Hasil pencarian
9580 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Kiper Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
SEPANJANG sejarahnya, Manchester United (MU) telah melahirkan banyak pemain hebat mulai penyerang hingga kiper. Kiper-kiper utama klub berjuluk “Setan merah” itu acap jadi incaran klub-klub besar. Terakhir, Real Madrid menggoda kiper utama MU David de Gea agar tak memperpanjang kontrak senilai 14 juta poundsterling dan hengkang ke Santiago Bernabeu, markas Madrid. Sebelum De Gea, deretan kiper hebat MU itu antara lain Tim Howard, Fabien Barthez, Edwin van der Sar, Peter Schmeichel, Alex Stepney, dan Harry Gregg. Kecuali Gregg, semua kiper itu pernah menorehkan gelar dan mengalungi medali. Gregg tak sempat menorehkan prestasi dan justru mengalami sebuah tragedi. Tapi tragedi itu justru membuatnya menjadi satu-satunya kiper MU yang memiliki prestasi yang tak dimiliki kiper-kiper lain. Gregg, pria kelahiran Magherafelt, Irlandia Utara pada 27 Oktober 1932, meniti karier di Windsor Park Swifts, Coleraine. Dari klub itu dia kemudian memperkuat klub Doncaster Rovers sebelum akhirnya menerima pinangan MU pada Desember 1957. “Kepribadian yang kuat dan fisik yang tangguh membuat (pelatih Matt) Busby membelinya 23 ribu pounds –saat itu menjadi rekor dunia untuk transfer kiper,” tulis laman resmi MU, manutd.com . Namun, belum lama berseragam United, Gregg mengalami peristiwa horor Tragedi Munich 6 Februari 1958. Pesawat British European Airways 609 yang mengangkut pemain dan ofisial tim, usai menjalani laga Piala Champions melawan Red Star Belgrade, gagal take-off di Bandara Munich-Riem, Jerman Barat. Gregg salah satu yang selamat. “Awalnya Gregg mengira sudah meninggal. Dengan kepala yang masih pening dan hidung berdarah, dia berusaha keluar dari puing-puing pesawat. Mencoba memahami apa yang telah terjadi,” urai Stephen Morrin dalam The Munich Air Disaster: The True Story Behind the Fatal 1958 Crash. Begitu kondisinya membaik, Gregg langsung keluar dari kabin yang sudah porak-poranda. Dia melihat kru pesawat George Rodgers, Peter Howard, Ted Ellyard, dan pilot James Thain lari menjauh dari lokasi kecelakaan. Gregg sempat ingin menyusul mereka. Namun, suara tangis dari dalam kabin pesawat seketika menghentikan langkahnya. “Kembalilah, berengsek! Masih ada yang hidup di dalam sana,” kata Gregg mengumpat para kru kabin yang kabur, sebagaimana dikenang dalam otobiografinya, Harry’s Game . Meski ajakannya tak dipedulikan, Gregg nekat kembali ke puing-puing pesawat. Penumpang pertama yang mesti diselamatkannya adalah bayi perempuan bernama Vesna. Sebelum kecelakaan, bayi itu duduk di sebelah Gregg bersama ibunya, Vera Lukic, istri diplomat Yugoslavia yang tengah mengandung. Gregg menemukan bayi Vesna tertimbun beberapa puing pesawat namun masih hidup. Gregg langsung menggendongnya dan menyerahkan pada Rodgers sebelum kembali ke puing-puing untuk menyelamatkan penumpang-penumpang lain yang masih hidup, mirip adegan prajurit medis Desmond Doss ketika menyelamatkan satu per satu rekan-rekannya dalam Pertempuran Okinawa di film Hacksaw Ridge . Selain pelatih Matt Busby, Bobby Charlton, Jackie Blanchflower, dan Dennis Viollet merupakan rekan-rekan setim yang berhasil diselamatkan Gregg. “Keberanian sudah menjadi sebuah tindakan yang luar biasa. Namun apa yang Harry (Gregg) lakukan, lebih dari sekadar berani. Tindakannya sangat mulia,” sanjung George Best, salah satu legenda Manchester yang di masa belia sering menyemir sepatunya Gregg, dilansir Daily Mail , 15 Mei 2012. Gregg sendiri, yang diperiksa medis selepas musibah itu, dinyatakan dokter mengalami sedikit retak tulang tengkorak. Cedera itu menyebabkannya terus-menerus merasa pusing. Tetapi 13 hari setelah tragedi, Gregg jadi satu di antara dua penyintas yang masih sanggup tampil di ajang FA Cup kontra Sheffield Wednesday. Ketika itu Bobby Charlton yang juga tak luka parah, masih dilanda trauma. Pemain berjuluk “ The Hero of Munich ” atau Pahlawan Munich itu kemudian diberikan gelar Order of the British Empire oleh Kerajaan Inggris pada 1995 dan gelar honoris causa dari Universitas Ulster atas kontribusinya dalam sepakbola. Sebagaimana Bobby Charlotn, setiap tahun dalam peringatan Munich Air Disaster di Old Trafford, Gregg selalu jadi tamu kehormatan, termasuk di peringatan terakhir 6 Februari lalu.
