top of page

Hasil pencarian

9580 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Meneropong Jejak Konflik di Tanah Rencong

    BERBEKAL janji yang sudah dibuat sejak jauh hari, Siti Rahmah berangkat ke rumah Bambang Darmono di Cikeas, Bogor. Sempat menunggu, dia akhirnya bertemu tuan rumah yang datang terlambat. “Rumah SBY sebelah sana, nggak jauh dari rumahku,” kata Rahmah menirukan ucapan Bambang, ketika berbicara dalam peluncuran bukunya, Jejak Setapak di Tanah Rencong (berikutnya disebut Jejak Setapak ) , Rabu (28/2/18) sore di The Atjeh Connection, Sarinah, Jakarta Pusat. Bambang merupakan panglima Komando Operasi TNI di Aceh sewaktu provinsi paling barat Indonesia itu ditetapkan Darurat Militer pada 2003. Dari Bambang, Rahmah ingin mengorek informasi tentang konflik Aceh dan penyelesaiannya versi TNI. Dan, Rahmah mendapatkannya. Tulisan tentang Aceh semasa konflik dan persahabatan Rahmah dengan sang jenderal menjadi satu dari sekian tulisan di buku tersebut. Bambang hanyalah “minoritas” di buku kumpulan tulisan Rahmah. Mayoritas narasumber dalam tulisan-tulisan Rahmah di buku tersebut adalah “orang-orang kecil”, mulai dari pasukan dan pemasok senjata GAM, Inong Balee (pasukan perempuan GAM), kurir, aktivis penyelesaian konflik Aceh, hingga penerjemah GAM. “Buku Rahmah bercerita tentang orang-orang biasa. Bukan orang besar. Peristiwa-peristiwa kecil dan orang-orang kecil,” kata Budi Setiyono, penyunting Jejak Setapak , yang juga menjadi pembicara di acara itu. Selama 10 tahun sejak 2008, Rahmah melakukan riset mendalam, menemui orang-orang yang terlibat dalam konflik, dan melakukan pendekatan secara personal. “Ketemu dulu, ngobrol ringan, dapat banyak cerita lalu saya bilang, ‘gimana kalau saya tulis jadi buku?’, kemudian mulai menulis,” kata Rahmah. Ide penulisan Jejak Setapak tidak muncul begitu saja. Bermula dari diskusi ketika dia menjadi peneliti program conflict and development di Bank Dunia, Rahmah lalu terjun ke lapangan, bertemu dengan masyarakat korban konflik. Dari situ ia mulai tertarik menulis tentang mereka. Jejak Setapak memuat 19 tulisan. Sebagian pernah dipublikasikan di media massa, terutama di pantau.or.id . Rahmah memberi porsi besar pada kisah para perempuan dalam konflik Aceh. Cut Farah Meutia atau Farah, misalnya. Dia beserta 20-an teman sesama anggota Perempuan Merdeka menolak kehadiran TNI di Aceh dan menuntut penyelesaian konflik Aceh secara damai. Mereka berdemonstrasi ketika Megawati datang ke Aceh, 8 September 2001. Kegiatan Farah ini menarik simpati pemimpin GAM dan memintanya memberi pengetahuan politik untuk InongBalee . Integritas Farah membuatnya terpilih sebagai peninjau sipil, mewakili Perempuan Merdeka, di perundingan Tokyo, Mei 2003. Farah tak pernah menduga dirinya bakal menjadi penentu dalam perundingan itu. Para anggota delegasi GAM lepas tangan dalam menentukan keputusan akhir, apakah akan menerima otonomi khusus yang disodorkan delegasi Indonesia atau menolak dengan risiko diserang, dan memasrahkannya pada Farah dan Erwanto. Erwanto pun kemudian melemparkannya pada Farah. “Karena keputusan dimandatkan ke tangan saya, posisi saya seperti simalakama. Jika saya mengatakan otonomi, saya akan diklaim sebagai pengkhianat sepanjang masa oleh GAM dan juga rakyat Aceh. Jika saya ambil keputusan untuk berperang, tentunya itu bukan kapasitas saya,” kata Farah membatin. Sambil terus diburu waktu yang hanya 10 menit, Farah terus menimbang-nimbang. Dia akhirnya mengambil sikap ketika waktu untuk menyatakan keputusan tiba. “Kita siap berperang melawan Indonesia sampai kapanpun,” kata Farah kepada mediator dari Henry Dunant Centre. Perundingan pun gagal. Indonesia menjawab keputusan delegasi GAM, yang dibuat Farah, dengan memberi status Darurat Militer untuk Aceh. Pertumpahan darah kembali terjadi. Bersama perang, beragam cerita lahir dan mengiringi. Perempuan Merdeka, oraganisasi yang didirikan Farah bersama temanny,a lahir di tengah konflik. “Perempuan Aceh pada masa konflik sangat kuat. Banyak perempuan Aceh yang saya temui sangat berani dan perempuan di garis depan. Dari dulu sangat berani,” kata Rahmah. Rahmah juga mewawancara Abdullah Puteh yang kala konflik menjadi Gubernur Aceh. Puteh punya peran penting dalam penyelesaian konflik Aceh, penghubung antara pemerintah RI dan GAM. “Rahmah menulis sesuatu di tengah konflik. Banyak peristiwa-peristiwa lain yang tidak diketahui dan perlu digali lagi,” kata Puteh yang juga hadir di peluncuran buku. Tapi, tidak seluruh isi buku Rahmah membahas tentang konflik Aceh. Ada pula pembahasan lain, seperti kesenian Aceh. “Saya meyayangkan buku ini tidak ada indeksnya. Tapi Rahmah memotret semua dimensi di Aceh. Potret dinamika masyarakat Aceh, tsunami, konflik, maupun perdebatan masalah perdamaian Aceh. Kebaruannya tidak lepas meski rentang waktu 10 tahun,” kata Irine Gayatri yang juga menjadi pembicara. Rahmah mengajak pembaca mengikuti jejaknya menelusuri konflik Aceh. Dengan sangat dekat, dengan gaya bercerita yang membuat pembaca merasa hadir bersama Rahmah.

  • Nasib Jenderal Pembangkang di Era Soeharto

    DI ujung senjanya, Jenderal TNI Abdul Haris Nasution masih mendapat perlakuan tak menyenangkan meski di tengah suasana dukacita. Kala melayat mantan koleganya Jenderal T.B. Simatupang yang wafat pada 1 Januari 1990, Nasution dengan kasar didorong ke luar ruangan jenazah oleh para pengawal Soeharto. Waktu itu, Presiden Soeharto memang akan tiba juga untuk melayat.

