Hasil pencarian
9591 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Memori yang Membekas dalam 1917
MUSIM semi 1917 di utara Prancis. Pasukan Inggris tengah percaya diri setelah kubu Jerman mulai mundur. Para perwira tingginya memutuskan, Inggris bakal terus mendesak dan menghancurkan Jerman yang tengah mengonsolidasikan kekuatan di Hindenburg Line. Namun, Inggris tak insyaf bakal masuk perangkap. Hanya sedikit perwira Inggris yang menyadari bahwa sekira 1.600 serdadunya yang dikirim dalam ofensif itu bakal jadi korban penyergapan dan pembantaian. Di sinilah dua serdadu muda, Kopral Blake (diperankan Dean-Charles Chapman) dan Schofield (George MacKay), memainkan perannya. Oleh karena ketiadaan alat komunikasi yang canggih, Jenderal Erinmore (Colin Firth) meminta keduanya jadi kurir untuk menyampaikan pesan peringatan itu. Kebetulan, kakak Blake merupakan satu dari 1.600 serdadu yang rencananya akan dikirim dalam ofensif itu. Jadi peran keduanya tidak hanya menyelamatkan 1.600 rekan mereka, namun juga kakak sang pembawa pesan. Begitu sinopsis film 1917 garapan sutradara Sam Mendes. Film bertema Perang Dunia I yang premier -nya sudah digelar pada 4 Desember 2019 di Royal Film Performance, London itu baru dijadwalkan naik layar di Amerika Serikat pada 25 Desember 2019, serta diputar di seluruh dunia mulai 10 Januari 2020. Meski latar belakangnya Pertempuran Passchendaele atau kadang disebut Pertempuran Ypres III (31 Juli-10 November 1917) di Perang Dunia I, Sam Mendes menggarap cerita fiksi. Pun dengan karakter-karakternya yang dimainkan sejumlah aktor besar sebagai pemeran pendukung: Colin Firth (The English Patient , The King’s Speech ), Mark Strong ( Sherlock Holmes , Stardust , Robin Hood , Shazam! ), dan Benedict Cumberbatch ( The Imitation Game , Doctor Strange , Avengers: Infinity War , Avengers: Endgame ). Kiri ke kanan: Mark Strong, Colin Firth, dan Benedict Cumberbatch/Foto: universalpictures.com ) Semua karakternya rekaan belaka karena 1917 bukan tentang seorang figur besar atau pertempuran itu sendiri. Film ini mengisahkan tentang dua serdadu rendahan dan perjalanan mereka yang pontang-panting menembus garis belakang musuh, menghindari bombardir mengerikan, hingga desingan-desingan peluru di atas kepala mereka. Para pemerannya juga tak sembarangan memainkan karakter masing-masing. Setiap pemeran melakoni risetnya lewat banyak literatur. Salah satunya The Western Front Diaries yang merupakan kumpulan catatan para veteran Perang Dunia I. Tak dinyana, salah satu pemerannya, Chapman, menemukan satu bagian catatan kakek buyutnya sendiri. “Dia mengisahkan tentang bagaimana dia berperang di Perang Dunia I –dia terlibat di salah satu unit kavaleri. Dia sempat tertembak dan terluka. Selama empat hari dia bertahan di no man’s land (medan di antara dua kubu, red. ) namun dia tetap selamat dan hidup sampai Perang Dunia II berakhir. Membacanya membuat saya bisa masuk ke suasana saat itu,” tutur Chapman, dikutip Mirror , 5 Desember 2019. Kisah Nyata Kakek Moyang Lewat 1917, Sam Mendes ingin mengajak penonton menengok kembali kisah-kisah yang terpendam dari keluarga masing-masing. Memahami sejarah sebagai bangsa yang besar bisa dimulai dari keluarga sebagai unit terkecil masyarakat dunia. Chapman hanya salah satu contoh. Toh film 1917 , sebagaimana disebutkan di atas, juga terinspirasi dari kisah nyata. Utamanya kisah nyata kakek sang sutradara yang juga veteran Perang Dunia I, Alfred Hubert Mendes. Dari kisah Alfred itulah Sam Mendes meracik inti cerita meski tak semuanya mendasarkan dari pengalaman kakeknya. “Film ini saya dedikasikan untuknya. Kakek saya masih sangat muda saat berperang di Perang Dunia I. Meski tubuhnya kecil, larinya sangat cepat. Oleh karenanya dia diberikan tugas mengantar pesan sebagai kurir di front barat. Setelah perang dia dianugerahi medali untuk keberaniannya,” ungkap Mendes, disitat Deadline.com , 23 November 2019. Kisah Kopral Blake dan Schofield yang terinspirasi dari kisah nyata (Foto: universalpictures.com ) Seringnya Sam Mendes belia mendengar cerita dari sang kakek sebelum sang veteran itu wafat pada 199 membuatnya punya memori kuat dan ikatan yang emosional yang dalam akan Perang Dunia I. Hal itu mendorongnya menjadikan cerita itu karya layar lebar kedelapannya. Khusus untuk 1917 , sang sineas membedah memoar sang kakek, The Autobiography of Alfred H. Mendes: 1897-1991, yang baru diterbitkan pada 2002. Dari memoar itu pula diketahui Alfred Mendes lahir di Trinidad dan Tobago sebagai anak imigran Portugis-Kreol. Alfred Mendes Sr., ayah Alfred H. Mendes, berasal dari Kepulauan Madeira, Portugal. Mendes Sr. seorang pemeluk Presbiterian dan karena keyakinannya ini Mendes dan sejumlah penganut Presbiterian dipersekusi hingga terpaksa hijrah dari Madeira. Mendes Sr. pilih mengungsi ke Port of Spain di Trinidad dan Tobago. “Di akhir tahun 1846 sekira 700 orang Madeira (penganut Presbiterian, red. ) tiba di Port of Spain dengan kapal yang disewa seorang saudagar gula. Di antara mereka terdapat ayah saya dan Jardim, adik dari ibu saya,” tutur Alfred H. Mendes dalam memoarnya. Namun pada Desember 1915, di usia 16 tahun Alfred Mendes merantau ke Inggris. Bukannya mendapat pekerjaan yang lebih baik, Alfred malah masuk daftar wajib lapor untuk dilatih di kemiliteran. “Saya tergabung di pasukan King’s Royal Rifles tak lama setelah tahun baru 1916. Sebelum berangkat ke Prancis, saya dipindahkan ke Batalyon I, Brigade Senapan. Di awal Mei 1916, kami tiba di Abbeville di mulut Sungai Somme. Walau saat itu sudah gelap, saya bisa melihat kotanya sudah mengalami kehancuran akibat serangan artileri,” imbuhnya. Kolase foto Alfred Hubert Mendes, kakek sang sutradara film "1917" (Foto: Repro "The Autobiography of Alfred H. Mendes: 1897-1991") Mulanya, Alfred bertugas sebagai pemberi sinyal. Ia kemudian beralih tugas menjadi kurir. Medali atas keberanian yang disebutkan di atas, terjadi saat Alfred secara sukarela menerima misi berbahaya pasca-Pertempuran Poelcappelle. Saat itu komandannya, Kapten Alexander Craigmile, memerintahkannya misi penyelamatan para serdadu yang terluka dan masih hidup. “Saya sudah jenuh menjadi pemberi sinyal dan saya merasa harus berkorban untuk batalyon saya. Jadi saya mengajukan diri,” lanjut Alfred yang melakoni tugas berbahayanya bersama beberapa sukarelawan lain. Suatu malam pada medio Oktober 1917, Alfred dan beberapa sukarelawan keluar dari parit pertahanan untuk menjalankan misinya. Sialnya, malam itu hujan sudah berhenti dan membuat penembak-penembak runduk serta operator senapan mesin Jerman mudah melihat pergerakan mereka. “Terlepas dari tembakan sniper, senapan mesin, dan peluru meriam, saya berhasil kembali ke lubang perlindungan Kompi C tanpa terluka,” sambungnya, dengan membawa beberapa rekan yang terluka. Misinya sukses. Namun saat berada di Kanal La Bassée pada Mei 1918, Alfred terkena serangan gas Jerman. Ia ambruk dan dilarikan ke klinik markasnya untuk kemudian dikirim pulang. Ia baru tersadar saat sudah terbujur di kamar rumah sakit di Sheffield, Inggris.
