Hasil pencarian
9593 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Arsip Konferensi Asia Afrika Menjadi Warisan Ingatan Dunia
SEBANYAK 565 lembar arsip foto, 7 reel arsip film, dan 37 berkas arsip tekstual setebal 1778 lembar menjadi saksi sejarah berlangsungnya Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung, 18-24 April 1955. Arsip KAA mulai dari potret para delegasi, notulensi rapat, rekaman pidato, hingga surat menyurat, terdokumentasi dengan baik dalam koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Pada 8 Oktober 2015, UNESCO (Organisasi PBB bidang Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan), mengumumkan Arsip KAA itu sebagai Warisan Ingatan Dunia. Sepanjang peradaban dunia modern, KAA menjadi konferensi internasional pertama yang mempertemukan antar bangsa-bangsa Asia dan Afrika. Pencetusnya adalah Indonesia, India, Pakistan, Sri Lanka, dan Burma (Myanmar) yang diwakili perdana menteri masing-masing (Ali Sastramidjojo, Pandit Jawaharlal Nehru, Muhammad Ali, Sir John Kotelawala, dan U Nu). Kelima negara sponsor itu mempersiapkan KAA dalam Konferensi Panca Negara yang diadakan di Bogor tahun 1954. Mereka mengupayakan forum yang bisa menggaungkan suara rakyat Asia dan Afrika ditengah dominasi bangsa kulit putih dan Perang Dingin. Dari 29 negara peserta dan 200 delegasi itu lahirlah manifesto Dasasila Bandung. Sepuluh prinsip yang termaktub dalam Dasasila Bandung mencerminkan cita-cita luhur seluruh peserta KAA: merdeka dari imperialisme dan hidup berdampingan secara damai. Dari perspektif kearsipan, konten dan konteks KAA punya nilai historis yang amat penting. “Peristiwa ini adalah peristiwa yang langka. Karena setelah itu tidak ada lagi Konferensi Asia Afrika. Jadi, arsipnya sangat bernilai,” kata Mustari Irawan, Direktur Arsip Nasional Republik Indonesia dalam diskusi publik bertajuk “Arsip Konferensi Asia Afrika Diakui UNESCO Jadi Warisan Dunia” di Gedung ANRI Jakarta Pusat, 28 Oktober 2015. Bagi Indonesia, KAA menorehkan tinta emas dalam perjalanan sejarah bangsa. Republik yang belum genap berusia sepuluh tahun itu, tampil sebagai pelopor kebangkitan bangsa-bangsa kulit berwarna. Beruntung, sebagai tuan rumah, pemerintah Indonesia menyimpan segala rupa arsip terkait KAA. Kementrian Sekretariat Negara menjadi penyumbang terbanyak Arsip KAA yang dihimpun ANRI. Selain dari lembaga resmi, ANRI juga menghimpun memori KAA dari arsip-arsip pribadi. Tokoh Indonesia yang menyimpan rekaman penting KAA diantaranya: Roeslan Abdulgani (sekretaris jenderal KAA), Lambertus Nicolas Palar (duta besar Indonesia untuk PBB), dan Mohammad Yamin (delegasi Indonesia untuk KAA bidang kebudayaan). Semua arsip itu dapat diakses dan masih terawat dengan baik sampai saat ini. Sejak tahun 2012, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), ANRI, Kementrian Luar Negeri, dan Komite Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU) telah menominasikan Arsip KAA untuk diajukan ke UNESCO. “Proses nominasi itu diajukan bersama negara sponsor KAA yang lain, yaitu, India, Pakistan, Srilanka, dan Myanmar. Tujuannya adalah untuk melestarikan memori bersejarah itu sebagai Warisan Ingatan Dunia,” tutur Wardiman Djojonegoro, anggota KNIU. “Arsip KAA ini menjadi pencerahan bagi bangsa kita. Kita harus hidupkan. Agar masyarakat tahu pada masa lalu bangsa kita adalah bangsa yang besar. Bangsa yang menginspirasi bangsa lain untuk memerdekakan diri dari kolonialisme” kata Mustari. Diterimanya Arsip KAA sebagai Warisan Ingatan Dunia , menurut Al Busyra Basnur, Direktur Diplomasi Publik Kementrian Luar Negeri Indonesia, kian menegaskan penerimaan dunia atas peran internasional Indonesia di masa lalu. “Semangat Bandung masih tetap relevan hingga sekarang dan untuk masa depan. Penerimaan ini diharapkan mendorong bangsa kita untuk berperan lebih besar di panggung internasional sesuai dengan semangat Bandung,” kata Busyra Sementara itu, Duta Arsip Indonesia, Rieke Dyah Pitaloka menekankan pentingnya sosialisasi Arsip KAA kepada masyarakat. Menurut Rieke, sebelum menjadi memori dunia, penting kiranya menjadikan Arsip KAA sebagai memori publik Indonesia. “Kita tidak bisa mendorong orang lain untuk mau memasukan ingatan-ingatan tentang Konferensi Asia Afrika jika bangsa kita sendiri tidak mau melakukan hal itu,” kata Rieke. Arsip KAA, lanjut Rieke, juga punya nilai pembelajaran bagi para pengambil kebijakan yang saat ini duduk dalam pemerintahan dan Dewan Perwakilan Rakyat. “Dari Arsip KAA kita bisa bercermin dari masa lalu, menyerap spirit para negarawan saat itu. Mereka mengambil keputusan politik yang betul-betul memayungi semua kepentingan,” pungkas Rieke. Menurut rencana, ANRI selanjutnya akan mengusulkan Arsip Gerakan Non Blok (GNB) tahun 1961 dan Arsip Tsunami Aceh tahun 2004 sebagai Warisan Ingatan Dunia.
