Hasil pencarian
9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Hubungan Bilateral Jawa dan Tiongkok
JAWA merupakan wilayah pertama di Nusantara yang memiliki hubungan bilateral dengan Tiongkok. Kerajaan Jawa pula yang berinisiatif memulai hubungan itu dengan mengirimkan utusan ke utara. Nurni Wahyu Wuryandari, peneliti dari Pusat Studi Cina Universitas Indonesia, menjelaskan kontak Nusantara dengan Tiongkok sudah memiliki sejarah sejak tahun 131 M. “Kenapa Orang Jawa duluan (yang memulai hubungan, )? Jangan lupa bahwa bangsa kita pelaut ulung,” katanya saat ditemui dalam acara Borobudur Writers & Cultural Festival ke-7, di Hotel Manohara, Magelang, Jawa Tengah. Kedatangan orang Jawa pertama kali muncul dalam catatan resmi kerajaan di Tiongkok, misalnya Hou Han Shu bab ke-6 dan bab ke-116 . Dokumen Tiongkok klasik itu disusun oleh sejarawan istana masa Dinasta Han (206 SM-220 M). “Kenapa saya berani mengajukan begitu (orang Jawa duluan, )? Karena di dalam teks itu tidak ada narasi orang Tionghoa pergi ke Jawa,” kata Nurni. Dalam narasi yang hanya dua baris itu, lanjut Nurni, hanya berisi informasi asal utusan, keperluannya, dan apa yang dibawa. “Kalau menurut narasi itu adalah untuk memberikan persembahan dalam arti dari negara kecil ke negara besar. Cina selalu merasa sebagai kerajaan besar,” ujar Nurni. Setelah kedatangan orang Jawa ke Tiongkok itu, catatan tentang Jawa nyaris selalu hadir dalam dokumen resmi sejarah Tiongkok. Catatan tentang Jawa awalnya sangat singkat. Dokumen itu hanya menghadirkan data tentang kedatangan utusan Jawa ke daratan Tiongkok. Catatan itu belum disertai paparan data lokasi Jawa dan narasi kunjungan berdasarkan pandangan mata orang Tiongkok ke tanah Jawa. Itulah mengapa pada catatan awal kunjungan utusan Jawa ke Tiongkok sulit diketahui kerajaan mana yang dimaksud. Catatan itu tak spesifik menyebutkan nama kerajaannya. “Beda dengan masa Dinasti Tang, yang sudah mulai melihat kondisi orang dan alam Jawa,” kata Nurni. Catatan orang Tiongkok tentang Jawa makin lama makin lengkap dari masa ke masa. Catatan itu terutama setelah orang Tiongkok mulai singgah ke Nusantara. Catatannya pun tak hanya berisi data geografis, hubungan bilateral, tapi juga segala hal yang dilihat berdasarkan pandangan mata. “Informasi yang diberikan terkadang juga mengandung penilaian sejarawan atau pencatat dalam melihat perbedaan budaya,” ujar Nurni.
- Seks Serdadu Belanda
ITJAH masih berusia 11 tahun ketika para serdadu berkulit putih itu datang ke Panyindangan, kampungnya di Sumedang. Mereka yang sebagian besar anak muda belasan tahun tersebut lantas mendirikan pos yang menempati sebuah rumah besar milik salah satu pemuka kampung. Kedatangan mereka disertai lima perempuan muda pribumi yang berfungsi sebagai babu (pembantu). “Saya hanya ingat tiga di antaranya yakni Ceu Ipoh, Ceu Isah dan Ceu Marni. Mereka semuanya bertugas sebagai tukang masak, tukang setrika dan tukang cuci baju para serdadu,” kenang perempuan kelahiran tahun 1936 itu. Dalam pengamatan Itjah, kelima babu itu sangat disayang. Para serdadu itu tak segan menghadiahi uang dan makanan kepada mereka. Bahkan ada di antaranya selalu terlihat mesra dengan anak-anak muda Belanda itu. “Saya tidak tahu mereka bobogohan (pacaran) atau tidak, yang jelas mereka terlihat sangat akrab dengan tentara-tentara Belanda itu. Kadang saya lihat saling pegangan tangan,” ujar Itjah. Bisa jadi mereka bukan sekadar babu semata. Menurut sejarawan Belanda Step Scagliola dan penulis Annegriet Wietsma, pada 1946-1948 banyak perempuan pribumi yang berprofesi sebagai babu di pos-pos militer Belanda juga berlaku sebagai “kekasih” atau bahkan “istri” bagi para serdadu. “Ribuan anak lahir dari hubungan dengan perempuan-perempuan pribumi,” tulis Wietsma dan Stef Scagliola dalam Liefde in Tijden van Oorlog (Cinta di Zaman Perang). Kisah Princen Sebagai eks serdadu Belanda yang dikirim ke Indonesia, J.C. Princen tak menafikan kebutuhan biologis di kalangan prajurit-prajurit muda selama bertugas di negeri tropis itu begitu tinggi. Ada kalanya ketika sedang tidak bertugas, mereka keluyuran sampai ke pelosok dan gang-gang hanya untuk mencari perempuan. Sebuah kebiasaan yang sebenarnya sangat dilarang oleh kesatuan mereka. “Kami melakukannya dengan cara masing-masing. Ada yang sedikit memaksa, suka sama suka atau pergi ke para pelacur,” ujar lelaki kelahiran Den Haag tahun 1920 itu. Princen masih ingat, ketika bertugas di Bogor, dirinya pernah memacari seorang perempuan setempat. Namanya Asmuna, yang tinggalnya persis di belakang pasar dekat Kebun Raya Bogor. Suatu hari Asmuna datang mencari Princen ke markasnya yang terletak persis depan Istana Bogor (sekarang Hotel Salak). Alih-alih diantarkan menemui Princen, perempuan itu malah ditembak mati karena melawan saat dilecehkan oleh para petugas jaga. “Ketika terdengar tembakan, aku langsung berlari ke depan sambil membawa sten. Betapa terkejut dan marahnya aku ketika melihat Asmuna terbaring di ruangan jaga dengan tubuh penuh dengan lubang peluru dan bersimbah darah,” kenang serdadu Belanda yang kemudian membelot ke TNI tersebut. Kala mengetahui Asmuna adalah pacar Princen, sang serdadu langsung diperiksa MP (Polisi Militer). Dia dipaksa menunjukan tempat tinggal sang gadis untuk memastikan bahwa pacarnya itu tidak memiliki penyakit kelamin atau berkaitan dengan TNI. Namun Princen menolak. Dengan dalih lupa jalan menuju rumah gadis tersebut, dia hanya mengajak dua prajurit MP dan seorang petugas kesehatan tentara yang mengawalnya berkeliling wilayah gang-gang sekitar Kebun Raya Bogor saja. Akhirnya sang sopir menyerah dan memutuskan kembali ke markas yang terletak di depan Istana Bogor (sekarang Hotel Salak). “Hai, lebih baik kamu memeriksakan dirimu ke dokter. Kamu kan tidak tahu perempuan itu berpenyakit sifilis atau tidak,” ujar salah seorang anggota MP tersebut. Princen mengungkapkan hampir sebagian kawannya memiliki hubungan istimewa dengan para perempuan pribumi. Biasanya berhubungan intim merupakan sesuatu yang sulit untuk dihindari dalam relasi tersebut. “Peraturan memang melarang itu. Tapi apa boleh buat. Kami hanya berkompromi dengan berlaku secepatnya mengoleskan salep hitam ke alat vital kami begitu selesai bercinta. Salep itu memang bau tapi sangat berguna,” ujar Princen. Pacar Pribumi Pemenuhan kebutuhan biologis dengan memacari perempuan pribumi juga diungkap oleh Gert Oostindie. Dalam Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950: Kesaksian Perang pada Sisi Sejarah yang Salah ), Oostindie menyatakan bahwa banyak serdadu Belanda yang jatuh cinta dan memacari para perempuan pribumi. “Tetapi mungkin banyak juga hubungan yang lebih berlandaskan perhitungan dan egoisme,” ungkapnya. Seperti kasus di Sumedang, penelusuran Oostindie pun mengakui adanya fakta sebagian serdadu Belanda memacari para babu yang dipekerjakan di barak-barak militer. Bahkan sampai hamil, seperti diungkapkan dalam kesaksian seorang serdadu bernama Kees de Jong. Menurut de Jong, lebih sering mereka menghindar dari pertanggungjawaban daripada menikahi perempuan-perempuan pribumi itu. “Di Buitenzorg (Bogor), saya memiliki kawan yang berkencan dengan seorang pembantu sampai hamil lalu dia menikahinya. Saya jauh lebih menghormati laki-laki ini,” ujar de Jong seperti dikutip oleh Oostindie. Kendati terdapat propaganda untuk tidak melakukan praktek seks dengan perempuan pribumi, namun pimpinan militer Belanda menyadari bahwa hal tersebut tidak realistis. Sebuah brosur KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) memuat pesan bahwa melakukan kunjungan ke tempat pelacuran memang tidak diperbolehkan. Namun dalam kenyataannya tidak ada pengawasan terhadap larangan tersebut, sehingga kepada para serdadu ditegaskan agar mereka paling tidak “membersihkan diri dengan seksama secara profikasis.” Situasi perang yang serba susah di tanah Hindia juga berpengaruh terhadap “mudahnya” para serdadu mencari pasangan untuk bercinta. Dengan latar belakang kemiskinan kaum pribumi, praktek pelacuran pun tumbuh subuh bak cendawan di musim hujan. “Di sini (Indonesia) banyak laki-laki yang sudah kehilangan akal (terutama dalam hal seks). Di sini kami mendapatkan begitu banyak tawaran untuk bermain seks, baik dengan cara yang wajar maupun tidak wajar, tanpa perlu mencari-cari sendiri,” demikian pengakuan seoran veteran bernama Jan Fokkens. Begitu banyaknya para serdadu yang terjebak dalam kehidupan seks yang tidak sehat, menjadikan seorang perawat kesehatan militer Belanda bernama Klaas Soetten menyimpulkan bahwa kondisi tersebut sebagai situasi yang memang diinginkan dan diusahakan oleh tentara musuh. “Saya sangat yakin bahwa sebagian pemuda-pemuda kami di Hindia Belanda telah diracuni dengan penyakit kelamin,” kata Klaas. Dugaan itu memang bukan tanpa dasar. Seorang petinggi militer Indonesia bernama Jenderal Mayor Moestopo pada 1946-1947 memang pernah secara sengaja membuat suatu grup eksklusif bernama BWP (Barisan Wanita Pelatjoer). Sesuai namanya, mereka terdiri dari para pelacur yang kemudian diturunkan di Yogyakarta dan sektor Bandung Utara. Namun alih-alih menjadikan para serdadu Belanda menurun secara moril, yang ada para pelacur itu malah menebarkan penyakit kelamin di kalangan para gerilyawan TNI sendiri.
