top of page

Hasil pencarian

9598 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Radermacher, Pendiri Freemason di Hindia Belanda

    PADA usia 16 tahun, Jacob Cornelis Matthieu Radermacher, berlayar ke Hindia Belanda sebagai pedagang VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur). Ayahnya, Joan Cornelis Radermacher, seorang pejabat tinggi di Kerajaan Belanda, dan pamannya anggota dewan direksi VOC. Radermacher menikah dengan putri Hugo Verijssel, anggota Dewan Hindia. Suami kedua mertuanya adalah Reinier de Klerk, anggota Dewan Hindia yang kemudian menjadi gubernur jenderal. Posisi ini membuat kariernya naik dengan cepat hingga menjabat Pedagang Kepala ( Oppperkoopman ), salah satu jabatan tinggi dalam kepegawaian VOC.

  • Kisah "Robin Hood" dari Pantura

    Dalam penelitiannya, sejarawan Anton Lucas mewawancarai banyak saksi peristiwa Tiga Daerah, revolusi sosial di wilayah Karesidenan Pekalongan yang  meliputi wilayah Brebes, Tegal dan Pemalang, pada bulan Oktober 1945. Beberapa saksi berkisah tentang peran lenggaong atau para jago yang mencitrakan diri sebagai kaum republiken, pendukung kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan Sukarno dan Mohammad Hatta di Jakarta, 17 Agustus 1945. Anton merumuskan peranan para jago tersebut sebagai ciri-ciri dari revolusi sosial pascaproklamasi kemerdekaan. “Pengaruh lenggaong dalam revolusi sosial Tiga Daerah memang sangat jelas. Merekalah yang memimpin aksi dombreng  dan menyerang lurah-lurah semasa revolusi sosial di bulan Oktober,” tulis Anton Lucas dalam bukunya Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi.  Mengapa lurah menjadi sasaran penyerangan dan apa yang dimaksud dengan “dombreng”? Pada era penjajahan Jepang sebagian besar sumber daya dan bahan pangan dieksploitasi demi kepentingan perang Jepang. Takluknya kolonialisme Belanda di tangan Jepang tidak membuat keadaan lebih baik, justru situasi semakin buruk. Elit-elit lokal tetap berkuasa di bawah pendudukan Jepang, sementara masyarakat harus bertahan hidup dengan jatah beras pembagian Jepang yang sangat minim. Sejarawan Aiko Kurasawa dalam Mobilisasi dan Kontrol: Studi Tentang Perubahan Sosial di Pedesaan di Jawa 1942-1945 menulis tentang kewajiban setor padi kepada penguasa Jepang. Padi tersebut menurut Aiko, “…diserahkan kepada kantor pusat persatuan penggiling padi di setiap karesidenan. Beras yang terkumpul di setiap karesidenan dibagi menjadi dua kategori, yaitu konsumsi setempat di dalam karesidenan dan untuk konsumsi di luar karesidenan, termasuk beras untuk kepentingan militer (Jepang, red. )…” Distribusi beras kepada rakyat seringkali tersendat pada tingkat birokrasi kecamatan dan desa. Alih-alih segera membagikan kepada rakyat, padi dibiarkan menumpuk di gudang. Kondisi tersebut tetap berlangsung setelah proklamasi kemerdekaan tiba, yang berakibat pada “…kelaparan dan kekurangan yang dialami rakyat selama masa penjajahan Jepang tidaklah menjadi lebih ringan,” tulis Anton Lucas. Suasana jalan raya kota Tegal 1940-an. ( universiteitleiden.nl/KITLV ) Keresahan akibat kelaparan banyak terjadi di wilayah Tiga Daerah. Tuntutan rakyat kepada para pamong agar membagi-bagikan beras tidak ditanggapi. Birokrat desa tak berani mengambil langkah apa-apa, seperti yang pernah terjadi di Kecamatan Moga, Pemalang Selatan, September 1945. Rakyat berkumpul menuntut pembagian beras, namun wakil camat enggan meluluskan permintaan rakyat kendati kemarahan mereka kian memuncak. Peristiwa lain yang juga dicatat Anton Lucas dalam bukunya terjadi di desa Cerih, Tegal Selatan. Anton melukiskan kemarahan rakyat terhadap otoritas pemerintahan desa Cerih sebagai percikan awal revolusi sosial di Tiga Daerah. Pada 7 Oktober 1945 malam hari, warga desa Cerih, yang desanya miskin namun jadi pusat gerakan radikal sejak era kolonial Belanda, mengepung rumah Raden Mas Harjowiyono, lurah Cerih. Harjowiyono bertahan di dalam rumah semalamanan dan baru keluar rumah pada pagi harinya setelah warga mengancam akan membakar rumahnya. Dengan berpakaian resmi, Harjowiyono menemui warganya yang marah, bertanya apa kesalahannya. Warga desa Cerih kemudian melucuti pakaian lurahnya, menggantinya dengan karung goni, sebagaimana yang banyak dikenakan rakyat pada masa Jepang. Sementara itu istri lurah dikalungi seikat padi. Pasangan suami istri ini lantas diarak keliling kampung di bawah iringan suara gamelan milik lurah yang dimainkan serampangan oleh rakyat. Di sepanjang perjalanan, mereka dihina dan diperlakukan seperti ayam, “…dipaksa minum air dalam tempurung kelapa dan makan dedak (kulit padi),” tulis Anton. Aksi seperti ini juga terjadi di tempat lain di wilayah Tiga Daerah. Polanya sama: mengarak pamong desa dan kaum feodal yang dianggap sebagai antek penjajah. Mereka menyebut aksi ini sebagai “dombreng,” meniru suara yang tercipta dari tetabuhan kentongan kayu dan kaleng yang dimainkan rakyat saat mengarak dan mempermalukan mereka yang dianggap simbol penindas rakyat kaki tangan penjajah. Penggerak dari aksi “dombreng” tersebut adalah para lenggaong, yang memanfaatkan kosongnya otoritas kekuasaan di tingkat lokal semasa era peralihan kekuasaan. Seperti halnya keterlibatan jawara di Banten, para lenggaong di Tiga Daerah bisa secara cepat diterima rakyat sebagai pemimpin karena kekecewaan yang terlanjur mendalam kepada pangreh praja. “…para jago..menampilkan diri sebagai “jago-jago Republik” yang ingin membalas dendam atas perlakuan para pejabat semasa penjajahan Jepang dan berusaha merebut kekuasaan sewaktu ada kekosongan,” kata Anton dalam bukunya. Dalam studinya mengenai revolusi sosial ini Anton menemukan beberapa nama tokoh lenggaong yang memainkan peranan penting pada masa peralihan itu, antara lain Idris, pemimpin Barisan Cengkrong (arit) dari Comal dan satu yang paling terkenal: Sakhyani alias Kutil. Barisan Cengkrong di bawah pimpinan Idris beraksi menahan lurah desa Temuireng, memecat lurah Petarukan yang korup dan membagi-bagikan kain yang mereka temukan di rumah lurah kepada rakyat. Sementara itu Kutil terkenal sebagai pendiri organisasi Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) yang bermarkas di gedung bekas Bank Rakyat Talang, Kecamatan Talang, Tegal. Kisah Kutil melegenda di kalangan masyarakat Tiga Daerah. Ayahnya berprofesi sebagai pedagang emas dari desa Taman dekat Pemalang. Kutil kecil sempat bersekolah sampai kelas dua Sekolah Rakyat. Bekerja sebagai tukang cukur sambil meneruskan pekerjaan ayahnya berdagang emas kecil-kecilan di belakang tempat pangkasnya. “Sebilah pedang panjang (gobang) tergantung di dinding di sebelah kaca,” ujar lurah Kajen yang diwawancarai Anton Lucas pada 9 Februari 1973. Kutil kerap mengenakan peci hitam dan menurut kesaksian anaknya dia juga bergiat sebagai guru agama yang disegani. Kutil bebas pergi kemanapun tanpa takut diganggu lenggaong kendati malam tiba. Menurut Anton ini membuktikan bahwa Kutil punya hubungan dengan para lenggaong yang membuatnya tidak pernah diganggu. “Ia selalu mengucap ‘Assalamualaikum’ bila memasuki rumah, kendatipun tidak selalu menjalankan ibadah sembahyang salat lima kali sehari. Penduduk setempat yang menyebutnya santri… yang berarti orang suci,” tulis Anton.  Kharisma dan mitos yang berkembang tentang diri Kutil menjadikannya tokoh yang disegani serta menarik minat warga Talang untuk bergabung dengan organisasinya. Pengikut Kutil di AMRI terdiri dari para pedagang, penjual makanan, penjahit, petani miskin, tukang besi dan penjual jamu. Tak jarang kekerasan, bahkan pembunuhan, terjadi di dalam aksi-aksinya. Selain menjalankan aksi pelucutan senjata dari serdadu Jepang, Kutil juga membagi-bagikan kain kepada rakyat atas asas “sama rata sama rasa.” Peta wilayah Tegal yang diapit daerah Brebes dan Pemalang. (Repro Peristiwa Tiga Daerah  karya Anton Lucas). Aksi membagi-bagikan barang kebutuhan masyarakat itu terlihat bak laga Robin Hood, bandit dermawan Inggris yang merampok harta benda orang kaya untuk dibagikan kepada rakyat miskin.  Atas lakonnya itu, para lenggaong yang sebelum masa perang selalu dilabel sebagai kriminal, diakui sebagai pemimpin secara legal di era revolusi. Kutil salah satu contoh tentang bagaimana seorang pelaku revolusi sosial yang merangkak naik status sosialnya: dari jago kampung menjadi ketua organisasi revolusioner dan bahkan dilantik sebagai kepala kepolisian oleh Badan Pekerja Tegal. Seperti tertulis juga di dalam karya Robert Cribb, Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949 dan disertasi sejarawan UI Suharto, Revolusi Sosial di Banten 1945-1946: Suatu Studi Awal , kelompok jago memainkan peran penting dalam peristiwa revolusi sosial. Kekosongan kekuasaan yang disertai penderitaan rakyat akibat penjajahan Jepang mendorong kemunculan jago-jago lokal untuk jadi pemimpin dan menjawab kebutuhan rakyat sementara mesin birokrasi formal mandek.  Seperti kisah Kutil di Tegal dalam studi Anton Lucas, Haji Darip di Klender dalam studi Robert Cribb, dan Tje Mamat di Banten dalam disertasi sejarawan Suharto, kedudukan para jago memperlihatkan ciri-ciri yang sama dalam peranan mereka pascakemerdekaan 17 Agustus 1945. Kendati pada akhirnya aksi mereka dipadamkan pemerintah pusat, sebagai bagian dari konsolidasi kekuasaan secara nasional, peran para jago (lenggaong dan jawara) sempat yang berkuasa di masa peralihan yang lowong kekuasaan tak bisa dihapus begitu saja dari bingkai kisah revolusi nasional. Para jago-jago tersebut, yang menurut sejarawan Eric Hobsbawm dalam dua bukunya, Primitive Rebels (1959) dan Bandits (1969), bisa dikategorikan sebagai bandit sosial, terlahir sebagai perwujudan gerakan kontra-elit. Keberadaan mereka menjadi bagian kultur masyarakat kelas bawah, namun dilabel sebagai kriminal ketika berhadapan dengan negara atau penguasa di daerahnya. Tidak mengherankan apabila Tentara Keamanan Rakyat (TKR) menangkapi mereka begitu kekuasaan nasional berhasil mengonsolidasi diri hingga ke tingkat lokal. Seperti terjadi pada Kutil, yang pada hari-hari pertama usai proklamasi kemerdekaan menjadi tokoh sentral revolusi sosial di Tiga Daerah, justru harus menghadapi kenyataan pahit dijatuhi vonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Pekalongan pada 21 Oktober 1946 atas apa yang dia lakukan setahun sebelumnya. Kutil menjadi orang pertama di Republik Indonesia yang dijatuhi vonis hukuman mati. Setelah sempat melarikan diri karena agresi militer Belanda pertama, Kutil “sang Robin Hood” dari Pantura itu dieksekusi mati pada 5 Mei 1951.

