top of page

Hasil pencarian

9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Solusi Perkara Pengeras Suara di Masjid

    WAKTU salat subuh belum tiba. Masih satu jam lagi. Tapi seorang pengurus Masjid Anyer, Jakarta, telah berada di masjid. Dia memutar kaset bersuara orang baca Alquran dan menghubungkannya dengan pengeras suara masjid. Suara kasetnya lantang dan menjangkau wilayah jauh. Lalu orang-orang di sekitar masjid bangun. Seseorang menggerutu lantaran terganggu pengeras suara. Jauh sebelum waktu salat subuh. Gerutuannya merembet dari satu orang ke orang lainnya. Hingga sampai ke Ali Sadikin, gubernur DKI Jakarta. Ali menyuruh stafnya datang ke Masjid Anyer dan menegur pengurus masjid. “Agar mereka mengikuti petunjuk Musyawarah Alim Ulama DKI pada 22-23 September 1973,” kata KH Djamil Latif, kepala wantor wilayah Departemen Agama DKI Jakarta, dikutip Kompas , 4 September 1976. Sejak ramai penggunaan pengeras suara di masjid pada 1970-an, alim ulama telah lumayan tanggap. Mereka menyaring beragam pendapat masyarakat dari dua sisi, yang pro dan kontra. Juga mencari dalil-dalil agama untuk mengeluarkan rekomendasi seputar penggunaan pengeras suara di masjid kepada warga. Musyawarah Alim Ulama DKI 22-23 September 1973 tak menolak penggunaan pengeras suara ketika azan dan untuk informasi penting bersifat darurat ke seluruh masyarakat. Tapi lain soal jika penggunaan pengeras suara melebihi batas. Misalnya untuk pidato, doa, dan zikir dari kaset pada dinihari sebelum subuh. Mereka nilai itu berlebihan. Musyawarah Alim Ulama DKI mendasarkan pendapatnya pada empat hal. Pertama , doa, zikir, dan ibadah perlu tempat sunyi dan hening. Kedua , cerita Imam Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafi dan hidup pada abad ke-8 Masehi, melembutkan bacaan salat ketika Imam Syafi’i menginap tidur di rumahnya. Ketiga , kitab Sunan wal Mubtada’at  karya Syekh Muhammad bin Abdul Khadir al-Syaqairi. Di dalamnya termaktub peristiwa Nabi Muhammad menegur Ali bin Abi Thalib, menantu sekaligus sepupunya, ketika membaca doa keras-keras. Keempat , Surat al-Israa ayat 110. Terjemahannya berbunyi, “Janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu." Empat dasar ini berujung kepada rekomendasi penggunaan pengeras suara di masjid. Bahwa warga hendaknya arif. Tahu saat dan tempat ketika menggunakan pengeras suara. Misalnya, jangan gunakan pengeras suara jauh sebelum subuh. Kalau warga ingin menggunakan pengeras suara sebelum subuh, Musyawarah Alim Ulama DKI usul lima belas menit sebelum subuh pada hari biasa dan tiga puluh menit sebelumnya pada bulan puasa. Dan sebaiknya orang benar-benar yang membaca. Fasih lagi merdu, sehingga menyentuh hati warga untuk pergi ke masjid atau musala. Tapi rekomendasi ini tak mengena ke warga. Tak ada konsekuensi apapun bagi warga jika mengabaikan atau menjalankannya. Maka penggunaan pengeras suara tak terkendali. Lebih lagi pertumbuhan masjid di Jakarta terus meningkat. Sidi Gazalba dalam Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam mencatat hanya ada 275 masjid di Jakarta pada 1957, kemudian meningkat jadi 904 masjid pada 1974. Ini belum termasuk surau atau musala. Satu sama lain saling berdekatan. Rapat dengan permukiman. Dan masing-masing mulai memasang pengeras suara. Kafrawi M.A, ketua Dirjen Bimas Islam, menyambut baik penggunaan pengeras suara untuk sarana dakwah Islam. “Boleh lantang saat azan untuk masjid-masjid di kota, tapi setelah itu cukup didengar jamaah dalam masjid,” kata Kafrawi dalam Kompas , 30 Mei 1978. Kafrawi membedakan penggunaan pengeras suara di kota dan desa. Kota sudah terlalu sumuk oleh kebisingan. Warga kota mendambakan kesuwungan. Di desa justru sebaliknya. Desa itu sepi. Maka pengeras suara bikin kehidupan agama desa lebih hidup. Kafrawi bersama lembaganya kemudian menggelar lokakarya ketentuan penggunaan pengeras suara. Hasil lokakarya ini merupakan embrio Instruksi Dirjen Bimas Islam Depag bernomor KEP/D/101/1978 tentang Penggunaan Pengeras Suara di tempat ibadah. Isi Instruksi Dirjen Bimas Islam Depag hampir mirip dengan rekomendasi Musyawarah Alim Ulama DKI 1973, yaitu menekankan penggunaan pengeras suara hanya untuk azan. Kegiatan lain harus menggunakan salon di dalam masjid. Suaranya tidak perlu keluar. Tujuannya untuk menutup potensi antipati masyarakat terhadap dakwah. Kafrawi berpesan jika masyarakat mematuhi anjuran ulama, buahnya adalah simpati. Pesan Islam pun sampai di hati. Dan Masjid bisa terisi penuh oleh jamaah.

