Hasil pencarian
9593 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Utamakan Nilai Ekonomi, Ancaman Bagi Situs Bersejarah
BARU-baru ini di tembok Candi Borobudur yang diteliti oleh tim arkeologis ditemukan kandungan urine yang cukup tinggi. Diduga pelakunya adalah pengunjung. Luasnya Candi Borobudur yang berbentuk labirin memungkinkan pengunjung kencing secara sembunyi-sembunyi. Hal ini menunjukan adanya dekadensi apresiasi dari masyarakat terhadap cagar budaya. Fakta mengejutkan tersebut dikuak oleh arkeolog Junus Satrio Atmodjo dalam Diskusi Integratif dan Hasil Penelitian Warisan Budaya yang diselenggarakan Pusat Penelitian Kebijakan dan Kebudayaan (Puslitjakdikbud) Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan di Hotel Amarosa, Jakarta Selatan, 21 Desember 2015. Hasil penelitian yang dilakukan tim Puslitjakdikbud memaparkan adanya masalah mendasar dalam pengembangan cagar budaya di Indonesia. Paradigma terhadap cagar budaya dianggap masih sebatas peninggalan masa lampau. Pemanfaatannya dimaknai sekadar pada aspek ekonomi (pariwisata). Akibatnya ikatan terhadap cagar budaya meluntur. “Kecendrungan ada pada pemerintah (pusat maupun daerah) untuk mengembangkan cagar budaya ke aspek ekonomi. Ketika pemerintah tidak mampu merealisasikannya, mucul respons negatif dari masyarakat,” kata Sugih Biantoro, ketua peneliti Puslitjakdikbud. Di kawasan Candi Borobudur misalnya, masyarakat lokal mulai kehilangan ikatan dengan Candi Borobudur. Hal ini disebabkan keberadaan masyarakat lokal mulai tergusur oleh masyarakat pendatang, yang sama-sama bertujuan mendulang keuntungan dari kegiatan pariwisata. Nilai-nilai kebudayaan yang terkandung dalam Candi Borobuduir justru terbengkalai. Selain di Candi Borobudur, hal yang sama juga terjadi di situs peninggalan Kerajaan Majapahit di Trowulan, Jawa Timur. Masyarakat setempat kurang berpartisipasi terhadap pengembangan situs Trowulan dengan alasan sudah memeluk agama Islam. “Peninggalan masa lalu tak selamanya primitif. Setiap masa pasti ada puncak peradabannya. Kearifan peradaban itu harus dilestarikan, karena kearifan itu bisa menyelamatkan kehidupan di masa mendatang,” Perubahan paradigma mutlak dilakukan. Baik cagar budaya ataupun museum harus diupayakan menjadi ruang publik yang mengedukasi,” ujar Judi Wahjuddin, Direktur Cagar Budaya dan Permuseuman Kemendikbud. Menurut Junus, di antara pemerintah dan masyarakat harus bersinergi menjadikan cagar budaya sebagai kebanggaan dan kepentingan bersama. Dia merujuk kepada pengembangan situs Gunung Padang di Cianjur. Di sana masyarakat dan pemerintah daerah tengah antusias menjadikan Gunung Padang sebagai warisan budaya Sunda yang kaya nilai baik ekonomi, iptek, budaya, sejarah, hingga spiritual. Padahal, lanjut Junus, situs punden berundak serupa Gunung Padang banyak terdapat di tataran pegunungan Jawa dan Nusa Tenggara. Sementara itu, menurut Nur Barlian Venus Ali, Kepala Bidang Penelitian Kebudayaan Puslitjakdikbud, pendidikan dini di bangku sekolah dapat menjadi solusi jangka panjang menumbuhkan ikatan terhadap warisan budaya. “Kebudayaan bersenyawa dengan pendidikan. Saat ini muatan pusat dalam kurikulum pendidikan lebih dominan dibandingkan muatan lokal. Permainan tradisional, lagu-lagu daerah, alat-alat tradisional, cerita daerah bisa seyogianya dapat disisipkan kedalam kurukulum pendidikan kita.”
- Benarkah Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen Tewas di Tangan Intel Mataram?
MAKAM bermarmer merah muda terpuruk di tengah makam-makam kecil. Beringin raksasa melindunginya dari matahari dan hujan. Helaian daun kering dan batu-batu hitam memenuhi bagian tengah tempat peristirahatan terakhir itu. Warga Desa Keramat, Tapos (perbatasan Bogor-Depok) mengenalnya sebagai makam Nyimas Utari Sanjaya Ningrum. “Sebenarnya nama beliau adalah Nyimas Utari Sandijayaningsih,” ujar Ustad Sukandi (42 tahun), tokoh masyarakat Desa Keramat. Sukandi mendengar kisah dari orang-orang tua di Desa Keramat bahwa Nyimas Utari merupakan agen intelijen Kerajaan Mataram. Sultan Agung Hanyokrokusumo menugaskan dia untuk membunuh Gubernur Jenderal VOC pertama, Jan Pieterszoon Coen dalam penyerangan kedua Mataram ke Batavia. “Tugas itu berhasil dia jalani. Leher Coen berhasil dipenggalnya dengan golok Aceh,” ungkapnya. Keterangan Sukandi dibenarkan Ki Herman Janutama. Sembari mengutip Babad Jawa , sejarawan asal Yogyakarta itu menyebut bahwa pemenggalan kepala Coen merupakan misi rahasia yang sudah lama direncanakan dengan melibatkan grup intelijen Mataram, Dom Sumuruping Mbanyu (Jarum yang Dimasukan Air). “Orang sekarang mungkin akan kaget kalau dikatakan militer Mataram memilik kesatuan telik sandi sendiri, tapi bagi kami yang akrab dengan manuskrip-manuskrip tua dan cerita-cerita lisan yang diwariskan dari generasi ke generasi, hal ini tidak aneh,” ujar Ki Herman. Infiltrasi telik sandi Mataram ke Batavia sudah dirancang sejak 1627. Dengan mengerahkan orang-orang Tumenggung Kertiwongso