  • Raja Nusantara Korban Wabah Penyakit

    WABAH penyakit tidak mengenal kasta. Siapa pun bisa terkena tanpa pandang bulu: laki-laki atau perempuan, tua atau muda. Termasuk mereka dari kelompok rakyat jelata hingga keluarga Istana. Keadaan demikian juga berlaku belakangan ini. Seluruh dunia tengah sibuk berjuang menghadapi wabah Covid-19 yang lebih dikenal sebagai Virus Corona. Wabah pandemik inipun menyasar kaum dari segala golongan. Di Inggris, putra mahkota kerajaan, Pangeran Charles sempat terinfeksi Virus Corona. Di Indonesia, sejumlah pejabat negara dinyatakan positif terjangkit virus yang sama. Mereka antara lain Menteri Perhubungan Budi Karya dan Wali Kota Bogor Bima Arya. Di masa silam, sejarah mencatat beberapa raja di Nusantara yang menjadi korban wabah penyakit. Kolera menjadi wabah yang paling banyak merenggut nyawa beberapa raja. Selain itu, wabah lain seperti cacar dan malaria turut pula menjadi penyebab raja lainnya mangkat. Siapa saja mereka? Sultan Alauddin Mahmud Syah Sultan Alauddin Mahmud Syah merupakan sultan Aceh terakhir sebelum invasi Belanda.  Sultan berkuasa pada periode 1870—1874. Pada masa pemerintahannya, Sultan menolak pengakuan kedaulatan Kerajaan Belanda dalam Traktat Sumatra yang ditandatangani Inggris dan Belanda pada 1871. Atas penolakan itu, Belanda menyatakan perang terhadap Kesultanan Aceh.    Pada 28 Januari 1874, Istana Sultan Aceh jatuh ke tangan serdadu Belanda pimpinan Letnan Jenderal (pensiunan) Jan van Swieten. Swieten menggantikan Jenderal Kohler yang tewas tertembak pejuang Aceh dalam ekspedisi pertama penaklukan Aceh. Sebanyak 8.500 serdadu tempur, 4.300 pelayan dan kuli, serta 1.500 pasukan cadangan dikerahkan Swieten untuk menyerang Istana. Sultan Mahmud Syah yang terdesak, menyingkir ke pegunungan Leungbata. Dalam pelariannya, Sultan mangkat pada hari itu juga akibat terjangkit wabah kolera. Namun menurut sejarawan Mohammad Said cukup alasan untuk menuduh bahwa Belanda telah sengaja menjadikan penyakit kolera itu sebagai "senjata" untuk membinasakan rakyat Aceh. “Satu dari alasan tersebut ialah bahwa penyakit itu sudah ketahuan menjalar kepada orang-orang selagi kapal (Belanda) masih di Priok,” tulis Said dalam Aceh Sepanjang Abad Jilid 2. Kendati demikian, orang Aceh tetap melanjutkan perjuangan. Perlawanan terhadap Belanda ini kemudian mengobarkan perang yang dikenal sebagai “Perang Atjeh” atau Atjeh Oorlog . Perang baru berakhir ketika Aceh telah ditaklukkan sepenuhnya pada 1904.      Si Singamangaraja XI Gelar lengkapnya bernama Raja Ompu Sohahuaon Sinambela. Dia merupakan Raja-Imam Batak ke-11 dari dinasti Si Singamangaraja. Tidak diketahui persis kapan Si Singamangaraja XI dinobatkan sebagai raja. Si Singamangaraja XI diperkirakan memegang tampuk kepemimpinan ketika kaum Paderi meninggalkan Tanah Batak pada 1830-an. Masa kekuasaan Si Singamangaraja XI beriringan dengan kehancuran total di seluruh roda kehidupan Tanah Batak pasca serangan pasukan Paderi. Si Singamangaraja XI mencoba membangun kembali pusat pemerintahannya yang luluh lantak. Dia membuka huta  (perkampungan) yang baru di pedalaman yang dinamai Huta Lumban Raja. Sayangnya, kolera masih mewabah di Tanah Batak pada era Si Singamangaraja XI. “Penyakit kolera bercokol terus di Tanah Batak sejak pembumihangusan tentara Padri. Banyaknya mayat yang tidak sempat dikuburkan menyebabkan berkembangnya penyakit di seluruh Tanah Batak,” tulis Tiurma Tobing dalam Raja Si Sisingamangaraja . Faktor usia ditambah fisik yang lemah menyebabkan Si Singamangaraja XI menjadi sangat rentan terserang kolera. Setelah lama menderita kolera, Si Singamangaraja XI wafat pada 1872. Trah kerajaan diteruskan oleh anaknya Patuan Bosar bergelar Si Singamangaraja XII yang kelak menjadi pahlawan nasional Indonesia. Sultan Syarif Hasyim Sultan Syarif Hasyim bergelar Yang Dipertuan Besar As-Sayyidi Syarif Hasyim Abdul Jalil Saifuddin. Dia adalah Sultan ke-11 dari Kesultanan Siak Sri Indrapura. Syarif Hasyim dinobatkan sebagai sultan pada 25 Oktober 1889 dan bertahta selama 19 tahun. Di bawah kepemimpinan Syarif Hasyim, Siak mencapai kemakmuran. Wilayah kekuasaan Siak terbentang dari Langkat sampai Jambi. Lambang kemegahan Siak di masa Syarif Hasyim terwujud dalam bangunan bernama Istana Asseraiyah Hasyimiah yang mencampurkan unsur Eropa, Moor, dan Melayu. Sultan juga berperan memodernisasi tatanan pemerintahan Kesultanan Siak dengan menerapkan sistem pemerintahan konstitusional. Pada masa pemerintahannya disusun Undang-Undang Kerajaan Siak yang dibukukan dalam Babul Qawa’ied ( Pintu Segala Pegangan ). Pada suatu hari di tahun 1908, Sultan beristirahat di salah satu rumahnya di Singapura. Dua jam kemudian, beliau meninggal dunia. Mengutip berita Pembrita Betawi , 2 April 1908, Taufik Rahzen dalam  Kronik Kebangkitan Indonesia: 1908-1912  menyebut bahwa Sultan Syarif Hasyim meninggal karena penyakit malaria yang dideritanya. Sultan Agung Sultan Agung sebagaimana dicatat sejarawan Merle Calvin Ricklefs merupakan penakluk terbesar di Tanah Jawa setelah era Majapahit. Dia menjadi sultan ketiga Kesultanan Mataram dan memerintah dari tahun 1613 sampai 1645. Sultan Agung menguasai sebagian besar wilayah Jawa, kecuali Batavia dan Banten. Pada 1640-an wabah penyakit merajalela di Jawa (Ricklefs tak menyebut secara khusus nama penyakit tersebut). Di saat yang sama, kesehatan Sultan Agung menurun. Dia jatuh sakit pada 1642. Tidak lama berselang, tepatnya tahun 1646, Sultan Agung meninggal dunia, kira-kira antara awal Februari dan awal April.   “Kematian Agung mungkin sekali disebabkan oleh salah satu wabah tersebut,” tulis Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern: 1200—2000 .  Mengenai wabah penyakit itu, sejarawan Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 1 , mengutip  Babad ing Sangkala  bahwa pada 1643–1644 di Mataram (Jawa) terjadi “epidemi beratus-ratus mati setiap hari”.  Pangeran Antasari Pangeran Antasari merupakan Sultan Banjar yang terkenal gigih menentang penjajahan Belanda. Pada 1859, Antasari memimpin perlawanan rakyat di Kalimantan Selatan dan Tengah yang dikenal sebagai Perang Banjar. Pada September 1862, Antasari bersiap untuk menyerang benteng Belanda di Montallat, Barito Utara.  Bala bantuan berupa peluru dan mesiu dari Kutai menambah kekuatan pasukan Antasari. Namun rencana ini mesti tertunda karena pasukan Antasari dilanda wabah cacar. Antasari sendiri meninggal dunia pada 11 Oktober 1862 di Bayan Begak. Dalam biografi Pangeran Antasari, M. Idwar Saleh mengutip laporan Belanda yang menyebutkan bahwa Pangeran Antasari telah meninggal karena cacar, pukul 09.00 pagi. Pangeran Antasari berwasiat kepada anak-anaknya untuk meneruskan perjuangan dengan pesan “ Haram manyarah ” atau pantang menyerah. Untuk mengenang jasanya, pemerintah Indonesia menetapkan Pangeran Antasari sebagai pahlawan nasional pada 1968. Wajahnya diabadikan dalam lembaran uang rupiah edisi 2009 bernilai Rp. 2.000. Raja Josephus Mbako II Merentang ke Nusa Tenggara Timur, tepatnya di Pulau Flores. Tersebutlah nama Josephus Mbako II bergelar lengkap Raja Moang Ratu Don Jozef Ximenes da Silva. Dia merupakan raja Sikka yang memerintah dari 1898 hingga 1902. Kerajaan Sikka telah berdiri sejak tahun 1600-an dan dipimpin oleh seorang raja secara turun-temurun. Pada 1902, Josephus mengadakan perjalanan meninjau sebagian wilayahnya yang pernah melawan Sikka. Kampung-kampung yang dikunjungi terletak di Maumere Timur yang pada 1900 berpihak pada kerajaan lokal Kangae dibantu oleh Raja Larantuka, wilayah Flores Timur. Namun pada saat itu, wabah penyakit sedang merebak. “Malang bagi kunjungan raja kali ini, karena ia diserang penyakit perut, ternyata penyakit kolera ganas yang merenggut nyawa,” tulis Paulus Jepolus Gessing dalam Memori Perjuangan dan Pengabdian Moan Teka Iku . Raja Josephus Mbako II wafat pada 29 November 1902 akibat penyakit kolera. Dia digantikan oleh anaknya Nong Meak da Silva.*