- Menggali Harta Karun Jaap Kunst
Dalam buku tahunan yang diterbitkan Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Museum Nasional) tahun 1933, Jaap Kunst disebut menyerahkan sekitar 1000 alat musik koleksinya. Etnomusikolog itu juga meninggalkan banyak ‘harta karun’. Dari silinder lilin, positif kaca, hingga surat-surat korespondensi. Namun, hampir setengah abad koleksi Jaap Kunst di Museum Nasional tak teridentifikasi. Satu persatu peninggalan Jaap Kunts mulai terungkap pada 2004 ketika Museum Nasional hendak menggelar pameran alat musik. Saat itu, karena Museum Nasional tidak memiliki kurator musik, Nusi Lisabilla, Staf Seksi Koleksi Etnografi dan Ita Yulita, Staf Seksi Konservasi diminta berguru kilat kepada etnomusikolog Rizaldi Siagian. Selama dua hari, dari pagi hingga malam, Nusi dan rekan-rekannya dijejali ilmu tentang musik. Rizaldi menjelaskan tentang siapa Jaap Kunst dan perannya dalam seni musik. Dia juga menunjukan sebuah buku yang cukup penting tentang musik tradisi karangan Jaap Kunst. “Aku dilihatkan bukunya Jaap Kunst. Bukunya Hindu Javanese Music Instruments . Itu pertama kali kenal Jaap Kunst. Beberapa foto yang ada di buku ternyata koleksi Museum Nasional," ujar Nusi yang kini menjabat sebagai Kepala Bagian Pengkajian dan Pengumpulan Museum Nasional kepada Historia . Koleksi Jaap Kunst di Museum Nasional mulai terungkap sejak 2004. (Fernando Randy/Historia). Sejak itu, Nusi baru menyadari bahwa banyak koleksi alat musik Museum Nasional yang merupakan hibah dari koleksi Jaap Kunst. Namun, ia belum tahu bagaimana keterkaitan Jaap Kunst dengan Museum Nasional. Selain itu, dia juga kesulitan ketika mencoba menginventarisasi koleksinya. “Kami menghadapi beberapa kendala ketika menemukan beberapa koleksi itu nomor inventarisnya unik. Tidak umum, seperti pakai angka Romawi tapi ada alfabetnya juga,” sebut Nusi. Nusi mengumpulkan semua koleksi yang bernomor unik itu. Ia menanyakan kepada seniornya di Museum Nasional yang sudah pensiun. Namun, tak ada satu orang pun yang tahu. “Kita gak punya keterangannya sama sekali. Sehingga waktu kita mau pameran tersendat. Kan kita kalau pameran harus memberikan informasi kepada masyarakat. Kalau misalkan kita menaruh saja, tapi tidak diketahui asal dan fungsinya, kan aneh,” ujar Nusi. Akhirnya, Nusi berusaha membuat klasifikasi. Ia menemukan bahwa Jaap Kunst menggunakan kode untuk mengelompokkan alat musik berdasarkan daerah asal dan organologinya. Temuannya itu kemudian ia tuliskan dalam Warta Museum . Pada 2009, Nusi mendapat undangan ke Leiden, Belanda. Kesempatan itu ia gunakan untuk menelusuri jejak Jaap Kunts. Ia meminta waktu satu hari untuk mengunjungi perpustakaan Universitas Amsterdam. “Di situ aku menemukan korespondensinya Jaap Kunst,” cerita Nusi. Di Universitas Amsterdam terdapat 8.500 surat korespondensi Jaap Kunst dengan para koleganya yang tersimpan apik. Dalam surat-surat korespondensi itulah, Nusi menemukan empat lembar tulisan yang memperkuat temuannya mengenai kode-kode koleksi Jaap Kunst. Di perpustakaan Universitas Amsterdam, Nusi juga menemukan foto-foto alat musik koleksi Jaap Kunst yang ada di Museum Nasional. Setelah data-data diolah dan dilakukan inventarisir, kini baru diketahui sebanyak 471 dari 1000 koleksi Museum Nasional merupakan warisan Jaap Kunst. Sekitar 500 alat musik masih menunggu diidentifikasi. Sayangnya, lima koleksi diketahui sudah tidak ada di museum. Lima koleksi tersebut kemungkinan rusak. “Cuma yang aku nggak habis pikir, Tamburana itu gendang yang tinggi banget dari Nias, yang lebih tinggi dari manusia. Itu harusnya Museum Nasional punya. Aku ada nomor inventarisnya, ada ukurannya, dua meter sekian tapi koleksinya di sini nggak ada,” ungkap Nusi. Menurut cerita para pendahulunya di Museum Nasional, pada 1942 banyak koleksi alat musik serta dokumen-dokumen terkait yang dirusak atau dibakar oleh pemerintah Jepang. Jaap Kunst meninggalkan 627 silinder lilin yang berisi rekaman lagu dan musik tradisi. (Fernando Randy/Historia). Pada 2018, Museum Nasional juga menemukan silinder lilin Jaap Kunst. Silinder lilin digunakan Jaap Kunst untuk mengabadikan musik tradisi saat itu. Alat rekamnya bernama fonograf. Total ada 627 silinder lilin peninggalan Jaap Kunst. Namun, hingga kini temuan tersebut belum dikonservasi karena silinder lilin butuh penanganan khusus. Museum Nasional mendapat hasil digitalisasi dari Berliner Phonogramm-Archiv (Museum Etnologi Berlin). Silinder lilin Jaap Kunst juga terdapat di Tropen Museum, Universitas Amsterdam, dan kemungkinan di Fine Art Museum, Boston. Tak sampai di situ, Jaap Kunst juga meninggalkan warisan positif kaca (cetak foto di atas kaca). Dari ratusan keping positif kaca yang terdapat di Museum Nasional, baru 171 keping yang teridentifikasi sebagai peninggalan Jaap Kunst. Selain itu, di Belanda juga terdapat film dokumenter bikinan Jaap Kunst serta beberapa alat musik yang sempat dibawa Jaap Kunst ke Belanda. Memperingati 100 tahun Jaap Kunst, Museum Nasional menggelar pameran hingga 10 Januari 2020. (Fernando Randy/Historia). Hingga akhir hayatnya, Jaap Kunst telah menulis lusinan buku terkait musik tradisi. Beberapa di antaranya De Toonkunst van Bali (1924), Hindoe-Javaansche Muziek-Instrument (1927), A Study on Papuan Music (1931), Over Zeldzame Fluiten en veelstemmige muziek in het Ngada- en Nagehgebied, West-Flores (1931), De Toonkunst van Java (1934), Music in Nias (1939), Music in Flores: a Study of The Vocal and Instrumental Music Among The Tribes Living in Flores (1942), Een en ender over de muziek en den dans op de Kei-eilanden (1942), serta Music in Java; Its history, its theory and its technique (1949) yang menjadi mahakarya Jaap Kunst. Beragam koleksi peninggalan Jaap Kunst tersebut kini tengah dipamerkan di Museum Nasional dalam rangka 100 tahun Jaap Kunst. Pameran bertajuk “Melacak Jejak Jaap Kunst, Suara dari Masa Lalu” itu berlangsung sejak 28 November 2019 hingga 10 Januari 2020.
- Rokok Kretek Agus Salim
Diam tidak pernah menjadi pilihan. Begitulah penggambaran sosok Haji Agus Salim. Salah seorang founding fathers ini tidak pernah berhenti mengabdikan dirinya bagi kemajuan bangsa. Meski usianya sudah tidak lagi muda, dia secara langsung terus ikut dalam memastikan keajegan Indonesia. Hanya maut yang mampu mendiamkan manusia berjuluk The Grand Old Man (Orang Tua Besar) itu dari pengabdiannya. Sekira tahun 1950, setelah tidak lagi terlibat langsung dalam politik Indonesia, Agus Salim diangkat menjadi penasihat Menteri Luar Negeri. Pengalamannya selama masa perjuangan diplomasi dianggap penting dalam kemajuan hubungan luar negeri Indonesia. Terlebih namanya sudah dikenal secara luas oleh tokoh-tokoh dari negara lain berkat aktifitasnya di masa perjuangan kemerdekaan. Tercatat dalam Seratus Tahun Haji Agus Salim, Agus Salim pernah beberapa kali menduduki posisi menteri luar negeri, yakni Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Sjahrir II, Menteri Luar Negeri Kabinet Amir Sjarifuddin, dan Kabinet Mohammad Hatta. Dia termasuk satu dari sejumlah tokoh yang berjasa bagi terciptanya pengakuan kedaulatan Republik Indonesia dari negara-negara Timur Tengah. Di samping kegiatannya di Kementerian Luar Negeri, Agus Salim juga sesekali terbang ke Amerika Serikat untuk memenuhi undangan mengajar di sana. Diceritakan Mukayat dalam Haji Agus Salim: Karya dan Pengabdiannya , pada 1953 dia beberapa kali mendapat undangan dari Cornell University dan Princeton University untuk berbicara tentang Islam dan pengalaman beragamanya. Dia begitu fasih berbahasa Inggris. “Akibatnya beliau sangat tertarik untuk mempelajari agama Islam dari berbagai segi, tidak hanya Islam sebagai agama dan anutan nenek moyangnya, melainkan Islam sebagai pandangan hidup setiap pribadi muslim yang sadar akan tugas dan kewajibannya di tengah-tengah masyarakat bangsanya,” ungkap Mukayat. Karena berbagai aktifitasnya di luar negeri, pemerintah Indonesia masih sering mempercayakan acara-acara penting kepadanya. Seperti ketika tanggal 3 Juni 1953 dia bersama Sri Paku Alam dan Duta Besar Republik Indonesia di Inggris hadir dalam upacara perayaan penobatan Ratu Elizabeth II. Bahkan, menurut Mukayat, tugas itu diberikan langsung oleh Presiden Sukarno kepada Agus Salim. Acara perjamuan di Westminster Abbey, London tersebut dihadiri banyak tokoh penting dari berbagai negara. Mereka memanfaatkan perayaan itu untuk membangun komunikasi ringan dengan perwakilan-perwakilan dari negara lain. Pada suatu kesempatan, sambil berbincang-bincang santai, Agus Salim menyalakan sebatang rokok yang dibawanya dari Indonesia. Bukan hanya Agus Salim yang merokok waktu itu, sejumlah tamu undangan juga melakukannya. Namun, rupanya asap rokok yang diisap Agus Salim menarik perhatian orang-orang di sekitarnya. Tidak banyak orang yang akrab dengan baunya. Rokok jenis kretek itu pun seketika mengundang perbincangan. Ketika asap rokok kretek Agus Salim telah memenuhi ruangan perjamuan, Pangeran Philip, suami Elizabeth II, melakukan protes. Duke of Edinburgh itu keberatan dengan aroma yang tidak mengenakan itu. “Para hadirin, dari manakan bau yang tidak sedap ini berasal?” tanya Pangeran Philip. Alih-alih tersinggung, dengan tenang Agus Salim mendekat seraya menjawab: “Yang Mulia, bau tidak sedap itu adalah bau rokok kretek yang sedang saya isap yang dibuat dari tembakau dan cengkih. Boleh saja Yang Mulia tidak menyukainya. Tapi justru bau inilah yang menarik minat pelaut-pelaut Eropa datang ke negeri kami tiga abad yang lalu.” Jawaban Agus Salim itu membuat Pangeran Philip terdiam. Ia tidak melanjutkan pertanyaannya. Lalu sambil mencoba mencairkan suasana, ia pun meminta seluruh hadirin menikmati acara dan melanjutkan aktifitas yang sedang dilakukan. Selepas dari tugasnya di Inggris, Agus Salim kembali melanjutkan kegiatan mengajarnya di Amerika. Baru pada pertengahan 1954 dia kembali ke Indonesia. Sebelumnya telah banyak universitas di dalam negeri yang memintanya memberikan kuliah sehingga ia cepat menyelesaikan kewajiban mengajarnya di Amerika. Namun, tidak lama setelah kepulangannya itu, tepatnya pada 4 November 1954, Agus Salim meninggal dunia.
