top of page

Hasil pencarian

9592 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Dirikan Media, Cara Murba Tangkis Komunis

    SUATU hari, Hasjim Ning, pengusaha nasional berjuluk "Raja Mobil Indonesia" sekaligus kepoanakan Bung Hatta, kedatangan seorang dari Angkatan Darat (AD). Orang itu mengajak Hasjim mendirikan media untuk mengisi kekosongan media-media non-komunis pasca-pembredelan oleh pemerintah pada awal 1960-an.  Hilangnya media-media non-komunis membuat banyak pihak, terutama AD selaku lawan politik PKI, khawatir terhadap semakin menguatnya media-media kiri. Oleh karena itu AD getol mengajak berbagai pihak untuk mendirikan media baru guna mengimbangi media-media kiri. Namun, Hasjim tak bisa memenuhi ajakan tersebut. “Menerbitkan surat kabar penuh mengandung risiko,” kata Hasjim dalam otobiografi berjudul Pasang Surut Pengusaha Pejuang . Pendirian Hasjim baru goyah ketika suatu hari dia didatangi sahabatnya, Waperdam III Chairul Saleh. “Barulah ketika Chairul Saleh membicarakannya, hatiku tergerak,” sambung Hasjim. Penjelasan panjang-lebar Chairul yang merupakan tokoh Murba membuat Hasjim tertarik untuk membuat media cetak. Namun, Hasjim yang buta tentang pers, bingung siapa orang yang bisa dipercayainya untuk memimpin. “Tengku Sjahril bisa. Ia tidak terlibat menentang Bung Karno. Ia dipecat dari Antara karena bertentangan dengan Djawoto,” jawab Chairul. Mendengar nama yang disebutkan Chairul, Hasjim pun lega. Tengku Sjahril merupakan orang yang sudah dikenal Hasjim secara pribadi. Hasjim pun mengundang yang bersangkutan beberapa hari kemudian. Namun, Sjahril tak bisa memberi kepastian saat itu juga apakah bersedia memimpin media yang akan didirikan Hasjim. Dia meminta waktu untuk memikirkan lebih masak. Beberapa nama yang dikenalnya dekat, seperti Marthias Dusky Pandoe, mantan wartawan Abadi , lalu diajaknya bergabung. “Sekitar tahun 1961 saya diajak Tengku Sjahril (mantan Ketua PWI Pusat) mendirikan surat kabar Semesta . Beliau datang sendiri ke rumah saya di kawasan Matraman, Jakarta Timur. Tengku Sjahril berusaha menampung beberapa wartawan surat kabar yang diberangus. Saya diangkat jadi redaktur pelaksana,” ujar Marthias Dusky Pandoe dalam memoar berjudul Jernih Melihat Cermat Mencatat: Antologi Karya Jurnalistik Wartawan Senior Kompas. Bersama Pandoe dan lain-lain, Sjahril kembali ke rumah Hasjim beberapa waktu kemudian sekaligus membawa konsep. Konsep itu matching di kepala Hasjim. “Setelah aku serahkan modal kerja sebagaimana yang aku janjikan, tak lama kemudian terbitlah surat kabar mereka itu. Semesta namanya. Kepada Tengku Sjahril aku pun memberinya sebuah sedan Fiat, agar ia kelihatan representatif sebagai pemimpin redaksi. Dan aku juga menyerahkan sebuah mobil van, yang akan dapat digunakan macam-macam keperluan redaksi dan administrasi oleh Marthias Pandoe,” kata Hasjim. Berbagai cara dilakukan para awak yang bekerja keras mengembangkan Semesta . Antara lain dengan mengajak kenalan-kenalan untuk mengirimkan tulisan. “Saya ingat Buya Mansjur Daud Datuk Palimo Kayo, mantan Duta Besar RI untuk Irak, kami minta mengisi Mimbar Agama setiap hari Jumat di Semesta . Dalam tulisan sekali seminggu itu beliau menggunakan nama samaran Abu Zaim,” kata Pandoe. Sementara Semesta berjalan, Chairul kembali mendatangi Hasjim. Dia minta Hasjim membuat sebuah media baru lagi khusus untuk di Sumatera Barat. “Orang Minangkabau telah mati kutu semenjak PRRI telah dikalahkan. Kepala mereka harus ditegakkan lagi. Di sana mesti ada koran yang antikomunis,” kata Chairul, dikutip Hasjim. Kali ini Hasjim langsung tertarik, namun dia tak tahu siapa yang akan menjalankannya. Beberapa hari kemudian, empat “orang” Chairul, yakni Darmalis ( Antara ); Syaifullah Alimin dan M. Hamidy (dinas penerangan angkatan laut), dan Marthias Pandoe ( Semesta ), bertandang ke rumah Hasjim membawa konsep-konsep yang akan digunakan untuk media baru itu. Hasjim terpikat dengan konsep yang mereka paparkan. Dana untuk modal pun langsung dikeluarkannya. “Surat kabar itu namanya AmanMakmur dan diterbitkan pada tahun 1963,” kata Hasjim. Chairul Harun, mantan redaktur Sinar Masa , dipercaya menjadi pemimpin redaksi. Harun Zain (Gubernur Sumbar 1966-1977) diikutsertakan dengan menjadi penasehat. Seperti Semesta , tulisan-tulisan di Aman Makmur dibuat oleh para penulisnya dan para kontributor. Novelis AA Navis dan wartawan Rosihan Anwar merupakan di antara kontributor yang rutin mengirim tulisan. Rosihan menggunakan nama pena Muttaqa’id – berarti orang yang sedang berdiam diri– di media tersebut. Dalam waktu singkat, Aman Makmur tumbuh pesat. Popularitasnya melesat di kalangan pembaca lokal. Sementara roda kehidupan AmanMakmur bergulir lancar, Semesta punya jalan beda. “Nasib buruk menimpa harian Semesta . Menteri Penerangan Orde Lama Achmadi menggunakan tangan besi memberangus surat kabar ini selama-lamanya,” tulis Pandoe. Seperti di Semesta , para awak Aman Makmur juga terus bersiasat dalam menjalankan roda medianya lantaran tujuan utama pendiriannya memang politis. “Selain mengelola surat kabar kami selalu menghubungi para cendikiawan, mahasiswa, terutama dari HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) yang memang kini diyakini antikomunis,” kata Harun Zain dikutip buku yang dieditori Abrar Yusra, Tokoh Yang Berhati Rakyat: Biografi Harun Zain . Aman Makmur juga mendukung Barisan Pendukung Sukarnoisme, organisasi bentukan Murba untuk melawan komunis, yang diketuai Adam Malik. Balutan permainan politik dengan output kritik-kritik pedas terhadap pemerintah yang hampir selalu muncul di artikel-artikelnya membuat AmanMakmur akhirnya tercium lawan politik. “Orang-orang PKI menciumnya, hingga dilontarkan pulalah tuduhan bahwa Aman Makmur korannya PSI (Partai Sosialis Indonesia), partai politik musuh buyutan PKI,” sambung Harun. Pada Maret 1965, Aman Makmur akhirnya menyusul Semesta . “Setelah terbit beberapa tahun, tangan Achmadi jua yang memberangusnya. Alasannya kami anti-Nasakom (nasionalis-agama-komunis), tegasnya antikomunis. Ketiga unsur politik ini sangat berkuasa waktu itu,” tulis Pandoe.

  • Arek Malang Jagoan Raket Telah Berpulang

    SEBELUM bulutangkis jadi cabang resmi di olimpiade pada 1992, All England jadi patokan prestasi paling bergengsi. Publik mengenang Rudy Hartono, Liem Swie King, atau Haryanto Arbi sebagai langganan juaranya. Namun, sedikit orang yang mengenal satu legenda lain yang juga “jawara” di All England: Johan Wahyudi. Namanya yang lama terbenam oleh waktu baru mencuat lagi pada Jumat, 15 November 2019. Namun, dalam kabut duka. Johan dikabarkan tutup umur di usia 66 tahun di kampung halamannya, Malang akibat demam berdarah yang diperparah kondisi lemah jantung. Johan lahir dengan nama Ang Joe Liang di Malang, 10 Februari 1953. Mengutip Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia: 1981-1982 , Johan merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara. Ayahnya, Mangku Prayitno, mengajarinya bulutangkis sejak umur empat tahun. Sang ayah yang pedagang itu merupakanpebulutangkis amatir tingkat kota. Selepas lulus sekolah dasar di usia 13 tahun, Johan lebih serius mendalami bulutangkis dengan masuk klub Gajah Putih. Ketika usianya masuk SMA, Johan kian bergabung dengan klub Radjawali, Surabaya –yang juga melahirkan maestro Rudy Hartono– untuk makin mengasah skill -nya. Di situlah Johan yang mesti memilih antara bulutangkis dan pendidikan akhirnya menetapkan jalan hidupnya. Dia meninggalkan pendidikannya yang sudah semester satu di Universitas Trisakti untuk lebih giat di berlatih bulutangkis di klubnya dan mengikuti berbagai kejuaraan lokal. Kerja kerasnya tak sia-sia. Malang-melintang di beragam kejuaraan junior se-Jawa Timur, arek Malang itu kerap menjadi juara. Ia bakan sampai jadi salah satu idola Liem Swie King muda. “Aku sebetulnya bercita-cita bertemu dengan Johan Wahyudi, pelajar SMA di Malang yang juara bulutangkis yunior se-Jawa Timur. Tetapi sayangnya tidak kesampaian karena POPSI (Pekan Olahraga Pelajar Seluruh Indonesia) se-Indonesia tak digelar lagi. Nama Johan Wahyudi sangat populer, dalam bulutangkis Johan ‘adik seperguruan’ Rudy Hartono, Muljadi, Indra Gunawan di Radjawali Surabaya,” sanjung Swie King dalam otobiografinya, Panggil Aku King. Langganan Juara Bersama Tjun Tjun Johan sudah jadi pemain ganda putra berpasangan dengan Ganda Wijaya sejak 1971. Di turnamen Wahono Cup, tahun itu juga, ia jadi runner-up . Prestasi itu membuat Johan dipanggil ke pelatnas PBSI, Jakarta untuk mengikuti seleksi jelang Djakarta Badminton Open Tournament, turnamen kejuaraan dunia pertama dengan label “invitasi”. Di Pelatnas itulah Johan bertemu Tjun Tjun. Dalam persiapan tim, Tjun Tjun akan dipasangkan dengan Rudy. Namun Rudy ingin lebih fokus di tunggal putra agar tak pecah konsentrasi gara-gara ikut di dua nomor. Johan akhirnya dipilih sebagai “ super-sub ”, alias pemain pengganti yang gemilang. Pasangan Johan/Tjun Tjun langsung bikin kejutan. Duet jawara All England 1972 Christian Hadinata/Ade Chandra dibekuk di final turnamen yang lantas jadi cikal bakal Kejuaraan Dunia BWF itu. Kolase kiprah Johan Wahyudi/Tjun Tjun (Foto: BWF Virtual Museum/The Guinness Book of Badminton/The Encyclopaedia of Badminton) Partai di final itu jadi permulaan rivalitas Johan/Tjun Tjun dengan Christian/Ade. Sempat keok pada All England 1973 dari bebuyutannya itu, Johan/Tjun Tjun menebusnya di All England 1974, 1977, 1978, serta 1980. Tidak hanya di All England, Johan/Tjun Tjun pun sukses “mengangkangi” Christian/Ade untuk jadi juara dunia pertama asal Indonesia. “Mereka jadi pasangan yang diperhitungkan dalam setiap pertandingan internasional. Bahkan ketika regu Indonesia terpukul parah dalam Kejuaraan Dunia 1977 di Malmö, Swedia, pasangan andalan ini tetap pulang memboyong gelar,” tulis buku Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia: 1981-1982. Ajang itu jadi Kejuaraan Dunia pertama di bawah IBF (kini BWF). Hampir semua pebulutangkis Indonesia yang mengikutinya berguguran sebelum semifinal. Wakil tunggal putra Iie Sumirat pun hanya berkalung perunggu. Namun, pasangan Johan/Tjun Tjun dan Christian/Ade mampu mencapai final ganda putra. Di partai puncak, Johan/Tjun Tjun kembali mengalahkan rivalnya itu dengan 15-6 dan 15-4. Selain Kejuaraan Dunia, prestasi Johan/Tjun Tjun antara lain medali emas Asian Games 1974, dan dua emas SEA Games 1977 (kategori individu dan beregu). Prestasi beregu paling prestisius yang digapai Johan/Tjun Tjun adalah Thomas Cup 1976 dan 1979. Namun, kisah Johan/Tjun Tjun tak melulu kisah manis. Di semifinal All England 1979, Johan/Tjun Tjun nyaris tak membawa pulang gelar gegara dinyatakan kalah WO ( walk out ). Beruntung keputusan itu dibatalkan berkat peran pengurus PBSI dan BAC (Badminton Asia Confederation) RAJ Gosal. “Rayuan mautnya kepada honorary referee , Herbert Scheele dalam final All England 1979, berujung sukses Indonesia memboyong empat gelar. Rayuan terpaksa diluncurkan Gosal yang kala itu bertindak sebagai manajer tim, karena keterlambatan Tjun Tjun/Johan Wahyudi masuk lapangan pada gim ketiga, pasangan itu dinyatakan kalah WO oleh umpire . Berkat diplomasi Gosal, pertandingan bisa diteruskan dan setelah umpire diganti, Tjun Tjun/Johan akhirnya juara,” ungkap Jurnalis olahraga Broto Happy Wondomisnowo dalam Baktiku Bagi Indonesia . Setahun sebelumnya, Johan/Tjun Tjun juga bikin gerah hati sejumlah pengurus PBSI dan Kemenpora gara-gara “mengadu” kepada sejumlah media bahwa kompensasi yang mereka dapatkan untuk kehidupan mereka tak berbanding lurus dengan prestasi mereka. Johan/Tjun Tjun lantas dicoret dari tim dalam persiapan pelatnas jelang Asian Games 1978 Bangkok. Johan Wahyudi saat turut menjadi tim pencari bakat Audisi Umum Beasiswa PB Djarum (Foto: pbdjarum.org ) PBSI punya pernyataan lain soal itu. “Pengurus PBSI mengatakan ia, ‘tidak menghiraukan panggilan pengurus’, sementara Han (panggilan Johan) bercerita bahwa ia sudah datang ke (pelatnas) Senayan, tapi tak menemukan siapa-siapa. Lalu ia ke Surabaya, menjenguk kakaknya yang akan menjalani operasi,” sambung Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia: 1981-1982 . Karier Johan mulai terbenam pada 1981. Johan/Tjun Tjun gagal mencetak rekor tujuh gelar All England setelah di final dibekuk duet Kartono/Rudy Heryanto. Johan lantas memilih pensiun tahun berikutnya. Sempat menjauh dari dunia bulutangkis, pada 1986 Johan berkenan jadi manajer tim pada All England 1986. Namun, kiprah ini tak berjalan baik lantaran wakil Indonesia, Ardy B. Wiranata dan Hermawan Susanto hanya memijak perdelapan final.Sempat pula di masa senjanya Johan “turun gunung” dengan menjadi anggota tim pencari bakat Audisi Umum Beasiswa PB Djarum pada 2015. Namun, penghargaan terhadap kiprah pasangan Johan/Tjun Tjun justru lebih dulu diberikan dunia internasional ketimbang pemerintah Indonesia. BWF memasukkan pasangan itu ke Hall of Fame pada 2009. Sementara, Kemenpora baru mengakui kiprahnya pada 2013 dalam rangka Haornas 2013, dengan penghargaan barupa hadiah rumah. Selamat jalan, Johan Wahyudi…

