top of page

Hasil pencarian

9590 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Praktik Aborsi di Era Kolonial

    DI era kolonial, aborsi dilarang oleh hukum Kristen. Penolakan pada praktik pengguguran janin ini jadi satu suara mutlak kala itu lantaran hukum kolonial juga melarangnya. Jadi, ada kesamaan prinsip antara pemimpin moralis dari penjajah maupun terjajah. Sementara, laporan petugas kesehatan GHG Harloff tahun 1853 menyebutkan, orang Jawa tidak memandang aborsi sebagai sebuah tindakan kriminal atau dosa. Mereka bisa menjalankan aborsi karena keinginan si perempuan bahkan jika diketahui suaminya. Harloff dalam laporannya berharap praktik aborsi ini perlahan berubah karena pengaruh “peradaban Barat” dan pemberlakuan hukuman. Pernyataan Harloff tentang peradaban barat semacam kebanggaan kosong sebab perempuan Eropa juga melakukan aborsi. Liesbeth Heeselink dalam Healers on the Colonial Market menulis, secara resmi dokter Eropa tidak menjalankan prosedur pengguguran kandungan karena dilarang sehingga tidak pernah dipelajari. Aturan tentang aborsi ini disahkan pada 1881 di Belanda dalam Wetboek van Strafrecht . Peraturan ini mendapat penolakan pada 1886 yang menyasar praktisi kesehatan dan perempuan. Dari laporan Van den Burg, mayoritas dokter Eropa menolak permintaan pasien yang ingin menggugurkan janin. Namun beberapa dokter mengaku pernah melayani keinginan perempuan untuk mengugurkan kandungan. Dokter J Schülein pernah menulis surat untuk van den Burg pada 1905. Selama 25 tahun kariernya, ia mengaku pernah dua kali melayani keinginan perempuan untuk aborsi. Sangat sulit menemukan dokter yang mau membantu menggugurkan kandungan seperti Schulen. Alhasil, perempuan Eropa pergi ke dukun jika ingin melakukan aborsi. Lewat para dukun inilah praktik pengguguran kandungan dilakukan perempuan Eropa, Tionghoa, maupun pribumi. Masih dalam laporan Harloff, dukun beranak bahkan bisa menjalankan aborsi hanya dengan jamu. Selain dibekali kemampuan penanganan persalinan dan perawatan bayi, para dukun juga punya pengetahuan untuk pencegahan kehamilan (kontrasepsi) dan peningkatan kesuburan. Dalam laporannya tahun 1882, Van der Burg menyebut dukun juga bisa mencegah kehamilan pada gadis  dengan pijatan khusus. Melalui pijatannya, dukun mengubah posisi rahim, mengurangi kemungkinan untuk hamil. Jika si perempuan ingin memiliki anak, si dukun bisa mengubah posisi rahim seperti semula. Sementara dalam ilmu pengobatan Eropa, metode kontrasepsi dan obat aman untuk menggugurkan kandungan belum ditemukan. Padahal di samping melayani kebutuhan si perempuan, ilmu pengguguran kandungan juga perlu dipelajari untuk menyelamatkan nyawa ibu pada kondisi kritis. Meski sebagian dokter Eropa seperti Harloff menyerang praktik aborsi, di satu sisi ada pula dokter dan peneliti Eropa yang melakukan riset pada kerja-kerja dukun. Salah satunya Dokter Van der Scheer yang meneliti tentang resep jamu para dukun. Ia menghimpun informasi dari para dokter Jawa kenalannya. Ketertarikan ini diikuti dokter Eropa lain. Hingga 1900, para cendikiawan Eropa terus meneliti pengobatan lokal, termasuk metode perawatan dan pijatan dukun untuk melayani aborsi. Pada 1918, pemerintah kolonial mengadopsi hukum larangan aborsi yang berlaku di Belanda ke negeri jajahan. Aborsi dimasukkan dalam hukum pidana yang menghukum praktisi kesehatan pemberi layanan dan pasien yang menjalani pengguguran kandungan. Aturan hukum ini sepertinya tidak begitu ditegakkan. Terence Hull dan Ninuk Widyantoro dalam tulisannya “Abortion and Politics in Indonesia” di buku Abortion in Asia menulis, meski dari laporan pemerintah jumlah aborsi di HIndia-Belanda mencapai ratusan, aduan hukum pada pelaku aborsi tidak lebih dari hitungan jari dalam setahun. Menurut Hull dan Ninuk, alih-alih peraturan ini digunakan sebagai cara pemerintah mempresekusi orang-orang “bengal”. Dokter Suzanne Houtman misalnya yang ditangkap karena membuka praktik aborsi. Suzanne merupakan mantan istri Sam Ratulangi. Ia seorang indo yang lahir dari keluarga kaya. Setelah bercerai dengan Sam Ratulangi, Suzanne kembali ke rumah keluarganya di Jawa. Ia membuka praktik di salah satu rumah besar berpaviliun milik keluarganya. Di sana ia melayani pengobatan orang-orang pribumi dan perempuan. Sebaliknya, ia menolak mengobati keluarga Belanda atau lelaki. Orang Sunda, Jawa, dan Tionghoa, sering terlihat mengantri sebagai pasiennya. Pada 1933, Suzanne ditangkap karena membuka praktik aborsi. Dia dihukum lima tahun di penjara Semarang. Kasus ini jadi kasus yang jarang ditemui di masanya. Padahal, dokter, bidan, dan dukun beranak lain ada juga yang mempraktikkan aborsi dan tidak ditangkap. Tull dan Ninuk berasumsi, Suzanne kemungkinan ditangkap karena aktif menentang penjajahan dan sering menunjukkan perlawanan pada pemimpin konservatif terutama kertika masih jadi istri Sam Ratulangi. Sangkaan aborsi hanya celah yang digunakan untuk meringkusnya. Aturan tinggalan hukum Belanda tersebut masih berlaku hingga Indonesia merdeka. Sementara di Belanda, hukum aborsi dicabut pada 1981 karena dianggap rentan mengkriminalkan perempuan.