- Menjadi Manusia Bebas
KETIKA menjadi guru di sebuah sekolah liar alias sekolah partikelir yang tidak diakui pemerintah kolonial, Suwarsih mendapat ide untuk menulis novel sebagai medium perjuangannya. Novel itu diberi judul Buiten Het Gareel (Di Luar Jalur) yang diterjemahkan menjadi Manusia Bebas . Lewat novel itu Suwarsih ingin mengajak para pemuda untuk tabah dalam memperjuangkan kemerdekaan yang dipenuhi banyak kesulitan. Buiten Het Gareel dengan latar waktu dekade akhir menjelang kemerdekaan menjadi satu penanda karya buatan perempuan di masanya. “Karya Suwarsih membahas masalah yang lebih luas dari poligami dan perkawinan paksa namun tak mengabaikan masalah yang jamak ditemui di eranya,” tulis Cora Vreede de Stuers dalam Sejarah Gerakan Perempuan Indonesia. Gadis Nasionalis Suwarsih lahir di Cibatok, Jawa Barat 1912. Bersama kakak perempuannya, Nining, Suwarsih mengenyam pendidikan di Sekolah Van Devanter, Bogor. Suwarsih berangkat dari keluarga sederhana, ayahnya merupakan pedagang yang menikah dengan perempuan Tionghoa. Kedua orangtua Suwarsih berpemikiran maju, mereka membebaskan anaknya untuk menentukan pilihan hidupnya sendiri. Sebagai pejuang nasionalis, Suwarsih memilih mengajar di sekolah liar alih-alih di sekolah kolonial dengan penghasilan besar. Kegemarannya menulis dijadikan wahana perjuangan. Dia menulis untuk Majalah Kritiek en Opbouw. Sebuah tulisannya yang berisi desakan kepada pemerintah untuk membebaskan para pejuang nasionalis yang dibuang ke luar Jawa sempat membuat KritiekenOpbouw terancam dibredel. Perjuangan Suwarsih semakin meningkat setelah menikah dengan lelaki pilihannya, Sugondo Djojopuspito, sekretaris Kongres Pemuda 1928. Keduanya saling membantu dalam perjuangan kemerdekaan. Perjalanan Manusia Bebas Naskah Buiten Het Gareel semula ditulis dalam bahasa Sunda dan dikirim ke Balai Pustaka (BP) yang masih bernaung di bawah pemerintah kolonial. Namun, naskah tersebut ditolak lantaran berbau politik sehingga dianggap kurang berguna dan kurang berisi pengajaran. “Tepat juga penilaian dewan redaksi … Seluruh isi buku bernafaskan semangat perjuangan politik,” tulis Rob Nieuwenhuys dalam Bianglala Sastra yang ditulis ulang oleh Dick Hartoko. Suwarsih tak patah semangat. Dalam pertemuan dengan sahabatnya, Eddy Du Peron, redaktur di Kritiek en Opbouw, Suwarsih mengungkapkan mengenai naskahnya yang ditolak BP. Du Peron lalu menyarankan agar Suwarsih menulis ulang novelnya dalam bahasa Belanda. Suwarsih menurutinya. “Bahasa Belanda menjadi bahasa yang paling baik saya kuasai dan pahami waktu itu, dan juga bahasa yang dimengerti oleh orang-orang terpelajar di seluruh Indonesia,” kata Suwarsih seperti ditulisnya dalam pengantar Manusia Bebas . Tiap satu bab selesai, Suwarsih mengirimnya ke Du Peron. Beberapa catatan untuk pengembangan naskah biasanya diberikan Du Peron sebagai jawaban. Keduanya juga sering berjumpa untuk berdiskusi di tengah penggarapan beberapa bab naskah novel. Setelah melalui proses panjang, Buiten Het Gareel akhirnya diterbitkan tahun 1940 dan cetak ulang tahun 1946. Karya Suwarsih dianggap penting di masanya. Cora Vreede de Stuers menyebut karya Suwarsih merupakan bentuk pelawanan pasif pada pemerintah Hindia Belanda yang kala itu sedang melakukan penghematan besar-besaran akibat dilanda krisis dan gencar menangkapi semua orang yang dianggap nonkooperatif. Alhasil, perjuangan kemerdekaan dilakukan lewat cara-cara halus seperti menulis roman atau mendirikan sekolah liar sebagai wujud kepedulian pada rakyat bawah yang tak sanggup menjangkau pendidikan. Rekan Suwarsih sastrawan HB Jasin menyarankan agar novel itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Jasin menuliskan sarannya dalam Majalah Sastra edisi Januari 1969. Namun, Suwarsih ragu kalau penerbit mau membiayai pengerjaannya sementara keuntungan yang didapat kemungkinan sangat kecil. Rekannya yang lain, sejarawan Sartono Kartodirdjo, juga meminta izin untuk menerjemahkan Buiten Het Gareel ke dalam bahasa Inggris. Penerjemahnya ialah rekan Sartono, Harry J. Benda. Sayangnya, Benda keburu meninggal tahun 1971 sebelum sempat menerjemahkan Buiten Het Gareel . Pada awal Maret 1975, Suwarsih mendapat kabar dari sejarawan Belanda G. Termorshuizen yang mengatakan bahwa novelnya akan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Surat dari Kedutaan Besar Belanda di Jakarta menyusul tiba bulan berikutnya, menanyakan persetujuan Suwarsih bila karyanya diterbitkan dalam bahasa Indonesia. “Dan apakah saya suka mengerjakan terjemahan itu? Tentu saja saya setuju dan mau,” jawab Suwarsih . Karya Suwarsih dalam bahasa Indonesia kemudian terbit tahun 1975 lewat penerbit Djambatan.
- Tujuan Perjalanan I-Tsing, Biksu dari Tiongkok
DALAM perjalanannya menuju India, I-Tsing atau Yi Jing, seorang biksu Tiongkok, mampir tiga kali ke wilayah yang dia sebut Lautan Selatan. Dalam catatannya, dia memberikan imbauan bagi para biksu yang ingin belajar Buddha Dharma. “Lautan Selatan itu mencakup Sumatra, Jawa, Bali,” kata Shinta Lee, penerjemah catatan perjalanan I-Tsing dari Komunitas Sudimuja & Jinabhumi, dalam acara Borobudur Writers and Cultural Festival, di Hotel Manohara, Magelang. Yi Jing merupakan salah satu dari tiga peziarah terkenal dari Tiongkok. Pendahulunya adalah Fa Xian dan Xuan Zang. Waktu itu, di Tiongkok sudah banyak interpretasi atas ajaran-ajaran Buddha. Yi Jing pun ingin mempelajari Buddha Dharma di negeri asalnya: India. “Dia sudah berguru sejak muda, ketika remaja berangan-angan mengunjungi India yang waktu itu pusat pembelajaran Buddha Dharma,” kata Shinta. Pada 671 M, Yi Jing berangkat dari Guangzhou. Setelah berlayar selama 20 hari, dia mendarat di Fo-shi (Sriwijaya). Dia tinggal selama enam bulan untuk belajar Sabdavidya atau tata bahasa Sansekerta. Shinta menjabarkan menurut catatan Yi Jing, semua biksu di Fo-shi mempelajari mata pelajaran yang sama dengan yang dipelajari di Nalanda. Misalnya, Pancavidya yang mencakup pelajaran tata bahasa, pengobatan, logika, seni, keterampilan kerajinan, dan ilmu mengelola batin. “Beliau bahkan merekomendasikan jika biksu ingin ke Nalanda, yang konon susah sekali, baiknya belajar dulu di Sriwijaya,” kata Shinta. Khusus pelajaran tata bahasa Sanskerta, menurut Yi Jing, jika dipelajari sejak kecil bisa mengatasi segala kesulitan mempelajari kitab-kitab Buddha Dharma. Ketika itu di Sriwijaya, dia menyontohkan untaian kisah Jataka selain dipelajari, juga dilantunkan, dan dipentaskan. “Ini menunjukkan adanya penguasaan bahasa Sanskerta sebagai bahasa lokal. Jadi kisah Jataka bisa diwujudkan dalam bentuk lain (pementasan, red. ),” kata Shinta. Dari Sriwijaya, Yi Jing diantar olah raja ke Moluoyou (Melayu). Dia tinggal di sana selama dua bulan. Dari sana dia berangkat ke Jiecha (Kedah). Dari Kedah, pada 671 M, dia mengunjungi berbagai daerah hingga tinggal di Tamralipti, pelabuhan di pantai timur India pada 673 M. Dari sana dia mencapai Nalanda. Dia menetap dan belajar di Nalanda selama sepuluh tahun (675-685 M). “Setelah mempelajari teks di sana, lalu kembali untuk kedua kalinya ke Melayu yang kemudian menurut beliau sudah jadi bagian dari Shili Foshi,” lanjut Shinta. Padahal, pada awal kedatangan Yi Jing, di catatannya dia masih menyebut nama Malayu dan belum bernama Sriwijaya. Dalam hal ini, Shinta menyebutkan pernyataan Yi Jing dalam catatannya itu cocok bila dikaitkan dengan catatan sejarah. Prasasti Kedukan Bukit mencatat tanggal sebelum akhirnya Dapunta Hyang mendirikan Kota Sriwijaya pada 16 Juni 682 M. “Jika dikaitkan dengan catatan sejarah, Prasasti Kedukan Bukit, Sri Dapunta Hyang mengadakan jaya sidayatra pawai kemenangan atas ditaklukkannya Melayu atas Sriwijaya. Ini cocok,” kata Shinta. Kedatangan Yi Jing yang kedua membuatnya menetap selama empat tahun. Pada 689 M, dia naik kapal dan bermaksud menitipkan surat untuk meminta kertas dan tinta yang akan digunakannya menyalin sutra. Namun, dia terbawa kapal itu dan tanpa sengaja kembali ke Tiongkok selama tiga bulan. Padahal, 500 ribu sloka Tripitaka yang dia bawa dari India masih tertinggal di Sriwijaya. Dia kembali ke Sriwijaya dan tinggal selama lima tahun (akhir 689-695 M). Di sana, dia bertemu biksu bernama Da Jin. Kepadanya, Yi Jing menitipkan sutra dan sastra (ulasan) sebanyak 10 jilid, Kiriman Catatan Praktik Buddhadharma dari Lautan Selatan (empat jilid), Riwayat Para Mahabiksu yang mengunjungi India dan Negeri-Negeri Tetangga untuk Mencari Ajaran di Masa Dinasti Tang (dua jilid). Pada 695 M, Yi Jing pulang dan disambut meriah oleh Wu Zetian, kaisar perempuan. Dia membawa 400 teks Buddhis, 500 ribu sloka, dan peta lokasi Vajrasana Buddha. Itu hasil berkelana selama 25 tahun dan mengunjungi 30 negeri. “Kalau Yi Jing bilang praktik Buddha Dharma di Sriwijaya sama seperti di India, maka Nalanda juga menjadi model bagi Swarnadwipa. Maka bangunannya memang mirip. Hanya iklimnya yang berbeda,” kata Agus Widiatmoko, arkeolog dari Kementerian Pendidikan dan Budaya.