dari Tegal, komandan kelompok intel Mataram Raden Bagus Wonoboyo membangun basis di wilayah bantaran Kali Sunter di daerah Tapos. Untuk melengkapi kerja-kerja rahasia tersebut, Wonoboyo mengirimkan putrinya yang memiliki kemampuan telik sandi mumpuni, Nyimas Utari, untuk bergabung dengan agen telik sandi asal Samudera Pasai, Mahmuddin. “Dia memiliki nama sandi: Wong Agung Aceh. Dia kemudian menikahi Nyimas Utari,” kata Ki Herman. Dari Aceh, kedua agen intelijen itu memasuki benteng VOC di Batavia dengan kamuflase sebagai pebisnis. Mereka memiliki kapal dagang yang disewa VOC untuk mengangkut meriam dari Madagaskar. Mereka lantas dipercaya Coen sebagai mitra bisnis VOC. Begitu dekatnya, hingga mereka memiliki akses ke kastil dan bergaul dengan Eva Ment, isteri Coen, dan anak-anaknya. Pada 1629, balatentara Mataram menyerbu Batavia. Di tengah kekacauan dan kepanikan, Nyimas Utari membunuh Eva dan anak-anaknya dengan racun lewat minuman. Mahmuddin berhasil menyelinap ke ruangan Coen dan membunuhnya. “Guna bukti kesuksesan misi mereka ke Sultan Agung, Nyimas Utari dengan menggunakan golok kepunyaan Mahmuddin memenggal kepala Coen,” ujar Ki Herman. Sambil membawa kepala Coen, Mahmuddin dan Nyimas Utari diloloskan pasukan penyelundup Mataram dari dalam benteng VOC. Namun, saat pelarian tersebut mereka dihujani tembakan meriam yang menewaskan Nyimas Utari. Mahmuddin membopong jasad istrinya hingga wilayah Desa Keramat, tempat dia dimakamkan. Kepala Coen diambil oleh Wonoboyo. Secara estafet, kepala itu dibawa lewat jalur Pantai Utara oleh tentara Mataram di bawah komandan Tumenggung Surotani. Sultan Agung memerintahkan untuk menanam kepala itu di baris ke-716 tangga menuju makam raja-raja Jawa di Imogiri. “Hingga kini, para peziarah yang paham cerita ini akan melangsungkan ritual pengutukan terhadap jiwa Coen dengan cara menginjak-injak tangga ke-716 seraya mengeluarkan sumpah serapah dari mulut mereka,” ujar Ki Herman. Kendati kematian Coen terkesan mendadak, namun secara resmi kalangan sejarawan Belanda meyakini kematiannya karena penyakit kolera. Menurut H.J. De Graaf dalam Puncak Kekuasaan Mataram , pada 17 September 1629, Coen masih terlihat segar bugar saat memeriksa kesiapsiagaan tentaranya untuk mempertahankan Batavia. “Pada 20 September malam dia mendadak jatuh sakit dan sekitar jam satu malam dia meninggal dunia,” tulis De Graaf . Dalam Kisah Betawi Tempo Doeloe: Robin Hood Betawi , sejarawan Alwi Shahab mengutip versi Belanda yang menyebut jasad Coen kemudian dimakamkan di Balai Kota (kini Museum Sejarah DKI di Taman Fatahillah) dan kemudian dipindahkan ke De Oude Hollandsche Kerk (Gereja Tua Belanda yang kini menjadi Museum Wayang). Namun, sejarawan Sugiman MD dalam Jakarta dari Tepian Air ke Kota Proklamasi , meragukan bahwa makam itu berisi jasad Coen. Terlebih menurut arkeolog Chandrian Attahiyyat, para arkeolog Belanda memastikan bahwa di makam itu tidak ditemukan jasad berupa tulang belulang saat mereka melakukan penggalian pada 1939. Supaya komprehensif, seharusnya penggalian pun dilakukan di Imogiri. “Memang sejauh ini belum pernah ada penelitian arkelogi soal kebenaran versi Babad Jawa tentang terbunuhnya Coen,” ujarnya.*
- Siapa Sebenarnya Ayah Ken Angrok?
SUATU hari, Ken Endok mengantarkan makanan untuk suaminya, Gajah Para, di ladang. Di tengah jalan, dia dihadang dewa Brahma dan disetubuhi. Suaminya tahu dan menceraikannya namun lima hari kemudian dia meninggal dunia. Karena malu, Ken Endok membuang bayinya, Ken Angrok, yang mengeluarkan sinar di malam hari. Ken Angrok hidup mengembara sebagai pencuri, perampok, pembunuh, dan pemerkosa. Dia dikejar-kejar rakyat dan utusan Tumapel atas perintah raja Daha (Kediri). Berkat bantuan dewa-dewa, dia selalu lolos. Bahkan dia diaku anak dewa Siwa dan penjelmaan dewa Wisnu. Ken Angrok menghambakan pada penguasa (akuwu) Tumapel, Tunggul Ametung, melalui perantaraan pendeta Lohgawe. Dia membunuh Tunggul Ametung dan menikahi istri mudanya, Ken Dedes, yang sedang mengandung tiga bulan. Dia pun menjadi akuwu di Tumapel. Semua itu dibiarkan saja oleh keluarga Tunggul Ametung dan rakyat Tumapel. Setelah 40 tahun memimpin Tumapel, dia dinobatkan sebagai raja di Tumapel oleh para brahmana dari Daha. Sebagai raja, Ken Angrok bergeral Sri Rajasa san Amurwabhumi. Raja Daha, Dandan Gendis, pernah mengatakan hanya kalau Bhatara Guru sendiri turun ke bumi, kerajaannya dapat dikalahkan. Maka, atas izin para pendeta, Ken Angrok memakai nama Bhatara Guru untuk menyerang dan mengalahkan Daha. Dia menjadi maharaja di Tumapel (kemudian terkenal dengan nama Singhasari) pada tahun 1222. Kisah Ken Angrok tersebut termuat dalam kitab Pararaton atau Katuturanira Ken Anrok (gubahan tahun 1478 dan 1486 tanpa disebutkan penggubahnya) . Kisah Ken Angrok juga termuat dalam kitab Nagarakrtagama karya Mpu Prapanca yang ditulis tahun 1365 dan Kidung Harsawijaya . Nagarakrtagama menyebut Ken Angrok sebagai keturunan dewa yang lahir tanpa melalui