- Dirut yang Menyelamatkan Garuda dari Bangkrut
Garuda Indonesia pernah nyaris bangkrut karena utang yang besar kepada para keditur asing. Utang dalam dolar digunakan untuk menutupi kerugian selama tujuh tahun maskapai penerbangan nasional itu. Kondisinya menjadi sangat parah ketika krisis ekonomi pada 1998. Nilai tukar rupiah meroket menjadi Rp15.000 per dolar Amerika Serikat. Presiden Soeharto menugaskan Menteri BUMN pertama, Tanri Abeng, untuk menyelamatkan Garuda. “Ini tentang Garuda yang akan dibangkrutkan oleh krediturnya. Tugas saudara menyelamatkan agar Garuda tidak di- grounded karena Garuda membawa bendera Republik,” kata Soeharto. Soeharto menyerahkan map berisi berkas Garuda kepada Tanri Abeng. Setelah mempelajari berkas itu, dia menyimpulkan bahwa tidak satu pun dari direksi Garuda saat itu yang tahu duduk persoalannya. Maka seluruhnya harus diganti. Namun, dirutnya mantan ajudan Soeharto. Konon tidak ada yang bisa menggeser mantan ajudan yang ditugaskan Pak Harto di suatu tempat. Ternyata, Soeharto menyetujui pergantian semua direksi Garuda. “Mengapa hanya dirutnya? Ganti seluruh direksi, di situ sudah lama ada mafia,” kata Soeharto yang menyerahkan sepenuhnya perombakan direksi Garuda kepada Tanri Abeng. Dalam No Regrets , Tanri Abeng menyebut tiga kriteria dalam memilih dirut Garuda yang baru. Pertama, agar keuangannya tidak berdarah-darah lagi, maka dia harus tahu keuangan. Kalau bisa dia berasal dari perbankan. Orangnya harus kredibel agar dapat dipercaya kreditur. Kedua, dia harus jujur agar dapat memberantas KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Ketiga, kepribadiannya harus kuat karena dia harus melakukan perubahan. “Kriteria itu hanya ada di Robby Djohan,” kata Tanri Abeng yang telah mengenalnya selama 20 tahun. “Robby ketika saya tawari posisi tersebut menyatakan bahwa dia tak butuh kerjaan karena dia sudah kaya dan ingin pensiun.” Tanri Abeng membujuknya. Robby bersedia dengan dua syarat “beri saya kewenangan mengambil orang-orang yang saya mau dan kasih waktu enam jam per hari.” Tanri Abeng menyetujuinya dengan mengatakan, “Anda butuh enam, dua atau dua puluh jam sehari terserah asal pekerjaan selesai.” Menurut Rhenald Kasali dalam Change! Robby sendiri mengakui tak tahu apa-apa tentang bisnis penerbangan. Satu-satunya pengalaman yang dia miliki hanyalah menjadi penumpang. Selebihnya dia menghabiskan hidupnya di dunia perbankan (Bank Niaga) dan perhotelan. Wajar saja dia risau. Apalagi utang Garuda saat itu telah mencapai 1,2 miliar dolar, lebih besar dari seluruh asetnya. Selain itu, Garuda memiliki karyawan hampir 13.000. Padahal kebutuhannya hanya sekitar 6.000 orang. Banyak rute yang tidak produktif, sepi penumpang tetapi dibiarkan bertahun-tahun. Citra pelayanannya buruk, sering delay tanpa pemberitahuan. Sehingga Garuda diplesetkan sebagai Garuda Always Reliable Until Delay Announced . “Singkatnya, Garuda telah salah urus,” tulis Rhenald. Robby Djohan, Direktur Utama Garuda Indonesia (Februari-Oktober 1998). ( katadata.co.id/syuef.blogspot.co.id ). Menurut Roby Djohan dalam bukunya, The Art of Turn Around , manajemen Garuda tidak pernah diurus secara profesional: pengangkatan CEO tidak berdasarkan keahlian manajerial, keputusan-keputusan strategis tidak diambil oleh direksi tapi oleh siapa saja dari Cendana, BPPT, Menteri Perhubungan, atau Menteri Keuangan. Akibatnya, banyak kontrak aneh. Misalnya, pesawat Airbus 330 disewa dengan harga 1,2 juta dolar padahal hasilnya paling tinggi 800 ribu dolar. Belum lagi perilaku para direksi sebelumnya yang mencampuradukkan keperluan bisnis dengan keperluan pribadi. Pada hari-hari pertama kerja, Robby disambut dengan demonstrasi karyawan Garuda. Kepada mereka yang menamakan diri Tim Reformasi, Robby mengatakan, “kesulitan utama memang adalah tidak adanya acceptance , karena organisasi seperti ini biasanya sudah dikuasai oleh establishment yang kuat. Sulit bagi mereka menerima seorang stranger yang dianggap belum tentu mampu dan jangan-jangan akan membubarkan establishment yang sudah dibangun. Tapi saya tidak mau mundur. Saya malah menyatakan bahwa Garuda sebenarnya sudah bangkrut dan saya di sini akan berusaha memperbaikinya." Robby meminta Tim Reformasi atau serikat pekerja tidak ikut campur soal manajemen. Soal kesejahteraan diselesaikan bersama. Tim Reformasi akhirnya tak terdengar lagi. Tapi juru bicaranya belakangan menjadi teman yang baik dalam pembenahan manajemen. Menurut Tanri Abeng, untuk menerbangkan Garuda agar bertahan di udara, Robby butuh uang Rp800 miliar untuk rasionalisasi karyawan. Dia berjanji selama satu tahun uang akan kembali. Ternyata, dalam delapan bulan saja utangnya telah dibayar. Keberanian juga dibutuhkan untuk menghadapi kreditur. Sebagai bankir, Robby tahu caranya memperlakukan debitur-debitur saat mengalami kesulitan membayar. Dengan Emirsyah Satar, direktur keuangannya yang juga seorang bankir, dia berangkat ke London untuk berbicara dengan Bank Exim negara-negara Eropa. "Benar saja, mereka langsung menggebrak, mengintimidasi dengan suara keras, dan mengancam akan menyita pesawat A330 yang disewa," tulis Rhenald. Dengan tenang, Robby menjawab: “Saya datang bukan untuk memecahkan masalah saya tapi masalah Anda. Alasan utama mengapa Garuda kolaps adalah karena bank-bank internasional memberikan pinjaman kepada Garuda yang neraca keuangannya defisit. Dari pengalaman saya selama 30 tahun di bank, saya tidak dapat memahami itu. Dan jika Anda ingin mengambil kembali pesawat Anda, silakan lakukan karena tidak produktif bagi kami.” “Negosiasi berlangsung alot awalnya, tapi Robby dan Emirsyah Satar tak mau mundur. Dia hanya mau membayar pinjaman dalam tempo 16 tahun dengan bunga satu persen di atas SIBOR (Singapore Interbank Offered Rate). Keras, tapi bisa berakhir dengan baik,” tulis Rhenald. Tak sampai setahun Robby memimpin, Garuda selamat dari kebangkrutan. Baginya, restrukturisasi berarti membuang yang jelak-jelak dengan melakukan perubahan-perubahan mendasar. Kepemimpinan, proses manajemen dan operasional, pemasaran, dan sebagainya diubah secara bersamaan. Karena manajemen Garuda sudah bisa keluar dari kesulitan, Tanri Abeng memutuskan untuk menarik Robby kembali ke habitatnya di perbankan. Dia meminta Robby untuk memimpin proses merger empat bank bermasalah. “Ketika saya tawarkan posisi ini ke Robby, dia tak mau kembali ke dunia perbankan. Dia sudah terlanjur kecantol cantik-cantiknya pramugari Garuda,” kata Tantri Abeng. Namun, akhirnya Robby menerima tantangan untuk memimpin proses mega merger jadi Bank Mandiri.