  • Pemimpin Ideal ala Jawa

    Kadipaten Pakualaman mempunyai beberapa model kepemimpinan yang menjadi acuan para adipatinya. Itu terkandung dalam naskah koleksi Perpustakaan Pakualaman yang merangkum masa pemerintahan Paku Alam I hingga Paku Alam IX. Dari beberapa model kepemimpinan, ajaran asthabrata mendapat perhatian khusus dari para pujangganya. Ada 12 teks yang diciptakan untuk menjelaskan konsep asthabarata, yaitu Baratayuda, Pawukon saha Serat Piwulang, Sestra Ageng Adidarma, Kempalan Serat Piwulang, Sestradisuhul, Piwulang Warna-warni, Slawatan Langen, Pradapa, Dasanama saha Pepali, Kyai Adidamastra, Asthabrata Panca Candra saha Dongeng Kancil, Slawatan Melayu, Asthabrata Panca Candra saha Narpa Candra. Ajaran asthabrata terinspirasi dari Kakawin Ramayana. Meski ide cerita datang dari India, penulisannya di Jawa sudah ada paling tidak sejak masa Kerajaan Kadiri. Isinya mengenai teladan kepemimpinan yang disampaikan Rama kepada adiknya, Barata. Model kepemimpinan dalam ajaran itu didasarkan pada sifat delapan dewa penjaga mata angin ( Lokapala ). “Mereka adalah Batara Indra yang bijak bestari, Yama yang adil dan cerdas menegakkan hukum, Surya yang cermat dalam keuangan, Candra yang memesona dan berkepribadian memikat, Bayu yang tak mudah terhasut, Kuwera yang demawan, Baruna yang bersahaja, dan Brama yang pintar bersiasat,” kata BRAy. Atika Purnomowati Suryodilogo, peramaisuri Paku Alam X, dalam diskusi buku Ajaran Kepemimpinan Asthabrata Kadipaten Pakualaman, di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Kamis (12/4). Meski terinspirasi dari karya yang sudah ada, versi Pakualaman berbeda. Istri Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta itu mengatakan, asthabrata Pakualaman menempatkan Batara Wisnu sebagai pertapa untuk menggantikan Batara Kuwera. Wisnu sengaja dihadirkan untuk memberikan keseimbangan karakter keduniawian sang raja. “Raja harus punya keunggulan sifat dunia dan rohani,” lanjutnya. Karena perpaduan itu, membuat idealisasi seorang pemimpin versi Pakualaman lebih rumit. Alasan ini pula yang membuat para adipati di Pakualaman memprakarsai penciptaan teks dengan gambar artistik para dewa yang sudah dikenal luas. Lukisan artistik ini dinilai akan lebih menguatkan pesan. Dampaknya, pembaca akan menerima pesan itu secara reaktif.  “Tampaknya ini berkaitan dengan etos sestradi. Artinya, rasa yang tinggi merupakan sarana yang nyata menggapai makna kehidupan sempurna,” kata Atika. Di Pakualaman, ajaran asthabrata dalam bentuk teks, telah disalin terus-menerus dari aksara Jawa ke aksara Jawa sejak masa Paku Alam II sampai Paku Alam V. Sementara itu, menurut Sri Ratna Saktimulya, pada periode Paku Alam VI hingga Paku Alam VIII, tak diketahui apakah teks itu ada atau tidak. “Kami belum menemukan. Ini menjadi PR (pekerjaan rumah) kami,” kata kepala jurusan Sastra Nusantara Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada itu. Selanjutnya, pada periode Paku Alam IX, teks mulai dialihaksarakan dari huruf Jawa ke huruf latin. Karya itu pun diterjemahkan dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia. Pada masa ini pula, K.B.P.H Prabu Suryodilogo, Paku Alam X yang ketika itu masih menjadi putra mahkota, bersama timnya memaknai teks dan menerbitkannya dalam sebuah buku. “Sejak dulu putra mahkota diwajibkan tahu tentang asthabrata,” jelas Sri Ratna. Kendati begitu, seorang pemimpin tak mudah menerapkan delapan watak dewata itu. Menurut Sudibyo, dosen Sastra Nusantara Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, delapan watak itu bisa saja diterapkan secara situasional. “Separuh saja terwujud sangat bagus. Mungkin seperti Sukarno. Dia menarik, karismatik, karena pesonanya dikagumi banyak orang,” kata Sudibyo. Lebih lanjut, Sudibyo menekankan, ajaran ini lebih untuk mengatur pribadi sang raja. Karenanya di tengah budaya Islam tak ada penolakan meski asthabrata memakai dewa-dewa Hindu sebagai teladan. “Selama ini dalam empat kerajaan Jawa tidak pernah terdengar penolakan. Karena ini hanya untuk mengatur moralitas sang raja. Rakyat hanya akan merasakan imbasnya,” ujar Sudibyo. Di masa sekarang, ajaran ini sepatutnya diterima ketika rakyat tengah menyambut Pilkada dan Pilpres. “Indonesia bakal menggelar 171 Pilkada langsung tahun ini. Tahun berikutnya, berlanjut kepada pemilihan anggota legislatif dan presiden. Konteksnya tepat untuk mengkaji kembali hasil pemikiran para pujangga Jawa ini,” pungkas Sudibyo.

  • Pemburu Gambar di Era Perang

    SUKANAGARA, awal Februari 1948. Masyitoh masih ingat kehadiran seorang tukang foto Republik di tengah-tengah pasukannya. Kala itu Divisi Siliwangi tengah bersiap untuk berangkat hijrah ke Jawa Tengah, sesuai kesepakatan Perjanjian Renville. “Orangnya enggak begitu besar, wajahnya mirip orang Tionghoa. Dia kemana-kemana bawa kamera dan kerap mengambil gambar kami…” kenang perempuan tua yang dulu pernah menjadi bagian dari Brigade Soerjakantjana itu. Masyitoh tidak paham siapa nama sang fotografer tersebut. Namun jika mengikuti ciri-ciri yang dikemukakan dan berdasarkan data-data sejarah yang ada, bisa jadi dia adalah Alex Mendoer. Itu nama jurnalis foto legendaris dari IPPHOS (Indonesia Pers Photo Service), biro foto pertama yang dikelola oleh orang-orang Indonesia. Namun dalam Alexius Impurung Mendoer karya Wiwi Kuswiah dikisahkan jauh sebelum mendirikan IPPHOS (bersama Frans Mendoer, Alex Mamusung, J.K.Oembas dan F.F.Oembas) pada 2 Oktober 1946, sejatinya lelaki kelahiran Kawangkoan pada 7 November 1907 itu sudah malang melintang di berbagai palagan. “Ia kerap berkeliling ke berbagai pelosok Jawa guna memburu foto-foto impresif sekitar Perang Kemerdekaan,” ungkap sejarawan Rushdy Hoesein. Salah satu kunjungan yang pernah direkam dalam suatu artikel panjang di koran Merdeka adalah saat Alex bersama jurnalis Rosihan Anwar menyambangi garis depan di sekitar wilayah Kali Cakung, Bekasi. Bersama Komandan Resimen 5 Divisi Siliwangi Letnan Kolonel Moefreni Moe’min, mereka memeriksa kesiapan pasukan TRI  (Tentara Repoeblik Indonesia) secara langsung. “Sementara itu sebuah pesawat pengintai Belanda melayang-layang di atas kami, tapi kami tak peduli,”ujar Rosihan dalam Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia Jilid 7: Kisah-Kisah Zaman Revolusi Kemerdekaan. Alex termasuk jurnalis foto yang sangat sergap dalam memburu peristiwa. Sebagai contoh, pada awal 1946 ia mendengar telah terjadinya kles antara pasukan Sekutu/Belanda dengan kekuatan pejuang Indonesia di daerah Maseng (masuk dalam wilayah Bogor selatan). Tanpa banyak berpikir, Alex lantas berangkat ke sana, dengan menggunakan kereta api dari Stasiun Manggarai, Jakarta. Sayangnya sesampai di sana, pertempuran usai. Alih-alih mendapatkan gambar pertempuran, para prajurit Indonesia justru mencurigai Alex sebagai mata-mata musuh yang tertinggal. Sang jurnalis terntunya menyangkal, namun tak ada satu pun yang mempercayainya. Dalam situasi kritis dan para pejuang sudah mengepungnya, tiba-tiba terdengar teriakan akrab dari seseorang: “Alex! Alex!” Rupanya suara tersebut milik Mayor Alex Kawilarang, salah satu pimpinan pejuang Republik di Bogor dan Sukabumi yang sudah lama dikenal Alex Mendoer. Sang komandan lantas menghampirinya dan berbincang-bincang akrab. Melihat situasi tersebut, para pengepung (yang tak lain adalah anak buah Alex Kawilarang) satu persatu bubar. Alex pun selamat dari kekonyolan revolusi. Akhir Januari 1948 terjadi gencatan senjata akibat kesepakatan Perjanian Renville. Alex termasuk jurnalis foto yang mengabadikan proses-proses itu berlangsung di wilayah Cianjur dan Sukabumi. Ketika didapatinya kabar akan adanya pertemuan antara Kolonel Thompson (Komandan Resimen I Divisi 7 Desember) dengan Alex Kawilarang (yang sudah naik pangkatnya menjadi letnan kolonel) di Cianjur, ia bergegas ke sana dengan mengikuti rombongan peninjau militer dari Prancis pimpinan Kapten Dhoste. Di dalam mobil yang berjalan menuju Cianjur itulah, Kapten Dhoste memuji-muji Alex Kawilarang sebagai tentara tulen. Pujian itu terus berlangsung sehingga menyebabkan seorang letnan Belanda yang duduk di sebelah sopir kegerahan. “Iya Kapten, tapi sayang Alex Kawilarang sudah tewas oleh tentara kami di Bogor,”ujar sang letnan. “Oh ya? Sayang sekali…” ujar Kapten Dhoste. Begitu tiba di Cianjur, Alex Mendoer melihat Letnan Kolonel Alex Kawilarang sudah berdiri di depan gedung pertemuan. Dengan wajah sumringah, Alex Mendoer pun berkata kepada si letnan Belanda: “Tuan, orang yang anda bilang sudah tewas itu sekarang ada di depan kita…” ujarnya sambal tersenyum. Perwira  Belanda itu langsung terdiam. Wajahnya pucat. Nampak sekali ia merasa malu.