- Fosko TNI-AD, Markas Para Jenderal Oposan
MESKI berbicara dalam nada tenang, nampak sekali Soeharto naik pitam saat berpidato dalam HUT Kopasaandha (kini Kopassus) di markas Cijantung pada 16 April 1980. Kata sang presiden, tersiar kabar bila istrinya, Tien Soeharto menentukan pemenang tender pemerintah dengan pihak swasta dan menerima komisi 10 persen dari transasksi kekuasaan itu. Ada lagi gosip beredar yang menyatakan kalau Soeharto memiliki wanita simpanan seorang artis bernama Rahayu Effendi. Menurut Soeharto, isu itu dihembuskan karena dirinya dianggap sebagai penghalang utama kegiatan politik para pembuat rumor tersebut. Untuk menekan lawan politiknya, Soeharto menebar ancaman. Dia memperingatkan, andaikata dirinya ditiadakan, maka akan muncul lebih banyak kekuatan yang akan memukul balik. “Bahwasanya, toh akhirnya akan timbul mungkin lebih daripada saya, warga negara, prajurit-prajurit anggota ABRI termasuk pula korps Koppasandha baret merah akan tetap menghalangi kehendak politik mereka itu,” tegas Soeharto. Dalam pidatonya, Soeharto sama sekali tidak menyebut nama-nama yang disebutnya sebagai “mereka”. “Tetapi siapapun maklum bahwa yang dimaksud pasti adalah perwira senior yang tidak senang dengannya,” tulis Atmadji Sumarkidjo dalam biografi Jenderal M. Jusuf: Panglima Para Prajurit . Lantas, siapa kah para perwira senior itu? Jalan Petarung Pensiunan Kelompok oposan yang dimaksud Soeharto bermula dari niatan Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad), Jenderal Raden Widodo. Pada 12 April 1978, Widodo mengumumkan pembentukan badan resmi Forum Studi dan Komunikasi TNI. Forum ini lebih ternama sebagai Fosko TNI-AD karena semua anggotanya berasal dari perwira tinggi purnawirawan AD. Widodo membentuk Fosko untuk mewadahi para purnawirawan dalam memberi masukan kepada pemerintah melalui Kasad. Sebanyak 18 tokoh perwira terkemuka mantan petinggi militer tergabung dalam Fosko. Presidium Fosko terdiri dari Letjen Djatikusumo, Letjen R. Sudirman, dan Mayjen Achmad Sukendro dengan Letjen H.R. Dharsono sebagai sekretaris jenderal. Bidang politik dipegang oleh Letjen A.Y. Mokoginta dan Brigjen Daan Jahja; bidang ekonomi oleh Letjen M. Jasin; bidang hukum oleh Letjen Sugih Arto. Turut pula Kolonel Alex Kawilarang, perwira yang begitu disegani sejak zaman revolusi sebagai anggota. Jurnalis Australia, David Jenkins dalam penelitiannya untuk Far Eastern Economic Review mencatat reputasi para jenderal Fosko. Mereka pada umumnya telah berkecimpung di militer selama lebih dari 30 tahun. Namun, tak semuanya “bersih”. Beberapa diantaranya populer sebagai perwira berperangai keras dan pernah berkolaborasi dengan Soeharto di masa awal Orde Baru. Dharsono dan Jasin merupakan penyokong kuat Soeharto tatkala menjadi Panglima Kodam di Jawa Barat dan Jawa Timur. Keduanya menindas kekuatan politik yang pro-Sukarno di wilayah kekuasaan masing-masing. “Mokoginta dikenal sebagai polisi militer yang keras, bahkan brutal. Ia sangat represif ketika menjadi komandan inter-regional di Sumatra pada awal rezim Orde Baru,” tulis Jenkins dalam Soeharto dan Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia 1975-1983. “Sukendro sebagaimana telah diketahui, terkenal dengan reputasinya sebagai manusia licik dan konspiratif dengan kualitas moral diragukan.” Meski dengan latar belakang beragam, semua jenderal Fosko tiba pada satu suara senada: hendak meluruskan kepemimpinan Soeharto yang mulai melenceng. Secara berkala mereka berkumpul di kantor Kasad ataupun di Gedung Veteran Graha Purna Yudha. Dalam berbagai diskusinya, para jenderal Fosko selalu mengantarkan rekomendasi dalam bentuk makalah kepada Widodo untuk diteruskan ke atas. Secara garis besar, Jenkins mencatat tiga pokok utama yang menjadi tuntutan Fosko: menyesuaikan dwifungsi ABRI dengan perkembangan rakyat, menegakkan prinsip dasar demokrasi bagi semua golongan, dan membebaskan TNI dari kepentingan kekuasaan. Dalam otobiografinya “Saya Tidak Pernah Minta Ampun Kepada Soeharto“: Sebuah Memoar yang disunting Nurinwa Ki S. Hendrowinoto, M. Jasin salah seorang jenderal Fosko menuturkan bermacam persoalan yang dikritisi dalam kelompoknya. Mulai dari gaya diktator kepemimpinan Soeharto, soal korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, dominasi Golkar sebagai kekuatan politik, carut-marut dwifungsi ABRI, hingga kendala dalam pembangunan yang dilaksanakan pemerintah. “Dan tentu saja, banyak kasus yang sifatnya ‘panas dan rahasia’,”ujar Jasin. Perihal rahasia yang dimaksud Jasin antara lain keterlibatan ABRI dalam pemenangan Golkar jelang pelaksanaan pemilihan umum. Termasuk pula kasus proses verbal Kolonel Latief tentang Gerakan 30 September yang menyeret nama Soeharto sebagai Panglima Kostrad yang telah “mengetahui” adanya rencana gerakan waktu itu. Menurut Jasin, Sukendro –yang mantan perwira intelijen– adalah jagonya mengorek data dan informasi penting terkait “jejak hitam” Soeharto. Berbagai usulan Fosko kepada pemerintah yang telah disampaikan kepada Panglima ABRI Jenderal M. Jusuf berkali-kali dimentahkan. Belakangan, kelompok Fosko menyadari bahwa Jusuf memang cukup sulit menerima mereka. Apalagi karena mengetahui bila Soeharto pasti akan keberatan. “Forum tersebut dikenal menjadi tempat untuk melontarkan kritik terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto. Hal itu lama-lama sampai ke telinga Presiden juga,” tulis Atmadji. Pecah Kongsi kubu Jenderal Tua Menurut Jusuf, Soeharto mulai tak nyaman dengan sikap kritis para jenderal purnawirawan. Jusuf kemudian menginstruksikan Jenderal Widodo untuk membubarkan forum itu. Pada 26 Februari 1979, dikeluarkan siaran pers yang menyebutkan bahwa Fosko TNI-AD dibekukan kegiatannya karena “adanya oknum Fosko yang mempergunakannya untuk kepentingan pribadi”. Pembekuan Fosko berimbas pula terhadap Widodo yang selanjutnya dicopot dari kedudukan Kasad. Kendati dibekukan, para jenderal oposan masih belum mengendurkan serangan. Mereka mengubah nama Fosko TNI AD menjadi Forum Komunikasi dan Studi (FKS) Purna Yudha pada Desember 1979. Gejala polarisasi mulai terlihat dalam gerakan Fosko. Ada yang tetap maju dan ada yang mundur teratur. Beberapa