- Jurus Brompton Menjadi yang Tersohor
Kasus dugaan penyelundupan Harley Davidson dan dua sepeda lipat premium merek Brompton menerpa maskapai penerbangan Garuda Indonesia. Ari Askhara, direktur utama Garuda, terlibat penyelundupan tersebut. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut negara berpotensi rugi Rp532 juta—Rp1,5 miliar. Harga barang selundupan itu termasuk tinggi. Satu sepeda Brompton saja berharga Rp50-60 juta. Meski termasuk mahal untuk kebanyakan orang Indonesia, Brompton laris manis. Sebanyak 5.000 Brompton terjual ke Indonesia pada 2018. Angka itu 10 persen dari total penjualan Brompton di seluruh dunia. Will-Butler Adams, CEO Brompton, pun kaget sepeda itu beroleh tempat di Indonesia. Sementara bagi pesepeda, Brompton adalah sepeda impian. Lambang kesempurnaan dan pencapaian. “Kelebihannya, anti murah dan meningkatkan strata sosial,” canda Gamma Riantori, penggemar sepeda. Candaan itu menggambarkan keunggulan Brompton dibanding sepeda lainnya. Untuk menjaga kualitas, Brompton tak jor-joran memproduksi sepeda. Ini sesuai dengan prinsip awal Andrew Ricthie, pembuat pertama sepeda Brompton, ketika mendirikan pabriknya. “Itu (jumlah yang terlalu banyak, red. ) bisa menghancurkan perusahaan,” kata Andrew Ritchie, dalam theguardian.com . Brompton juga menolak pesanan dengan jumlah tertentu dari berbagai pihak. Tak heran kepemilikan sepeda Brompton begitu eksklusif dan terbatas. “Karena udah handmade dan jam kerjanya terbatas. Super profesional,” kata Arman Widyastama, penggemar sepeda lainnya. Kebanyakan pengguna Brompton adalah pekerja kantoran di kota. Mereka melipat sepeda itu saat memasuki angkutan umum dan menyimpannya di bawah meja kantor tanpa kesulitan. Mereka mengaku butuh sepeda berkualitas, nyaman, dan praktis. Tiga hal ini yang sejak awal dilihat oleh Andrew Ritchie. Dia insinyur lulusan Universitas Cambridge, Inggris. Idenya membuat Brompton berawal dari keinginannya membuat sepeda bisa dibawa masuk ke dalam apartemen yang sempit di London. Selain itu, dia melihat warga London terlalu banyak mengeluarkan biaya dari rumah ke stasiun kereta bawah tanah dan bandara. Jika warga pergi dari rumah ke bandara dengan naik taksi, biayanya hampir sama dengan naik pesawat terbang keliling kota. Andrew berpendapat harusnya warga bisa lebih mudah beraktivitas bila ada pilihan moda transportasi lain. Moda transportasi itu juga mesti sanggup mengantarkan warga dari rumah ke stasiun dengan cepat dan murah. Laman curbsidecycle.com mengungkapkan, London adalah kota yang tumbuh berkat jaringan jalan dan jalur kereta api bawah tanah. Warga mengandalkan kereta bawah tanah untuk bepergian. Jika hendak menuju stasiun, warga akan memilih naik mobil atau taksi. Tapi tak semua warga punya mobil dan sanggup bayar taksi terus-menerus. Nah, bagaimana jika warga tak perlu lagi menggunakan taksi atau mobil saat hendak menuju stasiun? Bagaimana jika warga pun bisa membawa sepedanya ke dalam kereta untuk melanjutkan perjalanannya dari stasiun ke tempat tujuan? Di sinilah otak kreatif Andrew bekerja. Sebuah sepeda yang bisa dilipat atau bahkan dimasukkan dalam koper! Bukan yang Pertama Sepeda lipat sebenarnya telah muncul sejak 1887. Penemunya orang Amerika bernama Emmit G. Latta. Penemuannya memungkinkan orang melipat sepeda saat tak digunakan. Saat itu ukuran sepeda lebih besar dari sekarang. Lipatan itu tak mengubah ketinggian sepeda, melainkan memperpendeknya sehingga sedikit menghemat ruang penyimpanan. Penemuan teknologi sepeda lipat terus berkembang. Para insinyur melakukan penyempurnaan pada titik lipatannya. Kaprah pada masa itu sepeda lipat sering rusak pada titik lipatan. Insinyur juga berpikir untuk memperkecil ukuran sepeda dari sisi lebar dan tingginya. Tak cuma panjangnya. Pemakai sepeda lipat pertama berasal dari kalangan militer. “Tapi desainnya benar-benar tak praktis,” sebut Suze Clemitson dalam A History of Cycling in 100 Objects . Melalui berbagai penyempurnaan teknologi, sepeda lipat untuk masyarakat sipil jauh lebih praktis. Pada 1970-an, sepeda jenis ini di Amerika Serikat lebih sohor dengan nama pocket bicycle atau sepeda kantong. “Dapat dimasukkan ke dalam kopor kecil yang biasa dipakai orang ke luar kota untuk kunjungan singkat,” catat Anwari dalam Sejarah Sepeda dari Masa ke Masa . Melipatnya cukup dengan tiga gerakan dan hanya memerlukan waktu 20 detik. Sepeda buatan pabrik Hub & Axel Bicycle Works Inc. beredar secara terbatas. Harganya US750 dolar atau sekira Rp480.000 setara dengan Rp10,8 juta nilai uang sekarang. Cukup mahal untuk zaman itu. Tapi lembaga konsumen Amerika justru tak menyarankan masyarakat memakai sepeda mahal itu. Menurut mereka, masih ada kemungkinan engsel lipatannya lepas. Di Inggris, dalam dekade 1970-an, warga mulai memakai sepeda lipat merek Bickerton. Inilah sepeda pertama yang panjang, lebar, dan tingginya benar-benar menyusut. Sepeda ini cocok untuk warga penghuni apartemen kecil. Tetapi sepeda ini tidak cukup kecil untuk masuk ke kereta bawah tanah. Penjualannya tak banyak. Pabriknya pun bangkrut. Andrew menyadari kegagalan dan kelemahan sepeda lipat generasi terdahulu. Dia bekerja siang-malam di apartemen mungilnya untuk membuat sepeda lipat terbaru. Dia menghitung secara presisi bagian mana yang seharusnya bisa dijadikan lipatan. Termasuk pula bahan seperti apa yang kuat untuk menopang pengendaranya. Bahan itu mesti enteng juga sehingga orang tak kepayahan ketika berkendara atau mengangkatnya. Gaya Hidup Pada akhirnya, Andrew berhasil menciptakan sepeda impiannya. Dia menamai sepeda itu Brompton, merujuk pada nama gereja Brompton Oratory di seberang apartemennya. “Saya telah menciptakan karpet ajaib yang bisa anda simpan di saku. Hal lama yang diimpikan oleh banyak orang,” kata Andrew dalam wawancara dengan Kate Abbot, jurnalis guardian.com . Rancangan Brompton tak banyak berubah dari tahun ke tahun. Matematika dasar, geometri, dan tekniknya telah begitu sempurna. Dengan begitu, orang tak akan melihat banyak perbedaan pada Brompton lama dan baru. Tetapi kualitas bagian sepeda itu terus meningkat. Untuk semua upaya keras dan fokusnya pada kualitas, Andrew membanderol Brompton dengan harga tinggi. Brompton tak lekas meraih pasaran di negeri asalnya. Reputasi Brompton menjalar dari mulut ke mulut secara perlahan hingga akhirnya menjadi yang tersohor di dalam negeri dan mendapat pasaran ekspor. “Butuh 30 tahun dan sekarang kami mengekspor 80% sepeda kami,” kata Will Carleysmith, kepala desain Brompton, kepada Kate Abbot. Ekspor Brompton bahkan sampai ke kutub selatan. Pembelinya seorang peneliti. Di Jepang, Brompton membuat fenomena baru. Orang-orang di sana telah lama karib dengan sepeda. Kebanyakan sepedanya model angsa dengan keranjang di depan. Pemerintah menyediakan fasilitas sepeda cukup lengkap, mulai dari tempat parkir sampai jalur khusus. Lalu Brompton masuk dan menjadi bagian gaya hidup baru orang Jepang. Di Indonesia, sepeda lipat masuk pada pertengahan dekade 2000-an. Sepeda lipat menantang dominasi sepeda gunung, balap, dan kumbang. Kebanyakan pemakainya berada di kota. Memasuki dekade 2010-an, Brompton menjelajah Indonesia, seiring tumbuhnya gairah bersepeda orang-orang di kota. Brompton memperoleh tempat lapang di kalangan pesepeda. Kelas menengah dan atas sanggup menebusnya. Meski kadang mereka harus membohongi istrinya tentang harga sepeda itu. Harga Rp25 juta dibilang hanya Rp5 juta, harga yang normal untuk sepeda lipat kebanyakan. "Ini kebanyakan penyakit pesepeda," kata Sofian Purnama, pengguna sepeda harian sekaligus pengajar pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Kini Brompton sudah jamak tersua di jalanan kota-kota besar. Ia tak hanya menjadi gaya hidup, tapi juga simbol status, pencapaian, dan gambaran tumbuh suburnya kelas menengah dan atas di kota-kota besar.