  • Silsilah Penguasa untuk Berkuasa

    DALAM pidatonya di hadapan kader Partai Demokrat di Stadion Redjoagung Tulungagung, Jawa Timur, Minggu 25 Februari 2018, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengaku keturunan Raden Wijaya, pendiri Majapahit. Raja-raja Jawa di masa lalu juga melakukannya untuk melegitimasi kekuasaannya. “Ini jadi penting karena bisa digunakan untuk legitimasi diri,” ujar Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang, ketika dihubungi Historia. Meraih kekuasaan dengan menunjukkan diri sebagai keturunan penguasa adalah cara berpikir monarkis. Pada era kerajaan, kesultanan, keraton maupun kasunanan, kekuasaan diperoleh melalui hubungan keluarga. “Ini sudah tradisi sejak masa lalu,” kata Dwi. Pada masa kerajaan Hindu-Buddha, seorang raja bahkan melegitimasi diri sebagai titisan dewa, biasanya Dewa Wisnu atau Dewa Siwa. Misalnya, Dyah Balitung, raja Medang atau Mataram Kuno pada abad 9, mengaku titisan Dewa Rudra, salah satu aspek dari Dewa Siwa. Istilahnya, dalam Prasasti Wanua Tengah III (908), disebut Rudramurti. Dwi menjelaskan, dalam prasasti yang dikeluarkannya, Prasasti Mantyasih (907), Dyah Balitung juga menarik urutan raja-raja pendahulunya hingga Sanjaya, raja pertama Mataram Kuno dari Dinasti Sanjaya. “Ada kemungkinan Balitung naik takhta bukan sebagai putra raja terdahulu, tapi dia menantu dengan mengawini putri mahkota,” ujar Dwi. Balitung, kata Dwi, pun memberikan anugerah kepada orang-orang yang berjasa dalam pernikahannya. Hal ini penting untuk mengingatkan khalayak bahwa dia menantu, tetapi tetap memiliki trah panjang raja-raja terdahulu. Riboet Darmosoetopo, epigraf Universitas Gajah Mada, menjelaskan pula bahwa Daksa, saudara ipar Balitung, tanpa alasan jelas diangkat sebagai hino, sebutan untuk putra mahkota. Daksa kemudian menggantikan Balitung setelah dia turun takhta. Untuk memperkuat kedudukannya, Daksa membuat perhitungan tahun yang berpangkal pada peristiwa penting Raja Sanjaya. Tahun itu disebut Tahun Sanjaya. “Secara tak langsung dia menyatakan masih keturunan Sanjaya,” tulis Riboet dalam Sima dan Bangunan Keagamaan di Jawa Abad IX-X TU . Begitu pula raja berikutnya, Tulodong. Dia mempergunakan nama abhiseka (gelar penobatan) untuk menyatakan diri sebagai wakil dewa di dunia: Rakai Layang Dyah Tulodong Sri Sajjanasanmatanuragatunggadewa. Raja Airlangga juga begitu. Dalam Prasasti Pucangan (1041), dia membeberkan silsilahnya hingga Mpu Sindok, raja Medang Kamulan. Dia naik takhta di Medang melalui pernikahan dengan putri Dharmawangsa Tguh, raja terakhir Medang Kamulan. “Sebenarnya ibunya (Airlangga, red. ) punya hak atas takhta di Jawa, tapi dia tidak naik dan menikah dengan Udayana di Bali,” jelas Dwi. Hayam Wuruk, raja terbesar Majapahit, bahkan sampai memugar 27 pendharmaan leluhurnya. Salah satunya Candi Kagenengan di mana Ken Angrok didharmakan. “Dalam membangun silsilahnya, dia (Hayam Wuruk, red. ) tidak hanya keturunan Raden Wijaya (Majapahit, red. ), tapi juga Singhasari yaitu Ken Angrok,” lanjut Dwi. Selain memugar, Hayam Wuruk pun menziarahi candi-candi leluhurnya. Menurut Dwi, apa yang dilakukan Hayam Wuruk mirip dengan kebiasaan penguasa masa sekarang, yaitu berziarah ke makam leluhur. “Ini gambaran bagaimana kesadaran trah atau silsilah sudah tergambar pada masa Hayam Wuruk dengan menapak tilas tempat-tempat pendharmaan leluhurunya,” kata Dwi. Pada era kesultanan, pengabsahan kekuasaan malahan tak tanggung-tanggung. Silsilah sang penguasa dibuat dari dua sisi yang disebut trah mangiwo dan manengen . “Tidak hanya dicari satu jalur saja tapi dua jalur. Jika dua-duanya kuat maka nilai keabsahannya sangat kuat,” lanjut Dwi. Trah manengen mengurutkan silsilah seseorang hingga era kenabian. Di Jawa, sering kali dalam suatu silsilah ditemukan nama nabi yang tidak begitu dikenal, misalnya Nabi Sis. “Banyak keluarga di silsilah manengen , turun ke dirinya lewat Nabi Sis, baru turun lagi ke penguasa di Jawa termasuk penguasa Demak, Raden Patah,” jelas Dwi. Sementara trah mangiwo, silsilahnya diurutkan sampai tokoh-tokoh pewayangan hingga Parikesit, yaitu keturunan Pandawa terakhir. “Biasanya dibuka dengan tokoh yang pertama kali membuka Pulau Jawa, lalu lewat raja-raja Jawa, sampai ke dirinya. Raja-raja Jawa ini dilewati dalam mangiwo dan manengen , pucuknya saja berbeda, yang satu kenabian, yang satu pewayangan,” ujar Dwi. Menunjukkan pada khalayak kalau dirinya adalah bangsawan, keturunan penguasa masih dijumpai sampai sekarang. Di rumah-rumah Jawa, khususnya, dijumpai beberapa benda yang menunjukkan hal itu. Di atas pintu utama sering dipajang foto atau lukisan seseorang yang menjadi pangkal trah kebangsawanannya, bisa pejabat daerah maupun raja. Di pojok kiri ditempatkan tombak atau payung untuk menyatakan dirinya masih berhubungan dengan keraton atau keluarga bangsawan. Di pojok lainnya, ditemukan silsilah yang dipigura. Isinya cikal bakal si pemilik rumah. “Sebagai bukti dia masih punya garis panjang ke atas yang berkaitan dengan darah biru. Istilahnya trahing kusuma rembesing madu . Dia punya trah bunga yang madunya masih merembes sampai ke dirinya,” jelas Dwi. Sesungguhnya merunut silsilah yang begitu panjang tak mudah. SBY misalnya yang merunut hingga ke masa Raden Wijaya. Sampai saat ini sudah terpaut 725 tahun sampai ke masa pendiri Majapahit itu berkuasa. Paling tidak sudah ada puluhan generasi berganti sampai SBY lahir hingga menjadi presiden dan ketua umum Partai Demokrat. “Apakah memang (silsilah SBY, red. ) dipas-paskan atau memang begitu, saya tidak tahu. Verifikasinya kan susah,” lanjut Dwi. Meski bukan lagi era monarki, nyatanya tradisi semacam itu masih muncul. Menunjukkan diri sebagai keturunan penguasa besar, apalagi Majapahit, kerajaan dengan nama besar, mungkin bisa menjadi alat promosi dan legitimasi sebagaimana yang terjadi pada masa lalu. “Silsilah ini berkaitan dengan sejarah. Biasanya memang di era kontestasi politik, sejarah menjadi laku. Khususnya untuk bumbu legitimasi,” pungkas Dwi.