pentolan mulai memperlihatkan perlawanan terbuka. Mokoginta dan Jasin terlibat dalam Petisi 50 yang akhirnya dibunuh secara perdata oleh pemerintah Soeharto. Dharsono menderita dalam jeruji penjara sementara Sukendro dijegal tanpa ampun dari semua bisnisnya sebagai pengusaha. Pun niat Sukendro untuk bisa menyelesaikan pendidikan doktoralnya yang hanya tinggal uji disertasi, terpaksa kandas karena dipersulit sedemikian rupa. Beberapa jenderal goyah dan memutuskan menyerah. Alih-alih tetap konsisten meneruskan kritiknya, sebagian justru menerima tawaran berkompromi. David Jenkins menyebut distribusi patronase alias bagi-bagi rezeki sebagai cara picik dan keji yang ditawarkan pemerintah Orde Baru. Djatikusumo menarik diri dari kelompok eks Fosko yang disusul Ishak Djuarsa, Harun Sohar, dan Daan Jahja. Yang masih kritis melawan terpaksa kalah akibat menua dimakan usia. Puncaknya ketika Sukendro dan Mokoginta wafat pada 1984. Kelompok eks Fosko kehilangan dua orang tokoh kawakan yang paling dinamis. Para jenderal tua yang tersisa hanya bisa menepi, bersuara dalam sunyi menanti runtuhnya kekuasaan sang penguasa Orde Baru, Soeharto.*
- Setelah Pesta Usai
AWAL 1966. Malam belum sepenuhnya selesai, ketika lima anggota Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan September Tigapuluh (KAP Gestapu) mendatangi rumah S. Herman di bilangan Sukabumi. Sebagai bekas serdadu yang memilih aktif di NU (Nahdlatul Ulama), dini hari itu, Herman “terpilih” untuk pergi ke Jampang Kulon, suatu wilayah yang terletak di pelosok Sukabumi, Jawa Barat. “Saya diajak ke sana guna 'mengamankan' orang-orang PKI (Partai Komunis Indonesia),” ujar lelaki 90 tahun tersebut. Di Jampang Kulon, Herman dan kawan-kawan memburu para anggota PKI hingga ke hutan-hutan. Namun, berbeda dengan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, di Jawa Barat perburuan itu tidak lantas menjadi ajang pembantaian massal. Pendekatan persuasif sangat diutamakan oleh aparat di sana. “Sesuai arahan Pak Adjie (Panglima Kodam Siliwangi), mereka yang tertangkap kami perlakukan secara baik-baik, untuk kemudian kami serahkan ke aparat,” kenang Herman. Operasi perburuan tersebut berlangsung hingga sekitar empat bulan dalam tahun 1966. Herman tidak ingat berapa ratus orang komunis yang berhasil ditangkap. Dia juga tidak tahu bagaimana nasib mereka usai diserahkan kepada aparat. “Katanya mereka dibuang ke Pulau Buru sama pemerintah,” ungkap kakek dari lima cucu itu. Aliansi Simbiotik Pasca insiden Gerakan 30 September 1965, pihak tentara (baca: Angkatan Darat) mencari celah untuk menghantam langsung rival utamanya: PKI. Menurut Ulf Sundhaussen dalam Road to Power: Indonesian Military Politics 1945-1967 , salah satu cara yang dilakukan oleh mereka adalah merangkul kekuatan-kekuatan Islam yang di era rezim Sukarno ternafikan secara politis. Gayung bersambut. Sebagai pihak yang kerap bermasalah dengan PKI dan menunggu waktu tepat untuk menghajar musuh bebuyutannya tersebut, kelompok-kelompok Islam menyambut baik rangkulan tentara. Pada 5 Oktober 1965, secara resmi Pengurus Besar NU mengeluarkan pernyataan sikap untuk melawan Gestapu. “PBNU menyerukan kepada seluruh umat Islam dan segenap kekuatan revolusiener lainnya untuk memberikan bantuan sepenuhnya kepada Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI),” demikian seperti dikutip oleh H. Abdul Mun’im DZ dalam Benturan NU-PKI 1948-1965. Aliansi simbiotik antara tentara dengan kelompok-kelompok Islam menghasilkan gerakan sporadis pengganyangan PKI di seluruh Indonesia. Bahkan bukan hanya sebagai “pendamping”, bersama grup-grup antikomunis lainnya dari kalangan Hindu (di Bali) dan Katolik serta sayap kanan di kubu kaum nasionalis, mereka terlibat aktif secara langsung menjadi “tangan tentara” untuk menghancurkan PKI. “Anasir-anasir KAP Gestapu, terutama organisasi massa berorientasi kepada Masyumi, serta aktivis muda dari NU, harus dianggap termasuk kelompok ini,” tulis Ulf, pengamat sejarah militer Indonesia asal Australia tersebut. Selain KAP Gestapu (salah satu pendirinya adalah Subchan ZE, tokoh muda NU), tentara juga mendukung keberadaan KOKAM (Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah) dan Kesatuan Komando Jihad Ummat Islam pimpinan Abdul Qadir Djaelani, tokoh Pelajar Islam Indonesia (PII). “Kesatuan-kesatuan aksi ini menghimpun hampir semua potensi politik antikomunis di Indonesia,” tulis Arief Mudatsir Mandan dalam Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid . Untuk mengganyang PKI, kekuatan-kekuatan Islam betul-betul tertumpu kepada dukungan militer. Bukan hanya dukungan perlindungan, namun juga penyediaan senjata dan pelatihan militer seperti yang mereka lakukan kepada sejumlah tokoh KAP Gestapu dan sejumlah koordinator lapangan aktivis mahasiswa-mahasiswa Islam. Menurut Busyro Moqqodas dalam Hegemoni Rezim Intelijen , sejumlah aksi umat Islam di Jakarta, Bekasi, Tangerang dan Banten juga mendapat sokongan AD. “Buktinya, waktu Kesatuan Komando Jihad Ummat Islam mengadakan apel akbar di Jakarta pada 12 Februari 1967, Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) Kolonel Sawo Edhie Wibowo datang dan membuat pidato dukungan,” ujar Busyro. Singkat cerita, “pesta pengganyangan” kaum komunis oleh militer yang bekerjasama dengan kelompok agama dan nasionalis sayap kanan berlangsung sukses. Bukan saja berhasil melenyapkan eksistensi partai komunis terbesar ketiga di dunia itu, tapi juga menerbitkan Orde Baru, sebuah rezim militer yang didukung oleh Amerika Serikat dan dunia Barat pada 12 Maret 1967. “Dan tak ada seorang pun yang bisa menafikan bahwa umat Islam memerankan peranan yang sangat besar sebagai salah satu komponen penegak Orde Baru yang utama,” ungkap Afan Gaffar dalam sebuah artikel berjudul “Islam dan Politik dalam Era Orde Baru," Jurnal Ulumul Qur’an, edisi Mei 1993. Dibalas Air Tuba Usai Presiden Sukarno lengser, kekuatan-kekuatan Islam politik mulai menggeliat kembali. Anasir-anasir Masyumi yang di era Demokrasi Terpimpin sempat tiarap, aktif melakukan konsolidasi politik. Rehabilitasi Masyumi diajukan oleh Prawoto Mangkusasmito (Ketua Umum Masyumi saat dibubarkan oleh Presiden Sukarno pada 17 Agustus 