  • Operasi Unit 731 di Indonesia

    Pada Agustus 1944, sebanyak 478 (sumber lain menyebut 900, bahkan 1000 lebih) romusha ditemukan kritis. Para pekerja paksa di masa pendudukan Jepang (1942-1945) itu secara bertahap menunjukkan gejala penyakit tetanus. Sekitar 365 orang di antaranya kemudian meninggal dunia. Peristiwa kelam itu terjadi di Klender, Jakatra, salah satu lokasi kamp romusha di ibukota. Menurut sejarawan Jepang Aiko Kurasawa, para romusha itu umumnya berasal dari Pekalongan dan Semarang. Dalam hasil penelitiannya yang pernah dipublikasikan Majalah Tempo  pada 2002, Aiko Kurasawa menyebut selama di kamp para pekerja menerima beberapa jenis vaksin imunisasi, termasuk pes dan campuran vaksin TCD (Typhus Cholera Dysentry). Suntikan vaksi inilah yang diketahui menjadi penyebab tewasnya para romusha tersebut. Polisi Militer Jepang ( Kenpetai ) segera melakukan investigasi. Hasilnya, vaksin imunisasi yang dibuat oleh Institut Pasteur, Bandung, dan disiapkan oleh Lembaga Bilologi Molekuler (LBM) Eijkman itu mengandung kuman tetanus. Tuduhan langsung mengarah kepada para ilmuwan di sana. Seperti diketahui peristiwa itu mengakibatkan Achmad Mochtar –direktur pertama LBM Eijkman dari kalangan pribumi– dijatuhi hukuman mati. Menurut Shigeru Sato dalam War, Nationalism, and Peasants: Java Under the Japanese Occupation 1942-1945 , Achmad Mochtar dan koleganya di Eijkman dipaksa mengakui tuduhan Kenpetai atas kematian para romusha tersebut. Pemerintah Jepang, kata Shigeru, melakukan sabotase untuk menyingkirkan orang-orang di LBM Eijkman karena dianggap anti-Jepang. Pernyataan serupa juga datang dari J. Kevin Baird dan Sangkot Marzuki dalam War Crimes in Japan-Occupied Indonesia: A Case by Medicine . Berdasar riset yang dilakukan Baird, bukan Lembaga Eijkman yang harus bertanggung jawab, melainkan para dokter Jepang. Mereka terkbukti melakukan eksperimen untuk kebutuhan tentara dan penerbangan Jepang. Demi menutupi kesalahan saat ekperimen, Lembaga Eijkman dijadikan korban. Dan Achmad Mochtar menjadi kambing hitam demi menyelamatkan koleg-koleganya dari hukum pancung. “Kisah tentang Prof. Achmad Mochtar merupakan drama kemanusiaan yang terjadi dalam kurun waktu yang amat bersejarah untuk Indonesia, dan terjalin dari berbagai peristiwa militer dan politik pada periode 1942-1945,” ujar Sangkot. Tidak hanya di Klender, korban meninggal di kalangan romusha pasca pemberian vaksin juga terjadi di kamp romusha Kemayoran dan Jalan Kartini. Bahkan dari hasil pengamatan Aiko, peristiwa berdarah di Jakarta bukan yang pertama. Sebelumnya, sebanyak 128 (dari 177) meninggal akibat penyakit yang sama di Palembang. Lalu 97 romusha lain di Kalimantan, dan 17 orang di Surabaya juga meregang nyawa akibat vaksin berisi penyakit tetanus tersebut. Banyak ahli kemudian mengaitkan peristiwa berdarah di Klender itu dengan eksperimen Unit 731 – kesatuan khusus yang selama PD II melakukan uji coba senjata biologis untuk kebutuhan perang– milik militer kekaisaran Jepang. Lantas sejauh mana keterkaitan keduanya? Dua orang romusha yang tampak kurus sedang melakukan pemeriksaan ( nationaalarchief.nl ) Eks Anggota Unit 731 Pusat kegiatan Unit 731 nyatanya sangat jauh dari wilayah Indonesia. Berada di wilayah Harbin, timur laut Cina –cabang lain tersebar di beberapa daerah di Asia, khususnya dataran Cina. Namun wilayah operasi militer Jepang semasa PD II meliputi Asia-Pasifik yang begitu luas. Indonesia sendiri berada di dalam kuasanya sejak 1942. Sehingga sangat mungkin jika eksperimen militer kekaisaran memperluas jaringannya ke seluruh wilayah Asia. Hal itu dibuktikan di dalam penelitian Yang Yan Jun dan Tam Yue Him dalam Unit 731: Laboratory of the Devil, Auschwitz of the East . Keduanya menyebut Unit 731 membangun cabang lain di wilayah Asia Tenggara yang begitu dekat dengan Indonesia, yakni Singapura. Cabang di Singapura dibangun pada 5 Mei 1942 (sumber lain menyebut 26 Maret 1942), dengan nama Unit 9420. Dugaan keterlibatan Unit 731 dalam peristiwa Klender dan peristiwa lainnya juga diungkapkan oleh Aiko Kurasawa. Menurut profesor emeritus di Universitas Keio, Tokyo, Jepang itu seorang dokter kemiliteran bernama Shigeru Matsui diduga berperan besar. Shigeru tercatat sebagai ahli medis bergelar PhD dan pernah bekerja di Unit 731, tepatnya di Unit 9420 (Singapura). Keyakinan Aiko terhadap dokter Jepang ini semakin besar ketika pada 1948 di Tokyo, Jepang, terjadi perampokan Bank Teigin yang menggemparkan. Pelaku yang juga diketahui bernama Shigeru Matsui mengaku sebagai seorang dokter dari kantor kesehatan kota. Ketika itu di Jepang tengah dilanda kekhawatiran akibat penyakit tifus. Shigeru lalu melakukan sterilisasi kepada para karyawan di bank tersebut. Ia menggunakan sejenis obat cair dan menyuruh semua karyawan meminumnya. Caranya menggunakan obat itu begitu baik dan meyakinkan. Dalam kasus itu, 12 dari 16 karyawan ditemukan tewas. Shigeru berhasil membawa uang dalam jumlah yang besar. Hasil penyelidikan polisi diketahui bahwa pelaku itu merupakan eks anggota Unit 731. Shiro Ishii, mantan Direktur Unit 731, juga menyebut kalau pelaku kemungkinan besar seorang ahli medis tentara Jepang. “Saya yakin Matsui yang kartu namanya dipakai oleh perampok bank sama dengan orang yang dikirim ke Indonesia karena tulisan kanji yang dipakai untuk nama kecilnya, Shigeru, sangat langka dan persis sama,” ungkap Aiko. Shigeru Matsui mulai bekerja di Singapura pada Desember 1942. Setahun kemudian, ia dipindahkan ke Bukittinggi, Sumatera. Selama masa tugasnya di sana, Mutsui menewaskan sekitar 200 orang Indonesia dengan memberikan injeksi imunisasi. Setelah berbagai kejadian di Sumatera, Shigeru dipindahkan ke Institut Pasteur pada Juni 1944, kurang lebih dua bulan sebelum peristiwa Klender, sebagai kepala bagian penelitian. Di sanalah Shigeru dicurigai kembali melakukan percobaannya. Jika melihat dari kasus di Sumatera, Shigeru dan ilmuwan Jepang lainnya sedang melakukan ujicoba vaksin anti-tetanus. Kebutuhan perang yang mendesak, ditambah waktu penelitian yang singkat, membuat ujicoba vaksin terhadap manusia harus cepat dilakukan. Para romusha mungkin menjadi pilihan yang paling logis. “Memang saya tidak berani memberi jawaban, tapi hanya bisa mengemukakan beberapa hasil penelitian saya selama 20 tahun ini … Karena kurangnya arsip dan saksi, kita tidak bisa memastikan apa peran Shigeru Matsui dalam Institut Pasteur. Tapi dari pengakuan diri sendiri bahwa dia pernah menewaskan 200-an orang Indonesia di Sumatera, kita mencium sesuatu yang mencurigakan.,” tulis Aiko. Kondisi kamp romusha di Jakarta tahun 1945. (Wikimedia Commons). Kenpeitai Terlibat Selain keberadaan tokoh eks anggota Unit 731, penyelidikan para korban romusha di Klender oleh polisi juga memberi kecurigaan lain atas kasus eksperimen tentara Jepang ini. Segera setelah mendapat laporan tewasnya para romusha, rumah sakit pusat (sekarang Cipto Mangunkusumo) membawa para korban untuk diperiksa. Beberapa dokter, termasuk guru besar kedokteran Kenji Tanaka, dilibatkan dalam proses tersebut. Tetapi beberapa hari kemudian, para dokter sipil dilarang memasuki kamp romusha. Pemeriksaan kesehatan hanya boleh dilakukan oleh dokter militer saja. Dugaan eksperimen semakin kuat ketika Unit Pencegahan Penyakit Infeksi dan Pengolahan Air Bersih ikut ambil bagian dalam pemeriksaan. Unit milik Rikugun (Angkatan Darat Kekaisaran Jepang) tersebut merupakan lembaga serupa yang digunakan untuk penyamaran eksperimen manusia di Harbin. Sejalan dengan itu, kata Aiko, cerita tentang terlibatnya LBM Eijkman dalam kasus Klender diciptakan oleh bagian medis AD dan Kenpeitai. Letnan Nakamura, dokter AD Jepang, menyerahkan laporan rahasia berjudul “On Deliberate Contamination with Bacteria by Means of Tetanus Germ”. “Dalam kesimpulannya, dia memutuskan bahwa kepala Laboratorium Eijkman, Profesor Achmad Mochtar, dan rekannya harus bertanggung jawab atas kejadian ini,” tulis Aiko.