- Lencana Merah Putih Dilucuti, Pejuang Medan Pasang Badan
TAK jauh dari pusat kota Medan, tepatnya di Jalan Veteran (dulu Jalan Bali), berdiri sebuah gedung tua yang menyimpan cerita masa lalu. Di pinggir gedung, terukir prasasti epos zaman revolusi. Isinya: “Markas NICA di Gedung Pension Wilhelmina Jalan Bali ini, tanggal 13 Oktober 1945, digempur pemuda pejuang Kota Medan karena seorang tentara NICA mencopot lencana Merah Putih dari baju seorang anak remaja yang liwat di muka markas tersebut dan menginjak-injaknya. 7 orang pemuda gugur, 7 orang NICA tewas, dan 96 orang NICA lainnya luka-luka” “ Itulah starting point perang kemerdekaan di Sumatera Utara,” kata Muhammad Tok Wan Hari (82 tahun), eks Tentara Pelajar Indonesia yang disambangi Historia di kediamannya (23/10/2015). Tentara Sekutu dalam kontingen Alied Forcers Netherlands East Indies (AFNEI) tiba di Medan sejak 9 Oktober 1945. Di bawah pimpinan Brigadir Jendral T.E.D. Kelly dari Inggris, misi AFNEI adalah melucuti dan memulangkan pasukan Jepang. Selain itu, mereka juga bertugas membebaskan tentara Sekutu yang tertawan saat Perang Dunia II. Dalam AFNEI, ikut pula tentara sipil Belanda dalam kesatuanNetherlands Indies Civil Administration (NICA). Di Medan, tentara NICA membentuk Medan Batalion yang bermarkas di Pension (penginapan) Wilhelmina di Jalan Bali, dekat pusat pasar. Letnan Raymond Westerling menjadi komandan batalion ini. “Mereka itu (tentara NICA) anak buahnya Westerling yang mau mengembalikan kekuasaan Belanda di Sumatera Utara,” ujar Muhammad Tok Wan Hari, mantan wartawan senior kota Medan. Kejadian bermula ketika seorang anak remaja tengah melintas di depan Pension Wilhelmina. Anak itu hanya seorang pedagang pakaian bekas namun dia mengenakan lencana Merah Putih di dadanya. Tentara penjaga markas memanggil anak itu, melucuti lencana dari bajunya. Setelah menginjak-injak lencana Merah Putih, tentara NICA memaksa anak itu menelan lencananya. Anak itu melawan tapi kena gampar tentara NICA. Anak yang teraniaya itu melarikan diri dan memberitahu masyarakat akan perlakuan tentara NICA. Berita langsung menyeruak ke penjuru kota. Kemarahan rakyat Medan membuncah. Para pemuda berbondong-bondong ke Jalan Bali. Selain anak-anak muda nasionalis, turut pula bandit atau para jago kota Medan. Selamat Ginting dan Timur Pane adalah pimpinan laskar-laskar pemuda. Penyerbuan ke markas NICA terjadi pada 13 Oktober 1945. “Senjata yang paling banyak digunakan dalam perkelahian disana adalah parang sehingga bacok-membacok sangat ramai,” dalam Perjuangan Rakyat Semesta Sumatera Utara yang diterbitkan Forum Komunikasi Ex Sub Teritorium VII Komando Sumatera (1979). Korban jatuh di kedua belah pihak. Masing-masing tujuh orang meninggal. Gedung Pension Wilhelmina berhasil diambilalih para pemuda. Sebanyak 132 tentara NICA mengalami luka-luka. Mereka diangkut ke markas pemuda pimpinan Selamat Ginting, tak jauh dari Jalan Bali. Setelah dipukuli, mereka dikirim ke rumah sakit, ada juga yang dibunuh. Pada 18 Oktober 1945, Inggris mengumumkan agar orang-orang Indonesia menyerahkan senjatanya. Tuntutan itu dijawab dengan giatnya pembentukan laskar-laskar di Medan dan sekitarnya, seperti Berastagi dan Pematang Siantar. Anggota laskar bahkan mencari senjata yang dibuang Jepang ke dasar laut, dekat pelabuhan Belawan. Pertempuran demi pertempuran meluas, menandai dimulainya perang kemerdekaan di Sumatera Utara.
- Penentuan Hari Jadi Kota Makassar
SENIN, 9 November 2015, lapangan Karebosi Makassar sudah padat sejak pagi. Beberapa pejabat pemerintah terlihat menggunakan pakaian adat. Ada gubernur Sulawesi Selatan, walikota Makassar, hingga pelajar. Hari itu seribuan orang, berkumpul dalam rangka peringatan hari jadi Kota Makassar yang ke-408 tahun. Usia kota ini didasarkan pada peristiwa salat Jumat bersama di masjid Tallo, pada 9 November 1607, di masa pemerintahan Raja Gowa ke XIV, I Mangngarangi Daeng Manrabia Sultan Alauddin Tumenaga ri Gaukanna. Kesepakatan ini, dirumuskan dalam Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 1 Tahun 2000, tentang Penetapan Hari Jadi Kota Makassar. Sebelumnya hingga tahun 1999, Hari Jadi kota ini disepakati pada 1 April 1906 yang diberlakukan oleh Gubernur Jenderal Idenburg, setelah penaklukan penguasa-penguasa lokal, dan menjadikan Makassar sebagai gemeente (daerah otonom) yang berhak mengatur dan memerintah diri sendiri. Pemberlakuan daerah otonom ini didasarkan pada Undang-undang Decentralisatiewet tahun 1903 juncto Algemenee Matregel van Bestuur tahun 1903. Dimana selain Makassar, status gemeente ini juga diberlakukan untuk Batavia (sekarang Jakarta), Medan, Semarang, dan Surabaya. Tahun 1906 pula dibentuk Dewan Kota ( gemeenteraad ) yang beranggotakan 13 orang, masing-masing terdiri delapan orang Belanda, tiga orang pribumi dan dua orang perwakilan Timur Asing. Dewan ini dipimpin oleh Kepala Pemerintahan Daerah Afdeling Makassar ( Het Hoofd van Plaatselijk Bestuur van de Afdeling Makassar ). Dan tahun 1911, dewan kota diperbesar dengan penambahan dua orang Belanda. Pada 1918, Makassar akhirnya memperoleh walikota ( Burgemeester ) pertamanya dan sekaligus bertindak sebagai ketua dewan kota. Dua puluh tahun kemudian di tahun 1938, status kota berubah menjadi Kotapraja ( Stadsgemeente ) dan menambahkan dua orang pribumi kedalam anggota dewan kota yang menjadi 17 orang. Pemerintah kolonial juga mengeluarkan Bouw en Woonverordening voor de Gemeente (aturan yang digunakan untuk mengatur pendirian bangunan secara tak langsung dalam mekanisme zonasi tempat tinggal). Aturan ini kemudian disempurnakan pada 1942 dan 1952. Perkembangan kota inilah yang kemudian dikatakan, sejarawan Universitas Hasanuddin, Dias Pradadimara sebagai awal mula perkembangan kota Makassar secara modern. “Ingat, perkembangan awal kota Makassar yang kita kenal saat ini bertumbuh di wilayah sekitar Benteng Rotterdam akhir abad 17,” katanya. Untuk itu, kata Dias, menarik garis sejarah pembentukan kota seperti saat ini, maka pengaruh kolonial sangatlah penting. “Kita tidak boleh mengatakan bahwa itu adalah tinggalan masa penjajah. Sikap anti barat, tentu tidaklah beralasan,” katanya. Lalu kemudian apa makna peristiwa 9 November yang dirayakan sebagai hari jadi kota? “Itu adalah serangkaian peristiwa-peristiwa simbolik yang terjadi pada masa kejayaan kerajaan Gowa Tallo. Dan ingat, pusat kerajaan pada masa itu ada Kabupaten Gowa saat ini. Itu tidak ada hubungan dengan kota yang kita kenal sekarang,” kata Dias. “Kalau pemerintah tetap menggunakan peristiwa simbolik pada 9 November, saya kira ini akan mengganggu data sejarah masa depan.” Alasan yang sama dikemukakan sejarawan Universitas Negeri Makassar, Taufik Ahmad. Menurut dia, penentuan hari jadi kota, dilakukan secara politik, maka sebaiknya dipandang juga secara politik pembentukan. “Saya kira kita tak bicara soal entitas etnis Makassar. Jadi cikal bakal kota tentu dimulai pada pembentukan kota secara modern, ya tahun 1906 itu,” katanya. Sementara itu, menurut Sejarawan Universitas Hasanuddin, Edward Poelinggomang penetapan 9 November merupakan peristiwa atau momentum kebesaran di mana berkumpul banyak orang dari berbagai etnis yang melakukan salat bersama. “Saya kira itu momentum untuk melihat betapa kosmopoltannya Makassar masa lalu,” katanya.