1960) kepada pemerintah Orde Baru. Alih-alih mengabulkan, jasa-jasa kalangan Islam politik seolah dibalas dengan air tuba: pengajuan ditolak Presiden Soeharto. “Jalan menuju pewujudan kembali Masyumi sebagai partai politik mengalami situasi berliku dan berujung kepada ditolaknya upaya rehabilitasi itu,” ungkap Abdul Qadir Djaelani, salah satu aktivis Islam saat itu. Siasat baru lantas dilancarkan. Pada akhir 1967, eks onderbouw Masyumi membentuk partai baru bernama Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) dan mengajukan izinnya kepada pemerintah. Kali ini pemerintah Orde Baru merestui dengan mengeluarkan Surat Keputusan No. 7 tahun 1968 tertanggal 20 Februari 1968. “Djarnawi Hadikusomo dari Muhammadiyah diangkat sebagai ketua umumnya,” tulis Solihin Salam dalam Sejarah Parmusi. Masalah muncul kembali usai Parmusi melangsungkan muktamarnya yang pertama pada 2-7 November 1968: Muhammad Roem ditolak oleh pemerintah sebagai ketua umum terpilih. “Soeharto tak mau mensahkannya,” tulis Abdul Qadir Djaelani dalam Peran Ulama dan Santri dalam Perjuangan di Indonesia. Parmusi tidak bisa berbuat banyak. Jalan kompromi pun ditempuh: jabatan ketua tetap dipegang Djarnawi Hadikusumo dengan harapan roda politik partai tetap berjalan. Namun, lagi-lagi tawaran kompromi itu tak diindahkan. Justru pada Februari 1970, Menteri Dalam Negeri Amir Machmud membuat keputusan melarang sekitar 2500 eks anggota Masyumi untuk ikut andil dalam Pemilihan Umum 1971. Alasannya, iktikad baik mereka kepada pemerintah sangat diragukan. Demikian menurut berita yang dilansir Kantor Berita Antara pada 16 Februari 1970. Di tengah situasi panas tersebut, pemerintah tetiba “memecat” Djarnawi dan menggantinya dengan MHS. Mintarja lewat suatu rekayasa yang melibatkan grup Operasi Khusus (Opsus) Ali Moertopo (via duet John Naro-Imran Kadir). Menurut Afan Gaffar, pemerintah kesulitan untuk menerima Djarnawi karena dia dianggap memiliki pendirian politik yang “keras” dan tidak akomodatif terhadap kepentingan pemerintah. Bukan hanya kepada Masyumi, kebijakan tentara (baca: pemerintah Orde Baru) pun mulai “keras” terhadap NU. Sejak dilangsungkannya Seminar Angkatan Darat pada 1966 di Bandung, tentara memiliki pandangan tegas bahwa sebuah organisasi keagamaan dengan basis massa besar akan menjadi suatu ancaman politis. “NU dipandang sebagai hal yang membahayakan apabila dibiarkan tumbuh menjadi sebuah kekuatan politik,” tulis Arief Mudatsir Mandan. Nasib buruk juga melanda partai Islam tua yang peran politiknya sebenarnya sudah mulai mengecil: Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Laiknya Parmusi, kepemimpinan PSII pun tak lepas “diobok-obok” grup Opsus via Syarifuddin Harahap yang berhasil menyingkirkan kepemimpinan H. Ch. Ibrahim. Pemilihan Umum 1971 semakin memperlebar jurang pemisah antara pemerintah Orde Baru dengan kelompok-kelompok Islam. Upaya-upaya sistematis dari pemerintah dan tentara untuk memenangkan Golongan Karya (Golkar) menjadikan peran politik kelompok Islam dan nasionalis terpinggirkan secara prima. Keculasan politik yang terpapar dalam Pemilu 1971 menjadikan kalangan Islam kecewa. Bahkan, Subchan ZE pernah mempunyai gagasan akan mengadukan pelaksanaan Pemilu 1971 dengan korban-korban yang dialami oleh warga NU kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Amnesti Internasional. Namun niat tersebut diurungkan. Sebagai gantinya: “Rois Aam NU KH A. Wahab Chasbullah di depan Muktamar NU ke-25 pada Desember 1971 mengisyaratkan bahwa tak ada gunanya lagi NU menjadi partai politik,” ujar Arief. Rival Negara Babak belur di Pemilu 1971 menjadikan kekuatan Islam politik tak bisa mengkoordinasikan diri secara maksimal. Menjelang Pemilu 1977, mereka harus kembali “menyerah” ketika pada 5 Januari 1973, pemerintah Orde Baru memaksa Parmusi, NU, PSII dan Partai Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) berfusi dalam PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Menurut Abdul Qadir Djailani, fusi itu dilaksanakan atas nama kestabilan politik. “Padahal tujuan sebenarnya adalah untuk mempermudah kontrol politik terhadap kekuatan Islam,” ujar Abdul Qadir. Penyederhanaan partai-partai politik Islam dalam PPP diikuti oleh upaya deislamisasi. Sebagai contoh pemerintah memerintahkan partai politik hasil fusi itu untuk tidak lagi menggunakan lambang Ka’bah, nama “Partai Persatuan Islam” dan Islam sebagai asas ideologi partai. Soal ini sempat membuat KH. Bisri Syansuri (Rois Aam PPP) berang dan menyampaikan protes langsung kepada Presiden Soeharto. “Tetapi tak berhasil karena Soeharto tetap pada kebijakannya untuk menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi partai politik mana pun,” tulis Arief Mudatsir. Pemilihan Umum 1977 berlangsung lancar. Seperti sudah diprediksi semua kalangan, Golkar sebagai representasi pemerintah memperoleh kemenangan mutlak di parlemen: 238 kursi ditambah dengan 100 kursi dari fraksi ABRI yang diangkat secara sepihak oleh pemerintah sendiri. PPP sendiri hanya mendapat 99 kursi lebih besar dibanding kursi yang didapat PDI (Partai Demokrasi Indonesia) yakni 29 kursi. Namun, kemenangan itu tidak menjadikan posisi Islam politik sebagai rival negara jadi berhenti. Sidang Umum MPR 1978, pemerintah Orde Baru memasukan Aliran Kepercayaan dan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Secara tegas, dinyatakan dalam P4 ini bahwa “Pancasila adalah jiwa dan pandangan hidup bangsa Indonesia yang sakti.” Ketetapan MPR No. 11/1978 diprotes oleh kalangan Islam sebagai upaya mengkerdilkan peran politik mereka. Pada 20 Maret 1978, di Jakarta terjadi demonstrasi menentang ketetapan itu dan berakhir dengan ditangkapnya ratusan aktivis Islam oleh pihak militer. Sementara itu, seiring upaya deislamisasi di tingkat kehidupan politik formil, pemerintah (lagi-lagi lewat kekuatan intelijen) terus berusaha melukiskan citra Islam sebagai kekuatan teror lewat berbagai gerakan-gerakan radikal seperti Komando Jihad dan gerakan Jamaah Imran. Kebijakan represif ini bahkan berimbas kepada kehidupan berislam di kampus-kampus dan sekolah-sekolah. Salah satunya adalah pelarangan mengenakan jilbab bagi siswi-siswi Islam di berbagai sekolah.
