Hasil pencarian
9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Isu PKI Buat Jokowi
KETIKA bertemu Presiden Joko Widodo di Jawa Timur pada Oktober 2018, La Nyalla Mahmud Mattaliti menyatakan rasa penyesalan atas prilakunya di masa lalu. Sebagai oposan, dia mengakui pada Pilpres 2014 telah ikut menyebarkan isu bahwa Jokowi adalah keturunan anggota PKI (Partai Komunis Indonesia). "Saya minta maaf karena pernah ikut menyebarkan informasi-informasi negatif, termasuk isu-isu Jokowi keturunan dan pendukung PKI saat Pilpres yang lalu," ujar La Nyalla seperti diberitakan Antara pada Minggu (28/10/2018). Mantan walikota Solo itu menyambut baik permintaan maaf La Nyalla. Menurut eks politisi Partai Gerindra tersebut, Jokowi menyatakan sudah melupakannya dan tidak menanggapi berbagai fitnah terkait dirinya. Tokoh PKI Boyolali Isu Jokowi keturunan anggota PKI mulai tersebar sejak tabloid Obor Rakyat ( OR ), menurunkan sebuah tulisan mengenai riwayat calon presiden Joko Widodo pada Mei 2014 (dua bulan sebelum Pilpres 2014 berlangsung). Dalam sebuah artikelnya, OR menyebutkan bahwa Joko Widodo sejatinya bukan putra dari Widjiatno Notomihardjo melainkan putra salah seorang tokoh PKI bernama Oey Hong Leong. Dia juga disebut-sebut memiliki nama baptis: Hubertus Handoko. Tulisan lain menyebut bahwa Widjiatno Notomihardjo adalah Ketua OPR (Organisasi Perlawanan Rakyat) yang merupakan organisasi mantel dari PKI di Kabupaten Boyolali. Dia kemudian menikahi Sudjiatmi yang disebut-sebut juga merupakan Sekjen Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) yang lagi-lagi adalah onderbouw PKI. Pasca meletus peristiwa 30 September 1965, Widjiatno Notomihardjo lantas diburu oleh tentara dan sempat meluputkan diri ke hutan Gunung Merbabu selama 4 tahun. Versi ini sempat ditayangkan oleh situs berita pojoksatu.id berjudul “Ayah Jadi Pimpinan PKI Boyolali? Ini Kata Presiden Jokowi” pada Rabu, 30 September 2015 jam 14.28 WIB. Meskipun sudah dibantah langsung oleh pihak Presiden Jokowi, namun tak urung soal ini tetap diyakini kebenarannya oleh sebagian orang. Anehnya tuduhan itu tak pernah ditegaskan dalam suatu buku resmi atau tulisan ilmiah yang kadar kebenarannya bisa dipertanggungjawabkan. Jadilah isu itu tetap beredar dan menjadi santer kembali justru pada saat menjelang Pilpres 2019 yang akan berlangsung sebentar lagi. Anak Tukang Bambu Dalam biografinya, Jokowi sendiri tak pernah membahas afiliasi politik dari kedua orangtuanya. Dia hanya menyebut bahwa Widjiatno Notomihardjo dan Sudjiatmi merupakan orangtua yang baik dan bertanggungjawab terhadap anak-anaknya, terutama dalam soal pendidikan. Khusus mengenai ayahnya, Jokowi menggambarkannya sebagai seorang pekerja keras. Ketika anak-anaknya masih bersiap-siap untuk sarapan, sang ayah sudah menghilang di pagi hari guna bertarung mencari rezeki. Kesan yang terbangun, segala sepak terjang Notomihardjo saat itu sangat jauh dari hal-hal yang berbau politik. “Dia berjualan bambu dan kayu di lapak sederhana dalam pasar tak jauh dari rumah,” ungkap Jokowi seperti disampaikan kepada Alberthiene Endah dalam Jokowi Menuju Cahaya . Lantas apa yang terjadi dengan orangtua Jokowi usai insiden 30 September 1965 meletus? Belum jelas benar. Namun disebutkan bahwa di Kota Solo, lingkungan Jokowi tinggal kala itu, pembersihan terhadap orang-orang PKI memang berlangsung secara intens. “Bahkan beberapa tetangga keluarga Pak Noto waktu itu juga ditangkap karena dianggap sebagai anggota atau simpatisan PKI,” ungkap Wawan Mas’udi dan Akhmad Ramdhon dalam Jokowi, Dari Bantaran Kalianyar ke Istana: Mobilitas Vertikal Keluarga Jawa. Notomihardjo dan Sudjiatmi sendiri tak pernah sekalipun disentuh oleh tentara. Itu terjadi karena mereka memang tidak memiliki keterkaitan dengan Peristiwa 30 September 1965. Jika memang benar mereka adalah tokoh PKI, itu jelas suatu keanehan. Saat itu, alih-alih anggota PKI, seorang seniman profesional yang sama sekali bukan komunis pun bisa dipenjarakan tanpa pengadilan hanya karena dia pernah mengisi sebuah acara seni yang diadakan oleh PKI.
- Legenda Keroncong Itu Berpulang
DARI Surabaya, ia menapaki kebintangannya. Bermula dari pop, Mus Mulyadi hingga akhir hayatnya dikenal sebagai “Raja Keroncong”. Dalam beberapa kesempatan, mendiang juga dijuluki “Buaya Keroncong”, untuk mengingatkan pada kota kelahirannya. Hari ini, Kamis (11/4/2019), kakak maestro jazz Mus Mujiono itu berpulang di usia 73 tahun. Kabar duka itu datang dari putra keduanya, Erick Haryadi, melalui akun Instagram -nya. Mus Mulyadi mengembuskan nafas terakhir pada Kamis pagi di Rumah Sakit Pondok Indah karena penyakit diabetes. Pria kelahiran 14 Agustus 1945 itu lalu dimakamkan di Joglo, Jakarta Barat. Mus Mulyadi sudah berjuang melawan penyakitnya sejak 1984. Sejak itu, penglihatannya mulai terganggu. Bahkan pada 2004 mata kanannya sudah tak lagi bisa melihat dan lima tahun berselang mata kirinya juga tak lagi bisa berfungsi normal. Pun begitu, Mus Mulyadi tetap berkarya. Pada medio 1980-1985 ia bahkan mentas sampai ke Amerika Selatan, tempat banyak komunitas keturunan Jawa bermukim. “Ia bahkan sering manggung ke Suriname. Saingannya Didi Kempot ,” ungkap pengamat sejarah musik Dhahana Adi Pamungkas alias Ipung kepada Historia . Luntang-lantung di Singapura hingga Pulang Sejatinya, darah seni menurun dari ayahnya yang pemain gamelan. Pun begitu turut menular ke kakaknya, Sumiati dan adiknya, Mus Mujiono, meski berbeda jalan. Mus Mulyadi sudah merintis karier menyanyinya sejak muda, dengan meramu band Irama Puspita. Band berisi 13 personel perempuan itu dibuat untuk tampil di pesta olahraga Ganefo 1963 di Jakarta. Setelah band itu bubar setahun kemudian, Mus Mulyadi tetap malang melintang dengan beberapa band lain seperti Arista Birawa hingga Favourite's Group. “Itu isi personelnya pencipta-pencipta lagu. Jadi sebenarnya warna musiknya cenderung pop,” lanjut Ipung yang juga penulis Surabaya Punya Cerita itu. Mus Mulyadi bersama beberapa anggota band Arista Birawa juga sempat mencoba peruntungan merantau ke “Negeri Singa” pada 1967. Butuh dua tahun terlunta-lunta sampai akhirnya sukses di Singapura lewat band The Exotic. Di band itu, Mus Mulyadi berposisi sebagai basis, Jerry Souisa sebagai gitaris, Arkan gitar rhythm , dan Jeffry Zaenal sebagai drummer . Selain menelurkan lagu-lagu pop, ia juga memasukkan unsur keroncong yang memincut perusahaan rekaman Live Recording Jurong. Tapi pada 1970, ia memilih mudik ke tanah air. Mus Mulyadi lalu menggabungkan diri ke Favourite’s Group bersama A Riyanto, Nana Sumarna, Eddy Syam, dan M. Sani. Nyaris semua karya band itu meledak di pasaran. Naiknya nama Mus Mulyadi juga mendatangkan tawaran berkarier solo lagu-lagu berbahasa Jawa. Termasuk mempopulerkan tembang “Rek Ayo Rek” yang ternama di Kota Pahlawan. “Meski ia bukan penciptanya, dia yang mengaransemen. Enggak tahu kalau lagu itu enggak diaransemen Mus Mulyadi bakal kayak gimana. Mungkin enggak seterkenal saat ini,” sambung Ipung. Mus Mulyadi juga mulai menseriusi karya-karyanya yang memasukkan unsur-unsur keroncong. “(Mus Mulyadi) dikenal dengan keberaniannya melakukan terobosan baru dalam membawakan lagu-lagu keroncong konvensional dalam cengkok modern,” tulis Gus Joman dalam Campursari: Catatan Pinggir . Hingga akhir hayat, entah sudah berapa karya album ditelurkannya hingga dijuluki si “Raja Keroncong” setelah era Gesang. “Ia sudah mengeluarkan ratusan album, sampai-sampai ia tak bisa menghitungnya. Beberapa lagu yang mencuatkan namanya di antaranya ‘Kota Solo’, ‘Dinda Bestari’, ‘Telomoyo’, dan ‘Jembatan Merah’. Irama keroncong ini sangat memengaruhi musik campursari,” lanjut Gus Joman. Selain di dunia musik, Mus Mulyadi tercatat pernah dua kali terlibat dalam produksi layar lebar, Putri Solo dan Aku Mau Hidup. Kedua film dirilis pada 1974. Kini, sang maestro sudah berpulang ke haribaan Yang Maha Kuasa. Hingga kini, kiprahnya dalam musik keroncong belum ada lagi yang mendekati apalagi yang menyamai. Selamat jalan, Mus Mulyadi!
