Hasil pencarian
9585 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Mesir di Tangan Mubarak
“TURUN, turun. Turunkan Mubarak!” dan “rakyat harus mengakhiri kekuasaan rezim ini!” teriak massa yang marah di sekeliling masjid Al-Istiqama di Giza Square, Kairo, Mesir usai salat Jumat, 28 Januari lalu, sebagaimana dilaporkan BBC . Dalam hitungan menit, meriam air menghujani para demonstran. Diikuti bunyi dentuman keras ketika polisi menembakkan gas air mata. Orang-orang berlarian di sepanjang jalan, sambil menahan efek gas yang membuat mata mereka berair. “Biarkan dunia melihat apa yang terjadi di negeri ini,” teriak seorang laki-laki tua, ”kami tak akan berhenti… sampai pemerintahan ini tumbang.”
- Membebaskan yang Marjinal
TAK seperti saat ini, pada 1950-an dan 1960-an Negeri Paman Sam bukanlah tempat tinggal ideal bagi kaum homoseksual. Sebelum Perang Dunia II, masyarakat Amerika yang agraris sedang mengalami transisi menjadi masyarakat industri. Ini memberikan peluang bagi berkembangnya homoseksualitas. Keluarga tradisional tak lagi menjadi satu-satunya pilihan bagi individu. Bermunculan kota-kota besar, di mana individualitas dan otonomi menjadi ciri utamanya. Kehidupan pribadi yang bebas menjadi sepenuhnya hak individu.
- Madu Berapa?
HARI itu, 7 Juli 1953, bertempat di Istana Cipanas yang sejuk, sebuah pesta perkawinan sederhana dilangsungkan. Meski sederhana dan tertutup, tapi buntut dari acara itu tidaklah sederhana. Pasalnya pengantin laki-laki yang menikah itu masih berstatus sebagai suami orang. Lebih pelik karena banyak orang menaruh harap padanya untuk menentang poligami. Ya, kala itu Presiden Sukarno mempersunting Hartini, perempuan asal Ponorogo, yang usianya terpaut 23 tahun lebih muda darinya. Sebelumnya, Sukarno meminta izin pada Fatmawati, yang baru melahirkan. Tapi Fatmawati tak ingin dimadu.
- Gaji Tiga Presiden
BUKAN cuma jelata, gaji presiden pun lama tak naik. “Bahkan ini tahun keenam atau ketujuh gaji Presiden belum naik,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di depan jajaran petinggi Mabes TNI dan Mabes Polri, di Gedung Balai Samudra Indonesia, Jakarta, 21 Januari lalu. Alih-alih membesarkan hati para anggota TNI dan Polri karena pemerintah berkomitmen meningkatkan gaji dan remunerasi setiap tahun, pernyataan SBY soal gajinya berbuntut panjang. Kritik pun berdatangan. Bahkan di DPR RI ditemukan kotak “Koin untuk Presiden” terinspirasi gerakan Koin Peduli Prita.
- Memperebutkan Sang Ratu
UNTUK kali kesekian Mesir meminta Jerman untuk mengembalikan patung Ratu Nefertiti berusia 3.400 tahun yang sejak 1913 berada di tangan Jerman. Patung itu ditemukan pada 1912 oleh arkeolog Jerman Ludwig Borchardt dalam sebuah penggalian di Mesir. Ketua Dewan Agung Benda-benda Antik Mesir Zahi Hawass mengirimkan “permintaan resmi” kepada Ketua Yayasan Warisan Budaya Prusia Herman Parzinger di Berlin, 22 Januari lalu. Sebagaimana ditulis AFP , “permintaan resmi” itu didukung oleh Perdana Mesir Mesir Ahmed Nazif dan Menteri Kebudayaan Faruq Hosni.