  • Konflik Valentino Rossi, Dulu dan Kini

    Valentino Rossi marah bukan main terhadap Marc Marquez. Pembalap gaek pengoleksi gelar juara dunia tujuh kali itu merasa dirugikan oleh manuver Marquez di balapan MotoGP Argentina, Senin (9//4/18) dini hari WIB. Manuver itu terjadi di lap ke-20. Kala berusaha meng- overtake dari sisi dalam, ban depan Marquez menyenggol motor Rossi. Sontak Rossi terjungkal. Marquez mengaku bersalah. Usai balapan, dia ditemani tim Repsol Honda langsung mendatangi paddock Rossi untuk meminta maaf. Pembalap Spanyol itu menyatakan bahwa ban depannya tak sengaja menabrak motor Rossi karena sedikit tergelincir akibat genangan air di trek. Namun, tim Movistar Yamaha menolak memberi maaf. Rossi sendiri masih gondok. “Dia menghancurkan olahraga ini. Dia sengaja menabrak kaki saya. Saya sempat tertawa karena itu keterlaluan. Jika dia tak menghormati saya, buat apa saya menghormatinya! Manuvernya bukan agresif, melainkan manuver yang jorok,” ketus Rossi, disitat MotoGP.com , Senin (9/4/2018). Ini menjadi babak baru titik didih rivalitas dua racer top tersebut. Keduanya musuh bebuyutan sejak 2015. Sebelum dengan Marquez, Rossi punya pengalaman berseteru sengit dengan pembalap Italia lain, Max Biaggi. Valentino Rossi meradang setelah disenggol Marc Marquez di MotoGP Argentina 2018. (motogp.com) Perkara Suzuka Perseteruan Rossi-Biaggi acap terjadi di luar arena. Titik terendah hubungan keduanya berlangsung pada April 2001 di Sirkuit Suzuka saat MotoGP Jepang. Perseteruan bermula dari insiden “jurus sikut” Biaggi terhadap Rossi yang berusaha menyalip dari sisi luar. Rossi selamat. Satu lap berikutnya, Rossi sukses menyalip Biaggi dan sebagai balasan, Rossi mengacungkan jari tengah ke arah Biaggi yang sudah dilewatinya. Selepas balapan, Rossi protes. Namun Biaggi cuek. Keduanya lalu saling sindir, nyinyir, sampai saling hina. FIM (otoritas MotoGP) terusik ulah keduanya. Rick Broadbent dalam Ring of Fire mengungkapkan, Presiden FIM Francesco Zerbi sampai mengirim surat peringatan untuk Rossi dan Biaggi. Bila peringatan itu tak dipatuhi, FIM mengancam akan memberi sanksi berat kepada keduanya. Max Biaggi (kanan) muncul di konferensi pers dengan memar di pipi kirinya. “Intervensi saya adalah teguran kepada Anda berdua, juga berupa ajakan agar bisa lebih mengendalikan aksi dan reaksi Anda, tanpa mengurangi insting bertarung dan gairah terhadap kemenangan (di sirkuit),” begitu bunyi sepotong petikan surat Zerbi yang dikutip Broadbent. Tapi peringatan keras itu tak mampu meredakan konflik Rossi-Biaggi. Di MotoGP Katalunya, medio Juni 2001, Rossi dan Biaggi terlibat perang verbal sampai terjadi saling dorong. Anehnya, saat Biaggi muncul di sesi konferensi pers, luka memar nampak di wajahnya. Menurut Biaggi, memar itu disebabkan oleh sengatan serangga. Namun, pengakuan seorang steward (anggota panitia balapan) yang tak disebutkan namanya menepis pengakuan Biaggi. Steward itu mengaku melihat perseteruan Rossi dan Biaggi. "Kejadiannya lebih dari sekadar adu mulut. Rossi mendaratkan pukulan telak ke wajah Biaggi saat emosi mereka memuncak, sampai-sampai mereka harus dipisahkan secara paksa," aku steward tersebut, dilansir The Telegraph 18 Juni 2001.