  • Perempuan Bekerja Dulu dan Kini

    UNTUK memperingati Hari Perempuan Sedunia (HPS), Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE) bekerjasama dengan UN Women menggelar HeForShe Run pada 4 Maret 2018. Direktur Eksekutif IBCWE Maya Juwita dalam siaran pers mengatakan, kegiatan lari dipilih karena identik dengan semangat menumbuhkan sportivitas di dunia olahraga. “Olahraga lari yang kini populer dan bersifat lintas gender serta usia dipandang dapat menjadi medium untuk menunjukkan dan membentuk sportivitas di kalangan peserta baik laki-laki dan perempuan untuk mencapai garis lintas akhir ( finish ),” kata Maya. Lomba lari menjadi simbol dan sarana menumbuhkan sportivitas antara lelaki dan perempuan. Kegiatan ini juga diharapkan bisa meningkatkan kepedulian masyarakat, khususnya laki-laki, untuk ikut berkontribusi dalam memperkecil kesenjangan gender dan mencapai kesetaraan gender di dunia kerja serta pemberdayaan ekonomi perempuan. “Kesetaraan gender akan tercapai apabila perempuan dan laki-laki mempunyai kesempatan, kemampuan, serta pilihan-pilihan yang setara dalam keseharian mereka. Hal ini membutuhkan partisipasi sportif dari kedua belah pihak, laki-laki dan perempuan,” kata Anne Patricia Sutanto, ketua pelaksana HeForShe Run sekaligus anggota Dewan Pembina IBCWE. IBCWE adalah koalisi perusahaan yang peduli kesetaraan gender di tempat kerja dan membantu pemberdayaan ekonomi perempuan. Tiap perusahaan yang menjadi anggota IBCWE akan menjalani asesmen untuk mengetahui tingkat kesetaraan gender di perusahaan tersebut. Setelah asesmen dan audit, IBCWE bersama perusahaan terkait akan membuat road map dan action plan . “Kalau mau menaikkan tingkat kesetaraan gender di satu perusahaan, perlu ada kebijakan-kebijakan yang menciptakan kondisi, baik bagi pekerja laki-laki maupun perempuan, berkontribusi secara setara,” kata Suci Haryati, communications specialist IBCWE. Dalam misi mendukung kalangan bisnis agar berperan optimal menciptakan kesetaran gender di dunia kerja dan pemberdayaan ekonomi perempuan, IBCWE berupaya mempersuasi pemimpin perusahaan untuk menerapkan kebijakan yang adil gender. Hal ini diwujudkan antara lain melalui upaya mengatasi kesenjangan upah antar-gender, memajukan perempuan dalam kepemimpinan dan posisi badan kelola, meningkatkan partisipasi pekerja perempuan, investasi untuk kondisi kerja ramah perempuan (misalnya, cuti haid, ruang laktasi, parental leave ), dan memastikan para pemimpin dan manajer menerapkan kesetaraan gender. Upaya di Masa Lalu Upaya untuk memenuhi hak pekerja perempuan sudah berjalan sejak Indonesia belum merdeka. Istri Sedar, organisasi perempuan yang diprakarsai Suwarni Pringgodigdo, mengupayakan kesejahteraan buruh pada pertemuannya, Juli 1932. Pertemuan itu meski bahasan utamanya mengenai pendeklarasian bentuk gerakan menjadi gerakan politik, tapi juga membahas masalah perburuhan. Istri Sedar memutuskan untuk mengkampanyekan kebutuhan perempuan kelas proletar sehingga pihak pemberi kerja dapat menyediakan kondisi kerja yang baik bagi mereka. Imbasnya, para perempuan pekerja memiliki kesempatan menjadi ibu yang baik. Bukan hanya Istri Sedar, Perikatan Perkoempoelan Isteri Indonesia (PPII) atau biasa disebut Kongres Perempuan juga menaruh perhatian pada nasib pekerja perempuan. Saat mendapat kabar dari Dr. De Kat Angelino, direktur Dinas Pendidikan dan Pengajaran, bahwa banyak pabrik batik di Lasem melakukan pelanggaran hak-hak buruh, Badan Federasi PPII langsung mengutus Sujatin dan Nyonya Hardjodiningrat mengunjungi perusahaan batik di Lasem pada 1930. “Para pekerja sempat mengadu pada Sujatin karena mendapat perlakuan sewenang-wenang dari majikan. Hasil kunjungan Sujatin ke Lasem itu langsung dia kemukakan dalam Rapat Umum PPII,” tulis Hanna Rambe dalam biografi Sujatin, Mencari Makna Hidupku. Ketika Kongres Perempuan melakukan pertemuan pada Juli 1935, organisasi itu membentuk Komite Investigasi untuk mengurusi masalah perburuhan. Upaya memperjuangkan hak-hak pekerja perempuan terus berlanjut ketika Indonesia sudah merdeka. Dalam kongres di Bandung tahun 1952, Kongres Perempuan antara lain memutuskan meneliti besaran gaji yang diterima perempuan pegawai negeri sipil dan buruh. Selain itu, Kongres Perempuan mengorganisasi pengasuhan anak bagi ibu yang bekerja, dan mendirikan kantor yang berhubungan dengan masalah buruh, kesehatan, pendidikan, dan perkawinan. Untuk merealisasikan putusan tersebut, diusulkan mendirikan Yayasan Happy Childhood, namun pelaksanaannya tak diketahui. Sementara itu, tarik-ulur tentang cuti haid juga sudah terjadi di masa lalu. Kementerian Perburuhan dalam laporan Repelita 1956-1960, menolak diberlakukannya cuti haid. Alasannya, seperti dikutip Cora Vreede-de Stuers dalam Sejarah Perempuan Indonesia, diberikannya hak cuti haid pada perempuan membuat perusahaan enggan mempekerjakan pegawai perempuan. Padahal, aturan tentang pemberian cuti haid sudah dikeluarkan dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1951 yang mengatur jatah cuti haid sebanyak dua hari dan pemberian gaji penuh terhadap karyawan yang mengambil cuti ini. Meski sudah dibahas sejak lama, tempat kerja yang mengakomodasi kebutuhan ibu bekerja, cuti haid untuk perempuan, dan kadilan remunerasi bagi laki-laki maupun perempuan masih terus diperjuangkan sampai sekarang, antara lain oleh IBCWE. “Tantangannya di Indonesia adalah mengajak para pemimpin perusahaan untuk membangun budaya kerja yang kondusif untuk terwujudnya kesetaraan gender di dunia kerja di tengah masyarakat yang masih patriarkis,” kata Suci.

  • Di Filipina, Kali Majapahit Lestari

    SEBAGAI kerajaan terbesar di Nusantara, nama Majapahit dikenal sampai jauh ke seberang. Wilayah kekuasaannya membentang luas, sebagaimana disebutkan dalam Kakawin Negarakertagama . Tak aneh bila Majapahit meninggalkan banyak warisan. Salah satunya, Sundang/Kali Majapahit. Silat/beladiri Majapahit itu menjangkau hingga negeri seberang. Kali Majapahit, yang menjadi modal dasar keprajuritan Majapahit, berasal dari Mahisa/Lembu Anabrang. “Anabrang adalah laksamana Singhasari yang dikirim waktu (Ekspedisi) Pamalayu, zaman Raja Kertanegara,” ujar arkeolog Universitas Indonesia Agus Aris Munandar kepada Historia . Menyusul tewasnya Kertanegara dalam pemberontakan Jayakatwang, Anabrang lalu bernaung di bawah panji Majapahit. Suksesor Singhasari itu didirikan Raden Wijaya, menantu Kertanegara yang memadamkan pemberontakan Jayakatwang. Sekembalinya ke Jawa, Anabrang mendapat tugas memadamkan Pemberontakan Ranggalawe. “Kebo Anabrang disebutkan mengalahkan Ranggalawe dalam Kidung Ranggalawe . Namun kemudian Anabrang dikalahkan Lembu Sora dengan silat Madura-nya,” lanjut Agus. Anabrang dibunuh dalam rangka pembalasan dendam. Ranggalawe adalah keponakan Lembu Sora. Namun, Anabrang sudah menurunkan beladiri Kali Majapahit kepada keturunannya, Mahisa Teruna/Adityawarman. Teruna merupakan penguasa Kerajaan Malayapura yang beribukota di Dharmasraya. Dari sinilah kemudian beladiri khas pasukan elit Majapahit itu menyebar sampai ke Mindanao. Pun begitu, belum ada kitab atau catatan lain terkait penyebarannya. “Bisa jadi ada para Arya (bawahan) Majapahit yang mengembara sampai di sana,” sambung Agus. Profesor UI itu mengikhtisarkan persebaran Sundang, mulai dari Anabrang, diturunkan ke prajurit-prajurit bawahan Majapahit di Melayu dan Dharmasraya, kemudian ke Kepulauan Riau, Bugis, Wajo, Semenanjung Melayu sampai ke Sulu (Mindanao). Di Nusantara, Kali Majapahit kemudian hilang selepas keruntuhan Majapahit. Sisa-sisanya justru lestari di Filipina, sebagaimana diakui praktisi Kali Majapahit di Filipina berpaspor Prancis, Fred Evrard. “Kali Majapahit beladiri yang berakar dari Kerajaan Majapahit kuno. Beladiri ini perpaduan dari beberapa budaya Filipina, namun juga terkandung elemen Muaythai, Pencak Silat, Hakka Kuntao dan Chen Taijin Quan,” jelas Evrard dalam Filipino Martial Arts: Kali Majapahit (2009). Penjelasan Evrard senada dengan uraian Mark V. Wiley dalam Filipino Martial Culture (1997). Menurut Wiley, Kali (Majapahit) disebarkan dari Nusantara melalui Kepulauan Riau ke Malaya hingga Kepulauan Filipina bagian selatan, tengah dan utara pada abad ke-14 ketika terjadi migrasi ketiga orang-orang Melayu ke Filipina. Seiring perkembangannya, muncul sebutan “Eskrima”, berakar dari kata Spanyol “Esgrima” yang berarti pedang/anggar. Istilah itu muncul sejak kedatangan ekspedisi Spanyol yang dipimpin Ferdinand Magellan di Kerajaan Cebu. Sejak itu, Kali terus digemari hingga tetap lestari. Kini, Kali semakin populer setelah dikembangkan lebih luas oleh suami-istri Fred Evrard-Hiu Lila sejak 1998. Evrard mendirikan sasana beladiri ini di Moorea (Polynesia Prancis), Singapura, dan Baguio, Filipina. Sejak didemonstrasikan di hadapan Dewan Kali Eksrima Arnis Master pada 2008 dan seminar 2009, Kali hingga kini jadi satu dari sekian beladiri wajib pasukan khusus militer dan kepolisian Filipina. “Sungguh disayangkan kami belum pernah belajar seni beladiri yang sejatinya berasal dari leluhur kami. Butuh seorang warga asing untuk menyadarkan kami betapa indahnya beladiri khas Filipina dan betapa bernilainya untuk sejarah kami,” cetus seorang aparat militer berpangkat kapten yang tak disebutkan namanya, sebagaimana dilansir fmapulse.com , 17 Januari 2009.*