  • VOC di Balik Penangkapan Sjahrir cs.

    AKHIR 1961. Rumor itu bertiup kencang di kalangan tentara. Adalah Organisasi Gerilya Hindia Belanda (NIGO) yang didesas-desuskan akan menumbangkan pemerintah. Bahkan kelompok bawah tanah yang disebut-sebut mendapat dukungan dari intelijen Belanda dan para perwira Amerika Serikat itu memiliki rencana untuk membunuh Presiden Sukarno pada 10 Desember 1962. “Mr. Subarjo, bekas Menteri Luar Negeri meneruskan 'dokumen rahasia' yang berisi nama orang-orang NIGO tersebut,” ungkap A.H. Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas Jilid V: Kenangan Masa Orde Lama. Persoalan NIGO itu kemudian ditindaklanjuti oleh Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) I. Sebagai penguasa wilayah (Jakarta), intel Komando Daerah Militer Jakarta Raya (Kodam Jaya) kemudian dipersilakan untuk menyelidiki lebih dalam kasus tersebut. Ternyata hasilnya nihil. Laporan-laporan terkait aksi agen NIGO terbukti hanya isapan jempol semata. “…Presiden sendiri dapat diinsyafkan oleh (Ahmad) Yani, (Ernst Julius) Magenda dan saya tentang 'alarm palsu' NIGO dan tentang keterlibatan perwira-perwira Amerika yang berkantor di Jalan Jawa, tidak jauh dari rumah Sutan Sjahrir,” ujar Nasution. Namun klarifikasi Nasution cs itu ternyata tidak berpengaruh. Alih-alih menghilang, isu tersebut malah semakin bertiup kencang dan dihubung-hubungkan dengan sejumlah tokoh nasional selain Sjahrir. Nama Sultan Hamid Alkadrie, Anak Agung Gde Agung, Mohammad Roem, Yunan Nasution, Soebadio Sastosatomo dan Prawoto Mangkusasmito mulai disebut-sebut. Diisukan para tokoh nasional itu bersekutu dengan agen-agen NIGO. Mereka membentuk jaringan rahasia bernama Vrijwillige Ondergrondse Corps (VOC) alias Korps Sukarelawan Bawah Tanah. Menurut laporan yang diterima oleh Kepala Badan Poesat Intelijen (BPI) Soebandrio, bertempat di Gianyar, Bali pada 18 Agustus 1961 VOC  merencanakan tindakan subversi terhadap pemerintahan Presiden Sukarno. Rencana subversi yang akan dilakukan itu berlangsung di sela-sela  pelaksanaan upacara ngaben  (pembakaran mayat) Raja Gianyar yang tak lain ayah dari Anak Agung. “Sukarno segera menerima laporan itu dan memerintahkan diadakan penyelidikan,” ungkap Rudolf Mrazek dalam Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia . 7 Januari 1962. Presiden Sukarno lolos dari upaya pembunuhan di Jalan Cendrawasih, Makassar. Delapan hari kemudian, Panglima Kodam XIV Hasanuddin Brigadir Jenderal M.Yusuf menangkap dua warga negara Belanda yang diduga terlibat dalam upaya pembunuhan itu. Mereka disebut-sebut sebagai jaringan VOC. “Didesas-desuskan [juga] bahwa sesuatu menunjuk ke arah ' Bali connection ',” ungkap Mrazek. “ Bali connection ” merupakan istilah Soebandrio untuk kumpulan tokoh yang pada beberapa bulan sebelumnya berkumpul di Gianyar, Bali, kediaman Anak Agung Gde Agung. Sukarno sendiri nampaknya percaya terhadap informasi dari BPI tersebut. Itu dikatakan sang presiden dalam otobiografinya, Bung Karno, Penjambung Lidah Rakjat Indonesia  karya Cindy Adams. “Aku dapat memahami bila ada yang tidak puas (kemudian) berusaha untuk membunuhku. Oleh karena itu, aku juga mengerti bahwa aku harus membalas dan berusaha mendapatkan mereka. Beberapa waktu yang lalu, Sjahrir merencanakan komplotan untuk menggulingkanku dan merenggut pemerintahan.” Beberapa jam setelah adanya laporan dari Brigjen TNI M. Yusuf, Presiden Sukarno memanggil Nasution, Yani dan Soebandrio. Dia lantas mengulangi soal laporan-laporan tersebut dan memerintahkan Kepala Rumah Tangga Istana Mayjen TNI Suhardjo Hardjowardojo (yang disertai Jaksa Agung Muda Mayjen Moehono) menyampaikan laporan-laporan itu secara terperinci. Selanjutnya persoalan tersebut diserahkan kepada Kepala Staf Penguasa Perang Tertinggi (Peperti) Brigjen TNI Basuki Rachmad dan Jaksa Agung Muda Moehono. “Presiden memutuskan untuk melakukan tindakan penangkapan,” ujar Nasution. Karena Sukarno menginginkan sebuah tindakan segera dilaksanakan, maka Brigjen. Basuki Rachmad menyodorkan sejumlah surat penahanan blanko kepada Nasution untuk ditandatangani. “Waktu itu belum ditentukan nama-namanya…Karena akan tergantung pada hasil penelitian yang malam itu langsung dikerjakan,” kenang Nasution. Tanpa sepengetahuan lagi Nasution, surat penahanan blanko itu ternyata diisi oleh nama-nama yang sebelumnya dicurigai berhubungan dengan VOC dan “ Bali connection ” yakni Sjahrir cs. Maka pada 16 Januari 1962, sekira pukul 04.00, bergeraklah beberapa tim petugas dari Corps Polisi Militer (CPM) menggeruduk rumah para tokoh nasional itu. Mereka semua diambil dari rumahnya masing-masing lengkap disertai surat penangkapan resmi. “Sikap mereka tertib. Kemudian surat perintah itu saya lihat, itu tandatangan saya kenal…Tandatangan Jenderal Nasution,” ungkap Mohammad Roem dalam 70 Tahun Mochammad Roem . Kecurigaan bahwa para tokoh nasional itu terhubung dengan VOC terungkap saat mereka dinterogasi di Kantor Peperti (sekarang kantor Departemen Pertahanan dan Keamanan). Hal itu sempah dikisahkan oleh Roem. “Apakah bapak kenal dengan VOC?” tanya salah seorang interogator. “Oh ya saya kenal! Itu dalam sejarah yang saya ketahui, banyak memainkan peranan di Indonesia. Verenigde Oost Indische Compagnie,” jawab Roem. “Oh bukan, Pak! Maksud kami: VOC itu Vrijwillige Ondergrondse Corps,” sergah sang interogator. “Oh, kalau itu saya tidak kenal,” ujar Roem. Berita penangkapan Sjahrir cs. cepat merebak ke seantero Jakarta. Adalah Mohammad Hatta yang merasa prihatin dengan penangkapan itu. Sebagai bentuk pembelaan terhadap Sjahrir cs., Hatta, sempat meyakinkan sang presiden bahwa tindakannya itu keliru. Lewat sepucuk surat dia mengatakan kepada Bung Karno bahwa meskipun Sjahrir dan kawan-kawannya yang ditangkap itu tidak segan melakukan oposisi yang keras dalam berpolitik (seperti zaman pergerakan), namun untuk mengikuti cara teror, Hatta menegaskan ketidakpercayaannya. “Sjahrir dan lainnya itu secara prinsip menentang segala macam teror dalam politik karena bertentangan dengan sosialisme dan perikemanusiaan,” ujar Hatta seperti dikutip Rosihan Anwar dalam Perdjalanan Terachir Pahlawan Nasional Sutan Sjahrir. Tapi nampaknya Bung Karno lebih mempercayai penjelasan Soebandrio dibandingkan Hatta.*