kandungan atau tidak beribu. Sedangkan Kidung Harsawijaya menyebut Ky Anrok keturunan orang Pankur, anak Ni Ndok, yang menjadi raja dengan gelar Sri Rajasa. Sejarawan Slamet Muljana dalam Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit , menafsirkan Ken Angrok sebagai anak dari hasil perbuatan tidak senonoh antara Ken Endok dan laki-laki lain, dewa Brahma. Ahli efigrafi Boechari lebih tegas lagi, menyebut perbuatan tidak senonoh itu sebagai pemerkosaan. Tetapi, siapa pelakunya, yang dilambangkan sebagai dewa Brahma? Boechari menafsirkan penulis kitab Pararaton berusaha menutupi kenyataan bahwa pemerkosa Ken Endok ialah orang yang berkuasa atas wilayah dan rakyat di situ, yaitu Tunggul Ametung. “Sebagai penguasa atau san amawa bhumi , dia luput jangkauan hukum, bahkan dia mempunyai kekuasaan untuk menyingkirkan laki-laki yang menjadi suami sah dari wanita yang berkenan di hatinya,” tulis Boechari dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasastri. Jika merujuk kitab hukum pada masa itu, pemerkosaan termasuk tindak pidana paradara ; si pemerkosa bisa dijatuhi hukuman mati. Bahkan ada pasal yang menyebutkan suami perempuan yang diperkosa berhak membunuh si pelanggar kesusilaan itu. Boechori menguraikan beberapa alasan mengapa Ken Angrok adalah anak Tunggul Ametung dan Ken Endok. Dalam masyarakat yang berpegang pada caturwarna (pembagian masyarakat menjadi empat kasta: brahmana, ksatria, waisya, dan sudra), rasanya tidak mungkin seorang petani, yang setinggi-tingginya masuk kasta waisya (petani, prajurit, dan pedagang) dan tidak mustahil masuk kasta sudra (rakyat jelata), semudah itu dapat merebut kekuasaan dan mendapat dukungan para brahmana. Ken Angrok juga dengan mudah diterima penghambaannya oleh Tunggul Ametung, yang pernah memerintahkan penangkapannya karena mengacaukan daerah Tumapel. Setelah membunuh Tunggul Ametung, Ken Angrok dengan mudah memperistri jandanya, Ken Dedes, dan menjadi penguasa Tumapel tanpa campur tangan keluarga Tunggul Ametung dan rakyat Tumapel. Motif Ken Angrok membunuh Tunggul Ametung mungkin pertama-tama karena cinta, yang kedua karena hak waris. Dia merencanakan membunuh ayahnya sebelum anak Tunggul Ametung dan Ken Dedes lahir. Setelah berhasil, dia memperistri Ken Dedes agar semua warisan, termasuk kekuasaan atas Tumapel, jatuh kepadanya. Untuk itu, Ken Angrok memaksa Mpu Gandring menyelesaikan keris pesanannya dalam waktu lima bulan. Dengan memperhatikan struktur sosial dan kepercayaan zaman dahulu, Boechari telah memberikan tafsiran lain atas cerita Ken Angrok. “Mungkin pengarang Katuturanira Ken Anrok mau menyembunyikan dua hal, yaitu bahwa Ken Anrok terlahir di luar perkawinan, dan bahwa ia telah membunuh ayahnya sendiri,” tulis Boechari. Ken Angrok, pendiri dinasti Rajasa yang menurunkan raja-raja Singhasari dan Majapahit, meninggal pada tahun 1227 dan dimakamkan di Candi Kagenengan, kemungkinan terletak di atas Gunung Katu, Malang.*
- Tradisi Minum Tuak Zaman Mataram Kuno
RAJA Mataram, Rake Watukura Dyah Balitung (898-911), mengutus Rakryan Watu Tihang Pu Sanggramadhurandhara meresmikan tanah, bangunan suci dan sawah di wilayah desa Taji menjadi daerah perdikan (bebas pajak). Para pejabat di tingkat pusat, tingkat desa, saksi dari desa tetangga, dan penduduk desa Taji, turut hadir mengikuti upacara penetapan sima itu. Setelah upacara selesai, tersuguh hidangan berupa nasi dengan lauk -pauk daging kerbau, ayam, ikan asin , dan telur. Tak lupa minuman tuak (twak) . Minuman ini acapkali menjadi suguhan pada prosesi penetapan sima. Informasi awal mengenai prosesi penetapan sima yang menyuguhkan tuak, tersua dalam prasasti Taji yang dikelurakan pada tahun 823 Caka atau 901 M. Tuak juga tercatat dalam prasasti-prasasti lain, yang dikeluarkan dari masa Dyah Balitung hingga Pu Sindok. Selain penetapan sima , tuak dan minuman keras lainnya disajikan setelah prosesi sumpah dan kutukan. Tuak juga ditenggak selagi menikmati pertunjukan topeng, lawak, dan wayang. Secara umum, menurut Titi Surti Nastiti, arkeolog pada Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, minuman yang mengandung alkohol atau minuman keras biasanya disebut madya yang dibuat dari pohon palem bernama sajeng . Dan semua yang disebut sajeng adalah tuak, waragang , badyag , tuak tal , budur . Perbedaan antara tuak dan tuak tal terdapat dalam teks Nagarakretagama . Dalam naskah gubahan Mpu Prapanca bertarikh 1365 M ini, terdapat dua jenis tuak: twak nyu (kelapa) dan twak siwalan . “Bahan yang digunakan untuk membuat tuak kelapa ialah air kelapa ( cocos nucifera linn ), sedangkan tuak siwalan atau terkadang disebut tuak tal berbahan air siwalan atau tal ( borassus flabelliber linn ),” ujar Titi kepada Historia . Berita Tiongkok masa Dinasti T’ang (618-907) memuat proses pembuatan tuak kelapa di Ka-ling (merujuk wilayah Jawa). “Mereka membuat arak (tuak, red ) dari bunga pohon kelapa yang menggantung. Jika mereka meminumnya, mereka cepat mabuk. Rasanya manis dan memabukan,” tulis W.P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa . Menurut Titi Surti Nastiti dalam “Minuman Pada Masa Jawa Kuno,” Proceedings Pertemuan Ilmiah Arkeologi V, Yogyakarta, 4-7 Juli 1989 , adapun wadah yang digunakan untuk meminum tuak beragam jenisnya. “Dalam teks Decawarnana ( Nagarakretagama , red ), tersua bahwa tuak kelapa, tuak siwalan, arak, hano, kilang brem, juga tampo disajikan wadah berbahan emas.”*