  • Kepala Kampung Jawa Dihukum Mati dengan Keji

    Penguasa VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur) di Batavia mengelompokkan pemukim pribumi berdasarkan suku. Kampung-kampung dibangun di luar Kastil dan tembok kota. Sisa-sisa permukiman mereka dapat dikenali melalui nama-nama kampung tua, seperti Kampung Bali (Jakarta Pusat), Kampung Melayu (Jakarta Timur), dan Kampung Jawa (Jakarta Barat). Menurut sumber Belanda, orang Jawa mencakup orang dari Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, bahkan Kampung Jawa di Palembang. Mereka dicurigai karena Kompeni bermusuhan dengan Kerajaan Mataram dan Kesultanan Banten. Sejarawan dan arsiparis Mona Lohanda dalam Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia, menyebut bahwa VOC tidak bisa membedakan apakah orang yang datang ke kota Batavia itu orang Banten, orang Mataram, atau orang Jawa dari kawasan lain. “Di mata penguasa VOC itu, semuanya adalah orang Jawa yang mereka sebut Javanen ,” tulis Mona. Ensikopedi Jakarta mendata Kampung Jawa terletak di kawasan Mangga Dua, Jakarta Barat. Dalam peta tahun 1682 buatan penjelajah Belanda Johan Nieuhof, lokasi Kampung Jawa tergambar di seberang daerah Jl. Kaum (sekarang Jl. Jatinegara Kaum), yakni satu jalan menuju ke makam Pangeran Jayakarta di Jakarta Timur. Memang, pada masa VOC, Kampung Jawa terletak di dua tempat. Kampung Jawa di sebelah barat kota ( wester-Javanen ) dan Kampung Jawa di sebelah timur kota ( ooster-Javanen ). Hendrik E. Niemeijer dalam Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII , menyebut Kampung Jawa di sebelah barat kota didirikan pada 1643 dengan membuka lahan berukuran 917 x 30 roeden (1 roede kurang lebih 3,75 meter) dan direncanakan untuk menjadi sebuah Kampung Jawa yang cukup besar. Lahan besar itu ditumbuhi pepohonan kelapa dan dimaksudkan untuk menampung para penebang pohon Jawa yang selama itu berdagang kayu di sebelah selatan Parit Harimau bahkan juga di sepanjang tembok kota. Kampung Jawa di sebelah barat kota dipimpin oleh seorang Nasrani asal Ternate, Jan Pekel atau Jan Cleyn. Menurut Mona, kepala kampung memiliki wewenang mengatur berbagai hal, seperti administrasi, ekonomi, dan keamanan. Kepala permukiman ini oleh penguasa VOC diberi pangkat kapiten atau letnan. Jabatan mereka disebut inlandsche commandant atau komandan pribumi. Gelar dan jabatan itu diberikan atas dasar bahwa para pemukim itu pada awalnya adalah serdadu yang ikut serta dalam pasukan VOC. Di waktu damai, atau saat VOC tidak melakukan peperangan atau ekspedisi militer, mereka mengelola daerahnya untuk pertanian. Oleh karena itu, Jan Cleyn pernah memimpin warganya dalam ekspedisi militer VOC. Hendrik mencatat, Jan Cleyn dan warganya dikenal setia. Dia bersama 20 orang Jawa turut berperang bersama serdadu VOC di Sailan (Srilanka). Dia juga membantu dalam pengepungan Kota Malaka tahun 1641. Namun, tiga tahu kemudian VOC mendakwanya telah menjalin hubungan rahasia dengan Banten dan Mataram. Dia ditengarai bekerja sama dengan Kiai Mas Goula, tokoh Moor (dari Bahasa Portugis: mouro artinya orang muslim) di Batavia. Dakwaan itu membuat penduduk semakin takut terhadap orang Jawa yang mereka anggap tidak dapat dipercaya, cepat mengamuk, dan keras kepala. Mas Goula mengaku sebagai keturunan termuda dari sebuah keluarga Arab dari Surat, India, yaitu keluarga para ulama yang merupakan nenek moyang para pangeran Jayakarta. Dia memutuskan kembali ke Batavia karena Sultan Mataram memerintahkannya untuk memasok serdadu. Karena itu, dia kesulitan mendapatkan izin dari pemerintahan VOC kendati dia bersumpah selama hidupnya tidak akan memusuhi Batavia dan orang Belanda. Akhirnya, pada Januari 1644, dengan bantuan Jan Cleyn, Mas Goula mendapat izin untuk bermukim di kawasan ommelanden (luar tembok kota) bersama keluarga dan budaknya. Syaratnya dia harus lapor ke kastil setiap bulan. Pada Agustus 1644, Jan Cleyn dan Mas Goula didakwa melakukan makar. Menurut dakwaan, Jan Cleyn menanggalkan agama Nasrani yang dipeluknya sejak kecil di Batavia. Karena dia bersedia disunat, maka orang hilang kepercayaan terhadapnya. Menurut Hendrik, dalam dakwaan disebut Jan Cleyn dengan 500 orang Banten dan 1.000 orang Cirebon bersenjata akan menyerang Gubernur Jenderal dan penduduk Batavia. Rencananya mereka akan membunuh Gubernur Jenderal Antonio van Diemen saat bertamu dengan dalih hendak memberikan hadiah. Lalu pasukan Banten akan memanjat tembok kota kemudian menyerbu serta merebut kota dan kastil. Dakwaan itu mengingatkan kembali masyarakat pada serangan Mataram (1628-1629) sehingga Jan Cleyn dijatuhi hukuman berat dan mengerikan. “Tubuhnya dicincang, kepalanya dipenggal, dan bagian-bagian tubuhnya dipotong empat dan dipertontonkan di empat penjuru angin untuk membuat orang lain jera,” tulis Hendrik. Mas Goula mengalami nasib yang sama kendati kapiten orang Melayu, Encik Amath, sudah memohon agar dipancung saja lalu dikebumikan dengan terhormat mengingat latar belakang keluarganya. Sejumlah orang lain yang ditengarai terlibat dalam komplotan juga digantung.