- Ketika Resimen Pelopor Menyerang Markas RPKAD di Cijantung
SEJARAH militer Indonesia tak pernah sepi dari insiden bentrokan antara sesama kesatuan. Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD, kini Kopassus) pernah bentrok dengan kesatuan elite Korps Komando Angkatan Laut (KKO AL, kini Marinir) pada 1964 di Kwini dan Pasukan Gerak Tjepat Angkatan Udara (PGT) pada 1965 di Halim Perdanakusumah. Namun, tak banyak orang tahu bahwa RPKAD pun pernah bentrok dengan Menpor (Resimen Pelopor, sekarang Brimob). Dalam Resimen Pelopor, Pasukan Elit yang Terlupakan, Anton Agus Setiyawan dan Andi M. Darlis mengungkap bentrokan yang terjadi pada pertengahan 1968 itu. Insiden diawali oleh datangnya seorang sopir oplet ke asrama Menpor di Kelapa Dua, Depok pada suatu siang. Dia menyerahkan jasad seorang prajurit Menpor. Sebelum pingsan, sopir itu mengatakan kepada petugas pos jaga bahwa prajurit Menpor itu tewas ditembak dari jarak dekat oleh personel RPKAD. Setelah melakukan identifikasi, prajurit Menpor tersebut adalah anggota Kompi F yang baru saja lulus pendidikan. Menerima laporan tersebut, Wakil Komandan Menpor AKBP Soetrisno sontak menjadi berang. Alih-alih menenangkan prajuritnya, dia malah memerintahkan tiga kompi Menpor (Kompi A, Kompi B dan Kompi D) untuk menyiapkan perlengkapan tempur dan mengisi senjata AR 15 dengan lima magasin peluru tajam. “Mereka diperintahkan untuk menduduki Cijantung yang merupakan markas sekaligus asrama RPKAD. Sementara kompi lain diperintahkan bersiaga mengantisipasi serangan balasan,” tulis Anton dan Andi. Tiga kompi ini dipecah kedalam beberapa peleton dan berjalan kaki menuju Cijantung. Peleton pertama yang tiba di Cijantung berhasil menyusup dengan cara memotong pagar kawat di belakang markas RPKAD. Hanya dalam hitungan menit, dua kompi masuk ke markas RPKAD, satu kompi di luar untuk mengantisipasi perangkap RPKAD. Setelah melakukan penyisiran, ternyata asrama sudah dikosongkan. Prajurit Menpor menduduki markas RPKAD hingga pukul 06.00 pagi. Beberapa saat kemudian, datanglah sepasukan tentara dipimpin langsung oleh Pangdam V Jaya Mayjen. Amir Machmud. Dari atas tank, dia berseru agar prajurit Menpor segera meninggalkan Cijantung atau akan dianggap pasukan liar dan diambil tindakan keras. Prajurit-prajurit tidak gentar dan malah mengarahkan senjatanya kepada Pangdam Jaya. Seorang prajurit bertanya kepada AKBP Soetrisno, “Bagaimana, Pak Tris? Pangdam Jaya ditembak, tidak?” Soetrisno memberi perintah untuk menunggu. Tak lama kemudian, Kombes Polisi Anton Soedjarwo, komandan Menpor, yang tidak mengetahui penyerbuan anak buahnya ke markas RPKAD, memerintahkan mereka untuk membubarkan diri. Barulah para prajurit Menpor mengundurkan diri dari Cijantung. Seminggu setelah kejadian itu, pasukan Menpor memakai pakaian sipil dengan menggunakan truk yang diganti pelat nomornya menculik prajurit RPKAD yang pulang cuti. Prajurit RPKAD malang itu ditusuk dengan pisau komando dan mayatnya dibuang di jalan. Pada pekan berikutnya, aksi ini didukung Batalion 530 Brawijaya yang tengah bertugas di Jakarta. “Pasukan ini memberi dukungan berupa tank yang digunakan untuk berkeliling menculik para prajurit RPKAD,” tulis Anton dan Andi. Para petinggi TNI dan Polri segera melakukan penyelidikan. Hasil penyelidikannya tidak pernah diumumkan kepada publik. Menpor dan RPKAD didamaikan dengan cara apel dan kegiatan bersama.