- Menyelamatkan Garuda Indonesia dari Kebangkrutan
Menteri BUMN Erick Thohir memecat Dirut Garuda Indonesia I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra atau Ari Askhara karena menyelundupkan Harley Davidson. Berdasaran hasil pemeriksaan Komite Audit, Erick mengungkapkan bahwa Harley Davidson itu pesanan Ari melalui pegawainya berinisial SAW. Motor yang dibeli pada April 2019 itu diangkut dalam penerbangan Garuda Indonesia menggunakan pesawat baru Airbus A330-900 pada 17 November 2019. Jajaran direksi ikut dalam penerbangan itu. Pemberhentian dirut Garuda itu mengingatkan kita pada peristiwa serupa meski kasusnya beda oleh menteri BUMN pertama, Tanri Abeng. Dia menjadi menteri BUMN pada saat krisis ekonomi, dari Maret 1998 sampai Oktober 1999. Setelah diangkat menjadi menteri BUMN, Tanri Abeng bertemu empat mata untuk kedua kalinya dengan Presiden Soeharto. Ketika Tanri Abeng akan pulang, Soeharto memberikan sebuah map. “Ini tentang Garuda yang akan dibangkrutkan oleh krediturnya. Tugas saudara menyelamatkan agar Garuda tidak di- grounded karena Garuda membawa bendera Republik,” kata Soeharto. Menteri BUMN Tanri Abeng bertemu Presiden Soeharto. (Repro Pak Harto: The Untold Stories ). Tanri Abeng mempelajari berkas itu di mobil. Ternyata sudah tujuh tahun Garuda Indonesia merugi. Selama itu kerugian yang ditanggung maskapai penerbangan nasional itu ditutup dengan utang dolar. Kondisinya menjadi sangat parah ketika nilai tukar rupiah meroket menjadi Rp15.000 per dolar Amerika Serikat. “Itulah yang terjadi, di hari kelima saya bertugas sebagai praktisi manajemen di bawah kepemimpinan Pak Harto, saya sudah harus membenahi kemelut yang begitu kompleks di ranah kerja orang lain,” kata Tanri Abeng dalam tulisannya di buku Pak Harto: The Untold Stories . “Perusahaan adalah sebaik pemimpinnya –prinsip manajemen ini melintas di kepala saya,” kata Tanri Abeng. “Data-data dari berkas di tangan saya memperlihatkan tidak satu pun dari direksi Garuda Indonesia saat itu yang tahu duduk persoalannya. Maka seluruhnya harus diganti!” Tanri Abeng kembali ke kantornya yang masih menumpang di Bappenas. Dia membicarakannya dengan pembantunya, Marzuki Usman dan Barcelius Ruru. Mereka memiliki pandangan yang sama: seluruh direksi harus diganti. Namun ada usulan untuk tidak mengganti dirutnya karena dia mantan ajudan Soeharto yang baru saja ditempatkan di sana. “Konon tidak ada yang bisa menggeser mantan ajudan yang ditugaskan Pak Harto di suatu tempat,” kata Tanri Abeng. Namun, situasinya saat itu mengharuskan Tanri Abeng memilih seorang praktisi yang kompeten dan disukai pasar. Dia memutuskan mengambil risiko itu. Dengan gugup dia memaparkan usulan pembenahan Garuda kepada Soeharto. Soeharto mendengarkan kemudian tersenyum dan mengatakan, “Mengapa hanya dirutnya? Ganti seluruh direksi, di situ sudah lama ada mafia.” Hari itu juga Soeharto menyetujui pergantian dirut Garuda. Soeharto menyerahkan sepenuhnya kepada Tanri Abeng untuk memilih dirut Garuda yang baru. Begitu pula tim yang akan membantunya. Dia mengajukan satu nama, Robby Djohan, seorang bankir dengan reputasi cemerlang saat itu. “Saya pikir, untuk mendinginkan para kreditur Garuda waktu itu, diperlukan seorang bankir yang kredibel. Dia harus seorang yang tahu, tegas, keras, jelas, dan tidak ada KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).” Robby Djohan, Direktur Utama Garuda Indonesia (Februari-Oktober 1998). ( katadata.co.id / syuef.blogspot.co.id ). Robby sendiri mengajukan syarat dibolehkan memilih sendiri anggota direksinya. Dia kaget ketika disetujui. Mungkin dia pikir, hebat sekali menteri ini, padahal Soeharto memang telah memberikan wewenang penuh kepada Tanri Abeng untuk membenahi Garuda. Salah satu yang ditarik Robby adalah Emirsyah Satar yang saat itu bekerja di Bank Niaga cabang Hongkong. Emir ditempatkan sebagai direktur keuangan. Karier Emir sampai puncak hingga menjadi dirut Garuda pada 2005. Dia menjadi salah satu dirut Garuda terlama, hampir sepuluh tahun. Sebelum masa jabatannya habis, dia mengundurkan diri pada 2014. Tiga tahun kemudian, pada Januari 2017, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkannya sebagai tersangka kasus suap dan pencucian uang dalam pengadaan pesawat dan mesin pesawat dari Airbus SAS dan Rolls-Royce PLC. Emir digantikan Arif Wibowo yang menjabat selama tiga tahun (2014-2017). Menteri BUMN Rini Soemarno mencopotnya dan menggantinya dengan Pahala N. Mansury, yang sebelumnya menjabat direktur keuangan Bank Mandiri. Rini kemudian mencopot Pahala dan menggantinya dengan Ari Askhara pada September 2018. Dan kini Ari dicopot oleh menteri BUMN yang baru, Erick Thohir. Dalam memilih dirut Garuda yang baru, barangkali Erick Thohir dapat berpegang pada prinsip Tanri Abeng: “perusahaan adalah sebaik pemimpinnya.” Dengan prinsip itu, Tanri Abeng menunjuk Robby Djohan sebagai dirut Garuda pada Februari 1998. Dalam obituari di katadata.co.id disebut bahwa Robby Djohan berhasil menyelamatkan Garuda dari kebangkrutan. Tak sampai setahun memimpin Garuda, dia berhasil merestrukturisasi dan meminta penjadwalan ulang utang Garuda yang mencapai ratusan juta dolar kepada para kreditur asing. Setelah menyelamatkan Garuda, Robby menjadi dirut Bank Mandiri pada November 1998. Dialah yang memimpin proses berdirinya Bank Mandiri sebagai hasil merger empat bank yang tengah sakit. Robby Djohan yang diakui sebagai guru para bankir meninggal dunia pada 13 Mei 2016.
- Duet Pengusaha Indonesia Selundupkan Senjata
DI tengah misinya menyelundupkan senjata di Jakarta untuk ALRI Tegal pada 1946, Hasjim Ning, keponakan Bung Hatta yang menjadi penguasaha nasional berjuluk “Raja Mobil Indonesia”, bertemu dengan pengusaha kawakan Mutalib. Pengusaha itu memperkenalkan Hasjim pada relasi-relasi bisnisnya orang-orang India di Pasar Baru, Jakarta. Hasjim, yang senang bergaul, tentu menyambut gembira upaya Mutalib itu. Dari pergaulannya dengan para pedagang India itulah kemudian jalan Hasjim sebagai penyelundup kiriman ALRI Tegal kian terbuka. Para pedagang India itu memperkenalkan Hasjim pada serdadu-serdadu Inggris asal India. Sudah bukan rahasia bila banyak serdadu Inggris asal India yang membelot ke pihak Republik Indonesia. “Secara keseluruhan, ada 746 serdadu India desersi. Dari total 45.000 prajurit, ini sekitar 1,7 persen,” tulis Richard McMillan dalam The British Occupation of Indonesia: 1945-1946 . Alasan desersi itu macam-macam, mulai dari tak ingin memerangi sesama Muslim, mendapatkan perempuan, hingga mencari keuntungan materiil. Dari para serdadu yang mencari keuntungan itulah Hasjim membeli senjata untuk ALRI Tegal. “Senjata yang aku beli dari tentara Inggris itu umumnya dalam partai kecil-kecil saja. Mereka menjualnya karena memerlukan uang untuk plesiran,” kata Hasjim dalam otobiografinya Pasang Surut Pengusaha Pejuang . Posisi rendah para serdadu asal India itu membuat mereka tak bisa “bisnis” dalam partai besar. “Bisnis” skala besar Hasjim yakin hanya bisa dilakukan perwira Inggris kulit putih. Hasjim tak tahu apakah ada perwira Inggris kulit putih yang rela “menjual negerinya” demi mendapat keuntungan materi. Namun, di masa revolusi apapun bisa terjadi. Seperti sebuah undangan yang didapatnya dari pengusaha Agus Dasaad. “Suatu senja Dasaad mengundangku datang ke rumahnya. Di sana aku dapati seorang mayor Inggris. Ia datang bersama istrinya,” sambung Hasjim. Dari pembicaraan dengan Dasaad dan si mayor itu, Hasjim menjadi tahu bahwa sang mayor akan pulang ke negerinya dan keluar dari dinas militer. Untuk itu, ia memerlukan banyak uang. “Ia punya senjata. Dan ia tahu Republik memerlukannya. Dan ia akan menyerahkan senjata itu kalau diberi uang,” kata Hasjim. Si mayor juga mengatakan di jipnya sudah ada satu peti berisi beberapa stengun berikut pelurunya. Peti itu akan ditinggalkannya saat itu juga bila dia diberi uang. Namun keinginan mayor itu segera ditolak Dasaad dan Hasjim. “Jangan sekarang. Aku tidak bawa uang,” kata Hasjim. Kesepakatan lanjutanpun mereka buat. Hasjim bersedia membeli lebih banyak senjata namun tak ingin senapan. Menurutnya, panjangnya senapan membuatnya sulit untuk menyelundupkannya ke Tegal mengingat pengangkutan mesti menggunakan jalur darat sementara pemeriksaan Belanda begitu ketat di berbagai tempat. Penjelasan Hasjim membuat sang mayor bersemangat. Bukan perkara sulit baginya mengambil senjata dari gudang lantaran dia berasal dari bagian persenjataan. Selama 20 hari dengan dicicil, mayor itu terus mengantarkan senjata pesanan Hasjim ke rumah Dasaad pada waktu senja. “Kalau aku yang datang lebih dahulu ke rumah Dasaad, pintu jipnya akan selalu tepat di dekat pintu sedanku. Kalau ia yang datang lebih dahulu, maka aku memarkir sedanku di sisi mobilnya. Peti-peti itu dipindahkan menjelang kami akan berpisah. Dasaad dengan Maria (istri mayor, red .) akan berdiri melindungi pandangan orang dari jalan sambil mengobrol. Sedang mayor itu menurunkannya dari jipnya dan aku menyambutnya dalam sedanku.” Setelah proses pemindahan senjata selesai, Dasaad menalangi pembayarannya. Biasanya dia menyerahkan uangnya kepada Maria sambil bersalaman ketika hendak pamitan. Uang itu akan diganti Hasjim dengan cara dicicil begitu telah mendapat kiriman dari Lip Seng & Co, rekanan ALRI Tegal di Glodok. Hasjim yang menyimpan senjata-senjata itu di berbagai tempat, akan membawanya ke Tegal dengan menumpang Keretaapi Luar Biasa (KLB). KLB akan membawa delegasi pemerintah Sjahrir berikut beberapa wartawan asing ke Ibukota Yogyakarta. “Biasanya penjagaan di stasiun akan lebih longgar.” Namun yang jadi permasalahan buat Hasjim adalah, bagaimana membawa peti-peti berisi senjata itu ke gerbong-gerbong KLB. Hasjim pun mendiskusikannya dengan Alinoor Ludin, kawannya yang bekerja sebagai kepala bengkel keretaapi di Stasiun Manggarai. “Serahkan padaku. Aku jamin beres,” kata Alinoor. Sesuai arahan Alinoor, dibantu beberapa kawan Hasjim pun memasukkan peti-peti senjata itu ke sebuah lokomotif rusak di Manggarai. Lokomotif itu memang direncanakan akan dikirim ke Yogya. Ia lalu dipindahkan ke Stasiun Jatinegara. Di stasiun inilah lokomotif rusak itu disambung dengan rangkaian KLB untuk dibawa ke Yogya. “Akan tetapi sejata itu tidak bisa aku serahkan ke Darwis Djamin di Tegal, karena beberapa bulan sebelumnya ia ditangkap sehubungan kegiatannya bersama Tan Malaka pada peristiwa 3 Juli 1946. Senjata itu aku serahkan pada Laksamana Nazir beserta laporan pertanggungjawaban keuangannya,” kata Hasjim.