  • Ketika Chairul Saleh Ogah Memijat Sukarno

    ZAKARIA RAIB, kepala Biro Industrialisasi di Departemen Perindustrian Dasar dan Pertambangan (Perdatam), pada suatu sore mengunjungi rumah sahabat sekaligus atasannya di Dep. Perdatam, Chairul Saleh. Sang tuan rumah terlihat lesu ketika Zakaria tiba. Zakaria pun langsung menanyakannya ke Johanna SM Saidah, istri Chairul. “Ia lagi dongkol, lagi dikibulin si Pingji (kuping siji),” kata Zus  Yo, sapaan akrab Johanna, menerangkan kepada Zakaria mengapa suaminya lesu, dikutip Irna HN Soewito dalam Chairul Saleh Tokoh Kontroversial . Pingji yang disebut Zus  Yo merupakan panggilan Chairul dan Yo untuk Subandrio, Wakil perdana menteri (Waperdam) I  sekaligus Menko Luar Negeri dan ketua Biro Pusat Intelijen. Hubungan Chairul dan Subandrio bak kucing dan tikus. Bukan rahasia bila di era Demokrasi Terpimpin para pejabat saling sikut untuk mengambil hati Presiden Sukarno. Hasjim Ning, keponakan Bung Hatta berjuluk “Raja Mobil Indonesia” yang dekat dengan Sukarno maupun Chairul, tahu betul hal itu. Menurutnya, dalam otobiografi berjudul Pasang Surut Pengusaha Pejuang,  “Dalam masyarakat lingkungan Istana terdapat serigala dan ular yang saling mengincar mangsa untuk disergap ramai-ramai atau difitnah.” Fitnah itu pula yang sering dilontarkan Subandrio, yang dijuluki “Durno”, kepada Chairul. Menteri Penerangan di Kabinet Ali II Sudibyo menjadi saksinya. “Sangat saya sesalkan adalah sikap Subandrio yang menuduh Chairul Saleh sebagai orang yang termasuk dinasti ekonomi,” kata Sudibyo. Posisi Chairul yang “basah” dalam kabinet membuat banyak orang iri. Namun bukan itu saja penyebab ketidaksukaan Subandrio kepadanya. “Aidit dan Subandrio memang mencurigai Chairul Saleh, mereka berdua tidak senang melihat Chairul terlalu dekat dengan Jenderal Achmad Yani,” tulis Irna. Angkatan Darat merupakan lawan politik BPI-nya Subandrio. Sebelum Peristiwa 30 September meletus, Chairul sering berdebat sengit dengan Subandrio. Terlebih ketika isu “Dewan Jenderal” sudah memanasi perpolitikan nasional. Di suatu pagi, Subandrio bertamu ke rumah Chairul. Dia diterima lalu diajak sarapan bersama. Di meja makan itulah keduanya kembali berdebat panas. Sikap Subandrio yang sering menuduh lawan-lawan politiknya untuk mengambil hati Sukarno itulah yang membuat Soeharto meminta bantuan Hasjim Ning agar membujuk Sukarno supaya mau memberi kepercayaan kepada Soeharto untuk memulihkan keamaanan yang kacau pasca-G 30 S. “Aku datang menemui kau, karena aku ingin Bung Karno diselamatkan dari pengaruh-pengaruh cecunguk di sekelilingnya,” kata Hasjim pada Chairul. Ketika menemui presiden di Istana Bogor awal 1966, Hasjim, yang diutus Soeharto, terus terang mengutarakan kelicikan Subandrio. “Antara Bapak dan rakyat Bapak ada penyekatnya. Yaitu Subandrio. Di sekitar Subandrio ada lagi PKI. Apabila Bapak terus melindungi Subandrio dan PKI, rakyat akan kecewa kepada Bapak. Mereka akan berhadapan dengan Bapak akhirnya, karena Bapak ingin melindungi orang yang mereka benci.” Sikap Subandrio yang suka menjilat itulah yang membuat Chairul dongkol ketika didatangi Zakaria di rumahnya. “Gimana gue enggak dongkol. Udah capai-capai meyakinkan Babe (maksudnya Bung Karno) untuk lebih memperhatikan pembangunan ekonomi dan Babe setuju untuk ditimbang di sidang terbatas kabinet dan menggariskan kebijaksanaan, nyatanya pagi tadi Babe berbalik 180 derajat. Selidik punya selidik, ternyata tadi malam si Pingji datang ke istana, dengan alasan bahwa Babe sakit. Sambil memijit-mijit, si Pingji merubah pendirian Babe, yang kemudian menerima usulan si Pingji. Siapa yang enggak kesal dengan cara-cara ini,” kata Chairul menjelaskan pada Zakaria, dikutip Irna. Pernyataan Chairul membuat Zakaria tertawa. Sambil berkelakar, Zakaria lalu menanyakan kenapa Chairul tak meniru apa yang dilakukan Subandrio. “Gue bukan tipe tukang pijit seperti si Pingji,” kata Chairul.*

  • Kisah Aneh Tentang Turki Usmani di Nusantara

    SUPREMASI politik dan kultural Turki Usmani menyebar ke berbagai wilayah dunia muslim, termasuk Nusantara. Banyak tradisi lisan dan literatur awal Nusantara memberikan kesaksian. Sejarawan Azyumardi Azra dalam  Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII  menjelaskan Sumatra dan Semenanjung Malaya adalah wilayah di mana Islam pertama kali menancapkan akar terkuatnya. Para penguasa muslim sering menghubungkan dirinya dengan kekuasaan besar di Timur Tengah.