  • Budaya Sepeda Orang Indonesia

    Lelaki itu turun dari sepeda gunung putih. Dia memarkirkannya di halaman tempat kerja. Ada puluhan kendaraan bermotor roda dua. Sepeda itu satu-satunya di parkiran. Lalu dia membuka helm, masker, dan menyeka peluh di dahi. Dia biasa menempuh jarak 20 kilometer dari rumah menuju tempat kerja. Dia bilang jarak segitu tidak melelahkan. Sepedanya sudah modifikasi sana-sini sesuai kebutuhan dan gambaran tentang kenyamanan. “Biar enak dipakai dan daya jelajah kekuatan sepeda saya bisa sampai puluhan sampai dengan ratusan kilometer,” kata Hendry Gustian, (33 tahun), pengajar di sebuah bimbingan belajar di Jakarta Timur. Hendry telah menghabiskan jutaan rupiah demi kenyamanan bersepeda. Bagi dia, bersepeda tak bisa seadanya saja dan sepeda bukan cuma alat transportasi. Kenyamanan butuh harga dan sepeda adalah alat dia mencapai tujuannya. “Umur bertambah, kesehatan harus dijaga,” katanya. Hal serupa diutarakan oleh Arman Widyastama, karyawan swasta di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta. Dia bersepeda sejauh 20 kilometer dari rumah ke kantornya. Menurutnya, sepeda adalah investasi kesehatan. “Sehat itu mahal. Lebih baik mencegah daripada mengobati,” katanya. Seperti Hendry, dia pun telah memodifikasi sepedanya senyaman mungkin. Hendry dan Arman adalah sedikit contoh dari orang-orang yang memandang sepeda lebih dari alat transportasi. Mereka melihat sepeda juga sebagai alat untuk mencapai cita-cita pribadinya dan menuangkan gagasannya tentang sesuatu. Sejarah sepeda di Indonesia pun mengungkap hal serupa. Pembeda Golongan Sepeda masuk ke Hindia Belanda pada 1910-an. “Sepeda awal digunakan oleh pegawai kolonial dan para bangsawan, selanjutnya juga oleh para misionaris dan saudagar kaya,” ungkap Hermanu dalam Pit Onthel . Harga sepeda sangat mahal. Setara dengan 1 ons (28,35 gram) emas atau sekarang berharga Rp19 juta. Maka penggunanya pun berasal dari kalangan elite. Jelata kebanyakan hanya mampu membayangkan menaiki kereta angin, sebutan untuk sepeda pada masa kolonial. Kepemilikan sepeda pada segelintir elite menjadikan barang ini sebagai simbol status. “Menjadi simbol pembeda kelas antara pribumi dengan kalangan penjajah atau antara jelata dengan priyayi,” ungkap Ahmad Arif dalam Melihat Indonesia dari Sepeda. Di sini sepeda telah menjelma lebih dari alat transportasi ke kantor, pasar, atau sebatas jalan-jalan. Karena sepeda di kaki para penjajah dan kaum elite menjadi alat penindasan, maka perlawanan dari rakyat terjajah pun juga datang melalui penggunaan sepeda. Ini dikisahkan Daoed Joesoef, mantan menteri pendidikan dan kebudayaan 1978 – 1983, kelahiran Medan, Sumatra Utara, 8 Agustus 1926. Daoed mempunyai ibu bernama Siti Jasiah. Ketika masih kanak-kanak, Daoed menyaksikan ibunya bertekad memiliki sepeda. Ibunya mengutarakan keinginan itu di tengah makan malam keluarganya. Moehammad Joesoef, ayah Daoed, terkejut mendengar tekad Jasiah. “Untuk apa?” tanya Moehammad. “Untuk bisa pergi lebih jauh dalam waktu yang lebih singkat dan bisa membawa belanjaan yang agak banyak,” tanggap Jasiah. Moehammad kurang berkenan dengan keinginan Jasiah. “Nik, kita ini tidak muda lagi,” kata Moehammad. Tapi Jasiah menampiknya. Tak ada pembatasan umur untuk bersepeda dalam aturan lalu-lintas kolonial. Jasiah juga bilang nyonya-nyonya Belanda kesana-kemari dengan kereta angin. Badannya gemuk-gemuk dan usianya pun sudah tua. “Mereka lain sih…” kata Moehammad, mencari alasan. “Lain bagaimana? Mereka dan kita sama-sama manusia. Bedanya kan cuma di warna kulit. Akan saya buktikan bahwa saya pun bisa berkereta angin seperti perempuan-perempuan Belanda itu,” balas Jasiah, tak mau kalah. Moehammad meluruskan kekhawatirannya. Bukan soal perempuan Belandanya, melainkan dia merasa tak enak hati dengan perempuan-perempuan di kampungnya jika melihat seorang perempuan bumiputra belajar naik sepeda. Jasiah menegaskan, “Biarkan perempuan-perempuan sini menggunjing di belakang saya. Heran, kok mereka begitu benci pada kemajuan. Picik bagai katak di bawah tempurung.” Daoed mengungkap kisah ini dalam biografi ibunya. Judulnya Emak . Daoed melanjutkan, ayahnya tak bisa mempertahankan pendapatnya lagi. Dia membiarkan istrinya belajar kendarai sepeda. Jasiah membeli sepeda bekas dari uang tabungannya. Dia jatuh bangun demi bisa bersepeda. Sesuai dugaan Moehammad, orang-orang kampung menggunjing istrinya begitu melihat istrinya belajar naik sepeda. “Tingkah lakunya seperti noni dan nyonya Belanda saja,” kata seorang tetangga. Tetangga lainnya mencibir. “Tak tahu diri!” Perempuan-perempuan kampung berkumpul melihat Jasiah bersepeda. Berharap dia terus jatuh. Kalau dia jatuh, mereka akan bertempik sorak. Semua cibiran tak berarti banyak buat Jasiah. Dia akhirnya lancar bersepeda keliling kampung dan kota Medan. Orang-orang kampung terdiam, sedangkan perempuan Belanda ternganga melihat perempuan bumiputra mahir bersepeda. Menurut Daoed, jarang sekali perempuan bumiputra naik kereta angin kala itu, baik di kampung maupun di kota Medan. Kemudian Jasiah pergi ke toko sepeda hendak membeli sepeda baru. Dia ingin sepeda yang kuat dan tangguh. Pilihannya tiga: Fonger, Gazelle, dan Raleigh. Dua buatan Belanda dan satu dari Inggris. Harga ketiganya hampir setara. Jasiah memilih Raleigh, menolak Fonger dan Gazelle. “Saya pilih yang bukan buatan Belanda. Supaya si Belanda ini tahu kita tidak mau terus membebek kepadanya. Belanda ini kan setali tiga uang dengan Kompeni (VOC, red. ),” kata Jasiah. Dengan sepeda, Jasiah telah menghantam dua bentuk penindasan: imperialisme asing dan kebekuan berpikir kaum bumiputra. Nasionalisme Sepeda Zaman mesin tiba. Auto (mobil) dan sepeda motor masuk ke Hindia Belanda pada 1920-an. Kepemilikan atas keduanya menjadi kebanggaan baru kaum elite. Sepeda sudah tak lagi menarik kaum elite. Sebaliknya, banyak kaum bumiputra mulai memiliki sepeda. Karena jumlahnya kian banyak, sepeda tak lagi menjadi barang eksklusif. Ia justru jadi sumber pamasukan baru bagi pemerintah kolonial. Caranya dengan mengenakan pajak kepada tiap rumah tangga pemilik sepeda. Ini berlaku umum di seluruh wilayah Hindia Belanda, tetapi besaran pajaknya bergantung kepada pemerintah daerah. Sesuai dengan semangat desentralisasi pemerintahan sejak 1905. Pajak sepeda masih berlaku hingga masa Indonesia merdeka. Sebagai bukti sepeda itu sudah lunas pajak, pemilik akan memperoleh tanda ( penning ) di bagian depan sepeda. Dengan begitu, pesepeda tidak akan dihentikan oleh polisi. Orang tak menganggap pajak ini memberatkan. Penjualan sepeda tetap tinggi dan menjadi alat transportasi andalan masyarakat Indonesia pada dekade 1950-an. Dalam dekade ini, hasrat orang menggunakan sepeda berkembang lagi lebih dari alat transportasi harian. Saleh Kamah, pemuda berusia 20 tahun asal Manado, menjadikan sepeda sebagai alat untuk mewujudkan impiannya: berkeliling dunia. Dia juga berkasad memperkenalkan Indonesia kepada warga dunia di tiap persinggahannya.  “Bawalah Merah Putih ke seluruh penjuru dunia. Tepuklah dadamu dan katakanlah inilah Indonesia!” kata Sukarno ketika menerima kedatangan Saleh Kamah di Istana Negara, Jakarta, 8 Januari 1955. Sukarno menghadiahkan sepeda Philips untuk Saleh agar bisa menuntaskan misinya. Tapi Saleh gagal memenuhi impiannya. Dia terempas di Burma pada Februari 1955. Sepeda Mahal Lalu orang berpaling dari sepeda sekian lama. Hingga datang kembali kegandrungan terhadap sepeda pada pengujung dekade 1980-an. Pemerintah mengkampanyekan sepeda sebagai alat transportasi untuk mengisi slogan ‘Hidup Sederhana’. Masa ini harga minyak naik. Begitu pula dengan harga bahan kebutuhan pokok. Sepeda dianggap turut meringankan beban hidup masyarakat. Maka berlomba-lombalah pejabat negara eksis dengan sepeda. Supaya rakyat turut pula bersepeda. Lomba bersepeda dengan gembira ( fun bike ) juga marak demi memasyarakatkan sepeda Klub penggemar sepeda pun terbentuk, seperti Ikatan Penggemar Sepeda Jakarta. Federal, anak perusahaan grup otomotif Astra, menangkap kegandrungan orang terhadap sepeda dengan memproduksi sepeda. Orang-orang kaya ikut tertular gandrung sepeda. Tetapi mereka enggan asal membeli sepeda. Mereka ingin sepeda yang berbeda dari kebanyakan punya orang. Eksklusivitas adalah kata kunci sebelum membeli. Sepeda-sepeda terbatas berharga mahal adalah incaran mereka. “Kalau mobilnya sudah Mercedes atau BMW, masa sepedanya Rp2 jutaan. Kan nggak pantas?” kata Johnie, seorang pemilik sepeda mahal, seperti dikutip Tempo, 19 Oktober 1991, dalam “Gila Sepeda Berjuta Harganya”. Garasi rumah Johnie terisi empat Mercedes, satu BMW, dan satu Volvo. Maka sepeda mahal bukanlah masalah baginya. Sering harga sepeda edisi terbatas lebih tinggi dari motor atau bahkan mobil. Orang-orang kaya membanggakan sepeda itu di hadapan koleganya dan menjadikannya sebagai simbol status. “Mirip ketika awal-awal orang-orang Belanda di Hindia Belanda memiliki sepeda,” kata Sofian Purnama, dosen di Universitas Indonesia yang sehari-hari bersepeda. Pengujung dekade 1980-an, pemakaian sepeda mahal hanya terbatas pada hari libur atau untuk melobi kolega. Tak ubahnya seperti olahraga golf. Tahun-tahun belakangan ini, kegandrungan terhadap sepeda berulang kembali. Sebagian besar orang menggunakannya untuk kebutuhan transportasi harian. Tingkat harga sepedanya masuk kategori murah dan menengah. Terjangkau oleh kebanyakan orang. Selingkaran lainnya mampu membayar lebih untuk sepeda yang harganya jauh dari jangkauan kebanyakan orang. Bedanya dengan generasi lampau, mereka pakai sepeda mahal itu untuk pergi ke kantor. Bukan hanya untuk pamer. “Bisa dilipat masuk kolong meja kantor,” kata Arman. Yang dia maksud adalah sepeda lipat premium. "Layaknya Jaguar. Rolls Royce-lah. Handmade ,” lanjut Arman, mengibaratkannya dengan merk mobil mahal. Apa kelebihan sepeda lipat premium itu? "Anti murah dan meningkatkan strata sosial," canda Gamma Riantori (38 tahun), salah satu penggemar sepeda yang telah menjajal banyak jenis sepeda, dari yang termurah sampai yang termahal. Pengguna sepeda mahal sudah jamak tersua di dalam kereta Moda Raya Terpadu (MRT) dan Jalan Thamrin-Sudirman, Jakarta. Menandakan adanya pertumbuhan kelas atas di Jakarta. Mereka juga membentuk komunitas berdasarkan merk sepeda. Buat mereka, sepeda bukanlah sekadar alat transportasi. Sejarah terus berulang. Meski itu dilihat dari sebuah sepeda.

