top of page

Hasil pencarian

9580 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Asal Usul Setrika

    Sejak kapan orang terganggu melihat pakaian kusut? Ini pertanyaan yang sulit dijawab dengan jelas kapan pastinya. Yang jelas, alat pelicin pakaian, atau kini dikenal dengan setrika telah berevolusi selama ratusan tahun dari benda-benda sederhana. Terkadang ia dibuat dari batu, kaca, kayu, atau logam. Bahan-bahan itu seringkali membuat setrika pada masa lalu begitu berat dan sulit digunakan. Karenanya tak heran, mereka yang pakaiannya terawat pastilah orang berada. Menggunakan alat-alat seperti itu pastinya sulit dan melelahkan. Hanya orang kaya yang mampu mempekerjakan seseorang utnuk mengerjakannya. Mereka biasanya budak atau pelayan. Selain untuk menghilangkan kusut pada pakaian, setrika panas kemudian juga difungsikan untuk membunuh parasit, jamur, dan bakteri lain dalam pakaian. Ini khususnya sebelum pengering yang dipanaskan ditemukan. Pada perkembangannya, sebagian besar setrika modern terbuat dari logam dan plastik. Mereka memiliki banyak fitur seperti uap dan kontrol suhu.     Goffering iron Goffering iron (Koleksi Saffron Walden Museum) Dipakai oleh orang-orang di Yunani pada sekira 400 SM. Mereka menggunakan alat besi ini untuk membuat lipatan pada jubah linennya. Goffering Iron adalah batang bundar seperti batang penggiling yang dipanaskan sebelum digunakan. Pemukul pakaian Alat pemukul pakaian (Koleksi Vesterheim Museum, Iowa) Orang-orang pada era Kekaisaran Romawi punya beberapa macam alat yang berfungsi seperti setrika masa kini. Salah satunya adalah alat pengepres pakaian dengan tangan. Alatnya semacam dayung atau palu logam datar yang digunakan untuk memukul-mukul pakaian. Kerutan pada kain akan hilang berkat cara itu. Alat lain adalah prelum. Ini terbuat dari kayu yang tak berbeda bentuknya dengan alat pemeras anggur. Dua papan berat rata diletakkan di antara tuas yang juga terbuat dari kayu. Kain atau pakaian kemudian diletakkan di antara kedua papan itu. Papan-papan itu, yang digerakan dengan tuas, akan menekan kain di tengah-tengahnya dan membuat kain bebas kerutan. ilustrasi prelum Logam panas Orang Korea kuno tengah menyetrika pakaiannya Bisa dibilang orang-orang di Asia Timur yang pertama kali menggunakan logam panas untuk menyetrika pakaiannya. Paling tidak sejak 1.000 tahun yang lalu orang Tiongkok kuno telah memiliki alat untuk melincinkan pakaiannya. Alatnya terbuat dari besi yang dipanaskan. Bentuknya terlihat seperti sendok es krim besar. Alat ini diisi dengan batu bara panas, lalu ditekan di atas kain. Alat ini memiliki ruang terbuka dengan bagian bawah yang rata dan pegangan. Ruang ini yang nantinya diisi batu bara atau pasir panas, yang memanaskan bagian bawah alat besi itu. Cara menggunakannya mirip dengan cara menggunakan setrika sekarang, yaitu digosokkan di atas kain untuk menghilangkan kerutan. Setrika Viking Alat pelicin pakaian dari kaca dan batu beserta papan setrikanya (Koleksi Historiska Museet, Stockholm) Sekira abad ke-8 dan ke-9 M, orang-orang Viking di Skandinavia menggunakan setrika kuno yang terbuat dari bahan kayu, kaca, dan batu. Ketika akan digunakan, alat-alat itu diletakkan di dekat uap untuk memanaskan, lalu digosokkan pada kain. Alat ini dianggap sebagai alat setrika paling awal di dunia barat. Bentuknya mirip jamur. Flat iron Flat iron (Shutterstock) Setrika yang lebih mirip dengan bentuk masa kini muncul di Eropa pada 1300-an. Setrika ini berupa sepotong besi datar dengan pegangan logam. Untuk memanaskannya, alat ini diletakkan di atas atau di dalam api. Ketika sudah panas, alat ini harus diambil dengan kain empuk yang kemudian digosokkan di atas kain. Sebelum itu, secarik kain tipis harus lebih dulu diletakkan di atas kain yang akan disetrika. Ini untuk mencegah jelaga langsung mengenai kain. Setrika digunakan sampai menjadi terlalu dingin untuk dipakai. Ketika itu, banyak orang merasa harus punya lebih dari satu setrika. Dengan begitu mereka bisa menggunakannya ketika setrika yang lain sedang dipanaskan. Setrika arang Setrika arang (Shutterstock) Pada sekira abad ke-15, perbaikan pada bentuk seterika diperkenalkan. Kotak besi panas ini dibuat dengan rongga di dalamnya untuk meletakkan elemen pemanas, seperti arang. Bagian atasnya dilengkapi pegangan. Sementara bagian bawahnya dibuat dengan logam yang halus. Ini pun menghilangkan kebutuhan akan kain tambahan di antara kain dan besi. Karena bagian bawah setrika tak akan membuat permukaan pakaian kotor. Alat ini digunakan selama beberapa ratus tahun di berbagai negara. Setrika arang kini menjadi barang antik dan menarik bagi banyak kolektor. Bahkan, setrika arang modern diproduksi di Asia dan di sebagian besar Afrika. Sad iron Smithsonian National Museum of African American History and Culture Pada abad ke- 17, setrika muncul di dunia barat dengan bentuk sepotong besi yang tebal, permukaan bawahnya rata, serta diberi pegangan besi. Setrika ini disebut dengan sad iron . Sebelum digunakan, sad iron dipanaskan di depan perapian atau kompor, baru setelah itu dipakai untuk melicinkan pakaian. Kelemahan dari setrika ini adalah pada saat dipanaskan, pegangannya ikut panas karena terbuat dari besi yang sifatnya mudah menyerap panas. Ketika teknologi kompor tungku ditemukan pada abad ke-19, beberapa masalah yang ditinggalkan flat iron mendapat jalan keluar. Setrika ini pun bisa dipanaskan di atas kompor tungku, yang jauh lebih bersih daripada api. Setrika ini disebut setrika sedih karena beratnya, beratnya sekitar 5,6 kg, dan sulit untuk dipindahkan. Setrika Mary Potts dan reklame iklan (Wikipedia) Pada 1870, seorang ibu rumah tangga bernama Mary Florence Potts di Ottumwa, Iowa, menemukan setrika cetak. Setrika ini adalah hasil pengembangan dari sad iron . Setrika ini, kedua ujungnya dibuat runcing. Dibuat seperti itu agar lebih mudah saat menyetrika. Tak sampai di situ, tahun berikutnya Mary juga membuat sad iron yang pegangannya bisa dilepas. Tujuannya agar pegangannya tidak ikut panas saat sad iron dipanaskan. Potts juga membuat pegangan kayu yang bisa dilepas. Ide itu dinilai brilian mengingat pegangan setrika telah dibuat dari bahan yang sama sejak abad pertengahan. Ketika setrika tradisional dibiarkan di atas bara, diperlukan kain tebal atau sarung tangan untuk mengangkat setrika agar tidak panas. Pegangan kayu Potts memastikan tidak akan ada luka bakar. Tak heran setrikanya diproduksi selama hampir 75 tahun. Setrika gas Setrika gas Setelah gas tersedia di rumah-rumah di Amerika pada akhir 1800-an, setrika gas pun muncul. Yang paling awal dipatenkan pada tahun 1874. Waktu itu masing-masing rumah sudah memiliki saluran gas. Setrika gas dihubungkan ke saluran gas dengan pipa. Setrika gas punya tempat pembakaran yang berhubungan dengan aliran gas. Ketika tempat pembakaran ini dinyalakan dengan korek api, setrika pun memanas. Setrika sangat panas dan gas terkadang bocor. Namun, setrika gas lebih ringan daripada sad iron. Berikutnya, setrika berbahan bakar lainnya menyusul. Setrika ini dipanaskan dengan minyak, bensin, parafin, dan bahan bakar lainnya. Setrika listrik Seely dan mekanisme setrika listrik ciptaannya Banyak orang percaya kalau setrika listrik ditemukan pertama kali dan dipatenkan oleh seorang Amerika, Henry W. Seely pada 1882. Desainnya dia kembangkan setahun sebelumnya. Setrika ini berupa setrika listrik datar yangmasih mempunyai beberapa kelemahan, di antaranya lama untuk panas, tetapi sangatcepat dingin. Pun waktu itu belum semua rumah menggunakan listrik. Jadi, tak semua orang bisa menggunakan setrika listrik. Hotpoin Hot point rancangan Richardson Setrika listrik ini diperkenalkan ke pasar pada 1905 oleh seorang kelahiran Wisconsin, Earl Holmes Richardson. Setrika ini mengatur elemen pemanas dengan cara yang memusatkan panas pada titik ujung tapak setrika. Cara ini diklaim membuat proses penyetrikaan lebih baik. Hotpoin pun menjadi setrika binatu listrik pertama yang sukses secara komersial. Secara resmi dinamai setrika Hotpoint pada 1907. Setrika Termostat Setrika dengan pengatur suhu Pada 1920-an, Joseph Myers dari The Silex Company memperbaiki setrika dan kabelnya dengan menambahkan kontrol panas otomatis yang terbuat dari perak murni. Thermostat pun segera menjadi fitur standar. Setrika nirkabel (tanpa kabel) pertama kali diperkenalkan pada 1922, meski mereka tidak begitu berhasil. Setrika ini untuk pertama kalinya berhasil dijual pada 1984. Setrika uap Setrika Uap Thomas Sears adalah penciptanya. Uap membuatnya lebih mudah untuk melicinkan kain kaku yang kering. Sebelumnya pengguna harus mencipratkan air ke kain. Kalau tidak pakaian harus disetrika saat lembab. Setrika uap menggunakan tangki air yang memungkinkan uap air yang dipanaskan dapat dibuat dan diterapkan melalui lubang kecil di dasar setrika. Secara komersial, setrika uap pertama kali diperkenalkan pada 1926 oleh perusahaan pengeringan dan pembersihan New York, Eldec. Sayangnya, tidak sukses secara komersial. Paten untuk setrika uap listrik kemudian dikeluarkan kepada Max Skolnik dari Chicago pada 1934. Pada 1938 Skolnik memberikan hak patennya kepada Steam-O-Matic Corporation di New York berupa hak eksklusif untuk memproduksi setrika uap listrik. Ini adalah setrika uap pertama yang mencapai tingkat popularitas. Selama 1940-an dan 1950-an setrika uap pun digunakan secara lebih luas. Setrika modern Alat pelipat pakaian otomatis. Kini setrika sudah mengalami berbagai perubahan yang lebih canggih, seperti setrika yang sudah dilengkapi dengan wadah air, uap panas, dan inovasi lainnya. Contohnya, mesin pelipat pakaian robotik. Ini merupakan mesin lipat cucian. Pengguna hanya perlu memasang pakaian ke bagian luar mesin. Selanjutnya ia akan melipatnya secara otomatis. Mesin ini juga bisa menguapi, menghilangkan kerut, dan melembutkan, serta mengharumkan pakaian. Mesin semacam ini dipatenkan sebuah perusahaan di California, FoldiMate.