- Cerita Menarik Pemilihan Bupati Sumba Barat
KETIKA menjabat Gubernur Nusa Tenggara Timur (dua periode, 1978-1988), Ben Mboi dihubungi Kepala Staf Angkatan Udara, Ashadi Tjahyadi, terkait pengganti Bupati Sumba Barat, Letkol (TNI AU) Pandago yang meninggal. Ashadi meminta pengganti Pandago berasal dari Angkatan Udara. Ben Mboi menolak. “Marsekal, jangan! Kita jangan bikin NTT menjadi kapling-kapling ABRI, dan sekaligus tempat arisan bupati. Penetapan bupati di bawah pimpinan saya adalah mission type oriented, artinya rakyat membutuhkan leadership macam apa,” jelas Ben Mboi kepada Ashadi, tertulis dalam Ben Mboi: Memoar Seorang Dokter, Prajurit, Pamong Praja. Ashadi menerima alasan Ben Mboi. Namun, tak lama kemudian, Kasospol Kodam Udayana, Kolonel Siregar menemui Ben Mboi di kantornya. Dia meminta agar bupati Sumba Barat diambil kalangan Angkatan Darat. Dia beralasan Sumba Barat masih rawan PKI dan Gerakan 30 September (G30S), maka pimpinan harus dipegang oleh tentara. Ben Mboi menyangkal alasan Siregar dengan mengatakan, “Ah kamu bercanda, rawan G30S, yang benar saja. Tulang-tulang orang PKI sudah hancur semua, you masih bilang rawan G30S. Tidak ada rawan G30S. Tidak ada laporan sospol bahwa masih ada unsur PKI di Sumba Barat. Yang ada rawan kelaparan, kemiskinan. Saya ada calon bupati dari kalangan sipil Sumba Barat!” Mendengar penolakan Ben Mboi, Siregar mengeluarkan ancaman. “Tapi panglima (Udayana) pesan, kalau bupati Sumba Barat bukan dari kalangan AD, besok lusa kalau ada masalah di sana panglima tidak bertanggung jawab,” kata Siregar. Merasa diancam, Ben Mboi memanggil Sekretaris Daerah, Drs. Daud ke ruangannya. Ben Mboi memerintahkan Daud untuk mencatat kata-kata ancaman Siregar lalu mengirimkannya via telegram kepada Presiden Soeharto. Siregar melompat dari tempat duduknya. “Minta ampun, Pak Gubernur. Bukan itu maksudnya.” “Eh, Siregar, kau tentara. Kau lupa saya juga tentara. Yang kau bilang besok lusa kalau ada masalah itu, kau yang akan bikin masalah, sehingga hipotesismu terbukti!” tegas Ben Mboi. “Jadi beritahu panglima, prinsip saya mencari pemimpin rakyat itu adalah orang yang sedekat mungkin secara sosial, politik, kultural kepada rakyat yang dipimpin itu.” Ben Mboi kemudian memilih Drs. Umbu Djima sebagai bupati Sumba Barat yang menjabat selama dua periode (1985-1995). Setelah itu, Umbu Djima menjadi anggota DPR RI dari Partai Golkar (1997-1999). Apakah panglima Udayana gembira atau tidak, bagi Mboi “rakyat harus memperoleh pemimpin seperti kata Joseph de Maistre: Toute nation a le gouvernement qu’elle merite (setiap bangsa/kelompok masyarakat berhak mempunyai pemerintah yang pantas untuk mereka.”
- Ditemukan Lagi: Foto Eksekusi Pejuang Indonesia oleh Tentara Belanda
FOTO-foto yang memuat kekejaman tentara Belanda semasa agresi militernya di Indonesia kembali ditemukan di Belanda. Pada Jumat, 16 Oktober kemarin harian terkemuka Belanda de Volkskrant memuat berita penemuan tersebut. Secara keseluruhan terdapat 179 foto dan slides yang sebelumnja tidak pernah diumumkan di manapun juga. Pada salah satu foto terlihat jenazah enam pria Indonesia yang telah dieksekusi. Gambar-gambar itu ditemukan di dalam sebuah kamar penyimpan barang berharga yang terletak dalam sebuah bangunan bekas bank di Gouda (Belanda tengah). Bangunan tersebut sekarang merupakan gedung Museum Perlawanan di propinsi Zuid-Holland (Holland selatan). Joost Lamboo yang bertanggung jawab bagi gambar-gambar koleksi museum, menegaskan, “Semua foto ini langsung mengingatkan saya pada foto-foto eksekusi yang pernah diumumkan oleh harian de Volkskrant pada bulan Juli 2012. Pria-pria yang dieksekusi berdiri di pinggir sebuah lubang dangkal. Foto-foto ini dibuat dari jarak yang sanget dekat dan itu luar biasa. Dua dari enam pria itu sebenarnya gampang sekali diidentifikasi siapa mereka.” Sebagaimana ditulis oleh wartawan de Volkskrant Lidy Nicolasen, di antara kumpulan foto itu juga bisa dilihat kampung yang dibakar habis, aksi pembersihan, interogasi orang-orang Indonesia yang ditelanjangi. Ada slide beberapa pejuang Indonesia yang sudah dipenggal kepala mereka dan ada pula slide orang Indonesia yang menunjukkan sebuah piagam, piagam itu merupakan bukti kesetiaan pemegangnya kepada pemerintah kolonial Belanda. Piagam itu mungkin pemberian Kerajaan Belanda karena Perang Aceh (1873-1914). Secara kebetulan Joost Lamboo menemukan foto-foto tersebut. Di dalam kamar berpintu besi itu juga terdapat laci-laci sarat barang-barang yang mengingatkan orang pada Perang Dunia II. Misalnya medali Nazi, emblem SS untuk dibalutken pada lengan atas, atau bintang Yahudi, juga tidak ketinggalan barang-barang sekutu. Sekarang barang-barang seperti itu sudah berharga mahal. Di dalam laci-laci itu Joost Lamboo juga mendapati banyak kotak buatan pabrik sabun Inggris Bromley. Cuma sabunnya sudah diganti dengan slides , yang tidak berkaitan dengan Perang Dunia II. Semua slides itu ternyata berkaitan dengan aksi polisi di Hindia. Slides itu dibungkus dalam koran, kebanyakan sudah ditempatkan di dalam kaca yang dilekatkan dengan karton. Slides yang lain bisa diangkat menggunakan kayu atawa bakelit. Di sebelah kotak sabun itu masih ada dus yang sedikit lebih besar, di situlah ditemukan foto-foto perang kemerdekaan Indonesia. Bagaimana semua gambar ini bisa sampai di Museum Perlawanan Gouda tidaklah jelas dan tak bisa dicari lagi kejelasannya. Juga tidak bisa diketahui lagi siapa pula yang menyerahkan semua itu kepada museum. Siapa pemotretnya juga tidak jelas. Lamboo adalah orang pertama yang berusaha melihat gambar dalam slides . Perhatiannya segera terpaku pada foto jenazah enam pria Indonesia dalam lubang dangkal. Bagian bawah tubuh mereka yang tidak tertutup sehelai benangpun ditutupi jerami atau rumput kering. Menurut de Volkskrant, banyak slides yang sudah termakan zaman, jadi kebanyakan cahaya lantaran gelatin yang melapisinya sudah lenyap. Keaslian slides ini sudah dipastiken oleh Pusat Dokumentasi Perang Belanda, NIOD. Sejumlah besar foto dalam keadaan baik, jauh lebih baik ketimbang foto yang biasanya diambil oleh prajurit-prajurit Belanda. Aksi militer, latihan perang, patroli dan material baik milik prajurit Belanda maupun para pewajib militer dan KNIL selalu didaftar dengen teliti. Lantaran itu Joost Lamboo semakin dan semakin yakin bahwa pembuat foto-foto itu ikut dalam dinas militer Belanda. Joost Lamboo berupaya mati-matian menemukan tanda-tanda yang bisa mengarah kepada siapa pembuat foto-foto ini. Baginya aneh juga kalau dalam tumpukan foto ini cuma ada satu foto dinas seorang prajurit. “Itu foto seorang kapten yang mengenakan seragam militer Inggris. Pada baretnya terpampang sebuah emblem resimen parasit. Angkatan pertama komando Belanda memang dilatih di Inggris. Mungkin dialah fotografnya. Kalau tidak mengapa fotonya ada di dalam tumpukan foto ini?” Pada foto lain terbaca coretan “ you talk of Freedom and Justice ” pada dinding sebuah bangunan yang sudah terbakar. Juga terlihat parade militer di depan Hotel Savoy Homann di Bandung, yang sampai sekarang tetap merupakan hotel. Pada bendera terlihat gambar anjing, simbol batalyon kelima KNIL. Kemudian berkali-kali terlihat emblem tentara Belanda, yaitu De Watermannen dan Batalyon Zeeuws . Foto-foto ini merupakan bahan pameran bertajuk Indië in oorlog – oorlog in Indië (Hindia dilanda perang – Perang di Hindia) yang diselenggarakan oleh Museum Perlawanan di Gouda sampai akhir bulan ini.