  • Awal Mula Pengeras Suara di Masjid

    PENGERAS suara di masjid jadi polemik lagi. Pemicunya Ganjar Pranowo, calon gubernur Jawa Tengah, baca puisi karya KH A. Mustofa Bisri (Gus Mus) ke khalayak. Sepotong larik puisi itu berbunyi, “Kau bilang Tuhan sangat dekat, namun kau sendiri memanggilnya dengan pengeras suara setiap saat.” Sebenarnya sejak kapan orang Indonesia menggunakan pengeras suara di masjid? “Saya bersekolah dasar di Jakarta pada 1968. Saya ingat Masjid al-Muhajirin dan al-Anshar, Tanah Abang, Jakarta Pusat, sudah menggunakan pengeras suara,” kata Ahmad Mathar Kamal, penulis buku Catetan Si Cheppy Aktipis Betawi, kelahiran Tanah Abang pada 1958. Ahmad Mathar juga beroleh informasi dari kawannya yang lebih tua bahwa penggunaan pengeras suara untuk azan di Jakarta sudah berlangsung antara 1960-1964. “Di daerah Pasar Minggu, Masjid al-Makmur, masjid besar di sana, sudah pakai pengeras suara untuk azan,” lanjut Mathar. Tapi tak semua masjid di Jakarta sudah menggunakan pengeras suara ketika itu. Beda masjid, beda pula waktu penggunaan pengeras suaranya. Masjid besar semisal al-Azhar, Jakarta, baru menggunakan pengeras suara pada 1970-an. Padahal masjid itu selesai dibangun pada 1958. Demikian laporan Panji Masyarakat 1978 ketika memperingati 20 Tahun Masjid Agung al-Azhar. Sebuah masjid di Kebon Jeruk, Jakarta, justru mengharamkan penggunaan pengeras suara pada 1970-an. “Karena tidak ada pada zaman Nabi,” kata A.M. Fatwa, koordinator Dakwah Islam Jakarta, kepada Kompas,  12 Januari 1977. Orang-orang Indonesia menyebut pengeras suara sebagai TOA. Ini sebenarnya merek dagang dari perusahaan alat elektronik asal Jepang, TOA. Berdiri pada 1934, TOA masuk ke Indonesia pada 1960-an. Lalu menjadi alat pengeras suara paling sohor di desa dan kota. Mengalahkan merek lainnya yang lebih dulu muncul. G.F. Pijper, seorang Belanda pengkaji Islam di Indonesia, sebenarnya telah menyaksikan kehadiran pengeras suara di masjid Indonesia jauh sebelum 1960-an. “Pengeras suara dikenal luas untuk menyuarakan azan di Indonesia sejak tahun 1930-an. Masjid Agung Surakarta adalah masjid pertama yang dilengkapi pengeras suara,” tulis Kees van Dijk, “Perubahan Kontur Masjid,” termuat dalam Masa Lalu Dalam Masa Kini Arsitektur Indonesia . Van Dijk mengutip Studien over de geschiedenis van de Islam karya Pijper. Van Dijk tak menyebut soal merek pengeras suara pada masa kolonial itu. Tapi dia memuat keterangan tentang ketidaksukaan orang Barat terhadap suara azan dari alat tersebut. Padahal, orang Baratlah yang memperkenalkan pengeras suara ke orang-orang tempatan di Hindia Belanda, bersamaan dengan masuknya jaringan listrik ke Hindia Belanda. Memasuki zaman merdeka, ketika pengeras suara menyemarak di masjid-masjid, anak negeri mulai berdebat sekitar penggunaan pengeras suara. Debat itu muncul pada 1970-an. “Bagaimana kalau ada orang yang sakit di sekitar masjid dan meninggal karena suara azan yang terlalu keras, misalnya,” protes seorang warga Jakarta, termuat di Ekspres , 22 Agustus 1970. Warga lain mengaku tidak keberatan dengan azan melalui pengeras suara. “Sekalipun saya orang Budhis, saya bisa merasakan hikmah yang agung itu dan saya senang,” kata Oka Diputhera, pegawai di Departemen Agama kepada Ekspres . Oka hanya protes pada tingkat kebisingan pengeras suara dari masjid untuk kegiatan di luar azan. Sebab, pengurus masjid seringkali menggunakan pengeras suara di luar azan. Seperti untuk doa, zikir, dan pembacaan Al-Qur'an yang kelewat malam atau jauh sebelum subuh.

  • Benarkah Babad Tanah Jawi Fiksi?

    PERNYATAAN pengamat politik, Rocky Gerung dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) tadi malam, Selasa (10/4) memancing tanggapan publik. Dia menyebut kitab suci dan Babad Tanah Jawi adalah fiksi. “Kitab suci fiksi atau bukan? Kalau saya pakai definisi bahwa fiksi itu mengaktifkan imajinasi, kitab suci adalah fiksi. Karena belum jadi, belum selesai. Babad Tanah Jawi itu fiksi,” kata dosen filsafat UI itu. Terlepas dari apa yang Rocky konsepkan soal fiksi, sejarawan Dhanang Respati Puguh, mengatakan, sumber tradisional punya hak yang sama untuk digunakan sebagai sumber sejarah. Berdasarkan studi ahli sejarah Jawa, H.J. de Graaf, Babad Tanah Jawi punya kandungan fakta. Fakta sejarah dalam kitab itu ada pada bagian tengah cerita hingga akhir. Dari sisi historiografisnya, sumber tradisional bisa menjadi faktual. Asalkan konteks penulisan historiografinya, dalam hal ini Babad Tanah Jawi, dipahami . “Artinya, kita tidak hanya sibuk untuk mencari fakta di dalamnya, yang lebih penting adalah memahami konteks penulisan historiografi,” kata Dhanang yang saat ini menjabat ketua Departemen Sejarah Universitas Diponegoro, Semarang. Selain fakta, Babad Tanah Jawi juga punya kebenaran simbolis. Kisah tentang hal yang tak masuk akal, misalnya terkait sosok raja atau orang suci yang secara simbolik tetap punya kebenaran. Maknanya, raja atau orang suci berbeda dari orang kebanyakan. Dia memiliki kelebihan dibandingkan dengan rakyat jelata. “Itu menurut saya salah satu contoh kebenaran simbolik,” lanjutnya. Adi Deswijaya, filolog Universitas Veteran Bangun Nusantara, Sukoharjo, mengatakan pengertian fiksi terkait Babad Tanah Jawi  lebih kepada rekaan dalam hal jalan cerita hasil pemikiran si pengarang. Namun, di balik fiksinya pemikiran itu, proses penciptaan karya tetap berlatar belakang sejarah. Di sisi lain, unsur fiksi dalam babad juga berkaitan dengan mitos. Tak sulit menemukan unsur mitologi di dalam Babad Tanah Jawi . Salah satu contohnya, kisah Jaka Tingkir atau Hadiwijaya, raja Pajang pertama, yang dengan kekuatannya mampu mengalahkan 40 ekor buaya. Kendati demikian, di balik mitos, ada tujuan mengapa sang pengarang, yang adalah pujangga keraton, menuliskannya. Mitos dimunculkan untuk mengkultuskan seorang raja. Unsur mitos juga bisa ditemukan dari aspek kebahasaannya yang konotatif. “Maksud saya, area cerita awal berlatar belakang dewa-dewa yang hidup masa animisme dan dinamisme yang 99 persen hanyalah mitos bagi kita yang sudah berpegang teguh pada agama kita, sedangkan di bagian akhir, para raja sudah mempunyai ageman,  agama,” jelas Adi. Awalnya, sebelum memasuki sejarah kerajaan, Babad Tanah Jawi membeberkan silsilah raja-raja lebih dulu. Disebutkan di dalamnya, silsilah raja hingga ke para dewa, juga silsilah raja-raja Surakarta hingga ke para nabi. “Sedangkan di akhir cerita sudah memasuki fakta sejarah kerajaan, meskipun jalan ceritanya dibumbui oleh mitos-mitos,” lanjut Adi. Soal siapa penulis Babad Tanah Jawi, menurut Adi sulit menebaknya. Secara eksplisit, namanya tak disebut dalam naskah. Namun, secara implisit dilihat dari isi dan urutan di dalam ceritanya, penulisnya adalah Yasadipura I, pujangga masa pemerintahan Pakubuwana III dan Pakubuwana IV. “Karena bait-bait terakhir di Babad Tanah Jawi berkelanjutan di Babad Giyanti yang memang jelas karya Yasadipura I. Babad Tanah Jawi menurut saya zaman Pakubuwana III,” kata Adi.