  • Thamrin Dijegal di Sukabumi

    SISA-sisa karangan bunga itu masih bertebaran di halaman depan Balaikota Sukabumi. Siang itu, Minggu 7 April 2019, gedung bergaya art deco bikinan arsitek Belanda E. Knaud itu tampak sepi. Aktivitas perayaan 105 tahun Kota Sukabumi (1 April) telah usai. Sejak diresmikan 22 Februari 1934, bangunan yang mulai dibangun pada 12 September 1933 itu jadi tempat berkantornya burgemeester (walikota) Sukabumi. Sejak lepas dari naungan Regentschappen Cianjur, Sukabumi berstatus gemeente yang otonom atas wilayahnya. Hingga zaman Jepang, tak sekali pun kedudukan tertinggi di Gemeente (kotapraja) Sukabumi itu bisa dipegang kalangan bumiputera. Pernah ada “perlawanan” politik untuk memegang kendali kota yang kaya akan teh ini, tetapi hasilnya tetap nihil walau yang bertarung tokoh nasionalis Mohammad Hoesni Thamrin. Kisahnya bermula dari dugaan korupsi George François Rambonnet, pejabat walikota merangkap sekretaris kota Sukabumi sejak 1926. Maka ketika balaikota itu rampung pada Februari 1934, Rambonnet –lebih banyak berkantor di rumah sewaan milik seorang Tionghoa bernama Lie Ek Tong– tak bisa menikmatinya lebih lama. Di tahun itu juga dia di-reshuffle oleh pemerintah Hindia Belanda “Dia dipindah ke Buitenzorg (kini Bogor) setelah muncul rumor korupsi itu,” ujar Irman Sufi Firmansyah, penggiat sejarah dan pengasuh komunitas Dapuran Kipahare kepada, Historia . Bukan hanya dugaan korupsi yang menyebabkan Rambonnet dipindah, kata Sufi, tapi juga lantaran maladministrasi di berbagai sektor pekerjaan kota. Dampaknya, jabatan walikota Sukabumi pun lowong dan Rambonnet mulai diinvestigasi. MH Thamrin Bakal Calon Walikota Sukabumi Kekosongan jabatan walikota menjadi bahasan Indo Europeesch Verbond (IEV) dan National Socialistische Beweging (NSB), serta golongan bumiputera dan nasionalis. Masing-masing memajukan calonnya. Dari Fraksi Nasionalis di Gemeenteraad alias Dewan Kota (kini DPRD Kota), nama MH Thamrin yang dimajukan. Thamrin dianggap tokoh terbesar golongan nasionalis setelah Sukarno yang saat itu masih dalam tahanan di Bandung. Thamrin dianggap laik lantaran sebagai anggota Volksraad atau Dewan Rakyat (kini DPR). Selain itu, mengutip Cahaya di Batavia: M.H. Thamrin dan Gerakan Nasionalis Kooperasi di Indonesia 1927-1941 karya Toto Widyarso, ia sejak Januari 1930 juga sudah menjabat Loco Burgemeester II Batavia (wakil walikota I Jakarta) dan dalam waktu enam bulan naik lagi jadi Loco Burgemeester I. Sosok MH Thamrin yang diabadikan dalam patung di depan Museum MH Thamrin di Jl. Kenari Jakarta Pusat (Foto: beritajakarta.id) Itu salah satu keunggulan Thamrin dibanding IEV di ibukota. Sebelumnya, jabatan itu hampir dikuasai golongan Indo-Eropa. Mulanya jabatan wakil walikota itu akan diberikan ke wethouder (anggota dewan kota) golongan Eropa yang kiprahnya “baru kemarin sore”. Thamrin dan kawan-kawannya di gementeraad  pun protes sehingga diadakan pemilihan ulang yang menaikkan Thamrin menduduki jabatannya. Ketika di Sukabumi hendak terjadi pergantian walikota, Thamrin pun turut melirik. Sukabumi bukan wilayah yang asing bagi pemuda berdarah Betawi-Eropa itu. Kakeknya, George Anton Ort, punya bisnis hotel di Sukabumi sejak 1876. Istri ketiga Thamrin, Nyi Otoh Arwati, merupakan perempuan asli Sukabumi. Thamrin juga punya sebuah vila yang acap jadi “ venue ” berkumpulnya para pemuda nasionalis. “Thamrin juga punya banyak kepentingan di Sukabumi. Ia juga sering mengangkat isu-isu tentang Sukabumi di Volksraad. Salah satunya tentang kasus alat ukur kalibrasi yang banyak merugikan rakyat oleh dinas kota Sukabumi. Lalu tentang kepemilikan lahan perkebunan dan transfer pengetahuan dari para pengusaha Eropa ke bumiputera. Satu lagi, bahwa kuat isunya Thamrin juga yang membuka boroknya Rambonnet,” sambung Sufi. Media-media di Hindia Belanda ramai membicarakan prospek MH Thamrin menjadi walikota pertama dari kaum bumiputera. Sebagaimana diketahui, di tahun itu juga (1931) IEV “sukses” menjegal Ratu Langie menjadi walikota Ambon. “Mengingat Tuan G.F. Rambonnet tak lagi bisa menjabat walikota setelah adanya investigasi resmi, maka jabatan itu akan segera digantikan. Ada lusinan calon serius untuk menggantikan. Fraksi bumiputera di dewan kota menginginkan calon dari bumiputera pula dan yang dipilih kaum ini adalah…Thamrin dari Batavia!” tulis koran Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië , 3 September 1931. Namun, lanjut koran tersebut, Thamrin diisukan takkan mau menerima lantaran gaji walikota merangkap sekretaris kota tak sebesar gajinya sebagai anggota Volksraad, Gementeraad Batavia sekaligus Loco Burgemeester I Batavia. Total sebelumnya Thamrin punya gaji 1.600 gulden per bulan. Tapi jika menjadi walikota Sukabumi gajinya hanya 1.100 gulden per bulan. “Isu gaji itu dihembuskan orang-orang IEV melalui koran-koran Belanda. Padahal Thamrin tak menyoalkan soal gaji. Namanya diusung oleh anggota-anggota gementeraad dari bumiputera, di antaranya Raden Djajakoesoemah, Raden Sadeli, dan Raden Demang Kartabrata,” ujar Sufi. Namun, upaya mengangkat Thamrin jadi walikota bumiputera Sukabumi pertama pun kandas. “Karena itu tadi, sama IEV dibesar-besarkan di koran-koran Belanda. Padahal ini isu (politik) lokal, tapi digoreng menjadi isu nasional. Thamrin dianggap berbahaya jika menjadi walikota. IEV takut akan terjadi perubahan radikal yang memengaruhi orang-orang Eropa. Lebih lagi, jika Thamrin menang, itu akan jadi pemicu di daerah-daerah lain,” lanjutnya. Dengan segenap intrik politiknya, IEV berhasil membuat nama Thamrin tak masuk ke deretan calon resmi yang diakui pemerintah. Rambonnet akhirnya tetap diganti pejabat golongan Eropa yang sebelumnya sudah menjalani fit and proper test , Albert Leonard Anihenie van Unen. Balaikota Sukabumi yang masih ramai dengan sisa-sisa karangan bunga pasca-HUT ke-105 pada 1 April (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Ia sebelumnya menjabat walikota Salatiga dan per 20 Maret 1934 resmi menerima jabatan walikota Sukabumi. Sementara Rambonnet yang baru sebulan menikmati gedung balaikota anyarnya, digeser ke Bogor sembari investigasinya terus berjalan. “Administrasi di Gemeente Sukabumi dalam keadaan kacau. Tidak ada arsip yang eksis sama sekali. Sejumlah dokumen hilang. Beberapa urusan dinas kota terbengkalai. Semuanya terlihat tak terurus sepeninggal Tuan G.F. Rambonnet, hingga membuat walikota baru Van Unen harus memulai lagi merapikan administrasi dari nol,” sebut suratkabar De Indische Courant , 10 Januari 1935.