- Bentuk Kerajaan Sriwijaya Berdasarkan Catatan I-Tsing
Keberadaan prasasti-prasasti mandala yang melingkari kadatuan Sriwijaya membuktikan datu di pusat Sriwijaya mampu memperluas otoritasnya ke wilayah luar. Apa yang dibuktikan dalam prasasti itu ternyata sejalan dengan catatan biksu I-Tsing selama berada di Sriwijaya. Setelah berlayar selama 20 hari dari Guangzhou, I-Tsing tiba di Sriwijaya ( Foshi ) pada 651 M. Dia belajar di Sriwijaya selama enam bulan. Raja membantunya untuk sampai ke Melayu dan tinggal di sana selama dua bulan. Dari sana dia ke Kedah kemudian sampai India pada 673 M. Baru pada 675, dia memulai pengajarannya di Nalanda selama sepuluh tahun. I-Tsing kembali berlayar ke Kedah dan tiba di Melayu untuk kedua kalinya. “Melayu kini telah menjadi bagian dari Shili Foshi dan ada banyak daerah di bawah kekuasaannya,” catat I-Tsing. Di Shili Foshi, I-Tsing tinggal selama empat tahun (685-689 M). Dia sempat terbawa pulang kapal ke Tiongkok. Namun dia kembali dan tinggal lagi di Sriwijaya selama lima tahun (689-695 M). Selama tinggal beberapa tahun di Sriwijaya itu, I-Tsing memberikan banyak petunjuk mengenai bentuk politik Sriwijaya. Berdasarkan kajian sejarawan Inggris, Oliver William Wolters, tulisan-tulisan I-Tsing memuat dua istilah kunci yang relevan mengenai politik Sriwijaya. Ada istilah zhou dan guo. Wolters mengartikan zhou sebagai kata Tionghoa yang dipakai sebagai terjemahan istilah Sanskerta dvipa atau tanah berbatas laut. “ Yijing (I-Tsing, red. ) menggunakan pulau sebagai padanan zhou, ” tulis Wolters dalam “Restudying some Chinese Writings on Srivijaya”. Sementara guo bisa diartikansebagai kerajaan atau negara atau negeri. Guo juga berarti tempat tertentu berbentuk ibu kota. Kata guo digunakan I-Tsing ketika menulis “negeri Melayu kini adalah negeri Srivijaya”. Dia menulisnya dengan guo Sriwijaya. I-Tsing kembali mengulang pernyataan dalam catatannya yang lain . Di sana tertulis“ guo Melayu kini telah menjadi Sriwijaya”. Lalu dalam catatan ketiga, Mulasarvastivada-ekasata-karman, I-Tsing menyatakan: “ Zhou Melayu kini telah menjadi salah satu dari banyak guo Sriwijaya.”. Berdasarkan tiga kutipan catatan I-Tsing itu, jelas kalau Melayu telah menjadi salah satu dari banyak guo Sriwijaya. “Sebuah fakta yang sepenuhnya diperkuat oleh Prasasti Karang Brahi yang sezaman di hulu sungai dari Melayu atau Jambi,” tulis Hermann Kulke dalam Kadatuan Sriwijaya. Karenanya tafsiran Wolters terhadap catatan I-Tsing mengatakan kalau istilah guo juga bisa merujuk pada politik yang tidak perlu sepenuhnya independen, baik sebagai negeri maupun kota. Guo juga mengacu pada suatu bagian dari politik yang lebih besar yang terdiri dari banyak guo lainnya. Wolters kemudian memadankan istilah guo dengan istilah mandala dalam prasasti-prasasti Sriwijaya awal yang sezaman. Menurut Wolters kata-kata yang hampir identik tentang ‘banyak guo Srivijaya’ dan ‘semua mandala kadatuan- ku (Sriwijaya) dalam Prasasti Sabokingking (Telaga Batu), jelas sudah mengacu pada situasi sosial politik yang sama. “Kita dapat menduga bahwa penguasa Sriwijaya memiliki mandala sendiri (yang dianggap oleh I-Tsing sebagai guo ) dan juga sebagai maharaja mandala lain di kadatuan- nya,” jelasnya. Pada akhirnya, Wolters menyimpulkan berdasarkan catatan I-Tsing, Sriwijaya semata-mata hanyalah salah satu dari sejumlah guo di Sumatra. Pendapat ini sedikit berbeda dengan pendapat sejarawan Jerman, Hermann Kulke di Kadatuan Sriwijaya . Menurut Kulke, memang Sriwijaya pada awalnya juga sebuah mandala. Kawasan intinya yang berada di bawah seorang datu mungkin tetap menjadi guo atau mandala di sepanjang sejarahnya. Namun, jelas ada yang membedakan Sriwijaya pada akhir abad ke-7 M dari mandala-mandala Sumatra lainnya. Datu di pusat Sriwijayaini mampu memperluas wilayah otoritasnya. Buktinya adalah prasasti-prasasti yang tersebar di radius ratusan kilometer darinya. Kulke menyarankan untuk menyamakan istilah zhou yang dipakai I-Tsing dengan istilah bhumi seperti yang sering disebut dalam prasasti-prasasti Sriwijaya awal. “Jika penyamaan fungsional dapat diterima, definisi sezaman I-Tsing tentang politi Sriwijaya memang menjadi sangat dekat dengan defisini politi berdasarkan prasasti-prasastinya,” catat Kulke. Sebelumnya, berdasarkan kajian epigrafi, Kulke membuktikan Sriwijaya lebih merupakan sebuah kadatuan yang membawahi kerajaan-kerajaan lain yang mengakui kedaulatannya. Kerangka politi Sriwijaya berdasarkan prasasti abad ke-7 M (Dok. Hermann Kulke) Ninie Susanti, arkeolog Universitas Indonesia, pun sepakat bahwa Sriwijaya tak pernah menyebut dirinya kerajaan, tetapi kadatuan yang berasal dari kata datu artinya orang yang dituakan. Menurut ahli epigrafi, Boechari, secara harfiah, kadatuan yang sepadan dengan karatwan (Jawa Kuno) berarti tempat datu , yaitu puri, istana, atau keraton. Arkeolog dan sejarawan Prancis, Coedes, mengartikan kadatuan sebagai wilayah yang dikuasai oleh datu atau kerajaan. Begitu pula Kulke, menafsirkan kadatuan sebagai tempat datu , dalam arti tempat tinggal atau keratonnya. Kadatuan Sriwijaya yang diyakininya berpusat di Sumatra Selatan, diakui kedaulatannya oleh Kedah, Ligor, Semenanjung Malayu, Kota Kapur, Jambi, Lampung, dan Batu Raja. “Batu Raja adalah prasasti terakhir yang ditemukan tahun lalu di Ogan Kemering Ulu,” jelas Ninie. Ninie pun menjelaskan bagaimana peran Sriwijaya dalam pembentukan pemerintahan maritim. Sebagaimana yang diungkapkan Kulke dalam Kadatuan Sriwijaya , bahwa terdapat masyarakat yang berdiam di tiap mandala. “Jadi bukan suatu imperium, masyarakat ini berdiam di mandala yang dipimpin oleh para datu yang otonom dan memiliki privasi,” jelas Ninie.
- Nasihat Soeharto untuk Gubernur Irian Jaya
PEMILU tinggal sepekan lagi. Dalam hajatan akbar pesta demokrasi itu, kita berperan menentukan masa depan bangsa untuk lima tahun ke depan. Calon presiden ataupun calon legislatif saling bersaing untuk memenangkan kursi jabatan. Siapapun yang terpilih, mereka akan menjadi pejabat publik yang sejatinya mengabdi pada rakyat.