  • Zainal Beta, Sang Pelukis Tanah Air

    BANGUNAN di tengah-tengah Benteng Rotterdam itu tampak sepi. Jendela-jendela di lantai duanya tertutup, tanda-tanda tak ada kehidupan. Padahal, maksud hati ke situs ikonik di Makassar itu ingin menemui seniman nyentrik, Zainal Beta namanya. Di gedung itulah pada Maret 2017 saya bersua dirinya pertama kali, di sela-sela acara sebuah ekspedisi otomotif. Namun, perjumpaan itu hanya sesaat. Nyaris putus asa setelah gagal mencarinya di sekitar benteng, pasca-salat ashar tetiba sosok lelaki tua berambut gondrong yang sudah memutih melangkah di depan mata dari gerbang depan. Saya dan Irvan Nursyam, teman dari Makassar, mengikuti dia yang kemudian masuk ke sebuah ruangan kecil bekas penjara bawah tanah di salah satu sudut benteng.  “Fort Rotterdam Art Gallery”, demikian bunyi tulisan yang terpampang di pintu masuk ruangan yang makin ke dalam semakin pendek itu. Di tempat itulah Beta memajang beberapa karya-karyanya. Baca juga: Utusan Seni Merangkap Telik Sandi Usai perkenalan singkat, ia menuturkan bahwa ruangan itu secara cuma-cuma memang khusus dilowongkan untuk Beta berkarya. Itu merupakan bentuk apresiasi pemda setempat kepadanya. Beta dikenal sebagai seniman sekaligus penemu sejak pertengahan 1980-an. Ia diakui dunia sebagai pelukis pertama yang berkarya dengan media tanah dan air, bukan cat air atau cat minyak sebagaimana lazimnya pelukis. Ia bahkan sempat dianggap gila. Namun beberapa cibiran dari sesama seniman luntur seiring datangnya pujian dari maestro Affandi 33 tahun lampau. Jiwa Pemberontak Seniman nyentrik itu punya nama asli Arifin. Ia kelahiran Makassar, 19 April 1960. Ia sudah getol menggambar sejak usia sekolah dasar. Terkadang dinding rumah atau buku-buku milik kakaknya jadi media buat Beta “berkarya”. Maklum, sejak tingkat SD sampai SMP, Beta tak menemukan satupun sekolah di Makassar yang punya mata pelajaran seni rupa. “Lucunya, tiba-tiba ada sekolah malam. Jadi setelah sekolah (di tingkat SMP umum), sorenya saya lanjut ke sekolah itu jam 5 sore sampai jam 10 malam. Karena saya sudah pintar menggambar, saya diminta mengajar menggambar. Enggak diupah. Hanya kebanggaan saja saya mengajar jadi guru. Padahal saya masih SMP juga,” kata Beta mengenang. Baca juga: Lukisan Kehidupan Soenarto Pr Zainal Beta berkisah mulanya ia diangap gila sebelum melahirkan seni lukis dengan metode baru (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Namun, hobi melukisnya tak didukung keluarganya. “Orang tua ingin saya sekolah biasa dan kemudian lulus untuk jadi pegawai negeri. Kalau jadi pelukis, dibilang orang tua saya nanti masa depannya suram. Apa yang bisa diharapkan?” lanjutnya. Karena tak mendapat restu itulah ia menggunakan nama beken Zainal Beta atau kadang dipanggil Daeng Beta. Tujuannya supaya aktivitas berkeseniannya tak diketahui keluarganya. “Dari kecil saya sudah jadi pemberontak.” Selepas lulus SMP dan masih mengajar di SMP PGRI 4, Beta bergabung ke Sanggar Jumpandang pimpinan Bachtiar Hafid. Wadah beragam kesenian itu ia temukan saat sedang jalan-jalan ke Benteng Rotterdam. Ia pun mendaftar untuk bidang seni rupa. Ia tak dipungut biaya sebagai ganti ikut mengajar di sanggar itu. Kala itu, di Jumpandang belum ada mentor untuk seni lukis selain Bachtiar. “Itu juga masih sembunyi-sembunyi dari orang tua. Kalau pulang dan bawa hasil lukisan, buru-buru saya taruh di kolong tempat tidur. Saya di sanggar juga kemudian diangkat jadi salah satu pembina. Padahal baru lulus SMP. Selain seni lukis, saya juga kemudian belajar seni patung di sanggar,” sambung Beta. Penemuan dari Ketidaksengajaan Medio 1980, Beta didorong Bachtiar untuk ikut memamerkan karya mewakili Sanggar Jumpandang di sebuah pameran besar yang digelar Dewan Kesenian Makassar. Jelang pameran, Beta tak sengaja menemukan “masterpiece”-nya. “Saya sedang bawa beberapa kertas waktu mau pulang ke rumah. Saat itu hujan. Tidak sengaja kertas yang dibawa jatuh ke tanah yang becek. Saat saya bersihkan, saya seperti melihat ada obyek di dalamnya. Saya coba hapus-hapus lagi, kelihatan ada obyek atau siluet lagi,” tuturnya. Baca juga: Karya-Karya Sang Perupa Sederhana Selama beberapa hari di rumahnya, Beta mencoba ulang dengan membasahi tanah dan menggoreskannya di atas kertas. “Saya belum ada pikiran akan jadi suatu media baru. Sempat ketahuan keluarga bahwa saya melukis pakai tanah. ‘Ah kau sudah gila!’, begitu kata keluarga saya.” Eksperimennya dengan media tanah-air itu menyita waktunya. Hingga dua pekan sebelum pameran, ia belum membuat satupun karya dari media mainstream : cat air atau cat minyak. Maka saat pameran tiba, ia terpaksa men- display 10 karya lukisan tanah liat hasil coba-cobanya. “Dari 10 yang saya bawa, akhirnya hanya lima yang saya pajang. Itupun saya taruh di belakang pintu (ruang pameran, red. ). Karena saya hindari. Saya masih minder waktu itu. Tapi wartawan dari (harian) Fajar , Sinansari Ecip, dia lihat di belakang pintu,” tambah Beta. Ecip penasaran dan mulai insyaf bahwa yang dipakai dalam lukisan itu bukan cat minyak atau air. Saat diberitahu lukisan-lukisan itu dari media tanah dan air, jurnalis senior itu justru memuji. “Dia bilang, ada mutiara terselip di belakang pintu. Anda ini penemu. Ibarat wanita melahirkan manusia baru, saya dikatakan melahirkan media baru. Besoknya mulai tersebar di media-media,” ujarnya. Baca juga: Seniman Balik Patung Jenderal Ahmad Yani Zainal Beta memamerkan salah satu dari sejumlah karya lukisan tanah liat buatannya (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Beta yang mulanya minder, jadi bangga. Terlebih, satu dari lima lukisan tanah liat itu langsung dibeli sang jurnalis. “Ya Sinansari Ecip itu pembeli karya (tanah liat) pertama saya. Lupa lukisan gambar apa yang dia beli. Waktu itu dia hargai Rp50 ribu. Sudah besar nilainya di zaman itu. Sampai saya bisa beli sepeda karena saya juga hobi main sepeda,” kata Beta. Namun, semakin tinggi pohon maka semakin kencang pula anginnya. Rekan-rekan pelukis lain hampir tak ada yang mengakui karya Beta tergolong seni lukis. Pengakuan baru diterima Beta enam tahun kemudian lewat apresiasi maestro Affandi. Beta sampai dijuluki satu-satunya pelukis “tanah air” lantaran pakai media tanah liat dan air. Sepanjang kurun itu, Beta mengaku terus menyempurnakan metodenya, terutama soal jenis-jenis dan warna-warna tanah untuk dipakai melukis. “Dari mana ia dapatkan bahan-bahan pewarna itu? Tanah hijau ditemukannya di dataran tinggi Soppeng. Tanah merah dari Mandar. Warna hitam didapat dari 25 daun-daun surga (dedaunan tanaman liar),” ungkap Agung Puspito dalam Islam dan Seni Rupa: Daun-Daun Surga . Beta biasanya menyempurnakan metodenya saat mencari inspirasi di banyak tempat di Sulawesi. “Tanah pertama saya pakai, itu tanah (dari) Maros. Setahun-dua tahun belum ketemu sempurnanya. Pertamakali dalam rentang setahun lukisan saya retak. Tapi kemudian saya belajar untuk mengolah tanahnya lagi,” ujar Beta. Baca juga: Goodbye Stan Lee! Di kemudian hari, Beta bereksperimen tidak hanya dengan tanah liat namun dengan media-media lain. Itu lantas ia tularkan ke anak-anak didiknya hingga kini. “Saya pernah juga coba pakai media aspal. Kadang dedaunan untuk dipakai getahnya. Saya juga tekankan ke murid-murid saya bahwa coba tengok ke daerah lain di mana banyak hasil tambang, hasil bumi, dan sebagainya. Bisa pakai media kelapa sawit, misalnya. Intinya, saya mencoba mengajarkan untuk memerhatikan alam di daerah masing-masing untuk jadi inspirasi,” tandasnya.

  • Gaya PKI Memikat Rakyat

    SEBELUM menjadi partai terlarang, PKI mengusung citra sebagai partai rakyat. Penabalan ini bukan bualan belaka. Di berbagai daerah, PKI cekatan menangkap kegelisahan masyarakat. Program partai berlambang palu arit ini secara umum ditujukan untuk meninggikan harkat hidup wong cilik. Mulai dari upah kerja yang layak, pembagian tanah, jaminan kesehatan, pendidikan, hingga rekreasi. “Meski kebijakannya sentralistik, pendekatan PKI di daerah amat disesuaikan dengan kondisi masyarakat,” kata sosiolog Arbi Sanit, penulis buku Badai Revolusi: Sketsa Politik Kekuatan PKI di Jawa Tengah & Jawa Timur kepada Historia . Di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur yang jadi basis utama, PKI tampil penuh totalitas. Biaya besar tidak segan digelontorkan untuk mendanai kegiatan. Dengan garis komando terpadu mulai dari Central Comite (CC) hingga tingkat resort (desa), program PKI tidak kesulitan peminat. Sanit menerangkan, saat terjadi bencana kelaparan di Gunung Kidul, Jawa Tengah pada pertengahan 1950, misalnya. Di daerah itu, orang banyak makan singkong karena tanah di Gunung Kidul tidak cukup baik untuk tumbuhan padi. PKI segera meresponnya dengan membuat program penanaman singkong. “Kalau lagi musim mainan anak layang-layang, PKI bagi-bagi layangan gratis. Nanti keluarga yang terima layang-layang itu, dicatat sebagai penerima dan terdaftar sebagai anggota PKI. Siapa yang pernah terdaftar ada urusannya dengan PKI, itu dianggap jadi anggota,” ujar Sanit. Salah satu program PKI untuk rakyat tersua dalam berita Harian Rakjat, 25 Juli 1957 yang menggarap isu kesenian dan kesehatan.  “Program pengembangan kesenian daerah (ludruk) dan program air minum bersih,” demikian tulis Harian Rakjat yang merupakan koran partisan PKI tersebut.  Agenda itu merupakan sedikit dari program PKI di daerah Jawa Timur yang dikemas secara populis. Di beberapa daerah basis Masjumi, PKI memancing simpati. Menyikapi gerakan Darul Islam (DI) yang meresahkan petani di Aceh dan Jawa Barat, PKI menyerukan penyitaan tanah milik para pengikut DI. Sembari menjanjikan pembagian tanah tersebut kepada petani miskin, Pemuda Rakyat dimobilisasi sebagai mitra TNI. Kotagede, sebuah kota kecil di Yogyakarta yang juga basis Masjumi, penetrasi PKI juga ikut masuk. Di sana, menurut Mutiah Amini dalam “Komunis di Kota Santri: Politik Lokal Kotagede Pada 1950-1960-an” termuat di buku Antara Daerah dan Negara: Indonesia tahun 1950-an , aksi sosial PKI bahkan tidak pandang bulu. Kader PKI secara terang-terangan membantu Muhammadiyah dengan membangun sarana publik seperti rumah bersalin dan balai kesejahteraan ibu dan anak. Hal ini dilakukan sebagai tanda terimakasih para kader yang pernah mengenyam pendidikan dasar Muhammadiyah di kota itu. Sementara di Sumatra, basis massa PKI meliputi buruh-buruh perkebunan. Pengaruh komunis berkembang pesat di kawasan transmigrasi, seperti di Sumatra Timur (kawasan Deli), Sumatra Selatan, dan Lampung. Hampir sama seperti di Jawa, PKI giat memperjuangkan nasib buruh kebun ini melalui serikat buruh partisannya, Serikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (SARBUPRI). Di Kalimantan, PKI bergerak lebih fleksibel. Kendati anti-sukuisme yang cenderung feodal, PKI berupaya menarik simpati etnis Dayak dengan menyokong pembentukan provinsi Kalimantan Tengah. Sikap ini, menurut Gery van Klinken dalam “Mengkolonisasi Borneo: Pembentukan Provinsi Dayak di Kalimantan” masih dalam Antara Daerah dan Negara , didorong oleh keinginan untuk membendung pengaruh Masjumi yang kuat di Kalimantan Selatan. Ketika provinsi Kalimantan Tengah terbentuk pada 1957, cabang PKI telah punya basis yang kuat di Barito. Yang menarik, mayoritas massa PKI adalah petani Dayak yang punya tanah dan orang-orang Kristen. “Sampai tahun 1959, ternyata sudah banyak anggota jemaat yang menjadi anggota PKI dan malahan hampir semua tokoh pimpinan PKI di daerah Kalimantan Tengah adalah orang-orang Kristen,” tulis Pdt. Dr. Fridolin Ukur dalam Sejarah Gereja Kalimantan Evangelis Sejak Tahun 1835. Merentang ke Timur, isu utama yang dihadapi rakyat setempat adalah feodalisme. Di Sulawesi, PKI mengakomodasi gugatan masyarakat terhadap elite tradisional yang menguasai sebagai besar lahan tani. Sejak tahun 1954, dalam waktu yang tidak terlalu lama PKI mendapat dukungan yang besar dari masyarakat Toraja, Sulawesi Selatan. “PKI sangat berhasil memobilisasi pengikut dan mengangkat masalah tanah di Tanah Toraja sebagai isu pokok,” tulis Diks Pasande dalam “Politik Nasional dan Penguasa Lokal di Tana Toraja” termuat di kumpulan tulisan Antara Daerah dan Negara suntingan Sita  van Bemmelen dan Remco Raben. Di Nusa Tenggara Barat dan Timur, PKI gencar menentang perbudakan yang masih dipraktikkan raja-raja lokal sejak zaman kolonial. PKI memperjuangkan tuntutan sederhana tetapi tidak mampu disuarakan rakyat NusaTenggara, seperti: hak menggunakan pelana kuda bagi rakyat biasa, penggunaan celana panjang bagi petani, serta pelarangan kerja rodi dan kawin paksa. Hasil kinerja yang apik di berbagai daerah itu semakin ditujang lewat agitasi propaganda media. Dalam pemenuhan asupan informasi di daerah, awak media PKI paling militan kinerjanya dibanding corong partai yang lain. Penerbitan media PKI menjangkau penjuru tanah air bahkan hingga ke pelosok negeri.    “Jaringan Harian Rakjat itu sampai ke kota Tanjung Balai (150 km dari Medan) diangkut pakai (pesawat) Garuda. Ke pelosok NTT sekira 4 hari dan kalau Ambon bisa 2-3 hari,” kata Martin Aleida, mantan wartawan Harian Rakjat kepada Historia . Melalui program kerja dan propaganda, jaringan PKI berkembang pesat. Wajar jika basis massa PKI di tingkat akar rumput bertumbuh dengan subur. Maka tidak heran, ketika memasuki tahun 1960, PKI menjelma sebagai partai politik terkuat di Indonesia, bahkan dunia.