- Lionel Messi, Alien Sepakbola yang Membumi
TAK bisa dipungkiri, Lionel Messi merupakan maestro lapangan yang bakal meninggalkan warisan legendaris. Beragam gelar tampak sangat biasa buat La Pulga alias si kutu, julukan Messi. Buktinya, saat memenangkan trofi Ballon d’Or keenamnya pada 2 Desember 2019 lalu. Entah sudah berapa pujian yang mengalir padanya, baik dari sesama pemain maupun pelatih-pelatih dunia. Tak sedikit yang bilang Messi bukan manusia, melainkan alien dari planet lain, saking jeniusnya Messi di lapangan hijau bersama klubnya, Barcelona. Bintang Liga Indonesia era 1990-an asal Brasil Luciano Leandro menganalogikan Messi ibarat legenda Argentina Diego Maradona. Persaingan Messi dengan superstar Brasil Neymar Jr diibaratkannya dengan rivalitas Maradona-Pelé di masa lampau. “Dulu saya melihat Pelé nomor satu, Maradona nomor dua. Sekarang Messi nomor satu, Neymar nomor dua. Karena Messi sejak anak sudah belajar di akademi terbaik, La Masia, dengan pemain-pemain kualitas tinggi. Style Messi kalau dribbling dan control bola dekat dan rapat sekali, sulit hilang bolanya. Beda dengan Neymar yang dribbling jauh. Dua pemain ini luar biasa walau beda tekniknya,” ujar Luci kepada Historia . Hati dan Mental Baja Superman, superhero dalam Man of Steel (2013) garapan Zack Snyder, mungkin sosok paling pas dipinjam untuk menggambarkan Messi. Selain selalu mampu bergerak secepat kilat, Messi juga punya mental baja. Mental itulah yang membuat Messi berhasil melewati kehidupan sulit di masa kanak-kanaknya lantaran kondisi fisiknya. Lionel Andrés Messi Cuccittini lahir pada 24 Juni 1987 di kota Rosario, Santa Fe, Argentina. Leo, begitu biasa dia disapa, merupakan anak ketiga dari empat bersaudara yang dilahirkan pasutri Jorge Horacio Messi, seorang buruh pabrik baja dan, Celia Maria Cuccittini Oliveria, seorang cleaning service paruh waktu. Kolase Lionel Messi dan enam kali raihan Ballon d'Or sejak 2009 (Foto: fcbarcelona.com ) Sebagaimana mayoritas penduduk Rosario, Messi punya darah Italia yang sangat kental. Garis ibunya Italia, sementara dari garis ayahnya terkandung darah Italia-Spanyol. Disebutkan Khadija Ejaz dalam biografi Lionel Messi , sang bintang pun dilahirkan di rumahsakit yang namanya berbau Italia, Hospital Italiano Garibaldi de Rosario (kini Instituto Universitario Italiano de Rosario). “Rumahsakit Garibaldi di Jalan Visasoro 1249, mengambil nama dari Giuseppe Garibaldi. Figur penting militer dan politik Italia di abad ke-19. Saat rumahsakit itu dibangun pun (1892), populasi kotanya sudah 70 persen merupakan keturunan Italia,” ungkap Ejaz. Silsilah keluarga besar Messi, lanjut Ejaz, kakek dari garis ayahnya, Angelo Messi, bermigrasi dari Porto Recanti di Italia ke Argentina sejak 1883. Angelo Messi sendiri punya campuran darah Italia dan Katalan (Spanyol). Saat Messi lahir 32 tahun lampau, sepakbola di Argentina masih demam juara Piala Dunia yang diraih Maradona cs. setahun sebelumnya. “Namun di saat yang sama tahun 1987 juga bukan tahun yang baik buat Rosario. Demokrasi datang ke Argentina setelah lamanya rezim militer yang membuat rakyat menentang pemerintah. Unjuk rasa hingga kerusuhan acap pecah di Rosario. Bahkan Messi di hari lahirnya disambut ledakan dua bom akibat dampak kerusuhan di dua sudut kota,” sambung Ejaz. Sepakbola jadi hiburan terbaik bagi mayoritas keluarga kelas pekerja di masa itu. Messi kecil sendiri sudah dikenalkan dengan sepakbola sejak berulangtahun yang pertama, di mana sang ayah menghadiahinya jersey Newell’s Old Boys, klub yang digilai sang ayah. Saat berulangtahun yang ketiga, Messi dihadiahi bola pertamanya. Dari waktu ke waktu, bocah Messi selalu bermain-main dengan bolanya entah saat sendirian maupun saat ditemani kedua kakaknya, Rodrigo dan Matías. S kill Messi pun terbentuk secara otodidak. “Kami terkejut ketika melihat apa yang bisa dia lakukan dengan bola di usia segitu,” cetus Jorge Messi, dikutip jurnalis senior Italia Luca Caioli dalam Messi: The Inside Story of the Boy Who Became a Legend . Namun, karier sepakbola Messi bermula justru dari jasa sang nenek, Celia –yang amat dihormati Messi, sampai wajahnya dilukiskan lewat sebuah tato di punggung Messi. Celialah yang membawa Messi saat berusia empat tahun ke klub pertamanya, Abanderado Grandoli. Klub itu tak jauh dari tempat tinggal Messi. “’Biarkan dia bermain. Tolonglah, demi saya. Jika dia mulai menangis, baru kita lupakan permintaan saya,” kata pelatih Grandoli Salvador Ricardo Aparicio menirukan permintaan Celia, dinukil Haaretz , 7 Juni 2018. Aparicio mulanya ragu. Apalagi melihat postur Messi yang lebih pendek dari umumnya anak-anak usia empat tahun. Namun, keraguan itu buyar seketika begitu Aparicio melihat skill Messi saat di -trial. “Bola begitu lengket di kakinya dan dia selalu meninggalkan semua pemain; dia tak terbendung,” lanjutnya. Pada 1994, Messi digaet Newell’s. Namun tiga tahun menimba ilmu di Newell’s, keluarga Messi mendapat kabar tak mengenakkan dari tim dokter Newell’s yang mengatakan Messi punya kekurangan fisik. Saat usia 10 tahun, tinggi badan Messi hanya 125 cm atau 10 cm lebih pendek dari anak-anak lain di akademi Newell’s. Saat didiagnosa dokter ahli endokrin Diego Shwarzstein, Messi divonis mengidap Growth Hormone Deficiency (GHD) atau gangguan hormon tumbuh kembang. Penanganannya hanya bisa dilakukan dengan terapi suntik hormon yang memakan biaya hingga USD1.000 per bulan. Awalnya, sang ayah masih sanggup membiayai terapi Messi dengan sokongan asuransi kesehatan dari tempatnya bekerja. Pihak Newell’s juga berjanji ikut urun dana, kendati akhirnya tak pernah terbukti. Namun usaha pengobatan itu buyar begitu depresi ekonomi menghantam Argentina. Pilihan yang tersisa hanyalah mencari klub yang mau membiayai terapi Messi itu. Keberuntungan berpihak pada Messi. Saudara jauhnya dari pihak ayah di Katalan mendaftarkan Messi untuk trial di La Masia, akademi sepakbola milik Barcelona FC. Diantar sang ayah, Messi pun mengadu nasib menyeberangi Samudera Atlantik di usia 13 tahun, setelah mendapat konfirmasi trial dari direktur teknik Barcelona Carles Rexach. “Saya butuh uang untuk pengobatan saya, untuk membantu saya tetap tumbuh. Barcelona satu-satunya klub yang menawarkan bantuan itu,” kenang Messi dalam Lionel Messi: An Unauthorized Biography . Lionel Messi (kedua di barisan kiri bawah) saat masih berusia lima tahun di tim Grandoli dan saat Messi (kanan) menimba ilmu di La Masia (Foto: Repro "Lionel Messi"/Youtube FC Barcelona) Trial Messi pada September 2000 itu berjalan sukses. Bahkan meski beberapa rekannya di jajaran direksi masih meragukan umur dan status non-Eropa Messi, Rexach bersikukuh. Adanya ultimatum dari ayah Messi yang menuntut Barcelona memberi kepastian paling lambat 14 Desember 2000, membuat Rexach buru-buru menemui Messi di Restoran Minguella and Gaggioli hari itu juga. Rexach segera menawarkan Messi kontrak di sehelai kertas serbet gegara tak sempat membawa kertas kontrak resmi. Awal tahun 2001 itu pun Messi resmi pindah ke Barcelona. Namun persoalan tak berhenti di situ. Kontrak yang ditandatangani pihak Barcelona dan Messi masih sekadar kontrak individu. Dokumen transfer dari Newell’s ke Barcelona masih terkendala. Akibatnya Messi jarang bisa tampil di tim muda Barcelona. “Selain masalah dokumen, Messi juga sempat cedera. Ayahnya menyarankan Messi untuk pulang, namun Lionel bertahan; di balik sifat malu-malunya, dia punya mental baja,” sebut kolumnis Independent dalam tajuknya yang dimuat 11 Juli 2014, “Lionel Messi: The World at His Feet”. Keputusan Messi benar. Begitu urusan dokumennya rampung, Messi langsung melesat dari akademi La Masia di tim Cadete, Juvenil A, Juvenil B, Barcelona C, Barcelona B, hingga menembus tim utama Barcelona. Tepat di usia 16 tahun empat bulan dan 23 hari, Messi melakoni debutnya di La Liga , kontra Espanyol, 16 Oktober 2004. Ia dimasukkan entrenador (pelatih) Frank Rijkaard di menit ke-82 menggantikan Deco Souza. Momen ini menjadi gerbang bagi Messi untuk terus melahirkan prestasi demi prestasi, mulai dari koleksi golnya yang mencapai 461 (per November 2019) hingga sederet gelar lokal, regional, maupun internasional. Messi bahkan sering diminta menjadi duta UNICEF. Oleh karena besarnya jasa dan kepercayaan Barcelona kepadanya, hingga kini kesetiaan Messi pada klub tetap besar. Dia mungkin akan menghabiskan kariernya di klub yang telah membesarkan namanya itu. “Saya membuat pengorbanan yang besar saat meninggalkan Argentina, meninggalkan keluarga untuk memulai hidup yang baru. Namun semua yang saya lakukan adalah untuk menggapai impian saya. Itu alasannya kenapa saya tak gemar berpesta atau hal-hal buruk lainnya,” tandas Messi.
