top of page

Sejarah Indonesia

Bambu Runcing Dibilang Pagar

Bambu Runcing Dibilang Pagar

Serba-serbi cerita tentang senjata legendaris dalam revolusi Indonesia.

Oleh :
5 September 2019

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Laskar bersenjatakan bambu runcing di era revolusi kemerdekaan. (IPPHOS).

SJAFTA (92) masih ingat kejadian 70 tahun lalu itu. Di pagi yang dingin, dia bersama 18 orang kawannya mengendap-endap di sebuah bukit hijau dekat perbatasan Cianjur dengan Sukabumi yang mengapit jalan setapak. Tak seorang pun di antara mereka yang memegang senjata api kecuali stengun yang dimiliki Letnan Anwar, sang pemimpin lasykar.


“Kami masing-masing hanya memegang sebilah bambu runcing yang dibuat secara terburu-buru di hutan Caringin (terletak di tenggara Cianjur) malam sebelumnya,” kenang eks anggota Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) itu.


Satu setengah jam baru saja berlalu, saat dari kejauhan tetiba terdengar suara berbicara dalam bahasa Belanda. Rupanya patroli yang mereka tunggu sudah mulai datang; sekitar 9 prajurit  berseragam hijau kekuning-kuningan, yang sebagian besar merupakan bule totok.  Mereka berjalan tak teratur, dan dalam posisi lengah. Begitu rombongan tersebut melintas di bawah mereka, Letnan Anwar meneriakkan aba-aba untuk menyerbu.


“Serang...!”


Sjafta dan kawan-kawannya langsung berloncatan. Dalam hitungan detik, darah pun menyembur  diiringi teriakan beringas para gerilyawan bersanding dengan jeritan panik para serdadu yang rata-rata seusia. Sjafta sendiri berhasil menusuk lambung seorang serdadu hingga tewas di tempat. Bisa dikatakan, penghadangan itu sukses besar: sembilan serdadu musuh tewas dan semua senjata berhasil dirampas oleh pasukan Letnan Anwar.


Di tengah minimnya senjata (sepuluh berbanding satu), para pejuang Republik tidak punya banyak pilihan lain kecuali menggunakan bambu runcing sebagai alat untuk menghadapi musuh mereka. Sebagai senjata, bambu runcing mulai dikembangkan semasa pendudukan Jepang, yang saat itu dikenal dengan sebutan takeyari. Sejatinya bilah bambu ini digunakan untuk menghadang pasukan payung musuh yang diterjunkan dari udara. Tentara Jepang juga melatih laki-laki dan perempuan cara menggunakan takeyari, yang kalau digunakan biasanya dibarengi teriakan keras dan pekik kemarahan.


“Laiknya seorang prajurit tengah menggunakan senapan bersangkur,” tulis R.H.A. Saleh dalam Mari Bung, Rebut Kembali!


Semasa dididik menjadi perwira Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor pada 1944, almarhum Mayor Jenderal TNI (Purn.) Moestopo pernah menjadikan bambu runcing sebagai tema “disertasinya”. Di hadapan para perwira tinggi Jepang, eks pimpinan Pertempuran Surabaya itu berhasil mempertahankan karya tulisnya yang berjudul "Penggunaan Bambu Runcing yang Pucuknya Diberi Tahi Kuda Untuk People Defence dan Attack serta Biological War Fare". Tidak hanya lulus dan menjadi yang terbaik, karyanya ini malah mendapatkan pujian setinggi langit dari militer Jepang saat itu.


Banyak cara yang dilakukan oleh para pejuang Republik untuk menjadikan bambu runcing miliknya “bukan hanya sekadar bambu”. Dalam bukunya yang berjudul Guruku Orang-Orang dari Pesantren, Syaifuddin Zuhri menyebut figur Kyai Haji Subkhi, seorang ulama besar di Parakan, Temanggung yang pada masa revolusi kemerdekaan dijuluki sebagai Kyai Bambu Runcing. Julukan itu muncul karena Kyai Subkhi menciptakan sejenis bambu runcing yang disepuh doa untuk nantinya digunakan para pejuang republik di medan laga.


Uniknya, para petarung yang datang ke Parakan bukan hanya berasal dari kalangan santri. Para laskar yang tergabung dalam barisan kaum kiri juga mendatangi Kyai Subkhi sekadar untuk mendapatkan barokahnya! Di antaranya adalah Barisan Banteng di bawah pimpinan dr. Muwardi, Lasykar Rakyat dibawah pimpinan Ir. Sakirman (tokoh PKI) dan Laskar Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) di bawah pimpinan Krissubbanu.


Selagi menjadi kepala Kepala Staf Komandemen I TKR Jawa Barat pada 1946, Kolonel A.H. Nasution pernah memiliki kisah lucu terkait bambu runcing ini. Pada suatu hari, dia berkesempatan menemani Kepala Staf Umum Markas Besar Tentara (MBT) Letnan Jenderal TNI Oerip Soemohardjo melakukan inspeksi ke Resimen XIII di wilayah Tanjungsari, Sumedang.

Begitu rombongan Pak Oerip sampai di lapangan, serentak komandan pasukan berteriak:


“Hormat senjataaa...!”


Namun, bukan bedil yang diangkat melainkan bambu runcing. Pak Oerip membalas sikap hormat itu dengan khidmat layaknya seorang komandan tertinggi. Namun, sambil berjalan memeriksa barisan pasukan bambu runcing tersebut, Pak Oerip masih sempat berbisik dalam nada gurauan kepada Nasution: “Nas, kamu suruh aku periksa pagar bambu ya?” demikian kisah Nasution dalam bukunya Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid III.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Tuan Rondahaim Pahlawan Nasional dari Simalungun

Tuan Rondahaim Pahlawan Nasional dari Simalungun

Tuan Rondahaim dikenal dengan julukan Napoleon dari Batak. Menyalakan perlawanan terhadap penjajahan Belanda di tanah Simalungun.
Antara Raja Gowa dengan Portugis

Antara Raja Gowa dengan Portugis

Sebagai musuh Belanda, Gowa bersekutu dengan Portugis menghadapi Belanda.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Dewi Sukarno Setelah G30S

Dewi Sukarno Setelah G30S

Dua pekan pasca-G30S, Dewi Sukarno sempat menjamu istri Jenderal Ahmad Yani. Istri Jepang Sukarno itu kagum pada keteguhan hati janda Pahlawan Revolusi itu.
bottom of page