  • Isu PKI Buat Jokowi

    KETIKA bertemu Presiden Joko Widodo di Jawa Timur pada Oktober 2018, La Nyalla Mahmud Mattaliti menyatakan rasa penyesalan atas prilakunya di masa lalu. Sebagai oposan, dia  mengakui pada Pilpres 2014 telah ikut menyebarkan isu bahwa Jokowi adalah keturunan anggota PKI (Partai Komunis Indonesia). "Saya minta maaf karena pernah ikut menyebarkan informasi-informasi negatif, termasuk isu-isu Jokowi keturunan dan pendukung PKI saat Pilpres yang lalu," ujar La Nyalla seperti diberitakan Antara pada Minggu (28/10/2018). Mantan walikota Solo itu menyambut baik permintaan maaf La Nyalla. Menurut eks politisi Partai Gerindra tersebut, Jokowi menyatakan sudah melupakannya dan tidak menanggapi berbagai fitnah terkait dirinya. Tokoh PKI Boyolali Isu Jokowi keturunan anggota PKI mulai tersebar sejak tabloid Obor Rakyat ( OR ), menurunkan sebuah tulisan mengenai riwayat calon presiden Joko Widodo pada Mei 2014 (dua bulan sebelum Pilpres 2014 berlangsung). Dalam sebuah artikelnya, OR menyebutkan bahwa Joko Widodo sejatinya bukan putra dari Widjiatno Notomihardjo melainkan putra salah seorang tokoh PKI bernama Oey Hong Leong. Dia juga disebut-sebut memiliki nama baptis: Hubertus Handoko. Tulisan lain menyebut bahwa Widjiatno Notomihardjo adalah Ketua OPR (Organisasi Perlawanan Rakyat) yang merupakan organisasi mantel dari PKI di Kabupaten Boyolali. Dia kemudian menikahi Sudjiatmi yang disebut-sebut juga merupakan Sekjen Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) yang lagi-lagi adalah onderbouw PKI. Pasca meletus peristiwa 30 September 1965, Widjiatno Notomihardjo lantas diburu oleh tentara dan sempat meluputkan diri ke hutan Gunung Merbabu selama 4 tahun. Versi ini sempat ditayangkan oleh situs berita  pojoksatu.id berjudul “Ayah Jadi Pimpinan PKI Boyolali? Ini Kata Presiden Jokowi” pada Rabu, 30 September 2015 jam 14.28 WIB. Meskipun sudah dibantah langsung oleh pihak Presiden Jokowi, namun tak urung soal ini tetap diyakini kebenarannya oleh sebagian orang. Anehnya tuduhan itu tak pernah ditegaskan dalam suatu buku resmi atau tulisan ilmiah yang kadar kebenarannya bisa dipertanggungjawabkan. Jadilah isu itu tetap beredar dan menjadi santer kembali justru pada saat menjelang Pilpres 2019 yang akan berlangsung sebentar lagi. Anak Tukang Bambu Dalam biografinya, Jokowi sendiri tak pernah membahas afiliasi politik dari kedua orangtuanya. Dia hanya menyebut bahwa Widjiatno Notomihardjo dan Sudjiatmi merupakan orangtua yang baik dan bertanggungjawab terhadap anak-anaknya, terutama dalam soal pendidikan. Khusus mengenai ayahnya, Jokowi menggambarkannya sebagai seorang pekerja keras. Ketika anak-anaknya masih bersiap-siap untuk sarapan, sang ayah sudah menghilang di pagi hari guna bertarung mencari rezeki. Kesan yang terbangun, segala sepak terjang Notomihardjo saat itu sangat jauh dari hal-hal yang berbau politik. “Dia berjualan bambu dan kayu di lapak sederhana dalam pasar tak jauh dari rumah,” ungkap Jokowi seperti disampaikan kepada Alberthiene Endah dalam Jokowi Menuju Cahaya . Lantas apa yang terjadi dengan orangtua Jokowi usai insiden 30 September 1965 meletus? Belum jelas benar. Namun disebutkan bahwa di Kota Solo, lingkungan Jokowi tinggal kala itu, pembersihan terhadap orang-orang PKI memang  berlangsung secara intens. “Bahkan beberapa tetangga keluarga Pak Noto waktu itu juga ditangkap karena dianggap sebagai anggota atau simpatisan PKI,” ungkap Wawan Mas’udi dan Akhmad Ramdhon dalam Jokowi, Dari Bantaran Kalianyar ke Istana: Mobilitas Vertikal Keluarga Jawa. Notomihardjo dan Sudjiatmi sendiri tak pernah sekalipun disentuh oleh tentara. Itu terjadi karena mereka memang tidak memiliki keterkaitan dengan Peristiwa 30 September 1965. Jika memang benar mereka adalah tokoh PKI, itu jelas suatu keanehan.  Saat itu, alih-alih anggota PKI, seorang seniman profesional yang sama sekali bukan komunis pun bisa dipenjarakan tanpa pengadilan hanya karena dia pernah mengisi sebuah acara seni yang diadakan oleh PKI.

  • Legenda Keroncong Itu Berpulang

    DARI Surabaya, ia menapaki kebintangannya. Bermula dari pop, Mus Mulyadi hingga akhir hayatnya dikenal sebagai “Raja Keroncong”. Dalam beberapa kesempatan, mendiang juga dijuluki “Buaya Keroncong”, untuk mengingatkan pada kota kelahirannya. Hari ini, Kamis (11/4/2019), kakak maestro jazz Mus Mujiono itu berpulang di usia 73 tahun. Kabar duka itu datang dari putra keduanya, Erick Haryadi, melalui akun Instagram -nya. Mus Mulyadi mengembuskan nafas terakhir pada Kamis pagi di Rumah Sakit Pondok Indah karena penyakit diabetes. Pria kelahiran 14 Agustus 1945 itu lalu dimakamkan di Joglo, Jakarta Barat. Mus Mulyadi sudah berjuang melawan penyakitnya sejak 1984. Sejak itu, penglihatannya mulai terganggu. Bahkan pada 2004 mata kanannya sudah tak lagi bisa melihat dan lima tahun berselang mata kirinya juga tak lagi bisa berfungsi normal. Pun begitu, Mus Mulyadi tetap berkarya. Pada medio 1980-1985 ia bahkan mentas sampai ke Amerika Selatan, tempat banyak komunitas keturunan Jawa bermukim. “Ia bahkan sering manggung ke Suriname. Saingannya Didi Kempot ,” ungkap pengamat sejarah musik Dhahana Adi Pamungkas alias Ipung kepada Historia . Luntang-lantung di Singapura hingga Pulang Sejatinya, darah seni menurun dari ayahnya yang pemain gamelan. Pun begitu turut menular ke kakaknya, Sumiati dan adiknya, Mus Mujiono, meski berbeda jalan. Mus Mulyadi sudah merintis karier menyanyinya sejak muda, dengan meramu band Irama Puspita. Band berisi 13 personel perempuan itu dibuat untuk tampil di pesta olahraga Ganefo 1963 di Jakarta. Setelah band itu bubar setahun kemudian, Mus Mulyadi tetap malang melintang dengan beberapa band lain seperti Arista Birawa hingga Favourite's Group. “Itu isi personelnya pencipta-pencipta lagu. Jadi sebenarnya warna musiknya cenderung pop,” lanjut Ipung yang juga penulis Surabaya Punya Cerita itu. Mus Mulyadi bersama beberapa anggota band Arista Birawa juga sempat mencoba peruntungan merantau ke “Negeri Singa” pada 1967. Butuh dua tahun terlunta-lunta sampai akhirnya sukses di Singapura lewat band The Exotic. Di band itu, Mus Mulyadi berposisi sebagai basis, Jerry Souisa sebagai gitaris, Arkan gitar rhythm ,  dan Jeffry Zaenal sebagai drummer . Selain menelurkan lagu-lagu pop, ia juga memasukkan unsur keroncong yang memincut perusahaan rekaman Live Recording Jurong. Tapi pada 1970, ia memilih mudik ke tanah air. Mus Mulyadi lalu menggabungkan diri ke Favourite’s Group bersama A Riyanto, Nana Sumarna, Eddy Syam, dan M. Sani. Nyaris semua karya band itu meledak di pasaran. Naiknya nama Mus Mulyadi juga mendatangkan tawaran berkarier solo lagu-lagu berbahasa Jawa. Termasuk mempopulerkan tembang “Rek Ayo Rek” yang ternama di Kota Pahlawan. “Meski ia bukan penciptanya, dia yang mengaransemen. Enggak tahu kalau lagu itu enggak diaransemen Mus Mulyadi bakal kayak gimana. Mungkin enggak seterkenal saat ini,” sambung Ipung. Mus Mulyadi juga mulai menseriusi karya-karyanya yang memasukkan unsur-unsur keroncong. “(Mus Mulyadi) dikenal dengan keberaniannya melakukan terobosan baru dalam membawakan lagu-lagu keroncong konvensional dalam cengkok modern,” tulis Gus Joman dalam Campursari: Catatan Pinggir . Hingga akhir hayat, entah sudah berapa karya album ditelurkannya hingga dijuluki si “Raja Keroncong” setelah era Gesang. “Ia sudah mengeluarkan ratusan album, sampai-sampai ia tak bisa menghitungnya. Beberapa lagu yang mencuatkan namanya di antaranya ‘Kota Solo’, ‘Dinda Bestari’, ‘Telomoyo’, dan ‘Jembatan Merah’. Irama keroncong ini sangat memengaruhi musik campursari,” lanjut Gus Joman. Selain di dunia musik, Mus Mulyadi tercatat pernah dua kali terlibat dalam produksi layar lebar, Putri Solo dan Aku Mau Hidup. Kedua film dirilis pada 1974. Kini, sang maestro sudah berpulang ke haribaan Yang Maha Kuasa. Hingga kini, kiprahnya dalam musik keroncong belum ada lagi yang mendekati apalagi yang menyamai. Selamat jalan, Mus Mulyadi!