  • Akhir Tragis Sultan Ternate di Tangan Portugis

    HARI ini, 28 Februari 1570, 448 tahun lalu Sultan Ternate Khairun Jamil dibunuh orang Portugis. Pembunuhannya terjadi menyusul perpecahan yang terjadi dalam tubuh kerajaan akibat campur tangan Portugis. Khairun Jamil, yang lahir pada 1522, naik takhta menggantikan kakak tirinya, Tabariji. Khairun jadi sultan ketika usianya masih 13 tahun. “Karena belum cukup umur, sebagai Mangkubumi (wali), ditunjuk Samarau, mantan Salahakan (gubernur) Kerajaan Ternate di Ambon,” tulis M. Adnan Amal dalam Tahun-Tahun yang Menentukan. Begitu meraih kembali takhtanya, yang sebelumnya direbut Tabariji lewat persekongkolan dengan Portugis, Khairun langsung membuat dua tindakan penting. Pertama , dia mendeklarasikan pembatalan akta hibah yang dibuat Tabariji di Goa, yang menyerahkan Ambon, Buru, dan Seram serta pulau-pulau sekitarnya kepada Jordao de Freitas. Kedua , dia membatalkan testamen Tabariji –sultan yang berhasil menduduki takhta setelah masuk Kristen atas bujukan Freitas– yang menyatakan Ternate sebagai Kerajaan Kristen di bawah Portugis. “Pembatalan akta hibah dan testamen tersebut mendatangkan kelegaan bagi para sultan Maluku lainnya. Tetapi akibat tindakan ini, orang-orang Portugis memberi label kepada Khairun sebagai ‘seorang yang paling fanatik kepada Islam’,” tulis Adnan Amal di buku lain, Kepulauan Rempah-Rempah . Khairun juga menentang monopoli perdagangan rempah-rempah oleh Portugis di Maluku. Portugis yang merasa dirinya tidak kuat, mengingat bantuan dari Goa dan Malaka sudah berkurang, dalam menghadapi Ternate menjalankan taktik perdamaian. Pergolakan mulai terjadi ketika kristenisasi yang dilakukan Portugis makin merajalela. “Kemajuan evangelisasi yang begitu pesat dan klaim Misi bahwa sekitar 35.000 orang telah beralih agama hingga 1553 di Moro, telah menimbulkan kekhawatiran Khairun,” lanjut Adnan. Tahun itu juga Khairun mengundang sultan-sultan di Maluku untuk membahas kristenisasi. “Dengan suara bulat para sultan memutuskan menyetop laju evangelisasi dan mengenyahkan orang-orang Portugis dari Moro dan Maluku.” Khairun juga tak terima terhadap upaya Portugis menghasut kerajaan-kerajaan kecil di Ternate untuk berontak pada kesultanannya. Meski pemberontakan-pemberontakan benar muncul setelah hasutan itu, Ternate dengan mudah mampu memadamkannya. Ternate menggalang kerja sama kerajaan-kerajaan di Maluku untuk bersatu mengusir Portugis. Upaya tersebut berhasil hingga membuat Ternate mampu mengepung benteng Portugis yang tersisa di Ternate pada 1558. Terdesaknya Portugis membuat Gubernur Portugis di Ternate Lopez de Mesquita mengajukan permohonan perdamaian kepada Khairun. Pada 27 Februari 1570, Mesquita bahkan sampai bersumpah menggunakan Injil bahwa benar-benar ingin berdamai. Sang sultan, yang toleran dan bertiktikad baik, mengabulkan permohonan Mesquita meski para pengawal dan bobato mencegahnya karena mendapat firasat buruk. Mesquita kemudian mengundang Khairun ke basisnya di Benteng Gamlamo (kini Benteng Kastela) pada 28 Februari 1570 malam. Ada udang di balik batu, ternyata ada maksud jahat di balik undangan perdamaian Mesquita. Saat Khairun datang dengan para pengawalnya, Portugis memberi syarat bahwa hanya sang sultan yang boleh masuk. “Ketika menuju ruang audiensi gubernur, seorang tentara Portugis, Sersan Antonio Pimental menghampiri Khairun. Pimental mencabut keris di pinggangnya dan melakukan tusukan berkali-kali ke tubuh Khairun,” tulis Adnan. Sultan Khairun yang diserang mendadak, seketika roboh dan tewas di tempat. Jenazahnya dimutilasi dan dipertontonkan kepada publik. Tubuhnya yang sudah tercincang, digarami dan ditenggelamkan di dasar laut bak makanan ikan. Di tanggal itu pula, putra sulung Khairun, Baabullah Datu Syah, naik takhta. Dia langsung mengobarkan perang melawan Portugis. Selama lima tahun berperang, Baabullah akhirnya berhasil mengusir Portugis dari Ternate.