- Penampilan Orang Aceh di Masa Lalu
PENEGAKKAN syariat Islam di Aceh membuat warganya kerap kena razia. Mereka terjaring karena mengenakan pakaian ketat. Kaum lelaki karena memakai celana pendek di atas lutut. Razia dilakukan sebagai implementasi Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2002 tentang Aqidah, Ibadah, Syiar Islam. Biasanya laki-laki yang terjaring diberi sarung dan perempuan diberi jilbab. Mereka juga dibina supaya berpakaian sesuai peraturan. Islam sudah ada di Aceh paling tidak sejak abad 13. Namun, bukan berarti penerapan aturannya sudah sama sejak masa itu. Orang-orang asing yang datang ke Aceh menggambarkan bagaimana mereka berpakaian dan merias diri. Francois de Vitre, penjelajah Prancis yang datang ke Aceh pada 26 Juli 1602 mengungkapkan, kebanyakan orang Aceh mengenakan ikat pinggang yang dililitkan pada tubuh untuk menutupi kemaluan. Bagian tubuh lain dibiarkan terbuka. Sementara para bangsawan dan pedagang menggunakan kain katun atau sutera yang dililitkan pada tubuh hingga lutut. Mereka juga memakai sejenis topi yang sangat lebar, dengan lengan yang juga lebar dan terbuka di bagian depan. Vitre mencatat, orang Aceh juga biasanya memakai pakaian dari belacu biru, warnanya merah lembayung. Menurutnya, kebiasaan mereka yang suka memakai sorban sungguh aneh. Sorban itu diikat seperti gulungan sedemikian rupa hingga ujung kepalanya tak tertutup. Di pundak mereka memakai baju atau rompi dengan lengan yang lebarnya bukan kepalang lalu ketat di bagian pergelangannya. Sebuah “lunghee” melilit pinggang, pedang panjang di sisi, yang bergantung pada sabuk yang diselempangkan. Berdasarkan sketsa seorang pedagang Inggris, Peter Mundy pada 1637 sabuk itu diselempangkan di bahu kiri, senjata yang masuk dalam sarung itu panjang sekali. Senjata ini digantungkan di bawah lengan dan pegangan senjata itu tertahan di bawah ketiak. Selain pedang panjang tadi, mereka juga memakai keris. Ini semacam pisau belati. Semua laki-laki mencukur habis kumis dan jenggot mereka. Semua berjalan tanpa alas kaki, dari raja sampai orang paling kere sekalipun. “Mereka tak berkulit sehitam orang Guinea. Hidungnya juga tak sepesek mereka. Mereka berkulit kuning atau coklat. Berperawakan cukup tinggi,” catat Vitre. Adapun perempuan umumnya mengenakan kain katun dari pinggang hingga lutut. Sepotong kain lain menutupi bagian dada hingga pinggang. Meskipun demikian ada pula perempuan yang bertelanjang dada, hanya mengenakan selendang yang disampirkan di bahu menutupi sebagian dada. Kepala mereka tak ditutup dan membiarkan rambut dipotong pendek. Setiap perempuan telinganya dilubangi dan diselipi benda selebar empat jari. Selain itu pada tulang rawan telinganya terdapat juga lubang-lubang kecil yang diselipi bunga-bunga. Mereka mengenakan gelang tembaga, timah putih, atau perak. Beberapa di antara mereka juga mengenakan cincin di jari manisnya. Agar tubuhnya wangi, para perempuan biasanya menumbuk rempah wangi dan merendamnya dalam air, seperti batang lidah buaya, cendana, dan jeruk purut. Mereka menggosokkan bahan-bahan itu ke bagian tubuh. Para gadis kalau tidak diikat rambutnya di belakang kepala, mereka berambut pendek. Sehingga membuat mereka sulit dibedakan dari lelaki, kecuali karena buah dadanya. Sementara itu, pejelajah Inggris lainnya, William Dampier pada 1688 memberikan gambaran sedikit berbeda. Katanya, masyarakat Aceh yang berkedudukan tinggi biasanya memakai kupiah di kepala dari kain wol berwarna merah atau warna lain. Mereka memakai celana pendek. Bangsawan memakai sepotong kain sutera yang longgar di atas pundak. Sementara rakyat kecil telanjang dari pinggang ke atas. Mereka juga tidak memakai kaos kaki atau sepatu. Hanya orang kaya yang memakai sandal. Penari Dalam dunia hiburan, dandanan para penarinya pun begitu semarak. Penari perempuan misalnya, sebagaimana diungkapkan Augustin de Beaulieu. Di atas rambut mereka ada sebentuk topi yang terdiri dari gulungan emas dengan jambul-jambul sepanjang 1,5 kaki juga dari gulungan emas. Topi itu ditelengkan ke sebelah telinga. Mereka memakai anting-anting besar yang juga terdiri dari untaian emas. Untaian itu menggantung hingga bahu. Bahunya ditutupi sejenis hiasan ketat yang melingkari leher dan melebar membentuk lidah lancip melengkung seperti gambaran sinar matahari. Seluruhnya dari lempeng emas yang diukir aneh sekali. Di tubuh bagian atasnya, mereka mengenakan kemeja atau baju dari kain emas dengan sutera merah yang menutupi dada dengan ikan pinggang besar yang sangat lebar. Bahannya dari untingan-untingan emas. Pinggul mereka diikat ketat dengan selajur kain emas, sebagaimana kebiasaan di negeri itu. Di bawahnya, celana juga dari kain emas. Panjangnya tak lebih dari lutut. Di bagian bawahnya digantungi beberapa kerincing emas kecil. Lengan dan kakinya telanjang. Namun, dari pergelangan tangan hingga siku tertutup berbagai renda emas berpermata. Itu seperti juga di atas siku dan dari pergelangan kaki sampai betis. Di pinggang, masing-masing ada keris atau pedang yang pegangan dan sarungnya bertahtakan permata. Tangan mereka juga memegang kipas besar dari emas dengan beberapa kerincing kecil di pinggirnya. Bagi Beaulieu pakaian yang dikenakan gadis-gadis penari itu aneh, namun mereka sangat cantik. “Tak kukira ada yang seputih itu di negeri sepanas ini, sedangkan dandanannya belum pernah saya lihat sedemikian … sukar bagi saya menerangkannya, sebab seluruhnya dari emas belaka,” kata Beaulieu. Kuku dan Keris Rupanya, selain emas dan permata, orang-orang Aceh masa lalu juga menjadikan kuku sebagai tanda status sosial. Orang kaya bisa dibedakan dari rakyat biasa lewat kukunya. Seringkali orang kaya membiarkan kuku ibu jari dan kelingkingnya tumbuh panjang. “Ini tanda kalau mereka tak melakukan pekerjaan kasar dengan tangannya,” tulis Danys Lombard. Keris juga menambah kekuasaan bagi pemiliknya. Lombard mencatat, keris pada masanya merupakan lambang kekuasaan, selain cap. Tanpa keris, tak ada pegawai yang dapat mengaku bertugas melaksanakan perintah raja. Para pegawai istana membawa keris kalau menyambut orang asing untuk mengantar mereka menghadap raja. John Davis, seorang juru mudi Inggris, pada 1599 menjelaskan keris semacam badik yang mata dan pegangannya terbuat dari logam yang oleh raja dinilai lebih berharga dibanding emas. Pegangannya bertakhtakan batu-batu delima. Memakai keris sembarangan sangat dilarang dan terancam hukuman mati. Namun, jika raja yang memberikan keris itu, dengan hanya memegangnya dia mampu mengambil makanan tanpa membayar dan memerintah orang lain layaknya kepada budak. “Semua penjelajah atau hampir semuanya, memberi gambaran yang sama dari kekuasaan yang berkat keris itu melekat pada si pemakai,” tulis Lombard.*
- Kala Budak Memberontak