  • Bentuk Kerajaan Sriwijaya Berdasarkan Catatan I-Tsing

    Keberadaan prasasti-prasasti mandala yang melingkari kadatuan Sriwijaya membuktikan datu di pusat Sriwijaya mampu memperluas otoritasnya ke wilayah luar. Apa yang dibuktikan dalam prasasti itu ternyata sejalan dengan catatan biksu I-Tsing selama berada di Sriwijaya. Setelah berlayar selama 20 hari dari Guangzhou, I-Tsing tiba di Sriwijaya ( Foshi ) pada 651 M. Dia belajar di Sriwijaya selama enam bulan. Raja membantunya untuk sampai ke Melayu dan tinggal di sana selama dua bulan. Dari sana dia ke Kedah kemudian sampai India pada 673 M. Baru pada 675, dia memulai pengajarannya di Nalanda selama sepuluh tahun. I-Tsing kembali berlayar ke Kedah dan tiba di Melayu untuk kedua kalinya. “Melayu kini telah menjadi bagian dari Shili Foshi dan ada banyak daerah di bawah kekuasaannya,” catat I-Tsing. Di Shili Foshi, I-Tsing tinggal selama empat tahun (685-689 M). Dia sempat terbawa pulang kapal ke Tiongkok. Namun dia kembali dan tinggal lagi di Sriwijaya selama lima tahun (689-695 M). Selama tinggal beberapa tahun di Sriwijaya itu, I-Tsing memberikan banyak petunjuk mengenai bentuk politik Sriwijaya. Berdasarkan kajian sejarawan Inggris, Oliver William Wolters, tulisan-tulisan I-Tsing memuat dua istilah kunci yang relevan mengenai politik Sriwijaya. Ada istilah zhou dan guo. Wolters mengartikan zhou sebagai kata Tionghoa yang dipakai sebagai terjemahan istilah Sanskerta dvipa atau tanah berbatas laut. “ Yijing (I-Tsing, red. ) menggunakan pulau sebagai padanan zhou, ” tulis Wolters dalam “Restudying some Chinese Writings on Srivijaya”. Sementara guo bisa diartikansebagai kerajaan atau negara atau negeri. Guo juga berarti tempat tertentu berbentuk ibu kota. Kata guo digunakan I-Tsing ketika menulis “negeri Melayu kini adalah negeri Srivijaya”. Dia menulisnya dengan guo Sriwijaya. I-Tsing kembali mengulang pernyataan dalam catatannya yang lain . Di sana tertulis“ guo Melayu kini telah menjadi Sriwijaya”. Lalu dalam catatan ketiga, Mulasarvastivada-ekasata-karman, I-Tsing menyatakan: “ Zhou Melayu kini telah menjadi salah satu dari banyak guo Sriwijaya.”. Berdasarkan tiga kutipan catatan I-Tsing itu, jelas kalau Melayu telah menjadi salah satu dari banyak guo Sriwijaya. “Sebuah fakta yang sepenuhnya diperkuat oleh Prasasti Karang Brahi yang sezaman di hulu sungai dari Melayu atau Jambi,” tulis Hermann Kulke dalam Kadatuan Sriwijaya. Karenanya tafsiran Wolters terhadap catatan I-Tsing mengatakan kalau istilah guo juga bisa merujuk pada politik yang tidak perlu sepenuhnya independen, baik sebagai negeri maupun kota. Guo juga mengacu pada suatu bagian dari politik yang lebih besar yang terdiri dari banyak guo lainnya. Wolters kemudian memadankan istilah guo dengan istilah mandala dalam prasasti-prasasti Sriwijaya awal yang sezaman. Menurut Wolters kata-kata yang hampir identik tentang ‘banyak guo Srivijaya’ dan ‘semua mandala kadatuan- ku (Sriwijaya) dalam Prasasti Sabokingking (Telaga Batu), jelas sudah mengacu pada situasi sosial politik yang sama. “Kita dapat menduga bahwa penguasa Sriwijaya memiliki mandala sendiri (yang dianggap oleh I-Tsing sebagai guo ) dan juga sebagai maharaja mandala lain di kadatuan- nya,” jelasnya. Pada akhirnya, Wolters menyimpulkan berdasarkan catatan I-Tsing, Sriwijaya semata-mata hanyalah salah satu dari sejumlah guo di Sumatra. Pendapat ini sedikit berbeda dengan pendapat sejarawan Jerman, Hermann Kulke di Kadatuan Sriwijaya .  Menurut Kulke, memang Sriwijaya pada awalnya juga sebuah mandala. Kawasan intinya yang berada di bawah seorang datu mungkin tetap menjadi guo atau mandala di sepanjang sejarahnya. Namun, jelas ada yang membedakan Sriwijaya pada akhir abad ke-7 M dari mandala-mandala Sumatra lainnya. Datu di pusat Sriwijayaini mampu memperluas wilayah otoritasnya. Buktinya adalah prasasti-prasasti yang tersebar di radius ratusan kilometer darinya. Kulke menyarankan untuk menyamakan istilah zhou yang dipakai I-Tsing dengan istilah bhumi seperti yang sering disebut dalam prasasti-prasasti Sriwijaya awal. “Jika penyamaan fungsional dapat diterima, definisi sezaman I-Tsing tentang politi Sriwijaya memang menjadi sangat dekat dengan defisini politi berdasarkan prasasti-prasastinya,” catat Kulke. Sebelumnya, berdasarkan kajian epigrafi, Kulke membuktikan Sriwijaya lebih merupakan sebuah kadatuan yang membawahi kerajaan-kerajaan lain yang mengakui kedaulatannya. Kerangka politi Sriwijaya berdasarkan prasasti abad ke-7 M (Dok. Hermann Kulke) Ninie Susanti, arkeolog Universitas Indonesia, pun sepakat bahwa Sriwijaya tak pernah menyebut dirinya kerajaan, tetapi kadatuan yang berasal dari kata datu artinya orang yang dituakan. Menurut ahli epigrafi, Boechari, secara harfiah, kadatuan yang sepadan dengan karatwan (Jawa Kuno) berarti tempat datu , yaitu puri, istana, atau keraton. Arkeolog dan sejarawan Prancis, Coedes, mengartikan kadatuan sebagai wilayah yang dikuasai oleh datu atau kerajaan. Begitu pula Kulke, menafsirkan kadatuan sebagai tempat datu , dalam arti tempat tinggal atau keratonnya. Kadatuan Sriwijaya yang diyakininya berpusat di Sumatra Selatan, diakui kedaulatannya oleh Kedah, Ligor, Semenanjung Malayu, Kota Kapur, Jambi, Lampung, dan Batu Raja. “Batu Raja adalah prasasti terakhir yang ditemukan tahun lalu di Ogan Kemering Ulu,” jelas Ninie. Ninie pun menjelaskan bagaimana peran Sriwijaya dalam pembentukan pemerintahan maritim. Sebagaimana yang diungkapkan Kulke dalam Kadatuan Sriwijaya , bahwa terdapat masyarakat yang berdiam di tiap mandala. “Jadi bukan suatu imperium, masyarakat ini berdiam di mandala yang dipimpin oleh para datu yang otonom dan memiliki privasi,” jelas Ninie.

  • Nasihat Soeharto untuk Gubernur Irian Jaya

    PEMILU tinggal sepekan lagi. Dalam hajatan akbar pesta demokrasi itu, kita berperan menentukan masa depan bangsa untuk lima tahun ke depan. Calon presiden ataupun calon legislatif saling bersaing untuk memenangkan kursi jabatan. Siapapun yang terpilih, mereka akan menjadi pejabat publik yang sejatinya mengabdi pada rakyat.

  • Omar Dani, Sukarno Kecil dari AURI

    JAKARTA, 19 Januari 1962. Pukul 10 pagi, dua perwira Angkatan Udara menghadap Presiden Sukarno di Istana Merdeka. Yang pertama adalah orang nomor satu di jajaran AU, Laksamana Suryadi Suryadarma. Seorang lagi, perwira menengah, penerbang tulen berpangkat kolonel udara. Sosoknya tampan, jangkung, dan berkumis tipis. Omar Dani, namanya. “Mulai saat ini kamu yang bertanggung jawab atas AURI. Ada pertanyaan?” kata Presiden Sukarno kepada Omar Dani sebagaimana terkisah dalam biografinya Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran dan Tanganku: Pledoi Omar Dani yang disusun Benedicta Surodjo dan JMV. Soeparno. Penunjukan Omar Dani berlangsung hari itu juga. Demikianlah Laksamana Madya Omar Dani menjalani tugas baru sebagai Kepala Staf AU (KSAU). Dani dilantik pada 22 Januari 1962 saat berusia 38 tahun dan masa dinasnya di AU belum genap sepuluh tahun (9 tahun 6 bulan). Sukarno kemudian merombak struktur angkatan perang. Setiap kepala staf diangkat menjadi panglima setingkat menteri. Dani merupakan panglima termuda di antara Ahmad Yani (Menteri Panglima AD), R.E. Martadinata (Manteri Panglima AL), dan Soetjipto Danoekoesoemo (Menteri Panglima Kepolisian). Mereka semua bertanggung jawab langsung kepada Sukarno. Penerbang Ulung Raden Mas Omardanie, demikian nama aslinya. Lahir di Solo, 23 Januari 1924, putra dari KRT Reksonegoro, Asisten Wedana Gondangwinangun, Klaten. Berasal dari keluarga ningrat yang berkerabat dengan keraton Solo. Dari garis ibunya, Dani termasuk salah satu cicit Sunan Pakubuwono IX, raja Surakarta Hadiningrat. Di masa revolusi, Dani telah mengeyam pendidikan yang cukup bagus. Dia sempat menjadi penyiar radio berbahasa Inggris RRI di Solo. Di RRI, Dani sering mendengar Sukarno berpidato menggelorakan semangat perjuangan. Kekagumannya pada sosok Sukarno mulai tumbuh. Pada Juli 1950, Omar Dani memilih jalan tarung di angkasa. Angkatan Udara RI (AURI) melalui Kementerian Pertahanan membuka penerimaan penerbang dan navigator. Dani termasuk salah satu dari 60 kadet AURI yang dikirim untuk belajar di Academy of Aeronautics, Taloa (Trans Ocean Airline Oakland Airport) di California, Amerika Serikat. “Mereka dikenal sebagai ‘ the sixties californians ’,” tulis Chappy Hakim dalam Awas Ketabrak Pesawat Terbang . Di Taloa, para kadet terbagi atas enam grup yang diklasifikasi berdasarkan tinggi tubuh. Dani memimpin grup I bersama kawannya yang berpostur jangkung seperti Saleh Basarah, Makki Perdanakusuma, Nursan Iskandar, dan lainnya. Penghujung Juli 1952, Dani menamatkan pendidikannya sebagai penerbang lulusan terbaik. Kembali ke Indonesia, Dani berdinas sebagai co-pilot pesawat angkut Dacota di pangkalan udara Cililitan. Setahun kemudian menjadi kapten pilot. Pada 1956, Dani bertugas belajar di Royal Air Force Staf College di Andover, Inggris. Kemampuan Dani di medan tempur teruji ketika menggempur PRRI-Permesta. Dani memimpin misi udara dalam dua operasi militer terpenting: Operasi 17 Agustus di Sumatera dan Operasi Merdeka di Sulawesi. Dari situ kariernya melesat hingga menjadi Deputi I (Direktur Operasi) KSAU. Di jajaran AU, Dani termasuk perwira yang menonjol. Pada 1961, dari 60 kadet jebolan Taloa, hanya Dani dan Makki Perdanakusuma yang berpangkat kolonel. Nama Omar Dani pun digadang-gadang sebagai pemimpin AU berikutnya.   “Omar Dani adalah seorang penerbang dan memang sudah sejak lama sekali tersiar desas-desus dialah pengganti Suryadarma,” tulis Rosihan Anwar dalam Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik, 1961-1965. Kebanggan Sukarno Ketika ditunjuk sebagai KSAU, Omar Dani melewati sejumlah perwira senior di angkatannya. Sukarno memilih Dani untuk meremajakan kepemimpinan di tubuh AURI. Suryadarma memang telah memimpin matra itu selama enam belas tahun. Namun di balik itu, santer terdengar alasan digantinya Suryadarma karena kelalaiannya mempersiapkan AU dalam insiden di Laut Aru. Pengangkatan Dani sekaligus melahirkan tradisi, bahwa pimpinan AU harus dipimpin oleh seorang penerbang, bukan dari navigator atau korps pasukan elite. Di bawah Dani, kekuatan dirgantara Indonesia mencapai puncak kejayaannya. Ketika itu, AURI memiliki pesawat pemburu jenis MiG 15, 17, 19 sampai pesawat supersonic MiG 21. Selain itu, AURI juga telah dilengkapi dengan pesawat pembom berat jenis TU-16 KS yang mampu melepaskan stand off bom (bom cerdik) dan pembom menengah IL-28. Pesawat-pesawat tempur  yang diperoleh dari Uni Soviet itu merupakan yang tercanggih pada masanya. Semuanya dipersiapkan untuk operasi pembebasan Irian Barat. Dengan armada udara sekuat itu, AURI merupakan penguasa di langit Asia Tenggara. Dapat dibayangkan apabila Operasi Jayawijaya dilancarkan. Puluhan pesawat pembom TU-16 meluluhlantakkan markas militer Belanda yang terpusat di Pulau Biak. Belanda dipastikan kalah dan angkat kaki dari Irian Barat dengan wajah malu. Selain meningkatkan mutu tempur, Dani juga menginginkan setiap prajurit AURI menjadi kleine Sukarnotjes atau Sukarno kecil. Loyalitas Dani dibuktikan dengan menjadikan ajaran-ajaran Sukarno sebagai kurikulum Sekolah Staf Komando AURI (Seskau). “Angkatan Udara yang dipimpin oleh Laksamana Omar Dani sangat loyal terhadap Sukarno. Mereka mendukung gerakan ‘ganyang Malaysia’ yang dilancarkan pemerintah Sukarno,” tulis Asvi Warman Adam dalam Menguak Misteri Sejarah . Pun demikian dengan Sukarno yang menyenangi perwira cakap. Nama Omar Dani memang tak tersebut dalam otobiografi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat . Namun, dalam berbagai pidatonya, Sukarno memperlihatkan kebanggaannya terhadap Dani. Sukarno secara terbuka selalu menyebut Angkatan Udara sebagai anak lanang , putra lelakinya. Dengan demikian, tersirat atau bukan, memunculkan pengertian bahwa angkatan lain adalah anak perempuan.  “Sehingga dalam perspektif lain, sadar atau tidak Bung Karno memang menghendaki, Angkatan Udara pada umumnya dan Omar Dani khususnya, menjadi ‘putra mahkota’, pewarisnya untuk menyelesaikan revolusi” tulis Julius Pour dalam G30S: Fakta atau Rekayasa. Jika di kalangan AD ada Ahmad Yani, maka dari AU, Omar Dani-lah yang disebut-sebut sebagai anak emas Sukarno. Kedekatan dengan Sukarno bukan tanpa resiko. Gesekan dan sikut menyikut terjadi antara Dani dengan perwira dari angkatan lain. Konflik politik-militer yang bermuara pada prahara 1965 kelak menyeret hidup Omar Dani dalam petaka.*