- Omar Dani, Sukarno Kecil dari AURI
JAKARTA, 19 Januari 1962. Pukul 10 pagi, dua perwira Angkatan Udara menghadap Presiden Sukarno di Istana Merdeka. Yang pertama adalah orang nomor satu di jajaran AU, Laksamana Suryadi Suryadarma. Seorang lagi, perwira menengah, penerbang tulen berpangkat kolonel udara. Sosoknya tampan, jangkung, dan berkumis tipis. Omar Dani, namanya. “Mulai saat ini kamu yang bertanggung jawab atas AURI. Ada pertanyaan?” kata Presiden Sukarno kepada Omar Dani sebagaimana terkisah dalam biografinya Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran dan Tanganku: Pledoi Omar Dani yang disusun Benedicta Surodjo dan JMV. Soeparno. Penunjukan Omar Dani berlangsung hari itu juga. Demikianlah Laksamana Madya Omar Dani menjalani tugas baru sebagai Kepala Staf AU (KSAU). Dani dilantik pada 22 Januari 1962 saat berusia 38 tahun dan masa dinasnya di AU belum genap sepuluh tahun (9 tahun 6 bulan). Sukarno kemudian merombak struktur angkatan perang. Setiap kepala staf diangkat menjadi panglima setingkat menteri. Dani merupakan panglima termuda di antara Ahmad Yani (Menteri Panglima AD), R.E. Martadinata (Manteri Panglima AL), dan Soetjipto Danoekoesoemo (Menteri Panglima Kepolisian). Mereka semua bertanggung jawab langsung kepada Sukarno. Penerbang Ulung Raden Mas Omardanie, demikian nama aslinya. Lahir di Solo, 23 Januari 1924, putra dari KRT Reksonegoro, Asisten Wedana Gondangwinangun, Klaten. Berasal dari keluarga ningrat yang berkerabat dengan keraton Solo. Dari garis ibunya, Dani termasuk salah satu cicit Sunan Pakubuwono IX, raja Surakarta Hadiningrat. Di masa revolusi, Dani telah mengeyam pendidikan yang cukup bagus. Dia sempat menjadi penyiar radio berbahasa Inggris RRI di Solo. Di RRI, Dani sering mendengar Sukarno berpidato menggelorakan semangat perjuangan. Kekagumannya pada sosok Sukarno mulai tumbuh. Pada Juli 1950, Omar Dani memilih jalan tarung di angkasa. Angkatan Udara RI (AURI) melalui Kementerian Pertahanan membuka penerimaan penerbang dan navigator. Dani termasuk salah satu dari 60 kadet AURI yang dikirim untuk belajar di Academy of Aeronautics, Taloa (Trans Ocean Airline Oakland Airport) di California, Amerika Serikat. “Mereka dikenal sebagai ‘ the sixties californians ’,” tulis Chappy Hakim dalam Awas Ketabrak Pesawat Terbang . Di Taloa, para kadet terbagi atas enam grup yang diklasifikasi berdasarkan tinggi tubuh. Dani memimpin grup I bersama kawannya yang berpostur jangkung seperti Saleh Basarah, Makki Perdanakusuma, Nursan Iskandar, dan lainnya. Penghujung Juli 1952, Dani menamatkan pendidikannya sebagai penerbang lulusan terbaik. Kembali ke Indonesia, Dani berdinas sebagai co-pilot pesawat angkut Dacota di pangkalan udara Cililitan. Setahun kemudian menjadi kapten pilot. Pada 1956, Dani bertugas belajar di Royal Air Force Staf College di Andover, Inggris. Kemampuan Dani di medan tempur teruji ketika menggempur PRRI-Permesta. Dani memimpin misi udara dalam dua operasi militer terpenting: Operasi 17 Agustus di Sumatera dan Operasi Merdeka di Sulawesi. Dari situ kariernya melesat hingga menjadi Deputi I (Direktur Operasi) KSAU. Di jajaran AU, Dani termasuk perwira yang menonjol. Pada 1961, dari 60 kadet jebolan Taloa, hanya Dani dan Makki Perdanakusuma yang berpangkat kolonel. Nama Omar Dani pun digadang-gadang sebagai pemimpin AU berikutnya. “Omar Dani adalah seorang penerbang dan memang sudah sejak lama sekali tersiar desas-desus dialah pengganti Suryadarma,” tulis Rosihan Anwar dalam Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik, 1961-1965. Kebanggan Sukarno Ketika ditunjuk sebagai KSAU, Omar Dani melewati sejumlah perwira senior di angkatannya. Sukarno memilih Dani untuk meremajakan kepemimpinan di tubuh AURI. Suryadarma memang telah memimpin matra itu selama enam belas tahun. Namun di balik itu, santer terdengar alasan digantinya Suryadarma karena kelalaiannya mempersiapkan AU dalam insiden di Laut Aru. Pengangkatan Dani sekaligus melahirkan tradisi, bahwa pimpinan AU harus dipimpin oleh seorang penerbang, bukan dari navigator atau korps pasukan elite. Di bawah Dani, kekuatan dirgantara Indonesia mencapai puncak kejayaannya. Ketika itu, AURI memiliki pesawat pemburu jenis MiG 15, 17, 19 sampai pesawat supersonic MiG 21. Selain itu, AURI juga telah dilengkapi dengan pesawat pembom berat jenis TU-16 KS yang mampu melepaskan stand off bom (bom cerdik) dan pembom menengah IL-28. Pesawat-pesawat tempur yang diperoleh dari Uni Soviet itu merupakan yang tercanggih pada masanya. Semuanya dipersiapkan untuk operasi pembebasan Irian Barat. Dengan armada udara sekuat itu, AURI merupakan penguasa di langit Asia Tenggara. Dapat dibayangkan apabila Operasi Jayawijaya dilancarkan. Puluhan pesawat pembom TU-16 meluluhlantakkan markas militer Belanda yang terpusat di Pulau Biak. Belanda dipastikan kalah dan angkat kaki dari Irian Barat dengan wajah malu. Selain meningkatkan mutu tempur, Dani juga menginginkan setiap prajurit AURI menjadi kleine Sukarnotjes atau Sukarno kecil. Loyalitas Dani dibuktikan dengan menjadikan ajaran-ajaran Sukarno sebagai kurikulum Sekolah Staf Komando AURI (Seskau). “Angkatan Udara yang dipimpin oleh Laksamana Omar Dani sangat loyal terhadap Sukarno. Mereka mendukung gerakan ‘ganyang Malaysia’ yang dilancarkan pemerintah Sukarno,” tulis Asvi Warman Adam dalam Menguak Misteri Sejarah . Pun demikian dengan Sukarno yang menyenangi perwira cakap. Nama Omar Dani memang tak tersebut dalam otobiografi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat . Namun, dalam berbagai pidatonya, Sukarno memperlihatkan kebanggaannya terhadap Dani. Sukarno secara terbuka selalu menyebut Angkatan Udara sebagai anak lanang , putra lelakinya. Dengan demikian, tersirat atau bukan, memunculkan pengertian bahwa angkatan lain adalah anak perempuan. “Sehingga dalam perspektif lain, sadar atau tidak Bung Karno memang menghendaki, Angkatan Udara pada umumnya dan Omar Dani khususnya, menjadi ‘putra mahkota’, pewarisnya untuk menyelesaikan revolusi” tulis Julius Pour dalam G30S: Fakta atau Rekayasa. Jika di kalangan AD ada Ahmad Yani, maka dari AU, Omar Dani-lah yang disebut-sebut sebagai anak emas Sukarno. Kedekatan dengan Sukarno bukan tanpa resiko. Gesekan dan sikut menyikut terjadi antara Dani dengan perwira dari angkatan lain. Konflik politik-militer yang bermuara pada prahara 1965 kelak menyeret hidup Omar Dani dalam petaka.*
- Sebelum Ponsel Merajalela
UNTUK mengangkat perekonomiannya, Rini, gadis asal Randublatung, Blora, merantau ke Jakarta. Ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga di daerah Kebayoran Baru. Ketika pulang kampung untuk berlebaran, Rini bertemu Biyoso, pemuda asal Jawa Timur yang juga mudik. Biyoso bekerja sebagai satpam di bilangan Kuningan, Jakarta. Dari perkenalan di Terminal Pulo Gadung itu, mereka menjalin hubungan asmara. Pacaran di tahun 1990-an, hubungan Rini-Biyoso tak bisa seperti muda-mudi sekarang yang dengan mudah mengetik pesan di aplikasi obrolan atau melakukan panggilan video lewat telepon pintar. Untuk bisa saling berkomunikasi, saban siang Rini selalu berusaha mencuri waktu untuk keluar sejenak dari rumah majikannya dan pergi ke telepon umum. Setelah mengantri sebentar, memasukkan koin, dia baru bisa menyapa Biyoso dari telepon kantornya. Lelah Rini mengantri terbayar kala suara Biyoso terdengar dari gagang telepon. Pada 1980-an-1990-an, kebutuhan komunikasi jarak-jauh masyarakat mendapat wujud baru. Sebelumnya, hanya kalangan tertentu yang dapat menikmati sambungan telepon di rumah masing-masing. Kalau tak punya telepon, surat jadi pilihan. Sampai pertengahan 1990-an, ketika pemerintah belum menggalakkan pemasangan telepon rumah, telepon umum pun jadi tempat tujuan banyak orang. Lantaran tingginya kebutuhan komunikasi cepat jarak jauh ini, Telkom akhirnya mengeluarkan layanan telepon umum dan Warung Telekomunikasi (wartel). “Betapa besar faedahnya bagi masyarakat yang tidak pasang telepon rumah,” Ramadhan KH dalam Dari Monopoli Menuju Kompetisi. Telepon umum dipasang di sudut-sudut kota. Sebagian dipasang dengan bilik telepon, namun kebanyakan telepon umum di pinggir jalan yang dipasang dengan tudung untuk melindungi si telepon dari hujan dan panas. Biar awet. Di tempat-tempat strategis, seperti kampus dan di dekat kantor Telkom, telepon umum dipasang berderet, depan belakang, agar memudahkan orang mencari letaknya. Rambu-rambu keberadaannya juga dipasang. Antrian selalu mengular, tak jarang ada yang sampai berkelahi karena satu orang terlalu lama menelepon. Rambu petunjuk keberadaan telepon umum Antrian yang sama juga ada di wartel, yang umumnya berdiri dari kerjasama pemilik dengan Telkom. Pemilik bertindak sebagai agen jasa penyedia komunikasi. Pemilik wartel akan mendapat komisi dari tiap transaksi. Satu wartel paling sedikit menyediakan dua pesawat telepon. Masing-masing ditaruh dalam bilik yang disebut Kamar Bicara Umum (KBU), ditambah layar monitor yang menampilkan durasi dan biaya yang harus dibayar. Biasanya, di dalam KBU tersedia kipas angin kecil agar penelepon tak kepanasan. Menggiurkannya laba bisnis wartel membuat wartel tumbuh subur mengimbangi keberadaan telepon umum. Penggunaan telepon terus meningkat dan menguntungkan. Telkom pun meningkatkan jumlah ketersediaan telepon umum, baik koin maupun kartu, dan wartel. Telekomunikasi Indonesia yang terbit 1997 menginformasikan, ketika awal dibuka pada 1984-1988, jumlah wartel yang tersedia baru 48 buah. Namun pada 1989, jumlahnya naik tajam, mencapai 128 buah dan pada akhir tahun 1993 jumlah wartel di Indonesia mencapai 1190 buah. Jumlah telepon umum koin juga meningkat sejak dipasang pertama pada 1981. Antara 1983-1988, Telkom memasang 5.724 unit di berbagai daerah. Jumlahnya naik tajam pada akhir 1993, yakni 41.104 pesawat telepon. Jumlah telepon umum kartu setali tiga uang. Di masa uji coba pada 1988, telepon umum kartu hanya ada di 12 lokasi. Pada awal Pelita V, jumlahnya meningkat jadi 95 pesawat, Pada 1993, jumlahnya naik menjadi 7835 buah pesawat telepon. Deretan bilik telepon umum di Jakarta tahun 1990-an Usaha wartel dan telepon umum terus tumbuh subur di masyarakat. Pada akhir 1990-an, ketika telepon seluler (ponsel) mulai masuk, telepon umum dan wartel masih bertahan. Pasalnya, hanya anak gedongan dan orang-orang berduit yang bisa membeli ponsel. Usman Hamid, Pegiat HAM di KontraS, mengingat dalam Digital Nation Movement , saat demo 1998 dia dipinjami ponsel merk Motorolla oleh rekannya yang anak Menteng. “Saat itu belum banyak orang-orang yang memakai telepon genggam,” tulisnya. Kepopuleran wartel dan telepon umum mulai memudar pada medio 2000-an kala ponsel dan pulsanya dijual dengan harga murah. Saat itulah wartel dan telepon umum memasuki masa jadi barang usang yang terlupa.