- Bangkit dari Kubur
INI bukan tajuk film horor. Ini lembaran perjuangan sebuah klub sepakbola asal Italia yang pernah jaya sampai pentas Eropa lantas terjun ke jurang kebangkrutan dan kini dengan kucuran air mata, darah, dan peluh berusaha bangkit dari kuburnya, yakni Parma Calcio 1913. Kebangkitan Parma jelas membahagiakan Rengga Aven Januadi, wakil ketua Parmagiani Indonesia, komunitas fans Parma di Indonesia, dan para fans Parma lain. Dengan kembalinya Parma ke papan atas Serie A, ada asa besar dari para anggota Parmagiani Indonesia melihat klub yang mereka cintai bisa kembali mentas di Eropa. “Harapan dan target awal kalau bisa bertahan dan lolos dari degradasi. Tapi kalau permainan bisa terus konsisten seperti ini, tidak mustahil Parma bisa kembali berjaya untuk dua atau tiga tahun ke depan. Kalau boleh saya prediksi untuk musim ini akan tetap di 10 besar,” ujar Rengga kepada Historia. Jatuh-Bangun Parma Bagi penggila bola zaman now, nama Parma mungkin terdengar asing. Maklum, klub yang berbasis di Kota Parma itu lama absen dari Serie A. Padahal, Parma merupakan klub yang melahirkan banyak bintang legendaris Italia macam Gianluigi Buffon, Fabio Cannavaro, atau Gianfranco Zola. Dalam ulasannya bertajuk “The Rise, Fall and Rise Again of Parma” yang dimuat Football-Italia , 3 November 2018, Anthony Barbagallo menyebut Parma sebagai tim tersukses Italia keempat di Eropa setelah AC Milan, Inter Milan, dan Juventus. Sebagai sebuah klub, Parma berembrio dari Verdi Football Club yang lahir pada Juli 1913. Situs resmi klub menyebutkan, Verdi FC didirikan untuk memperingati satu abad kelahiran komposer kenamaan asal Parma, Giuseppe Verdi. Pada 16 Desember 1913, klub berganti kepemilikan dan berganti nama menjadi Parma Football Club. Nama lengkap klub berubah-ubah seiring pergantian pemilik, mulai dari Parma AS (Associazione Sportiva), AC (Associazione Calcio) Parmense, Parma AC (Associazione Calcio), Parma FC S.p.A., dan terakhir Parma Calcio 1913 S.r.l sampai sekarang. Sejak pertamakali promosi ke Serie A pada musim 1990-1991, Parma sulit menyandingkan diri dengan sejumlah klub besar macam Inter Milan, AC Milan, Juventus, atawa AS Roma di panggung domestik. Paling banter tiga kali menang Coppa Italia (1991-1992, 1998-1999, 2001-2002), satu Supercoppa Italiana (1999), dan sekali jadi runner-up Serie A (1996-1997). Parma memetik gelar UEFA Cup (kini Europa League) musim 1998-1999 (Foto: parmacalcio1913.com) Tapi, Parma punya gigi di pentas Eropa. Klub asal region Emilia-Romagna itu punya capaian juara Piala Winners (1992-1993), dua Piala UEFA (kini Europa League) 1998-1999, dan satu Piala Super Eropa (1993). Masa-masa indah itu harus berakhir pada 2004. Parma bangkrut setelah Parmalat SpA –perusahaan produsen susu, jus, dan saus pasta pimpinan Calisto Tanzi– selaku pemilik 98 persen sahamnya terbelit skandal finansial –dikenal sebagai Skandal Parmalat– sejak bangkrut pada Desember 2003. Kendati begitu, Parma masih mampu tampil apik dan finis di urutan kelima Serie A musim 2003-2004. Bangkrut sejak April 2004, Parma berjalan tertatih-tatih. “Klub kembali dibangun tanpa pemilik selama hampir tiga tahun untuk mempertahankan posisi mereka di Serie A sampai musim semi 2008,” ujar Leonard Jägerskiöld Nilsson dalam World Football Club Crests . Baru pada 2007 Parma diambilalih pengusaha Tommaso Ghirardi namun kehilangan tempatnya di Serie A setelah degradasi pada akhir musim 2014-2015. Selain degradasi, Parma bangkrut lagi dengan utang 218 juta euro, termasuk utang gaji pemain dan staf sebesar 63 juta euro. “Kebangkrutan Parma murni karena dari pihak klub kurang pintar mengelola, terutama pada kebangkrutan kedua karena klub terlalu banyak meminjamkan pemain ke klub lain sehingga tidak dapat membayar pajak dari pemain itu sendiri. Akhirnya berakibat kebangkrutan. Parma sampai harus turun ke Serie D,” ujar Rengga. Parma harus memulai lagi dari kasta terendah, Serie D, di musim 2015-2016 berdasarkan Statuta FIGC (induk sepakbola Italia) Pasal 52 NOIF (Norme Organizzative Interne della FIGC). Perjuangan makin berat lantaran mayoritas pemainnya pilih hengkang. Namun, kapten Alessandro Lucarelli, satu-satunya pemain lama yang tersisa, berhasil “membimbing” rekan-rekannya untuk terus menjalankan roda perjuangan Parma. Dia berhasil. Dari Serie D, Parma promosi ke Serie C pada musim 2016-2017. Setahun berikutnya Parma kembali promosi ke Serie B. Pada musim 2018-2019, tim berjuluk Ducali itu comeback ke Serie A. Di giornata (pekan pertandingan) ke-13, Minggu (25/11/2018), berbekal kemenangan 2-1 atas Sassuolo di kandang sendiri, Stadio Ennio Tardini, Parma nangkring di urutan keenam alias jatah terakhir zona Eropa (Europa League). Emosi Alessandro Lucarelli, kapten Parma nan setia kala mengantarkan Parma ke Serie A (Foto: parmacalcio1913.com) Atas loyalitas dan jasa besar Lucarelli, klub memberi penghormatan padanya dengan memensiunkan nomor punggung 6 –nomor punggung Lucarelli– ketika sang bintang pensiun 27 Mei 2018 lalu. “Lucarelli sosok pemimpin, kapten yang sesungguhnya di dunia nyata. Belum ada yang seloyal dia. Bermain tanpa digaji dan bersedia main di divisi terbawah hanya untuk membawa Parma kembali ke habitat aslinya, Serie A,” sambung Rengga. Kesetiaan Parmagiani Dinamika Parma dengan prestasinya yang yahud, terutama di kancah Eropa, menarik banyak orang untuk menggemarinya. Tak hanya di Benua Biru, tapi juga sampai ke Indonesia. Pada 12 Juli 2009, beberapa fans Parma membentuk Parmagiani Indonesia, yang kini punya lebih dari 400 anggota resmi. “Para founder : Ivan, Gama, Adit, Kamsis, sepakat membentuk komunitas dan menjaring para anggota lewat media sosial Facebook . Maka muncullah grup Facebook Parmagiani Indonesia. Nama Parmagiani diambil dari kata ‘Parmigiano’, artinya warga Kota Parma. Kita modifikasi jadi Parmagiani,” jelas Rengga. Rengga kemudian bergabung ke dalamnya di tahun yang sama. “Saya sudah suka dengan Parma sejak 1998. Mungkin bisa dibilang pas era kejayaan Parma sebelum pabrik susu Parmalat (pemilik Parma) bangkrut. Di mana Parma diperkuat banyak pemain bintang seperti Buffon, Cannavaro, (Lilian) Thuram, Juan Verón, sampai duet (Enrico) Chiesa-(Hernán) Crespo,” ujar Rengga. Ban kapten Parma yang didesain Parmagiani Indonesia (Foto: Dok. Parmagiani Indonesia) Para fans Parma tentu merasa down kala Parma terlempar ke Serie D dan harus berjuang ekstra untuk kembali ke Serie A. Tapi sebagaimana Lucarelli, mereka tetap setia. “Loyalitas kami tak pernah luntur. Kami tak pernah melewatkan laga-laga Parma via live streaming dari Serie D, lalu naik ke kasta Serie C, lalu naik kasta Serie B dan sampai sekarang penantian kami berbuah hasil karena Parma naik kasta tertinggi Serie A. Magnificent Seven (Milan, Inter, Juventus, Fiorentina, Lazio, AS Roma, Parma) era 90-an is back ,” kata Rengga. Acara-acara nonton bareng (nobar) dan kegiatan futsal laiknya komunitas-komunitas fans lain jadi rutinitas kala berkumpul. Antusiasme dan kecintaan mereka pada Parma ternyata dilirik klub. Pada Oktober 2015, perwakilan Parmagiani diundang ke homebase Parma untuk bertemu Lucarelli. “Pada laga terakhir Serie D saat Parma melawan Sammaurese, desain (ban) kapten yang dipakai Lucarelli adalah buatan kami dari Parmagiani Indonesia,” terang Rengga.