  • Sebelum Ponsel Merajalela

    UNTUK mengangkat perekonomiannya, Rini, gadis asal Randublatung, Blora, merantau ke Jakarta. Ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga di daerah Kebayoran Baru. Ketika pulang kampung untuk berlebaran, Rini bertemu Biyoso, pemuda asal Jawa Timur yang juga mudik. Biyoso bekerja sebagai satpam di bilangan Kuningan, Jakarta. Dari perkenalan di Terminal Pulo Gadung itu, mereka menjalin hubungan asmara. Pacaran di tahun 1990-an, hubungan Rini-Biyoso tak bisa seperti muda-mudi sekarang yang dengan mudah mengetik pesan di aplikasi obrolan atau melakukan panggilan video lewat telepon pintar. Untuk bisa saling berkomunikasi, saban siang Rini selalu berusaha mencuri waktu untuk keluar sejenak dari rumah majikannya dan pergi ke telepon umum. Setelah mengantri sebentar, memasukkan koin, dia baru bisa menyapa Biyoso dari telepon kantornya. Lelah Rini mengantri terbayar kala suara Biyoso terdengar dari gagang telepon. Pada 1980-an-1990-an, kebutuhan komunikasi jarak-jauh masyarakat mendapat wujud baru. Sebelumnya, hanya kalangan tertentu yang dapat menikmati sambungan telepon di rumah masing-masing. Kalau tak punya telepon, surat jadi pilihan. Sampai pertengahan 1990-an, ketika pemerintah belum menggalakkan pemasangan telepon rumah, telepon umum pun jadi tempat tujuan banyak orang. Lantaran tingginya kebutuhan komunikasi cepat jarak jauh ini, Telkom akhirnya mengeluarkan layanan telepon umum dan Warung Telekomunikasi (wartel). “Betapa besar faedahnya bagi masyarakat yang tidak pasang telepon rumah,” Ramadhan KH dalam Dari Monopoli Menuju Kompetisi. Telepon umum dipasang di sudut-sudut kota. Sebagian dipasang dengan bilik telepon, namun kebanyakan telepon umum di pinggir jalan yang dipasang dengan tudung untuk melindungi si telepon dari hujan dan panas. Biar awet. Di tempat-tempat strategis, seperti kampus dan di dekat kantor Telkom, telepon umum dipasang berderet, depan belakang, agar memudahkan orang mencari letaknya. Rambu-rambu keberadaannya juga dipasang. Antrian selalu mengular, tak jarang ada yang sampai berkelahi karena satu orang terlalu lama menelepon. Rambu petunjuk keberadaan telepon umum Antrian yang sama juga ada di wartel, yang umumnya berdiri dari kerjasama pemilik dengan Telkom. Pemilik bertindak sebagai agen jasa penyedia komunikasi. Pemilik wartel akan mendapat komisi dari tiap transaksi. Satu wartel paling sedikit menyediakan dua pesawat telepon. Masing-masing ditaruh dalam bilik yang disebut Kamar Bicara Umum (KBU), ditambah layar monitor yang menampilkan durasi dan biaya yang harus dibayar. Biasanya, di dalam KBU tersedia kipas angin kecil agar penelepon tak kepanasan. Menggiurkannya laba bisnis wartel membuat wartel tumbuh subur mengimbangi keberadaan telepon umum. Penggunaan telepon terus meningkat dan menguntungkan. Telkom pun meningkatkan jumlah ketersediaan telepon umum, baik koin maupun kartu, dan wartel. Telekomunikasi Indonesia yang terbit 1997 menginformasikan, ketika awal dibuka pada 1984-1988, jumlah wartel yang tersedia baru 48 buah. Namun pada 1989, jumlahnya naik tajam, mencapai 128 buah dan pada akhir tahun 1993 jumlah wartel di Indonesia mencapai 1190 buah. Jumlah telepon umum koin juga meningkat sejak dipasang pertama pada 1981. Antara 1983-1988, Telkom memasang 5.724 unit di berbagai daerah. Jumlahnya naik tajam pada akhir 1993, yakni 41.104 pesawat telepon. Jumlah telepon umum kartu setali tiga uang. Di masa uji coba pada 1988, telepon umum kartu hanya ada di 12 lokasi. Pada awal Pelita V, jumlahnya meningkat jadi 95 pesawat, Pada 1993, jumlahnya naik menjadi 7835 buah pesawat telepon. Deretan bilik telepon umum di Jakarta tahun 1990-an Usaha wartel dan telepon umum terus tumbuh subur di masyarakat. Pada akhir 1990-an, ketika telepon seluler (ponsel) mulai masuk, telepon umum dan wartel masih bertahan. Pasalnya, hanya anak gedongan dan orang-orang berduit yang bisa membeli ponsel. Usman Hamid, Pegiat HAM di KontraS, mengingat dalam Digital Nation Movement , saat demo 1998 dia dipinjami ponsel merk Motorolla oleh rekannya yang anak Menteng. “Saat itu belum banyak orang-orang yang memakai telepon genggam,” tulisnya. Kepopuleran wartel dan telepon umum mulai memudar pada medio 2000-an kala ponsel dan pulsanya dijual dengan harga murah. Saat itulah  wartel dan telepon umum memasuki masa jadi barang usang yang terlupa.

  • Sebelas Pesepakbola Dunia di Layar Perak (Bagian II – Habis)