  • Pramugari yang Menolak Cinta Sukarno

    IRMA Ottenhoff Mamahit sangat gembira kala dia diterima sebagai pramugari pesawat kepresidenan pertama Indonesia, Dolok Martimbang, pada awal 1960. Untuk menjadi pramugari di pesawat VVIP Skadron 17 AURI itu tak mudah. Irma harus melewati serangkaian seleksi. Bila diterima, para calon awak pesawat akan bertemu dengan Presiden Sukarno. Suatu hari, setelah diterima sebagai pramugari, Irma menghadap Bung Karno. Dia memakai kain kebaya. Bung Karno melontarkan pujian. “Irma, kau cantik sekali. Selalu kau pakai kain kebaya, dan pakaian nasional itu membuat pribadimu tampak lebih cantik,” kata Bung Karno, ditirukan Irma, dalam wawancaranya kepada Kartini edisi 6-19 Agustus 1979. Bung Karno bahkan menyempatkan membungkuk dan membenahi wiru kain yang dipakai Irma. Lagi-lagi, Bung Karno melontarkan pujiannya. “Saya senang keindahan. Wanita harus selalu rapi, karena inilah yang mencuatkan kepribadian,” ujar Bung Karno. Kerap bertemu saat di udara, rupanya membuat Bung Karno jatuh cinta pada Irma. Bung Karno bahkan mengganti nama tengah Irma –Ottenhoff– yang dianggapnya kebarat-baratan menjadi Hidayana, akronim dari “taufik hidayah Tuhan”. Irma ternyata tak menaruh perasaan lebih kepada Bung Karno. Dia mengatakan, lelaki berusia sebaya ayahnya tak menarik hatinya. Irma juga menganggap, bila mencintai Bung Karno, dia akan menyakiti hati perempuan lain yang menjadi istri-istrinya. Bung Karno menghargai sikap Irma. Bung Karno Murka Namun tak lama Irma terpikat oleh seorang duda yang usianya terpaut jauh darinya. Masih menurut Kartini , lelaki tersebut berlawanan politik dengan Bung Karno. Sayangnya, Irma tak menyebut nama suaminya itu dan lawan politik seperti apa yang dimaksud. Mendengar hal ini, Sukarno murka. Irma diperintahkan menghadap ke Istana. “Irma, kau tolak cintaku, karena umurku. Kenapa kau kawin dengan dia yang seumur aku pula?” ujar Bung Karno. Tak lama setelah menikah, suami Irma ditahan selama enam bulan. Lagi-lagi, Irma tak menjelaskan pula perihal kasus apa suaminya ditahan. Irma menghadap Bung Karno. Meminta pertolongan. Bung Karno memaklumi hal ini. Dia mengizinkan Irma untuk menjumpai suaminya di penjara. Tapi Bung Karno memberikan syarat agar Irma mengawasi dan menjamin suaminya. Rumah tangga Irma tak bertahan lama. Mereka bercerai. Irma kemudian menikah kembali dengan seorang pegawai Hotel Indonesia. Pramugari Lain Selain Irma, Bung Karno pernah jatuh cinta pada pramugari Garuda Indonesia yang kemudian diminta bertugas di pesawat kepresidenan Dolok Martimbang, yakni Kartini Manoppo. Kata Irma, Kartini merupakan kawannya. Mereka pun sering terbang bersama. Irma tahu, antara Bung Karno dan Kartini ada sesuatu. Gelagat itu terlihat. Jika istri Bung Karno naik pesawat, Kartini tak pernah ikut terbang. Namun Irma tak tahu apakah Kartini menikah dengan Bung Karno atau tidak. Menurut Reni Nuryanti dalam bukunya Perempuan dalam Hidup Sukarno, Bung Karno melihat wajah Kartini melalui lukisan Basuki Abdullah yang dipamerkan pada 1959. Kartini merupakan model lukisan Basuki. Kartini pertama kali berkenalan dengan Bung Karno ketika penerbangan ke Surabaya. Kartini kemudian dinikahi Bung Karno.*