- Kisah Cinta Sang Biduan di Cianjur
TAK ada orang Cianjur yang tak mengenal bangunan tua di Jalan Mohammad Ali itu. Kendati masih artistik, namun kondisinya terlihat usang, cat terkelupas di sana-sini, ditambah sampah plastik di sekitar jalan yang melintasinya. “Para pembeli makanan dari penjual-penjual bergerobak di depan gedung yang biasanya membuang seenaknya sampah-sampah itu,” kata Encun (64), penduduk di sekitar bangunan tersebut. Terletak di pusat kemacetan kota tauco, Gedung Wisma Karya itu dibangun sekitar tahun 1950-an oleh Tjung Hwa Tjung Hwee, perkumpulan orang-orang Tionghoa di Cianjur yang berafiliasi kepada Badan Permusjawaratan Warganegara Indonesia (BAPERKI). BAPERKI adalah organisasi orang-orang Tionghoa yang didirikan oleh jurnalis Siauw Giok Tjhan dan kawan-kawanya pada 13 Maret 1954 di Jakarta. Tujuannya mengakomodir sekaligus merepresentasikan setiap aspirasi kepentingan masyarakat Tionghoa di Indonesia, terutama terkait dengan pendidikan dan sosial politik. Pasca Gerakan 30 September 1965 (G30S), pemerintah Orde Baru di bawah Jenderal Soeharto memberangus organisasi ini karena dituduh terkait dengan Republik Rakyat Tiongkok, negara yang dituduh mendukung G30S. Tahun 1966, Gedung Wisma Karya digeruduk demonstran KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia). Semua isinya dikeluarkan dan dibakar, temboknya dicoret-coret dengan tulisan penuh kecaman terhadap Tionghoa. Tak seorang pun anggota BAPERKI setempat yang berani melawan aksi vandal itu. “Rata-rata kalau tidak sembunyi, mereka diam saja,” kata Dadang Djuanda (67), mantan aktivis KAPI Cianjur. Sejak itu, KAPI menjadikan Wisma Karya sebagai salah satu markas besarnya selain Eng Tjun Kong Hui (sekarang Gedung Dewan Kesenian Cianjur) di Jalan Soeroso. “Hampir tiap hari kami bolak-balik ke gedung-gedung itu. Ibaratnya Wisma Karya itu seperti rumah kedua kami,” kata Agus Thosin (65), mantan aktivis KAPI Cianjur. Selain digunakan sebagai sekolah, sejak era 1960-an, Wisma Karya pun sering dipakai untuk menyelenggarakan berbagai perhelatan, termasuk acara musik yang mengundang artis-artis terkenal ibukota. Salah satu artis itu adalah Alfian Harahap. Lelaki kelahiran Binjai, Sumatera Utara tersebut pernah disambut luar biasa oleh anak muda Cianjur pada malam sekitar pertengahan 1960-an. Dalam aksi-aksinya, Alfian sering meniru gaya Elvis Presley dan Pat Bone. Konon, saat manggung di Wisma Karya, Alfian berkenalan dan digosipkan jatuh cinta dengan mojang Cianjur keturunan Tionghoa-Sunda. “Namanya Leni, orang Pasar Suuk,” ujar Tresnawati (69), penduduk Cianjur yang mengalami peristiwa itu. Gosip panas itu cepat menyebar luas ke khalayak. Menurut Tresnawati, para remaja Cianjur zaman itu rata-rata mengetahui cerita cinta sang biduan. “Ya kalau istilah sekarang mah, jadinya hebohlah,” ujar Tresnawati. Ditelusuri ke Pasar Suuk, hampir tak ada orang yang mengenal lagi nama Leni. Hanya seorang sepuh, Mamat (70), sayup-sayup ingat nama Leni. “Iya saya tahu si Enci (panggilan untuk orang Tionghoa di Cianjur) itu, tapi dia sudah lama sekali ikut keluarganya pindah. Entah ke Bandung atau ke Jakarta, saya kurang tahu,” katanya. Gosip biduan Alfian jatuh cinta kepada gadis Cianjur semakin menguat dan dipercaya, saat beberapa waktu setelah manggung di Wisma Karya, dia muncul dalam lagu berjudul “Semalam di Tjiandjoer.” Kan/kuingat di dalam hatiku/Betapa indah semalam di Cianjur/Janji kasih yang t’lah kau ucapkan/Penuh kenangan yang tak kan terlupakan. Tapi, sayang, hanya semalam / Berat rasa perpisahan / Namun ku telah berjanji / Di suatu waktu kita bertemu lagi .