  • Asal Usul Raden Wijaya

    AWALNYA Partai Demokrat menginginkan nomor urut 9 dalam Pemilu 2019. Namun, dalam pengundian, nomor 9 direbut Perindo. Partai Demokrat mendapat nomor 14. Dalam konsolidasi kader partai di Stadion Redjoagung Tulungagung, Minggu 25 Februari 2018, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengaitkan nomor 14 itu dengan kejayaan Kerajaan Majapahit pada abad 14. SBY juga mengungkapkan bahwa keluarganya masih keturunan pendiri Kerajaan Majapahit, Raden Wijaya, dari garis Ki Ageng Buwono Keling. “Kalau diurut dari eyang saya Ki Ageng Buwono Keling hingga kedua anak saya yakni Agus Harimurti dan Edi Baskoro adalah trah ke-14,” kata SBY dikutip tempo.co . Jika mau dirunut lagi, Wijaya juga keturunan pendiri Kerajaan Singhasari. Dia adalah anak dari Dyah Lembu Tal, cucu Mahisa Camapaka atau Narasinghamurti. Kakeknya ini, adalah anak dari Mahisa Wonga Teleng, putra dari Ken Angrok dan Ken Dedes. Ken Angrok atau Sri Ranggah Rajasa adalah pendiri Dinasti Rajasa yang kemudian menurunkan raja-raja Singhasari dan Majapahit. Belum lagi, dari genealoginya, Wijaya juga merupakan keponakan Kertanagara, raja besar sekaligus terakhir Singhasari. Adapun Kertanagara adalah keturunan dari Anusapati, putra Ken Dedes dan Tunggul Ametung. Wijaya kemudian menjadi menantu Kertanagara. Empat putri Kertanagara yang menikah dengan Wijaya, yaitu Sri Parameswari Dyah Dewi Tribhuwaneswari, Sri Mahadewi Dyah Dewi Narendraduhita, Sri Jayendradewi Dyah Dewi Prajnaparamita, dan Sri Rajendradewi Dyah Dewi Gayatri. Dengan Tribhuwana, Wijaya mempunyai seorang putra bernama, Jayanagara. Dengan Gayatri, Wijaya memperoleh dua putri. Si sulung bernama Tribhuwanattunggadewi Jayawisnuwarddhani. Si bungsu bernama Rajadewi Maharajasa. Mengenai pernikahan Wijaya, Kidung Harsawijaya, Kidung Ranggalawe, dan Pararaton , menyebut Wijaya menikah dengan dua putri Kertanagara. Sementara dalam Prasasti Sukamrta (1296), Prasasti Balawi (1305), dan kakawin Nagarakrtagama , Wijaya disebut menikah dengan empat putri Kertanagara. Menurut Slamet Muljana, Nagarakrtagama dapat dipercaya karena penulisnya, Prapanca, mendapatkan berita sejarah Singhasari dan Majapahit dari Dang Acarya Retnamsa. Pada zaman Kertarajasa Jayawardhana, Dang Acarya telah tua karena lahir pada 1276. “Jadi, dia mengalami masa pemerintahan Kertanagara dan Kertarajasa. Kiranya berita Nagarakrtagama itu dapat dipercaya,” tulis Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakrtagama. Arkeolog Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar sepakat kalau keempat putri Kertanagara menikah dengan Wijaya. Namun, sebelumnya salah satu putri itu sempat menikah dengan anak Jayakatwang, Ardharaja. “Mungkin dengan Mahadewi atau Jayendradewi. Setelah itu Ardharaja kan membelot membela ayahnya, dia dihabisi juga, lalu semua putri menikah dengan Raden Wijaya,” kata Agus ketika ditemui di kantornya, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat. Wijaya dalam sumber prasasti maupun dalam naskah kesusastraan dikenang sebagai tokoh yang berhasil mengalahkan Jayakatwang sekaligus mengusir Mongol dari Jawa. Setelah tentara Khubilai Khan itu kembali ke Tiongkok, Wijaya menobatkan dirinya menjadi raja Majapahit. Kidung Harsawijaya mencatat peristiwa itu pada 15 Bulan Kartika 1215 saka (12 November 1293). Dia dinobatkan dengan gelar Sri Kertarajasa Jayawarddhana. Prasasti Balawi 1305 menyebut Wijaya tidak mendirikan wangsanya sendiri, tetapi tetap meneruskan wangsa Rajasa. Dia ingin melanjutkan Kerajaan Singhasari, yang terputus akibat Jayakatwang pada 1292. “Nama Abhiseka Wijaya mengandung Rajasa, yaitu pendiri Kerajaan Singhasari. Dengan demikian Wijaya menunjukkan kesetiaannya kepada Singhasari,” tulis Slamet Muljana. Menurut Slamet Muljana selama pemerintahan Kertarajasa Jayawardhana (1293-1309) dan pemerintahan putranya, Jayanagara (1309-1328), Majapahit menerapkan doktrin politik konsolidasi dalam negeri. Usaha ini pernah dilakukan pada masa Raja Wisnuwardhana, ayah Kertanagara. Doktrin politik Wisnuwardhana berkisar pada penyatuan Janggala dan Panjalu, seperti yang dilakukan pula oleh Airlangga pada awal abad 11. Pada masa pemerintahan Wijaya, politik konsolidasi dalam negeri diwujudkan dalam bentuk menyejajarkan posisi Kadiri dan Majapahit. Sehingga dalam Prasasti Penanggungan, Kadiri mempunyai susunan pemerintahan sederajat dengan Majapahit. Prapranca dalam Nagarakrtagama menyebut “selama Raja Kertarajasa Jayawardana bertakhta, seluruh tanah Jawa tunduk kembali dengan hormat menyembah beliau. Semua senang melihat istri baginda empat jumlahnya…,” Namun, Wijaya juga harus menghadapi beberapa pemberontakan. Pada 1295 dia berhasil memadamkan pemberontakan Rangga Lawe, namun akibatnya Lumajang pisah dari Majapahit. Lumajang baru bergabung lagi dengan Majapahit setelah pemberontakan Nambi berhasil ditumpas pada 1316. Wijaya juga menghadapi pemberontakan Lembu Sora pada 1300 M. Bahkan hingga masa pemerintahan putranya, Jayanagara, pemberontakan masih terus terjadi. Pemberontakan Nambi disusul pemberontakan Kuti pada 1319. Kemudian peristiwa Tanca yang mengakibatkan mangkatnya Jayanagara pada 1328. “Penumpasan pemerontakan, selama itu bisa ditafsirkan sebagai usaha untuk menjaga keutuhan negara,” tulis Slamet Muljana. Setelah memerintah selama 16 tahun, Wijaya meninggal pada 1309. Dia dicandikan di Antahpura dengan arca Jina dan didharmakan di Simping dengan arca Siwa. Candi Simping lokasinya di Sumberjati dekat Blitar. Di situ terdapat sebuah arca perwujudan, yang menunjukkan ciri percampuran tokoh Siwa dan Wisnu, atau yang disebut Harihara. Arca inilah yang diperkirakan sebagai perwujudan dari Wijaya. Menurut Slamet Muljana, Wijaya diwujudkan sebagai Wisnu, padahal dia adalah pemeluk Siwa. Alasannya dimaksudkan untuk membayangkan sang raja dalam usahanya merebut kembali kekuasaan pada 1293 dari Jayakatwang, yang dianggap sebagai perusak dunia. “Wisnu adalah penjaga dunia, konon dia menitis dalam Sanggramawijaya untuk membasmi Jayakatwang,” tulis Slamet Muljana.

  • Awal Mula Kerajaan Majapahit

    SAAT memimpin konsolidasi kader Partai Demokrat di Tulungagung pada akhir pekan lalu, Ketua Umum Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan bahwa keluarganya masih keturunan langsung trah Kerajaan Majapahit. Leluhurnya adalah pendiri dan raja pertama Majapahit, Raden Wijaya dari garis Ki Ageng Buwono Keling. Dia juga mengaitkan kejayaan Majapahit pada abad 14 dengan 14 nomor urut Partai Demokrat dalam Pemilu 2019. Bagaimanakah awal mula Raden Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit? Setelah Kerajaan Singhasari jatuh ke tangan Jayakatwang, raja Gelang Gelang; pada 1292 Wijaya membuka hutan yang tandus di Trik, sebelah selatan Surabaya. Di tempat itulah, dia mendirikan Kerajaan Majapahit. Pendirian itu dikisahkan dalam naskah Pararaton, Nagakartagama, Kidung Ranggalawe, Kidung Harsawijaya , dan diabadikan dalam Prasasti Kudadu (1294 M) dan Prasasti Sukamrta (1296 M). “Majapahit letaknya di lembah Sungai Brantas, sebelah tenggara Kota Majakerta, di daerah Trik. Ini adalah sebuah kota kecil di persimpangan Kali Mas dan Kali Porong,” tulis Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakrtagama. Belum lama ini, warga mendapati bekas bangunan bata, fosil kayu, dan hewan di areal persawahan dan makam di Dusun Kedungklinter, Desa Kedungbocok, Kecamatan Tarik, Sidoarjo. Diduga situs ini merupakan cikal-bakal Kerajaan Majapahit. Pada akhir 1292, tempat itu masih hutan belantara. Pohon-pohon maja banyak tumbuh di sana, seperti kebanyakan tempat lainnya di lembah Sungai Brantas. Versi Pararaton menyebutkan berkat buah maja inilah nama Majapahit tercipta. “Itulah sebabnya, beberapa tempat di daerah Sungai Brantas mengandung nama maja, seperti Majakerta, Majawarna, Majaagung, Majajejer, Majasari, Majarata,” tulis Slamet Muljana. Sebelumnya, pada waktu pasukan Jayakatwang dari Gelang Gelang menyerang Singhasari, Kertanagara menunjuk Wijaya untuk memimpin Singhasari melawan pasukan Jayakatwang. Namun, pasukan musuh terus mendesak sampai akhirnya Wijaya melarikan diri dengan dilindungi abdi-abdi setianya. Di usianya yang masih muda, Wijaya harus melarikan diri hingga menyeberang ke Madura. Aria Wiraraja, adipati Madura, menyarankan Wijaya untuk pura-pura menyerah kepada Jayakatwang untuk mendapatkan kepercayaannya. Wijaya mengikuti saran itu. Setelah Jayakatwang percaya, Wijaya meminta daerah Trik untuk dibuka menjadi desa. Dia berdalih desa itu akan dijadikan pertahanan terdepan jika harus menghadapi musuh yang menyeberang melalui Sungai Brantas. Dengan bantuan Wiraraja, Wijaya membuka daerah Trik menjadi desa dengan nama Majapahit. “Setelah pemberontakan itu, Wijaya masih diizinkan memperoleh sebidang tanah penuh hutan di Terik dan bermukim di sana oleh Jayakatwang. Di sanalah awal mula Majapahit berdiri,” kata arkeolog Agus Aris Munandar, ketika ditemui di kantornya, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Ketika Trik masih berupa desa, Wijaya diam-diam memperkuat diri dengan mengambil hati penduduknya, terutama orang-orang yang datang ke Tumapel dan Daha. Dia menunggu saat yang tepat untuk membalas dendam kepada Jayakatwang. Bertepatan dengan masa itu, pada awal 1293, tentara Khubilai Khan datang ke Jawa untuk mengukum Kertanagara karena telah melukai utusan Mongol, Meng Qi. Namun, Kertanagara telah dihabisi Jayakatwang. Akhirnya, Wijaya bersama pasukan Mongol menyerang Daha dan menundukkan Jayakatwang. Setelah itu, Wijaya menyerang balik dan mengusir Mongol dari Jawa. Padahal, sebelumnya Wijaya berjanji akan tunduk pada Khubilai Khan jika pasukan Mongol membantunya menyerang Jayakatwang. “Bagi Mongol tugas mereka sudah selesai, mereka sudah berhasil mengalahkan Raja Jawa,” kata Agus. Maka, ditahbiskanlah Raden Wijaya sebagai raja Majapahit. Dia membawa rajasa dalam nama abhiseka- nya, yaitu nama pendiri Kerajaan Singhasari. “Negara baru Majapahit dianggap sebagai lanjutan kerajaan Singhasari, yang telah runtuh pada 1292 sebagai tanda bukti kesetiaan pendirinya kepada para raja leluhur di Singhasari,” catat Slamet Muljana .*