- Sebelas Pesepakbola Dunia di Layar Perak (Bagian II – Habis)
CAK Jim sangat mengumbar prestisnya sebagai manajer yang mampu mengorbitkan artis papan atas. Sosok bule yang fasih logat Jawa Timur-an itu pada akhirnya ditangkap polisi justru lantaran ternyata seorang penipu yang dicari-cari. Karakter itu diperankan Timo Scheunemann, mantan pemain Persiba Balikpapan dan Tampine Rovers serta pelatih Persema Malang dan Persiba, dalam film drama-komedi Yowis Ben 2 yang tayang sejak 14 Maret 2019. Film itu merupakan satu dari tiga film yang pernah melibatkan pria berdarah Jerman kelahiran Kediri, 29 November 1973 itu. Sebelumnya, Timo pernah mentas di film Tendangan dari Langit (2010) sebagai dirinya sendiri (pelatih bola) dan Rudy Habibie (2016) sebagai pastur Gilbert. Timo bukan satu-satunya mantan pesepakbola di Indonesia yang banting setir ke dunia akting. Di akhir 1970-an, ada nama Muthia Datau, kiper cantik Buana Putri dan timnas putri Indonesia. “Ya kebetulan cocok ketika ada yang menawari main film, ya sudah (mulai membintangi film). Dulu pertamakali main film layar lebar judulnya Sepasang Merpati (1979). Terus lanjut ada Malu-Malu Kucing , Sirkuit Kemelut . Banyak kok , sekitar enam film,” ujarnya kepada Historia , medio Januari 2018. Hal serupa banyak terjadi di sepakbola dunia. Setidaknya ada 11 sosok yang pernah menjajal akting di film komersil. Di bagian pertama sudah diuraikan lima di antaranya: Pelé, Carlo Ancelotti, Paul Breitner, Ally McCoist, dan Ian Wright. Berikut enam pesepakbola lain yang mencicipi peran dalam layar lebar: Eric Cantona Darah seniman dari orangtua mengalir deras di tubuh Eric Daniel Pierre Cantona. Ayahnya, Albert Cantona, seorang pelukis yang nyambi jadi perawat untuk menghidupi Cantona dan keluarganya di kaki bukit Les Caillols. Maka selepas gantung sepatu tahun 1997, legenda Manchester United kelahiran Marseille, 24 Mei 1966 itu punya p assion berkiprah di seni peran. Sejatinya debut Cantona sudah dirintis saat masih merumput bersama Manchester United, yakni dalam film Le Bonheur est dans le Pré (1995). Bob McCabe Menulis dalam The Rough Guide to Comedy Movies , Cantona berperan sebagai Lionel, seorang pemain rugbi. Dalam film ini juga Cantona satu frame dengan adiknya, Joël Cantona. Hingga 2018, Cantona sudah terlibat dalam 26 film. Termasuk dalam film Elizabeth (1998) yang meraih penghargaan Academy Awards dan Golden Globe 1999. “Penampilan tersuksesnya adalah ketika tampil sebagai pemeran utama di film garapan Ken Loach Looking For Eric yang rilis 2009, di mana film ini masuk nominasi Palme D’Or dan menang Magritte Award,” tulis James McCarthy dalam Manchester United: Born Winners. Vinnie Jones Ketimbang Cantona, nama Vincent Peter Jones alias Vinnie Jones lebih produktif nampang dalam layar perak. Jones jadi eks pesepakbola dengan jumlah penampilan film terbanyak per 2018: 75 film. Sejak belia, sosok tegap bak tukang pukul kelahiran Watford, Inggris, 5 Januari 1965 itu memang sudah hobi nonton film seperti Dracula (1931), atau Planet of Apes (1968). Di lapangan, karier Vinnie Jones tak terlalu jelek meski tak juga brilian. Puncak kariernya terjadi pada 1988 kala ikut meraih FA Cup bersama Wimbledon. Debutnya dalam layar lebar terjadi pada 1998 dalam film komedi-kriminal Lock, Stock and Two Smoking Barrels . Dia berperan sebagai tukang pukul bernama Big Chris. Di situlah titik balik hidupnya terjadi, dia benar-benar banting setir ke perfilman setelah gantung sepatu pada 1999. Di film itu, Jones dianugerahi Empire Award dalam kategori pendatang baru terbaik. Dalam film Snatch (2000), Jones juga mendapat Empire Award untuk aktor Inggris terbaik, serta Alan J. Bailey Award dalam film Strength and Honour (2007) untuk aktor pendukung terbaik. “Saya benar-benar tak menyangka dampak film ( Lock, Stock and Two Smoking Barrels ) itu. Penampilan saya mendapat ulasan yang bagus dan yang terpenting bagi saya adalah, saya diakui punya kemampuan untuk tampil di depan layar,” ungkapnya dalam otobiografinya, It’s Been Emotional . Zinedine Zidane Legenda Prancis berdarah Aljazair kelahiran Marseille, 23 Juni 1972 itu tak pernah bisa jauh dari sepakbola. Pasca-gantung sepatu pada 2006 pun, Zidane memutuskan menjadi entrenador (pelatih) Real Madrid. Kalaupun pernah menyambi nampang di layar perak, perannya senantiasa bersinggungan dengan skill olah bolanya, seperti dalam film Goal! The Dream Begins (2005). Dalam film drama bertema sepakbola itu Zidane tampil sebagai cameo bersama 45 pesepakbola dunia lainnya, seperti Raúl González dan David Beckham. Pun begitu di sekuelnya, Goal II: Living the Dream (2007). Namun yang paling jadi sorotan buat “Zizou” di layar lebar adalah keterlibatannya sebagai figuran bernama Numerodix dalam Asterix at the Olympic Games (2008). “Adegan saya tetap memainkan bola,” ujarnya jelang produksi film, dikutip La Dernière Heure , 20 Oktober 2006. Stan Collymore Sepuluh klub sudah disinggahinya sejak 1990 hingga pensiun 2001, termasuk Liverpool dan Aston Villa. Striker kelahiran 22 Januari 1971 bernama lengkap Stanley Victor Collymore itu juga setidaknya tiga kali mengenakan jersey timnas Inggris. Sayangnya hingga kini Stan dikenal hanya sebagai mantan pemain medioker. Selebihnya, ia lebih dikenal akan sejumlah kontroversinya: kekerasan fisik terhadap pacarnya Ulrika Jonsson pada 1998 atau tertangkap pihak keamanan saat melakukan seks di muka umum pada 2004. Pun begitu, namanya sempat jadi bahan omongan lagi saat diajak terlibat akting dengan aktris Sharon Stone di film “erotis” Basic Instinct 2: Risk Addiction keluaran 2006. Collymore berperan sebagai Kevin Franks, bintang sepakbola yang punya hubungan “panas” dengan Catherine Tramell, seorang terduga pembunuh berantai yang diperankan Sharon Stone. Collymore beradegan seks dengan Sharon di sebuah mobil hingga menyebabkan kecelakaan dan kematian Franks. “Bermain bersama Stan adalah hal yang luar biasa. Sosoknya menyenangkan dan berkharisma. Ia juga profesional,” kesan Sharon terhadap Collymore, dilansir Daily Mail , 15 Maret 2006. David Beckham Bagi banyak orang di segenap pelosok bumi, nama David Beckham bukan figur yang asing. Kebintangan pria bernama lengkap David Robert Joseph Beckham itu melintas batas dari lapangan, bidang bisnis hingga dunia selebritas sebagai bintang iklan. Dia juga punya sepasukan sahabat para aktor Hollywood. Maka tak mengherankan jika sosok flamboyan kelahiran 2 Mei 1975 itu beberapa kali muncul di layar perak. Seperti halnya Zidane, Beckham juga muncul sebagai cameo di film Goal! (2005) dan Goal 2 (2007). Padahal mestinya dia dan istrinya, Victoria, menjalani debut juga sebagai cameo di film Bend It Like Beckham (2002). Sayangnya jadwal Beckham dan istrinya kurang bersahabat hingga urung ikut terlibat. Kala itu, Beckham menyatakan tak pernah berniat menseriusi karier akting. “Saya terlihat sedikit kaku dalam (film) Goal! Harus saya akui, akting bukan karier saya. Saya tak bisa berakting. Bahwa film ( Goal! ) itu tentang sepakbola, setidaknya saya lumayan melakukannya (bermain bola),” terang Beckham, dikutip Ask Men , 2 Maret 2007. Namun, Beckham kembali mentas di beberapa film. Setelah muncul sebagai cameo di The Man from U.N.C.L.E (2015), Becks jadi figuran bernama Trigger dalam King Arthur: Legend of the Sword (2015). Terakhir, dia beradu akting dengan aktor Ryan Reynolds dalam promo trailer Deadpool 2 (2018). Neymar Gaya eksentrik dan perangai yang menarik tak hanya menjadikan pesepakbola bernama asli Neymar da Silva Santos Júnior ini sebagai sosok bintang di lapangan, namun juga di layar lebar. Persona penggedor Paris Saint-Germain kelahiran 5 Februari 1992 itu jadi latarbelakang utama sineas DJ Caruso mengajaknya tampil dalam film XXX: Return of Xander Cage yang dibintangi Vin Diesel, Deepika Padukone, dan Donnie Yen itu. Neymar nongol sebagai figuran di awal dan akhir film sebagai Agen Junior, personel magang agensi NSA (National Security Agency) yang terobsesi ingin masuk ke program rahasia XXX berikutnya. Besar kemungkinan Neymar akan kembali diajak tampil sebagai salah satu pemeran utama dalam sekuel berikutnya. “Bagi saya, Neymar adalah Triple X – dia salah satu pesepakbola terhebat sepanjang masa. Tampangnya juga menarik dan punya attitude seorang pemberontak. Faktor-faktor yang sangat pas dengan persone Triple X,” sebut DJ Caruso, dikutip Luca Caioli dalam biografi Neymar: Updated Edition .
