Depok.

bottom of page