  • Proudhon, Orang Pertama yang Mengaku Anarkis

    DI sebuah kota tua Besançon, Prancis, 15 Februari 1809, lahir seorang Pierre-Joseph Proudhon. Berasal dari keluarga petani pegunungan yang tangguh sejak beberapa generasi, Proudhon merupakan pemikir awal anarkisme dan orang pertama yang menyebut dirinya anarkis di kemudian hari. Ayah Proudhon adalah seorang pembuat bir dan tong bir. Ia sendiri hidup di pertanian sampai usia sepuluh tahun. Pada usia 12 tahun, ia bekerja di gudang bawah tanah dalam bisnis ayahnya. Proudhon kemudian mendapat beasiswa di College de Besançon. Ketika menginjak usia 18 tahun, bisnis ayahnya bangkrut dan ia keluar dari sekolah untuk mencari nafkah. Menurut George Woodcock dalam Pierre-Joseph Proudhon, A Biography , pada 1827, Proudhon magang di sebuah percetakan di kota kelahirannya. Sekitar tahun 1832, ia mengunjungi Paris, menjelajahi kota itu dari satu percetakan ke yang berikutnya. Lebih jauh lagi, Proudhon kemudian menemani tour de France  salah seorang pelancong yang berkeliaran dari kota ke kota, mengambil pekerjaan di mana mereka dapat menemukannya, hidup genting, tetapi mendapatkan banyak pengalaman. Ia baru kembali ke Besançon pada 1838 untuk melanjutkan studinya. Pada 1840, Proudhon menyelesaikan karyanya Qu’est-ce que la propriek? ( What is Property? ). Karya awalnya ini mempertanyakan tentang kepemilikan, yang kemudian mengenalkan ungkapan “hak milik adalah pencurian”. Proudhon menyebut buku ini berisi tentang teori kesetaraan politik, sipil, dan industri yang ditujukan “untuk menentukan ide keadilan, prinsipnya, karakternya, dan formulanya, khususnya sebagaimana dicontohkan dalam institusi hak milik”. “Dia mencela hak milik dari orang yang menggunakannya untuk mengeksploitasi tenaga kerja orang lain tanpa usaha di pihaknya sendiri, hak milik yang dibedakan berdasarkan bunga, riba, dan sewa, oleh pemaksaan non-produsen atas produsen,” terang Woodcock. “Hak milik adalah pencurian” kemudian menjadi salah satu ungkapan agung abad ke-19. Ungkapan ini bahkan dipinjam oleh kaum sosialis dan komunis. Dalam buku ini pula, Proudhon mendaku diri sebagai seorang anarkis. "Saya baru saja memberi Anda pengakuan iman yang serius dan serius. Walaupun saya adalah pendukung kuat ketertiban, saya sepenuhnya memahami istilah ini, sebagai seorang anarkis," katanya. Selain ungkapan “hak milik adalah pencurian”, Proudhon juga menciptakan ungkapan lainnya yakni “anarki adalah tatanan” dan “Tuhan itu jahat”. Ungkapan-ungkapan itu, menurut Peter Marshall, menyiratkan bahwa Proudhon mengagumi paradoks. “Dia adalah salah satu pemikir paling kontradiktif dalam sejarah pemikiran politik, dan karyanya telah memunculkan berbagai interpretasi yang saling bertentangan,” sebut Marshall dalam  Demanding The Impossible, A History of Anarchism . Setelah publikasi What is Property? , Proudhon mulai memiliki pengaruh besar. Karl Marx menyambutnya sebagai “pekerjaan yang menembus” dan menyebutnya “pemeriksaan hak milik yang menentukan, kuat dan ilmiah pertama”. Marshall menambahkan, Proudhon juga mulai menghantui imajinasi borjuasi Prancis sebagai l'homme de la terreur  yang mewujudkan semua bahaya revolusi proletar. Pada 1844–1845, Proudhon ke Paris untuk menulis serangan berikutnya terhadap pemerintah dan hak milik. Ia kemudian bertemu banyak buangan politik, termasuk Marx, Herzen, dan Bakunin. Bakunin inilah yang kemudian mengembangkan ide-ide Proudhon dan menyebarkannya di antara gerakan anarkis internasional yang sedang tumbuh. Proudhon menerbitkan dua volume besar The System of Economic Contradictions, or The Philosophy of Poverty  pada 1846. Dalam karya inilah ia menyatakan “Tuhan itu jahat”. Ia juga menguraikan tentang mutualisme. Pada 1853, Proudhon menulis Philosophy of Progress . Kemudian  Of Justice in the Revolution and the Church terbit pada   1858. Sebelum meninggal, ia mnengerjakan On the Political Capacity of the Working Classes  (1865). Ia memilih proletariat sebagai pembawa obor revolusi dan menawarkan taktik baru bagi mereka untuk mencapai kebebasan dan keadilan. Proudhon wafat pada 1865. Sepanjang hidupnya, ia menerbitkan lebih dari empat puluh karya, meninggalkan empat belas volume korespondensi, sebelas volume buku catatan, dan sejumlah besar manuskrip yang tidak diterbitkan. Ketika gerakan buruh di Prancis mulai berkembang, pengaruh Proudhon tumbuh pesat. Ide-idenya mendominasi bagian-bagian kelas pekerja Prancis yang membantu membentuk Internasionale Pertama. Kaum Proudhon juga merupakan kelompok tunggal terbesar di Komune Paris 1871. Setelah Bakunin dan Marx pecah, organ kelompok anarkis militan pertama yang bermarkas di Swiss menyatakan: “Anarki bukanlah penemuan Bakunin. Proudhon adalah bapak sesungguhnya dari anarki”. Sementara itu, Bakunin sendiri juga merupakan orang pertama yang mengakui bahwa “Proudhon adalah tuan bagi kita semua”.*

  • Insentif untuk Para Petugas Medis

    PEMERINTAH mengalokasikan Rp405,1 triliun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk menangani wabah covid-19. CNN Indonesia  mengabarkan, dana tersebut akan diberikan untuk insentif kesehatan sebesar Rp75 triliun, insentif perlindungan sosial Rp110 triliun, insentif perpajakan dan Kredit Usaha Rakyat Rp70,1 triliun, dan insentif pembiayaan dan restrukturisasi Kredit Rp150 triliun. Adapun insentif untuk petugas kesehatan yang ikut menangani covid-19 diberikan sebanyak Rp15 juta untuk dokter spesialis, Rp10 juta untuk dokter umum, Rp7,5 juta untuk bidan dan perawat, dan Rp5 juta untuk tenaga medis lainnya. Pada masa kolonial, insentif juga diberikan kepada petugas medis yang dikerahkan untuk menangani wabah. Kala malaria melanda Jawa pada abad ke-19, Kepala Dinas Kesehatan Koloni dokter Willem Bosch mengusulkan agar seluruh petugas kesehatan yang ikut menangani wabah mendapat status pegawai negeri. Sejak 1824 para vaksinatur diangkat sebagai pegawai negeri. Residen Pasuruan dalam suratnya kepada Gubernur Jeneral Duymaer mengusulkan agar vaksinatur atau mantri cacar di daerahnya mendapat gaji f 40 per bulan. Mereka juga diizinkan untuk mengenakan payung kala berpergian. Hal serupa juga berlaku untuk dokter Jawa. Kala itu, payung jadi simbol status sosial bagi orang Jawa dan Madura juga di mata para pejabat Eropa. Bosch tidak menyukai rekomendasi itu. Pada Maret 1853 ia memberi tahu gubernur jenderal bahwa mantri cacar adalah jabatan medis paling rendah. Mereka tak tahu banyak tentang penanganan kesehatan selain instruksi vaksinasi paling sederhana, sehingga tidak seharusnya mereka mendapat penghargaan sebanyak itu. Menurut Liesbeth dalam bukunya Healers on the Colonial Market, Bosch khawatir penghargaan sosial yang tak beda jauh antara mantri dan dokter Jawa akan berdampak negatif pada perekrutan dokter Jawa baru dari keluarga Jawa terpandang. “Tidak jelas juga apakah lulusan sekolah dokter Jawa yang mendapat posisi sebagai pemberi vaksin menikmati gaji dan status yang sama seperti vaksinatur biasa,” kata Liesbeth. Pada 1854 di Priangan kala cacar mewabah, mantri cacar mendapat kenaikan gaji dari 3 gulden menjadi f21 per bulan. Dan usulan residen Pasuruan untuk menggaji mantri cacar sebanyak f40 gulden per bulan dikabulkan. Gaji tersebut dua kali lipat dari standar gaji mantri yang maksimum f25 per bulan. Apresiasi pada kerja para mantri rupanya tak berlanjut kala malaria melanda Jawa. Untuk memberantas malaria, Dokter Eropa JT Terburgh dan dokter Tjipto Mangoenkoesoemo dibantu 10 mantri ditugaskan di daerah terjangkit. Hans Pols dalam Nurturing Indonesia  mengisahkan, para mantri dibayar amat rendah. Mereka pun beerkeluh-kesah pada Tjipto sebagai dokter pribumi sekaligus atasan mereka. Tjipto melaporkan hal tersebut ke pejabat Eropa setempat. Laporan Tjipto disanggah Terburgh dengan menyatakan para mantri Jawa hanya mau bekerja jika dibayar di atas standar upah. Lebih jauh Terburgh menuduh Tjipto dan para mantri Jawa tidak paham dengan kerja kemanusiaan. Tjipto jelas tidak terima dengan tuduhan Terburgh. Tjipto pun mengancam kalau permintaan kenaikan gaji tidak dikabulkan, dia akan mengundurkan diri. Pada akhirnya Terburgh menolak protes Tjipto dan dia mengundurkan diri. Sementara, kala pes pertama kali merebak, dokter Logem datang bersama 14 dokter Jawa ke daerah terjangkit. Martina Safitry, dosen IAIN Surakarta, menyebut dalam tesisnya “Dukun dan Mantri Pes”, para mantri dan dokter Jawa jadi ujung tombak pemberantasan pes yang bermula di Malang pada 1910. Para dokter Eropa enggan masuk ke desa-desa untuk mengobati penduduk pribumi secara langsung. Selain karena sekat rasial dan kelas, akses yang jauh membuat mayoritas dari mereka enggan masuk ke desa-desa. Tjipto menjadi salah satu dokter yang terjun langsung menangani wabah itu bersama para mantri dan dokter Jawa lain. Namun sayang, para dokter Jawa ini mengalami diskriminasi berupa upah yang kecil. Padahal, mereka bertugas sejak jam 6.30 pagi hingga 5 sore. Setelah menangani pasien, mulai pukul 5.30 mereka harus membuat laporan kepada dokter Eropa yang mengawasi kerja mereka. “Bikin laporannya bisa sampai jam 9 malam. Jadi sudah tak ada jeda untuk diri mereka sendiri,” kata Martina pada Historia.   Meski terjun ke lapangan kala wabah pes, nasib para dokter Jawa kian buruk pada masa kepemimpinan dokter O.L.E. de Raadt. Gaji mereka diturunkan dari f60 menjadi f40. Selain itu, menurut Tjahaja Timoer  14 Januari 1914, fasilitas rumah mereka dicabut. “Gaji perawat Eropa yang mengajar perempuan Jawa f250 per bulan. Jauh sekali gajinya, sangat diskriminatif,” kata Martina. Banyaknya beban kerja dus  gaji kecil tersebut akhirnya memicu protes. Martina menyebut banyak konflik ketika kepemimpinan de Raadt yang dipicu pengurangan gaji. Perubahan struktur besar-besaran dalam penanganan pes pun mulai dilakukan pada 1914. Jumlah mantri dan dokter Jawa yang diterjunkan makin banyak. Tugas mantri tidak terbatas pada vaksinasi tetapi juga penerangan (sosialisasi) tentang penyakit pes. Petugas medis Eropa sekali-dua berkunjung ke pedalaman. Namun demikain, ada atau tidaknya perubahan insentif untuk tenaga medis tidak disebutkan. Faktanya, hingga generasi Bahder Djohan menjadi dokter tahun 1927, diskriminasi pada tenaga medis pribumi masih tercatat.*