  • Ridwan Saidi dan Dapunta Hyang

    Banyak kesalahan yang dilakukan para ahli ketika menerjemahkan prasasti-prasasti Sriwijaya. Karenanya pengertian akan keberadaan Sriwijaya selama ini pun banyak yang salah kaprah. Hal itu dikatakan budayawan Betawi, Ridwan Saidi, dalam salah satu video yang diunggah di kanal YouTube "Macan Idealis". Menurutnya, salah satu kesalahan adalah pengertian mengenai tokoh Dapunta Hyang yang disebutkan dalam Prasasti Kedukan Bukit. Kesalahan itu disebabkan kekhilafan para ahli yang menyangka prasasti itu berbahasa Melayu Kuno. Padahal prasasti itu berbahasa Armenia. “Banyak sekali bahasa Melayu menyerap dari bahasa Armenia. Jadi ketika dibaca oh ini bahasa Melayu padahal bahasa Armenia,” kata Ridwan. Akibatnya, tokoh Dapunta Hyang dikira para ahli sebagai seorang prabu. “Padahal itu artinya image  Tuhan,” kata Ridwan. Selain itu, Ridwan juga menyalahkan penerjemahan kata Sriwijaya. Menurutnya dalam bahasa Armenia, Sriwijaya artinya Sang Ruang. Jadi, Kedatuan Sriwijaya artinya bukan Keraton Sriwijaya, tapi selubung Sang Ruang. Ridwan sendiri mengaku tak membaca keseluruhan Prasasti Kedukan Bukit. Namun, menurutnya, prasasti itu mengisahkan para agamawan yang disebut rsi. Mereka suka sekali air dan buah-buahan segar. Mereka selalu beribadah kepada image Tuhan, yaitu Dapunta Hyang sehingga badan mereka menjadi sehat. Ridwan juga menganggap Prasasti Kedukan Bukit bukanlah bukti adanya Kerajaan Sriwijaya. Namun itu adalah bukti adanya komunitas spiritual kaum Sheba yang dibawa Ratu Sheba pada abad ke-2.  “Jadi, ini maknanya soal beribadah. Ini prasasti soal teologi bukan tentang power . Kedukan Bukit itu teologi dari kaum Sheba,” kata Ridwan. Sementara itu, berdasarkan terjemahan yang dilakukan ahli epigrafi Indonesia, Boechari dan filolog Belanda, J.G. de Casparis, prasasti yang ditemukan di Palembang itu isinya adalah tentang Dapunta Hyang yang naik perahu untuk menempuh suatu perjalanan. Dia berangkat dari Minangga Tamwan membawa bala tentara dua puluh ribu jumlahnya. “…sukacita. pada hari ke lima paro-terang bulan (Asada) lega gembira datang membuat wanua ini… (maka) Sriwijaya berjaya, dan perjalanan itupun berhasil dan makmur sejak itu,” catat prasasti itu. Sebelumnya, N.J. Krom dan Mohammad Yamin menganggap kalau prasasti Kedukan Bukit adalah proklamasi Kerajaan Sriwijaya. Namun, menurut Slamet Muljana dalam Sriwijaya, prasasti ini tak ada hubungannya dengan soal pendirian Sriwijaya. Berdasarkan berita Tiongkok, Sejarah Dinasti Tang , Kerajaan Sriwijaya telah mengirim utusan ke Tiongkok pada 670, sekitar 13 tahun sebelum Prasasti Kedukan Bukit diterbitkan. Artinya, pada 683, yaitu pertanggalan dalam Prasasti Kedukan Bukit, Kerajaan Sriwijaya telah berdiri tegak. Bahkan Dapunta Hyang sudah punya tentara paling tidak 20.000 orang. “Demikianlah anggapan bahwa Piagam Kedukan Bukit adalah piagam proklamasi dengan sendirinya tidak dapat dipertahankan,” tulis Slamet Muljana. Maka, Slamet Muljana pun berpendapat Prasasti Kedukan Bukit adalah prasasti siddhayatra , bahkan prasasti jayasiddhayatra . Maksudnya, prasasti ini mencatat perjalanan jaya sebagaimana disebutkan di dalamnya. Menurutnya sudah jelas bahwa perjalanan jaya adalah kejadian besar dalam kehidupan kenegaraan. Perjalanan jaya itu mempunyai hubungan dengan kemenangan yang diperoleh dalam peperangan. “Piagam Kedukan Bukit itu piagam perjalanan, terbukti karena pada piagam yang terlalu pendek itu tercatat beberapa perjalanan,” tulis Slamet Muljana. Dapunta adalah Gelar Adapun tokoh Dapunta Hyang, menurut Slamet Muljana tak merujuk pada aspek ketuhanan seperti yang dikatakan Ridwan Saidi. Dapunta adalah gelar seseorang. Pasalnya, bukan cuma sekali tokoh bergelar dapunta  ini disebutkan dalam sejarah. Gelar dapunta hyang juga muncul dalam Prasasti Talang Tuwo yang dikeluarkan setahun setelah terbitnya Prasasti Kedukan Bukit. Prasasti Talang Tuwo ditemukan di dekat Bukit Siguntang, Palembang. Di dalamnya, istilah dapunta hyang menjadi awalan bagi nama Sri Jayanasa, yaitu parwanda punta hyang sri jayanasa. Prasasti itu mengisahkan Sri Jayanasa sebagai tokoh yang memerintahkan pembangunan taman Sriksetra. Taman ini ditanami beragam buah-buahan untuk kebaikan masyarakat. Pada akhir prasasti terdapat doa untuk Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Agaknya bunyi prasasti ini yang lebih mirip isi Prasasti Kedukan Bukit versi Ridwan Saidi, yaitu tentang buah-buahan dan doa bagi Dapunta Hyang. Doa itu untuk mendoakan Dapunta Hyang sebagai balasan amalannya, yaitu memberi hadiah taman buah-buahan bagi rakyatnya. Menurut Slamet Muljana prasasti itu lebih jauh mengungkapkan harapan di balik pembangunannya. Di balik keinginan untuk beramal, pemberian hadiah itu juga disertai doa agar Dapunta Hyang memperoleh pula kebaikan. Sesuai ajaran Buddha, taman yang dibangun Sri Jayanasa itu merupakan persembahan dengan tujuan mencapai level tertinggi dalam kehidupan Buddha yang dijalaninya.   Berdasarkan prasasti ini, menurut Slamet Muljana, dapunta hyang adalah gelar penguasa Sriwijaya, yaitu Sri Jayanasa yang memerintahkan pembangunan taman. Begitu pula yang dimaksud dalam Prasasti Kedukan Bukit. “Mengingat selisih waktu antara Piagam Kedukan Bukit dan Piagam Talang Tuwo hanya satu tahun saja, maka kiranya dapunta hyang pada Kedukan Bukit adalah Dapunta Hyang Sri Jayanasa juga,” tulis Slamet Muljana. Istilah dapunta  muncul pula dalam Prasasti Sojomerto yang ditemukan di Batang, Jawa Tengah. Prasasti yang juga berdialek Melayu Kuno ini diperkirakan semasa dengan Prasasti Kedukan Bukit. Penanggalan itu dijabarkan oleh Boechari dalam "Old Malay Inscription Sojomerto" termuat di Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti . Menurutnya, penanggalan itu didapat dengan membandingkan gaya penulisan karakter " ya"  dalam Prasasti Kedukan Bukit dan juga dalam Prasasti Dinoyo di Malang dari 760. “Dengan perbandingan itu perasasti ini sangat mungkin berasal dari abad ke-7,” tulis Boechari. Dalam Prasasti Sojomerto, dapunta dipakai untuk mengawali penyebutan Selendra, yaitu dapunta selendra. Dia disebutkan dalam prasasti sebagai pemuja Siwa yang taat, yang memiliki ayah bernama Santanu, ibu bernama Bhadrawati, dan istri bernama Sampula. Gelar dapunta  juga dipakai oleh beberapa tokoh dengan kedudukan yang berbeda. Boechari menyebut banyak contoh dalam epigrafi Jawa Kuno yang memakai gelar seperti, punta , dapunta , dan dapu hya . Gelar-gelar itu tak melulu milik anggota keluarga kerajaan. Kebanyakan justru menjadi gelar para pemuka agama. Seperti disebutkan dalam prasasti-prasasti masa Mpu Sindok dari masa Tamwlang-Kahuripan di Jawa bagian timur sekira tahun 929-948. Gelar dapunta sering kali dipakai oleh samgat tiruan. Samgat adalah singkatan dari san pamgat, yang merupakan gelar keagamaan. Samgat tiruan pada masa Majapahit adalah salah satu dari pejabat kehakiman. Menurut Nagarakrtagama jumlahnya ada tujuh. Belum diketahui apakah hal yang sama diberlakukan pada masa Mataram Kuno. Gelar itu juga disebut dalam Prasasti Dang Pu Hawang Glis dari 827 yang ditemukan di Temanggung, Jawa Tengah. Prasasti Melayu Kuno ini menyebut gelar dapunta dan dapu hya bukan untuk keluarga kerajaan. Prasasti ini berisi tentang ritual agama. Yang jelas,entah dimiliki raja atau kaum agamawan, dapunta menurut bukti-bukti yang ada merupakan gelar bagi seseorang. Menurut Slamet Muljana, bukan hal yang aneh jika pemakaian gelar itu bisa berbeda-beda di berbagai tempat dan waktu. “Pemakaian gelar terikat pada waktu dan tempat. Oleh karena itu, mungkin sebutan atau gelar yang sama, berbeda maknanya di Jawa dan di Sumatra,” tulis Slamet Muljana. Misalnya, pemakaian gelar teuku atau tengku di Aceh. Gelar ini menunjukkan keturunan raja. Pun demikian halnya tengku dan ungku di Johor, Malaysia. Namun, sebutan yang sama di Minangkabau biasa digunakan untuk menyebut seorang guru. Derajatnya sama dengan pak di Indonesia. “Ringkasnya, gelar atau sebutan itu dalam pemakaiannya dapat mengalami perubahan semantik,” tulis Slamet Muljana. Jika pun Ridwan Saidi meyakini gelar itu sebagai emanasi Tuhan, dia toh mengaku telah mempelajari berbagai bahasa kuno sejak 1989. Termasuk bahasa Armenia yang tak diajarkan di sekolah-sekolah di Indonesia. Dia tentu tak akan percaya pendapat para ahli itu, sebagaimana yang dia katakan dalam salah satu video di kanal YouTube "Macan Idealis": “Saya mencoba menguasai aksaranya juga termasuk hieroglif. Saya nggak percaya buku-buku yang disodorkan.”