AKIBAT jatah kain pembagian VOC-nya dicuri, seorang budak terpaksa tidur di pojokan pekarangan. Nahas, seorang komandan tentara melihat budak itu dan mengira dia telah menjual jatah kain pembagian yang diberikan saban enam bulannya itu untuk mabuk-mabukan. Alhasil, si budak kemudian mendapat hukuman cambuk hingga kulitnya mengelupas. Dua hari kemudian, dia tewas. “Kurasa, selama dua hari kehabisan kekuatan ia tak pernah merasakan derita yang lebih besar daripada yang ditimbulkan dengan siksaan ini,” tulis Jean Baptiste Tavernier dalam memoar yang dihimpun Bernard Dorleans, Orang Indonesia dan Orang Prancis. Catatan Tavernier hanyalah satu dari sekian banyak catatan orang Eropa yang menggambarkan kekejaman tuan kulit putih terhadap budak dan pelayan mereka. Para budak sering menjalani hukuman berat dari majikan karena satu kesalahan kecil. Kebanyakan meninggal dalam kondisi kekurangan gizi, tak mendapat tempat tinggal layak, dan kekurangan pakaian. Hanya sedikit budak yang beruntung, dibebaskan karena belas kasihan pemiliknya setelah si budak memeluk Kristen atau setelah majikannya meninggal. Perlakuan buruk majikan terhadap budak lelaki biasanya berujung pada dua hal: kabur atau mengamuk dan berontak kepada majikan. Budak-budak mengamuk karena stres akibat beban kerja berlebihan dan siksaan yang kejam. Mereka biasanya mengacau dan mencoba membunuh siapapun yang ada di hadapannya. Beberapa budak sangat putus asa karena siksaan kemudian nekat memukul si majikan. Para pemilik budak, tulis Susan Blackburn dalam Jakarta: Sejarah 400 Tahun , menyimpan senjata yang mudah dibawa untuk melawan budak yang mengamuk. Sementara, para budak yang kabur biasa bersembunyi di hutan-hutan. Batavia kala itu masih dikelilingi hutan lebat sehingga memudahkan mereka melarikan diri. Mereka akan berjalan sejauh mungkin sampai ke luar kota. Banyak pelarian budak itu kemudian menjadi perampok sehingga menjadikan tempat-tempat di sekitar Batavia tak aman pada abad ke-17. Salah satu budak-perampok itu bahkan sampai menyerang pasukan Belanda di dekat Batavia pada 1684. Budak itu berasal dari Bali, bernama Surapati. Kekejaman perlakuan terhadap budak dan pemberontakan para budak yang mengikutinya menginspirasi Dick van Hogendorp membuat sandiwara Kraspoekol pada 1800. Sandiwara itu bercerita tentang seorang majikan perempuan Eropa yang memperlakukan para budaknya dengan buruk. Para budak kemudian bersengkongkol untuk membunuh si nyonya. Menurut sensus yang dilakukan VOC, hingga paruh terakhir abad ke-18 budak merupakan kelompok populasi terbesar. Hal itu membuat VOC khawatir kelompok ini akan berontak. Untuk mengantisipasinya, VOC membuat beberapa aturan. Antara lain, larangan mengambil orang Jawa sebagai budak karena mereka takut orang Jawa, suku terbanyak yang mendiami pulau Jawa, akan bersatu melawan orang Eropa. Untuk pekerjaan kasar, VOC lebih suka mengambil budak dari luar Jawa dalam jumlah besar. Pertimbangannya, VOC merasa lebih aman karena para budak dari tempat yang jauh dengan suku yang beragam memiliki kemungkinan kecil untuk bersatu. Mulanya, VOC mendatangkan budak-budak dari negara-negara di Asia Selatan yang memiliki jaringan dengannya. Namun ketika kekuatan melemah dan dirasa kurang efektif, VOC lebih memilih budak dari Sulawesi, Bali, dan Nusa Tenggara pada abad ke-18. Namun karena adanya kasus perlawanan dari para budak, VOC kemudian membatasi pengiriman budak ke Batavia. Mereka tidak menerima budak laki-laki dewasa, orang Makasar dan orang Bali dihindari karena dianggap berbahaya. Setelah 1685, tidak ada budak berumur di atas 12 tahun dari kedua suku itu yang dibawa ke Batavia. “Dokumen-dokumen VOC mencatat tentang para budak yang mengamuk. Berbagai tindakan yang diambil VOC merupakan cerminan rasa takut orang Eropa terhadap para budak,” tulis Jean Gelman Taylor dalam Kehidupan Sosial di Batavia.
- Agar Perlawanan Yogya Didengar Dunia
SIRINE meraung-raung di atas Pasar Beringharjo, Yogyakarta pada Minggu (4/3/18) pagi. Penanda dimulainya serangan tentara republik itu langsung diikuti suara tembakan dan beraneka dentuman senjata berat. Para serdadu Belanda yang tak siap, langsung panik mendapat serangan dari berbagai pejuru kota. Pertempuran sengit itu membuat masyarakat yang tengah ber-Car Free Day di Maliboro langsung geger. Mereka penasaran. Banyak dari mereka mendekati sumber suara bahkan sampai melewati batas keamanan yang dijaga 150 personel Polda DIY. Kota Yogya dihumbalang perang. Namun, hanya perang dalam aksi teatrikal dan sosiodrama yang dihelat komunitas reenactor dari beragam kota, mulai Jakarta hingga Surabaya, bekerjasama dengan Komunitas Sejarah Djokjakarta 1945, Ikatan Keluarga Alumni Lemhanas, dan elemen TNI-Polri. Mereka menghelat acara tersebut untuk memperingati Serangan Oemoem (SO) 1 Maret 1949. Acara teatrikal bertajuk “Jogja Mendunia” itu merupakan hasil rembukan Komunitas Djokjakarta 1945 dan pihak Museum Benteng Vredeburg. “Awalnya kita dan Museum Vredeburg punya tema masing-masing untuk diusulkan. Hasil rembukan ya menghasilkan tema itu,” kata Eko Isidianto, Ketua Komunitas Djokjakarta 1945, kepada Historia . Alasan mengapa tema itu dipilih adalah, adanya harapan agar publik Yogyakarta khususnya dan Indonesia umumnya bisa me-refresh ingatan akan pentingnya serbuan besar ke ibukota yang telah diduduki Belanda. “Kan memang serangan ini bukan kebetulan. Memang disengaja agar bisa didengungkan kepada dunia. Agar dunia tahu bahwa saat itu RI masih ada sebagai negara. Belum sirna sebagaimana yang dipropagandakan Belanda,” lanjut Eko. SO akhirnya mendunia karena banyaknya wartawan asing yang –sedang meliput kunjungan delegasi Komite Tiga Negara– memberitakannya. Meski Indonesia hanya mampu merebut Jogja selama enam jam, lewat SO Indonesia sukses mendapatkan tiga tujuan sekaligus: politis, strategis, dan psikologis. Dunia jadi tahu RI masih ada, rakyat pun kembali percaya pada perjuangan bersenjata. Walhasil, tekanan dunia kepada Belanda berhasil membawa negeri itu ke meja perundingan. Pada 29 Juni 1949, Yogyakarta kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Untuk membuat masyarakat bisa merasakan suasana tegang dari momen bersejarah itu, acara dibuat seotentik mungkin. Selain penggunaan sejumlah kendaraan tempur seperti tank AMX dan panser Anoa, para serdadu “dadakan” yang ikut aksi itu mengenakan seragam dan menggunakan beragam senjata yang sesuai masa SO 1 Maret. Empat dentuman senjata berat yang diikuti rangsekan “pejuang” republik ke dalam benteng mengakhiri visualisasi perebutan kembali ibukota itu. Menurut Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi DIY Umar Priyono, serangan tersebut menjadi gambagaran persatuan kuat antara TNI dan rakyat yang perlu dijaga karena belakangan muncul benih perpecahan akibat pihak-pihak tertentu. “Sejarah mengatakan saat itu penyerangan dilakukan tidak hanya oleh TNI, tetapi juga rakyat. Semoga semangat persatuan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia ini akan selalu terjaga dari waktu ke waktu,” katanya.