  • Jenderal Nasution dan Senjata Uni Soviet

    PRESIDEN Sukarno gusar begitu mendengar kapal induk Belanda, Karel Doorman, memasuki Irian Barat. Hubungan Indonesia dan Belanda makin panas menuju ke arah perang. Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Abdul Haris Nasution merangkap Menteri Pertahanan, dipanggil menghadap Sukarno Di Istana Negara, sebuah misi terucap dari Bung Karno. Dalam memoarnya, Nasution mengingat pembicaraan itu berlangsung sekira akhir November atau awal Desember 1960. “Nas, kamu saya utus ke Moskow. Persiapkan segala sesuatu,” demikian perintah lisan Sukarno kenang Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 5: Kenangan Masa Orde Lama. Presiden Sukarno meminta Nasution membeli senjata berat milik pemerintah Uni Soviet. Bagi Nasution, order itu ibarat menjilat ludah sendiri. Pemerintah Uni Soviet, sebelumnya telah menawarkan bantuan militer untuk menjual alat utama sistem persenjataannya kepada Indonesia. Tawaran tersebut disampaikan Perdana Menteri Soviet Nikita Khrushchev dalam lawatannya ke Indonesia pada Februari 1960. Namun atas permintaan Angkatan Darat, tawaran Khrushchev ditangguhkan. Nasution masih berkeyakinan senjata berat yang dibutuhkan dapat diperoleh dari Amerika Serikat (AS). “PM Khrushchev membuka jalan untuk pembelian senjata bagi TNI. Tapi saya mendahulukan untuk memperoleh di AS,” ujar Nasution. “Misi Nasution” Pada Oktober 1960, Nasution mencoba melobi AS untuk memperoleh senjata berat ofensif. Walhasil Nasution pulang dengan tangan hampa. Presiden Eisenhower enggan menjual persenjataanya kepada Indonesia lantaran terikat persekutuan dengan Belanda dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Bagi Presiden Sukarno tiba saatnya menempatkan Uni Soviet sebagai kekuatan penyeimbang. Jenderal Nasution diutus ke Moskow pada akhir Desember 1960. Selama seminggu proses negosiasi, persetujuan pembelian senjata berhasil rampung pada 6 Januari 1961. Diplomat kawakan Ganis Harsono dalam Cakrawala Politik Era Sukarno mencatat kerjasama militer itu tertera dalam piagam ”untuk membela perdamaian dan persaudaraan di Asia Tenggara”. Di Moskow, Nasution mendapat pelayanan yang menyenangkan dari pemerintah Uni Soviet. Kesempatan berpidato di Istana Kremlin digunakan Nasution untuk menyatakan terimakasih. Nasution juga mengapresisasi sikap bersahabat yang ditunjukan Nikita Khruschev terhadap dirinya. “Saya menyatakan bahwa RI dan Uni Soviet mempunyai ideologi dan sitem yang berbeda, yang satu adalah Pancasila dan yang lain adalah Marxisme. Namun terjadi kerja sama yang erat dengan dasar politik yang sama ialah anti-kolonialisme,” kata Nasution dihadapan petinggi pemerintah Soviet. Ketika Nasution kembali ke tempat duduknya, Khrushchev menyambut Nasution dengan kata-kata “orator, orator”. Misi Nasution pulang ke Indonesia dengan membawa peralatan tempur senilai $ 450 juta. Mekanisme pembayaran dilakukan secara kredit berjangka 20 tahun dengan bunga 2,5 persen. Kebutuhan Angkatan Laut dan Angkatan Udara menempati slot utama dalam agenda pembelian tersebut. “Yang terbesar ialah untuk AL,” ungkap Nasution. “Termasuk 12 kapal selam, belasan kapal roket cepat, pesawat-pesawat AL, helikopter-helikopter dan peralatan amfibi untuk KKO lebih kurang 3 resimen.” Angkatan Udara memperoleh pesawat jet tempur, pesawat pembom, dan sistem pertahanan udara beserta radarnya. Sedangkan untuk Angkatan Darat terbatas pada tank dan perlengkapan artileri. Kontrak tersebut masih akan terus disesuaikan kebutuhannya untuk satu semester ke depan. Pasalnya, sistem persenjataan Soviet yang dialihkan untuk Indonesia memerlukan waktu dalam operasionalnya yang meliputi: proses pengiriman, persiapan pangkalan udara dan laut, serta pelatihan teknisi. Oleh karenanya, Indonesia masih terikat untuk melanjutkan pembelian senjata dari Uni Soviet pada bulan Juni 1961. Angkatan Perang Terkuat Walaupun belum siap tempur, persenjataan dari Uni Soviet memberi suntikan moral bagi Angkatan Perang Indonesia. Menurut Johannes Soedjati Djiwandono dalam Konfrontasi Revisited: Indonesia Foreign Policy Under Soekarno, Indonesia menjadi satu-satunya negara Asia yang memperoleh senjata berat termutakhir dari Uni Soviet. Beberapa diantaranya seperti pesawat bomber jarak menengah TU-16 dan pesawat jet tempur MIG-21. Untuk mengimbangi Kareel Doorman , Indonesia memesan sebuah kapal penjelajah Soviet yang kemudian dinamai KRI Irian berbobot 16640 ton. Tak ayal lagi, kekuatan militer Indonesia pada saat itu merupakan yang terkuat di belahan bumi bagian selatan. Sejarawan University of Connecticut, Bradley Simpsons yang mendalami kajian Asia menyebutkan keberhasilan misi Nasution berdampak besar terhadap pertarungan Perang Dingin. Pengaruh Soviet kian menguat di tubuh Angkatan Perang Indonesia. Pimpinan Angkatan Darat seperti Nasution yang antikomunis sekalipun bersimpati atas jasa Soviet memodernasi TNI. “Bantuan militer Soviet secara signifikan telah memperkuat posisi Moskow di Angkatan Laut dan Angkatan Udara Indonesia, dan perwira-perwira Angkatan Darat di Jawa seperti Jenderal Nasution, yang sudah lama mencurigai dukungan Amerika Serikat kepada PRRI,” tulis Simpsons dalam Economist with Guns: Amerika Serikat, CIA dan Munculnya Pembangunan Otoriter Rezim Orde Baru . Di sisi lain, peran Soviet di Indonesia membuat Presiden AS John F. Kennedy yang baru terpilih jadi gelisah. Pemerintahan Sukarno yang condong ke blok Soviet mulai memaksa AS untuk ikut ambil bagian dalam konflik Irian Barat. Gedung Putih hanya akan dihadapkan pada dua pilihan: Indonesia atau Belanda.