- Ritual Minum Tuak Raja Singhasari
TUAK tidak hanya minuman bagi beragam kalangan dalam upacara penetapan sima , prosesi sumpah dan kutukan, dan hiburan. Ia juga salah satu jenis minuman yang disuguhkan kepada raja. Bahkan, Raja Singhasari, Kertanegara, mati saat dia minum tuak. Kitab Pararaton , gubahan tahun 1478 dan 1486 tanpa disebutkan penggubahnya serta disalin pada 1613, menggambarkan akhir hidup Kertanegara yang diserang Jayakatwang, raja Gelang-Gelang, bawahan kerajaan Kediri. Dia kemenakan raja Kediri, Seminingrat, jadi saudara sepupu Kertanegara. Baru setelah mengalahkan Kertanegara, dia menduduki ibukota Daha dan memerintah Singhasari sebagai negara bawahan. Kitab Pararaton menyebut, Jayakatwang menyerang Kertanegara (pada 1291) saat “ Sira Bathara Siwa Budhha pijer anadhah sajeng atau Batara Siwabuda (Kertanegara masih meminum minuman keras).” Pada bagian selanjutnya disebutkan bahwa kematian Kertanegara di tempat minum tuak (Sambi atutur kamoktanira bhathara sang lumah ring panadhahan sajeng). Menurut Ery Soedewo, arkeolog Balai Arkeologi Medan, peristiwa kematian Kertanegara dalam kondisi mabuk bersama para brahmana sebagaimana tersua dalam Pararaton dan prasasti Gajah Mada, sebenarnya adalah gambaran praktik ritus Buddha Tantrayana yang dianut oleh Kertanegara. “Jadi bukan kegemaran Kertanegara terhadap minuman keras khususnya tuak ( sajeng ),” tulis Ery Soedewo, “Produk Local Genius Nusantara Bernama Tuak,” dalam Jejak Pangan dalam Arkeologi. Buddha Tantrayana yang dianut oleh Kertanegara tujuan akhirnya adalah sunyaparamananda , yaitu tingkatan hidup sebagai Adibuddha yang abadi, yang mengecap kebahagian tertinggi ( paramananda ), yang hakikatnya ialah kasunyatan ( sunya ). Untuk mencapai itu, menurut tulis Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugraho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia II, “salah satunya dengan meminum minuman keras ( madya ), orang yang melaksanakannya akan dapat mencapai tingkatan sunyaparamananda semasa dia hidup dengan ditahbiskan sebagai jina .”*
- Sukarno dan GBK
TAGAR #SaveGBK menjadi trending topic di twitter . Tagar itu muncul sebagai bentuk penolakan atas rencana konser boy band asal Inggris, One Direction, pada 25 Maret mendatang, di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK). Pasalnya, penyelenggaraan konser itu berdekatan dengan jadwal kualifikasi Piala Asia U-23. Para netizen menganggap GBK adalah stadion sepakbola, bukan untuk konser. Sukarno membangun GBK karena Federasi Asian Games menetapkan Jakarta sebagai tuan rumah Asian Games IV pada Agustus 1962. Syarat minimum yang harus dipenuhi tuan rumah adalah ketersediaan kompleks multiolahraga. Maka, Sukarno mengeluarkan Keppres No. 113/1959 tanggal 11 Mei 1959 tentang pembentukan Dewan Asian Games Indonesia (DAGI) yang dipimpin Menteri Olahraga Maladi. Sebagai insinyur teknik sipil, dan juga karena memiliki ambisi dan selera tinggi dalam proyek-proyek pembangunan, Sukarno tak tinggal diam. Dia turun tangan, mulai dari pemilihan tempat sampai perancangan. Awalnya Sukarno mengusulkan lokasi dekat Jalan MH Thamrin dan Menteng, yaitu kawasan Karet, Pejompongan, atau Dukuh Atas –usulan lain adalah kawasan Bendungan Hilir atau Rawamangun. Arsitek Frederik Silaban, yang mendampingi Sukarno meninjau lokasi melalui helikopter, tak menyarankan pemilihan Dukuh Atas karena akan memperparah kemacetan dan juga rawan banjir. Sukarno pun mengalihkan perhatian dan menetapkan kawasan Senayan seluas kurang lebih 300 hektar. Pilihan ini disetujui Frederik Silaban. Setelah diberikan pengertian dan ganti rugi, warga kampung Senayan sekira 60.000 jiwa dipindahkan ke perumahan baru di Tebet, Slipi, dan Ciledug. Pada 8 Februari 1960, Sukarno memancangkan tiang pertama proyek pembangunan GBK. Pemancangan tiang keseratus secara simbolis dilakukan Perdana Menteri Uni Soviet Nikita Khrushchev. “Sesuatu yang bisa dimaklumi oleh karena proyek pembangunan stadion tersebut memperoleh bantuan kredit lunak sebesar 12,5 juta dollar AS yang disediakan pemerintah Uni Soviet,” tulis Julius Pour dalam Dari Gelora Bung Karno ke Gelora Bung Karno . Sukarno meresmikan GBK, yang berdaya tampung 110.000 orang, pada 21 Juli 1962. Keunikan GBK yang dibanggakan Sukarno terletak pada atap temu gelang , yang dianggapnya sebagai yang pertama di dunia. Sukarno mendapat inspirasi atap temu gelang ketika melihat air mancur di halaman Museo Antropologia de Mexico di Mexico City. Sejak itu, Indonesia memiliki kompleks yang menyediakan beragam