  • M Bloc dari Gudang Kosong Jadi Tempat Nongkrong

    Ada banyak tempat nongkrong anak muda di Jakarta. Yang cukup ikonik dan bersejarah adalah kawasan Melawai, Blok M. Kemunculan kawasan ini tak lepas dari perkembangan Kebayoran Baru, wilayah yang tadinya diniatkan sebagai kota satelit Jakarta pada 1950-an. Permukiman di Kebayoran Baru terbagi atas beberapa blok, dari A sampai S. Termasuk di dalamnya Blok M. Salah satu bekas gudang uang milik Peruri di kawasan M Bloc. (Fernando Randy/Historia) Kiri: Batu bata sisa renovasi di M Bloc. Kanan: Suasana di depan M Bloc. (Fernando Randy/Historia). Kemudian Kebayoran Baru justru menjadi bagian dari Jakarta. Blok M pun berubah. Tak lagi hanya permukiman, tapi juga pertokoan dan bisnis. Bahkan konsep rumah toko (ruko) muncul kali pertama di Blok M pada 1970-an. Memasuki 1980-an, Blok M berkembang jadi kawasan hiburan. Ada berbagai tempat makan, pusat perbelanjaan, dan diskotek di sini. Tak heran kawasan ini selalu ramai tiap hari, kala siang atau malam. Orang Jepang menghabiskan malam di tempat ini untuk mencari hiburan. Maka Blok M pun berjuluk “Little Tokyo”. Sejumlah pekerja saat merapikan bagian atap M Bloc. (Fernando Randy/Historia). Film Catatan Si Boy menjadi salah satu film laris pada era 1980-an. Syutingnya di daerah Melawai, Blok M. Boy adalah seorang anak muda kaya raya, tampan, tanggap zaman, dan rajin ibadah. Film itu turut mengangkat citra Blok M sebagai tempat nongkrong anak muda.    Kiri: Seorang pengunjung di salah satu kedai M Bloc. Kanan: Para pekerja di M Bloc. (Fernando Randy/Historia). Namun seiring waktu, pamor Blok M sebagai tempat nongkrong anak muda mulai meredup. Jakarta punya tempat nongkrong lain. Tempat-tempat itu menawarkan berbagai konsep baru dan kreatif yang menyaingi Blok M. Sisa-sisa karat tampak di berbagai sudut M Bloc. (Fernando Randy/Historia). Hingga datanglah gagasan dari Perusahaan Umum Percetakan Uang Negara (Peruri) untuk membangun ruang kreatif baru di bekas lahan perumahan karyawannya di Blok M. Sekaligus upaya menghidupkan kembali kawasan Blok M sebagai tempat nongkrong generasi milenial. Kebetulan pula Blok M mulai berdenyut lagi seiring selesainya pembangunan Moda Raya Terpadu (MRT). Dekorasi uang kuno di salah satu kedai di M Bloc. (Fernando Randy/Historia). Peruri menggandeng Ruang Riang Milenial (RRM), perusahaan jasa kreatif yang digawangi oleh Handoko Hendroprayono, Jacob Gatot Sura, Lance Mengong, Mario Sugianto, Wendi Putranto, dan Glen Fredly. Mereka menamai proyek di atas lahan seluas 7.000 meter persegi tersebut dengan M Bloc. Seorang pegawai kedai saat beraktifitas di kedai Oeang M Bloc. (Fernando Randy/Historia). Proyek M Bloc memungkinkan generasi milenial menyewa gerai–gerai untuk usaha mereka yang tergolong unik dan beragam. Mulai Union Well yang berfokus pada baju, otomotif, dan pangkas rambut; Demajors untuk berjualan rilisan fisik dari musisi lokal seluruh Indonesia; Tokyo Skipjack, Rumah Lestari, dan Padang Tugo yang menawarkan makanan; sampai Connectoon bagi para penggila kartun. Suasana sore hari di M Bloc. (Fernando Randy/Historia). Tapi proyek utama di M Bloc adalah pertunjukan musik di ruang terbuka yang mampu menampung 350 hingga 500 penonton. Pertunjukannya akan digelar tiap hari. Dengan pertunjukan ini M Bloc diharapkan menjadi ruang berbagai genre musik di tanah air. Seperti dikutip beritagar.id, Wendi, programme director M Bloc, mengatakan akan menyaring setiap musisi yang ingin tampil di M Bloc agar kualitas musik yang ditampilkan tetap terjaga. “Kami tidak ingin konser gratis. Tujuannya untuk edukasi ke penggemar bahwa kalian harus membayar kalau ingin mendapatkan hiburan. Ada kualitas, ada harga," tuturnya. Para pengunjung yang menikmati berbagai tempat makan dan minum di M Bloc. (Fernando Randy/Historia). Proyek M-Bloc disambut baik. Tari (23), seorang pengunjung, mengatakan keberadaan M Bloc membangkitkan kenangan akan tempat nongkrong orangtuanya saat muda dulu. “Iya mama sering cerita kalo dulu sering nongkrong di Blok M Melawai. Saya kesini juga sama mama, katanya mau nostalgia saat muda.”  M Bloc menjadi salah satu tempat nongkrong baru di Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Pengunjung lain, Hafid (25) yang berprofesi sebagai jurnalis, mengatakan “Ruang kreatif seperti M Bloc gini, penting untuk diperbanyak di Jakarta. Kita sudah bosen nongkrong di mall. M Bloc memberikan alternatif untuk mencari ide atau pun nongkrong bersama teman.”  Dengan semangat kreativitas di M Bloc, bukan tidak mungkin akan mengembalikan pamor Blok M yang sempat memudar digerus zaman.

  • Kisah Ken Miles di Balik Ford v Ferrari

    KEN Miles (diperankan Christian Bale) terkejut. Di jalan pulang sehabis belanja di suatu siang, Carroll Shelby (Matt Damon), kenalan lamanya, menunjukkan batang hidungnya. Shelby ingin mengajak Miles bertandem lagi seiring Shelby mendesain sebuah mobil khusus. “Berapa lama kita saling kenal, Ken? Aku pernah ingkar janji padamu. Kini aku ingin kamu mengisi seat pembalap di (balapan) Le Mans jika kamu mau tutup mulut dan membiarkan aku mengerjakan apa yang menjadi kemampuanku,” kata Shelby pada Miles.  Sempat terdiam, Miles lantas menjatuhkan bogem mentah di muka Shelby sebagai permulaan perkelahian dua sohib lama itu. Adegan itu jadi suguhan utama dalam trailer film drama biopik Ford vs Ferrari garapan sutradara James Mangold. Di bioskop-bioskop Indonesia, film ini sudah tayang sejak Jumat, 15 November 2019. Menengok sinopsisnya, konflik Ford-Ferrari berakar dari ambisi bos pabrikan mobil Ford, Henry Ford II (Tracy Letts), yang ingin mengakuisisi salah satu divisi ternama Ferrari, yakni Scuderia Ferrari. Ambisi itu membuat Enzo Ferrari (Remo Girone) sebagai rival Ford dalam industri otomotif menolak mentah-mentah. Ford tak terima, lalu berambisi mempecundangi Ferrari di 24 Hours of Le Mans 1966. Carroll Shelby (kiri) yang diperankan Matt Damon dan Ken Miles yang dimainkan Christian Bale dalam film "Ford v Ferrari" (Foto: foxmovies.com ) Untuk bisa mengalahkan mobil Ferrari yang acap jadi langganan juara, Ford meminta Shelby mengembangkan salah satu mobil mereka, Ford GT40 Mk. II. Shelby merasa dirinya akan bisa maksimal meracik performa mobil itu jika dibantu Miles yang sudah malang-melintang di dunia balap, bahkan sebelum Perang Dunia II.  Dari beragam ulasan, film yang premier-nya tayang di Tellurife Film Festival, 30 Agustus 2019, ini meninggalkan kesan tak benar-benar memperlihatkan rivalitas Ford dan Ferrari sebagai dua pemain besar industri otomotif.  Satu di antara ulasan yang beredar ditulis kritikus cum veteran jurnalis balapan Formula One (F1) Maurice Hamilton untuk ESPN , 11 November 2019. Menurutnya, “Judulnya memang Ford v Ferrari atau Le Mans ’66 (di Inggris)”. Namun sejatinya film ini lebih tepat diberi judul The Untold Story of Ken Miles . Namun judul seperti itu takkan pas untuk dijadikan box office. Walau sebenarnya Miles adalah pahlawan di belakang layar pengembangan Ford GT40 Mk II yang jadi tandingan Ferrari,” sebutnya.” Dalam kesempatan berbeda, Matt Damon menguraikan bahwa Ford v Ferrari adalah tentang kerja keras dan persahabatan antara Shelby dan Miles. “Film ini adalah kisah yang indah. Dan semoga bisa membuat semua orang yang menonton benar-benar melihat satu kisah persahabatan. Itu hal yang bagus untuk ditonjolkan ke dunia luar di masa seperti ini,” tutur Damon, dikutip CBS News , 10 November 2019. Veteran Komandan Tank yang Jago Balapan Kendati pernah jadi pembalap terhebat di masanya, nama Ken Miles tak banyak dikenal orang. Namanya jelas tak “seksi” untuk dijadikan judul film.  Kenneth Henry Miles lahir di Sutton Coldfield, dekat Birmingham, Inggris, 1 November 1918. Latar belakang ekonomi keluarganya yang merupakan kelas menengah atas lantaran kakeknya seorang importir teh dan kopi sukses memungkinkan bagi Miles menggandrungi dunia balap sejak kecil. Pada 1929, dia sudah mengikuti balapan motor di ajang Trials Special Triumph 350cc. Namun, Miles gagal juara dan malah jatuh dengan luka di hidung dan kehilangan tiga giginya. Sejarawan cum jurnalis otomotif Art Evans dalam World War II Veterans in Motorsports mengungkap, di usia belia Miles mengalihkan kegemarannya jadi mekanik. Di umur 16 ia magang di perusahaan otomotif Wolseley Motors. Namun masa-masa magangnya yang tinggal dua bulan sempat terganggu pecahnya Perang Dunia II. “Ken terpanggil wajib militer dan masuk ke barak pasukan pertahanan dalam negeri, British Territorial Army dan kemudian bertugas di unit (artileri) anti-pesawat. Lantas dia dipindahkan ke Royal Corps of Electrical and Mechanical Engineers, di mana dia ikut kursus mesin dan pemeliharaan kendaraan tempur,” sebut Evans. Kolase Ken Miles saat bertugas di Perang Dunia II sebagai salah satu komandan tank (Foto: Repro "World War II Veterans in Motorsports") Miles lulus dengan promosi pangkat staff sergeant (setara sersan mayor) dan dijadikan salah satu komandan tank dari Royal Tank Regiment. Miles turut serta pendaratan sekutu, dua hari setelah D-Day di Normandia, 8 Juni 1944. “Ken bertugas di Normandia, Prancis, Belanda, Belgia dan Jerman. Tugasnya tergolong mengerikan sebagai komandan tank pengintai dan pemulihan situasi. Pernah suatu ketika tank-nya terkena peluru meriam 88 (Flak 88) yang membuat para kru-nya luka-luka. Unit tank Ken juga jadi yang pertama menerobos hingga ke kamp konsentrasi Bergen-Belsen,” imbuh Evans. Hijrah ke Amerika Selepas Jerman menyerah, Miles tetap bertugas di pesisir Baltik hingga Januari 1946, untuk kemudian kembali kerja magang di Wolseley Motors, lantas mengais nafkah di pabrikan lain, Morris Motors, sebelum hijrah bersama anak-istrinya ke Amerika pada 1951, berbekal uang pinjaman dari kawannya, John Beasley. John Starkey, sejarawan otomotif dalam Ford versus Ferrari: The Battle for Supremacy at Le Mans 1966 , menuturkan, sebelum merantau ke Amerika Miles sempat bangkrut. Ia dan keluarganya bisa ke Amerika juga karena dijanjikan pekerjaan oleh Beasley di pabrikan mobil Gough Company (kini Gough Industries) di California sebagai manajer pelayanan. “Dia juga merangkap sebagai pembalap mobil TD Midget karena dengan memenangkan balapan, berbanding lurus dengan tingginya penjualan mobil. Ken juga kemudian ikut mendesain dan membangun mobil pertamanya yang ia namakan R1. Mobil yang membawanya memenangi banyak balapan di tahun 1952,” ungkap Starkey. Ken Miles (kiri) & Carroll Shelby mulai bersahabat sejak 1959 (Foto: The Henry Ford) Pertemuannya dengan Shelby, veteran pilot dalam Perang Dunia II, terjadi pada 1955 di sebuah ajang balapan. Miles dan Shelby sama-sama di belakang kemudi mobil Ferrari 375 Plus Spider. Momen adu cepat antara sesama veteran Perang Dunia II pun tak terelakkan. Sementara Shelby pensiun dari balap pada 1959, Miles dalam kurun 1958-1963 mencatatkan 38 kemenangan dari 44 balapan di aneka ajang yang diikutinya. Performa impresif Miles menggoda Shelby untuk mengajaknya bergabung ke Ford. Shelby ingin Miles balapan dengan mobil hasil desain Shelby, Ford AC Cobra yang kemudian disebut Shelby Cobra.  Di sanalah persahabatan mereka bermula. Tidak hanya terus mengembangkan mobil AC Cobra, Miles juga turut membantu Shelby mengembangkan mobil GT40 Mk I dan Mustang GT350. Sementara, Miles dan Denny Hulme tetap jadi kepercayaan Shelby untuk turun di ajang 24 Hours Le Mans di belakang kemudi Ford GT40 Mk II. Bos Ford kala itu juga mengerahkan dua mobil lain serupa yang dikendarai duet Bruce McLaren-Chris Amon dan Ronnie Bucknum-Dick Hutcherson. Keputusan Henry Ford II menurunkan tiga mobil memberinya hasil akhir yang manis. Tiga mobil GT40 Mk II sukses mengangkangi mobil-mobil Ferrari dengan menjadi penguasa podium satu sampai tiga.  Namun, hasil itu menyembulkan kontroversi. Miles merasakan getirnya racing order dari Ford agar mengalah dari tim Ford lainnya. Padahal sekira sejam sebelum balapan itu berakhir, Miles sedang memimpin jauh di depan. Di momen pit stop terakhir, Miles-Hulme diperintahkan untuk memperlambat mobil. Henry Ford II ingin melihat ketiga mobilnya bisa terangkap kamera saat melintas garis finis. Masalahnya, duet Bucknum-Hutcherson di mobil ketiga Ford masih tertinggal 12 lap. Miles tak bisa protes. Bentuk kekesalan hanya bisa disalurkan dengan memperlambat lagi laju mobilnya lantaran sudah enggan juara. Menjelang garis akhir ketika ketiga mobil Ford sudah berdekatan, ia sengaja memperlambat laju mobil hingga kemudian duet McLaren-Amon menyusulnya. “Tentu saja saya kecewa, namun apa yang bisa Anda lakukan lagi terhadap perintah itu,” kata Miles kesal, dilansir suratkabar TheCumberland News , 20 Juni 1966. Tiga mobil Ford GT40 Mk II yang finis urutan satu, dua dan tiga di 24 Hours Le Mans 1966 (Foto: Repro "World War II Veterans in Motorsports"/Shelby Collections) Dua bulan setelah Le Mans, Miles menemui ajalnya saat tengah mengujicoba mobil J-Car, yang dikembangkan Shelby bersama Miles, di Riverside International Raceway, California, 18 Agustus 1966. Mobilnya terbang dan kemudian hancur saat menghantam aspal. Miles tewas di tempat. Shelby amat kehilangan atas tewasnya sang sahabat. “Hati saya hancur ketika kami kehilangan Ken,” kata Shelby, dikutip Starkey. Terlepas dari suasana duka, J-Car tetap dikembangkan atas perintah Ford. Mobil yang namanya diganti menjadi GT40 Mk IV itu resmi mengaspal pada 1967. Kerangka besi kemudian ditambahkan pada badan mobil setelah otoritas balapan mewajibkannya pada semua mobil balap pasca-kecelakaan Miles.