  • Akhir Tragis Seorang Atlet Prancis

    SOROT matanya tajam. Meski posturnya hanya setinggi 5,5 kaki (165 cm), Violette Morris “memelihara” otot di berbagai bagian tubuhnya. Gadis Prancis itu perawakannya tak feminim. Hal itu membuat hidupnya kerap dikitari kontroversi. Namun, sejatinya dia dikenal sebagai atlet multitalenta. Atlet Multitalenta Lahir sebagai anak bungsu dari enam bersaudari pada 18 April 1893, Violette dianugerahi fisik yang atletis. “(Fisiknya) digambarkan seperti raksasa. Ukuran bisepsnya hampir 14 inci –seukuran rata-rata leher wanita. Namun sebenarnya tingginya hanya 5,5 kaki. Fisiknya sangat, sangat kuat,” ungkap sejarawan Anne Sebba dalam Les Parisiennes: How the Women of Paris Lived, Loved and Died in the 1940s . Sejak belia, dia menggandrungi beragam cabang olahraga. Kegandrungan itu terus berlanjut seiring bertambahnya usia. Namun, Violette terpaksa menghentikan hobinya menyusul pecahnya Perang Dunia I. Baru setelah perang usai Violette kembali menggeluti olahraga. Prestasi mulai berdatangan di cabang atletik nomor lempar lembing dan tolak peluru. Violette mulai menjadi pahlawan Prancis di tiga perhelatan Women’s World Games Monte Carlo: di edisi 1921, dia mendapat dua emas; pada 1922, meraih satu emas dan satu perak di nomor yang sama; dan di Women’s World Games 1923 Paris dia meraih satu perak. Violette tak hanya senang beragam olahraga tapi juga jago. Di luar atletik, dia pernah memperkuat tim polo air Prancis. Dia satu-satunya pemain perempuan lantaran saat itu belum ada tim polo air putri. Cabang-cabang lain yang digelutinya meliputi: gulat, tinju, renang, selam, tenis, panahan, berkuda, sepakbola putri hingga balap motor dan mobil. “ Ce qu’un homme fait, Violette peut le faire! ” atau “Apapun yang bisa dilakukan pria, Violette juga bisa!” begitu slogannya. Hingga 1926, Violette tercatat masuk di tim putri Femina Sports dan kemudian Olympique de Paris. “Dia juga bermain untuk tim nasional putri Prancis,” tulis Raymond Ruffin dalam Violette Morris: La Hyene de la Gestap. Nama Violette kian populer di Eropa dan Amerika setelah terjun ke arena balap. Terlebih, dia mampu memenangi Bol d’Or 1927. “Setelah empat tahun dimenangkan M Robert Senechal, balapan 24 jam Bol d’Or tahun ini dimenangkan pembalap putri, Madame Violette Morris dengan mobil BNC (kelas) 1.100cc yang melintasi trek sepanjang 1.006 mil,” tulis Tabloid Motor Sport edisi Juli 1927. Putar Haluan Di luar prestasi olahraga, kesenangan Violette tampil ke publik mengenakan celana panjang membuatnya jadi obrolan banyak orang. Kebiasaan itu dianggap sangat berani lantaran sejak era Napoleon, perempuan Prancis dilarang menggunakan celana panjang laiknya pria. Violette mulai melakukan itu sejak mengabdi di Palang Merah Prancis sebagai sopir ambulans pada Perang Dunia I (PD I). Bersama Cyprien Gouraud, pria yang menikahinya sesaat sebelum PD I, Violette terjun ke dalam perang. Sang suami sebagai infantri bertugas di garis depan sementara Violette bertugas sebagai perawat lalu sopir ambulans di Pertempuran Verdun dan Somme. Pernikahan keduanya bubar pada 1923. “Kemungkinan pernikahannya sudah diatur keluarga,” lanjut Sebba. Penampilan "kontroversial" Violette di depan publik terus berlanjut. Dia bahkan mulai senang mengenakan setelan jas pria, jadi perokok, dan dua kali melakukan bedah mastectomy untuk menghilangkan sepasang payudara besarnya. Publik juga mengetahui Violette sering hura-hura di Le Monocle, klub malam khusus lesbian di Paris. Pemerintah Prancis, yang menganggap gaya hidup Violette menyimpang, melarang dia tampil di Olimpiade 1928. Violette pun berang. Kemarahannya pada publik dan pers Prancis mendorongnya “merapat” ke Jerman yang sudah dikuasai Adolf Hitler dengan Nazisme-nya. Violette lantas direkrut organisasi intelijen Nazi, Sicherheits Dienst (SD), pada 1935. “Pada 1935 (Violette) Morris didekati Nazi dan diundang lewat permintaan pribadi oleh Hitler untuk mengunjungi Olimpiade Berlin 1936,” sambung Sebba. Violette menjadi mata-mata andalan Nazi jelang invasi ke Prancis. Jasa Violette sangat berarti dalam pengiriman berbagai informasi tentang titik-titik vital pertahanan Paris. Tidak ketinggalan, dia membocorkan rencana pertahanan Sekutu di Maginot Line, plus formasi tank-tank utama Prancis Somua S35. Pasca-Prancis diduduki, Violette didaulat jadi salah satu petinggi Carlingue, sayap organisasi Gestapo (Polisi Rahasia Nazi). Tugasnya, membongkar jaringan kontra-intelijen dan perlawanan La Resistance, organisasi bawah tanah anti-Nazi yang disokong Special Operations Executive (SOE) Inggris. Metode interogasi nan keji terhadap para anggota perlawanan Prancis yang tertangkap membuat Violette lekat dengan julukan “Hyena-nya Gestapo”. Kekejamannya di negeri sendiri menjadikan Violette sebagai target pembunuhan SOE dan beragam organisasi perlawanan bawah tanah Prancis. Violette akhirnya tutup usia pada 26 April 1944, setelah disergap di Normandia. “Pada malam itu (26 April 1944) ketika dia sedang berkendara bersama sebuah keluarga yang juga kolaborator Nazi, sejumlah anggota Resistance menyergap dari semak-semak dan menembakinya. Semua yang ada di mobil ikut terbunuh,” tandas Kelly Ricciardi Colvin dalam Gender and French Identity after the Second World War: 1944-1954 .