  • Nas yang “Ditendang” ke Atas

    JENDERAL Abdul Haris Nasution duduk termenung di depan meja kerjanya. Sejurus kemudian, Nas (panggilan akrab Nasution) menerima telepon dari Mayjen Ahmad Yani. Oleh bawahannya itu, dia diberitahu bahwa tiga hari lagi, mereka akan serah terima jabatan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). “Saya merasakan dalam posisi yang mengambang. Memang dalam prakteknya sudah lama Yani memegang pimpinan sehari-hari dalam AD,” kenang Nasution dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 5: Kenangan Masa Orde Lama . Dalam pembicaraan di telepon, Yani mengatakan bahwa dirinya menginginkan serah terima secara formal. Para panglima Angkatan Bersenjata dan pejabat teras AD telah diundang menghadiri acara tersebut. Nasution sendiri rencananya akan menduduki jabatan Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KSAB). Itu artinya, Nas melepaskan kedudukannya dari fungsi komando AD. Memang saat itu, Nas sudah mulai jarang memegang kendali di AD. Dia lebih banyak menghabiskan waktu di Departemen Pertahanan dan Keamanan sembari keliling daerah. Yani yang semula adalah Deputi II-nya Nasution digadang oleh Presiden Sukarno untuk memimpin AD. “Rupanya Jenderal Yani tidak ada maksud menunda, walaupun saya sedang menghadapi krisis soal KSAB tadi yang tak dapat saya terima dengan rela hati,” ujar Nas.   Titah Panglima Tertinggi Pada pagi hari, 23 Juni 1962, serah terima berlangsung di Istana Negara. Presiden Sukarno melantik Ahmad Yani sebagai KSAD. Bintang tiga pun melekat di pundaknya. Yani resmi menjadi orang nomor satu di jajaran AD, menggantikan Nasution. Dalam pidato pelantikan itu, Presiden Sukarno tidak lupa menyampaikan rasa terima kasihnya atas pengabdian Nasution. “Jendral Abdul Haris Nasution, dengan saya mengucap banyak-banyak terima kasih atas segala jasa-jasa yang telah beliau berikan kepada tanah air, negara dan bangsa, kami berhentikan sebagai Kepala Staf Angkatan Darat dan kami angkat Jenderal Nasution menjadi Kepala Staf Angkatan Bersenjata,” kata Bung Karno dalam amanatnya yang diterbitkan Departemen Penerangan. Pada kesempatan itu, Sukarno juga mengumumkan reorganiasi angkatan bersenjata. AD, AL, AU, dan Angkatan Kepolisian diintergrasikan langsung di bawah naungan presiden selaku Panglima Tertinggi. Masing-masing kepala staf akan diangkat jadi setingkat menteri dengan kedudukan sebagai panglima: Pangad, Pangal, Pangau, dan Pangak. “Maka untuk mengintegrasikan keempat Angkatan ini, saya adakan Kepala Staf Angkatan Bersenjata dan saya pandang cakap saudara Abdul Haris Nasution menjadi Kepala Staf Angkatan Bersendjata itu,” demikian maklumat Sukarno. Bagi Yani, itulah hari paling membanggakan dalam hidupnya. Yani menggapai puncak kariernya sebagai seorang perwira militer. Namun bagi Nasution, tampaknya menjadi hari yang kelabu. Nasution Disingkirkan Jabatan KSAB terdengar mentereng. Namun sesungguhnya, kedudukan itu sama sekali tanpa wewenang komando. Komando operasi TNI sudah ada dalam Komando Operasi Tertinggi (KOTI) di bawah komando presiden. Adapun kepala staf KOTI juga dijabat oleh Ahmad Yani. Nasution mengeluh seakan dirinya ditendang ke atas.   “Saya merasa bahwa ini adalah jabatan kosong,” kata Nas dalam memoarnya. “Jadi bagi KSAB akan tertinggal hanya soal-soal koordinasi administrasi.”    Nasution telah memegang jabatan tertinggi dalam AD selama tujuh tahun berturut-turut. Sebagai wujud regenerasi kepemimpinan, wajar saja bila Nasution diganti. Kendati demikian, rupanya ada prahara politik antara Sukarno dan Nasution. Menurut penelitian Ulf Sundhaussen dalam disertasinya di Monash University, Nasution sengaja disingkirkan karena galak mengkritik Sukarno. Kritik ini terutama menyangkut korupsi dan kehidupan pribadi. Perkara inilah menyebabkan Nasution dicopot agar kekuasaannya dalam AD tidak semakin besar.    “Siapapun yang akan menggantikan Nasution dalam pimpinan tentara tidak boleh mempunyai kekuasaan dan kemahiran yang sama dengan yang dimilikinya untuk memimpin kegiatan-kegiatan politik tentara,” tulis Sundhaussen dalam Politik Militer Indonesia 1945—1967 . Urusan Pribadi Penyingkiran Nasution menyingkap ironi. Nasution adalah sosok berjasa dibalik tegaknya kekuasaan Sukarno ketika mengumumkan Dekrit 5 Juli 1959. Pakar politik-militer Salim Said dalam Gestapu 65: PKI, Aidit, Soekarno, dan Soeharto mengatakan , “Nasution yang anti-Komunis adalah penghalang utama agenda politik Nasakom Sukarno . ” Urusan personal ternyata juga turut jadi faktor merenggangnya relasi Sukarno dan Nasution. Sukarno kurang menyukai sikap puritan ala Nasution. Apa yang terjadi kemudian pada mereka adalah hubungan yang tidak serasi yang berkembang jadi perselisihan. Cekcok antara Sukarno dan Nasution biasanya bermula dari hal-hal kecil yang tidak disengaja. Akibatnya bisa fatal. Seperti misalnya, ketika Nasution tiba-tiba harus meninggalkan Sukarno dalam rapat atau pertemuan dengan tamu penting di Istana untuk melaksanakan ibadah salat. Nasution menyadari sikapnya dapat menggangu protokoler kenegaraan yang ketat. Tapi sebagai penganut Islam yang taat, Nasution tidak mungkin menggadaikan imannya demi aturan-aturan protokoler.   Nas juga selalu bersikap antipati terhadap siapa saja lelaki yang mengambil istri kedua. Prinsip tersebut  tidak berubah ketika Sukarno menikahi Hartini setelah memperistri Fatmawati. Dia selalu menolak undangan Sukarno sowan ke Istana Bogor, dimana Hartini menjadi nyonya disana.   Sang jenderal pun kerap meninggalkan acara tari lenso yang sangat digemari Sukarno. Bung Karno sampai pernah berkata dengan sebal pada Nasution, “ Je leert het nooit. ” Artinya, “Kamu tidak pernah mempelajarinya.”   Sukarno kadung jengkel. Nasution harus dipinggirkan. Demikianlah yang akhirnya terjadi. “Baru kelak setelah G30S saya dapat tahu bahwa sayalah orang ‘kepala batu’ yang perlu disingkirkan,” kenang Nas.