- Sistem Politik yang Membuat Sriwijaya Bertahan Lebih dari Lima Abad
Sriwijaya mulai maju sebagai kerajaan maritim paling tidak sejak abad ke-7. Namanya memudar pada abad ke-12. Ahli sejarah dan arkeologi terdahulu menganggap Sriwijaya sebuah imperium. Artinya, hanya satu kekuatan politik yang menguasai beberapa kelompok etnik atau negara dalam suatu wilayah yang luas. Namun, berdasarkan kajian epigrafi, sejarawan Jerman, Herman Kulke, membuktikan Sriwijaya lebih merupakan sebuah kadatuan . Ia membawahi kerajaan-kerajaan lain yang mengakui kedaulatannya. Ninie Susanti, arkeolog Universitas Indonesia, sepakat bahwa Sriwijaya tak pernah menyebut dirinya kerajaan, tetapi kadatuan yang berasal dari kata datu artinya orang yang dituakan. Menurut ahli epigrafi, Boechari, secara harfiah, kadatuan yang sepadan dengan karatwan (Jawa Kuno) berarti tempat datu , yaitu puri, istana, atau keraton. Arkeolog dan sejarawan Prancis, Coedes, mengartikan kadatuan sebagai wilayah yang dikuasai oleh datu atau kerajaan. Begitu pula sejarawan Jerman, Hermann Kulke, menafsirkan kadatuan sebagai tempat datu, dalam arti tempat tinggal atau keratonnya. Kadatuan Sriwijaya, kata Ninie, diakui kedaulatannya oleh wilayah Kedah, Ligor, Semenanjung Malayu, Kota Kapur, Jambi, Lampung, dan Batu Raja. “Batu Raja adalah prasasti terakhir yang ditemukan tahun lalu di Ogan Komering Ulu,” kata Ninie, yang meyakini Kadatuan Sriwijaya berpusat di Sumatra Selatan. Ninie menjelaskan bagaimana Sriwijaya membentuk pemerintahan maritim. Sebagaimana diungkapkan Herman Kulke dalam Kadatuan Sriwijaya , bahwa terdapat masyarakat yang berdiam di tiap mandala. “Jadi bukan suatu imperium, masyarakat ini berdiam di mandala yang dipimpin oleh para datu yang otonom dan memiliki privasi,” kata Ninie. Dalam tulisannya, “Kadatuan Srivijaya Imperium atau Kraton Srivijaya?” Kulke menjabarkan datu yang memimpin Sriwijaya berkedudukan di pusat. Tempat tinggalnya, Kadatuan Sriwijaya , bukanlah kota berpagar tembok. Namun dibentengi oleh tiang-tiang pancang kayu. Kadatuan Sriwijaya, seperti diungkap dalam prasasti-prasastinya, dilindungi oleh dewata ( devata ), kemungkinan besar para leluhur yang didewakan. “Ini menjadi akar otoritasnya sebagai datu dan bahkan dapunta hyam (gelar yang dipakai sang datu, red. ) bersifat kependetaan,” tulis Kulke. Sang datu juga memimpin balatentara ( vala ) yang kuat, memiliki staf pejabat, dan abdi ( huluntuhan ) yang cukup maju dan siap menjalankan perintahnya. Kadatuan Sriwijaya dikelilingi oleh kawasan yang disebut vanua, terdiri dari beberapa desa beserta lahannya.Inilah zona pertanian, kerajinan, dan perdagangan yang padat penduduk. Kata vanua dijumpai dalam tiga prasasti yang menyebut " vanua Sriwijaya" (Prasasti Kedukan Bukit), biara “di vanua ini” (kepingan prasasti e), dan " smaryyada vanua ini" (Prasasti Sabokingking atau Telaga Batu), secara berturut-turut. Sangat mungkin, seluruh kawasan vanua beserta kadatuan, pasar, biara, taman, dan desa-desanya dianggap sebagai pusat urban Sriwijaya. Zona inilah yang kemungkinan besar dinamakan nagara atau pura di tempat-tempat lain di Asia Tenggara. Misalnya Kerajaan Tarumanegara di Jawa pada pertengahan abad ke-5 M. Kadatuan dan vanua itu dikelilingi pula oleh apa yang disebut dalam Prasasti SKK dengan samaryyāda. Ini merujuk pada desa-desa lokal yang ada di kawasan sekitar Sriwijaya. Menurut bukti epigrafis, kadatuan-kadatuan itu dipimpin para datu yang tinggal di desa-desa mereka sendiri. Ungkapan samaryyāda muncul mengingat lokasi geografis Sriwijaya yang khas. Pusat Sriwijaya bukan benar-benar ada di pedalaman dan bukan pula di bandar laut. Jaringan persungaian yang meluas ke arah hulu dari Palembang, dan daratan yang cukup panjang di tepian Sungai Musi yang menghilir dari Palembang ke laut, mungkin bukan sepenuhnya bagian dari kawasan inti datu Sriwijaya. Melainkan bagian dari samaryyāda yang ada di sekitar kadatuan Sriwijaya. Padahal akses barang dagangan dari hutan-hutan di wilayah pedalaman penting bagi Sriwijaya. Pun bagi keamanan Sriwijaya. Karena memiliki akses terhadap laut serta hubungan dagang internasional, maka kawasan-kawasan samaryyāda kemudian berada di bawah kontrol langsung para abdi ( huluntuhan )Sriwijaya. Sementara di luar itu, ada datu-datu lainnya yang jelas lebih kuat sebagaimana datu Sriwijaya. Mereka memiliki vanua sendiri dengan samaryyāda dan bahkan tanah yang baru diperoleh. Masing-masing wilayah datu yang kuat ini disebut sebagai satu kesatuan mandala yang ada di dalam bhumi Sriwijaya. “Namun, tak satu pun di antara datu-datu ini, baik yang di pedalaman samaryyāda Sriwijaya maupun di mandala-mandala yang jauh diizinkan mengklaim secara sah beberapa atau bahkan ketujuh piranti pembentuk otoritas Sriwijaya,” tulis Kulke. Dalam kasus Sriwijaya awal, kebanyakan datu tampaknya adalah pemimpin lokal. Dia bukan seperti gubernur provinsi. Kedudukannya mungkin mirip dengan para ratu di Jawa pada masa pra-Sailendra. “Sebagian besar datu Sriwijaya awal mungkin sebagai pemimpin lokal lama yang setelah dikalahkan dipasang kembali dan diakui kedudukan mereka semula oleh datu Sriwijaya yang lebih berkuasa, dengan syarat mereka mengakui otoritasnya,” tulis Kulke. Kendati begitu jelas bisa diduga semua datu memiliki juga dewata leluhurnya sendiri. Sebagian dari mereka mungkin juga tinggal di puri, yang mungkin tak jauh beda dengan miliki datu Sriwijaya. Namun, tentunya tak ada datu yang diizinkan membangun sistem mandala-mandala bawahan sendiri. Ini prasyarat paling relevan bagi terbentuknya sistem politik bhumi mirip Sriwijaya. “Delapan komponen yang membentuk kenegaraan Sriwijaya awal adalah kadatuan, devata, huluntuhan, vala, puhavam (nakhoda, red . ) , vaniyaga (pedagang, red . ) , mandala, dan bhumi, ” tulis Kulke. Dalam hal ini, perdagangan luar negeri jelas merupakan salah satu unsur terpenting kenegaraan Sriwijaya. Namun, nakhoda dan pedagang hanya disebut satu kali dalam daftar panjang pada awal Prasasti SKK. “Jelaslah bahwa prasasti-prasasti itu lebih mementingkan kontrol politik aktual dan kekuasaan di dalam kawasan inti Sriwijaya dan mandala-mandala daripada hubungan internasionalnya,” tulis Kulke. Uniknya, perkembangan Sriwijaya ke depan adalah kekhasannya. Ia tak pernah berhasil atau malah tak berusaha mengubah struktur politik bhumi -nya. Menurut Kulke, tidak mustahil, keengganan Sriwijaya menjadi kerajaan imperial yang memungkinkannya bertahan lebih dari 500 tahun. Umur panjang Sriwijaya justru dilandasi oleh tiadanya ciri struktural yang dianggap oleh para sejarawan sebagai prasyarat sebuah imperium tulen. Dengan demikian, lebih awet daripada banyak imperium yang lebih terpusat. Bahkan bergenerasi-generasi memainkan peran utama dalam sejarah Asia Tenggara.