    CAK Jim sangat mengumbar prestisnya sebagai manajer yang mampu mengorbitkan artis papan atas. Sosok bule yang fasih logat Jawa Timur-an itu pada akhirnya ditangkap polisi justru lantaran ternyata seorang penipu yang dicari-cari. Karakter itu diperankan Timo Scheunemann, mantan pemain Persiba Balikpapan dan Tampine Rovers serta pelatih Persema Malang dan Persiba, dalam film drama-komedi Yowis Ben 2 yang tayang sejak 14 Maret 2019. Film itu merupakan satu dari tiga film yang pernah melibatkan pria berdarah Jerman kelahiran Kediri, 29 November 1973 itu. Sebelumnya, Timo pernah mentas di film Tendangan dari Langit (2010) sebagai dirinya sendiri (pelatih bola) dan Rudy Habibie (2016) sebagai pastur Gilbert. Timo bukan satu-satunya mantan pesepakbola di Indonesia yang banting setir ke dunia akting. Di akhir 1970-an, ada nama Muthia Datau, kiper cantik Buana Putri dan timnas putri Indonesia. “Ya kebetulan cocok ketika ada yang menawari main film, ya sudah (mulai membintangi film). Dulu pertamakali main film layar lebar judulnya  Sepasang Merpati  (1979). Terus lanjut ada  Malu-Malu Kucing ,  Sirkuit Kemelut . Banyak  kok , sekitar enam film,” ujarnya kepada Historia , medio Januari 2018. Hal serupa banyak terjadi di sepakbola dunia. Setidaknya ada 11 sosok yang pernah menjajal akting di film komersil. Di bagian pertama sudah diuraikan lima di antaranya: Pelé, Carlo Ancelotti, Paul Breitner, Ally McCoist, dan Ian Wright. Berikut enam pesepakbola lain yang mencicipi peran dalam layar lebar: Eric Cantona Darah seniman dari orangtua mengalir deras di tubuh Eric Daniel Pierre Cantona. Ayahnya, Albert Cantona, seorang pelukis yang nyambi jadi perawat untuk menghidupi Cantona dan keluarganya di kaki bukit Les Caillols. Maka selepas gantung sepatu tahun 1997, legenda Manchester United kelahiran Marseille, 24 Mei 1966 itu punya p assion berkiprah di seni peran. Sejatinya debut Cantona sudah dirintis saat masih merumput bersama Manchester United, yakni dalam film Le Bonheur est dans le Pré (1995). Bob McCabe Menulis dalam The Rough Guide to Comedy Movies , Cantona berperan sebagai Lionel, seorang pemain rugbi. Dalam film ini juga Cantona satu frame dengan adiknya, Joël Cantona. Hingga 2018, Cantona sudah terlibat dalam 26 film. Termasuk dalam film Elizabeth (1998) yang meraih penghargaan Academy Awards dan Golden Globe 1999. “Penampilan tersuksesnya adalah ketika tampil sebagai pemeran utama di film garapan Ken Loach Looking For Eric yang rilis 2009, di mana film ini masuk nominasi Palme D’Or dan menang Magritte Award,” tulis James McCarthy dalam Manchester United: Born Winners. Vinnie Jones Ketimbang Cantona, nama Vincent Peter Jones alias Vinnie Jones lebih produktif nampang dalam layar perak. Jones jadi eks pesepakbola dengan jumlah penampilan film terbanyak per 2018: 75 film. Sejak belia, sosok tegap bak tukang pukul kelahiran Watford, Inggris, 5 Januari 1965 itu memang sudah hobi nonton film seperti Dracula (1931), atau Planet of Apes (1968). Di lapangan, karier Vinnie Jones tak terlalu jelek meski tak juga brilian. Puncak kariernya terjadi pada 1988 kala ikut meraih FA Cup bersama Wimbledon. Debutnya dalam layar lebar terjadi pada 1998 dalam film komedi-kriminal Lock, Stock and Two Smoking Barrels . Dia berperan sebagai tukang pukul bernama Big Chris. Di situlah titik balik hidupnya terjadi, dia benar-benar banting setir ke perfilman setelah gantung sepatu pada 1999. Di film itu, Jones dianugerahi Empire Award dalam kategori pendatang baru terbaik. Dalam film Snatch (2000), Jones juga mendapat Empire Award untuk aktor Inggris terbaik, serta Alan J. Bailey Award dalam film Strength and Honour (2007) untuk aktor pendukung terbaik. “Saya benar-benar tak menyangka dampak film ( Lock, Stock and Two Smoking Barrels ) itu. Penampilan saya mendapat ulasan yang bagus dan yang terpenting bagi saya adalah, saya diakui punya kemampuan untuk tampil di depan layar,” ungkapnya dalam otobiografinya, It’s Been Emotional . Zinedine Zidane Legenda Prancis berdarah Aljazair kelahiran Marseille, 23 Juni 1972 itu tak pernah bisa jauh dari sepakbola. Pasca-gantung sepatu pada 2006 pun, Zidane memutuskan menjadi entrenador (pelatih) Real Madrid. Kalaupun pernah menyambi nampang di layar perak, perannya senantiasa bersinggungan dengan skill olah bolanya, seperti dalam film Goal! The Dream Begins (2005). Dalam film drama bertema sepakbola itu Zidane tampil sebagai cameo bersama 45 pesepakbola dunia lainnya, seperti Raúl González dan David Beckham. Pun begitu di sekuelnya, Goal II: Living the Dream (2007). Namun yang paling jadi sorotan buat “Zizou” di layar lebar adalah keterlibatannya sebagai figuran bernama Numerodix dalam Asterix at the Olympic Games (2008). “Adegan saya tetap memainkan bola,” ujarnya jelang produksi film, dikutip La Dernière Heure , 20 Oktober 2006. Stan Collymore Sepuluh klub sudah disinggahinya sejak 1990 hingga pensiun 2001, termasuk Liverpool dan Aston Villa. Striker kelahiran 22 Januari 1971 bernama lengkap Stanley Victor Collymore itu juga setidaknya tiga kali mengenakan jersey timnas Inggris. Sayangnya hingga kini Stan dikenal hanya sebagai mantan pemain medioker. Selebihnya, ia lebih dikenal akan sejumlah kontroversinya: kekerasan fisik terhadap pacarnya Ulrika Jonsson pada 1998 atau tertangkap pihak keamanan saat melakukan seks di muka umum pada 2004. Pun begitu, namanya sempat jadi bahan omongan lagi saat diajak terlibat akting dengan aktris Sharon Stone di film “erotis” Basic Instinct 2: Risk Addiction keluaran 2006. Collymore berperan sebagai Kevin Franks, bintang sepakbola yang punya hubungan “panas” dengan Catherine Tramell, seorang terduga pembunuh berantai yang diperankan Sharon Stone. Collymore beradegan seks dengan Sharon di sebuah mobil hingga menyebabkan kecelakaan dan kematian Franks. “Bermain bersama Stan adalah hal yang luar biasa. Sosoknya menyenangkan dan berkharisma. Ia juga profesional,” kesan Sharon terhadap Collymore, dilansir Daily Mail , 15 Maret 2006. David Beckham Bagi banyak orang di segenap pelosok bumi, nama David Beckham bukan figur yang asing. Kebintangan pria bernama lengkap David Robert Joseph Beckham itu melintas batas dari lapangan, bidang bisnis hingga dunia selebritas sebagai bintang iklan. Dia juga punya sepasukan sahabat para aktor Hollywood. Maka tak mengherankan jika sosok flamboyan kelahiran 2 Mei 1975 itu beberapa kali muncul di layar perak. Seperti halnya Zidane, Beckham juga muncul sebagai cameo di film Goal! (2005) dan Goal 2 (2007). Padahal mestinya dia dan istrinya, Victoria, menjalani debut juga sebagai cameo di film Bend It Like Beckham (2002). Sayangnya jadwal Beckham dan istrinya kurang bersahabat hingga urung ikut terlibat. Kala itu, Beckham menyatakan tak pernah berniat menseriusi karier akting. “Saya terlihat sedikit kaku dalam (film) Goal! Harus saya akui, akting bukan karier saya. Saya tak bisa berakting. Bahwa film ( Goal! ) itu tentang sepakbola, setidaknya saya lumayan melakukannya (bermain bola),” terang Beckham, dikutip Ask Men , 2 Maret 2007. Namun, Beckham kembali mentas di beberapa film. Setelah muncul sebagai cameo di The Man from U.N.C.L.E (2015), Becks jadi figuran bernama Trigger dalam King Arthur: Legend of the Sword (2015). Terakhir, dia beradu akting dengan aktor Ryan Reynolds dalam promo trailer Deadpool 2 (2018). Neymar Gaya eksentrik dan perangai yang menarik tak hanya menjadikan pesepakbola bernama asli Neymar da Silva Santos Júnior ini sebagai sosok bintang di lapangan, namun juga di layar lebar. Persona penggedor Paris Saint-Germain kelahiran 5 Februari 1992 itu jadi latarbelakang utama sineas DJ Caruso mengajaknya tampil dalam film XXX: Return of Xander Cage yang dibintangi Vin Diesel, Deepika Padukone, dan Donnie Yen itu. Neymar nongol sebagai figuran di awal dan akhir film sebagai Agen Junior, personel magang agensi NSA (National Security Agency) yang terobsesi ingin masuk ke program rahasia XXX berikutnya. Besar kemungkinan Neymar akan kembali diajak tampil sebagai salah satu pemeran utama dalam sekuel berikutnya. “Bagi saya, Neymar adalah Triple X – dia salah satu pesepakbola terhebat sepanjang masa. Tampangnya juga menarik dan punya attitude seorang pemberontak. Faktor-faktor yang sangat pas dengan persone Triple X,” sebut DJ Caruso, dikutip Luca Caioli dalam biografi Neymar: Updated Edition .