  • Jalan Panjang Korps Marinir

    Jalesu Bhumyamca Jayamahe ,artinya: “Di Laut dan Darat Kita Jaya”, menjadi slogan terkenal Korps Marinir. Salah satu pasukan komando utama milik TNI Angkatan Laut ini merayakan hari kelahirannya setiap tanggal 15 November. Tahun ini mereka genap berusia 74 tahun. Pada awal pembentukannya, Korps Marinir dipercaya Barisan Keamanan Rakyat (BKR) menjaga keamanan wilayah laut Indonesia. Mereka memegang peranan penting dalam menghalau segala ancaman dari laut, terutama di pulau Jawa. Kesatuan ini aktif membantu perjuangan rakyat dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Bagaimana sejarah pembentukannya? Pasukan Pengaman Laut Pembacaan teks proklamasi oleh Sukarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 menjadi genderang perjuangan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaannya. Sebagai wadah perlawanan, dibentuklah Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada 22 Agustus 1945. Tugas utama badan keamanan ini adalah menghimpun kekuatan rakyat dalam usaha mengusir sisa-sisa tentara asing dan menjaga keadaan aman di seluruh wilayah Indonesia yang baru merdeka. Namun sebagai negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya berupa lautan, pertahanan laut mesti segera ditingkatkan. Maka pada 10 September 1945, BKR mendirikan Badan Keamanan Rakyat Laut, yang mendapat tugas khusus menjaga wilayah laut Indonesia. Dalam Korps Marinir TNI-AL , Djoko Pramono menyebut kekuatan BKR Laut ini saat pertama kali terbentuk tidak semuanya berasal dari anggota terlatih yang pada masa Belanda dan Jepang mendapat pelatihan pada suatu kesatuan khusus. “Para guru dan pelajar sekolah pelayaran, karyawan dari jawatan-jawatan pelayaran, mantan pasukan Angkatan Laut Belanda ( Koninklijke Marine ), Heiho Laut ( Kaigun Heiho ), para nelayan, dan rakyat,” ucap Pramono. Perjuangan pertama kesatuan BKR Laut ini terjadi di Semarang, dalam usaha melucuti senjata tentara Jepang. Di Purwodinatan, Semarang, kekuatan pelajar dan BKR Laut bekerjasama menguasai kaiji (pelabuhan) Semarang yang saat itu masih menjadi basis kekuatan Jepang di sana. Setelah pelabuhan berhasil dikuasai, dibentuklah organisasi pengamanan wilayah laut di bawah pimpinan Soemarno. Pasukan TKR Laut (Foto: Buku  Ensiklopedia Korps Marinir TNI AL Jilid 2 ) Dalam organisasi pengamanan laut yang baru dibentuk ini terdapat dua divisi, yakni Divisi Perkapalan yang diketuai OB Sja’af dan Djatmiko Legowo, dan Divisi Keamanan yang diketuai oleh Achmad Dipo, Darono, Oemar Said, dan Soepardi. Kedua divisi tersebut diisi oleh kurang lebih 41 anggota yang tergabung dalam BKR Laut. Menurut Totok Irianto, dkk dalam Ensiklopedia Korps Marinir TNI AL Jilid 2: Periode 1945-1950 , tugas Divisi Keamanan pada waktu itu terutama adalah melakukan pengamanan di seluruh  Pelabuhan Semarang dari kemungkinan gangguan keamanan dari sisa-sisa kekuatan militer Jepang, serta para pencuri yang berusaha mengambil barang-barang berharga dari pelabuhan. “Dengan hanya berbekal 20 pucuk senjata api yang beraneka ragam jenis dan semangat proklamasi, para pejuang kemerdekaan ini melaksanakan tugas dengan baik tanpa mengenal menyerah,” tulis Irianto. Begitu berhasil memastikan keamanan di pesisir, para anggota BKR Laut ini langsung bergabung dengan pasukan utama di kota Semarang. Mereka ikut membantu pelucutan senjata dan pengamanan kota. Kemudian melalui Maklumat Pemerintah tanggal 5 Oktober 1945, kesatuan BKR Laut berganti nama menjadi TKR Laut. Sikap tentara Jepang yang tidak kooperatif saat proses pelucutan membuat suasana di Semarang menjadi tegang. Bentrokan antara Kidoo Butai (Pasukan Istimewa Jepang), Batalyon Kido, Batalyon Yagi, dan Kompi Sato dengan laskar pejuang Semarang akhirnya tidak dapat dihindarkan. Persitiwa yang dikenal sebagai “Pertempuran 5 hari Semarang” itu berlangsung dari 15 sampai 19 September 1945. Menurut Han Bing Siong dalam The Secret of Major Kido: The Battle of Semarang 15-19 Oktober 1945 pertempuran terjadi hampir di seluruh wilayah kota. TKR Laut yang baru bergabung dengan TKR Darat, TKR Udara, Pesindo, dll, segera ditempatkan di garis depan. Korban bejatuhan dikedua belah pihak. Tercatat lebih dari 2000 orang dari pihak Indonesia gugur. Setelah bentrokan dengan Jepang mereda, pasukan Sekutu mendarat di pantai Semarang. Bentrokan besar kembali terjadi di kota Lumpia tersebut pada 21 Oktober 1945. Perlawanan yang jauh lebih besar dari pasukan Sekutu membuat TKR tidak mampu mempertahankan kota. Semarang pun akhirnya jatuh ke tangan musuh. Potret pasukan TKR Laut (Foto: Buku  Ensiklopedia Korps Marinir TNI AL Jilid 2 ) Mengetahui kota telah dikuasai Sekutu, pasukan TKR Laut bergerak mencari tempat baru untuk menghimpun kekuatan. Dikomandoi Nazir, Agoes Soebekti, Soekamto, dan Wiranto, tentara laut ini hijrah ke wilayah Jawa Tengah, tepatnya di Demak dan Pati. Di sana TKR Laut bergabung dengan para pemuda lain dan membentuk Laskar Rakyat Laut. “Dalam pertimbangan kemudian, karena daerah Demak-Jepara dipandang kurang strategis sebagai basis pertahanan melawan Sekutu, maka diputuskan untuk segera meninggalkan daerah tersebut,” tulis Irianto. Pasukan TKR Laut lalu direncanakan bergerak ke kota Tegal. Kota di wilayah pantai utara Jawa Tengah itu dianggap memiliki potensi yang lebih baik dalam menghimpun kekuatan kemaritiman, dibandingkan dua kota sebelumnya. Namun untuk mencapai Tegal, pasukan TKR Laut harus bisa menembus pertahanan kota Semarang yang telah sepenuhnya dikuasai tentara Sekutu. Melewati Krisis di Semarang Usaha melewati kota Semarang menuju Tegal, kata Irianto, telah menjadi legenda tersendiri di kalangan pasukan maritim Indonesia. Satu-satunya cara untuk pasukan TKR Laut saat itu bergerak dari Demak menuju Tegal hanyalah dengan menggunakan kereta api. Mereka harus bisa melewati Semarang yang telah menjadi basis kekuatan pihak Sekutu. Di bawah pimpinan Darwis Djamin, pasukan TKR Laut mempersiapkan diri melewati maut di kota Semarang. Agar rencana berjalan lancar, pimpinan TKR Laut segera menghubungi berbagai pihak agar bersedia membantu perjalanan mereka. Termasuk mencari bantuan dari pegawai kereta api di Semarang supaya meloloskan kereta yang mereka tumpangi. Kode-kode tertentu juga telah disiapkan. Hanya masinis, tukang rem, pegawai pintu kereta, dan anggota TKR Laut yang tahu maksud isyarat itu. Bahkan demi keamanan dan kelancaran selama perjalanan, beberapa pejabat kereta api yang tidak dapat dipercaya segera diganti dengan orang lain yang berpihak kepada para pejuang kemerdekaan. Mobilisasi pasukan menggunakan kereta api (Foto: Buku  Ensiklopedia Korps Marinir TNI AL Jilid 2 ) Begitu kereta tiba di Demak, seluruh pasukan dipersiapkan dengan rapi memasuki seluruh gerbong. Pintu dan jendela kereta ditutup rapat-rapat. Kereta melaju dengan cukup cepat tanpa berhenti di stasiun manapun. Ketika sampai di Semarang, laju kereta sedikit diperlambat. Petugas, calon penumpang dan tentara Sekutu yang berada di sekitar stasiun dibuat heran karena kereta tidak berhenti. Awalnya tentara yang berjaga tidak menaruh curiga, namun sesaat setelah laju kereta kembali dipercepat mereka mulai sadar bahwa di dalam kereta terdapat para pejuang yang melarikan diri. “Segera moncong-moncong senapan tentara Sekutu memuntahkan peluru ke arah kereta, namun sia-sia karena gerbong kereta telah berada di luar jangkauan berondongan timah-timah panas itu,” ucap Pramono. Membangun Kekuatan Setiba di Tegal, rombongan Darwis Djamin segera bergabung dengan pasukan TKR Laut di sana. Kedudukan pasukan Tegal semakin kuat setelah datangnya rombongan Laksamana Adam dan Ali Sadikin dari Jakarta, berjumlah kurang lebih 60 orang. Pasukan ibu kota itu bergabung atas perintah M. Pardi (perintis Angkatan Laut Republik Indonesia), untuk memperkuat posisi TKR Laut Tegal. Rombongan berikutnya yang turut bergabung ke Tegal adalah rombongan mantan prajurit laut Belanda dan bekas tentara KNIL. Kekuatan pasukan pesisir Jawa Tengah ini terus bertambah seiring masuknya gelombang para pejuang, baik rombongan maupun perseorangan, yang tergerak untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. “Pemimpin pertama dalam tahap konsolidasi TKR Laut di Tegal adalah Darwis Djamin dari Demak, dengan pangkat Letnan Kolonel dan kemudian Kolonel. Selanjutnya ditunjuk sebagai Wakil Komandan Pangkalan adalah Marzis dan AF Langkay sebagai Kepala Staf,” tulis Irianto. Anggota Korps Marinir (Foto: Buku  Ensiklopedia Korps Marinir TNI AL Jilid 2 ) Semakin banyaknya pasukan yang begabung dengan TKR Laut Tegal membuat pengorganisasian pasukan mesti cepat dilakukan. Maka dibentuklah tiga korps sebagai permulaan, yakni Korps Navigasi, Korps MSD ( Machine Stoom Dienst ), dan Corps Mariniers (CM). CM dibentuk pada 15 November 1945. Satuan ini dipimpin pertama kali oleh Mayor Agoes Soebekti. Melalui Surat Keputusan Menteri Pertahanan No. A/565/1948 tanggal 9 Oktober 1948, Corps Mariniers disahkan menjadi Korps Komando Angkatan Laut (KKO AL).