- Mengenang yang Tewas di Musim Gugur
SAYA tiba ke negeri ini ketika daun-daun mulai menguning dan berguguran. Cuaca mulai dingin dan awan mendung mulai bergelayut di langit, seperti menahan berkantung-kantung air yang siap tumpah membasahi bumi. Belanda memasuki musim gugur. Tak ada yang lebih syahdu dari musim gugur; ketika matahari mulai meredup di siang hari, tak seperti musim panas yang telah berlalu. Pada Jumat 2 Oktober pekan lalu, sebuah simposium mengenai peristiwa 1965-1966 diselenggarakan di International Institute voor Social Geschiedenis atau Institut Internasional untuk Sejarah Sosial di Amsterdam. Sehari sebelumnya, di Ketelhuis, Amsterdam, diselenggarakan pemutaran film Living of Years Dangerously yang dibintangi oleh Mel Gibson, sebuah film yang berlatarbelakang kejadian politik menjelang kejatuhan Sukarno. Yang menarik adalah diputarnya film dokumenter dari seorang jurnalis Belanda yang bekunjung ke Indonesia pada 1969. Jurnalis TV tersebut mewawancarai Menteri Penerangan Budiardjo dan wartawan Nono Anwar Makarim. Reportase itu, saya duga, dilakukan karena sebelumnya telah ada berita mengenai pembunuhan massal anggota dan simpatisan PKI di Purwodadi, Grobogan, Jawa Tengah yang diungkap oleh Poncke Princen. Poncke datang ke Purwodadi pada pertengahan Februari 1969 disertai dua wartawan Belanda Henk Kolb dan Cees van Caspel dari harian De Haagsche. Setelah mendapat keterangan mengenai pembunuhan massal di Purwodadi dari seorang pastor setempat, berita menyebar kemana-mana. Namun kisah tersebut tak jadi ekslusif milik De Haagsche karena Poncke keburu membocorkan kejadian itu pada Harian KAMI, yang dipimpin oleh Nono Anwar Makarim, narasumber dalam dokumenter tersebut. Dengan menggunakan bahasa Inggris yang “flawless,” demikian istilah yang digunakan Aboeprijadi Santoso, wartawan senior yang bermukim di Amsterdam, Nono menceritakan dialah wartawan pertama yang berhasil pergi ke Purwodadi untuk melihat situasi. Paling tidak demikian versinya. Kendati sebelum dia, jelas Poncke, Henk Colb dan Cees van Caspel adalah rombongan wartawan pertama yang tiba ke ibukota Kabupaten Grobogan tersebut sebelum Nono datang. Simposium mengenai peristiwa 1965 pun tak kalah menariknya. Menampilkan lebih dari sepuluh sejarawan ahli Indonesia, yang datang dari berbagai negeri. Mereka mengungkapkan apa yang selama ini tidak pernah diketahui oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Atau kalau pun tahu, menyimpan hal itu sebagai rahasia. Pada 1 Oktober yang lalu berbagai media di Belanda menurunkan tulisan tentang peristiwa tersebut. Mulai Volkskrant sampai NRC Handelsblad bahkan NPO, salah satu stasiun televisi Belanda pun menyiarkan film Senyap karya Joshua Oppenheimer dan sebelumnya menyiarkan pula tentang peran Pater Beek di era awal berdirinya Orde Baru. Beek dikenal sebagai pastor katolik anti-komunis berdarah Belanda yang banyak memberikan pelatihan kepada para mahasiswa dan pemuda Katolik untuk menghadapi kekuatan PKI. Beek pernah mengirim surat terbuka kepada Presiden Sukarno, menyatakan keberatan terhadap kebijakan Sukarno memberi PKI ruang terlalu luas dalam panggung politik nasional. Pada musim dedaunan mulai meranggas ini, 50 tahun peristiwa 1965 diperingati secara utuh. Tak hanya mengenang sepuluh pahlawan revolusi yang tewas pada 1 Oktober 1965 (terdiri dari enam jenderal AD, dua perwira menengah di Yogyakarta, satu perwira pertama di Jakarta dan Ade Irma Suryani) tapi juga mengenang ratusan ribu nyawa lainnya yang tewas sepanjang tahun 1965-1966. Karena sejarah adalah guru kehidupan maka kepadanyalah kita belajar tentang hari ini dan masa depan. Semoga peristiwa yang kelam itu tak pernah lagi terulang.
- Pengabdi VOC dari Ternate
ABAD 17 merupakan era dominasi Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) di wilayah Ternate. Situasi tersebut terselenggara berkat dukungan militer dan finansial VOC kepada kesultanan itu sehingga mereka merasa percaya diri untuk berhadapan dengan pesaingnya, Kesultanan Tidore. Adalah Sultan Mandar (1675-1690) yang dapat berkuasa berkat intervensi VOC. Kendati dia dinilai bukan pemimpin yang populer dan memiliki karakter yang buruk, namun “pengabdiannya” kepada majikan Belanda-nya dikenal sangat maksimal. “Untuk membuktikan pengabdiannya, Sultan Mandar memberi kedua puteranya sesuai nama kota di Belanda: Amsterdam dan Rotterdam…” tulis M.C.Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 . Menurut sejarawan Leonard Y. Andaya, keputusan Sultan Mandar memberi nama dua puteranya dengan nama Belanda merupakan sebuah pengakuan terhadap keunggulan mutlak VOC. Saat beranjak dewasa dan telah diangkat menjadi sultan, hal itu malah ditegaskan oleh Amsterdam sendiri. “ Jika ayah saya adalah setengah Belanda, saya pastinya adalah orang Belanda sepenuhnya.” Begitu didapuk sebagai Sultan Ternate, Amsterdam telah memutuskan bahwa dia akan mengandalkan hubungan istimewanya dengan orang-orang Belanda. Selain sebagai upaya meningkatkan prestisenya, dia pun melakukan itu sebagai penegas kehendaknya kepada para pengikutnya yang mulai membandel. Merasa belum lengkap dengan “kebelandaannya”, dia meminta kepada VOC untuk memberi beberapa pengawal dari kalangan serdadu Belanda totok. “VOC lantas memberi Sultan Amsterdam seorang sersan, seorang kopral dan sepuluh prajurit sebagai kelompok pengawalnya,” tulis Andaya dalam Dunia Maluku, Indonesia Timurpada Zaman Modern Awal . Rupanya reputasi serdadu VOC yang baru saja mengalahkan Kerajaan Goa (sebuah kerajaan yang pernah dianggap begitu kuat di kawasan Indonesia Timur) kala itu menyebabkan Sultan Amsterdam berhasrat memiliki pengawal dari kalangan militer VOC. Itu dilakukannya lagi-lagi untuk meningkatkan reputasinya di mata rakyat Maluku. Penegasan Ternate sebagai “anak” dari VOC semakin kuat, saat Sultan Amsterdam menamai dua cucunya ( hasil pernikahan antara putrinya dengan putera Sultan Toloko) dengan nama “Batavia” dan “Outhoorn” (nama Gubernur Jenderal Belanda di Batavia kala itu). Bahkan untuk yang terakhir, kelahirannya dirayakan secara besar-besaran dan diingat orang-orang Ternate sebagai “yang paling mewah dalam kenangan hidup.” Amsterdam bukannya tidak pernah patah arang dengan “pujaannya” itu. Saat Belanda melindungi Pangeran Kaicili Alam dari Jailolo (yang merupakan musuhnya) di Benteng Oranye, memunculkan kemarahan Sultan Amsterdam. “Sebagai bentuk ketidakpuasan, dia mengirimkan kembali tongkat rotan (yang melambangkan kekuasaan) dan payung kerajaan yang pernah dihadiahkan kepadanya oleh VOC saat pelantikan Amsterdam sebagai Sultan Ternate,” ujar Andaya. Untunglah VOC cepat tanggap dengan mengirim Kaicili Alam ke luar negeri dan ikut berpartisipasinya pasukan mereka dalam berbagai operasi penumpasan musuh-musuh Sultan Amsterdam. Mereka adalah para pemberontak dari Pulau Sula, Banggai dan Gapi.