  • Sistem Politik yang Membuat Sriwijaya Bertahan Lebih dari Lima Abad

    Sriwijaya mulai maju sebagai kerajaan maritim paling tidak sejak abad ke-7. Namanya memudar pada abad ke-12. Ahli sejarah dan arkeologi terdahulu menganggap Sriwijaya sebuah imperium. Artinya, hanya satu kekuatan politik yang menguasai beberapa kelompok etnik atau negara dalam suatu wilayah yang luas. Namun, berdasarkan kajian epigrafi, sejarawan Jerman, Herman Kulke, membuktikan Sriwijaya lebih merupakan sebuah kadatuan . Ia membawahi kerajaan-kerajaan lain yang mengakui kedaulatannya. Ninie Susanti, arkeolog Universitas Indonesia, sepakat bahwa Sriwijaya tak pernah menyebut dirinya kerajaan, tetapi kadatuan yang berasal dari kata datu artinya orang yang dituakan. Menurut ahli epigrafi, Boechari, secara harfiah,  kadatuan  yang sepadan dengan  karatwan  (Jawa Kuno) berarti tempat  datu , yaitu puri, istana, atau keraton. Arkeolog dan sejarawan Prancis, Coedes, mengartikan kadatuan  sebagai wilayah yang dikuasai oleh  datu  atau kerajaan. Begitu pula sejarawan Jerman, Hermann Kulke, menafsirkan  kadatuan  sebagai tempat  datu,  dalam arti tempat tinggal atau keratonnya.  Kadatuan  Sriwijaya, kata Ninie, diakui kedaulatannya oleh wilayah Kedah, Ligor, Semenanjung Malayu, Kota Kapur, Jambi, Lampung, dan Batu Raja. “Batu Raja adalah prasasti terakhir yang ditemukan tahun lalu di Ogan Komering Ulu,” kata Ninie, yang meyakini Kadatuan Sriwijaya berpusat di Sumatra Selatan. Ninie menjelaskan bagaimana Sriwijaya membentuk pemerintahan maritim. Sebagaimana diungkapkan Herman Kulke dalam Kadatuan Sriwijaya , bahwa terdapat masyarakat yang berdiam di tiap mandala. “Jadi bukan suatu imperium, masyarakat ini berdiam di mandala yang dipimpin oleh para datu yang otonom dan memiliki privasi,” kata Ninie. Dalam tulisannya, “Kadatuan Srivijaya Imperium atau Kraton Srivijaya?” Kulke menjabarkan datu yang memimpin Sriwijaya berkedudukan di pusat. Tempat tinggalnya, Kadatuan Sriwijaya , bukanlah kota berpagar tembok. Namun dibentengi oleh tiang-tiang pancang kayu. Kadatuan Sriwijaya, seperti diungkap dalam prasasti-prasastinya, dilindungi oleh dewata ( devata ), kemungkinan besar para leluhur yang didewakan. “Ini menjadi akar otoritasnya sebagai datu dan bahkan dapunta hyam (gelar yang dipakai sang datu, red. ) bersifat kependetaan,” tulis Kulke. Sang datu juga memimpin balatentara ( vala ) yang kuat, memiliki staf pejabat, dan abdi ( huluntuhan ) yang cukup maju dan siap menjalankan perintahnya. Kadatuan Sriwijaya dikelilingi oleh kawasan yang disebut vanua, terdiri dari beberapa desa beserta lahannya.Inilah zona pertanian, kerajinan, dan perdagangan yang padat penduduk. Kata vanua dijumpai dalam tiga prasasti yang menyebut " vanua Sriwijaya" (Prasasti Kedukan Bukit), biara “di vanua ini” (kepingan prasasti e), dan " smaryyada vanua  ini" (Prasasti Sabokingking  atau Telaga Batu), secara berturut-turut. Sangat mungkin, seluruh kawasan vanua  beserta kadatuan, pasar, biara, taman, dan desa-desanya dianggap sebagai pusat urban Sriwijaya. Zona inilah yang kemungkinan besar dinamakan nagara atau pura di tempat-tempat lain di Asia Tenggara. Misalnya Kerajaan Tarumanegara di Jawa pada pertengahan abad ke-5 M. Kadatuan dan vanua itu dikelilingi pula oleh apa yang disebut dalam Prasasti SKK dengan samaryyāda. Ini merujuk pada desa-desa lokal yang ada di kawasan sekitar Sriwijaya. Menurut bukti epigrafis, kadatuan-kadatuan itu dipimpin para datu yang tinggal di desa-desa mereka sendiri. Ungkapan samaryyāda muncul mengingat lokasi geografis Sriwijaya yang khas. Pusat Sriwijaya bukan benar-benar ada di pedalaman dan bukan pula di bandar laut. Jaringan persungaian yang meluas ke arah hulu dari Palembang, dan daratan yang cukup panjang di tepian Sungai Musi yang menghilir dari Palembang ke laut, mungkin bukan sepenuhnya bagian dari kawasan inti datu Sriwijaya. Melainkan bagian dari samaryyāda yang ada di sekitar kadatuan Sriwijaya. Padahal akses barang dagangan dari hutan-hutan di wilayah pedalaman penting bagi Sriwijaya. Pun bagi keamanan Sriwijaya. Karena memiliki akses terhadap laut serta hubungan dagang internasional, maka kawasan-kawasan samaryyāda kemudian berada di bawah kontrol langsung para abdi ( huluntuhan )Sriwijaya. Sementara di luar itu, ada datu-datu lainnya yang jelas lebih kuat sebagaimana datu Sriwijaya. Mereka memiliki vanua sendiri dengan samaryyāda dan bahkan tanah yang baru diperoleh. Masing-masing wilayah datu yang kuat ini disebut sebagai satu kesatuan mandala yang ada di dalam bhumi Sriwijaya. “Namun, tak satu pun di antara datu-datu ini, baik yang di pedalaman samaryyāda Sriwijaya maupun di mandala-mandala yang jauh diizinkan mengklaim secara sah beberapa atau bahkan ketujuh piranti pembentuk otoritas Sriwijaya,” tulis Kulke. Dalam kasus Sriwijaya awal, kebanyakan datu tampaknya adalah pemimpin lokal. Dia bukan seperti gubernur provinsi. Kedudukannya mungkin mirip dengan para ratu di Jawa pada masa pra-Sailendra. “Sebagian besar datu Sriwijaya awal mungkin sebagai pemimpin lokal lama yang setelah dikalahkan dipasang kembali dan diakui kedudukan mereka semula oleh datu Sriwijaya yang lebih berkuasa, dengan syarat mereka mengakui otoritasnya,” tulis Kulke. Kendati begitu jelas bisa diduga semua datu memiliki juga dewata leluhurnya sendiri. Sebagian dari mereka mungkin juga tinggal di puri, yang mungkin tak jauh beda dengan miliki datu Sriwijaya. Namun, tentunya tak ada datu yang diizinkan membangun sistem mandala-mandala bawahan sendiri. Ini prasyarat paling relevan bagi terbentuknya sistem politik bhumi mirip Sriwijaya. “Delapan komponen yang membentuk kenegaraan Sriwijaya awal adalah kadatuan, devata, huluntuhan, vala, puhavam (nakhoda, red . ) , vaniyaga (pedagang, red . ) , mandala, dan bhumi, ” tulis Kulke. Dalam hal ini, perdagangan luar negeri jelas merupakan salah satu unsur terpenting kenegaraan Sriwijaya. Namun, nakhoda dan pedagang hanya disebut satu kali dalam daftar panjang pada awal Prasasti SKK. “Jelaslah bahwa prasasti-prasasti itu lebih mementingkan kontrol politik aktual dan kekuasaan di dalam kawasan inti Sriwijaya dan mandala-mandala daripada hubungan internasionalnya,” tulis Kulke. Uniknya, perkembangan Sriwijaya ke depan adalah kekhasannya. Ia tak pernah berhasil atau malah tak berusaha mengubah struktur politik bhumi -nya. Menurut Kulke, tidak mustahil, keengganan Sriwijaya menjadi kerajaan imperial yang memungkinkannya bertahan lebih dari 500 tahun. Umur panjang Sriwijaya justru dilandasi oleh tiadanya ciri struktural yang dianggap oleh para sejarawan sebagai prasyarat sebuah imperium tulen.  Dengan demikian, lebih awet daripada banyak imperium yang lebih terpusat. Bahkan bergenerasi-generasi memainkan peran utama dalam sejarah Asia Tenggara.

  • Sebelas Pesepakbola Dunia di Layar Perak (Bagian I)

    RAUT muka Shahrukh Khan begitu sumringah. Senyum tersungging di bibirnya saat aktor kawakan Bollywood itu foto bareng playmaker Arsenal Mesut Özil, salah satu pesepakbola yang diidolakannya. Momen itu melengkapi kebahagiaannya setelah menyaksikan sendiri di Emirates Stadium Özil dkk. menang 2-0 atas Newcastle United di matchday ke-32 Premier League, Senin (1/4/2019). Shahrukh Khan datang ke Emirates Stadium atas undangan Özil. Selepas laga, foto bersama plus hadiah jersey bernomor punggung 10 Arsenal milik Özil pun jadi “oleh-oleh” terbaiknya. Shahrukh Khan tak lupa mengundang balik Özil dan pacarnya, Amine Gülşe, untuk mengunjungi negerinya “Sebuah malam yang menyenangkan selamat @Arsenal. Terima kasih @MesutOzil1088 & Amine Gülşe untuk keramahannya. Sampai ketemu di India,” kicaunya di akun Twitter -nya, @iamsrk, 1 April 2019. Bukan rahasia bahwa Shahrukh Khan menggilai sepakbola. Pada 2016, dia sempat dirumorkan berniat membeli sebuah klub di Kalkuta. Sebelum terjun jadi aktor pun, dia pernah merumput walau hanya sebagai amatiran antar-sekolah. Saat bersekolah di St. Columba’s, Shahrukh rutin bermain sampai terkena cedera punggung yang mengakhiri kiprahnya. Shahrukh Khan tentu bukan satu-satunya figur yang banting setir dari lapangan ke dunia hiburan. Setidaknya ada sebelas sosok mantan pesepakbola profesional dunia yang beralih jadi aktor film komersil. Sebagian benar-benar meninggalkan sepakbola, sementara beberapa di antaranya hanya sekadar cameo . Berikut kesebelas figur itu: Pelé Legenda hidup asal Brasil bernama asli Edson Arantes do Nascimento itu diakui sebagai pesepakbola terbaik sepanjang masa. Tapi selain bersinar di lapangan, striker kelahiran 23 Oktober 1940 itu pernah tampil impresif dalam sebuah film bertajuk Escape to Victory (1981). Tak hanya diramaikan para aktor Hollywood, film itu juga turut dibintangi beberapa pesepakbola, antara lain: Bobby Moore (Inggris), Osvaldo Ardiles (Argentina), Kazimierz Deyna (Polandia), Paul van Himst (Belgia), dan Hallvar Thoresen (Norwegia). Film garapan sutradara John Huston yang berkisah tentang para tahanan perang Jerman-Nazi dalam Perang Dunia II yang bertanding melawan tim Jerman. Pelé berperan sebagai Kopral Luis Fernandez, tahanan perang Sekutu (British West Indian) asal Trinidad, yang turut berlaga. Itu bukan satu-satunya penampilan Pelé di layar lebar. Ia sekilas tampil sekilas di film bertema sepakbola lain: A Minor Miracle (1983), Hotshot (1987) dan Pele: Birth of a Legend sebagai cameo. “Sebetulnya pada suatu momen makan siang di New York, sutradara Steven Spielberg pernah mengajak saya membuat film tentang saya bermain bola di bulan. Jujur saya tak paham akan idenya, mungkin dia mengira saya adalah Marcos Cesar Pontes, figur dari Baurú lain yang menjadi orang Brasil pertama di luar angkasa. Tapi pada akhirnya saya tampil di film Hollywood besar yang juga diperankan Sylvester Stallone dan Michael Caine, saya tampil sebagai pemain sepakbola,” ujarnya dalam Pelé: Why Soccer Matters. Carlo Ancelotti Bersama Zinedine Zidane dan Bob Paisley, Ancelotti merupakan pelatih dengan gelar terbanyak Liga Champions (tiga gelar). Pria kelahiran Reggiolo, Italia, 10 Juni 1959 itu sebelumnya malang melintang sebagai pemain di Parma, AS Roma, dan AC Milan, serta timnas Italia. Di luar lapangan, pria berjuluk ”Don Carletto” itu sangat menggemari film-film bertema mafia Italia semacam The Godfather . Aktor Al Pacino dan Robert De Niro adalah idolanya. Tapi sejatinya, Ancelotti tak hanya menggemari film tapi juga pernah main di film garapan sineas Terence Hill bertajuk Don Camillo (1983). Film komedi itu berkisah tentang pendeta Don Camillo yang berfriksi dengan seorang walikota komunis, termasuk dalam persaingan sepakbola. Jan Tilman Schwab dalam Fussball im Film: Lexikon des Fussballfilms, Volume 2 menulis, Ancelotti tampil sebagai salah satu pemain tim lawan (Tim Devils) yang meladeni tim besutan Don Camillo (Tim Angels). Selain Ancelotti, film ini juga diramaikan pesepakbola lain seperti Roberto Boninsegna, Roberto Pruzzo, dan Luciano Spinosi. “Sebuah pengalaman menarik. Terence Hill pribadi yang hebat. Sayangnya saya belum pernah bertemu dia lagi setelah film itu selesai produksi,” kenang Ancelotti, dikutip sport1.de , 13 Januari 2017.  Bertahun-tahun setelah itu pasca-Ancelotti menjadi pelatih, ia nongol lagi meski sekadar cameo di film sains-fiksi Star Trek Beyond (2016). Paul Breitner Di Jerman, namanya masuk dalam jajaran “dewa” sepakbola laiknya Franz Beckenbauer. Pria asli Bavaria kelahiran 5 September 1951 itu tak hanya bergelimang gelar di level klub (Bayern Munich dan Real Madrid), namun juga jawara Piala Eropa (1972) dan Piala Dunia (1974) bersama timnas Jerman Barat. Perangai dan gaya rambutnya yang nyentrik membuatnya mudah nyambi di dunia hiburan. Menukil laman DFF (Deutsches Filminstitut and Filmmuseum) filmportal.de ,  Breitner setidaknya pernah mentas di tiga film. Adalah Potato Fritz (1975), film bertema western garapan sutradara Peter Schamoni, yang menjadi debutnya di layar perak. Ia tampil sebagai peran pembantu memerankan serdadu Amerika Sersan Stark. Breitner lantas ikut bermain dalam film Der Zappler (1982) meski hanya sebagai cameo sosok pesepakbola yang diidolakan oleh tokoh utama, bocah bernama Stefan. Film ketiganya, Kunyonga: Mord in Afrika (1986), dilakoni Breitner setelah ia gantung sepatu. Di film action -petualangan garapan sutradara Hubert Frank itu, Breitner berperan sebagai pengacara bernama Bäsgen yang turut mencari dan menyelamatkan seorang anak seorang bos industri yang diculik di Afrika. Ally McCoist Dunia broadcasting lazim jadi “alam” pesepakbola selepas pensiun. Ally McCoist salah satunya. Eks bintang timnas Skotlandia bernama lengkap Alistair Murdoch McCoist itu acap tampil di program-program olahraga BBC , ITV Sport hingga ESPN . Namun pada satu momen, pria kelahiran 24 September 1962 itu turut nyemplung ke dunia akting sebagai salah satu pemeran utama dalam film drama sepakbola A Shot at Glory (2000). Sebagaimana dirangkum Stephen Glynn dalam The British Football Film , McCoist berperan sebagai Jackie McQuillan, pemain gaek yang dibeli klub Kilnockie FC yang dilatih Gordon McCloud (diperankan aktor kawakan Robert Duvall). Selain McCoist, film ini juga diramaikan beberapa pesepakbola lain sebagai aktor pendukung seperti Owen Coyle, Andy Smith, Ian McCall, dan Didier Agathe. Ian Wright Momen pensiun pada 2000 bukan akhir dari segalanya bagi Ian Wright. Eks bintang Arsenal dan timnas Inggris itu justru hampir menjajal segala hal di luar lapangan untuk mengisi kesibukannya. Selain menjadi presenter olahraga, Ian terlibat dalam program-program televisi, menjadi penyiar radio, membintangi sejumlah iklan, menciptakan lagu “Do the Right Thing” hingga membintangi film Gun of the Black Sun (2011). Sebagaimana dilansir Radio Times , 30 Juni 2011, legenda kelahiran 3 November 1962 itu berperan sebagai Duke, seorang gangster asal Inggris. Film bertema action-fantasi itu berpusar pada sebuah pistol Luger keramat yang konon merupakan warisan petinggi Nazi-SS, Heinrich Himmler. “Saat saya tawarkan untuk terlibat, dia langsung terima. Dia selalu latihan tanpa kenal lelah untuk keperluan produksi. Dialog-dialog yang dilakukannya selalu sempurna,” puji sang penulis naskah Gary Douglas.