  • Berguru Tenis Meja hingga ke Korea Utara

    BAK monster atau penyakit, Korea Utara (Korut) ditakuti, dibenci, dan dijauhi banyak negara hingga kini. Pemimpin negeri bersenjata nuklir itu, Kim Jong-un, bahkan kerap dijadikan bahan olok-olok di dunia maya. Namun, kesan miring Korut tak berlaku bagi mantan srikandi tenis meja Rossy Syechabubakar. Dia menyimpan banyak kesan positif terhadap negeri berpenduduk 25 juta itu. Mulai dari suasana ibukota Pyongyang hingga masa ketika dia mengikuti latihan pelatnas di sana. Rossy menjadi bagian dari tim tenis meja putri Indonesia SEA Games 1987 sampai 1995. Dalam persiapan untuk dua event itu, tim Indonesia berlatih ke Korea Utara. “Memang waktu itu (1980 sampai 1990-an) yang mendunia tenis mejanya adalah Cina. Tapi pengurus (Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia/PTMSI) waktu itu, entah bagaimana, memanggil pelatih dari Korea Utara. Dia sebelumnya juga pencetak atlet-atlet juara dari Korea Utara,” kata Rossy kepada Historia . “Ya enak-enak enggak juga sih. Di sana itu gudangnya para pakar taktik dalam tenis meja.” Rossy ingat betul sosok pelatih Korut-nya, Kang Nung-ha. Orangnya keras dalam hal disiplin. “Galak juga orangnya. Wah , sudah bukan kena teguran aja saya sih . Tapi mungkin dia memang melihat potensi dari saya juga, makanya dilatihnya keras,” kenang Rossy. Rossy merasa potensi lebih pada dirinya menjadi alasan kenapa sang pelatih mengistimewakannya. “Misalnya kalau sparring melawan teman, kalau yang lain kan kalah (dihukum) lari, tapi kalau menang enggak. Tapi saya kalau sama dia (Kang Nung-ha), kalah-menang tetap disuruh lari,” ujar Rossy seraya tertawa kecil. Namun, di luar latihan, semua berjalan baik. Perihal bahasa, yang sama-sama terbatas dalam English , mereka atasi dengan saling pengertian. “Enggak pakai penerjemah. Dia bisa sedikit bahasa Inggris, begitu juga kita. Jadi pakai bahasa Inggris sendiri yang hanya bisa dipahami antara dia dan kita para pemain,” cetus Rossy lagi. Dari latihan itu pula Rossy jadi tahu kebiasaan masyarkaat Korut. “Gampangnya latihan dengan mereka. Kalau yang atlet putra, disogok dengan rokok produk luar. Kalau yang putri, diaksih permen. Ya soalnya kan selama ini mereka hanya bisa dapetin produk-produk lokal saja. Biar mereka semangat latihannya sama kita,” kata Rossy. Seingat Rossy, kendala yang dihadapi tim putri hanya soal sulitnya mencari hiburan pelepas penat di Pyongyang. “Pyongyang waktu itu keadaan kotanya bagus, bersih. Kalau Sabtu-Minggu enggak ada orang lokalnya yang boleh pakai kendaraan. Hanya orang pemerintah dan kedutaan saja. Untuk melepas jenuh pas akhir pekan, biasanya kita hanya bisa main ke KBRI saja, soalnya di Pyongyang enggak ada (hiburan) apa-apa,” kenang Rossy. Sementara, destinasi wisata alam di sana terbatas dan tidak boleh dikunjungi sembarang orang. Cerita yang didapat Rossy dari salahsatu koleganya di Korut mengatakan, para atlet Korut hanya bisa berwisata jika mendulang prestasi. Hal itu jauh berbeda dari para atlet Indonesia ketika sudah di tanah air. Hiburan untuk membunuh ada beragam. “Tenis meja itu makin didalami, makin rumit. Kalau sudah stuck tidak bisa melakukan apa yang dimau pelatih, sampai kita dimarah-marahin , ya muncul titik jenuh. Kalau sudah begitu, paling saya cari hiburan nonton bioskop. Senangnya film horor. Setelahnya paling kuliner-an. Paling senang sama spaghetti dan makanan-makanan Jepang,” tandasnya.

  • Penerus Kartini

    DENGAN kebaya merah jambu, kain jarik motif kawung warna putih, dan rambut disanggul, Sujatin memerankan Kartini dalam sebuah  tableau  (penampilan tanpa dialog) mewakili seksi Perempuan Jong Java. Penampilan itu dia lakukan tahun 1923 pada pawai Perayaan 25 tahun Ratu Wilhelmina di Yogyakarta. Untuk perayaan itu, dia mendapat pinjaman sebuah truk dari bupati Kulon Progo yang juga pamannya. Bak truk kemudian disulap menjadi kamar Kartini lengkap dengan meja-kursi kuno. Beberapa lukisan dipajang di sebuah dinding yang dicat putih. Tak disangka,  tableau  Kartini itu mendapat sambutan meriah. Sujatin mendapat hadiah utama berupa lampu meja bertudung ( schemerlamp ) dari Sultan Hamengkubuwono VIII. Sujatin muda dan tua. Foto: Sumbangsihku bagi Pertiwi Jilid I . Demi Perempuan Sujatin merupakan pengagum Kartini. Dia bertekad menyebarluaskan pemikiran Kartini dan memperbaiki nasib kaum perempuan. Sujatin merasakan sendiri betapa perempuan dianggap tak seberharga lelaki di masyarakat. Ketika dia lahir, ayahnya, yang sejak lama mendamba bayi lelaki, sempat kecewa karena kembali mendapat bayi perempuan. Ayahnya bahkan sempat ogah menggendong bayi Sujatin dan hanya mau menengoknya saja. Sujatin mendapatkan kisah itu dari kakaknya, begitu dewasa. Sejak itulah dia berusaha membuktikan bahwa perempuan mampu berbuat sesuatu, bisa berjasa, dan punya prestasi. “Aku ingin membela kaum perempuan yang tertindas, yang kelahirannya mengecewakan orangtua karena jenis kelaminnya,” kata Sujatin dalam biografi yang ditulis Hanna Rambe, . Beruntung, Sujatin mendapat didikan dari orangtua agar menjadi perempuan kuat dan mandiri. Ayahnya ingin dia bekerja dan punya tujuan hidup. Sang ayah tak hanya mendidiknya dengan nilai-nilai humanis dan antifeodal, tapi juga mendorongnya rajin membaca. Sujatin amat menggemari buku kumpulan surat Kartini , yang terjemahannya, , dia dapatkan saat remaja. “Tak ada buku bacaan lain, di antara sekian buku bacaan yang pernah kunikmati, yang lebih berpengaruh kepadaku selain yang satu ini. Bukan saja menamatkannya, bahkan membacanya berulangkali,” kata Sujatin. Sujatin, yang menyepakati cita-cita Kartini dan ingin melanjutkan serta menyebarluaskan pemikirannya, kemudian aktif di seksi Perempuan Jong Java ketika bersekolah di MULO (setingkat SMP). Seperti Kartini, sejak remaja dia aktif menuliskan buah pikiran tentang perempuan. Keaktifannya menulis membuatnya dipercaya menjadi penulis dan redaktur majalah Jong Java. Dia menggunakan nama pena Gerbera, diambil dari nama bunga gerbera yang sederhana namun tahan segala cuaca, dalam tulisan-tulisannya. Kesepemahanan dengan pemikiran Kartini tentang pentingnya pendidikan membuat Sujatin kemudian menjadi guru begitu tamat MULO. Dia mengajar di HIS (sekolah dasar) swasta pada 1926 karena merasa lebih dekat dengan bangsanya; dia ogah mengajar di sekolah pemerintah karena penjajah. Sujatin juga memperjuangkan hak-hak perempuan dengan mendirikan organisasi Poetri Indonesia pada 1928. Di tahun itu juga dia menginisiasi Kongres Perempuan Indoensia. “Aku sadar dan yakin hanya pendidikan yang dapat mengubah nasib perempuan. Pendidikan membuka mata kita, memberi pikiran jernih, dan kemampuan keluar dari kesulitan yang dihadapi. Makanya, aku giat belajar, membaca, dan mengurus perkumpulan kami,” kata Sujatin dalam memoarnya di . Sujatin terus melawan feodalisme dan perlakuan diskriminatif keraton terhadap perempuan, yang hanya didamba ketika masih diinginkan raja tapi bisa dijadikan hadiah begitu raja bosan. Dia juga tak pernah sepakat terhadap pembedaan perlakuan keraton kepada istri  Padmi  dan selir, antara perempuan ningrat dengan rakyat. “Saya bukan hanya membenci perlakuan semena-mena pada perempuan tapi juga pembedaan perlakuan terhadap sesama manusia,” kata Sujatin . Semangat perlawanan itu mendorong Sujatin menjadikan Perayaan 25 tahun Ratu Wilhelmina sebagai momen perlawanan. Dia mengusulkan untuk menampilkan Kartini, ikon anti-penindasan, dalam perayaan itu. Ketika ternyata memenangkan perayaan itu, Sujatin berpikir keras apakah mesti melakukan sembah atau tidak sebelum menerima hadiah dari sultan. Sujatin akhirnya menghadap sultan dan menerima hadiah di Gedung Societet Yogyakarta (kini Taman Budaya Yogyakarta), disaksikan residen, bupati, dan pembesar Belanda lain. Dia tak menyembah sultan. “Kalau menyembah sama saja aku mengakui feodalisme,” kata Sujatin.