fasilitas: stadion utama untuk sepakbola, gedung dan lapangan berbagai cabang olahraga, gedung serbaguna untuk acara kesenian, dan berbagai fasilitas penunjang lainnya. Bahkan, agar kegiatan di kompleks GBK dapat disaksikan seluruh rakyat Indonesia, bersamaan dengan persemian GBK, diresmikan pula TVRI (Televisi Republik Indonesia). Untuk menghormati Sukarno, kompleks olahraga serbaguna tersebut dinamakan Gelora (Gelanggang Olahraga) Bung Karno. Namun, penguasa Orde Baru menggantinya menjadi Stadion Utama Senayan. Pada 2001 Presiden Abdurrahman Wahid mengembalikan nama Gelora Bung Karno. Kompleks GBK, bagi Sukarno, tidak hanya untuk keperluan olahraga, memupuk persaudaraan bangsa-bangsa di dunia melalui olahraga, tetapi juga memperkuat rasa kebangsaan. “Nah, aku sekarang bertanya kepada saudara-saudara sekalian, apakah engkau tidak bangga punya stadion seperti ini? Apakah engkau tidak bangga bahwa stadion yang hebat ini milik bangsa Indonesia?”*
- Revolusi Amerika dalam Pidato Sukarno di KAA
AMERIKA Serikat berusaha menggagalkan penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika. Caranya dengan merencanakan pembunuhan tokoh utamanya seperti Sukarno dan Zhou Enlai, hingga menandinginya dengan membentuk Pakta Pertahanan Asia Tenggara (SEATO, South East Asia Treaty Organization). Sekretaris Jenderal KAA Roeslan Abdulgani mengetahui hal itu. “Berita-berita sandi yang kita terima dari Amerika menunjukkan bahwa di sana ada kecurigaan dan kekhawatiran tentang jalannya Konperensi Bandung ini. Diperkirakan bahwa kolonialisme Barat akan menjadi bulan-bulanan dan sasaran pokok. Apalagi akan hadirnya RRC. Ini akan merugikan kedudukan Amerika di Bandung,” kata Roeslan dalam Bandung Connection . Roeslan berusaha menetralisir kekhawatiran AS itu demi hubungan baik Indonesia-Amerika. Sekonyong-konyong dia teringat peristiwa penting bagi sejarah Amerika pada 18 April 1775: Revolusi Amerika. Kebetulan Roeslan diminta Sukarno memberi masukan untuk pidato pembukaan KAA pada 18 April 1955. Untuk itu, dia segera menghubungi Hughes Cumming, duta besar AS di Indonesia, meminta beberapa referensi seputar Revolusi Amerika. Di tengah Revolusi Amerika, seorang pemuda, Paul Revere, memacu kencang kudanya di tengah malam, dari pelabuhan Boston di kota Concord distrik New England, untuk memberitahu kedatangan pasukan Inggris. Dia pun telah membangkitkan semangat perlawanan terhadap kolonialisme Inggris. Peristiwa itu diabadikan oleh penyair kenamaan Henry Wadsworth Longfellow dalam syairnya: Paul Revere’s Ride (1860). “Jadi jelas,” kata Roeslan, “tanggal 18 April 1775 adalah hari bersejarah bagi bangsa Amerika dalam perjuangannya melawan kolonialisme. Kenapa tidak kita kaitkan saja kedua kejadian itu, yang tanggal jatuhnya bersamaan, jiwanya juga bersama, hanya tahunnya berbeda?” Sukarno setuju pada saran Roeslan. Itulah sebabnya dalam pidato pembukaan KAA, Sukarno mengatakan: “Perjuangan melawan kolonialisme berlangsung lama, dan tahukah Tuan-tuan, bahwa hari ini adalah hari ulang tahun yang masyhur dalam perjuangan itu? Pada tanggal 18 April 1775, kini tepat 180 tahun yang lalu, Paul Revere pada tengah malam mengendarai kuda melalui distrik New England memberitahukan tentang kedatangan pasukan-pasukan Inggris dan tentang permulaan Perang Kemerdekaan Amerika, perang antikolonial yang untuk pertama kali dalam sejarah mencapai kemenangan. Mengenai perjalanan berkuda di tengah malam ini penyair Longfellow menulis: A cry of defiance and not of fear/A voice in the darkness, a knock at the door/And a word that shall echo for evermore… (Teriakan menentang, bukan karena takut/Suara di malam gelap, ketokan pintu/dan sepatah kata yang akan berkumandang sepanjang masa…)” Menurut Roeslan, suara Sukarno yang menggelegar di Gedung Merdeka memberikan pengaruh, terutama pengaruh psikologis kepada wartawan-wartawan Amerika yang hadir meliput acara. “Dubes Amerika Hughes Cummings datang berseri-seri kepada saya siang hari itu (Senin, 18 April 1955, red ) mengulurkan tangannya,” kata Roeslan. Setahun kemudian, ketika ke Amerika Roeslan menceritakan kepada Hughes Cummings bahwa “tanggal 18 April 1955 itu adalah hasil ‘jepitan’ Hari Sucinya Agama Buddha dan Agama Islam.” Sekretariat Bersama KAA semula menentukan pembukaan tanggal 15 April, namun bertepatan dengan hari suci agama Buddha. Sehingga delegasi dari negara-negara beragama Buddha seperti Burma, baru tiba di Indonesia tanggal 16 April malam atau selambatnya 17 April. Begitu pula dengan penutupan, panitia memutuskan penutupan dilakukan pada 23 April, karena 24 April mulai puasa Ramadan. Jadilah penyelenggaraan KAA 18-23 April 1955, terjepit oleh dua acara suci agama Buddha dan Islam.*
- Dianggap Gangguan, CIA Rancang Pembunuhan Sukarno
KOMISI Church mendapatkan sejumlah petunjuk bahwa CIA pernah berencana membunuh Presiden Sukarno. Rencana tersebut terungkap dari kesaksian Richard Bissel, mantan wakil direktur bidang perencanaan CIA, kepada Komisi Church.