- M. Jasin, Jenderal Penantang Soeharto
SEJAK awal berkuasa pada 1970, Presiden Soeharto kerap membuat merana para pengeritiknya. Mulai dari mahasiswa, akademisi, bekas pegawai negeri, hingga mantan jenderal sekalipun dibuatnya tak berkutik. Namun dari sekian purnawirawan penentang Soeharto, bisa jadi M. Jasin termasuk jenderal yang mengalami nasib cukup nelangsa.
- Dramatis Tanpa Adegan Sadis
UNTUK kali kedua, peristiwa evakuasi sekira 400 ribu pasukan Sekutu dari Dunkerque (Dunkirk), sebuah kota kecil di pantai utara Prancis, pada 1940 naik ke layar lebar. Kali ini tanpa adegan berdarah-darah. Tak ada duel tangan kosong atau adu rentetan senjata. Bahkan sosok serdadu Nazi-Jerman nyaris tak dihadirkan. Film dengan tema dan judul yang sama pernah dibuat sutradara Leslie Norman pada 1958. Tapi, berbeda dari pendahulunya, sutradara Christopher Nolan ingin menggambarkan bagaimana pasukan Sekutu, terlebih Pasukan Ekspedisi Inggris (BEF), tengah berada di ujung tanduk dan nyaris dihancurkan Nazi-Jerman. Dia mengedepankan drama. Tiga Plot Film ini punya tiga plot yang terkait satu sama lain. Pertama, plot “The Mole” atau tanggul di pantai Dunkirk yang jadi tujuan pasukan Sekutu melarikan diri dari kejaran Jerman. Tommy (diperankan Fionn Whitehead), seorang prajurit Angkatan Darat (AD) Inggris, kelimpungan melewati beragam rintangan menakutkan untuk bisa pulang ke Inggris dengan selamat. Sama seperti serdadu Inggris lainnya, dia kelaparan, kehausan, dan harus menghindari desingan peluru Jerman. Selamat dari hujan peluru, Tommy tiba di pantai Dunkirk dan bertemu Gibson (Aneurin Barnard), prajurit AD Inggris lainnya. Gibson belakangan diketahui ternyata serdadu Prancis yang sengaja memakai seragam AD Inggris agar bisa ikut dievakuasi. Pasalnya, para perwira Inggris ingin mendahulukan tentara mereka, sebelum serdadu Sekutu dari negara-negara lain. Proses evakuasi di bibir tanggul itu dipegang Commander Bolton (Kenneth Branagh), perwira Angkatan Laut (AL) Inggris. Dari “kacamata” Bolton, penonton disajikan tragedi kapal-kapal Inggris yang kerap jadi mangsa pesawat pembom Jerman Heinkel He 111 dan torpedo-torpedo U-Boot atau kapal selam Kriegsmarine (AL Jerman). Serdadu-serdadu Inggris di pantai Dunkirk selalu “menyilangkan jari” setiap kali mereka disasar pembom tukik Stuka (Junkers Ju 87 Sturzkampfflugzeug). Namun mukjizat terjadi. Ketika kapal-kapal besar Inggris karam beserta ribuan serdadu di dalamnya ke dasar laut, muncul gelombang perahu, feri, hingga kapal berukuran sedang yang sebagian besar dikemudikan para pelaut sipil Inggris. Sorak-sorai serdadu Inggris di pantai membuncah. Kedatangan mereka jadi klimaks atas plot kedua, “The Sea”. Plot ini fokus pada tokoh Mr Dawson (Mark Rylance) untuk mendeskripsikan bagaimana pihak sipil Inggris tak berpangku tangan atas peristiwa Dunkirk, meski tetap enggan perahunya diambil-alih AL Inggris. Namun kengerian evakuasi belum berhenti sampai di situ. Dari “kacamata” Dawson pula, para pilot RAF (Angkatan Udara Inggris) berupaya mengamankan jalur evakuasi di Selat Inggris. Keseruan terjadi saat duel udara. Farrier (Tom Hardy) dan Collins (Jack Lowden) berhadapan dengan pesawat-pesawat pemburu Messerschmitt Bf 109 dari Luftwaffe (AU Jerman). Ini jadi titik klimaks plot ketiga, “The Air”. Collins jatuh di laut tapi diselamatkan Dawson dengan perahu. Sementara Farrier mendarat darurat di salah satu pantai Dunkirk yang dikuasai Jerman setelah pesawatnya kehabisan bahan bakar dan ditangkap. Nolan menutup film dengan menggambarkan bagaimana Tommy pulang ke Inggris dengan tetap dielu-elukan rakyat Inggris dan Commander Bolton yang tetap bertahan di tanggul pantai Dunkirk demi menunggu “jemputan” lain. Menengok Fakta Sejarah Barangkali tak salah jika Christopher Nolan menyebut film ini karya terbaiknya. Sejumlah situs kritik film rata-rata menyanjung karyanya. Sound illusion yang dihadirkan lewat beragam scene patut diacungi jempol. Dramatisasinya menyentuh penonton. Belum lagi pengambilan beberapa adegan riil di lokasi terbuka, bukan dengan green screen atau layar hijau. Menurut beberapa media Inggris, pengambilan gambar semacam itu menambah keintensitasan tempo, drama, dan tautan batin penonton. Terlepas dari itu, entah sengaja atau tidak, Nolan mengesampingkan beberapa fakta penting terkait evakuasi Dunkirk. Salah satunya soal penghentian ofensif Jerman di darat berlandaskan Halt Order dari Adolf Hitler. Hitler ingin mesin-mesin perangnya berhenti menguber pasukan Sekutu sampai ke bibir pantai demi memberi kesan baik dan bisa berdamai dengan Inggris. Hitler ingin berhenti sampai di Prancis agar bisa memusatkan ofensif besar berikutnya ke Uni Soviet. Sayang, Inggris menolak mentah-mentah niat Hitler. Nolan juga tak mengeksplorasi eksistensi pasukan Inggris asal India. Juga para serdadu Afrika dari negeri-negeri jajahan Prancis macam Tunisia, Maroko, dan Aljazair. Belum lagi nyaris tak ada kendaraan-kendaraan tempur Sekutu di pantai Dunkirk yang pada kejadian sebenarnya ditinggalkan demi mengefisiensikan evakuasi ratusan ribu serdadu. Pengesampingan itu sah-sah saja. Menjadi persoalan bila mengabaikan fakta sejarah. Itu terlihat pada keberadaan Laksamana Madya Bertram Ramsay dari AL Inggris. Di film, Ramsay berada di ujung tanggul, meski pada kenyataannya dia tak pernah menyeberang ke Dunkirk dalam proses evakuasi dan tetap berada di Dover. Nolan juga tak akurat. Yang cukup mencolok adalah adegan duel udara antara pesawat Spitfire milik RAF dan Messerschmitt kepunyaan Luftwaffe . Di film, hidung pesawat Messerschmitt Bf 109E bercat kuning. Padahal, saat evakuasi Dunkirk, Mei-Juni 1940, tak satu pun burung besi andalan Luftwaffe itu dicat kuning. “Penyeragaman” baru dilakukan sebulan setelah Dunkirk dan kemudian jadi ciri khas Messerschmit selama Perang Dunia II. Ketidakakuratan lainnya tampak dalam adegan seorang perwira memberikan hormat tanpa baret militernya. Sebuah laku menyimpang dari protokol kemiliteran, menurut para veteran Inggris. Toh, dengan menghabiskan dana USD150 juta, Nolan berhasil menyuguhkan drama yang tak biasa. Kekacauan dan kengerian peristiwa Dunkirk benar-benar terasa. Film ini lantas menjadi box office.