- Sebelas Pesepakbola Dunia di Layar Perak (Bagian I)
RAUT muka Shahrukh Khan begitu sumringah. Senyum tersungging di bibirnya saat aktor kawakan Bollywood itu foto bareng playmaker Arsenal Mesut Özil, salah satu pesepakbola yang diidolakannya. Momen itu melengkapi kebahagiaannya setelah menyaksikan sendiri di Emirates Stadium Özil dkk. menang 2-0 atas Newcastle United di matchday ke-32 Premier League, Senin (1/4/2019). Shahrukh Khan datang ke Emirates Stadium atas undangan Özil. Selepas laga, foto bersama plus hadiah jersey bernomor punggung 10 Arsenal milik Özil pun jadi “oleh-oleh” terbaiknya. Shahrukh Khan tak lupa mengundang balik Özil dan pacarnya, Amine Gülşe, untuk mengunjungi negerinya “Sebuah malam yang menyenangkan selamat @Arsenal. Terima kasih @MesutOzil1088 & Amine Gülşe untuk keramahannya. Sampai ketemu di India,” kicaunya di akun Twitter -nya, @iamsrk, 1 April 2019. Bukan rahasia bahwa Shahrukh Khan menggilai sepakbola. Pada 2016, dia sempat dirumorkan berniat membeli sebuah klub di Kalkuta. Sebelum terjun jadi aktor pun, dia pernah merumput walau hanya sebagai amatiran antar-sekolah. Saat bersekolah di St. Columba’s, Shahrukh rutin bermain sampai terkena cedera punggung yang mengakhiri kiprahnya. Shahrukh Khan tentu bukan satu-satunya figur yang banting setir dari lapangan ke dunia hiburan. Setidaknya ada sebelas sosok mantan pesepakbola profesional dunia yang beralih jadi aktor film komersil. Sebagian benar-benar meninggalkan sepakbola, sementara beberapa di antaranya hanya sekadar cameo . Berikut kesebelas figur itu: Pelé Legenda hidup asal Brasil bernama asli Edson Arantes do Nascimento itu diakui sebagai pesepakbola terbaik sepanjang masa. Tapi selain bersinar di lapangan, striker kelahiran 23 Oktober 1940 itu pernah tampil impresif dalam sebuah film bertajuk Escape to Victory (1981). Tak hanya diramaikan para aktor Hollywood, film itu juga turut dibintangi beberapa pesepakbola, antara lain: Bobby Moore (Inggris), Osvaldo Ardiles (Argentina), Kazimierz Deyna (Polandia), Paul van Himst (Belgia), dan Hallvar Thoresen (Norwegia). Film garapan sutradara John Huston yang berkisah tentang para tahanan perang Jerman-Nazi dalam Perang Dunia II yang bertanding melawan tim Jerman. Pelé berperan sebagai Kopral Luis Fernandez, tahanan perang Sekutu (British West Indian) asal Trinidad, yang turut berlaga. Itu bukan satu-satunya penampilan Pelé di layar lebar. Ia sekilas tampil sekilas di film bertema sepakbola lain: A Minor Miracle (1983), Hotshot (1987) dan Pele: Birth of a Legend sebagai cameo. “Sebetulnya pada suatu momen makan siang di New York, sutradara Steven Spielberg pernah mengajak saya membuat film tentang saya bermain bola di bulan. Jujur saya tak paham akan idenya, mungkin dia mengira saya adalah Marcos Cesar Pontes, figur dari Baurú lain yang menjadi orang Brasil pertama di luar angkasa. Tapi pada akhirnya saya tampil di film Hollywood besar yang juga diperankan Sylvester Stallone dan Michael Caine, saya tampil sebagai pemain sepakbola,” ujarnya dalam Pelé: Why Soccer Matters. Carlo Ancelotti Bersama Zinedine Zidane dan Bob Paisley, Ancelotti merupakan pelatih dengan gelar terbanyak Liga Champions (tiga gelar). Pria kelahiran Reggiolo, Italia, 10 Juni 1959 itu sebelumnya malang melintang sebagai pemain di Parma, AS Roma, dan AC Milan, serta timnas Italia. Di luar lapangan, pria berjuluk ”Don Carletto” itu sangat menggemari film-film bertema mafia Italia semacam The Godfather . Aktor Al Pacino dan Robert De Niro adalah idolanya. Tapi sejatinya, Ancelotti tak hanya menggemari film tapi juga pernah main di film garapan sineas Terence Hill bertajuk Don Camillo (1983). Film komedi itu berkisah tentang pendeta Don Camillo yang berfriksi dengan seorang walikota komunis, termasuk dalam persaingan sepakbola. Jan Tilman Schwab dalam Fussball im Film: Lexikon des Fussballfilms, Volume 2 menulis, Ancelotti tampil sebagai salah satu pemain tim lawan (Tim Devils) yang meladeni tim besutan Don Camillo (Tim Angels). Selain Ancelotti, film ini juga diramaikan pesepakbola lain seperti Roberto Boninsegna, Roberto Pruzzo, dan Luciano Spinosi. “Sebuah pengalaman menarik. Terence Hill pribadi yang hebat. Sayangnya saya belum pernah bertemu dia lagi setelah film itu selesai produksi,” kenang Ancelotti, dikutip sport1.de , 13 Januari 2017. Bertahun-tahun setelah itu pasca-Ancelotti menjadi pelatih, ia nongol lagi meski sekadar cameo di film sains-fiksi Star Trek Beyond (2016). Paul Breitner Di Jerman, namanya masuk dalam jajaran “dewa” sepakbola laiknya Franz Beckenbauer. Pria asli Bavaria kelahiran 5 September 1951 itu tak hanya bergelimang gelar di level klub (Bayern Munich dan Real Madrid), namun juga jawara Piala Eropa (1972) dan Piala Dunia (1974) bersama timnas Jerman Barat. Perangai dan gaya rambutnya yang nyentrik membuatnya mudah nyambi di dunia hiburan. Menukil laman DFF (Deutsches Filminstitut and Filmmuseum) filmportal.de , Breitner setidaknya pernah mentas di tiga film. Adalah Potato Fritz (1975), film bertema western garapan sutradara Peter Schamoni, yang menjadi debutnya di layar perak. Ia tampil sebagai peran pembantu memerankan serdadu Amerika Sersan Stark. Breitner lantas ikut bermain dalam film Der Zappler (1982) meski hanya sebagai cameo sosok pesepakbola yang diidolakan oleh tokoh utama, bocah bernama Stefan. Film ketiganya, Kunyonga: Mord in Afrika (1986), dilakoni Breitner setelah ia gantung sepatu. Di film action -petualangan garapan sutradara Hubert Frank itu, Breitner berperan sebagai pengacara bernama Bäsgen yang turut mencari dan menyelamatkan seorang anak seorang bos industri yang diculik di Afrika. Ally McCoist Dunia broadcasting lazim jadi “alam” pesepakbola selepas pensiun. Ally McCoist salah satunya. Eks bintang timnas Skotlandia bernama lengkap Alistair Murdoch McCoist itu acap tampil di program-program olahraga BBC , ITV Sport hingga ESPN . Namun pada satu momen, pria kelahiran 24 September 1962 itu turut nyemplung ke dunia akting sebagai salah satu pemeran utama dalam film drama sepakbola A Shot at Glory (2000). Sebagaimana dirangkum Stephen Glynn dalam The British Football Film , McCoist berperan sebagai Jackie McQuillan, pemain gaek yang dibeli klub Kilnockie FC yang dilatih Gordon McCloud (diperankan aktor kawakan Robert Duvall). Selain McCoist, film ini juga diramaikan beberapa pesepakbola lain sebagai aktor pendukung seperti Owen Coyle, Andy Smith, Ian McCall, dan Didier Agathe. Ian Wright Momen pensiun pada 2000 bukan akhir dari segalanya bagi Ian Wright. Eks bintang Arsenal dan timnas Inggris itu justru hampir menjajal segala hal di luar lapangan untuk mengisi kesibukannya. Selain menjadi presenter olahraga, Ian terlibat dalam program-program televisi, menjadi penyiar radio, membintangi sejumlah iklan, menciptakan lagu “Do the Right Thing” hingga membintangi film Gun of the Black Sun (2011). Sebagaimana dilansir Radio Times , 30 Juni 2011, legenda kelahiran 3 November 1962 itu berperan sebagai Duke, seorang gangster asal Inggris. Film bertema action-fantasi itu berpusar pada sebuah pistol Luger keramat yang konon merupakan warisan petinggi Nazi-SS, Heinrich Himmler. “Saat saya tawarkan untuk terlibat, dia langsung terima. Dia selalu latihan tanpa kenal lelah untuk keperluan produksi. Dialog-dialog yang dilakukannya selalu sempurna,” puji sang penulis naskah Gary Douglas.