- Isaac de Saint-Martin, Tuan Tanah Pengumpul Naskah
Pada Maret 1682, pasukan VOC berlayar menuju Banten. Mereka datang untuk membantu putra mahkota, Sultan Haji, yang berperang melawan ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa. Pada saat itu, Sultan Haji sudah terkepung di dalam istananya. Para pendukung Sultan Ageng Tirtayasa telah berhasil merebut kembali kota. VOC bersedia membantu dengan syarat para budak dan pembelot yang melarikan diri dari Batavia dikembalikan sekalipun mereka telah masuk Islam, para perompak dihukum dan VOC diberi ganti rugi, tuntutan Banten terhadap Cirebon ditarik kembali, keterlibatan dalam masalah Mataram dihentikan, dan yang terpenting orang-orang Eropa saingan VOC diusir dari pelabuhan Banten. Dengan kata lain, menurut sejarawan M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004 , VOC berjanji akan membantu putra mahkota apabila dia mau melepaskan kebijakan luar negeri Banten yang bebas dan melepaskan basis kemakmurannya. Karena posisinya semakin sulit, akhirnya sang pangeran terpaksa menerima semua persyaratan itu. Artileri VOC memaksa Sultan Ageng Tirtayasa keluar dari kediamannya. Setelah dikejar sampai ke daerah-daerah pegunungan, dia pun menyerah pada Maret 1683. Dia ditahan di Banten, kemudian dipindahkan ke Batavia, tempatnya wafat pada 1695. Salah satu pemimpin pasukan VOC itu adalah Isaac de l’Ostale de Saint-Martin. Dia lahir di Oloron, Bearn, Prancis, pada 1629, dari keluarga bangsawan Huguenot (Calvinis). Tak diketahui kapan dia pergi ke Belanda. Setelah menjalani pelatihan di Angkatan Darat Belanda, dia berangkat ke Batavia. Dia terlibat dalam berbagai ekspedisi militer VOC. Saint-Martin menjadi letnan di Batavia pada 1662. Dia bertugas di bawah Laksamana Rijcklof van Goens (kemudian menjadi gubernur jenderal VOC 1678-1681) dalam melawan Portugis di pantai barat India. Pada 1663, dia ikut merebut Cochin (Kochi) di Kerala, India. Setelah itu, dia ditugaskan di Kolombo, Ceylon (Srilanka) hingga tahun 1672. Saint-Martin kembali ke Batavia sebagai kapten, kemudian mayor. Dia kembali terlibat ekspedisi militer VOC dengan membantu Kerajaan Mataram melawan Trunajaya pada 1675. Setelah itu, dia ikut dalam serangan ke Ternate pada 1679. “Pada tahun 1682, dia memimpin serangan melawan Sultan Ageng Tirtayasa di Banten,” tulis sejarawan Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Batas-Batas Pembaratan . Setelah VOC berhasil menguasai Banten dengan membantu Sultan Haji, Saint-Martin kembali ke Belanda. Pada 1683, dia tinggal di Utrecht dengan rekannya, Hendrik van Rheede, seorang naturalis. Seperti temannya itu, dia tertarik pada botani. Pada 1684, Saint-Martin berlayar lagi ke Batavia. Namun, tak lama kemudian, dia pergi ke Tanjung Harapan. Pada 1685, dia bersama Simon van der Stel, gubernur Belanda pertama di Tanjung Harapan, melakukan perjalanan ke utara untuk mencari tanaman medis atau ekonomis. Sebuah lembah di utara Piketberg (kota di Western Cape, Afrika Selatan) dinamai Lostal, nama panggilan Saint-Martin. Tanah dan Naskah Ketika kembali ke Batavia, Saint-Martin menjadi anggota Dewan Hindia. Sebagai pejabat tentu dia memiliki tanah yang luas di beberapa tempat, seperti di pinggir sebelah timur sungai Bekasi, di Cinere (dulu disebut Ci Kanyere), sebelah timur Sungai Krukut, di Tegalangus, dan di kawasan Ancol. Luas seluruhnya ribuan hektar. “Satu di antaranya terletak di bekas bandara Kemayoran, dan hampir dapat dipastikan bahwa nama tempat tersebut berhubungan dengan pangkatnya (tanah milik Mayor),” tulis Lombard. Nama kawasan tersebut biasa disebut Mayoran, seperti tercantum dalam Plakaatboek dan sebuah iklan pada Java Government Gazette , 24 Februari 1816. Saint-Martin tertarik pada botani. Dia membantu Georg Eberhard Rumphius yang buta, seorang ahli botani Jerman yang meneliti di Pulau Ambon, dalam menyusun dan menerbitkan buku-bukunya. Selain menaruh minat pada botani, menurut Lombard, Saint-Martin terkenal karena penguasaannya yang luar biasa atas bahasa-bahasa setempat ( perfecte taalkunde en goeden ommeganck met die natie , demikian menurut sebuah teks tahun 1682), dan dalam pelbagai kesempatan bertindak sebagai juru bahasa. Sejarawan Michael Laffan dalam Sejarah Islam di Nusantara lebih spesifik menyebut bahwa “Saint-Martin secara lokal dikenal sebagai pakar mengenai bahasa dan kebudayaan orang-orang Banten…” Saint-Martin juga mengumpulkan naskah-naskah terutama Melayu. Menurut Laffan, komandan garnisun Batavia itu mengoleksi sekitar 89 manuskrip berbahasa Melayu dan Jawa. Manuskrip-manuskrip ini yang menjadi tulang punggung koleksi Sekretariat Jenderal Batavia. Daftar naskah-naskah Melayu itu disusun oleh M. Leydecker dan C. Mutter pada Mei 1696, kira-kira sebulan setelah Saint-Martin meninggal dunia pada 14 April 1696. Daftar itu memuat kurang lebih 60 naskah Melayu. Menurut Henri Chambert-Loir dan Oman Fathurahman dalam Khazanah Naskah: Panduan Koleksi Naskah-naskah Indonesia Sedunia , Philippus Samuel Van Ronkel yang menelitinya menyimpulkan bahwa koleksi Saint-Martin itu pernah menjadi milik pemerintah Hindia Belanda dan kemudian diboyong oleh Thomas Stamford Raffles ke Eropa. Sehingga naskah-naskahnya yang tersisa tersimpan di Royal Asiatic Society di London. Namun, P. Voorhoeve membuktikan bahwa penjelasan Van Ronkel keliru. Menurutnya daftar naskah-naskah Arab dan Melayu yang disuruh dipindahkan Raffles dari Arsip ke Bataviaasch Genootschap (kini Museum Nasional) susunan C.G.C. Reinwardt, di antara 78 naskah yang didaftarkan, terdapat kurang lebih 30 naskah yang berasal dari koleksi Saint-Martin. Dia menyimpulkan mungkin sekali hampir semua naskah tersebut hilang selama periode kemerosotan Bataviasch Genootschap dalam paruh pertama abad ke-19. Daftar naskah-naskah Melayu itu sebanyak 77 judul juga dimuat dalam buku tatabahasa Melayu, Maleische Spraakkunst (1736) karya G.H. Werndly, pendeta asal Swiss. Selain naskah-naskah itu, Saint-Martin mewariskan kepada saudaranya di Oloron, sekitar 1.200 buku dalam berbagai bahasa, seperti Ibrani, Arab, Persia, Portugis, termasuk Melayu. Dia salah satu yang pertama mengumpulkan buku-buku dalam bahasa Melayu. Rumah dan kebunnya di Kemayoran dengan paviliun Jepang dijual kepada Joan van Hoorn (kemudian menjadi gubernur jenderal 1704-1709), karena orang asing (saudaranya) tidak diizinkan memiliki properti di Batavia.