- Ketika Adnan Buyung Nasution Bertemu Tan Malaka
SUATU hari di tahun 1946, seorang lelaki berpakaian pangsi warna hitam datang ke rumah Rahmad Nasution di Yogyakarta. Rahmad memperkenalkan lelaki itu kepada anaknya, Adnan Bahrum Nasution alias Buyung, 12 tahun, sebagai “Oom” yang tak bernama, yang baru belakangan diketahuinya kalau si Oom itu bernama Tan Malaka. Tan Malaka, kata Buyung, sering kali datang ke rumahnya, membahas persoalan politik yang tengah berkecamuk di republik saat itu. Buyung kecil ingat betul apa yang dibicarakan Tan kepada ayahnya: kritik kepada pemerintahan Sjahrir yang waktu itu dianggap terlalu lemah menghadapi Belanda. “Kalau ada maling masuk rumahmu, usir dia keluar, kalau perlu pukul! Jangan ajak dia berunding,” kata lelaki yang akrab dipanggil Bang Buyung itu menirukan Tan Malaka. Maling yang tak perlu diajak berunding maksud Tan Malaka adalah Belanda. Waktu itu Perdana Menteri Sjahrir, alih-alih memobilisasi perlawanan fisik terhadap Belanda, malah memilih jalan diplomasi di meja perundingan. Bagi Tan Malaka, langkah tersebut sama artinya mengajak maling berunding di dalam rumah sendiri. Kisah itu rupanya melekat dalam kenangan Adnan Buyung. Dalam setiap kesempatan wawancara atau pun diskusi bertema sejarah, pengacara berpenampilan khas berambut perak itu kerap menuturkan cerita yang sama. Bahkan menurutnya, Tan Malaka selalu tidur sekamar dengan Adnan Buyung karena tak ada kamar lain yang bisa digunakan sebagai tempat tidur Tan kecuali kamarnya. Sejarawan Harry Poeze memperkuat keterangan Adnan Buyung tentang mengapa Tan Malaka kerap tinggal di rumahnya. Ketika berada di Yogyakarta awal Februari 1946, Tan memang seringkali berpindah-pindah tempat, dari satu rumah pengikutnya ke rumah pengikutnya yang lain, mulai Ismail sampai Sukarni. “Selama bulan-bulan itu ia juga selalu menginap di rumah wartawan Rachmat Nasution, sehingga anaknya –Adnan Buyung Nasution– harus memberikan kamarnya kepada seorang 'oom' tak bernama,” tulis Harry Poeze dalam bukunya Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia jilid pertama. Dalam sebuah kesempatan lain, Adnan Buyung juga pernah berkisah tentang Tan yang tidur di kamarnya. Buyung kecil memilih tidur di bawah dan Tan tidur di ranjang. Si oom tanpa nama itu bercerita tentang banyak hal kepadanya. “Dari situ saya tahu kalau orang ini sangat cerdas,” kenangnya dalam sebuah diskusi Tan Malaka di Cikini beberapa tahun silam. Pelaku Sejarah, Penulis Sejarah Selain dikenal sebagai pengacara, Adnan Buyung juga pelaku dalam beberapa episode sejarah di negeri ini. Sebagai aktivis anti-Sukarno, Buyung terpilih sebagai anggota MPRS yang menolak pertanggungjawaban Presiden Sukarno atas peristiwa G30S 1965. Karena itu pula presiden pertama Indonesia itu jatuh dari kursi kekuasaannya. Namun menurutnya, Sukarno mendapat perlakukan tak adil karena dia hanya dituduh bersalah tanpa pernah diberi kesempatan untuk membela dirinya dalam sebuah pengadilan. Pada saat itu, menurutnya, hanya dialah orang yang menyuarkan perlunya Sukarno diadili agar tuduhan kepadanya bisa dibuktikan atau tidak. “Tapi yang harus orang tahu, dari sekian banyak anggota MPRS, cuma abang yang teriak-teriak supaya Sukarno diadili. Kenapa? Karena dengan diadili di pengadilan, kita bisa buktikan apakah dia bersalah atau tidak. Dan dia bisa membela dirinya. Itu demi keadilan, tapi nggak ada yang mendengarkan abang,” kata Buyung ketika diwawancarai Historia dua tahun silam. Selaku praktisi di bidang hukum, Adnan Buyung juga penulis sejarah di bidang hukum. Disertasinya tentang Konstituante banyak memberikan informasi sejarah mengenai perdebatan yang terjadi di lembaga penyusun Undang-Undang Dasar tersebut. Buyung punya teori seandainya Konsituante tidak buru-buru dibubarkan oleh Sukarno melalui Dekrit 5 Juli 1959, mungkin wajah demokrasi di Indonesia akan berbeda jalannya. Konstituante adalah lembaga yang bertugas menyusun Undang-Undang Dasar baru pengganti UUDS 1950. Dalam sidang Konstituante seringkali terjadi perdebatan sengit antara pendukung Pancasila sebagai dasar negara dengan para pendukung syariat Islam. Namun lagi-lagi Buyung pernah berkisah betapa pun kerasnya perdebatan tersebut, di luar sidang para politikus bisa cair dalam pergaulan pribadinya. Seperti yang terjadi antara Natsir dengan Aidit. “Abang pernah wawancarai Pak Natsir untuk disertasi abang. Pak Natsir cerita waktu istirahat sidang, Aidit tiba-tiba datang bawa dua gelas teh. Sambil duduk, Aidit bertanya pada Natsir, bagaimana kabarnya umi? (istri Natsir, red. )” tutur Buyung mengisahkan bagaimana suasana kekeluargaan terjalin antara para politikus yang berbeda ideologi saat itu. Kontroversi Bukan tokoh jika hidupnya tak diliputi kontroversi. Keputusan Buyung membela anggota kepolisian yang terlibat penembakan mahasiswa Trisakti 1998 yang lampau menjadi bulan-bulanan kritik banyak aktivis HAM. Tak berhenti di sana, keputusannya membela terpidana koruptor Chaeri Wardana alias Wawan suami Walikota Tangsel Airin Rachmi Diany dan juga adik kandung mantan Gubernur Banten Atut Chosiyah menuai banyak kritik. Adnan Buyung selalu punya argumen bahwa setiap orang punya untuk membela diri dan sebagai seorang pengacara dia tak bisa menolak orang yang meminta bantuan untuk dibela. “Sebagai pengacara profesional saya tidak punya alasan untuk menolak orang yang meminta bantuan hukum,” katanya ketika menjawab pertanyaan wartawan tentang keputusannya menjadi pengacara mafia pajak Gayus Tambunan. Pengacara gaek yang kisah hidupnya berwarna-warni itu kini telah tiada. Wafat pada usia 81 tahun, 23 September 2015 kemarin setelah sempat dirawat selama beberapa hari di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan. Selamat jalan, bang.*