  • Bantuan Kolonial untuk Pengangguran

    Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merebak di berbagai sektor usaha menyusul pandemi Covid-19 sejak Maret 2020. Roda ekonomi melambat. Pemasukan perusahaan mampat. Ratusan ribu orang menjadi penganggur. Menanggapi keadaan ini, pemerintah mengeluarkan kartu prakerja bagi para penganggur terpilih. Bentuknya transferan uang untuk pelatihan dan kebutuhan hidup sementara. Sejarah Indonesia mencatat campur tangan pemerintah dalam menekan kenaikan angka penganggur. Terlebih lagi pada masa ekonomi sulit seperti ini. Dekade 1930-an menjadi titik mula melihat kembali fenomena ini. Saat itu, perekonomian Hindia Belanda rontok tertular depresi ekonomi dari Amerika Serikat dan Eropa. Dua wilayah ini membatasi impor dari negara lain. "Krisis ekonomi dekade 1930-an digerakkan oleh perkembangan buruk pasar dunia yang berlangsung sejak pertengahan dekade sebelumnya. Indonesia kolonial menjadi korban ketergantungan yang sangat tinggi terhadap permintaan pasar ekspor," catat J. Thomas Lindblad dalam "Krisis Ekonomi dalam Sejarah Indonesia Abad ke-20" termuat di Dari Krisis ke Krisis . Barang-barang melimpah di pasaran, tapi tak ada pembelinya. Harganya pun meluncur ke titik terendah. Pengusaha dan industriawan barang-barang ekspor kehilangan pemasukan. Mereka memotong biaya operasional dengan mem-PHK sebagian buruhnya, baik anak negeri, Eropa, dan Tionghoa. Semua kena. Kemunculan Penganggur Penganggur muncul di kota-kota. Kebanyakan mereka memilih pulang kampung. Lainnya tetap tinggal di kota dan menjadi gelandangan sembari menunggu bantuan. "Pengangguran di kalangan bangsa Eropa diperkirakan berjumlah 10.000. Akhir tahun 1934, mungkin adalah puncaknya," ungkap John Ingleson dalam Tangan dan Kaki Terikat . Pengangguran anak negeri lebih banyak daripada Eropa dan Tionghoa. Tapi secara umum, data John Ingleson menunjukkan peningkatan angka penganggur dari semua golongan penduduk sejak 1931 sampai 1936. Peningkatan angka penganggur bikin khawatir pemerintah kolonial. Mereka mengira akan ada pihak tertentu menjadikannya alat politik untuk menyerang tatanan kolonial. Selain segi politis kekhawatiran lainnya menyangkut dugaan akan munculnya ketegangan sosial. "Ada banyak tanda tentang hal ini yang bisa dilihat: meningkatnya pencurian dan bahkan pembentukan kelompok-kelompok kecil garong beranggotakan kuli kontrak yang pulang kampung," catat Ben White dalam "Pengalaman Tiga Resesi: Yogyakarta Masa 1930-an, 1960-an, dan 1990-an", termuat di Dari Krisis ke Krisis . Demi mencegah hal-hal tersebut terjadi, pemerintah kolonial melakukan beberapa kebijakan untuk menekan angka penganggur. Mereka memulainya dengan menggelar survei pengangguran melalui Kantor Tenaga Kerja. Komite Sentral dan Lokal Para petugas mendatangi kampung dan bertanya kepada kepala kampung atau bahkan penganggur itu sendiri di Batavia. Bandung, Semarang, dan Surabaya. Mereka meminta kepala kampung dan penganggur agar jujur dalam memberikan keterangan. Tapi survei itu kurang mendapat tanggapan dari para penganggur. "Dan bila saya jujur dengan jawaban-jawaban saya, upah apa yang akan diberikan mereka pada saya? Akankah mereka menolong saya? Tidak akan pernah!" kata seorang penganggur seperti termuat di Sin Po , 12 Agustus 1933. Meski banyak kelemahan dalam metode pengumpulan data, pemerintah kolonial tetap menggunakan hasil survei itu untuk merumuskan kebijakan bantuan bagi penganggur. Langkah selanjutnya adalah membentuk Komite Pendukung Pengangguran Pusat di Batavia pada Desember 1930. Kedudukan komite berada di bawah Kantor Tenaga Kerja. Sesuai asas desentralisasi pemerintahan sejak 1905, pemerintah kolonial juga membentuk komite-komite lokal untuk mengurus penganggur di luar Batavia. Sampai 1932, komite itu telah ada sebanyak 36 di seluruh Jawa. Komite lokal bertugas menyalurkan bantuan langsung tunai dan menyelenggarakan latihan keterampilan kepada para penganggur. Syaratnya, penggangur sudah tidak mampu lagi mengandalkan keluarga dan jejaring kampungnya untuk bertahan hidup. Kelompok ini disebut penganggur individual. Pejabat pemerintahan mengusulkan bantuan hanya bagi penganggur Eropa saja. "Batasan tersebut sebagian untuk alasan finansial, namun sebagian juga karena pemerintah percaya bahwa kebutuhan dari kebanyakan pengangguran Indonesia dan Cina telah terpenuhi," tulis John Ingleson. Bahkan untuk memperkecil bantuan bagi penganggur anak negeri dan Tionghoa, pemerintah kolonial menetapkan dua syarat tambahan. Semua calon penerima harus sudah menganggur sedikitnya satu tahun terakhir. Upah minimalnya pun mesti di atas f.100 per bulan. "Mengingat tingkat gaji para pekerja kerah putih, seperti guru dan supir —yang hanya separuh dari jumlah minimum— kita melihat bahwa sasaran program kantor pemerintah adalah pegawai lapis atas," ungkap Ben White. Pemerintah kolonial agak mengubah kebijakannya setelah menimbang bahwa dampak pengangguran kalangan anak negeri dan Tionghoa dapat mempercepat ketegangan sosial. Tetapi mereka juga tak bisa membantu semua penganggur dari kalangan luar Eropa. Akhirnya mereka tempuh jalan tengah. "Pengangguran Indonesia dari para pekerja utama (mereka setara dengan status juru ketik atau yang lainnya di atas) harus diperlakukan serupa dengan pengangguran Eropa," terang John Ingleson. Dalam bayangan para pejabat pemerintah, jumlah pekerja anak negeri semacam itu tidaklah sebanyak golongan Eropa. Tapi cukup untuk bisa meredam gejolak sosial jika mereka dapat bantuan. Sumber Dana Bantuan Dana bantuan berasal dari kocek Komite Sentral dan usaha mandiri Komite Lokal seperti pasar malam, pesta dansa, dan lotere. Tapi usaha tersebut bisa berbeda jauh satu sama lain. Di Bandung, Komite Lokal mengajak anak sekolah membawa uang beberapa sen untuk menolong penganggur. Di Blitar, Komite Lokal membuka bengkel sepeda dan sepatu untuk mempekerjakan para penganggur. Di Semarang, Komite Lokal berhasil membangun pabrik rokok kecil dari pengumpulan dana. Di Batavia, Komite Lokal membuka kursus montir selama 4 bulan dan menyerap lebih dari 1.000 penganggur. Selain itu, ada juga kursus stenograf dan elektronika. Peserta kursus harus membayar, kecuali sudah tidak punya uang sama sekali.  Selama empat tahun bekerja, Komite Sentral telah menyalurkan dana sebesar f.0.8 juta kepada komite-komite lokal untuk membantu 6.675 penganggur terpilih. Rinciannya: 2.532 Eropa, 3.372 anak negeri, dan 771 Tionghoa. Rincian angka tadi cukup menarik. Sebab jumlah penerima bantuan dari kalangan anak negeri justru lebih tinggi daripada orang Eropa. Padahal pejabat pemerintahan berupaya keras mempersempit ruang gerak bantuan bagi kalangan anak negeri. Angka penerima bantuan dari kalangan anak negeri bisa tinggi karena kebijakan pengurus komite lokal. Berbeda dari kebanyakan pengurus Komite Sentral yang berasal dari kalangan Eropa, sebagian besar pengurus komite lokal dipegang oleh anak negeri. Termasuk pula sub-sub komite lokalnya. Bila pengurus komite lokal mempunyai keberpihakan kepada kalangan anak negeri, jumlah penerima bantuan anak negeri akan besar. Sebaliknya, jika mereka memilih menurut pada atasan mereka di Komite Sentral dan minimal perhatian pada nnak negeri, penerima bantuan akan lebih banyak dari kalangan Eropa. Perubahan terjadi pada tahun-tahun setelah 1934. Penerima bantuan lebih banyak kalangan Eropa. Ini tersua di Yogyakarta. "Pada akhir 1938 kantor di Yogyakarta mengeluarkan dana sebesar f.3.250 tiap bulan kepada penganggur Eropa, f.300 untuk orang pribumi, dan f.150 untuk orang Cina," catat Ben White. Jumlahnya terlihat jomplang antara Eropa dan anak negeri. Kemungkinan ada perubahan susunan pengurus pada Komite Lokal pada 1938. Tahun 1938, perekonomian Hindia Belanda berangsur bangkit mengikuti keadaan di negara lain. Tapi kedatangan Jepang pada 1942 menenggelamkan kembali perekonomian Hindia Belanda.