  • Gundala Main Film

    SUTRADARA Joko Anwar dalam cuitannya di akun Twitter pribadinya mengumumkan niatnya menggarap film superhero Gundala. Penggarapan film Gundala adalah proyek yang tertunda. Rencana itu pernah menjadi bahan perbincangan pada 2014. Hanung Bramantyo, sutradara ternama, saat itu mengumumkan dirinya membesut film tersebut. Tapi film tersebut gagal diproduksi, karena tak ada kecocokan sang sutradara dengan Bumilangit Studios, yang kini memegang hak karakter komik Gundala. Gundala adalah karakter superhero yang diciptakan komikus Harya Suraminata atau lebih dikenal dengan nama Hasmi pada 1969. Jauh sebelum Hanung maupun Joko Anwar mengumumkan akan menyutradarai film ini, sebenarnya Gundala sudah difilmkan pada 1981. “Gundala di eranya satu-satunya superhero yang pernah difilmkan, kala itu bintangnya Teddy Purba,” kata Henry Ismono, kolektor dan pengamat komik yang menyusun buku biografi Hasmi, kepada Historia . Henry barangkali lupa ada karakter superhero lainnya yang pernah difilmkan, yakni Rama yang punya kekuatan ala Superman dan Darna yang mirip Wonder Women. Film Rama (1974) disutradarai Frans Totok Ars. Film ini dibintangi actor senior August Melasz. Sementara Darna Ajaib (1980) karya sutradara Lilik Sudjio. Lydia Kandou didapuk jadi pemeran Darna. Film Darna dibuat berdasarkan serial komik pahlawan super Darna karya komikus Armin Tanjung, yang terinspirasi tokoh serupa bernama sama ciptaan Mars Ravelo, komikus Filipina. Bahkan, jauh sebelum itu, komik superhero karya RA Kosasih, Sri Asih, pernah difilmkan pada 1954. Menurut JB Kristanto dalam Katalog Film Indonesia 1926-2007, Sri Asih, yang karakternya mirip Wonder Women, tapi memakai pakaian khas Jawa ini diperankan Mimi Mariani. Filmnya sendiri disutradarai Turino Djunaidy. Film dengan  judul Gundala Putra Petir tersebut disutradarai Lilik Sudjio. Dalam film produksi Pusat Produksi Film Negara (PPFN) tersebut, Gundala bertarung dengan musuhnya, Gazul (WD Mochtar), seorang sindikat narkoba internasional. Kisahnya berawal saat Sancaka, profesor Saelan (Ami Prijono), dan koleganya Ir. Agus (August Melasz) hampir berhasil menciptakan serum antimorfin. Serum ini bisa memberikan harapan untuk menyelamatkan para pecandu narkoba. Namun hal ini diketahui Gazul yang khawatir penemuan itu menghancurkan bisnis narkobanya. Anak buahnya kemudian menculik Sancaka dan profesor Saelan. Sementara Agus berkhianat, dan menjadi kaki tangan Gazul, karena merasa iri pada prestasi Sancoko. Dia bahkan memaksa Sancaka dan profesor Saelan menciptakan heroin sintetis yang bisa memperbesar bisnis narkobanya. Sancaka tak memenuhi permintaan Gazul. Lantas, pacar Sancaka, Minarti (Anna Tairas), diculik. Sancaka berubah jadi Gundala dan bertarung melawan Gazul serta anak buahnya. Henry mengatakan, film Gundala pada 1981 itu berbeda dari versi komiknya. “Roh Yogya-nya tidak terlihat. Namun, untuk ukuran masa itu ya terbilang berhasil,” katanya. Memang tak ada kesan Yogyakarta dalam film Gundala versi 1981. Latar belakangnya sangat Jakarta. Belum lagi menilik adegan-adegannya yang terlihat janggal. Salah satu adegan, Gundala harus bersembunyi di tiang sebuah parkiran, untuk membuat salah seorang penculik anak jatuh dengan kakinya yang dilintangkan. Adegan dia bertarung dengan Gazul juga tampak lucu. Alih-alih membuat efek sangat cepat, malah terlihat ada dua orang Gundala yang mengelilingi Gazul. Henry belum bisa memprediksi film Gundala besutan Joko Anwar. Meski demikian, menurut Henry, bicara superhero, penonton akan membandingkannya dengan superhero DC Comics atau Marvel. “Kalau Joko Anwar mengacu ke sana, rasanya bakal susah di sisi teknologi,” kata Henry. Lanjut Henry, film tersebut bakal menarik bila Joko Anwar bisa menggarap superhero dengan kelokalannya, dan tak harus berpatokan pada produksi ala DC Comics dan Marvel. “Pendekatan baru ini yang menarik ditunggu.”