  • Roman Sepakbola Negeri Jiran

    MALAYSIA tampak lebih maju dari Indonesia soal bal-balan . Duel keduanya dalam kualifikasi Piala Dunia 2022, Kamis (5/9/2019), sudah cukup membuktikan kualitas sepakbola mana yang lebih maju saat ini. Indonesia keok 2-3 meski main di kandang. Padahal, kandang Indonesia selama ini terbilang angker bagi tim negeri jiran itu. Rivalitas sengit antar-kedua negara membuat suporter Indonesia mati-matian mendukung tim kesayangannya jika berhadapan dengan Malaysia. Lagi-lagi, faktor mental pemain berperan penting dalam tiap pertandingan. Para pemain Malaysia terlihat lebih matang dalam mental sejak beberapa tahun belakangan. Hal itu dibuktikan oleh keberhasilan Malaysia merepotkan Indonesia kala bertanding di Indonesia. Sebaliknya, para pemain Indonesia tampak “mati gaya” kala bermain di Malaysia. Lantas, bagaimana sepakbola Malaysia bermula dan bisa sampai berkembang seperti saat ini? Bentangan Masa Bola Sepak Malaysia Kendati induk organisasi sepakbola Malaysia sudah eksis sejak September 1926, bisa dipastikanpermainan sepakbola telah menjalar ke negeri itu lebih awal. Sepakbola diperkenalkan orang-orang Inggris di Singapura ke British Malaya mulai akhir 1880-an. Klub-klub amatir lalu bermunculan bak jamur di musim hujan hingga mencapai semenanjung dan kemudian Borneo. “Singapore Amateur Football Association (SAFA) sudah berdiri pada 1892. Walau awalnya hanya untuk pemukim Eropa, olahraga ini lantas menular ke komunitas Melayu dan Cina. Kompetisi lintas negeri saja sudah mulai pada 1894 ketika tim Eropa dari Singapore Cricket Club melawat ke utara menuju Johor untuk berlaga melawan tim Melayu, Johor Football Club XI,” sebut Charles Little,pakar hubungan Malaysia-Singapura dari London Metropolitan University, dalam ulasannyayang berjudul “Hamlet without the Prince: Understanding Singapore-Malaysian Relations through Football” yang dimaktub dalam Football in Asia: History, Culture and Business. Namun, hingga kini klub apa yang tertua di Malaysia masih sumir. Situs resmi FAMhanya menyebutkan Selangor FA-lah klub tertua dan masih merumput saat ini. Meski dicantumkan lahirnya pada 1936 (berubahnya SAFL menjadi Selangor FA),klub itu sudah berakar sejak 1905 dengan menggalang kompetisi tahunan internal, Selangor Association Football League (SAFL) mulai 1906. Tim-tim yang mengikuti kompetisi itu semua tim di bawah naungan Selangor FA yang berbasis di Kuala Lumpur. Kompetisi itu dihelat untuk memperebutkan gelar Watson Shield, yang diambil dari nama Residen Selangor kala itu, R.G. Watson. Merujuk catatan rsssf.com , Selangor Club jadi juara di perhelatan pertamanya dan Recreation Club sebagai runner up -nya. K ompetisi resmi yang disepakati bersama seluruh negara bagian British Malaya sendiri baru tiba hampir dua dasawarsa berselang dengan digelarnya HMS Malaya Cup pada 1921. Kompetisi diprakarsai para perwira dan kru kapal perang HMS Malaya yang s e d an g b er l a buh di Kuala Lumpur. Mengutip periset politik, budaya, dan olahraga Jerman Ben Weinberg dalam Asia and the Future of Football: The Role of the Asian Football Confederation , kompetisi itu dihelat sebagai balas budi atas sambutan hangat masyarakat setempat. Kompetisi lantas rutin diadakan tahunan hingga dinamai Malaya Cup (pada 1963 berubah jadi Malaysia Cup). “Segera setelah lahirnya kompetisi itu, sepakbola menyebar lebih luas ke pelosok negeri yang lantas mendirikan asosiasi-asosiasi mereka sendiri. Saat itu komposisi tim-timnya masih berdasarkan latarbelakang etnis setempat seperti Cina, Melayu, dan Eropa,” sebutnya. Medio September 1926, lahirlah MFA untuk mewadahi asosiasi di masing-masing negara bagian yang satu dekade berselang berubah menjadi FAM. SAFA kala itu masuk sebagai anggota FAM. Timnas Malaysia bersama PM Tunku Abdul Rahman usai memenangi Pestabola Merdeka 1958 (Foto: Wikipedia) Sebagaimana di negara-negara lain, sepakbola Malaya “mati suri” saat Perang Dunia II dan baru bangkit tahun 1950-an,utamanya setelah diterima masuk sebagai anggota AFC dan FIFA pada 1956.Pada 1950, SAFA (sejak 1966 berubah menjadi Football Association of Singapore/FAS) memilih keluar dari FAM. “Perdana menteri pertama Malaysia Tunku Abdul Rahman terlibat langsung dalam pembangunan Merdeka Stadium yang menjadi tempat perayaan kemerdekaan pada 1957. Pembangunannya mensinyalkan perhelatan Turnamen Merdeka, sebuah turnamen internasional dengan prestis tinggi untuk negara-negara Asia,” kata Weinberg. Di turnamen tertua Asia yang punya sebutan asli Pestabola Merdeka itu, tim Hong Kong League keluar jadi juaranya. Timnas Malaya sendiri hanya menduduki posisi buncit putaran final yang bersistem klasemen itu. “Tim federasi (Malaya, red. ) memang tak berjaya, namun setidaknya kita bisa berbahagia memikirkan bahwa kita telah menjalankan program yang tak hanya diniatkan untuk menghibur pecinta bola namun juga mempromosikan niat baik, semangat olahraga yang baik dan persahabatan dengan semua negara di dunia,” kata PM Tunku Abdul Rahman, dikutip Weinberg.

  • Bambu Runcing Dibilang Pagar

    SJAFTA (92) masih ingat kejadian 70 tahun lalu itu. Di pagi yang dingin, dia bersama 18 orang kawannya mengendap-endap di sebuah bukit hijau dekat perbatasan Cianjur dengan Sukabumi yang mengapit jalan setapak. Tak seorang pun di antara mereka yang memegang senjata api kecuali stengun yang dimiliki Letnan Anwar, sang pemimpin lasykar. “Kami masing-masing hanya memegang sebilah bambu runcing yang dibuat secara terburu-buru di hutan Caringin (terletak di tenggara Cianjur) malam sebelumnya,” kenang eks anggota Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) itu. Satu setengah jam baru saja berlalu, saat dari kejauhan tetiba terdengar suara berbicara dalam bahasa Belanda. Rupanya patroli yang mereka tunggu sudah mulai datang; sekitar 9 prajurit  berseragam hijau kekuning-kuningan, yang sebagian besar merupakan bule totok.  Mereka berjalan tak teratur, dan dalam posisi lengah. Begitu rombongan tersebut melintas di bawah mereka, Letnan Anwar meneriakkan aba-aba untuk menyerbu. “Serang...!” Sjafta dan kawan-kawannya langsung berloncatan. Dalam hitungan detik, darah pun menyembur  diiringi teriakan beringas para gerilyawan bersanding dengan jeritan panik para serdadu yang rata-rata seusia. Sjafta sendiri berhasil menusuk lambung seorang serdadu hingga tewas di tempat. Bisa dikatakan, penghadangan itu sukses besar: sembilan serdadu musuh tewas dan semua senjata berhasil dirampas oleh pasukan Letnan Anwar. Di tengah minimnya senjata (sepuluh berbanding satu), para pejuang Republik tidak punya banyak pilihan lain kecuali menggunakan bambu runcing sebagai alat untuk menghadapi musuh mereka. Sebagai senjata, bambu runcing mulai dikembangkan semasa pendudukan Jepang, yang saat itu dikenal dengan sebutan takeyari . Sejatinya bilah bambu ini digunakan untuk menghadang pasukan payung musuh yang diterjunkan dari udara. Tentara Jepang juga melatih laki-laki dan perempuan cara menggunakan takeyari , yang kalau digunakan biasanya dibarengi teriakan keras dan pekik kemarahan. “Laiknya seorang prajurit tengah menggunakan senapan bersangkur,” tulis R.H.A. Saleh dalam Mari Bung, Rebut Kembali! Semasa dididik menjadi perwira Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor pada 1944, almarhum Mayor Jenderal TNI (Purn.) Moestopo pernah menjadikan bambu runcing sebagai tema “disertasinya”. Di hadapan para perwira tinggi Jepang, eks pimpinan Pertempuran Surabaya itu berhasil mempertahankan karya tulisnya yang berjudul "Penggunaan Bambu Runcing yang Pucuknya Diberi Tahi Kuda Untuk People Defence dan Attack serta Biological War Fare ". Tidak hanya lulus dan menjadi yang terbaik, karyanya ini malah mendapatkan pujian setinggi langit dari militer Jepang saat itu. Banyak cara yang dilakukan oleh para pejuang Republik untuk menjadikan bambu runcing miliknya “bukan hanya sekadar bambu”. Dalam bukunya yang berjudul Guruku Orang-Orang dari Pesantren , Syaifuddin Zuhri menyebut figur Kyai Haji Subkhi, seorang ulama besar di Parakan, Temanggung yang pada masa revolusi kemerdekaan dijuluki sebagai Kyai Bambu Runcing. Julukan itu muncul karena Kyai Subkhi menciptakan sejenis bambu runcing yang disepuh doa untuk nantinya digunakan para pejuang republik di medan laga. Uniknya, para petarung yang datang ke Parakan bukan hanya berasal dari kalangan santri. Para laskar yang tergabung dalam barisan kaum kiri juga mendatangi Kyai Subkhi sekadar untuk mendapatkan barokahnya! Di antaranya adalah Barisan Banteng di bawah pimpinan dr. Muwardi, Lasykar Rakyat dibawah pimpinan Ir. Sakirman (tokoh PKI) dan Laskar Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) di bawah pimpinan Krissubbanu. Selagi menjadi kepala Kepala Staf Komandemen I TKR Jawa Barat pada 1946, Kolonel A.H. Nasution pernah memiliki kisah lucu terkait bambu runcing ini. Pada suatu hari, dia berkesempatan menemani Kepala Staf Umum Markas Besar Tentara (MBT) Letnan Jenderal TNI Oerip Soemohardjo melakukan inspeksi ke Resimen XIII di wilayah Tanjungsari, Sumedang. Begitu rombongan Pak Oerip sampai di lapangan, serentak komandan pasukan berteriak: “Hormat senjataaa...!” Namun, bukan bedil yang diangkat melainkan bambu runcing. Pak Oerip membalas sikap hormat itu dengan khidmat layaknya seorang komandan tertinggi. Namun, sambil berjalan memeriksa barisan pasukan bambu runcing tersebut, Pak Oerip masih sempat berbisik dalam nada gurauan kepada Nasution: “Nas, kamu suruh aku periksa pagar bambu ya?” demikian kisah Nasution dalam bukunya Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid III.