- Membangun Candi Borobudur
Tiga belas abad yang lalu, arsitek Candi Borobudur mempunyai ambisi besar untuk menyulap bukit setinggi 30 meter menjadi sebuah candi yang berbeda dari candi-candi pada umumnya. Konstruksi ini rupanya cukup berisiko sehingga harus mengorbankan relief-relief di kaki candinya. Candi Borobudur telah menarik perhatian para peneliti Belanda. Salah satunya Jan Willem Ijzerman, ketua Archaelogische Vereeniging di Yogyakarta. Ketika melakukan penelitian, secara tak sengaja Ijzerman menemukan sejumlah relief di kaki candi pada 1885. Ia tertutup struktur batu selasar dan tangga. Dengan hati-hati pada 1890-1891, kaki Candi Borobudur pun dibongkar. Struktur batuan penyusun selasar yang menutup relief dibongkar secara bergantian, sebelum disusun kembali seperti semula. Ini untuk keperluan dokumentasi oleh Kassian Cephas, seorang fotografer pribumi Jawa. Tak bisa dipastikan alasan relief-relief yang memuat adegan dan ajaran hukum karma itu ditutup. Pasalnya, tak ada prasasti maupun catatan Belanda yang bisa menjelaskannya. “Apakah penambahan bagian kaki ini dilakukan pada masa generasi yang sama, atau pada generasi berikutnya? Kita belum tahu pasti,” ujar Marsis Sutopo, kepala Balai Konservasi Borobudur, melalui surel. Ada dua pendapat yang berkembang. Pertama, bagian kaki candi sengaja ditutup karena relief-relief yang kemudian dikenal sebagai relief Karmawibhangga itu terlalu vulgar. Relief itu dianggap memuat contoh perbuatan buruk manusia. Namun, pendapat ini sangat lemah. Relief Karmawibhangga justru memuat ajaran agama Buddha yang harus diketahui masyarakat. Kedua, terkait pertimbangan konstruksi, yakni rawan longsor. Struktur tambahan ini bisa jadi difungsikan untuk melindungi candi dari gempa atau mencegah candi mengalami pergeseran. Penambahan dinding pada dasar candi dilakukan agar konstruksi candi semakin kokoh. “Menurut penelitian, setidaknya Borobudur dibangun melalui empat tahap, dengan dua kali pembangunan tambahan bagian kaki. Makanya sekarang kita lihat bagian kaki tambahan candi terdiri dari dua lantai,” ujar Marsis. Teknik sambungan Candi Borobudur. 1. Sambungan batu dengan tipe ekor burung. (Dok. BKPB). Dibangun di Bukit Penuh Risiko Bisa dimengerti mengapa pada akhirnya Candi Borobudur membutuhkan semacam struktur pengunci di bagian kakinya. Pasalnya, candi megah ini didirikan di atas sebuah bukit. Ia berupa tumpukan batu yang diletakkan membungkus bukit. Jadi, gundukan tanah bukit merupakan intinya. Artinya, bangunan ini bukanlah tumpukan batuan yang masif. Menurut Noerhadi Magetsari, Guru Besar Arkeologi dari Universitas Indonesia, dalam “Candi Borobudur dan Rekonstruksi Pendiriannya”termuat di 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur, karena memanfaatkan sebuah bukit alami, pada saat membangun candi ternyata ditemukan bagian-bagian bukit yang cekung dan tidak rata permukaannya. Karenanya, bagian yang cekung itu harus ditimbun dengan tanah agar mendapat bentuk yang sesuai keinginan. Ini adalah pekerjaan tambahan yang entah dibutuhkan berapa banyak tanah untuk menimbunnya. Pun tak terbayangkan juga berapa banyak tenaga pikul yang dikerahkan untuk mengerjakannya. “Kita hanya dapat membayangkan berapa besar kesukaran yang harus ditanggulangi, mengingat bahwa bagian-bagian bukit yang harus ditimbun itu berada di bagian atas,” ujar Noerhadi. Menurut Noerhadi, bagian bukit yang ditimbun itu di kemudian hari menimbulkan kerusakan sisi candi yang dibangun di atasnya. Masalahnya ternyata, timbunan tanah itu longsor sehingga bagian candi di atasnya melesak. Pada pemugaran yang kedua, timbunan tanah itu diganti dengan struktur beton. Teknik sambungan Candi Borobudur. 2. Sambungan batu dengan tipe takikan. (Dok. BKPB). Dengan segala pertimbangan risiko itu, tentunya pilihan para arsitek untuk memanfaatkan bentuk asli bukit bukannya tanpa alasan. Bukit Borobudur yang terpilih untuk dijadikan pondasi candi bukan sembarang bukit. Ia adalah bukit yang menurut kepercayaan setempat dianggap suci. “Apabila kita mengacu pada sejarah bangunan keagamaan di Eropa, telah menjadi kelaziman dalam mendirikan bangunan keagamaan memanfaatkan bangunan suci dari kepercayaan sebelumnya,” Noerhadi. Dari sejarah bangunan keagamaan di Nusantara, tradisi untuk membangun bukit menjadi bangunan berundak telah lama dikenal. Di era sebelum Candi Borobudur, ada Punden Lulumpang di daerah Garut. Di era sesudah Borobudur, ada bangunan suci dari abad ke-15 yang berada di lereng Gunung Penanggungan. “Atas dasar ini, maka tidak tertutup kemungkinan bahwa Bukit Borobudur pada awalnya memang merupakan sebuah bangunan berundak, walaupun secara arkeologis belum dapat dibuktikan,” jelas Noerhadi. Teknik sambungan Candi Borobudur. 3. Sambungan dengan tipe alur dan lidah. (Dok. BKPB). Tanpa Semen, Tanpa Putih Telur Lucunya, masih banyak orang yang percaya batuan candi direkatkan dengan putih telur ayam. Agus Aris Munandar, arkeolog Universitas Indonesia, melihat ini berawal dari kebiasaan masyarakat merekatkan kaca patri dengan putih telur ayam. Nyatanya, bahan perekat pada candi tak pernah ditemukan. Untuk candi berbahan bata, “perekat” dihasi l kan dari rontokkan bata yang saling digesekkan lalu diber i air. Sementara pada candi berbahan batu, “perekatan” dilakukan dengan teknik sambung. Batu dipahat sedemikian rupa agar antar batu bisa saling mengisi dan mengunci. Dalam Kearsitekturan Candi Borobudur, yang disusun Balai Konservasi Peninggalan Borobudur, dijelaskan kalau pada Candi Borobudur batuan andesit ditata dengan pola susun batu arah horizontal. Jenis sambungan batu yang ada pada Candi Borobudur ada empat. Pertama , sambungan batu dengan bentuk seperti ekor burung. Sambungan tipe ini dijumpai hampir pada setiap sambungan batu di dinding. Kedua , sambungan batu dengan tipe takikan. Jenis ini banyak terdapat pada bagian hiasan kepala kala, relung, dan gapura. Ketiga,sambungan dengan tipe alur dan lidah. Ini terdapat pada pagar selasar dan batu ornamen Makara di kanan dan kiri tangga dan selasar. Keempat,sambungan batu dengan tipe purus dan lubang. Ini banyak terdapat pada batu antefik, yaitu hiasan di luar candi yang berbentuk segitiga meruncing. Tipe sambungan ini juga dipakai pada kemuncak pagar langkan. “Makanya kalau ada gempa nggak mudah rusak,” jelas Agus. Teknik sambungan Candi Borobudur. 4. Sambungan batu dengan tipe purus dan lubang. (Dok. BKPB) Sementara untuk menutup Bukit Borobudur, diperlukan batuan andesit berbentuk balok sebanyak 55.000 m3. Batuan andesit adalah bahan bangunan yang umum dijumpai pada candi di wilayah Jawa Tengah. Batuan andesit itu harus terlebih dahulu ditambang. Namun,menurut Noerhadi, penambangan tidak dilakukan di sekitar Bukit Borobudur karena di sana tak bisa ditemukan sumber batu yang diperlukan. Di lokasi penambangan, para ahli pahat membuat balok-balok batu. “Entah berapa lama yang mereka perlukan guna menghasilkan 55.000 m3 balok batu, mengingat pemahatan hanya dilakukan dengan mempergunakan pahat dan palu,” jelas Noerhadi. Setelah pemahatan selesai balok-balok batu itu dipikul ke kaki bukit. Berkaca dari pengalaman pemugaran Candi Borobudur yang kedua, yaitu pada 1973-1983, untuk memindahkan sebuah balok batu diperlukan empat orang untuk memikulnya. Sampai di kaki bukit, balok-balok batu itu masih harus dipikul lagi ke atas bukit untuk diserahkan kepada para ahli bangunan. “Marilah tidak kita bayangkan bahwa selama proses pembangunan ini berlangsung tidak ada di antara mereka yang tewas akibat terpeleset dan kemudian jatuh dan tertimpa batu yang dipikulnya,” lanjut Noerhadi. Balok-balok batu itu lalu “ditempel” di sekeliling bukit hingga seluruhnya tertutup susunan balok yang membentuk bangunan berundak segi delapan. Puncaknya, di ketinggian 30 m eter , dipasang sebuah stupa. “Sampai di sini membayangkan pun saya tidak mampu bagaimana mereka dapat melaksanakannya,” lanjut Noerhadi.






