- Sukarno dan Palestina
DUKUNGAN Indonesia kepada kemerdekaan Palestina dari penjajahan Israel telah dilakukan sejak era Presiden Sukarno. Baginya, tiap bangsa punya hak menentukan nasibnya sendiri tanpa melalui pengaturan dan campur tangan negara lain. Sedari awal, Indonesia tak mau mengakui Israel yang diproklamasikan David Ben-Gurion pada 14 Mei 1948, karena merampas tanah rakyat Palestina. Pemerintah Indonesia tak membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Ucapan selamat dan pengakuan kemerdekaan Indonesia yang dikirimkan Presiden Israel Chaim Weizmann dan Perdana Menteri Ben Gurion tak pernah ditanggapi serius pemerintah Indonesia. Mohammad Hatta hanya mengucapkan terimakasih, namun tak menawarkan timbal-balik dalam hal pengakuan diplomatik. Sukarno juga tak menanggapi telegram ucapan selamat dari Israel. Sewaktu Sukarno mulai menggagas Konferensi Asia-Afrika (KAA) pada 1953, Indonesia dan Pakistan menolak keras diikutsertakannya Israel dalam konferensi tersebut. Keikutsertaan Israel bakal menyinggung perasaan bangsa Arab, yang kala itu masih berjuang memerdekakan diri. Sementara Israel adalah bagian dari imperialis yang hendak dienyahkan Sukarno dan pemimpin-pemimpin dunia ketiga lainnya. Dalam pidato pembukannya di KAA pada 1955 yang juga dihadiri pejuang Palestina Yasser Arafat, Sukarno menyatakan bahwa kolonialisme belum mati, hanya berubah bentuknya. Neokolonialisme itu ada di berbagai penjuru bumi, seperti Vietnam, Palestina, Aljazair, dan seterusnya. Maka dari itu, tulis Ali Sastroamidjojo dalam Tonggak-Tonggak di Perjalananku, Bung Karno mengajak supaya bangsa-bangsa Asia dan Afrika di dalam Konperensi ini membentuk satu front anti-kolonialisme dengan membangun dan memupuk solidaritas Asia-Afrika. “Imperialisme yang pada hakikatnya internasional hanya dapat dikalahkan dan ditundukkan dengan penggabungan tenaga antiimperialisme yang internasional juga,” ujar Sukarno dalam pidato hari ulangtahun Republik Indonesia ke-21 pada 17 Agustus 1966, sebagaimana dimuat dalam Revolusi Belum Selesai. Pasca KAA, solidaritas Asia-Afrika menguat dan semangat antikolonialisme makin membara di dada rakyat kedua benua. Sukarno makin keras mendukung perjuangan kemerdekaan rakyat Palestina. Hal itu dia lakukan dengan berbagai cara, tak terkecuali melalui olahraga. Maulwi Saelan, pengawal Sukarno, masih ingat betul pengalamannya tatkala sepakbola menjadi salah satu alat perjuangan Indonesia di pentas politik internasional. Menurut Maulwi, pada 1958 Indonesia tinggal selangkah lagi masuk ke ajang Piala Dunia. Di penyisihan wilayah Asia Timur, Indonesia berhasil menundukkan Tiongkok. Indonesia tinggal memainkan pertandingan penentuan melawan Israel sebagai juara di wilayah Asia Barat. Namun, Sukarno melarangnya. “Itu sama saja mengakui Israel,” ujar Maulwi menirukan omongan Sukarno, kepada Historia . “Ya, kita nurut. Nggak jadi berangkat,” lanjut mantan penjaga gawang tim nasional yang pernah membawa Indonesia menahan imbang Uni Soviet dalam Olimpiade Melbourne 1956. Perlawanan terhadap Israel kembali dilakukan oleh Sukarno ketika Jakarta menjadi tuan rumah Asian Games IV pada 1962. Pemerintah Indonesia tak memberikan visa kepada kontingen Israel dan Taiwan. Meski alasan resmi yang dikeluarkan adalah, Indonesia tak mempunyai hubungan diplomatik dengan kedua negara tersebut, tapi alasan politik antiimperialisme Sukarno mendasari kebijakan tersebut. Saat itu, negara-negara Arab sedang bersengketa dengan Israel yang ditopang Barat. Sedangkan China dikucilkan dunia internasional setelah Barat hanya mengakui Taiwan sebagai pemerintahan China yang sah. Sukarno melihat hal ini sebagai bentuk penindasan negara-negara Old Established Forces (Oldefos) terhadap New Emerging Forces (Nefos). Akibatnya, Komite Olimpiade Internasional (IOC) menskors keanggotaan Indonesia dengan batas waktu yang tak ditentukan. Alih-alih patuh, Sukarno justru memerintahkan Komite Olimpiade Indonesia keluar dari IOC pada Februari 1963. Sukarno terus melawan. “Sebagai jawabannya Sukarno membentuk Ganefo yang diadakan tahun 1963, yang menjadi pertanda kebesaran bangsa ini dan pertanda ketidaktergantungan pada kekuatan-kekuatan dunia yang ada,” tulis John D. Legge dalam Sukarno: Biografi Politik . Semasa pemerintahan Sukarno pula Indonesia aktif mendukung perjuangan kemerdekaan di berbagai penjuru dunia dengan bantuan dana dan lain sebagainya. Tak hanya di tingkat pemerintahan, rakyat Indonesia juga aktif mendukung kemerdekaan Palestina dan bangsa-bangsa lain seperti Aljazair dan Afrika Selatan. Melalui OISRAA (Organisasi Indonesia untuk Setikawanan Rakyat Asia-Afrika) yang berdiri pada 1960 dan tergabung dalam AAPSO (Organisasi Solidaritas Rakyat Asia-Afrika), kerjasama perjuangan tersebut diintensifkan. Hingga saat kekuasaannya sudah direbut Jenderal Soeharto pada 1966, Sukarno tetap pada pendiriannya dalam hal perjuangan rakyat Palestina melawan Israel. Dalam pidatonya pada hari ulang tahun Republik Indonesia ke-21, Sukarno menyatakan, “Kita harus bangga bahwa kita adalah satu bangsa yang konsekuen terus, bukan saja berjiwa kemerdekaan, bukan saja berjiwa antiimperialisme, tetapi juga konsekuen terus berjuang menentang imperialisme. Itulah pula sebabnya kita tidak mau mengakui Israel!”*
- Sokongan Indonesia untuk Kemerdekaan Afrika Utara