- Raja Intel Jadi Panglima ABRI
NAMA Jenderal Andika Perkasa jadi pemberitaan sepekan belakangan. Perwira tinggi bertubuh atletis ini telah dilantik Presiden Joko Widodo sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Dia menjabat posisi orang nomor satu di jajaran TNI AD terhitung sejak 22 November 2018. Perbincangan menguar di sekitar pelantikan Andika. Sebagai lulusan Akmil angkatan 1987, Andika terbilang cepat menggapai puncak karier militernya. Pengalamannya dalam operasi militer ataupun memegang pasukan kemudian dipertanyakan. Rekam jejak Andika juga disangkut-pautkan dengan ayah mertuanya, Jenderal (purn) Hendropriyono, mantan kepala BIN (Badan Intelijen Negara) yang dekat dengan Presiden Joko Widodo. Sebagian kalangan menilai, moncernya karier Andika tak lepas dari relasi perkoncoan di Istana. Pengangkatan Andika agak mirip dengan kisah Benny Moerdani di era Orde Baru. Mereka sama-sama diragukan karena dianggap minim jam terbang memimpin pasukan. Khusus untuk Benny Moerdani, tak tanggung-tanggung. Presiden Soeharto menunjuknya sebagai panglima ABRI. Rekam Jejak Benny Bernama lengkap Leonardus Benyamin Moerdani. Sosok Benny langsung jadi sorotan saat pelantikannya sebagai panglima ABRI pada Maret 1983. Namanya melejit seketika. Sebelumnya, Benny menjabat sebagai Asisten Intelijen Pertahanan dan Keamanan merangkap Asisten Intelijen Kopkamtib sekaligus wakil kepala Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Negara). Sebagai perwira intel yang selalu berada di balik layar, tak banyak yang menyadari siapa dan bagaimana sosok Benny Moerdani. Soal penujukan Benny, pengamat militer Salim Said punya jawaban. “Di masa Orde Baru, aturan yang berlaku dibuat dan dipraktikkan sendiri oleh Pak Harto. Mana yang baik saja menurut Beliau,” kata Salim Said kepada Historia . Keputusan Soeharto menunjuk Benny sebagai Panglima ABRI memang memantik perdebatan. Sebagian orang menilik kendala dalam perjalanan karier kemiliteran Benny yang belum lengkap. Seperti umum diketahui, Benny minus sejumlah pengalaman keperwiraan. Benny belum punya pengalaman memimpin teritorial semisal panglima Kodam. Dia juga tanpa pengalaman sebagai pendidik dan tak pernah mengikuti Seskoad (Sekolah Komando Angkatan Darat). Nyaris seluruh pengalamannya berlangsung di pasukan khusus dan intelijen. Bahkan di bidang telik sandi Benny bisa dikatakatakan lebih ahli hingga dia dikenal sebagai Si Raja Intel. Sebagai komandan, jabatan tertinggi yang pernah dipegang Benny hanya komandan batalion sewaktu memimpin “Operasi Naga” di Papua. Operasi militer skala besar yang pernah ditangani Benny barangkali misi invasi ke Timor-Timur pada 1975. Dengan demikian, muncul sentimen seakan-akan Benny langsung meloncat dari jabatan intel ke posisi Panglima ABRI. Salah satu yang bersuara kritis adalah mantan Panglima Pangkopkamtib Jenderal (Purn.) Soemitro. Soemitro sebenarnya kurang sepakat dengan keputusan Soeharto yang mengangkat Benny menjadi Pangab menggantikan Jenderal M. Jusuf. Adalah lebih baik, menurut Soemitro, bila Benny terlebih dahulu diberi pengalaman memegang teritorial. “Saya sarankan agar Benny dijadikan dulu Pangkowilhan (Panglima Komando Wilayah Pertahanan), jangan langsung jadi Pangab (Panglima ABRI),” kata Soemitro sebagaimana dikutip Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto. “Tidak ada waktu lagi,” konon begitulah jawaban Soeharto kepada Soemitro. Panglima Pilihan Melihat rekam jejaknya, mengapa Benny yang ditunjuk sebagai panglima? Benny sendiri tak tahu-menahu alasan pengangkatan dirinya. Itu semua kembali kepada Presiden Soeharto yang punya hak prerogatif. Surat Keputusan Presiden No. 47 16 Maret 1983 menetapkan bahwa Benny memenuhi syarat untuk menjabat Panglima ABRI. “Namun sebagian pendapat melukiskan, penunjukan Benny mungkin akan bisa menjadi jembatan antara Perwira Angkatan 45 dengan generasi lulusan AMN,” tulis Julius Pour dalam Benny Moerdani: Tragedi Seorang Loyalis . Menurut Julius Pour, Benny yang sedari muda ikut memanggul senjata dalam perang kemerdekaan semasa tentara pelajar merupakan faktor yang cukup diperhitungkan. Dengan pengalaman itu, Benny menjadi figur representasi Angkatan 45 yang tersisa. Namun, Benny juga dianggap tak terpaut jauh dari perwira alumni AMN Magelang. Mereka yang tak memperoleh peluang berjuang dalam palagan era revolusi. Sebagai perwira generasi perantara, Benny menjadi pilihan terbaik yang dapat menjembatani kesinambungan dua generasi tersebut. Sementara itu, menurut Salim Said menyitir penjelasan Robert Lowry, atase militer Australia di Jakarta saat itu, pilihan Soeharto terhadap Benny punya pertimbangan pragmatis: memperkecil potensi oposan. Salah satu tugas Benny selaku Panglima ABRI adalah menghapuskan Kowilhan. Lembaga ini selama belasan tahun telah memberi tempat kepada sejumlah jenderal, laksamana, dan marsekal. Kenyatannya, setelah Benny menjabat panglima, lembaga tersebut memang dilikuidasi. Apa lacur, selama menjadi Panglima ABRI, peran Benny cukup besar menyokong kedudukan Soeharto di puncak kekuasaan. Kepentingan negara terjaga. Stabilitas politik jauh dari gaduh. Keamanan masyarakat terjamin. Termasuk membungkam mereka yang bersuara kritis terhadap pemerintah. “Buat Pak Harto, Benny Moerdani sebagai Pangab waktu itu paling aman,” ujar sesepuh TNI AD yang juga mantan Wakil KASAD (1973-74) Sayidiman Suryohadiprodjo kepada Historia . “Ya aman bagi Pak Harto terhadap pihak-pihak yang berusaha melawannya.”
- Kapan Orang Mulai Merias Mata?