- Perdana Menteri Israel: Pemimpin Muslim Palestina Ada di Balik Holocaust, Bukan Hitler
PERDANA Menteri Israel Benyamin Netanyahu membuat pernyataan kontroversial. Dalam pidatonya di hadapan peserta kongres zionisme sedunia di Yerusalem, Selasa, 20 Oktober 2015 dia mengatakan Adolf Hitler bukan orang yang memerintahkan pembunuhan massal warga Yahudi di Eropa. “Hitler hanya ingin mengusir warga Yahudi dari Jerman,” kata Netanyahu dalam pidatonya. Rencana Hitler itu disampaikan kepada Husseini saat mereka bertemu pada 25 November 1941, di Berlin, Jerman. Namun ide tersebut, demikian kata Netanyahu, ditentang oleh Mufti Agung Palestina Mohammad Amin al-Husseini, pemimpin tertinggi muslim di Palestina pada 1921-1948. “Kalau mereka (warga Yahudi, red. ) diusir, mereka semua akan datang ke Palestina,” kata Netanyahu mengutip Husseini. Mendengar pernyataan tersebut, Hitler balik bertanya apa yang harus dilakukannya jika tak diperkenankan mengusir Yahudi dari Jerman dan seantero Eropa. “Bakar mereka,” kata Netanyahu meniru ucapan Husseini. Kontan pernyataan Netanyahu tersebut menimbulkan berbagai reaksi. Sejarawan ahli Holocaust terkemuka dari Israel, Tom Segev, menyanggah pernyataan Netanyahu. Dia menuduh perdana menteri Israel itu ngawur dan tidak berdasar. “Husseini boleh dibilang hanya penjahat perang, tapi kita tak bisa mengatakan Hitler membutuhkan nasihatnya (untuk membunuh Yahudi),” kata sejarawan yang orangtuanya berhasil lolos dari kekejian Nazi di Jerman pada 1933. Seperti dikutip dari timeofisrael.com , Segev berpendapat bahwa pembasmian warga Yahudi di Jerman justru sudah dimulai sebelum pertemuan Hitler dan Husseini terjadi. “Jadi mufti menyuruh Hitler membunuh Yahudi dan Hitler begitu saja tunduk dan melakukannya? Oh… sungguh ide yang bagus,” ujar Segev menyindir Netanyahu. Netanyahu bukanlah pemimpin Israel pertama yang menuding mufti Palestina dalang Holocaust. Teori tentang keterlibatan mufti dalam merencanakan pembasmian Yahudi di Eropa itu sendiri pertama kali dilontarkan oleh beberapa sejarawan, di antaranya David Dalin dan John Rothmann. Namun pendapat dua sejarawan itu mendapatkan sanggahan dari mayoritas ahli sejarah Holocaust. Sementara itu pemimpin oposisi Israel Isaac Herzog mengatakan pernyataan Netanyahu itu telah memutarbalikan fakta sejarah dan bakal menyeret para penyangkal Holocaust ( holocaust deniers ) ikut terlibat di dalam konflik Palestina–Israel. “Netanyahu lupa bahwa dia bukan saja perdana menteri Israel, tapi dia juga perdana menteri warga Yahudi. Jangan ajari saya bagaimana untuk jadi pembenci mufti. Dialah (mufti, r ed. ) yang memerintahkan pembunuhan kakek saya Rabi Yitzhak HaLevi Herzog,” kata Herzog kemarin, seperti dikutip dari timeofisrael.com .
- Dokumen Saham Tertua VOC Ditemukan
KANTOR Arsip Amstedam menemukan andil ( andeel , saham) unik VOC ( Vereenigde Oost-Indische Compagnie , Kumpeni) bertanggal 6 Oktober 1606. Inilah salah satu dari dua andil tertua VOC yang dikeluarkan di Amsterdam, demikian menurut peneliti Harmen Snel kepada harian Belanda de Volkskrant . Surat saham senilai 600 gulden ini dibeli pada tanggal 6 Oktober 1606 oleh Theunis Jansz, seorang penjual rempah-rempah yang kemudian menjual ikan haring dan menetap di Vrouwensteeg (gang kecil antara Damrak dan Nieuwendijk, Amsterdam pusat). Pada tahun-tahun pertama, dia memperoleh bunga sebesar 10 persen, demikian Harmen Snel. Sekarang saham itu akan berharga 10 ribu euro, sekitar Rp. 160 juta. Pada 1602 VOC memperoleh izin untuk melakukan perdagangan ke Hindia Timur, tapi Kumpeni masih butuh banyak dana sebelum benar-benar bisa melakukan pelayaran itu. Mulai 1 Agustus 1602 kalangan partikelir bisa membeli saham VOC. Pembelinya mencapai 1143 orang, antara lain Theunis Jansz tersebut. Dana investasi yang masuk ditulis pada daftar pemilik saham dan para pembeli menerima bukti pembayaran yang disebut recipisse . Dokumen yang baru ditemukan inilah yang disebut recipisse . Karena keikutsertaan partikelir dalam VOC bisa dipindahtangankan bahkan bisa dijual, maka orang menganggapnya sebagai bentuk awal sebuah andil. Dan memang saham Theunis Jansz ini kemudian sempat dimiliki oleh beberapa orang. Sebagai warisan, dokumen ini diserahterimakan pada empat generasi sampai akhirnya dimiliki oleh Agnietje Nagel, seorang gadis yatim piatu dan karena itu diurus oleh rumah yatim piatu yang disebut Weeskamer (arti harafiahnya kamar yatim piatu). Weeskamer adalah dinas kota Amsterdam yang mengurus harta warisan yang diterima oleh anak-anak yatim piatu sampai mereka dewasa dan bisa mengurus sendiri harta kekayaan itu. Agnietje juga memiliki rumah di wilayah elit Herengracht yang butuh biaya perawatan besar. Untuk itu, pada 1739 saham VOC tersebut dijual. Sebelumnya, di Arsip Amsterdam, sudah terlebih dahulu ditemukan surat saham tertua VOC. Tapi, setelah diumumkan pada 1979, lembar surat saham itu lenyap dari arsip dan beredar sebagai barang dagangan. Pada 2010 di Westfries Archief, kota Hoorn, ditemukan sebuah saham VOC. Dengan demikian lembar surat saham yang minggu lalu ditemukan di Amsterdam ini merupakan saham VOC tertua kedua yang sekarang ada di Belanda. Surat saham yang baru ditemukan ini akan dipamerkan di Arsip Amsterdam mulai tanggal 6 sampai 18 Oktober 2015.