  • Bidan Rebut Pendapatan Dokter di Negeri Jajahan

    KEDATANGAN bidan Eropa ke Hindia Belanda pada abad ke-19 membawa sedikit berkah bagi para ibu pribumi hamil. Kasus kelahiran sulit bisa diatasi dengan lebih hiegenis sehingga mengurangi angka kematian ibu dan bayi. Para bidan kulit putih itu biasanya ditempatkan di tiga kota besar di Jawa: Batavia, Surabaya, dan Semarang. Bidan yang telah memegang izin praktek sering dimintai bantuan oleh penduduk sekitar. Bidan Eropa diwajibkan memberi layanan gratis pada kasus kelahiran sulit bagi perempuan miskin dari segala ras. Kebijakan yang terlihat mulia ini sebetulnya kampanye dari Dinas Kesehatan Sipil. Dinas ingin perempuan pribumi ramai-ramai menggunakan jasa bidan sekaligus tertarik mendaftar ke sekolah kebidanan. Peter Bloomgard dalam “The Development of Colonial Healthcare in Java” menyebut, Dinas Kesehatan Publik sudah seperti negara dalam negara. Mereka melakukan kampanye kesehatan, seperti manajerial rumahsakit, riset nutrisi dan medis, dan pelatihan pada tenaga kesehatan. Agenda-agenda ini cukup berhasil mengingat banyaknya bidan kulit putih yang hijrah ke tanah Indies. Sekolah kebidanan di Belanda menelurkan 60-70 bidan terlatih tiap tahunnya. Para bidan ini tak semua bisa bekerja di Belanda. Sementara, kabar tingginya pendapatan di negeri jajahan sudah tersebar ke Belanda. Liesbeth Heseelink dalam Healers on the Colonial Market menyebut, upah di Hindia-Belanda selama sebulan setara gaji bidan di Belanda selama setahun. Karena itulah, banyak bidan Eropa rela menyeberangi lautan untuk membuka praktik di negeri jajahan. Beberapa pensiunan bidan memilih bekerja sebagai bidan pribadi bagi keluarga-keluarga kaya Eropa. Para bidan amat senang mengurus keluarga Eropa karena upah yang mereka terima cukup banyak, juga dilayani dengan baik oleh babu dan jongos mereka. Lebih dari itu, bidan Eropa menikmati privilege dan rasa hormat yang diberikan baik oleh masyarakat Eropa, pribumi, maupun Tionghoa. Kepuasan masyarakat Eropa di Hinda-Belanda pada kinerja bidan pribadi cukup tinggi. Saran para bidan amat didengar para nyonya kulit putih. Bahkan, pada beberapa keluarga Eropa, bidan punya pengaruh lebih besar dibanding dokter Eropa yang notabene laki-laki. Di masa ini, yang boleh jadi dokter hanya lelaki. Aletta Jacobs, dokter perempuan pertama di Belanda, saja baru lulus pada 1879. Dokter H van Buuren pernah mengeluhkan ibu hamil Eropa yang menjadi pasiennya lebih banyak mendengarkan nasihat bidan berpengalaman dibanding dirinya yang seorang dokter dengan pengetahuan ilmiah. Liesbeth menyebut, Van Buuren menceritakan pengalamannya ini dengan rasa kesal dan nada merendahkan. Van Buuren menilai tindakan para bidan sudah melangkahi ranah dokter dan tidak bisa diterima. Ia juga menyayangkan mereka tak mendapat sanksi. Rebutan pasien inilah yang jadi salah satu pemicu ketegangan hubungan antara bidan dan dokter. “Mereka berani menggunakan segala metode untuk membantu persalinan, meresepkan obat, dan mereka memandang rendah para dokter yang dipanggil untuk membantu persalinan. Daripada mendengarkan saran dokter yang berdasar pengetahuan ilmiah, mereka lebih bersandar pada pengalamannya sendiri,” kata van Buuren. Pada 1849, terdapat aturan bahwa obat hanya boleh diresepkan oleh dokter. Orang tidak memenuhi syarat yang mempraktikkan pengobatan Barat akan diberi sanksi. Namun, aturan ini lebih sering tidak dijalankan lantaran minimnya tenaga medis di negeri jajahan. Pada 1951, pemerintah kolonial mendirikan sekolah medis di Batavia untuk mengatasi masalah kurangnya ahli kesehatan. Satu Sekolah Dokter Djawa untuk jejaka pribumi yang lulusannya jadi mantri, satu lagi sekolah kebidanan untuk gadis Jawa. Ide pendirian sekolah ini dicetuskan Kepala Layanan Medis dokter W. Bosch. Sebelum mengusulkan pendirian sekolah dokter Jawa, Bosch lebih dulu mengusulkan pendirian sekolah kebidanan. Tujuan pendirian dua instansi pendidikan ini sama, meningkatkan kualitas layanan medis negeri jajahan dan menyingkirkan pengobatan lokal. Lebih jauh, kata Liesbeth dalam disertasinya, tujuan pendirian sekolah itu untuk merebut pasar pengobatan di negeri jajahan. Namun apa daya, yang berebut malah sesama tenaga medis kulit putih. Tiap perempuan yang lulus ujian masuk sekolah bidan akan mendapat bonus 50 gulden. Namun pada 1899, sekolah kebidanan terpaksa ditutup. Ada dua alasan yang menjadi penyebab penutupan itu sebagaimana ditulis dokter MPH van Kol dalam laporannya. Alasan yang beredar di muka umum ialah minimnya jumlah peminat. Namun alasan utamanya, pengelola pendidikan medis ingin memperluas Sekolah Dokter Djawa sehingga sekolah kebidanan yang muridnya sedikit ditiadakan agar bangunannya bisa digunakan.