ILMIAWATI Safitri, mahasiswa Universitas Gadjah Mada, mengaku bila sebelum pergi dirinya terlebih dulu selalu membedaki wajahnya dan mewarnai bibirnya dengan gincu. “Supaya nggak kelihatan pucat. Kadang lipstick kutaruh di pipi buat blushon , hahaha...” ujarnya sambil terkekeh kepada Historia . Selain merias bibir dan pipi, Mia, sapaan akrabnya, tak lupa merias matanya dengan celak ( eyeliner ). Bersama dengan bedak, riasan mata menjadi dandanan rutin bagi sebagian perempuan sebelum bepergian. Aktris Penelope Cruz dan Syahrini mungkin paling fanatik, keduanya tak pernah lepas dari riasan mata. Syahrini bahkan memperkenalkan bulu mata badai beberapa waktu lalu. Bulu mata itu bisa digunakan hanya dengan bantuan maskara, salah satu produk riasan mata berbahan kohl . Kohl merupakan bahan yang mengandung senyawa antimony (sejenis logam tak stabil yang berbentuk kristal) yang digunakan masyarakat Mesir Kuno sebagai pembuat kosemetik. Di masa inilah, menurut Sjarief Wasitaatmadja yang sejak 1970-an berprofesi sebagai dokter dan pengamat kecantikan, bukti historis tertua penggunaan kosmetik dapat dijejaki dari lukisan Ratu Cleopatra mengenakan celak dan eye shadow . Orang Meskir Kuno, terutama yang tinggal di daerah lembah, menggunakan msdmt atau kohl untuk celak. Kata “kohl ” berasal dari bahasa Arab dan ahli kohl disebut kahal . Kata inilah yang kemudian populer untuk menyebut bubuk hitam bahan dasar kosmetik mata. Sementara, orang Mesir kuno menyebut kohl dengan msdmt, cohm dalam bahasa Koptik, stimmi dalam bahasa Yunani. Lukisan-lukisan Mesir Kuno menunjukkan bahwa orang Mesir, baik lelaki maupun perempuan, biasa merias mata dengan warna hitam di bagian atas kelopak mata dan hijau di bagian bawah. Beberapa juga memilih warna abu-abu atau biru untuk mewarnai kelopak mata di bawah alis. “Warna hitam dan hijau kebiruan berasal dari batu yang ditumbuk hingga halus. Sementara warna abu-abu dan hijau perunggu diperoleh dari biji tembaga,” tulis Lawrence Charles Parish dalam “Cosmetic: A Historical Review”. Penggunaan antimoni sebagai eye shadow juga ditemukan di masyarakat Romawi Kuno. Sementara, penggunaan kohl di India sudah tercatat sejak abad ke-4. India mengekspor kohl bersama dengan minyak wijen dan ekstrak melati ke Tiongkok. Menurut Sk Cahudari dalam “History of Cosmetic”, India juga menyalurkan cengkeh, kemenyan, jahe, pala, dan nilam dari Indonesia ke Tiongkok. Penggunaan kohl yang di India disebut kajal punya sejarah panjang dalam budaya Hindu. Kohl diyakini memiliki manfaat kesehatan sehingga digunakan mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Jikalau kohl sulit ditemukan, orang India menggantinya dengan jelaga yang kadung menumpuk di dalam rumah akibat aktivitas pembakaran. Semula, kohl hanya digunakan untuk celak. Namun pada 1913, ketika ahli kimia dan parfum Perancis Eugène Rimmel merancang kuas untuk mengoleskan kohl ke bulu mata, keluarlah maskara non-toksik pertama buatan pabrik. Produk perdana ini jauh dari sempurna, berantakan saat dipakai dan hasilnya tidak selalu bagus. Namun, maskara buatan Rimmel sangat populer di seluruh Eropa. Beberapa negara bahkan masih menyebut maskara sebagai "rimmel", merujuk pada si pembuat. Meski konon celak mujarab untuk menyehatkan mata dan mengobati trachoma , hasil penelitian terkini oleh Badan Kesehatan Dunia menunjukkan bahwa kosmetik mata baik celak, maskara, atau eye shadow mengandung merkuri organik. Padahal, penggunaan merkuri untuk make up dan produk perawatan kulit (bahkan dalam lampu bohlam, baterai, dan thermometer) sudah dilarang. Namun, sampai hari ini merkuri masih terkandung dalam banyak produk riasan mata yang diperjual-belikan. Penyebabnya, para peneliti dan pembuat kosmetik belum menemukan bahan pengganti yang cukup aman yang bisa menyamai efektivitas merkuri. Dalam make up mata, merkuri berguna untuk membunuh bakteri dan jamur serta mengawetkan produk agar tetap aman dipakai walaupun sudah lama disimpan. Lantaran merkuri merupakan logam berat dan berbahaya, BPOM membatasi penggunaannya untuk kosmetik mata dengan kadar 0,007%. Sementara, Badan Keamanan Obat dan Makanan Amerika memberi batas konsentrasi hingga 65 ppm (parts per million, 65 bagian merkuri banding 1 juta bahan lain). Meski dinilai aman karena konsentrasinya sangat rendah, beberapa dokter menganjurkan ibu hamil atau orang-orang dengan kondisi imun lemah tidak menggunakan kosmetik yang mengandung merkuri. “Karena sedang hamil, aku sudah nggak pernah pakai eye liner lagi,” kata Mia.
- Wartawan Pencetus Ballon d'Or
Rasa penasaran penggila sepakbola di berbagai penjuru dunia makin meluap seiring kian dekatnya hari-H Penganugerahan Ballon d’Or 2018. Selain megabintang Cristiano Ronaldo (Portugal/Juventus) dan Lionel Messi (Argentina/Barcelona) yang masing-masing telah merebutnya lima kali, ada 28 bintang lain yang saling bersaing untuk menjadi number one . Mereka antara lain, Kylian Mbappé (Prancis/Paris-Saint-Germain), Luka Modrić (Kroasia/Real Madrid), Antoine Griezmann (Prancis/Atletico Madrid), dan Mohammed Salah (Mesir/Liverpool). Ke-30 nama itu bakal dikerucutkan jadi tiga nama finalis sekaligus ditentukan pemenangnya pada Senin (3/12/2018) mendatang di Paris. Pemenangnya ditentukan oleh vote ratusan jurnalis olahraga yang ditentukan dan masuk dalam tim jurnalis internasional yang akan dikumpulkan media Prancis, France Football . Pemenang ditentukan lewat tiga penilaian. Pertama , performa individu setahun terakhir. Kedua , talenta dan permainan fair play . Ketiga , penilaian keseluruhan karier si pemain. Capaian gol maupun gelar juara yang diraih si pemain bersama klub maupun negara tidak serta-merta menjadikannya perebut Ballon d’Or. Gabriel Hanot dan Mula Ballon d’Or Ballon d’Or atau penghargaan Bola Emas sejatinya merupakan anugerah tahunan untuk pesepakbola putra terbaik. Sebagaimana namanya, Ballon d’Or asli produk Prancis. Penghargaan ini digagas wartawan cum mantan pesepakbola Prancis Gabriel Hanot pada 1956. Maka itu penentuan pemilihan suara untuk pemenang pemain terbaiknya ditentukan oleh wartawan. Gabriel Hanot yang lahir di Arras, 6 November 1889, mulanya merupakan pesepakbola klub US Tourcoing. Bill dan William J. Murray dalam The World’s Game: A History of Soccer menyingkap, Hanot juga sempat jadi bek timnas Prancis dengan catatan 10 caps sejak 1908. Sayang, karier Hanot berakhir pada 1919 akibat cedera kaki permanen pasca-kecelakaan pesawat. Namun, passion -nya pada sepakbola tak pernah padam. Dia lalu memilih jadi wartawan olahraga. “Hanot menjadi wartawan di L’Auto , Mirroir des Sports, dan kemudian L’Equipe dan France Football ,” tulis Patrick Boudreault dalam “Saga Ligue des Champions: Gabriel Hanot, Visionnaire de Genie” yang dimuat dalam LaDepeche , 6 Agustus 2007. Hanot juga mengadvokasi liga profesional Prancis lewat Commision de Classement et de Statut Pro. “Bahkan pada 1932 Hanot ikut menggagas kejuaraan profesional Prancis (kini Ligue 1),” sambung Patrick Boudreault. Pada 1945-1949, Hanot jadi pelatih timnas Prancis. Bersama rekannya di L’Equipe, Jacques Ferran, Hanot mengagas Piala Champions (kini UEFA Champions League) pada 1955. Dengan adanya kompetisi para juara di Eropa, sang pemimpin redaksi France Football itu lalu juga melahirkan penghargaan untuk pemain terbaik Eropa, Ballon d’Or. Gabriel Hanot (kiri) menyerahkan trofi Ballon d'Or pertama pada 1956 untuk Stanley Matthews (Foto: L'Equipe) Adalah Stanley Matthews, pemain sayap Inggris yang bermain di klub Blackpool, yang jadi pemenang pertamanya, tahun 1956. Trofi penghargaan berbentuk bola berlapis emas itu diserahkan langsung oleh Hanot di Paris. Trofi itu, catat situs FIFA edisi 6 Januari 2016, didesain dan diproduksi sebuah perusahaan pembuat perhiasan legendaris yang berdiri sejak 1613, Mellerio dits Meller. Perusahaan itu pula yang membuat ulang trofi dari tahun ke tahun dengan desain dan komposisi yang sama. Trofi bola emas 18 karat itu berdiameter 31 cm dan berbobot lima kilogram. Hingga 1994, hanya pemain Eropa yang memenangkannya lantaran penghargaan ini memang dibuat khusus untuk pesepakbola Benua Biru. Namun sejak 1995, para pemain dari berbagai benua bisa mengikutinya dan bahkan memenangkannya selama berkarier di klub Eropa. Benar saja, begitu aturan baru diterapkan pada 1995, Ballon d’Or langsung direbut George Weah, pemain Liberia yang kala itu merumput di AC Milan. Ronaldo Luiz Nazario de Lima (Brasil/Barcelona) yang merebutnya pada 1997 tercatat jadi pemenang asal Amerika Latin pertama. France Football selaku penyelenggara lalu digandeng FIFA bekerjasama menghelat anugerah tahunan itu, namanya berubah jadi FIFA Ballon d’Or pada 2010-2015. Sepanjang masa ini, pemilihan pemenang tidak dimonopoli para jurnalis namun juga mengikutsertakan para kapten tim anggota FIFA. Setelah kerjasama dengan FIFA terhenti pada 2016, France Football tetap menghelat anugerah Ballon d’Or. Sementara, FIFA menghelat anugerah sendiri bernama FIFA World Player of the Year. Mulai tahun ini, Ballon d’Or tak hanya akan diberikan kepada pesepakbola putra terbaik. France Football akan membuka voting para jurnalis untuk memilih pesepakbola putri terbaik. Lucy Bronze (Inggris/Olympique Lyon), Pernille Harder (Denmark/VfL Wolfsburg), Saki Kumagai (Jepang/Lyon) dan 12 pemain putri/kandidat lain bersaing untuk menjadi yang terbaik.