  • Rasis Tak Kunjung Habis

    KASUS rasisme menyeruak lagi. Tiga bulan jelang Piala Dunia 2018 di Rusia, fans Rusia kembali membuat aksi rasis tatkala tim tuan rumah menjamu Prancis di Krestovsky Stadium, St. Petersburg, 27 Maret 2018. Riuh sorakan suara monyet mereka keluarkan untuk menghina para pemain Prancis, terutama saat gelandang N’Golo Kante akan melakukan lemparan ke dalam. Perkara ini sekarang masih dalam tahap investigasi FIFA. Sebelumnya, aksi rasis menimpa bintang tanah air yang bermain di klub Polandia Lechia Gdansk, Egy Maulana Vikri. Saat Lechia bertandang ke Stadion Miejski milik Lech Poznan, 16 Maret 2018, fanz Poznan membentangkan spanduk berbunyi “ Lechia Gdansk Sial Pelac*r ” plus gambar wajah orang sipit berkulit coklat menggunakan headband hijau bertuliskan “Lechia”. Gambar wajah orang Asia itu jelas merujuk pada Egy, satu-satunya pemain Asia di pertandingan itu. Para pecinta bola tanah air langsung menyerang akun Twitter dan Instagram resmi Poznan dengan berbagai kecaman. Meski tak membenarkan rasisme, pengamat sepakbola Timo Scheunemann mengatakan sambutan rasis seperti yang diterima Egy merupakan satu risiko yang mesti diantisipasi khususnya bagi pemain Asia dan Afrika yang merumput di Eropa. “Saya pikir dengan Egy berani masuk ke Eropa Timur (Polandia), dia mestinya sudah siap mental,” kata Timo kepada Historia . Eropa merupakan tempat subur bagi rasisme dan anarkisme oleh fans klub-klub sepakbola. “Karena di Eropa masyarakatnya terdiri dari banyak bangsa yang berbeda-beda. Berakar dari konflik yang pernah terjadi, baik di Perang Dunia I, II, maupun perang-perang sebelumnya,” sambung pengamat yang mantan pelatih beberapa klub di Liga Indonesia itu. Lebih jauh Timo menambahkan, suburnya rasisme juga tak lepas dari budaya, kebiasaan, dan tingkat pendidikan masyarakat di masing-masing negara di Eropa. “Apalagi di Rusia sendiri ya, yang notabene Eropa Timur, tingkat pendidikan kebanyakan masyarakatnya masih di bawah negara-negara Eropa Barat.” Sasaran Empuk Meski bukan satu-satunya korban rasisme di lapangan hijau, pemain berkulit hitam merupakan sasaran paling empuk. “Rasisme sudah eksis sejak sepakbola mulai populer secara global di abad ke-19 dan awal abad ke-20. Sebuah ekspresi perilaku di negara-negara di mana diskriminasi etnis nampak kasat mata,” tulis Albrecht Sonntag dan David Ranc dalam Report on the Fight Against Discrimination and Racism in Football terbitan UNESCO 2015. Kasus-kasus awal terjadi di Inggris Raya, tanah kelahiran sepakbola modern. Antara lain menimpa Arthur Wharton, pesepakbola kulit hitam profesional pertama dunia, yang merupakan kiper klub Preston North End (1886-1888).“Dia digambarkan di publik sebagai pemain yang berbeda –seorang negro; si kulit gelap; berwajah kacang kenari. Seiring kesuksesannya di lapangan, konflik yang intens turut mengikuti dan menguasai image -nya sendiri, identitasnya (sebagai imigran),” ungkap Phil Vasili dalam biografi , The First Black Footballer: Arthur Wharton 1865-1930, An Absence of Memory. Selain karena warna kulit, Wharton acap jadi sasaran tembak publik Inggris, baik langsung maupun via media, karena sering berakrobatik dengan menangkap bola menggunakan kedua kakinya sementara dia bergelantungan. “Hakim-hakim yang mulia menyatakan jika Wharton tetap menjaga gawang (Preston) North End di Piala Inggris, sanksi akan diperpanjang dan saya sependapat. Apakah tengkorak si hitam ini terlalu tebal untuk menyadari bahwa posisinya di gawang bukan tempat untuk main-main, beberapa orang bilang itu keren – omong kosong,” tulis kolumnis di The Athletic Journal tahun 1887. Bukan hanya sorakan atau teror verbal yang dialami Wharton nyaris di setiap pertandingan. Dia juga pernah mengalami penganiayaan fisik. “Tercatat dalam satu pertandingan, dia dipukuli (fans tim lawan) dengan payung ketika dia meninggalkan lapangan,” sambung Vasili. Selain Wharton, korban lain rasisme di Inggris adalah penyerang Everton Dixie Dean. Dalam sebuah laga di tahun 1930-an, dia sampai memukul pelaku teror rasis di tribun karena tak bisa bisa menahan emosinya. Para petugas keamanan yang bersimpati, membiarkan karena merasa si pelaku pantas dibalas pukulan Dean. Kasus Wharton dan Dean hanya segelintir dari segunung kasus rasisme. “Penyakit” Eropa itu sudah menyebar ke Amerika dan Asia. FIFA baru serius menanganinya pada 1990-an dengan regulasi yang dikeluarkan awal 2000-an. Selain regulasi, FIFA menggandeng pihak lain seperti PBB menetapkan Hari Anti-Diskriminasi sejak 7 Juli 2002 dan mengkampanyekan “ Say No to Racism ”. UEFA setahun lebih dulu menanganinya. Bermitra dengan FARE (Football Against Racism in Europe), UEFA menghelat beraneka kampanye seperti “No to Racism” untuk menciptakan zero tolerance terhadap rasisme. Otoritas Sepakbola Inggris (FA) mengikuti dengan kampanye yang dibuat bareng LSM Kick It Out, “ Let’s Kick Racism Out of Football ”. Namun, rasisme masih terus bermunculan, termasuk di Indonesia. “Sering terjadi terhadap tim-tim dari Papua seperti Persipura, Perseman Manokwari. Terlebih kalau mereka main di (Pulau) Jawa,” kata Timo. Nyanyian rasis oleh Bonek (fans Persebaya) pada 2014 atau kasus yang menimpa Mbida Messi oleh The Jakmania (fans Persija) setahun sebelumnya hanyalah dua dari sederet kasus rasis yang ada. Kerjasama pemain, pelatih, dan manajemen klub amat diperlukan untuk mencegah terulangnya kasus serupa. Tapi yang lebih penting, tindakan PSSI. Dengan wewenang besarnya, PSSI mesti membasmi dan mencegah rasisme lewat berbagai regulasi. “Seperti di Jerman bagian Timur. Di divisi-divisi bawah banyak terjadi dan bahaya sekali. Tapi oleh federasinya kan disikat dengan hukuman-hukuman berat. Entah diambil poinnya atau hukuman lain. Bedanya dengan di sini (Indonesia) adalah keseriusan penanganannya. Di sana (Jerman), kalau sudah dijatuhi hukuman, sudah enggak bisa diganggu gugat,” tandas Timo.

bottom of page