PADA Konferensi Asia Afrika April 1955, delegasi dari Tunisia, hanya sebagai peninjau. Negara di Afrika Utara itu, bersama Aljazair dan Maroko, masih dijajah Prancis. Konferensi Lima Perdana Menteri di Bogor pada 1954, menegaskan dalam maklumatnya bahwa “Para Perdana Menteri menyatakan bantuan seterusnya dari mereka terhadap tuntutan dari bangsa Tunisia dan Maroko untuk kemerdekaan nasionalnya dan hak yang sah dari mereka untuk menentukan nasibnya sendiri.” Pada awal tahun 1951, pemimpin perjuangan kemerdekaan Tunisia, Habib Bourguiba, datang ke Jakarta, untuk meminta dukungan pemerintah Indonesia. “Kami terima beliau, bukan sebagai tamu asing akan tetapi sebagai teman seperjuangan lama, yang sama-sama berjuang di satu front kemerdekaan tanah air dari penjajahan yang berabad-abad itu,” kata Muhammad Natsir, dalam Budaya Jaya , Vol. 9, 1976. Natsir selaku perdana menteri melakukan kunjungan balasan ke Mesir pada 1952, dimana pemerintah Mesir membantu menyediakan kantor bagi para pejuang kemerdekaan dari Tunisia, Aljazair, dan Maroko di Kairo. Sekembali dari lawatan tersebut, Natsir membentuk Panitia Pembantu Perjuangan Kemerdekaan Afrika Utara. Panitia ini diketuai oleh Natsir, sekretaris jenderal Hamid Algadri, bendahara IJ Kasimo, anggota A.M. Tambunan dan Arudji Kartawinata. Dalam Muhammad Natsir 70 Tahun: Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan , disebutkan bahwa “panitia ini berhasil memberikan bantuan walaupun tidak begitu besar dalam arti materiil tapi besar dalam arti moril bagi perjuangan kemerdekaan negara-negara tersebut.” Panitia mengusahakan kantor bagi utusan dari Tunisia, Aljazair, dan Maroko, di Jalan Cik Ditiro No. 56 Jakarta Pusat (kemudian sempat jadi kantor kedutaan besar Aljazair, sebelum pindah ke Jalan HR Rasuna Said Kav 10-1 Kuningan Jakarta Selatan). Menurut Hamid Algadri, para utusan itu antara lain Taieb Slim dan Tahar Amira dari Tunisia; Lakhdar Brahimi dan Muhammad Ben Yahya, Muhammad Yazid, dan Husen Ait Ahmad dari Aljazair; dan Allal Fassi dari Maroko. “Mereka sering berkunjung di Jalan Tosari No. 50 (rumah Hamid, red ) dan menganggapnya seperti rumah keluarga sendiri,” kata Hamid dalam memoarnya Mengarungi Indonesia. Sekalipun mereka tidak mempunyai status diplomatik, tetapi setiap 17 Agustus mereka selalu diundang untuk menghadiri upacara peringatan hari ulangtahun Republik Indonesia di Istana Merdeka. Ketika Maroko dan Tunisia sama-sama merdeka pada 1956, Aljazair berada pada puncak perjuangannya. Prancis kewalahan menangani perlawanan rakyat Aljazair. Lakhdar Brahimi, kelak menjadi menteri luar negeri Aljazair, masih di Jakarta selama enam tahun sebagai wakil dari Front Kemerdekaan Nasional (NLF). Majalah Merdeka , 4 Juni 1955, melaporkan seluruh rakyat yang pernah merasakan penjajahan akan berdiri menyokong perjuangan rakyat Aljazair. “Dan Konferensi Asia Afrika baru-baru ini juga menyatakan sokongan mereka sepenuhnya terhadap rakyat Afrika Utara melawan penjajahan,” tulis Merdeka . Aljazair baru merdeka pada 1962. Setelah berhasil merebut kemerdekaan, pemerintah Tunisia dan Aljazair memberikan penghargaan tertinggi, Wism Jumhuria dan Al Istihqaq Al Watani , kepada Mohammad Natsir dan Hamid Algadri selaku ketua dan sekretaris jenderal Panitia Pembantu Perjuangan Kemerdekaan Afrika Utara.*
- Sukarno dan Jamnya
BEBERAPA waktu lalu heboh jam tangan merek Richard Mille milik Panglima TNI Jenderal Moeldoko. Kabar yang beredar, harga jam tangan itu fantastis: mencapai satu milyar. Moeldoko, yang punya koleksi jam tangan, kemudian membantingnya untuk membuktikan jam tangan tersebut palsu. Jam tangan Sukarno juga pernah terlempar ketika dia sedang berbicara menggebu-gebu dalam suatu rapat pada 1950-an. Saking bersemangat mengacung-acungkan tangan, jam tangannya yang bannya kendor meleset lepas dari pergelangan tangan. “Terbang tinggi ke udara hampir mengenai langit-langit Istana Negara lalu melesat ke bawah laksana kapsul Apollo langsung menghunjam lantai marmer yang sekeras batu itu,” kata Guntur Soekarnoputra dalam Bung Karno & Kesayangannya. Pidato terhenti sejenak. Panitia tergopoh-gopoh mengambil jam tangan itu dan memberikannya kembali kepada Sukarno. Setelah jam tangan tadi masuk kantong jasnya, Sukarno bicara menggebu-gebu lagi. Sukarno berpikir jamnya pasti ringsek. Namun, waktu diperiksa di kamar seusai rapat, jam tangannya masih bekerja dengan baik. Karena pengalaman inilah Sukarno setia pada satu merek jam: Rolex. Menurut Guntur, sejak masa muda, Sukarno adalah seorang yang penepat waktu maka ke manapun pergi selalu memakai jam tangan. Pada mulanya, Sukarno tidak pilih-pilih merek. Merek apa saja pokoknya tepat dan rancangannya lumayan. Apalagi waktu di daerah Republik susah mencari barang-barang yang sedikit mewah akibat blokade ketat Belanda. “Kalau ada orang Kiblik (Republik) pulang dari Jakarta dan memakai arloji merek yang top-top, Bapak paling-paling cuman pegang-pegang dan lihat-lihat saja sambil telan air liur,” kata Guntur. Begitu pula ketika suatu waktu Sukarno berbincang dengan seorang komandan tentara Belanda yang mengenakan arloji dengan penutup kulit. “Sambil mengacungkan ibu jarinya Bapak bilang bahwa arloji sang komandan hebat dan bagus,” kata Guntur. “Serdadu kolonial tadi manggut-manggut sambil tertawa terbahak-bahak karena kesenangan dipuji oleh rajanya kaum ekstremis.” Barulah setelah kejadian jamnya terlempar dan jatuh itu, Sukarno memilih satu merek. Menurut Maulwi Saelan dalam Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa: Dari Revolusi 45 Sampai Kudeta 66 , ketika Sukarno terusir dari Istana, pada 1968 tim pencatat barang-barang Sukarno yang ditinggalkan di Istana Merdeka mendata sekira 13 buah jam tangan merek Rolex. Namun, meski memilih merek Rolex, Sukarno juga memiliki jam merek lain: Patek Pilipe, Girard Perregaux, HMT Sitison, Omega, Longines, Hamilton, dan Seiko.*






