- Sarjana Hukum Pertama Indonesia Lulusan Belanda
Oei Jan Lee lahir di Banda Neira, Maluku, pada 1863. Ayahnya seorang Letnan Tionghoa yang membantu Kapitan Tionghoa, pemimpin komunitas Tionghoa di Banda Neira. Setamat pendidikan dasar Belanda di Banda Neira, dia mengikuti pendidikan dan pelatihan swasta di Banda Neira, untuk persiapan mengikuti tes penerimaan HBS (sekolah menengah Belanda) di Batavia. Setelah lulus HBS, pada 1882, Oei Jan Lee pergi ke Negeri Belanda. Dia mengikuti pendidikan gymnasium selama dua tahun sebagai syarat masuk universitas. Dia menjadi orang pertama dari Hindia Belanda yang belajar hukum di Universitas Leiden dan lulus pada Januari 1889. Menurut Patricia Tjiook-Liem dalam “The Chinese from Indonesia in the Netherlands and their heritage,” jurnal Wacana Vol. 18 No. 1, 2017, Oei Jan Lee kembali ke Hindia Belanda pada 1892. Pada umur 29, dia diangkat sebagai pengacara dan penasihat di Mahkamah Agung Hindia Belanda, salah satu jabatan tertinggi dalam peradilan kolonial. Ini adalah pengangkatan yang luar biasa dan karier yang sangat cepat pada masa kesenjangan hukum dan sosial yang besar antara Belanda (Eropa) dan Tionghoa (Timur Asing). Jabatan penting jarang diberikan kepada orang Tionghoa. Oei Jan Lee menikah dengan perempuan Eropa, Christina Johanna van Wijk, pada 1889. Pada waktu itu, orang yang bukan Eropa menikah dengan seorang perempuan Eropa, maka dia masuk ke golongan Eropa. “Contohnya Rd. Ismangoen Danoe Winoto dan Mr. Oei Jan Lee (Johan Lee); keduanya dipersamakan dengan orang Eropa, malahan yang tersebut belakangan menjadi Nederlander (warga negara Belanda, red. ) karena naturalisatie (naturalisasi),” tulis Sudargo Gautama dalam Segi-Segi Hukum Peraturan Perkawinan Tjampuran: (Staatblad 1898 No. 158) . Oleh karena itu, kendati Oei Jan Lee yang pertama kuliah hukum di Universitas Leiden. Namun, sejarawan Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah , menyebut orang Indonesia pertama yang meraih gelar Meester in de rechten (Mr.) atau sarjana hukum adalah Raden Mas Gondowinoto pada 1918. Gondowinoto lahir pada 1889 di Yogyakarta. Putra dari Pangeran Notodirodjo, saudara Pakoe Alam VI. Ayahnya sangat peduli dengan pendidikan. Karenanya dia dan saudara-saudaranya dimasukkan ke sekolah Belanda. Setelah lulus pendidikan ELS dan HBS pada 1907, dia menyusul kakaknya, Raden Mas Notokworo, meneruskan pendidikan ke Negeri Belanda. Notokworo menjadi orang Indonesia pertama yang menjadi dokter dari Universitas Leiden tanpa lebih dulu mengikuti pendidikan STOVIA (Sekolah Dokter untuk Bumiputra) di Hindia Belanda. Pada 1910, Gondowinoto, yang menguasai bahasa Latin dan Yunani, mengikuti langkah kakaknya yang lain, Noto Soeroto, mengambil jurusan hukum di Universitas Leiden. Noto Soeroto menjadi orang Indonesia pertama yang menempuh ujian kandidat hukum atau kandidaatexamen (semacam sarjana muda). Namun, dia gagal meraih gelar Mr. Sehingga Gondowinoto yang menjadi orang Indonesia pertama meraih gelar Mr. Setelah lulus tahun 1918, Gondowinotokembali ke Indonesia. Penugasan pertamanya sebagai anggota Majelis Kehakiman di Makassar (1919-1921). Kariernya naik menjadi hakim ketua pada Pengadilan Pribumi di Makassar. Dari Makassar, Gondowinoto bertugas di Kalimantan. Di sana dia pernah menjadi pembela Idham Chalid (kelak menjadi ketua PBNU) yang ketika itu menjadi penghulu di Setui, Kalimantan Selatan. Dalam biografinya, Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid: Tanggung Jawab Politik NU dalam Sejarah karya Arief Mudatsir Mandan, disebut bahwa Idham Chalid berhenti sebagai penghulu Setui karena perkara perkelahian dengan Haji Bakri. Penyebabnya tidak diketahui pasti. Kasus itu sampai ke pengadilan ( Landraad ) di ibu kota onderafdeling (Kawedanaan) Kota Baru, Pulau Laut. Hakim Landraad seorang Belanda agak memihak kepada Haji Bakri, kabarnya karena Idham Chalid pernah ikut mengurus Sarikat Islam dan Nahdlatul Ulama. “Seorang advokat sahabatnya, Mr. R.M. Gondowinoto, menjadi pembelanya di pengadilan. Akhirnya, keputusan perkara Upau alias tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang, dua-dua bebas, disuruh bermaaf-maafan. Keduanya menjadi bersahabat kembali,” tulis Arief Mudatsir Mandan. Malahan sehabis persidangan, Haji Bakri menginap di rumah Idham Chalid. “Demikianlah orang-orang tua dahulu, tidak ada yang menyimpan dendam walaupun pernah bersengketa.” Selain di bidang hukum, Gondowinoto juga terlibat dalam pergerakan lewat media massa. Dia menjabat direktur surat kabar Soeara Kalimantan yang mulai terbit pada 1 April 1930. A.A. Hamidhan sebagai kepala redaksi, dan A. Atjil sebagai redaktur keliling ( reizende redacteur ) dan penanggung jawab. Surat kabar ini diterbitkan oleh Drukkerij en Uitgevers Mij. Kalimantan. Pada 1934, susunan redaksi ditambah M. Hadhriah sebagai pejabat redaktur ( plaatsyervangend redacteur ) dan A. Madjidi sebagai kepala administrasi. Menurut Abdurrachman Surjomihardjo dalam Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia , mengenai haluannya, mingguan itu cenderung bercorak nasionalis dan berusaha memperjuangkan kepentingan Islam, umpamanya dalam artikel yang ditulis oleh redaksi tanggal 1 April 1930, antara lain mengemukakan: “Mementingkan soal-soal segenap kawan”; “wajib Pemoeda Islam sekarang ini menjelma warta”; “Angan angan kemerdekaan diharapkan Oemat”; “Boeatlah tjonto kepada Oemat”. Ketika pemerintah Hindia Belanda mencurigai Soeara Kalimantan , Gondowinoto menulis artikel “Soeara Kalimantan Berbahaja” tanggal 15 November 1930, yang antara lain mengemukakan bahwa Soeara Kalimantan : “Membela kehormatan bangsanya tanah airnya dari tindasan yang sewenang wenang dengan jalan yang patut … Akan mempertimbangkan dan memuji kepada siapa saja yang berbuat kebaikan dalam pekerjaannya tetapi mencuci sampai bersih pada segala perbuatan yang berbau busuk…. Mengajak rakyatbangsanya memperbaiki perekonomian dengan jalan memberi pandangan yang menarik hati mereka.” Pada masa pendudukan Jepang , Gondowinoto kembali ke Jawa. Dia menjadi penuntut umum di Mangkunegaran. Dia meninggal dunia pada 1953.