  • Riwayat Islam di Bali

    MAJAPAHIT tidak pernah mati di Bali. Pengaruh kerajaan yang pernah berjaya di Nusantara itu begitu besar di sana. Hampir semua bidang kehidupan, utamanya setelah ekspansi besar Maha Patih Gajah Mada di Bali pada 1343, terpengaruh oleh kebudayaan Jawa yang dibawa Majapahit. Begitu kentalnya pengaruh tersebut, hingga penyebaran pertama agama Islam di Pulau Dewata itu juga tidak terlepas dari campur tangan Prabu Hayam Wuruk (1350–1389), raja yang membawa Majapahit pada puncak kejayaannya. Syahdan, di wilayah pemerintahan Majapahit,  komunitas Muslim telah mendapat tempat yang cukup kuat. Menurut arkeolog dan epigraf Hasan Djafar, dalam tulisannya “Beberapa Catatan Mengenai Keagamaan pada Masa Majapahit Akhir” dimuat Pertemuan Arkeologi IV , di bawah kekuasaan Hayam Wuruk banyak penduduk Majapahit yang sudah memeluk Islam. Sebagai bukti, para arkeolog telah berhasil menunjuk pemakaman Islam kuno di Desa Tralaya, Trawulan, Mojokerto. “Mengingat pemakaman ini letaknya tak jauh dari kedaton, dapat disimpulkan ini adalah pemakaman bagi penduduk kota Majapahit dan keluarga raja yang telah beragama Islam,” ungkap Hasan. Menetap di Bali Masyarakat Muslim di Bali muncul berkat hubungan diplomatik yang baik antara Majapahit sebagai negara penguasa dengan Bali sebagai negara vasal (negara yang dikuasai). Ketika Hayam Wuruk memerintah, Dalem Ketut Ngelesir (1380-1460), putra raja pertama Samprangan Sri Aji Krisna Kepakisan alias Dalem Sri Kresna Kepakisan (memerintah 1352), mendapat undangan berkunjung ke Keraton Majapahit pada 1380-an. Saat itu, Hayam Wuruk sedang mengadakan konferensi di kerajaannya. Turut diundang dalam acara tersebut negara-negara koloni Majapahit dari seluruh wilayah Nusantara. Dalem Ngalesir datang mewakili Kerajaan Gelgel, pecahan dari Kerajaan Samprangan yang dikuasai kakak tertuanya. Dalam buku Muslim Bali: Mencari Kembali Harmoni yang Hilang , peneliti senior Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia (LIPI) Dhurorudin Mashad menceritakan bahwa ketika kembali ke Gelgel, Dalem Ngalesir mendapat pengawalan dari pemerintah Majapahit. Ia diberi 40 orang pengiring dalam perjalanan pulangnya itu. Mayoritas dari mereka berprofesi sebagai tentara, sementara sisanya berkerja sebagai juru kapal dan juru masak. Yang menarik, para pengawal  tersebut seluruhnya beragama Islam. Spekulasi pun akhirnya muncul di antara para ahli. Banyak yang beranggapan Hayam Wuruk ingin mengurangi jumlah populasi Muslim yang terus berkembang di pusat pemerintahannya. Ia khawatir kaum minoritas itu akan mendominasi daerah kekuasaannya. Mengingat Majapahit adalah kerajaan Syiwa-Buddha. “Realitas itu tentu menjadi fakta yang sangat aneh dan memerlukan kajian historis secara lebih mendalam,” tulis Dhurorudin. Setelah sampai, 40 orang Islam itu enggan kembali ke wilayah Majapahit dan memilih untuk tinggal di Bali. Akhirnya oleh Dalem Ngalesir mereka diberi satu daerah pemukiman khusus di Gelgel. Keempat puluh orang itu pun diperintahkan mengabdi kepada Kerajaan Gelgel, tanpa syarat apapun. Artinya mereka tidak harus berpindah kepercayaan mengikuti agama yang berkembang di Gelgel. Sehingga praktis agama Islam pun memulai perjalanannya di Bali. “Rombongan muhibah (harta yang tidak berwujud) politik kaum Muslim generasi pertama di Bali akhirnya menetap dan kawin mawin dengan wanita Bali,” tulis Dhurorudin. Komunitas Muslim pertama Bali itu lalu membangun masjid di Gelgel, yang sekarang dikenal sebagai masjid tertua di tanah Bali. Sejak saat itu Islam mulai melakukan aktivitasnya. Menghalau Pengaruh Islam Setelah Dalem Ngalesir melepaskan takhtanya, Kerajaan Gelgel-Klungkung diperintah oleh Dalem Waturenggong (1460/1480--1550). Masa ini juga menjadi puncak kejayaan Islam di Nusantara. Sementara Hindu-Buddha, termasuk Majapahit, pengaruhnya kian surut akibat banyak kerajaan yang mulai menerima keberadaan agama Islam di wilayahnya. Majapahit sendiri mendapat serangan dari Kesultanan Demak pada 1518. Akhirnya keruntuhan kerajaan besar itupun tidak lagi dapat dihindari. Momen kehancuran Majapahit lalu dimanfaatkan oleh Dalem Waturenggong untuk memerdekakan wilayah Bali dan memperluas wilayah kekuasaannya. Berhasil merebut dan mengislamkan wilayah Majapahit di Jawa, Demak pun berencana melancarkan aksi serupa di Bali. Namun kali ini mereka tidak menggunakan jalan penaklukkan, tetapi melalui perdamaian. Pada masa pemerintahan Sultan Trenggana (1521-1546), Demak mengirim utusan ke Kerajaan Gelgel-Klungkung. Menurut Dhurorudin ekspedisi damai itu bertujuan menjalin hubungan baik sebagai sesama mantan vasal Kerajaan Majapahit. “Namun, intinya tujuan ekspedisi ini adalah untuk menyebarkan Islam,” tulis Dhurorudin. Tetapi Dalem Waturenggong tidak tertarik dengan misi Islamisasi di wilayah kekuasaannya. Sang raja lalu menyusun berbagai macam rencana untuk menghalau pengaruh Islam di Bali. Sementara utusan dari Demak yang tidak diterima raja memilih bergabung dengan komunitas Muslim yang sudah ada di Gelgel guna memperkuat posisi Islam di wilayah Bali. Menurut Dhurorudin alasan Gelgel tidak dapat menerima pengaruh Islam di Bali adalah ikatan historis emosional dengan Majapahit. Meski terbebas dari kuasa vasal Majapahit, tetapi penyerangan Demak tidak bisa begitu saja diterima. “Mereka (para pangeran dan mantan pejabat Majapahit) yang lari ke Bali tentu menyebarkan informasi tentang nasib tragis mereka ke penduduk lokal, sehingga ikut menjadi kurang bisa menerima Islam,” tulis Dhurorudin. Dalam Babad Dalem: Warih Ida Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan karya Tjokorda Raka Putra disebutkan bahwa setelah menjadi negeri merdeka, Waturenggong segera memperluas wilayah kekuasaannya hingga ke Blambangan, Lombok, dan Sumbawa. Ia berhasil menguasai ketiga wilayah itu antara tahun 1512 sampai 1520. Menurut I Made Sumarja, dkk. dalam Sejarah Masuknya Islam dan Perkembangan Pemukiman Islam di Desa Kecicang Kabupaten Karangasem Provinsi Bali perluasan wilayah Kerajaan Gelgel-Klungkung hingga ke Lombok merupakan usaha lain Waturenggong menghadang penyebaran ajaran Islam di negerinya. Lombok menjadi pilihan terbaik bagi Waturenggong untuk menghentikan Islam masuk ke Bali. Dengan menguasai Lombok, yang sejak 1500-an telah menerima keberadaan agama Islam, maka Gelgel-Klungkung terhindar dari pengepungan. Mereka dapat fokus kepada Islam Demak yang datang dari Jawa. Namun selepas Dalem Waturenggong, tidak ada lagi raja yang mampu membangun Gelgel-Klungkung. Kerajaan itu pun akhirnya terpecah dan mulai menunjukkan kemunduran. Akibatnya, kekuasaan mereka di Lombok berhasil diruntuhkan. Penguasa Klungkung selanjutnya memilih menjalin hubungan baik dengan Lombok, bukan menaklukkan dengan paksaan. Setelah itu penyebaran masyarakat Muslim dari Lombok ke Bali mulai gencar terjadi. Meski pengaruhnya di masyarakat tidak dapat menggeser dominasi Hindu, yang telah berabad-abad menjadi kepercayaan utama rakyat Bali. “Lama-lama terjadi akulturasi komunitas Hindu-Muslim, terbangun kultur perekat yang lebih menonjolkan kesamaan serta saling menghargai dan menghormati,” tulis Dhurorudin

  • "Ciuman" Terakhir Ade Irma Untuk Ibu Negara

    MENDENGAR Ibu Fatmawati Sukarno dirawat di RS Boromeus, Bandung, Johana Sunarti langsung menyempatkan diri besuk pada suatu hari, Agustus 1965. Istri Menko Hankam/KSAB Jenderal AH Nasution itu memiliki kedekatan dengan sang ibu negara. Sewaktu Fatmawati tinggal di Jalan Sriwijaya 26, Jakarta pasca-keluar Istana, Johana merupakan salah satu orang terdekat yang kerap bertamu. Johana sering mengajak Ade Irma Suryani, putri bungsunya, ketika bertamu. Fatmawati, yang penyuka anak, kerap mendongengkan cerita-cerita kepada Ade Irma saat ikut bertamu. Maka, sebagaimana dituliskan wartawan Kadjat Adra’i dalam Suka-Duka Fatmawati Sukarno: Seperti Diceritakan Kepada Kadjat Adra’i , ketika Johana datang membesuk tanpa mengajak Ade Irma, Fatmawati langsung menanyakan. “Kenapa tidak dibawa?” tanya Fatmawati. “Lain kali insya Allah saya bawa, Bu. Kalau diajak sekarang, bisa-bisa hanya bikin repot,” jawab Johana. “Siapa bilang bikin repot?” Fatmawati bertanya balik. “Anak itu sangat lucu, menyenangkan, dan kelihatannya cerdas seperti ayahnya.” Johana pun menceritakan bagaimana Ade Irma sempat membuatnya repot sewaktu akan berangkat. Pasalnya, gadis mungil itu merengek minta ikut. Tidak biasanya Ade Irma bersikap seperti itu. Ketidakbiasaan sikap Ade Irma bukan hanya dirasakan sang ibu. Sang ayah, Nasution, pun merasakan hal serupa. “Pada bulan-bulan terakhir Adek memang agak lain dari biasa, ini kesimpulan saya dalam renungan kemudian. Kalau saya sembahyang ia suka memandangi saya. Kalau sudah selesai, ia suka meminjam sajadah saya dan ia sembahyang, mencontoh saya. Jika ada minuman saya di meja, ia suka meminta meminumnya. Kalau saya malam-malam membaca di kursi itu, ia tidur mendekat tempat kursi malas itu,” kata Nasution dalam memoarnya, Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 6 . Ketidakbiasaan sikap Ade Irma itu membuat Johana mesti “bersiasat” agar Ade Irma mau ditinggal menjenguk Fatmawati. Entah “siasat” apa yang digunakan, Johana akhirnya berhasil meluluhkan hati putrinya. “Kalau begitu, peluk ciumnya aja untuk Eyang Fat ya, Ma,” pinta Ade saat melepas kepergian ibunya, dikutip Kadjat. “Insya Allah nanti mama sampaikan, anak manis,” jawab sang ibu. “Betul ya, Ma, peluk cium untuk Eyang Fat.” Fatmawati amat terhibur dengan cerita tentang Ade Irma itu. Dia –dan Johana– tak pernah menyangka permintaan peluk-cium Ade Irma kepada Johana merupakan persembahan rasa sayangnya yang terakhir untuk Eyang Fat. Sekira dua bulan kemudian, dini hari 1 Oktober, Ade Irma tertembak oleh sepasukan Tjakrabirawa yang hendak menculik ayahnya. Sebagian kecil pasukan pengawal presiden itu terlibat dalam gerakan bernama Gerakan 30 September yang berupaya menghadapkan beberapa jenderal Angkatan Darat kepada Presiden Sukarno karena dikabarkan hendak kudeta. Tiga peluru pasukan Tjakrabirawa bersarang di tubuh Ade Irma. Kendati terus tersadar selama perawatannya di RSPAD, kondisi Ade Irma terus memburuk. Pada petang 6 Oktober 1965, Johana dengan besar hati membisikkan kalimat ke telinga Ade. "Ade, mama ikhlaskan Ade pergi," kata Johana. Gadis lima tahun itu pun meneteskan airmata dan akhirnya pergi untuk selamanya.