- Perayaan Hari Perempuan
SEJAK pukul 5.30, Isar, pengajar di Budi Luhur, sudah siap mengikuti lomba lari yang diselenggarakan IBCWE sebagai bentuk perayaan Hari Perempuan Sedunia. Dia mengikutinya karena mendukung kampanye Hari Perempuan untuk membentuk kultur egaliter antara lelaki-perempuan di tempat kerja. “Kesetaraan gender di tempat kerja sangat penting, supaya antar-rekan kerja bisa kerjasama dengan baik,” kata Isar. Pandangan serupa juga diutarakan Deva Mulia Warman dan Kartika, yang merupakan rekan sekantor di salah satu bank swasta asing. Menurut Deva, lelaki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan kemampuannya. “Di tempat saya bos perempuan juga banyak,” kata Deva. “Kita bisa bersaing secara sehat dan perempuan juga bisa memiliki jabatan tinggi,” kata Kartika menimpali. Ribuan orang adu lari di Epicentrum Epiwalk, Kuningan untuk memperingati Hari Perempuan Sedunia. Ada yang berlari sejauh 5 kilometer (km), ada pula yang 10 km. Lomba yang diikuti oleh berbagai kalangan, pekerja-mahasiswa, lelaki-perempuan ini merupakan kampanye IBCWE untuk membuat lingkungan kerja yang ramah perempuan. Tujuannya untuk menumbuhkan kesadaran publik terhadap lingkungan kerja ramah perempuan dan menggalang dukungan untuk gerakan HeForShe. Kampanye HeForShe diprakarsai UN Women, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berdedikasi untuk masalah perempuan. “Kesetaraan gender tidak akan terjadi tanpa dukungan dan keikutsertaan laki-laki,” kata Suci Haryati, Communications Specialist IBCWE. HeForShe merupakan gerakan solidaritas yang mengajak laki-laki menjadi rekan sejajar dan sebagai agen perubahan untuk mewujudkan masyarakat egaliter. Pada perayaan Hari Perempuan kali ini, lomba lari dipilih sebagai simbol sportivitas dunia kerja. “HeForShe Run menjadi ajang bagi pelari untuk menyatakan bahwa mereka bersedia untuk bersikap sportif dan mendukung kesetaraan gender di dunia kerja dan pemberdayaan ekonomi perempuan,” kata Anne Patricia Sutanto, Ketua Pelaksana HeForShe Run yang juga Anggota Dewan Pembina IBCWE. Hari Perempuan Sedunia di Masa Lalu Hari Perempuan Sedunia yang diperingati tiap 8 Maret bermula dari aksi demonstrasi buruh perempuan di New York, Amerika Serikat pada 1857. Mereka menuntut kesejahteraan di tempat kerja dan kenaikan upah. Protes serupa muncul kembali di New York tahun 1908, ketika ribuan buruh menuntut pengurangan jam kerja dan hak politik mereka sebagai perempuan. Dua tahun setelah protes besar di New York, Clara Zetkin yang aktif di Partai Sosialis Jerman mengusulkan untuk menjadikan 8 Maret sebagai Hari Perempuan. Usulan itu diterima Konferensi Kaum Sosialis Internasional di Swis. “Usulan tersebut disepakati oleh para delegasi yang mewakili 17 negara dan dihadiri lebih dari 100 peserta perempuan,” tulis Umi Lasminah dalam “8 Maret Hari Perempuan Internasional” yang dimuat Wartafeminis.com. Di Indonesia, perayaan Hari Perempuan Sedunia hanya diperingati oleh beberapa organisasi perempuan. Di awal Indonesia merdeka, 8 Maret tak sepopuler sekarang. Tahun 1950-an justru organisasi-organisasi perempuan sosialis yang merayakan 8 Maret. Bahkan Kongres Perempuan Indonesia KWI baru memperingati 8 Maret pada 1966. “Tahun 1952 Gerwani mengajak organisasi perempuan lainnya untuk ikut serta merayakan Hari Perempuan tanggal 8 Maret,” tulis Saskia Eleonora Wieringa dalam Pengahancuran Gerakan Parempuan di Indonesia . Tuntutan perempuan soal pemenuhan hak mereka pun disuarakan tiap perayaan Hari Perempuan Sedunia. Pada peringatan tahun 1954, misalnya, para perempuan menekankan tuntutan pada hak dalam perkawinan, moralitas, serta masalah lain yang dihadapi perempuan. Sedangkan pada 8 maret 1961, Wanita Komunis (Wankom) menyatakan kaum wanita Indonesia harus memperkuat persatuan dengan kaum buruh dan tani anti-feodal. Meski berbagai suara perempuan tentang upaya penghapusan diskriminasi sudah suarakan pada Hari Perempuan Sedunia sejak lama, hingga kini kesetaraan gender di Indonesia masih sangat rendah. Indonesia menempati posisi ke-88 dari 144 negara dalam hal kesetaraan gender.
- Lima Jenderal yang “Dimatikan” Soeharto
MESKI cenderung menghindari konflik terbuka, Soeharto beberapa kali terlibat konflik baik sejak masih jadi opsir maupun setelah jadi presiden. Ada yang selesai dalam waktu sebentar, tapi tak sedikit yang berbuntut panjang.
- Wahabisme di Cina
GERAKAN pemurnian Islam ( al-harakah al-tandhifiyah al-Islamiyah ) dalam mazhab Hanbali di Arab Saudi dimotori Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1792) sejak pertengahan abad ke-18. Gerakan Wahhabi atau Wahabisme ini menjalar ke Cina yang mayoritas muslimnya bermazhab Hanafi pada akhir abad ke-19 melalui seorang ulama dari suku Dongxiang keturunan Mongol bernama Ma Wanfu.





