  • Upaya Belanda Mengalahkan Aceh

    Rencana cepat Belanda mengamankan seluruh wilayah Sumatera terganjal di wilayah Aceh. Kerasnya perjuangan rakyat, serta medan yang asing membuat orang-orang dari Benua Biru ini harus rela mengalihkan seluruh fokusnya ke sana. Tentu bukan perkara mudah. Kurangnya informasi tentang daerah tersebut benar-benar membuat Belanda kewalahan. Terbukti ketika pasukan tempur Belanda melakukan serangan ke wilayah itu pada 1873 –dikenal sebagai Perang Aceh Pertama. Di bawah pimpinan Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah, rakyat Aceh berhasil memukul mundur J.H. Kohler dan ribuan pasukannya. Mereka yang selamat kocar-kacir meninggalkan Aceh, sementara Kohler sendiri tewas dalam upaya pendudukan tersebut. Kehilangan muka pada percobaan pertama membuat Belanda kembali merapatkan barisan di tahun berikutnya. Dalam penelitian Arndt Graf, dkk dalam Aceh: History, Politics, dan Culture, para pemimpin Belanda bersikeras menguasai wilayah Aceh yang strategis bagi kepentingan dagang mereka. Serangan besar pun disiapkan. Kekuatannya diperkirakan tiga kali lipat dari pendaratan yang pertama. “Kehilangan muka itulah hendak ditebusnya dengan segala keangkaramurkaan dan cara-cara yang jauh dari peri kemanusiaan, bahkan juga melanggar hukum internasional sendiri,” tulis Mohammad Said dalam Aceh Sepanjang Abad Jilid Kedua . Namun Belanda harus menghadapi kenyataan bahwa persiapan perang rakyat Aceh begitu matang. Bagian pantai utara dan timur yang biasa menjadi tempat masuk kapal-kapal ke wilayah tersebut dijaga dengan sangat baik. Begitu pula jalur darat di selatan dan pantai barat yang tidak kalah ketat penjagaan dari pasukan kerajaan Aceh. Menyerang dari Dalam Demi bisa menghancurkan pertahanan rakyat di daerah-daerah tersebut, kata Said, Belanda menggunakan dua cara: Pertama, menghancurkan perkampungan dan pelabuhan dengan tembakan meriam dari kapal-kapal perang mereka. Kedua, mengangkat orang-orang yang mudah diperalat untuk menjalankan siasat pecah belah. Mengenai cara yang kedua, para penjajah ini telah menjalankannya selama bertahun-tahun sebelum dimulainya Perang Aceh Pertama. Salah satunya melalui Sultan Mahmud dari Kesultanan Deli. Ia yang bersedia menandatangani perjanjian politik dengan Belanda, pada 22 Agustus 1862, menjadi jalan bagi Belanda untuk melancarkan rencananya. Deli menjadi batu loncatan bagi mereka menguasai daerah-daerah di sekitar pusat Kerajaan Aceh. Dari wilayah milik Sultan Deli tersebut, Belanda berhasil melebarkan kekuasaannya ke daerah Asahan dan Pulau Kampai. Dijelaskan Anthony Reid dalam Asal Mula Konflik Aceh: dari Perebutan Pantai Timur Sumatera Hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19 , bersedianya Deli membantu Belanda tidak lain karena wilayah mereka telah lama diusik oleh Aceh. Sehingga datangnya orang-orang Eropa ini menjadi harapan Deli menjauhkan Aceh dari wilayahnya. “Deli mencari perlindungan dari serangan Aceh, sedangkan Serdang tidak dapat menentukan mana yang tidak terlalu buruk dari kedua yang buruk itu,” ujar Reid. Selain Sultan Deli, seorang Minangkabau bernama Raja Burhanuddin diikutkan juga dalam pengumpulan infromasi tentang Aceh. Menurut Anthony Reid, Raja Burhanuddin tercatat sebagai pegawai tetap Belanda di Batavia. Mula-mula ia pergi ke Serdang, menyamar sebagai haji dan pedagang. Tugasnya menghentikan keterlibatan Tanah Batak ke dalam Perang Aceh. “Provokasi yang dilancarkan oleh Burhanuddin, bahwa Aceh hendak memaksa Batak masuk Islam, ternyata tidak mempan. Terus terang dijawab oleh raja-raja Batak, bahwa mereka tidak ingin memusuhi Aceh. Baru mereka bersedia melawan siapapun kalau mereka diserang, sebelum itu tidak percaya provokasi Belanda,” tulis Said. Gagal di Tanah Batak, Raja Burhanuddin melanjutkan perjalannya ke Barus, baru ke Aceh Besar. Hampir selama 25 hari pegawai tetap Belanda ini berada di Aceh, ia sudah mendapat begitu banyak informasi untuk dilaporkan. Raja Burhanuddin berkesimpulan bahwa kekuasaan yang disiapkan di banyak daerah hanya ditujukan bagi penjagaan lokal, tidak untuk bergabung dengan pasukan utama Aceh. Upaya memasuki wilayah Aceh rupanya datang juga dari penduduk asing. Menurut Said, beberapa tahun sebelum penyerangan Belanda, ada seorang Tionghoa yang datang dari Penang telah berhasil mendekati Sultan Mansur Sjah di ibukota. Tionghoa itu adalah Ang Pi Auw. Ia menyatakan diri masuk Islam dan diberi nama Chi’ Putih, serta diberi gelar kepercayaan (Panglima Setia Bakti) oleh Sultan Mansur. Namun belakangan diketahui Tionghoa ini berperan sebagai agen ganda, baik bagi Aceh maupun Belanda. “Sejauh mana keyakinan Sultan Aceh kepadanya tidaklah jelas, tapi sukar untuk mencari nama Ang Pi Auw yang sudah disebut panglima dalam usaha perlawanan rakyat ketika Belanda menyerang. Nama Ang Pi Auw muncul kembali sesudah dia mendapat angkatan sebagai “luitenant de Chineezen” dari Belanda. Rupanya dia memperoleh tanda jasa pula dari Belanda,” ujar Said. Demi mematangkan rencananya, Belanda mengirim mata-mata lain. Adalah G. Lavino, konsul Belanda di Penang. Sebagai sekutu, basis kekuatan Aceh di Penang cukup besar sehingga Lavino ditugasi mengacaukannya. Tugas pertama Lavino adalah mengusik Panitia Delapan –dewan penasihat Aceh di Penang yang juga bekerja membantu memasok persediaan logistik Aceh semasa perang. Lavino mencari informasi sebanyak-banyaknya dari orang-orang yang berada di antara Panitia Delapan tersebut. “Jaringan-jaringan spionase Belanda giat dan harus diakui cukup aktif. Lavino mempunyai banyak pembantu, mereka dapat saja lolos keluar masuk Aceh tanpa diketahui,” tulis Said.

bottom of page