- Catatan Perjalanan Haji Muslim Nusantara
Orang-orang Nusantara sudah banyak yang memeluk Islam. Kesultanan Islam telah dikenal dunia. Namun, hingga dua abad setelahnya tak diketahui apakah sudah ada yang pernah naik haji ke Makkah. Kisah tertulis pertama tentang orang Melayu atau Nusantara yang berhaji baru muncul pada akhir abad ke-15 M, yaitu Hang Tuah yang ceritanya dikenal sekira 1482 M. “Hang Tuah tokoh tersohor di Malaka. Ini masa akhir kehidupan Malaka sebagai kesultanan dan 30 tahun sebelum direbut Portugis pada 1511,” kata Henri Chambert-Loir, peneliti di Ecole Française d’Extrême-Orient (EFEO), dalam acara Borobudur Writers Cultural and Festival ke-7, di Hotel Manohara, Magelang, Jumat (23/11). Namun, kisah Hang Tuah ini pun terbukti mendapat tambahan dalam tubuh ceritanya. Adegan ini, menurutnya, dipinjam dari teks Arab. “Ini artinya bukan orang Nusantara atau Hang Tuah yang pergi ke Makkah,” ujarnya. Menafikan Haji Anehnya lagi, menurut Henri, catatan perjalanan naik haji berikutnya umumnya negatif. Beberapa tokoh utama menafikan manfaat naik haji. Contohnya kisah tentang dua orang sultan Malaka. Pertama, sultan yang berkali-kali ingin naik haji, tapi keburu meninggal sebelum naik haji. Sultan kedua secara gamblang menafikan ketinggian Makkah atas Malaka. Dia juga secara tersirat menafikan kesahan ibadah haji ke Makkah. Berita itu datang dari penjelajah asal Portugis, Tome Pires dalam catatannya, Suma Oriental. Sultan yang dimaksud adalah Sultan Mahmud Syah (1488-1511). “Dia begitu pongah keterlaluan dan takabur tentang ini sampai dia membanggakan diri sedemikian berkuasa hingga dapat menghancurkan bumi dan dunia memerlukan pelabuhannya sebab letaknya di ujung musim, dan Malaka akan dijadikan Makkah, dan dia tak berpegang pada pendapat ayah dan kakeknya mengenai pergi ke Makkah,” catat Pires. Tokoh yang senada adalah Hamzah Fansuri, penyiar sufi agung dari pelabuhan Barus. Dia pernah naik haji seperti disinggungnya dalam syair: Di dalam Makkah mencari tuhan di Bait al-Ka’bah/ Di Barus ke Kudus terlalu payah/ Akhirnya dapat di dalam rumah. Ini artinya, kata Henri, Hamzah Fansuri pergi ke Makkah, menjalankan ritual haji, mencari Tuhan di dalam Masjidil Haram, tetapi merasa justru menemukan Tuhan di dalam dirinya sendiri. Bait ini, termasuk wacana yang meremehkan peran haji dalam kehidupan seorang muslim, khususnya aliran tasawuf. “Tuhan tak perlu dicari di Makkah, adanya di dalam diri sang sufi,” kataHenri. Lalu pada awal abad ke-17 M, cerita datang dari seorang ulama tersohor, Syeikh Yusuf Makassar. Dia kemudian menjadi qadi di Kesultanan Banten pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683). Kisah ini, kata Henri, ditemukan dalam naskah Bugis, Riwakna Tuanta Salamaka ri Gowa. Syeikh Yusuf naik kapal. Di tengah pelayaran, dia berjumpa Nabi Khidir. Syeikh Yusuf dinasihati supaya tak perlu pergi ke Makkah. Kata sang nabi, tak ada yang bisa dipelajari di situ. Namun, Syeikh Yusuf tetap pergi ke Makkah. Setibanya di sana, dia melakukan berbagai keajaiban yang memperlihatkan kelebihannya atas penduduk Haramain. Dalam sejarahnya, menurut Henri, tak ada satu pun raja atau sultan Indonesia naik haji kecuali Sultan Pontianak pada 1800 M. Namun dia pun bukan orang Nusantara, melainkan Arab. “Barangkali ini disebabkan karena raja-raja Indonesia tak mau mengakui kelebihan negara lain,” ucap Henri. Kendati begitu, beberapa raja dari Banten, Mataram, dan Makassar mengirim utusan ke Makkah untuk memohon gelar sultan. Beberapa sultan juga mendirikan rumah pemondokan di Makkah dan Mina untuk calon haji dari kerajaan mereka. Kebiasaan Menulis Sulitnya menemukan catatan perjalanan orang Nusantara pergi haji, bukan berarti tak pernah ada yang berhaji. Pasalnya, kebiasaan menulis catatan harian atau catatan perjalanan memang bukan menjadi kebiasaan orang Melayu atau Nusantara. “Menulis tentang diri sendiri bukan budaya Indonesia. Ini baru muncul pada abad ke-19 karena pengaruh Eropa,” kata Henri. Dengan demikian kisah orang Melayu naik haji baru muncul lama sekali setelah Islam masuk ke Nusantara. Kisahnya muncul dalam Tuhfat al-Nafis oleh Raja Ahmad, bangsawan keturunan Bugis dari Riau. Tulisannya itu dibuat pada 1860-an. Sementara dia naik haji pada 1828. “Dia tidak menyebut mau menunaikan rukun Islam, tapi membayar nazar yang diucapkannya waktu sakit,” ujar Henri. Adapula kisah haji dalam Perjalanan Saya ke Makkah karyaR.A.A. Wiranatakusumah, yang saat itu menjabat bupati Bandung. “Salah satu kisah tentang naik haji paling menarik,” kata Henri. Lalu 40 tahun kemudian muncul semakin banyak kisah haji. Ada sembilan kisah, dari Hamka, Ali Hasjmy, Rosihan Anwar, dan Asrul Sani. Pada 1965, kisah haji terbit dalam jumlah lebih banyak lagi, sampai puluhan judul. Oman Fathurachman, filolog UIN Syarif Hidayatullah menambahkan, baik penceritaan pengalaman berhaji yang ditulis orang Nusantara maupun bangsa lain punya ciri masing-masing. “Jadi orang-orang Nusantara juga naik haji dan menuliskannya, tapi karakternya sangat berbeda,” ujarnya. Penjelajah asing, seperti Ibn Battutah menulis pengalaman perjalanan dengan kebiasaan mendeskripsikan yang dia lihat. Sementara orang Nusantara lebih menerangkan pengalaman spiritual, kondisi perjalanan haji, seperti kondisi kapal dan pengalaman rohaninya. “Itu yang menonjol. Jadi kita tidak lihat apa yang mereka lihat di sana, orang Arabnya bagaimana, dan lain-lain. Mungkin karena tak begitu paham bahasanya,” ujar Oman.
- Dari Kota Satria ke Formosa
GOR PB Djarum di bilangan Slipi, Jakarta Barat siang, 25 Oktober 2018, itu tengah sepi. Di pojok sejumlah lapangan bulutangkisnya terdapat sebuah ruangan kecil yang hanya berisi tiga meja dan kursi namun penuh arsip dan dokumen administratif. Di ruangan itulah Historia menanti salah satu maestro bulutangkis 1990-an Fung Permadi. Fung akhirnya datang 5-10 menit kemudian. Mengenakan batik biru dengan jaket hitam bercorak kuning, pria ramah itu menebar senyum. Sapa hangat pria kurus yang rambutnya sudah memutih itu mengiringi jabat tangan. Sejak 2007, Fung dipercaya PB Djarum jadi kepala pelatih. PB Djarum juga menjadi induk semang karier bulutangkis pria bernama asli Chen Feng itu. Fung mengakui, bulutangkis mulanya sekadar jadi penyaluran hobi pada masa kecilnya di Kota Satria, julukan Kota Purwokerto, Jawa Tengah. “Tidak ada dari keluarga saya yang senang olahraga, tidak ada juga darah bulutangkis. Hanya memang saya waktu kecil diperkenalkan bulutangkis dari tante saya. Hanya untuk penyaluran (kegiatan/hobi) saja,” tutur pria kelahiran Purwokerto, 30 Desember 1968 itu kepada Historia. Seperti kebanyakan anak-anak usia 12 tahun di Purwokerto, Fung kecil menggemari sepakbola. “Ya biasa main bola di jalanan sehabis sekolah,” ujarnya. Selain itu, dia juga hobi nonton tinju. “Hampir selalu juga kalau ada tayangan tinju Muhammad Ali di TV, sering bolos sekolah malah.” Namun, hobi-hobinya itu diprotes keluarga. “Pulangnya malam terus. Lalu disarankan tante saya, Marisa, untuk coba bulutangkis. Dari coba-coba itu akhirnya saya memutuskan untuk lebih serius dengan bulutangkis dengan ikut sebuah klub,” lanjutnya. Di usia SMA, Fung menjuarai bebeapa kejuaraan lokal. Dari situlah Fung mulai kenal dengan beberapa pelatih PB Djarum. Ketertarikannya untuk masuk PB Djarum juga terdorong oleh beberapa rekan seangkatannya di klub asalnya. “Ada beberapa teman angkatan saya, dua-tiga orang, sudah masuk PB Djarum duluan. Lalu saya juga menyusul, mengajukan diri. Sempat ikut tes dulu dalam sebuah kejuaraan di Solo, setelah itu baru diterima di PB Djarum pada September 1983,” kenangnya. Pengalaman berbeda dirasakan Fung setelah masuk PB Djarum, yang mengharuskannya beradaptasi dengan kebiasaan-kebiasaan baru di asramanya di Kudus. “Di PB Djarum fasilitasnya sudah lebih mendukung, lebih lengkap dari klub asal saya di Purwokerto. Selain asrama, pelatih-pelatihnya juga sudah banyak menelurkan pemain-pemain Indonesia yang berprestasi di tingkat internasional, seperti Liem Swie King, Hastomo Arbi, Hadi Bowo Susanto,” kata Fung menambahkan. Selain bebas iuran, di PB Djarum pendidikan Fung juga dijamin. “Untuk sekolah, kita disekolahkan di SMA Keluarga Kudus yang letaknya dekat