  • Ironi Operasi CIA di Indonesia

    AWAL April 1958, Kolonel Achmad Yani merencanakan sebuah operasi militer gabungan di ruang makan rumah Letkol Rukminto Hendraningrat di Jalan Lembang, Jakarta. Yani memilih rumah tetangganya itu karena di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) tidak aman. Sebelumnya, perintah operasi darinya yang dirancang di MBAD telah disadap pemberontak PRRI/Permesta.

  • Ketika Firaun Keliling Dunia

    TAK ada firaun yang lebih terkenal ketimbang Tuthankhamun. Relik-relik dari makamnya sering keliling dunia. Membangunkan imajinasi banyak orang akan sosok firaun muda ini. Tuthankhamun memerintah Mesir selama tahun 1332-1323 SM. Ia naik takhta saat berusia 9-10 tahun, menikahi saudari tirinya (Ankhesenamun) dan punya dua anak perempuan, kemudian meninggal dunia saat berusia 18-19 tahun. Menikahi saudari perempuan adalah kebiasaan di Mesir Kuno. Ibunda Tuthankamun adalah istri dan juga saudari perempuan sang ayahandanya, firaun Amenhotep IV.  Sejak makamnya ditemukan arkeolog Inggris Howard Carter tahun 1922, Tuthankhamun melejit sebagai simbol peradaban Mesir Kuno. Relik-relik dari makamnya melanglang Eropa dan Amerika sejak awal 1960-an. Kali ini, Kementerian Purbakala Mesir kembali menggelar pameran dunia. Dimulai dari dari Los Angeles (24 Maret 2018–6 Januari 2019), Paris (23 Maret–15 September 2019, diperpanjang hingga 22 September), dan kemudian London (2 November 2019–3 Mei 2020). Pameran ini akan jadi yang terakhir digelar di luar Mesir. Pasalnya, saat ini pemerintah Mesir sedang membangun Grand Egyptian Museum (Museum Mesir Raya) di kawasan Giza. Museum Nasional di Kairo dianggap tak mampu lagi menampung barang koleksi. Rencananya, museum baru kelar tahun 2021. Selesai pameran ini, semua barang koleksi akan disimpan di museum baru untuk selamanya.  Gerbang Kematian Pameran ini menyajikan 150 relik dari makam Tuthankhamun. Jumlah ini tentu kecil. Sebab, ada sekitar 5.000 lebih relik yang ditemukan dan disusun katalognya oleh Howard Carter. Meski demikian, pameran tetap mengesankan karena 150 relik itu lumayan mewakili keberagaman relik dari makam Tuthankhamun. Pameran terdiri dari sembilan bagian: enam bagian pertama menggambarkan 12 gerbang kematian yang mesti dilalui sang firaun, dan tiga bagian terakhir mengisahkan proses penemuan makam Tuthankhamun oleh Carter. Jadi, 150 relik yang disajikan dalam pameran ini disusun berdasarkan prosesi sang firaun saat melalui 12 gerbang kematian. Gerbang kematian ini menjadi konteks fungsi simbolisasi dari keberadaan relik di dalam keseluruhan prosesi. Dengan ini, pengunjung seakan diajak-serta melalui 12 gerbang kematian sang firaun. Dari situ, pengunjung mengenali arti penting setiap gerbang dan mengerti mengapa relik itu ada di dalam makam sang firaun. Bagian pertama menggambarkan Tuthankhamun sebagai firaun muda dan kematiannya. Di sini disajikan antara lain dua set permainan senet (mirip catur ala Mesir Kuno) yang kerap dimainkan Tuthankhamun dan sang istri, kursi Tuthankhamun saat berusia 9 tahun, dan ranjang kematian yang memiliki kaki berukir cakar singa sebagai lambang penjaga sang firaun. Kursi Tuthankhamun saat naik takhta. Ukuran kursi yang kecil disesuaikan dengan tubuh sang firaun. (Jafar Suryomenggolo). Bagian kedua dan ketiga menggambarkan gerbang-gerbang kematian yang dilalui Tuthankhamun sebagai seorang penguasa tangguh. Di sini disajikan antara lain alat-alat perang yang digunakan Tuthankhamun guna memerangi roh jahat dan binatang buas di dunia kematian, kendaraan yang dipakai Tuthankhamun, dan patung-patung yang menggambarkan kekuatan Tuthankhamun. Patung Tuthankhamun memegang tombak dan berdiri di atas seekor panther. Panther melambangkan dunia kematian dan langit malam. (Jafar Suryomenggolo). Bagian keempat dan kelima menggambarkan gerbang-gerbang kematian yang dilalui Tuthankhamun sebagai seorang penguasa kaya-raya. Di sini disajikan antara lain sejumlah perhiasan yang dikenakannya sebagai simbolisasi seorang firaun dan patung-patung yang menggambarkan kelengkapan pakaian kebesarannya. Dua patung kayu: Tuthankhamun bermahkota dan berpakaian lengkap memegang alat pukul serta Tuthakhamun mengenakan wig gading dan kalung emas. (Jafar Suryomenggolo). Bagian keenam menggambarkan gerbang kematian yang membawa Tuthankhamun menuju kelahiran-kembali. Di sini disajikan antara lain sandal emas (emas sebagai lambang fisik dewa), kalung emas bermotif elang/rajawali sebagai lambang Dewa Horus, dan piala bermotif teratai sebagai lambang Dewa Heh (dewa kekekalan). Kalung emas bermotif elang/rajawali. (Jafar Suryomenggolo). Piala kekekalan bermotif teratai. (Jafar Suryomenggolo). Egiptologi Modern Tiga bagian terakhir menyodorkan kisah pencarian makam Tuthankhamun. Carter memulai penggalian awal 1914. Sempat terhenti karena Perang Dunia I (1914-1918), proses penggalian berlanjut usai perang. Lima tahun berlalu tiada hasil, Lord Carnarvon sebagai penyokong dana bermaksud menghentikan penggalian. Pada tahap inilah terdapat peran seorang bocah pembawa air, yakni Hussein Abdel-Rassoul. Secara tak sengaja, ia tersandung batu. Ternyata batu atas tangga menuju pintu makam. Inilah yang mendorong Carter melakukan penggalian lebih lanjut dan memaksa Carnarvon tetap menyokongnya. Dari kisah penemuan makam Tuthankhamun ini terlihat jelas peran dua cabang ilmu: filologi dan arkelogi, yang membentuk egiptologi modern di Barat. Meneliti Mesir Kuno bukanlah perihal kisah romantis ala Cleopatra, kisah magis ala novel Ibu Susu , atau kisah petualangan ala Indiana Jones. Sejak hieroglif Mesir Kuno dipecahkan pertama kali oleh Jean-François Champollion, sejawaran-cum-linguis asal Prancis yang dijuluki “Bapak Egiptologi”, pada awal abad ke-19, filologi punya peran besar dalam perkembangan penelitian Mesir Kuno. Foto Hussein saat bocah mengenakan satu kalung temuan dari makam Tuthankhamun, dan saat dia berusia 70 tahun sebagai penjaga makam Tuthankhamun. Usai dia meninggal dunia, posisinya sebagai penjaga makam dilanjutkan putranya. Di kemudian hari, perkembangan teknologi selama abad ke-19 memperluas peran arkeologi. Penggalian tak lagi dilakukan para petualang pemburu harta-karun seperti penjelajah-arkeolog Giovanni Belzoni yang menjual relik-relik eksotis Mesir Kuno, melainkan oleh para sarjana yang punya dedikasi bagi perkembangan ilmu pengetahuan seperti Auguste Mariette, egiptologi berkebangsaan Prancis, yang menemukan patung Dewa Amun pelindung Tuthankhamun pada 1857. Menarik dicatat, penemuan patung Dewa Amun justru mendorong pencarian makam Tuthankhamun. Sebelumnya, kisah tentang Tuthankhamun dianggap ilusi belaka. Tapi lewat patung ini, ilmuwan semakin yakin keberadaan makam Tuthankhamun yang belum dijarah para pemburu harta-karun. Pula, Auguste Mariette menunjuk Gaston Maspero sebagai pengganti dirinya pada 1880 sebagai direktur jenderal arkeologi Mesir. Maspero punya peran menggagalkan penyelundupan barang-barang antik Mesir Kuno. Maspero pula yang memperkenalkan Carter kepada Lord Carnarvon sebagai penyandang dana. Di sini kita bisa lihat pentingnya keberlanjutan kerja sama dan jaringan dalam egiptologi modern di Barat. Tut-mania di Barat Pameran ini menawarkan oase bagi para penggemar Tuthankhamun di Eropa dan Amerika. Pengunjung yang membludak bukan hanya menjadi tolak ukur keberhasilan pameran, tapi juga bagaimana imajinasi masyarakat Barat akan Tuthankhamun terbentuk sejak penemuan makamnya. Inilah yang disebut “Tut-mania”. Fenomena ini disokong beragam koleksi Mesir Kuno di banyak museum di Eropa. Museum di Berlin ( Ägyptisches Museum und Papyrussammlung ), Paris ( Musée du Louvre ), dan London ( British Museum ) memiliki koleksi-koleksi penting Mesir Kuno. Koleksi di museum Paris, misalnya, tak pernah sepi pengunjung yang tertarik melihat koleksi sarkofagus para firaun dari berbagai zaman. Pameran ini memang tak mampir ke negara-negara Selatan seperti Indonesia. Ada banyak sebab yang bisa diduga mengapa tak pernah terlaksana. Kiranya perkembangan ilmu punya peran membangkitkan ketertarikan masyarakat umum akan Mesir Kuno. Apakah ada sarjana Indonesia yang mendalami egiptologi?