  • Larangan Hitam untuk Armada Hitam

    “Tentara dan perwira Belanda jangan diberi transportasi. Amunisi Belanda jangan disentuh. Reparasi kapal-kapal Belanda, dll., jangan dikerjakan. Kapal-kapal Belanda jangan diberi batubara. Pandu jangan diberikan kepada kapal-kapal Belanda. Makanan, perbekalan, dll., jangan diberikan kepada kapal, kantor atau personel Belanda. Para perwira dan pelaut Belanda jangan dibawa ke dan dari kapal. Sejatinya segala sesuatu tentang Belanda adalah hitam.” Begitulah bunyi selebaran yang diedarkan oleh Departemen Perdagangan dan Buruh Australia pada Oktober 1945. Selebaran ini dikeluarkan menyusul boikot besar-besaran terhadap kapal-kapal Belanda yang hendak menuju Indonesia, sejak September 1945. Boikot ini dikenal dengan nama “larangan hitam”. Sementara itu, kapal-kapal Belanda di Australia mendapat julukan "Armada Hitam". Narasi tentang hubungan diplomatik Australia-Indonesia dalam rentang waktu 1945-1949 ini dipamerkan di Museum Nasional bertajuk Two Nations, A Friendship is Born . Pameran yang dibuka sejak 11 November 2019 ini menyajikan foto-foto, potongan surat kabar, sketsa-sketsa serta lukisan yang berkaitan dengan dukungan Australia terhadap kemerdekaan Indonesia. Sejarah hubungan Indonesia-Australia disajikan dalam bentuk foto, potongan surat kabar hingga film. (Fernando Randy/Historia). Boikot Belanda Pasca Jepang menyerah pada Sekutu dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaan 17 Agustus 1945, kapal-kapal Belanda tengah bersiap di pelabuhan-pelabuhan Australia. Kala itu, Belanda hendak mencoba peruntungan untuk kembali menguasai wilayah Indonesia. Pada 24 September 1945, kapal-kapal Belanda di Brisbane dan Sydney diboikot. Kota Melbourne dan Fremantle kemudian menyusul. Dalam waktu singkat, boikot terhadap kapal-kapal belanda meluas ke serikat buruh industri maritim Australia. Tukang ketel, teknisi, pekerja besi, tukang cat kapal dan petugas dok, tukang kayu, petugas gudang, juru tulis hingga awak kapal pandu, turut dalam gerakan tersebut. Hal ini membuat kapal-kapal Belanda tidak dapat meninggalkan pelabuhan. Kapal Van Heutz yang mengangkut pejabat pemerintah, tentara dan senjata Hindia Belanda tertatih-tatih berlayar dari Brisbane ke Jawa dengan sedikit pasokan batubara dan perbekalan. Sementara itu, kapal Karsik yang mengangkut uang Belanda dan kapal Merak tertahan di Melbourne karena tidak mendapat batubara. Pada 28 September 1945, kantor-kantor perusahaan pelayaran dan diplomatik Belanda didemo para pekerja. Mereka membawa spanduk bertuliskan “Lepaskan Indonesia.” Aksi ini semakin meningkat pada Oktober 1945. Pada 1946, kamp tawanan perang Belanda di Australia diprotes. Kamp ini berisi tentara Indonesia di angkatan bersenjata Belanda yang menuntut repatriasi ke Indonesia untuk bergabung dengan pasukan Republik. Warga Australia bersimpati. Mereka memberikan hadiah Natal kepada para tahanan namun ditolak penjaga Belanda. Beberapa penduduk Casino di utara New South Wales kemudian mendirikan Komite Pembela Warga Indonesia. Mereka menuntut kamp ditutup. Pada April 1946, penjaga kamp melepaskan tembakan ketika 480 narapidana melakukan demonstrasi. Satu orang tewas dan satu terluka. Atas peristiwa itu, Arthur Caldwell, Menteri Imigrasi Australia, mengancam akan mengusir para penjaga Belanda. Belanda akhirnya setuju merepatriasi para narapidana. Atas bantuan serta biaya pemerintah Australia mereka bisa kembali ke tanah air. Arthur Caldwell juga merupakan orang yang berjasa memulangkan 1.416 warga Indonesia di mana sebagian merupakan mantan tahanan politik dari kamp Boven Digul, Papua. Pengunjung bisa melihat sketsa dan lukisan Tony Rafty, seniman dan kartunis Australia. (Fernando Randy/Historia). Sahabat-Sahabat dari Australia Pada saat yang bersamaan, banyak tentara Australia yang tinggal di Indonesia bersimpati dengan perjuangan bangsa Indonesia. Mereka kemudian turut membagikan pamflet serta ikut menyebarkan propaganda Republik. “Kami Angkatan Bersenjata bangga dengan aksi yang dilakukan oleh serikat buruh anda dan … yang memiliki pengetahuan langsung tentang mereka dan kondisi mereka … yakin bahwa klaim masuk akal,” tulis Angkatan Bersejata Australia kepada James Healy, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Buruh Pelabuhan Air. Selain para tentara, ada pula Noel Constantine, pilot Angkatan Udara Inggris (RAF) yang pada 1946 keluar dari RAFF dan kembali ke Australia. Dia kemudian terlibat dalam misi mengirim perlengkapan medis dari Singapura ke Indonesia. Pada 29 Juli 1947, pesawat yang dipiloti oleh Constantine ditembak jatuh oleh pesawat Kittyhawk Belanda beberapa saat sebelum mendarat di Yogyakarta. Dalam peristiwa itu, hanya satu orang penumpang yang selamat. Constantine, istrinya dan kopilot Roy Hazlehurst gugur. Pesawat itu juga ditumpangi tiga perwira AURI yakni Adisutjipto, Abdul Rachman Saleh, dan Adisumarmo, yang juga gugur dalam peristiwa itu. Orang Australia lain yang memiliki peran penting ialah diplomat Australia William MacMahon Ball dan Joe Isac, dosen muda dari Universitas Melbourne. Mereka mengemban misi mencari fakta ke Jakarta pada 1945. Sementara itu, Molly Warner, seorang organisator, jurnalis dan penerjemah, merintis advokasi Australia untuk Kemerdekaan Indonesia. Molly berkiprah di Asosiasi Australia-Indonesia dan kemudian menikah dengan eks Digulis, Mohamad Bondan. Atas permintaan Indonesia, para pengamat militer Australia juga dikirim ke Indonesia untuk menjaga perdamaian. Setelah Belanda melancarkan agresi militer, Australia membawa permasalahan ini ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Australia kemudian ditunjuk oleh Indonesia sebagai perwakilan di Komite Jasa Baik yang dibentuk untuk mensponsori perundingan antara Indonesia dengan Belanda. Hakim Agung Australia Richard Kirby dan kemudian Tom Critchley membuat perjanjian gencatan senjata pada Januari 1948. Meski Belanda mengkhianati Perjanjian Renville tersebut dan melancarkan agresi militer kedua, Australia telah berperan penting dalam Komite Jasa Baik itu. Melalui narasi sejarah, pameran ini hendak mempererat hubungan dua negara. (Fernando Randy/Historia). Periode 1947-1949 menjadi puncak hubungan baik antara Indonesia dan Australia di bawah pemerintahan Ben Chifley. Namun, pada Desember 1949, Chifley digantikan oleh Menzies yang konservatif. Hubungan Indonesia-Australia pun mulai melemah. Peran terakhir Australia era itu adalah sebagai sponsor bersama keanggotaan Indonesia di PBB. Indonesia menjadi anggota PBB ke-60 pada 28 September 1950. Dalam pameran ini, pengunjung bisa melihat sketsa dan lukisan Tony Rafty. Seniman dan kartunis Australia itu bertugas sebagai jurnalis perang untuk Angkatan Darat Australia di Nugini, Kalimantan, dan Singapura. Selama Perang Dunia II, Rafty banyak merekam peristiwa-peristiwa melalui sketsa dan lukisan. Ia juga pernah melukis Sukarno. Dua film tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia serta peran Australia di dalamnya juga dapat disaksikan dalam pameran ini. Indonesia Calling karya Joris Ivens menampilkan aksi solidaritas pekerja pelabuhan di Sydney kepada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sedangkan film Batavia 1945 karya Graeme Isaac menarasikan kisah William MacMahon Ball dan Joe Isaac dalam misi pencari fakta di Jakarta.