dengan asrama. Jadi jam 7 pagi sekolah sampai jam 1 siang. Lalu jam 3 sore latihan fisik sampai jam 5. Besoknya sekolah lagi dan begitu saja rutinitasnya. Sabtu hanya latihan fisik, Minggu baru libur.” Namun, jauh dari orangtua membuat Fung acap didera homesickness . “Kangen keluarga pasti. Saya hanya bisa pulang kalau ada jeda pertandingan panjang dan libur sekolah,” ujarnya. Namun, itu hanya satu dari sekian hambatan yang mesti dilalui Fung sebagai konsekuensi memilih bulutangkis sebagai jalan hidupnya. Hijrah ke Formosa Karier Fung di tunggal putra perlahan menanjak. Pada 1986, Fung ditarik ke Pelatnas. Tiga tahun kemudian, Fung menjuarai tiga kejuaraan internasional: Canadian Open, Polish Open, dan German Open. Fung pun dipercaya menjadi bagian skuad Thomas Cup 1990, di mana Indonesia harus puas sebagai semifinalis. Dia kemudian menjuarai Swiss Open tahun 1993. Namun, pada 1995, Fung hijrah ke Pulau Formosa, pulau utama Republic of China atau sohor disebut Taiwan. Alasannya, Fung kurang mendapat kesempatan tampil di kejuaraan mancanegara sebagai atlet pelatnas. Fung tersisih dari sejumlah bintang bulutangkis Indonesia lain macam Alan Budikusuma, Joko Supriyanto, Ardi B. Wiranata, dan Hariyanto Arbi. Mulanya, Fung ingin ke Australia, tapi kesulitan cari sponsor. Dia lantas memutuskan ke Taipei sembari menjenguk ibunya. Beruntung dia bisa bergabung ke sebuah bank yang mendirikan sebuah klub. Hal itu membuat Fung jadi satu dari sedikit pebulutangkis paling awal yang kariernya bermain untuk dua negara –Indonesia dan Taiwan. Langkah Fung kemudian diikuti antara lain oleh Tong Sinfu (Indonesia, China), Mia Audina (Indonesia, Belanda), dan Tony Gunawan (Indonesia, Amerika Serikat). Mengutip situs BWF (Federasi Bulutangkis Dunia), Fung bertarung di bawah panji China Taipei/Taiwan sejak 1995 hingga 2002. Tidak hanya di berbagai kejuaraan terbuka, tetapi juga Olimpiade (2000) dan Asian Games (2002). “Makanya sebenarnya ketimbang di sini, nama saya lebih dikenal di sana (China Taipei). Karena 10 tahun lebih saya di sana jadi pemain sampai pensiun,” kata Fung. Sebagai pemain China Taipei, Fung lebih bergelimang gelar juara. Dia menjuarai Hong Kong Open 1996, Chinese Open 1996, Korea Open 1999, Chinese Taipei Open 1999, dan Swiss Open 1999. Namun, kata Fung, “Buat saya yang tertinggi adalah menjadi finalis Kejuaraan Dunia 1999. Di final saya kalah dari pemain China Sun Jun.” Fung menutup kariernya pada 2005. Hingga setahun setelah pensiunnya, dia jadi pelatih tunggal putra China Taipei. Pada 2007, Fung kembali ke Indonesia untuk menjadi pelatih kepala PB Djarum.
- Jalan Berliku Menuju Kongres Kebudayaan Pertama
KENDATI dipercaya menjabat ketua Panitia Kongres Bahasa Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda, Pangeran Prangwadono (kemudian menjadi Mangkunegoro VII) tak terlalu acuh. Bersama beberapa anggota Boedi Oetomo (BO) cabang Surakarta, dia –yang sejak awal menggagas agar diadakan pembahasan kebudayaan dalam bentuk kongres– justru lebih antusias membahas hal lebih besar. “Mereka berpendapat bahwa yang perlu diselenggarakan bukan Kongres Bahasa Jawa seperti yang dikehendaki pihak Batavia, tetapi Kongres Kebudayaan untuk memperbincangkan masalah kebudayaan Jawa,” tulis Nunus Supardi dalam Bianglala Budaya: Rekam Jejak 95 Tahun Kongres Kebudayaan 1918-2013 . Pemerintah pusat di Batavia sebelumnya memutuskan membuat Kongres Bahasa Jawa. Gagasannya datang dari teosof terkemuka Van Hinloopen Labberton. Keseriusan pemerintah dibuktikan dengan dibentuknya panitia yang anggotanya antara lain Dr. Hoesein Djajadiningrat, sejawaran dan doktor bumiputra pertama lulusan Leiden Universiteit; Dr. FDK Bosch, dan Dr. B. Schrieke, plus Dr. Hazue sebagai anggota kehormatan. Mereka lalu menunjuk Prangwadono menjadi ketua kongres. Namun, Prangwadono dan para kaum terpelajar BO Surakarta telah bertekad membuat kongres kebudayaan Jawa sehingga tak acuh pada keinginan pemerintah. Kegigihan mereka membuat pemerintah mengalah. “Pihak Batavia memutuskan untuk membiarkan para anggota BO di Surakarta mengambil langkah sendiri dalam mengatur penyelenggaraan kongres. Akhirnya mereka menyelenggarakan Kongres Kebudayaan Jawa dan bukan Kongres Bahasa Jawa.” Sarat Debat Izin pemerintah menjadi dasar para intelektual BO Surakarta membentuk panitia kongres. “Pelaksanaan dan organisasinya diserahkan selanjutnya kepada satu panitia tersendiri, lepas dari Budi Utomo,” ujar Margono Djojohadikusumo, ayah begawan ekonomi Soemitro Djojohadikusumo, yang hadir di kongres tersebut, dalam memoar berjudul Kenang-Kenangan dari Tiga Zaman: Satu Kisah Kekeluargaan Tertulis . R. Sastrowidjono dipercaya menjadi ketua panitia itu. Namun, perdebatan mengiringi persiapan kongres. Sebagian golongan menghendaki kehadiran para intelektual Eropa dalam kongres yang akan dihelat. Kubu lain justru menolak dengan alasan tak ingin orang asing mencapuri kebudayaan Jawa. Pada rapat kedua, kedua kubu sepakat menolak kehadiran intelektual Barat. Perdebatan baru selesai ketika semua sepakat pada saran Prangwadono. Dia mengusulkan, intelektual Eropa sebaiknya diizinkan terlibat dalam kongres tetapi sebatas sebagai penasihat –meski realitasnya para intelektual Barat di kongres kemudian ada yang menjadi pemrasaran. Silang pendapat kedua terjadi ketika pembahasan topik kongres. Dr. Radjiman Wedyodiningrat bersikukuh agar kongres membahas tentang pendidikan yang menitikberatkan pada pendidikan kebudayaan asli Jawa. Pandangan itu dengan tegas ditolak Sastrowidjono sang ketua panitia yang justru menitikberatkan pada pendidikan Barat. Prangwadono dan Wuryaningrat memilih pendidikan Barat dan Jawa sekaligus. Kehadiran Hoesein Djajadiningrat, doktor bumiputra pertama lulusan Leiden Universiteit pertama, di dalam persiapan itu makin menambah sengkarut. Putra bupati Banten itu mengarahkan agar kongres tak hanya memperbincangkan budaya Jawa. Kompromi akhirnya dicapai setelah Prangwadono menyarankan agar topik kongres diperuas. Kongres, kata Prangwadono, sebaiknya membahas masalah bagaimana memajukan kebudayaan Jawa. Dengan begitu, peran pendidikan dalam memajukan kebudayaan tetap termuat di dalamnya. Sementara, arahan Hoesein Djajadiningrat membuat peserta kongres datang dari beragam etnis, bukan hanya orang Jawa. Setelah melalui jalan berliku penuh perdebatan, panitia pun memutuskan kongres dihelat pada 5-7 Juli 1918 di bangsal Kepatihan Keraton Surakarta. Sembilan orang (lima intelektual Jawa dan empat intelektual Belanda) dipilih menjadi pemrasaran. Kongres tersebut, yang akan dihadiri para pemrasaran berkapasitas dan peserta berintegritas, akan menghadirkan perdebatan ilmiah pertama yang melibatkan intelektual bumiputra, terutama antara Soetatmo dan Tjipto Mangoenkoesoemo. “Jika ditinjau kembali, debat itu sesungguhnya mempunyai jangkauan yang lebih luas daripada jangkauan debat pada waktu berdirinya Volksraad, terutama karena dalam perdebatan itu Tjipto dan Soetatmo Soerjokoesoemo membahas masalah bagaimana menempatkan makna pergerakan dalam sejarah dan kebudayaan Jawa dan bagaimana sikap di alam pergerakan, justru di masa pergerakan sedang bergejolak kembali. Memang, pada tahun 1918 pergerakan berada pada satu titik yang menentukan,” tulis Takashi Shiraishi dalam “’Satria’ vs ‘Pandita’, Sebuah Debat dalam Mencari Identitas”, dimuat dalam Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang yang dieditori Akira Nagazumi. ( Bersambung )
- Gerakan Menentang Pembangunan TMII