- Atas Nama Kodrat Perempuan
APA yang membedakan laki-laki dan perempuan? Seringkali orang menjawab: “kodrat”. Batasannya adalah ranah publik dan domestik. Tapi, dalam sejarah, ranah itu dirumuskan oleh siapa yang berkuasa. Perempuan Jawa dari keluarga petani dan pedagang cenderung bebas dari nilai-nilai itu. Laki-laki dan perempuan memiliki akses untuk melakukan aktivitas produktif. Sementara pada keluarga priyayi, yang memiliki akar budaya feodal yang patriarkal, perempuan harus patuh dan menjadi penopang setia suami yang melakukan aktivitas produktif dalam domain publik.
- Walter Spies dan Renaisans Bali
Walter Spies sedang frustasi. Hubungan yang telah dia jalin selama beberapa tahun dengan Friedrich Murnau, sutradara film kenamaan asal Jerman, memburuk. Spies, pelukis berkebangsaan Jerman yang lahir di Moskow, Rusia, pada 1895, bertemu Murnau pada 1919 ketika dia berusia 24 tahun. Saat itu dia baru memulai karier sebagai pelukis dan mengadakan pameran perdana. Murnau kemudian menyediakan studio untuk Spies melukis, juga mempercayakan kerja artistik film-filmnya.
- Menjernihkan Pemahaman Tragedi 1965
Berbeda dengan Afrika Selatan yang akhirnya berhasil melakukan rekonsiliasi di bawah kepemimpinan Nelson Mandela, Indonesia hingga kini masih terus berjuang mewujudkannya – terkait kasus 1965. Berbagai upaya terus dilakukan. Namun, hanya pemerintahan Gus Dur yang berani dan mau melakukannya. Selebihnya, upaya rekonsiliasi dikerjakan hanya oleh bagian-bagian kecil yang ada di negeri ini.
- Clarifying the Understanding of the 1965 Tragedy
Unlike South Africa that eventually had been successful to perform reconciliation during Nelson Mandela’s leadership, until present, Indonesia is still struggling to do the same—in regards to the events of 1965. Various efforts had been made. But it was only Gus Dur’s administration that has the audacity as well as willingness to do it. Currently, in Indonesia, the reconciliation efforts are only being carried out by minor parts of the Indonesian society.
- 1 x 24 Jam Harap Lapor
PADA 1990, melalui survey Majalah Time menobatkan Bandung sebagai salah satu kota paling aman (safest) di dunia . Padahal saat itu, Bandung merupakan kota berpenduduk padat dengan populasi dua juta jiwa lebih dan mendiami wilayah seluas 16.729,50 hektare. Menurut Joshua Barker, antropolog Universitas Toronto Kanada, salah satu institusi yang membuat Bandung menjadi kota yang aman adalah Siskamling (sistem keamaman lingkungan). Kegiatannya disebut ronda dengan suatu aturan –yang di setiap RT (Rukun Tetangga) dan RW (Rukun Warga), pasti ada: 1 x 24 jam wajib lapor.
- Hapuskan Mitos untuk Rekonsiliasi
Konferensi internasional sekaligus pameran bertajuk “Indonesia and the World 1959-1969: A Critical Decade” dibuka sore tadi (18/01). Sebelum acara dibuka, sejumlah pelajar yang tergabung dalam Gerakan Pemuda Islam (GPI) dan Persatuan Pelajar Islam (PII) berunjuk rasa di halaman gedung Goethe Institute, Jl. Sam Ratulangie, Jakarta Pusat. Mereka menuntut agar acara dihentikan, bahkan salah seorang orator menuntut dibubarkannya PKI, “bubarkan PKI!” katanya diikuti demonstran lain.
- Erase the Myth for Reconciliation
The international conference as well as exhibition titled “ Indonesia and the World 1959-1969: A Critical Decade” was opened yesterday afternoon (18/01). Before the opening ceremony took place, some students from Gerakan Pemuda Islam (Islamic Youth Movement) and Persatuan Pelajar Islam (Islamic Student Association) protested the event in front of Goethe Institute building, Jl. Sam Ratulangie, Central Jakarta. They demanded the Goethe Institute to stop the event. One of the orators even demanded the demobilization of PKI. “Down with PKI!” he said, followed by other protestors.





