  • Misteri Kematian Seorang Demonstran

    CATATAN harian itu berbicara banyak. Sebagai salah satu pimpinan demonstran KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), Yozar Anwar mengisahkan secara detail peristiwa demonstrasi di Jalan Merdeka Utara pada Kamis, 24 Februari 1966. “Jam 9 pagi, mahasiswa mulai berbondong-bondong dengan membawa jaket kuning yang berlumuran darah…” tulis Yozar dalam Angkatan 66: Sebuah Catatan Harian Mahasiswa . Darah siapakah gerangan yang memenuhi jaket kebanggaan Universitas Indonesia (UI) itu? Menurut Yozar, darah yang berlumuran pada jaket kuning itu adalah milik Arief Rahman Hakim, seorang demonstran KAMI dari Fakultas Kedokteran UI yang tewas sehari sebelumnya. Ceritanya, Arief tengah berdemonstrasi di sekitar Lapangan Banteng ketika barisan demonstran didesak oleh aparat kemananan yang terdiri dari pasukan Resimen Pelopor (Menpor), Divisi Siliwangi (Batalyon 317 dan Batalyon 323) dan Resimen Tjakrabirawa sebagai lapis terakhir penjagaan Istana Negara. “Saya ingat di Istana Negara kala itu tengah diadakan rapat Kabinet Dwikora yang langsung dipimpin oleh Presiden Sukarno,” ujar Rushdy Hoesein, sejarawan sekaligus pelaku sejarah gerakan mahasiswa 1966. Arief Terbunuh Yozar mencatat begitu massa demonstran memasuki “ring satu” siang itu, aparat keamanan mulai membuat pagar yang sangat rapat. Mereka dengan memakai senjata bersangkur, berusaha menghalau para mahasiswa keluar dari kawasan Istana Negara. “Namun barisan tetap berdesak-desakan, teriakan tetap bergemuruh di angkasa…” ujar Yozar. Di tengah kepanikan dan situasi panas tersebut, dari lapis terakhir tetiba terdengar rentetan senjata AK (senjata otomatis buatan Uni Sovyet). Mahasiswa yang tidak menduga ditembaki, langsung bertiarap semua diikuti pula oleh para prajurit dari Menpor dan Divisi Siliwangi yang berada pada posisi paling depan, berhadapan dengan para demonstran. Suara tembakan masih terdengar ketika butiran-butiran prokyektil peluru mengenai tubuh beberapa demonstran. Salah seorang yang terkena adalah Arief Rahman Hakim. Begitu beberapa mahasiswa bergelimpangan di jalanan, tembakan baru berhenti. Spontan para mahasiswa yang tiarap bangkit dan memburu Arief yang kondisinya terlihat paling parah. Mata Arief terlihat nanar saat digotong untuk mendaparkan perawatan. Namun menurut Yozar, ia masih berteriak lemah: “Jaket kuning, maju terusss!!!” Menpor lantas memerintahkan para mahasiswa untuk mundur. Perintah tersebut direspon oleh mahasiswa secara malas-malasan. Akibatnya, aparat kemanan langsung merangsek. Massa mulai mundur seraya berteriak-teriak marah: “Tjakrabirawa anjing!” “Tjakrabirawa pembunuh!” “Tjakrabirawa menembak rakyat dengan peluru yang dibeli rakyat!” Nyawa Arief sendiri akhirnya tak tertolong. Sehari sesudah tubuhnya disasar peluru tajam, sang mahasiswa menghembuskan nafas terakhirnya pada jam 12.45. Sejak itulah, Arief menjadi simbol perlawanan mahasiswa terhadap rezim Sukarno. Jaketnya yang berlumuran darah, nyaris tiap hari diarak dalam setiap aksi demonstrasi: menjadikan situasi semakin panas dan suasana kebencian terhadap pemerintah menggumpal. Resimen Tjakrabirawa pun menjadi kambing hitam. Tjakra Membantah Masih segar dalam kenangan Rushdy orang-orang mengutuk Resimen Tjakrabirawa sebagai pembunuh mahasiswa. Mereka menyebut, Tjakra harus betanggungjawab terhadap aksi brutal mereka. Padahal menurut Yozar Anwar, saat bergerak ke arah Istana, mahasiswa ada dalam kondisi tertib dan tidak berniat membuat aksi-aksi anarki. Namun lain pendapat mahasiswa, lain pula pendapat prajurit Tjakra. Ketika saya mengkonfirmasi kejadian lebih dari setengah abad lalu itu kepada beberapa eks prajurit Tjakra yang kala itu tengah bertugas di Istana Negara, ceritanya tentu saja berlainan. Letnan Satu C.H. Sriyono masih ingat bagaimana situasi saat itu sangat kacau. Ketika massa berkerumun di sekitar Lapangan Banteng dan Merdeka Utara, dia sendiri memang mendengar rentetan tembakan yang menyalak secara mendadak. Namun anggota Detasemen Pengamanan Chusus (DPC) Tjakra itu sangat yakin tembakan itu bukan berasal dari kesatuannya. “Tidak ada sama sekali perintah untuk menembak para demonstran. Kami ini pasukan yang terdidik untuk berlaku disiplin: jika diperintahkan tembak ya tembak tapi kalau diperintahkan diam saja ya diam…” ujar Sriyono kepada Historia . Kedisiplinan Tjakra terbukti saat menghadapi aksi nekad sekelompok mahasiswa yang lolos masuk ke halaman Istana Negara. Mereka yang tadinya akan menurunkan bendera merah putih untuk digantikan jaket kuning berlumuran darah, hanya diperintahkan untuk pergi saja. “Tapi karena awalnya mereka ngotot ya terpaksa kami menembakan senjata ke atas sebagai peringatan, baru mereka bubar…” kenang anggota Tjakra dari unsur CPM (Corps Polisi Militer) itu. Keterangan Sriyono diperkuat oleh Maulwi Saelan dalam otobiografinya, Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa: Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66 . Menurut Saelan, kematian Arief Rahman Hakim secara disengaja diarahkan kepada kesatuannya sebagai penyebab. Dia ingat, bagaimana beberapa jam setelah kejadian itu ratusan mahasiswa dengan memakai truk-truk tentara mengelilingi jalan-jalan sekitar Istana Negara sambil mengibar-ngibarkan jaket kuning berlumuran darah. “Tjakra pembunuh! Tjakra pembunuh!” teriak para mahasiswa. Isu pun kemudian bertiup kencang: Arief tewas ditembak oleh seorang prajurit Tjakra di depan Gedung Pemuda, tepat di seberang markas DKP (Detasemen Kawal Pribadi) Resimen Tjakrabirawa. Demi mendengar teriakan-teriakan itu, Kapten Hidrosin (anggota DKP yang pasukannya tengah bertugas) langsung mengumpulkan anak buahnya. Salah seorang komandan kompi Tjakra itu langsung memeriksa satu persatu senjata para prajuritnya secara teliti. “Ternyata Hidrosin menemukan kenyataan tidak terdapat satu pun peluru yang keluar dan laras senjata semuanya bersih…” ujar Maulwi yang kala itu berpangkat kolonel. Lantas siapa yang menembak Arief? Maulwi punya versi sendiri. Ceritanya, setahun setelah kejadian (ketika dia sudah dipindahkan dari Resimen Tjakrabirawa ke PUSPOM ABRI) dia justru mendapat cerita dari beberapa anggota POM DAM V (Polisi Militer Daerah Militer V Jakarta) bahwa yang menembak Arief di Lapangan Banteng (bukan di seberang Markas DKP) adalah seorang prajurit dari POM DAM V yang saat itu sedang ditugaskan di kesatuan Garnizun Ibukota Jakarta. “Saya sendiri sudah meminta kepada Brigjen TNI dr. Rubiono, perwira sandi yang selalu bersama saya, agar segera mengusahakan visum et repertum Arief Rahman Hakim untuk dilaporkan kepada Presiden Sukarno…” ungkap Maulwi. Namun hingga Resimen Tjakrabirawa dibubarkan, tidak ada visum et repertum . Jadilah pendapat yang menyatakan bahwa pembunuh Arief Rahman Hakim adalah anggota Resimen Tjakrabirawa terus diyakini sebagian besar khalayak hingga kini. “Terlebih setelah Jenderal A.H. Nasution memuji-muji Arief sebagai Pahlawan AMPERA (Amanat Penderitaan Rakyat), anggapan itu seolah tak terbantahkan…” kata salah satu orang dekat Presiden Sukarno tersebut.

  • Bisnis Senjata Keluarga Cendana

    LAKSAMANA Madya TNI Soedibyo Rahardjo dilantik menjadi Kepala Staf Umum (Kasum) ABRI pada Januari 1988. Beberapa hari kemudian ada permintaan menghadap dari Siti Hardiyanti Rukmana atau Mbak Tutut. Dia prioritaskan untuk menerima putri sulung Presiden Soeharto itu. Soedibyo kenal baik dan Mbak Tutut memanggilnya dengan sebutan “Mas.”

bottom of page