  • Perjuangan Rohana dalam Pendidikan Kaumnya

    KENDATI masih berusia delapan tahun, sebagai gadis tertua Sitti Rohana (Kudus) mendapat tugas menjaga dua adiknya, Ratna dan Ruskan. Rohana tak merasa terbebani. Sembari menjaga, Rohana biasa menjalankan hobinya membaca dan menulis. Terkadang, Rohana membacakan cerita pada dua adiknya itu di teras rumah. Orang-orang yang lewat pun menyaksikan Rohana dengan perasaan heran sekaligus kagum. Kala itu di Simpang Tonang Tolu, Pasaman, Minangkabau, amat jarang anak perempuan bisa membaca dan menulis, terlebih huruf latin. Alhasil, anak-anak lain ikut berkumpul di rumah Rohana untuk mendengarkan kisah yang ia bacakan. Keluarga Rohana merupakan pendatang di Simpang Tonang Tolu. Mereka mulai tinggal di sana pada 1892. Kampung halaman keluarga Rohana berada di Koto Gadang. Profesi ayahnya, Moehammad Rasjad Maharadja Sutan, sebagai Hoofd Djaksa (Kepala Jaksa) di pemerintah Hindia Belandalah yang membuat keluarga itu sering pindah mengikuti kepindahan tugas Sutan. Dua tahun sebelum tinggal di Simpang Tonang Tolu, Rohana dan keluarga tinggal di Alahan Panjang. Di sana, Rohana punya ibu angkat bernama Adiesa yang gemar mengajarinya berbahasa Belanda, membaca, dan menulis. Keresahan akan minimnya akses pendidikan untuk anak-anak perempuan sudah dirasakan Rohana sejak kecil. “Ayah, mengapa hanya anak laki-laki yang diperbolehkan sekolah? Kapan ada sekolah untuk anak perempuan di sini? Kapan saya bisa sekolah?” tanya Rohana kecil. Beruntung, ayah Rohana bisa memahami kesedihan anaknya dengan cara rutin menyuplai bacaan anak di samping berlangganan koran dan majalah. Dari koleksi bacaan itulah Rohana menambah pengetahuannya. Alhasil, meski tak pernah merasakan bangku sekolah formal, Rohana beruntung karena ayah, ibu, dan orang-orang sekitarnya mengajarkan kemampuan baca-tulis-hitung dan keterampilan lain seperti menjahit dan menyulam. Rohana pun tak pelit berbagi ilmu. Ia senang sekali ketika teman-teman sebayanya menyimak apa yang ia baca. Di antara tetangga Rohana yang suka mendengarkan ceritanya, ada pula yang tertarik belajar membaca dan menulis. Mereka minta dituliskan nama masing-masing di telapak tangannya. Begitu melihat tulisan namanya, anak-anak perempuan itu amat gembira dan mencoba menghafal goresan di tangannya. Kadang, Rohana membawa buku bacaan atau majalah langganan ayahnya ke teras rumah. Di sanalah ia akan bersenang-senang bersama teman-temannya. Membacakan cerita lucu dengan lantang sambil mengajari mereka cara membaca. Dari situlah Rohana mulai mengajari teman-teman dan tetangganya baca-tulis. “Ayah, saya punya cita-cita. Saya ingin melakukan sesuatu untuk mengubah perlakuan tidak adil pada perempuan terutama di bidang pendidikan dan pekerjaan,” kata Rohana kecil seperti dikutip Fitriyanti dalam Wartawan Perempuan Pertama Indonesia: Rohana Kudus. Setelah beberapa tahun di Simpang Tonang Talu, Rohana kembali ke kampung halamannya pada 1901. Kala itu usianya 17 tahun dan ibunya, Kiam, sudah empat tahun meninggal ketika melahirkan anak paling kecil. Ayah Rohana lantas menikah lagi dengan Asiah, adik Kiam. Di Koto Gadang, Rohana tinggal di rumah neneknya, Tuo Tarimin, dan ibu tiri sekaligus bibinya. Di rumah itu tinggal pula adik neneknya, Tuo Sini, yang amat dekat dengan Rohana. Kedua neneknya inilah yang mengajari Rohana menjahit, menyulam, dan menganyam. Membangun Amai Setia Di kampung halamannya, keinginan Rohana untuk memajukan pendidikan kembali tumbuh. Ia pun membuka kelas kecil di salah satu kamar di rumah neneknya. Selain tulis-menulis, kegiatan lain yang diajarkan Rohana ialah menjahit, menyulam, merenda, dan menenun. Mulanya, murid Rohana hanya tetangga-tetangga perempuan sebayanya. Lambat laun, yang datang makin beragam, tak terkecuali ibu-ibu dan anak-anak lelaki yang tak sekolah. Makin bannyaknya murid membuat Rohana berpikir untuk membuka sekolah. Untuk mewujudkan keinginan itu, Rohana menjaring dukungan dari para tokoh perempuan setempat. Ia lantas meminta bantuan Ratna Puti, istri seorang jaksa. Lewat bantuan Ratna Puti, sekira 60 perempuan yang terdiri dari istri para pemuka adat, agama, dan pejabat daerah (para Bundo Kanduang ) berhasil diundang dalam pertemuan perempuan Koto Gadang. Dalam pertemuan itu, Rohana mengutarakan pentingnya membuka sekolah bagi anak perempuan di Koto Gadang untuk menyiapkan mereka menjadi orang yang mandiri. “Khususnya bagi perempuan dari kalangan tidak mampu. Apabila perempuan bisa mencari nafkah untuk diri sendiri, paling tidak, kaum perempuan tidak akan bergantung pada orang lain. Hidup terus berjalan, masalah selalu ada. Kita tidak bisa diam dan hanya menangis,” kata Rohana dalam pertemuan tersebut. Pidato itu menggugah hati para Bundo Kanduang . Alhasil, mereka sepakat membentuk perkumpulan Kerajinan Amai Setia (KAS) pada 11 Februari 1911. Perkumpulan ini selanjutnya mendirikan sekolah kepandaian putri, mengajarkan baca-tulis huruf Arab, Arab-Melayu, dan latin. Rohana duduk sebagai presiden perkumpulan KAS dan sebagai direktris perguruan itu. Peresmian sekolah KAS disambut baik masyarakat dan beberapa orang Belanda dari jawatan pendidikan. Namun, sekolah KAS tak punya bangunan sendiri. Lokasi kelas masih di rumah nenek Rohana meski muridnya sudah bertambah banyak. Ruangan itupun menjadi sesak. Sementara, untuk membangun sekolah KAS Rohana tak punya uang. Ia lalu meminta bantuan pemerintah untuk membuat lotere, “permainan” yang sering dipilih pemerintah kolonial untuk mengumpulkan uang dari warganya. Setelah mengajukan rekes (surat permohonan), Rohana mendapat izin pemerintah untuk mengadakan lotere. Dikisahkan Tamar Djaja dalam Rohana Kudus, Srikandi Indonesia , uang yang berhasil dikumpulkan dari permainan lotere itu mencapai 10.000 gulden. Hasil lotere itulah yang digunakan Rohana untuk membangun gedung sekolah KAS. Pada 1917, Rohana yang sudah menikah dengan Abdul Kudus pindah ke Bukittinggi. Dengan dukungan suaminya, Rohana mendirikan Rohana School di rumah kontrakannya. Kerier mengajarnya terus berlanjut. Ketika berada di Medan, serikat kaum guru di sana memintanya menjadi guru Sekolah Dharma dengan gaji 50 gulden. Upah itu cukup tinggi mengingat gaji sebesar itu biasanya diterima oleh guru lulusan kweekschool. Di tempat barunya ini, Rohana terus menyebarkan pemikirannya bahwa perempuan harus mandiri dan berdaya. “Perempuan harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik, tidak untuk ditakut-takuti, dibodoh-bodohi, apalagi dianiaya,” kata Rohana.

  • Janji Seorang Komandan DI/TII

    PEMBERONTAKAN Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) merupakan pembangkangan bersenjata paling panjang dalam sejarah Indonesia. Usianya berlangsung hingga 13 tahun lamanya (1949-1962). Versi orang-orang DI/TII sendiri perlawanan itu bahkan masih berlangsung hingga tahun 1964. Di awal revolusi, para anggota DI/TII (sebagian besar berasal dari lasykar Hizbullah dan Sabilillah) sejatinya ikut bahu membahu melawan militer Belanda bersama TNI. Pada 1946-1947, mereka kerap melakukan patroli dan penghadangan bersama. “Tak aneh jika hubungan kami sangat akrab dan seperti saudara,” ujar Asikin Rachman (96), salah seorang eks anggota TNI di wilayah Tasikmalaya. Permusuhan mulai mewarnai hubungan orang-orang DI/TII dengan para prajurit TNI pada awal 1949. Saat itu, pimpinan tertinggi DI/TII (S.M. Kartosoewirjo) memerintahkan anak buahnya untuk memerangi para prajurit TNI yang pulang kandang ke Jawa Barat akibat bubarnya kesepakatan Perjanjian Renville. “Begitu pulang long march dari Jawa Tengah, eh di Jawa Barat, kami dibantai dan diracuni oleh orang-orang DI/TII,” ungkap Rachman. Puncak permusuhan terjadi manakala Kartosoewirjo memproklmasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) pada 7 Agustus 1949. Tersebutlah Batalyon F.22 Djaja Pangrerot pimpinan Mayor Soegih Arto. Begitu TNI hijrah ke Jawa Tengah pada awal 1948, Yon F.22 diperintahkan untuk tetap “bertahan” di Jawa Barat dan merubah kesatuannya menjadi sejenis pasukan liar. Perintah yang datang langsung dari atasannya itu (Letnan Kolonel Daan Yahya, Komandan Brigade Guntur Divisi Siliwangi) langsung disanggupi oleh Mayor Soegih. Usai TNI keluar dari Jawa Barat, Mayor Soegih kemudian “membubarkan” Yon F.22. Dia memecah batalyon-nya menjadi unit-unit setingkat antara kompi dan seksi (sekitar 100 orang). Salah satu unit itu bernama Pasukan Siloeman, yang dipimpin oleh orang kepercayaannya, Letnan Muda Achmad Soengkawa. Pasukan Siloeman dalam petualangannya ternyata merambah sampai jauh dari wilayah teritorial eks Yon F.22. Mereka melakukan penjelajahan bahkan hingga ke Cianjur Utara.  Di wilayah tersebut, Pasukan Siloeman melakukan kerjasama dengan unit-unit bersenjata yang ada di bawah TII. Karena putus koordinasi dengan induk pasukan, lambat laun Letnan Muda Achmad Soengkawa terpengaruh ide-ide DI/TII dan memutuskan untuk bergabung dengan angkatan bersenjata NII itu. Soegih masih ingat, suatu hari dia mendapat surat dari seorang kurir yang dikirim langsung oleh Letnan Muda Soengkawa. Dalam surat tersebut, Soengkawa menyatakan bahwa dia mengundurkan diri dari Yon F.22 dan diangkat sebagai bupati sekaligus komandan resimen di DI/TII. “Tapi Pak, meskipun organisasi berlainan, Pak Soegih pribadi tetap bapak saya pribadi,” tulis Soengkawa seperti dikutip oleh Soegih Arto dalam bukunya Sanul Daca (Saya Nulis Anda Membaca) Pengalaman Pribadi Letjen (Purn.) Soegih Arto . Kata-kata Soengkawa itu kelak dibuktikannya dalam suatu peristiwa. Suatu ketika pada 1950, Mayor Soegih Arto mendapat tugas untuk memimpin suatu operasi pembersihan unsur-unsur DI/TII di Garut. Saat tiba di suatu wilayah pegunungan dekat selatan Majalaya, Bandung Barat, pasukan Soegih harus melewati suatu tebing yang potensial dijadikan tempat penghadangan oleh pasukan musuh. “Di atas tebing terdapat sebatang pohon beringin, saya melewati pohon beringin itu dengan selamat…” kenang Soegih. Namun baru saja lewat dari kawasan itu (sekitar 100 meter), Soegih yang menunggang seekor kuda, mendengar kegaduhan di belakangnya. Terdengar serentetan tembakan, disusul para pengawal-nya berlarian menaiki tebing itu sambil berteriak-teriak. Tak lama kemudian, mereka datang dengan membawa seorang tawanan DI/TII. Rupanya tawanan DI/TII itu adalah seorang prajurit pemegang Brengun. Dia ditugaskan untuk menghabisi pimpinan pasukan TNI (Mayor Soegih Arto) yang tengah menuju Garut itu. Namun baru saja dia membidikan arah moncong Brengun-nya, tetiba Achmad Soengkawa  (komandan pasukan DI/TII tersebut) berteriak. “Jangan tembak! Itu bapak saya!”ujarnya sambil memukul kepala Si Pemegang Brengun. Merasa kesakitan dan pusing, Si Pemegang Brengun refleks melepaskan senjatanya hingga jatuh ke bawah. Saat diburu, semua pasukan penghadang dari DI/TII langsung melarikan diri, kecuali Si Pemegang Brengun yang sudah tak berdaya akibat kepalanya dipukul komandannya sendiri. Achmad Soengkawa sendiri berhasil lolos. “Andaikan Achmad Soengkawa tidak memukul anak buahnya yang hendak menembak saya, mungkin saya sudah mati ditembak peluru Brengun. Dia menepati janjinya bahwa dia akan memperlakukan saya seperti bapaknya pribadi,” kenang Soegih Arto. Sejak penghadangan itu, Soegih Arto tak pernah bertemu lagi dengan Achmad Soengkawa. Hingga sekitar tahun 1960-an, dia mendengar mantan anak buah kesayangannya itu tewas tertembak peluru TNI di Sukabumi.

bottom of page