  • Bandung Ibukota Kerajaan Belanda?

    PINDAH ibukota lumrah dilakoni banyak negara. Amerika Serikat, Australia, Brazil dan negeri jiran Malaysia di antaranya. Indonesia bakal menyusul dalam kurun beberapa tahun ke depan, untuk kesekian kalinya. Rencana pindah ibukota sempat muncul baik pada masa Orde Lama dengan Palangka Raya-nya, Orde Baru dengan Jonggol-nya, hingga yang belakangan pemerintahan Jokowi dengan Kalimantan Timur. Namun, Indonesia bukan hanya sempat merencanakan pindah ibukota tapi sudah sempat beberapakali pindah ibukota. Bahkan, sejak masih bernama Hindia Belanda. Di masa kolonial, ibukota pernah diwacanakan “hijrah” ke Surabaya pada abad ke-19 dan dua kali rencana hengkang ke Bandung di awal abad ke-20. Adalah Hendrik Freek Tillema yang menggagasnya dengan meracik studi terkait kondisi kesehatan kota-kota di pesisir Pulau Jawa. Gagasannya itu mendapat dukungan J. Klopper, rektor Technische Hoogeschool (kini Institut Teknologi Bandung/ITB). Gagasan yang diusulkan ke Gubernur Jenderal Hindia Belanda JP Graaf van Limburg Stirum pada 1916 itu nyaris terwujud. Selain para pebisnis yang mulai tertarik pindah, beberapa kantor dinas pemerintahan sudah turut dipindah dari Batavia, kecuali Onderwijs en Eredienst (Departemen Pendidikan dan Peribadatan). Pemindahan itu akhirnya gagal akibat depresi ekonomi dekade 1930-an. Namun, 22 tahun berselang, Bandung kembali diusulkan menjadi ibukota Hindia Belanda. Kali ini oleh Burgemeester (walikota) N. Beets. Menurut Haryanto Kunto dalam Balai Agung di Kota Bandung , Walikota Beets melayangkan usulan itu ke pemerintah pusat Hindia Belanda di Batavia pada 12 Januari 1938, mengingat kondisi ekonomi yang mulai pulih. Sebagai penguat usulan, ia memaparkan contoh pemerintah kolonial Inggris yang sudah memindahkan ibukotanya dari Kalkuta ke Delhi dan Australia yang memindahkan pusat pemerintahannya dari Sydney ke Canberra. Mengingat Batavia sudah mulai sumpek, Bandung dipilih sebagai pengganti karena  keindahan, kesejukan, kenyamanan, dan punya infrastruktur yang lengkap. Selain stasiun besar, Bandung sejak 1921 sudah punya Bandara Andir (kini Bandara Internasional Husein Sastranegara). “Keretaapi cepat empat kali sehari – de Vlugge Vier , hanya membutuhkan dua jam 45 menit untuk trayek 175 km (Bandung-Jakarta, red. ) dan dengan pesawat terbang hanya setengah jam saja,” sambung Haryanto. Kompleks Gedung Sate yang mulanya direncanakan jadi kantor baru gubernur jenderal Hindia Belanda (Foto: Repro "Album Bandoeng Tempo Doeloe") Keseriusan Walikota Beets dibuktikan dengan memerintahkan biro arsitektur Aalbers en de Waal untuk membuat rencana pembangunan Het Jubileumpark seluas 50 hektar sejak 1936 sebagai pengembangan kompleks Departemenplan 1919. “Dalam rancangan besar ini, di sebelah utara Departement van Gouvernementsbedrijven (BUMN-BUMN Hindia Belanda, red. ), istana baru gubernur jenderal, gedung baru Volksraad (DPR, red. ), Hoogerechtshof (Sekolah Tinggi Hukum) secara cuma-cuma dan sebagian biaya pembangunan Departemen Pendidikan dan Peribadatan sebesar 1,1 juta gulden dibayar sebagai uang muka,” lanjut Haryanto. Usulan Ibukota Belanda Pindah ke Bandung Namun, wacana pemindahan ibukota ke Bandung kedua batal akibat Perang Dunia II yang pecah sejak 1 September 1939. Dalam perang itu, negeri Belanda diduduki Jerman sejak Mei 1940. Ratu Wilhelmina sampai mengungsi ke London, Inggris. Di masa itulah muncul usulan memindahkan pemerintahan darurat dari Amsterdam ke Bandung. Gagasan itu datang dari PM Dirk Jan de Geer. Pada Juli 1940, giliran Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer yang menawarkan Ratu Wilhelmina untuk pindah dari London ke Bandung. Kota berjuluk “Parijs van Java” diprediksi bakal aman dari kancah perang, mengingat dikelilingi basis-basis militer kuat di Cimahi dan polisi di Sukabumi. “Namun ratu berpendapat lain. Dengan dalih kesehatannya yang tidak mengizinkan bertempat tinggal di daerah tropis, meski Bandung sejuk, beliau ingin tinggal dekat Belanda selama peperangan dan bekerjasama dengan Inggris merebut kembali kemerdekaan,” ungkap Haryanto. Alhasil, wacana itu tinggal wacana. Bandung yang tidak pernah jadi ibukota hanya sempat dijadikan basis utama ABDACOM (Komando Amerika-Inggris-Belanda-Australia) sebelum akhirnya dikuasai Jepang. Sebelumnya, 23 April 1941, Bandung hanya menjadi tempat jamuan terhadap rombongan menteri Kabinet Perang Belanda. Rombongan turut disambut Ketua Regentenbond (Persatuan Bupati) Raden Adipati Aria Wiranatakoesoemah. “Marilah kita mohon kepada Allah bahwa kita, putih dan coklat, sampai kapan pun tetap hidup bersama dalam keselarasan dan kedamaian,” kata Wiranatakoesoemah dalam pidatonya yang dikutip Haryanto.

bottom of page