- Simbol Yahudi Tertua Ditemukan
Pecahan lampu minyak berukir menorah bercabang sembilan, baru saja ditemukan di selatan Kota Beersheba atau Beersheva, Israel bagian selatan. Menorah, merupakan simbol Yahudi berbentuk tempat lilin bercabang tujuh hingga sebelas. Temuan ini merupakan salah satu penggambaran menorah paling awal yang pernah ditemukan. Seperti dilansir dari Israel Today , Kamis (4/4) , pecahan lampu langka itu digali bersama temuan lainnya dalam sebuah penelitian arkeologis yang melibatkan Universitas Ben-Gurion di Negev, dengan penelitinya Peter Fabian dan Daniel Varga dari Otoritas Barang Antik Israel (Israel Antiquities Authority). Selain pecahan lampu yang langka itu, penggalian arkeologis juga mengungkapkan bukti lebih lanjut tentang kehidupan sehari-hari orang Yahudi Kuno di pusat kota Negev. Termasuk bejana dari batu kapur yang digunakan dalam ritual mereka. Ada pula sebuah menara pengawas setinggi 10 x 10 meter, dan sisa-sisa tangganya yang mengarah ke tingkat dua menara. Pun lorong-lorong tersembunyi di bawah tanah yang digunakan oleh para pejuang Yahudi melawan Romawi. Puluhan koin perunggu pun ditemukan dari periode kekuasaan Romawi atas Israel. Beberapa koin dicetak di Ashkelon, dan yang lain dicetak di kota-kota dari seluruh Kekaisaran Romawi. Replika menorah kuil yang bercabang tujuh. (Wikipedia). Menurut Peter Fabian dan Daniel Varga, sisa-sisa permukiman itu mencakup area seluas 2500 meter persegi. Ia meliputi beberapa struktur dan instalasi. Seperti fondasi menara pengawal yang besar, fasilitas pembuatan roti, lubang sampah kuno, dan sistem bawah tanah yang mungkin digunakan sebagai pemandian ritual Yahudi ( mikveh ). Tanda-tanda kebakaran juga ditemukan di beberapa struktur. Ini menunjukkan permukiman itu pernah mengalami kebakaran. Mungkin seperti pemberontakan Yahudi pertama pada sekira 70 M. “Itu adalah tahun yang sama ketika Kuil Kedua Yerusalem dihancurkan,” katanya. Semua temuan itu menggembirakan para peneliti. Mengingat para arkeolog telah dibingungkan oleh pertanyaan abadi: Di mana orang-orang Yahudi Beersheba kuno? Situs ini terletak di sepanjang perbatasan selatan kerajaan kuno Yehuda, di sebelah jalan yang mengarah dari Tel Beersheba ke dataran pantai selatan di sepanjang Laut Mediterania. Letaknya yang strategis, mungkin merupakan alasan untuk membangun menara pengawas. "Ini adalah daerah perbatasan. Kita tidak bisa mengatakan apa yang terjadi di sini pada periode itu," kata Shira Bloch, manajer situs untuk Universitas Ben-Gurion dan Otoritas Barang Antik Israel, dikutip Haaretz . Berada di jantung Gurun Nagev yang tandus dengan mata air, wilayah ini sudah ditempati manusia setidaknya selama 6.200 tahun dan mungkin lebih lama lagi. Selama bertahun-tahun, sebenarnya artefak dari bangsa Yahudi telah ditemukan. Namun, tidak ada bukti yang bisa menguatkan keberadaan permukiman di mana orang Yahudi tinggal saat itu. Namun, temuan terbaru ini akhirnya mengungkap sisa-sisa kota mereka. Situs Tel Beer Sheva. (Gugganij) Berdasarkan karakteristik tembikar pada waktu itu dan juga temuan-temuan lain, orang-orang Yahudi tampaknya telah tinggal di sana selama 150 tahun atau lebih, dari abad pertama sebelum Masehi hingga masa pemberontakan Bar Kokhba melawan Kaisar Romawi pada 135 M. Dia juga menjelaskan bahwa permukiman Yahudi yang dikenal luas berada jauh di utara. Sebelum ditemukannya permukiman ini, satu-satunya yang ditemukan di Beersheba dari periode Kuil Kedua adalah artefak dari peradaban Nabatean yang langka. “Ini adalah pertama kalinya sisa-sisa permukiman Yahudi dari periode Kuil Kedua telah ditemukan di Beersheba,” tulis Haaretz . Dalam Alkitab, nama kotaBeersheba disebutkan beberapa kali. Ini terkait dengan leluhur bangsa Ibrani, Abraham dan Ishak. Menurut Kejadian 21, disebutkan kalau kota ini didirikan oleh Abraham dan Abimelekh setelah keduanya menyelesaikan perbedaan mereka di atas sumur air dan membentuk perjanjian bersama. “Nama Beersheba berarti Sumur Tujuh atau Sumur Sumpah,” tulis CBN News . Alkitab pun mengatakan Ishak membangun sebuah altar di Beersheba dan Yakub bermimpi tentang tangga ke surga setelah meninggalkan kota. Belakangan, Nabi Elia dikisahkan berlindung di Beersheba setelah Izebel memerintahkan eksekusi.
- Kecelakaan Pesawat Garuda di Mumbai India
Pada 28 Mei 1968 pesawat Garuda jenis Convair CV-990 dengan registrasi PK-GJA jatuh di dekat Bandara Mumbai, India. Seluruh penumpang 29 orang (15 penumpang dan 14 awak) tewas. Beberapa warga desa di Bilalpada terkena puing-puing pesawat. Bahkan salah satunya meninggal. Pesawat itu terbang dari Jakarta, menuju Amsterdam, Belanda, dengan transit di Mumbai, Karachi, Kairo, dan Roma. “Pesawat itu jatuh dalam posisi hampir vertikal, sekitar 4,5 menit setelah lepas landas,” demikian data aviation-safety.net. Salah satu korban adalah Ir. Paula Putuhena, istri Menteri Kesehatan G.A. Siwabessy. Mereka menikah pada 3 Desember 1958. Paula lulus dari jurusan kimia Institut Teknologi Bandung. Dia pindah dari Departemen Pertanian ke BATAN (Badan Tenaga Atom Nasional) yang dipimpin oleh Siwabessy. “Paula pada waktu itu sangat aktif membantu dalam bidang atom, terutama dalam bidang kimia nuklir,” kata Siwabessy dalam memoarnya, Upuleru . Sebagai pejabat BATAN, Paula sering menghadiri konferensi-konferensi internasional. Salah satunya konferensi yang diselenggarakan setiap tahun oleh IAEA (International Atomic Energy Agency) dari PBB di Wina. Dia pun sering mengadakan kunjungan ke negara-negara Eropa, seperti Belanda, Prancis, Jerman, dan Italia. Paula menguasai empat bahasa asing secara aktif, yaitu Belanda, Prancis, Jerman, dan Inggris. Sehingga sebagai istri menteri dia sering membantu Ibu Tien Soeharto dalam kegiatan-kegiatan sosial taraf internasional di istana. Dia juga aktif dalam program pemerintah RIA Pembangunan. Bersama dr. Lukito Husodo, dia membangun paviliun kanker di RSCM untuk ibu-ibu penderita kanker. Paviliun itu diresmikan Ibu Tien Soeharto. Paula berniat melanjutkan kuliahnya sampai memperoleh Ph.D. Persiapannya sudah jauh ketika Siwabessy berangkat ke Negeri Belanda untuk memenuhi suatu undangan. “Sampai di Negeri Belanda, beta memanggil Paula per-telepon. Ini rupanya tindakan yang fatal. Pesawat yang ditumpanginya meledak 75 km di utara Mumbai pada 28 Mei 1968,” kata Siwabessy. Siwabessy segera terbang ke Mumbai dan tiba pada 30 Mei 1968. “Tetapi tidak ada lagi sisa-sisa yang dapat kami jumpai dari para penumpang maupun crew pesawat Garuda itu,” kata Siwabessy. Dia kembali ke Jakarta dan melapor kepada Presiden Soeharto. Presiden Soeharto mengirimkan sebuah pesawat Garuda ke Mumbai dan mengisi peti-peti jenazah dengan batu-batu yang diambil dari lokasi jatuhnya pesawat. Sebagian korban dikuburkan di pemakaman umum. Sedangkan para crew dikebumikan di Taman Makam Pahlawan. Sebagai istri menteri, Paula dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Upacara pemakamannya secara besar-besaran. Untuk mengabadikan Paula, C.L. Bundt, seorang pecinta anggrek di Ujung Pandang, menamakan suatu jenis anggrek hasil penyilangannya yang berwarna merah keungu-unguan, Dendrobium Paula Siwabessy . Nama ini telah terdaftar di Royal Horticultural of Orchid Hybrid di London, Inggris. “Nama itu diberikan untuk mengabadikan nama seorang wanita yang mempunyai andil dalam perkembangan ilmu atom di negara kita. Almarhumah selama hayatnya telah ikut mendampingi beta,” kata Siwabessy. Paula pergi meninggalkan suami dan dua anaknya yang masih kecil: Inagama (9 tahun) dan Latino (5 tahun).





