- Pasukan Penerjun Operasi Naga Kesasar di Hutan Papua
PADA 22 Juni 1962, pukul 14.00, Letnan Satu dr. Ben Mboi tiba-tiba dibangunkan dari tidur siang di baraknya. Komandan Datasemen Kesehatan Pasukan Khusus (Dandenkes Pasus) itu, menerima panggilan tugas bertempur di Irian Barat (sekarang Papua). Di markas RPKAD (Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat) Cijantung, Ben Mboi menghadap komandan yang akan memimpin operasi militernya, Kapten Benny Moerdani. “Operasi ini, Operasi Naga namanya. Kita akan diterjunkan di Irian Barat bagian selatan. Persisnya dimana, nanti akan dijelaskan,” demikian instruksi Benny dalam Ben Mboi: Memoar Sorang Dokter, Prajurit, Pamong Praja . “Pergi menuju perang riil seperti Operasi Naga, seolah kita tidak tahu hendak pergi kemana meski pertempurannya pasti,” kenang Ben Mboi melukiskan perasaannya saat itu. “Kita tidak tahu apakah akan terluka atau tidak, akan hidup atau tidak, akan pulang atau tidak. Siapa yang tidak takut?” Sasaran Operasi Naga adalah menduduki kota Merauke untuk mengacaukan konsentrasi pasukan Belanda yang dipusatkan di Pulau Biak. Operasi ini diminta langsung oleh Kepala Staf KOTI (Komando Operasi Tertinggi), Mayor Jenderal Achmad Yani untuk menambah bobot di medan diplomasi. Rencananya, apabila Belanda tetap mempertahakan Irian Barat, Pulau Biak akan diinvasi oleh pasukan gabungan TNI dalam Operasi Jayawijaya yang dipimpin langsung oleh Panglima Mandala, Mayor Jenderal Soeharto. Benny memperkirakan, “kalau Merauke bisa diserbu, ada anak istri Belanda yang bisa kita sandera. Mereka pasti harus mengerahkan pasukannya secara besar-besaran untuk menyelamatkan. Berarti, pertahanan di bagian lain Irian akan terbuka lebar atau setidaknya pertahanannya akan kacau- balau,” tulis Julius Pour dalam Benny Murdani: Profil Prajurit Negarawan . Operasi Naga menjadi operasi penerjunan terbesar dari kampanye Trikora. Melibatkan 215 personel, terdiri dari 55 pasukan RPKAD dan 160 pasukan dari Batalyon 530/Brawijaya. Persiapan yang serba cepat membuat operasi ini tidak diperhitungkan dengan cermat. Penerjunan dilakukan pukul 00.00, 24 Juni 1962. Disinilah awal petaka bagi pasukan Operasi Naga. Cuaca yang gelap ditambah lebatnya hutan Papua, membuat titik pendaratan terlihat samar-samar oleh pilot dan navigator. Pasukan kesasar sejauh 30 km lebih ke utara dari rencana droping zone , Sungai Merauke. “Sungai yang disangka Sungai Merauke, ternyata Sungai Kumbai,” tulis Pour. Benny merencanakan, seminggu setelah menjejakan kaki di Papua, seluruh pasukan sudah bisa terkonsolidasi. Namun, pasukan terpencar lebih lama dari yang diduga. Musuh terbesar mereka bukan tentara Belanda, melainkan alam Papua. Para penerjun disambut pohon-pohon yang menjulang 20 hingga 30 meter. “Beberapa orang tewas seketika karena mendarat di atas rawa. Belum adanya pengalaman melakukan terjun malam, ditambah beban ransel seberat 30 kg, menyebabkan mereka yang mendarat langsung tenggelam,” tulis Pour. Selama sebulan, pasukan menyusuri sungai dan hutan belantara menuju Merauke. Ben Mboi menuturkan, mulai dari daun bluntas dan buah nipah, gabus sungai, hingga biawak jadi santapan mereka demi bertahan hidup. Kontak senjata dengan tentara Belanda terjadi pada 6 Juli 1962. Pasukan Benny yang sedang berisitirahat diserang mendadak dari satu peleton Marinir Belanda. Benny nyaris tewas karena kepalanya diterjang peluru oleh penembak jitu. Beruntung, peluru itu menyambar topi rimba Benny. Benny bersama pasukannya dibawa tentara Belanda ke markas Marinir di Merauke. Mereka dijamu makan dengan status tertawan. ”Karena kesal tidak pernah bisa meringkus Benny, jaket tempurnya ditempel di dinding markas, dijadikan sasaran latihan lempar pisau oleh tentara Belanda,” tulis Pour. “Beberapa pasukan bahkan tercecer hingga sampai ke Papua Nugini dan ditangkap tentara Australia,” tulis Ben Mboi. Mereka di antaranya Rumasukun, Ismail, dan Sutiyono, rekan Ben Mboi. “Setelah gencatan senjata, seorang pasukan Indonesia bernama Serma Teguh Sutamin tersesat masuk ke kampung Papua dan di bunuh oleh orang kampung situ,” lanjut Ben Mboi. Sumber-sumber Belanda yang diteliti P.J. Drooglever dalam Tindakan Pilihan Bebas menyatakan bahwa upaya penyusupan ini belum menjadi bahaya bagi posisi Belanda. Kelemahan terbesar mereka adalah droping tidak baik, tidak mendapat bantuan penduduk, dan pemerintah pusat Indonesia tidak membekali mereka dengan cukup. Sedangkan menurut M. Cholil dalam Sedjarah Operasi-operasi Pembebasan Irian Barat yang diterbitkan Pusat Sejarah TNI, Operasi Naga mencapai hasil yang memuaskan. “Berkat kegiatan-kegiatan gerilya pasukan-pasukan ini, maka Belanda terpaksa memperbesar kekuatannya di Merauke yang semula hanya dua kompi menjadi dua batalion,” tulis Cholil. Pasukan Indonesia yang gugur dalam Operasi Naga berjumlah 36 orang dan 20 orang hilang. Sementara korban di pihak Belanda sebanyak 10 orang. Setelah kampanye Trikora usai, diketahui bahwa wilayah selatan Papua bukanlah medan penerjunan yang mudah ditaklukkan. “Bahkan tentara Jepang yang paling berani sekalipun tidak akan berani melakukan pendaratan di sana pada pagi buta seperti yang kalian lakukan,” kata seorang pilot Hercules Amerika kepada Ben Mboi. “Memang benar, itulah patriotisme. Patriotisme dapat mendorong kita ke bibir tebing ketololan dan kegilaan. Here I am !” kata Ben Mboi.






