  • Sarjana Hukum Pertama Indonesia Lulusan Belanda

    Oei Jan Lee lahir di Banda Neira, Maluku, pada 1863. Ayahnya seorang Letnan Tionghoa yang membantu Kapitan Tionghoa, pemimpin komunitas Tionghoa di Banda Neira. Setamat pendidikan dasar Belanda di Banda Neira, dia mengikuti pendidikan dan pelatihan swasta di Banda Neira, untuk persiapan mengikuti tes penerimaan HBS (sekolah menengah Belanda) di Batavia. Setelah lulus HBS, pada 1882, Oei Jan Lee pergi ke Negeri Belanda. Dia mengikuti pendidikan gymnasium selama dua tahun sebagai syarat masuk universitas. Dia menjadi orang pertama dari Hindia Belanda yang belajar hukum di Universitas Leiden dan lulus pada Januari 1889. Menurut Patricia Tjiook-Liem dalam “The Chinese from Indonesia in the Netherlands and their heritage,” jurnal Wacana Vol. 18 No. 1, 2017, Oei Jan Lee kembali ke Hindia Belanda pada 1892. Pada umur 29, dia diangkat sebagai pengacara dan penasihat di Mahkamah Agung Hindia Belanda, salah satu jabatan tertinggi dalam peradilan kolonial. Ini adalah pengangkatan yang luar biasa dan karier yang sangat cepat pada masa kesenjangan hukum dan sosial yang besar antara Belanda (Eropa) dan Tionghoa (Timur Asing). Jabatan penting jarang diberikan kepada orang Tionghoa. Oei Jan Lee menikah dengan perempuan Eropa, Christina Johanna van Wijk, pada 1889. Pada waktu itu, orang yang bukan Eropa menikah dengan seorang perempuan Eropa, maka dia masuk ke golongan Eropa. “Contohnya Rd. Ismangoen Danoe Winoto dan Mr. Oei Jan Lee (Johan Lee); keduanya dipersamakan dengan orang Eropa, malahan yang tersebut belakangan menjadi Nederlander (warga negara Belanda, red. ) karena naturalisatie (naturalisasi),” tulis Sudargo Gautama dalam Segi-Segi Hukum Peraturan Perkawinan Tjampuran: (Staatblad 1898 No. 158) . Oleh karena itu, kendati Oei Jan Lee yang pertama kuliah hukum di Universitas Leiden. Namun, sejarawan Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah , menyebut orang Indonesia pertama yang meraih gelar Meester in de rechten (Mr.) atau sarjana hukum adalah Raden Mas Gondowinoto pada 1918. Gondowinoto lahir pada 1889 di Yogyakarta. Putra dari Pangeran Notodirodjo, saudara Pakoe Alam VI. Ayahnya sangat peduli dengan pendidikan. Karenanya dia dan saudara-saudaranya dimasukkan ke sekolah Belanda. Setelah lulus pendidikan ELS dan HBS pada 1907, dia menyusul kakaknya, Raden Mas Notokworo, meneruskan pendidikan ke Negeri Belanda. Notokworo menjadi orang Indonesia pertama yang menjadi dokter dari Universitas Leiden tanpa lebih dulu mengikuti pendidikan STOVIA (Sekolah Dokter untuk Bumiputra) di Hindia Belanda. Pada 1910, Gondowinoto, yang menguasai bahasa Latin dan Yunani, mengikuti langkah kakaknya yang lain, Noto Soeroto, mengambil jurusan hukum di Universitas Leiden. Noto Soeroto menjadi orang Indonesia pertama yang menempuh ujian kandidat hukum atau kandidaatexamen (semacam sarjana muda). Namun, dia gagal meraih gelar Mr. Sehingga Gondowinoto yang menjadi orang Indonesia pertama meraih gelar Mr. Setelah lulus tahun 1918, Gondowinotokembali ke Indonesia. Penugasan pertamanya sebagai anggota Majelis Kehakiman di Makassar (1919-1921). Kariernya naik menjadi hakim ketua pada Pengadilan Pribumi di Makassar. Dari Makassar, Gondowinoto bertugas di Kalimantan. Di sana dia pernah menjadi pembela Idham Chalid (kelak menjadi ketua PBNU) yang ketika itu menjadi penghulu di Setui, Kalimantan Selatan. Dalam biografinya, Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid: Tanggung Jawab Politik NU dalam Sejarah karya Arief Mudatsir Mandan, disebut bahwa Idham Chalid berhenti sebagai penghulu Setui karena perkara perkelahian dengan Haji Bakri. Penyebabnya tidak diketahui pasti. Kasus itu sampai ke pengadilan ( Landraad ) di ibu kota onderafdeling  (Kawedanaan) Kota Baru, Pulau Laut. Hakim Landraad seorang Belanda agak memihak kepada Haji Bakri, kabarnya karena Idham Chalid pernah ikut mengurus Sarikat Islam dan Nahdlatul Ulama. “Seorang advokat sahabatnya, Mr. R.M. Gondowinoto, menjadi pembelanya di pengadilan. Akhirnya, keputusan perkara Upau alias tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang, dua-dua bebas, disuruh bermaaf-maafan. Keduanya menjadi bersahabat kembali,” tulis Arief Mudatsir Mandan. Malahan sehabis persidangan, Haji Bakri menginap di rumah Idham Chalid. “Demikianlah orang-orang tua dahulu, tidak ada yang menyimpan dendam walaupun pernah bersengketa.” Selain di bidang hukum, Gondowinoto juga terlibat dalam pergerakan lewat media massa. Dia menjabat direktur surat kabar Soeara Kalimantan yang mulai terbit pada 1 April 1930. A.A. Hamidhan sebagai kepala redaksi, dan A. Atjil sebagai redaktur keliling ( reizende redacteur ) dan penanggung jawab. Surat kabar ini diterbitkan oleh Drukkerij en Uitgevers Mij. Kalimantan. Pada 1934, susunan redaksi ditambah M. Hadhriah sebagai pejabat redaktur ( plaatsyervangend redacteur ) dan A. Madjidi sebagai kepala administrasi. Menurut Abdurrachman Surjomihardjo dalam Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia , mengenai haluannya, mingguan itu cenderung bercorak nasionalis dan berusaha memperjuangkan kepentingan Islam, umpamanya dalam artikel yang ditulis oleh redaksi tanggal 1 April 1930, antara lain mengemukakan: “Mementingkan soal-soal segenap kawan”; “wajib Pemoeda Islam sekarang ini menjelma warta”; “Angan angan kemerdekaan diharapkan Oemat”; “Boeatlah tjonto kepada Oemat”. Ketika pemerintah Hindia Belanda mencurigai Soeara Kalimantan , Gondowinoto menulis artikel “Soeara Kalimantan Berbahaja” tanggal 15 November 1930, yang antara lain mengemukakan bahwa Soeara Kalimantan : “Membela kehormatan bangsanya tanah airnya dari tindasan yang sewenang wenang dengan jalan yang patut … Akan mempertimbangkan dan memuji kepada siapa saja yang berbuat kebaikan dalam pekerjaannya tetapi mencuci sampai bersih pada segala perbuatan yang berbau busuk…. Mengajak rakyatbangsanya memperbaiki perekonomian dengan jalan memberi pandangan yang menarik hati mereka.” Pada masa pendudukan Jepang , Gondowinoto kembali ke Jawa. Dia menjadi penuntut umum di Mangkunegaran. Dia meninggal dunia pada 1953.

bottom of page