Menjelang pengujung 1971, Ibu Tien Soeharto menyita perhatian masyarakat. Dia mengumumkan rencana pembangunan Miniatur Indonesia Indah (MII), sebuah taman besar representasi kebudayaan dari 26 provinsi di Indonesia. Dia memperkirakan pembangunan MII akan berbiaya Rp10,5 miliar. Pengumuman Ibu Tien bikin bingung masyarakat. Sebab sebelum Ibu Tien mengumumkan rencana pembangunan MII, Presiden Soeharto, sekaligus suami Ibu Tien, berpidato tentang anjuran hidup prihatin. “Jangan melakukan pemborosan-pemborosan, karena sebagian besar rakyat masih hidup miskin,” kata Soeharto, dikutip Mahasiswa Indonesia , 5 Desember 1971. Soeharto juga menekankan bahwa segala rencana pembangunan hendaknya berlandas pada skala prioritas. “Marilah kita menggunakan dana dan kemampuan yang kita miliki sekarang hanya bagi usaha-usaha yang perlu dalam rangka mencapai kemajuan,” lanjut Soeharto. Gerakan Menentang TMII Sebagian masyarakat menganggap rencana pembangunan MII bertolak belakang dengan anjuran hidup prihatin dari Presiden Soeharto. Mereka menyebut rencana pembangunan MII serupa dengan proyek mercusuar. Tidak punya banyak manfaat untuk masyarakat dan justru mengingatkan mereka pada proyek mercusuar garapan Bung Karno pada era Orde Lama. “Sama sekali tak bisa dikatakan bahwa proyek MII memang menduduki tempat teratas dalam skala prioritas pembangunan sehingga begitu urgen untuk diwujudkan sekarang juga,” catat Mahasiswa Indonesia , 9 Januari 1972. Suara menentang rencana pembangunan MII berasal dari kelompok mahasiswa di Medan, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Malang. “Sebagai protes terhadap apa yang mereka anggap penghamburan yang tidak dapat diterima karena terbatasnya kemampuan keuangan negara, maka para mahasiswa di Bandung dan Jakarta membuat berbagai gerakan ad-hoc dengan nama yang lucu seperti Gerakan Penghematan, Gerakan Akal Sehat (GAS), dan Gerakan Penyelamat Uang Rakyat,” ungkap Francois Raillon dalam Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia . Kelompok penentang pembangunan MII berupaya menekan gagasan Ibu Tien dengan dua cara: demonstrasi dan diskusi. Gerakan Penghematan (Gepeng) mendatangi kantor pemerintah terkait pembangunan MII, sedangkan Gerakan Penyelamat Uang Rakyat menyambangi sekretariat Yayasan Harapan Kita (YHK) dan membentangkan spanduk “Sekretariat Pemborosan Uang Negara” pada 23 Desember 1971. Tak lama setelah aksi bentang spanduk, sekelompok orang sekonyong-konyong muncul membawa senjata tajam. Mereka menyerang anggota Gerakan Penyelamat Uang Rakyat. Satu orang anggota Gerakan Penyelamat Uang Rakyat lunglai, kena bacok. Kemudian suara tembakan terdengar. Kaca sekretariat YHK pecah dan seorang lagi anggota Gerakan Penyelamat Uang Rakyat roboh. Peluru bersarang di pahanya. Penyerangan terhadap anggota Gerakan Penyelamat Uang Rakyat menambah gelombang protes mahasiswa terhadap rencana pembangunan MII. Antara lain dari organisasi Perhimpunan Mahasiswa Katolik Indonesia, Himpunan Mahasiswa Islam, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, dan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia. Empat organisasi mahasiswa tersebut turun ke jalan, menuntut polisi mengusut penyerangan terhadap anggota Gerakan Penyelamat Uang Rakyat, dan meminta pemerintah menimbang ulang proyek MII. Sekelompok mahasiswa Universitas Indonesia turut menyatakan simpatinya atas kasus penyerangan terhadap anggota Gerakan Penyelamat Uang Rakyat. Mereka bergerak ke kediaman Ibu Tien dan Presiden Soeharto di Jalan Cendana, Jakarta, pada 27 Desember 1971. Mahasiswa ingin berdialog dengan Ibu Tien dan Presiden Soeharto mengenai rencana pembangunan MII. Tapi keinginan mereka tak terwujud. Petugas keamanan berjanji meneruskan aspirasi mereka ke Ibu Tien dan Presiden Soeharto. Memberangus Pengkritik Di Bandung, jalanan sepi dari aksi mahasiswa. Tetapi ruang-ruang kelas di universitas ramai oleh seminar dan diskusi tentang rencana pembangunan MII. GAS, salah satu gerakan ad-hoc penentang MII di Bandung, menghadirkan pembicara dari kalangan teknokrat, birokrat, pemimpin redaksi media massa, dan intelektual. Diskusi berlangsung secara lepas dan tanpa ketegangan. Memasuki awal tahun baru 1972, rencana pembangunan MII termuat di sejumlah media mancanegara. The Evening Star , surat kabar di Washington AS, menyorot keterlibatan batalion zeni ABRI dalam pembangunan MII. “Yang normalnya bekerja untuk operasi karya seperti pembangunan jalan, kini akan menjadi sukarelawan untuk merambah proyek ini,” demikian catat The Evening Star , 3 Januari 1972, seperti diulas Mahasiswa Indonesia , 16 Januari 1972. Awal tahun baru juga ditandai dengan kian lantangnya suara gerakan-gerakan penentang MII. Latar belakang gerakan penentang juga makin bertambah. Tak lagi hanya berasal dari mahasiswa, tetapi juga dari kalangan seniman dan intelektual seperti W.S. Rendra, Arief Budiman, H.J.C. Princen (Poncke), dan Mochtar Lubis. “Taufan protes-protes terhadap proyek mini Indodnesia telah berhembus ke segenap penjuru tanah air kita,” tulis Mochtar Lubis di Indonesia Raya , 13 Januari 1972, termuat dalam Tajuk-Tajuk Mocthar Lubis Seri 1 . Aksi-aksi jalanan dan diskusi gerakan penentang MII mulai dapat tanggapan dari presiden. Dia menilai aksi dan diskusi dari para penentang MII tidak substansial, agresif, dan keluar batas. Dia menduga ada "Mister X" yang punya tujuan lain di balik protes terhadap pembangunan MII. “Saya tahu bahwa ada kelompok tertentu yang ingin menjadikan proyek yang kami cita-citakan itu sebagai satu issue politik. Mereka mencari kesempatan untuk bisa mengganggu kestabilan nasional,” kata Soeharto pada 6 Januari 1972, dalam Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya . Soeharto memperingatkan gerakan penentang MII agar tidak berperilaku di luar batas. Dia akan menghantam gerakan itu jika berniat menggulingkan kekuasaannya. “Yang memakan kedok demokrasi secara berlebih-lebihan akan ditindak. Kalau ada ahli hukum yang mengatakan tidak ada landasan hukum, demi kepentingan negara dan bangsa, saya akan gunakan Supersemar,” kata Soeharto dikutip Mahasiswa Indonesia , 9 Januari 1972. Ancaman Soeharto mewujud jadi tindakan nyata pada 17 Januari 1972. Letjen TNI Soemitro, Wakil Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Wapangkopkamtib), melarang semua aktivitas gerakan anti-MII. Petugas juga menahan beberapa tokoh penentang MII seperti Arief Budiman dan Poncke. “Kenapa dilarang, alasannya adalah karena katanya mereka-mereka itu dengan nyata telah melakukan kegiatan-kegiatan yang dinilai sebagai ancaman serius bagi keamanan dan ketertiban umum, demokrasi menurut UUD '45 serta wibawa pemerintah dan stabilitas pemerintah,” tulis Mahasiswa Indonesia , 23 Januari 1972. Pelarangan terhadap aktivitas gerakan penentang MII mengalihkan saluran protes ke DPR. Anggota gerakan penentang MII meminta anggota parlemen membahas rencana pembangunan MII. Lampu Hijau dari Parlemen DPR kemudian membentuk panitia khusus MII. Panitia ini lalu memanggil tokoh-tokoh penentang MII, perwakilan pemerintah dan YHK. Mereka duduk bersama membahas sisi positif dan negatif pembangunan MII selama Maret 1972. Rapat pembahasan itu berkeputusan bahwa YHK boleh melanjutkan pembangunan MII. “Proyek itu boleh diteruskan dengan syarat tidak boleh menikmati fasilitas keuangan negara dan juga tak ada sumbangan wajib,” catat Raillon. DPR meminta pemerintah membentuk badan pengawas untuk mengawasi aliran dana dan pembangunan MII. Di dalamnya termasuk tokoh budayawan dan intelektual. Sejak itulah suara protes terhadap MII menjadi senyap. Batu pertama pembangunan MII diletakkan pada 30 Juni 1972. Dan pada 20 April 1975, MII resmi dibuka dengan nama Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Tepat sehari sebelum hari Kartini. Dalam album Kenang-Kenangan Peresmian PembukaanTaman Mini Indonesia Indah 20 April 1975, Ibu Tien hari itu kelihatan berwajah sangat cerah. Dia banyak melempar senyum. Berpidato di hadapan tamu undangan peresmian TMII, Ibu Tien sempat menyatakan terima kasih kepada para penentang gagasannya. “Karena ketidaksetujuan mereka sebenarnya ingin mengingatkan kami agar kami tidak berbuat salah. Dan dengan begitu mendorong kami untuk bekerja lebih berhati-hati,” kata Ibu Tien. Soeharto juga mengungkapkan rasa gembiranya dengan maujudnya TMII. Pengunjung memadati TMII setelah hari peresmian. Hari demi hari, kunjungan warga terus meningkat. Seraya itu pengelola melanjutkan pembangunan TMII tahap kedua. Soeharto kini balik mengejek pengkritiknya. “Kenyataan, sekian tahun kemudian, menunjukkan bahwa setelah Taman Mini Indonesia Indah itu jadi, pengkritik-pengkritik itu akhirnya mengakui manfaatnya,” kata Soeharto. Tak bisa dibantah bahwa sekarang TMII telah menjadi tujuan wisata favorit di Jakarta. Dan satu lagi yang tak bisa dielakkan pula, ia juga telah menjadi catatan sejarah tentang bagaimana rezim Orde Baru bersikap terhadap pengkritiknya.





















