top of page

Hasil pencarian

9593 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Kepulauan Natuna Pada Masa Kuno

    Tercatat lebih dari 200 pulau kecil membentuk Kepulauan Natuna. Mereka tak selalu nampak dalam peta. Seolah letaknya terpencil, sehingga tak mudah mencapainya.   Kesan itu mungkin berkebalikan dengan masa lalu. Sejak dulu,   Natuna dilintasi jalur pelayaran dan niaga karena   berada di kawasan maritim Laut Cina Selatan. Ia menghubungkan negeri-negeri Asia Tenggara dan Asia Timur, terutama Tiongkok. Lokasinya di posisi persilangan jalur masuk ke perairan Malaka, Sumatra, dan Kalimantan.   Karenanya Natuna sangat mungkin dijadikan “batu loncatan” dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain. Demikian disebutkan Sonny C. Wibisono, arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, dalam tulisannya, “Arkeologi Natuna: Koridor Maritim di Perairan Laut Cina Selatan”, termuat di  Kalpataru, Majalah Arkeologi Vol. 23. Sayangnya, tak banyak sumber yang menyebut Natuna secara langsung. Sumber yang mungkin menyebut keberadaannya adalah “Catatan Shi Bi”   dalam  Catatan Sejarah Dinasti Yuan.  Shi Bi adalah salah satu komandan armada Dinasti Yuan yang ditugaskan Khubilai Khan untuk menghukum Raja Kertanegara di Jawa.  Catatan itu merekam rute dari Tiongkok ke Jawa yang berbeda dari rute yang pernah dilalui pelaut Tiongkok era dinasti sebelumnya. Dalam Catatan Dinasti Sung misalnya, pelayaran dari Tiongkok mengikuti jalur pantai di Asia Daratan baru kemudian menyeberang ke pantai timur Sumatra. Nurni Wahyu Wuryandari, peneliti dari Pusat Studi Cina di Universitas Indonesia menjelaskan ketika itu bangsa Mongol ingin mencari rute yang paling singkat menuju Jawa. “Kepentingan mereka adalah mengirimkan angkatan perangnya,” katanya. Namun, kata Nurni, rute itu bukannya mudah malah berisiko besar. Apalagi latar belakang orang-orang Mongol bukan bangsa pelaut, melainkan bangsa pemelihara kuda. “Berhasil tapi sulit sekali,” katanya. Setelah melewati Champa, sebulan kemudian mereka tiba di Kepulauan Dong Timur dan Kepualauan Dong Barat. W.P. Groeneveldt dalam  Nusantara dalam Catatan Tionghoa , menduga dua tempat itu masing-masing merujuk pada Kepulauan Natuna dan Anamba. Sementara itu, menurut Sonny sejauh penelusurannya nama tempat yang bisa dikaitkan dengan Natuna ada dalam sumber pelayaran Tiongkok,  Shung Feng Shang Sun  (Angin Baik untuk Pelayaran) yang berasal dari pertengahan abad ke-15. Di sana disebut Mao Shan atau Ma-an Shan, yang merujuk pada Natuna Besar atau Pulau Bunguran, terletak di pantai barat Kalimantan. “Kata itu artinya pelana kuda. Kata ini bisa dihubungkan dengan bentuk denah pantai Pulau Natuna dari Pantai Klari utara sampai Pengadah atau Teluk Buton yang menyerupi pelana kuda,” tulis Sonny. Kawasan itu dilewati rute pelayaran dari Tiongkok ke arah barat India dan Asia barat. Mulai pelayaran dari pelabuhan di Tiongkok, menyusuri pantai-pantai Tiongkok dan Hainan. Dari sana berlayar ke pantai Vietnam, kemudian terpecah jalur ke selatan. “Sementara jalur utama terus menuju Pulau Tioman, ke Malaka, melewati Pulau Lima, dan setelah itu melewati Ma-an Shan (Natuna), selanjutnya lewat Pulau Mien-tan (Bintan),” tulis Sonny. Situs Kuno di Natuna Kabar baiknya, bukti-bukti arkeologis bisa lebih banyak menyumbang cerita. Survei dan ekskavasi tim Puslit   Arkenas di Natuna pada 2012-2014 menemukan t ak kurang dari 19 situs yang mengandung temuan arkeologis. Di pantai timur yang landai, keberadaan situs cukup padat. Ini mulai dari Ranai Kota, Teluk Baru, Sepempang, Serangas, Sekalong, Dua Semitan, Tanjung, Kelanga, Pengadah, dan Teluk Buton. Adapun di sebelah tenggara, yaitu di Desa Cemaga, Batu Bayan, Penarik, Pian Padang, dan Setengar. “Hampir sebagian besar situs ditemukan tak jauh dari pesisir pantai. Letaknya dekat dengan muara sungai,” jelas Sonny. “Beberapa lokasi mengindikasikan situs-situs ini juga berfungsi sebagai pelabuhan.” Situs-situs itu juga mengungkap sisa-sisa permukiman di Natuna. Tandanya adalah sebaran temuan keramik dan manik-manik pada permukaan tanahnya. Tumbuhnya permukiman di sana diduga karena kelimpahan air tawar dan kekayaan sumber hutan dan perairannya. Hutan Natuna menghasilkan kayu dan gaharu, komoditas eksotis yang sampai sekarang masih dicari. “Mungkin ini bagian dari tradisi lama yang dipandang ada kaitannya dengan tujuan atau persinggahan perniagaan itu,” ujar Sony. “Artinya data itu menunjukkan bahwa Natuna tidak hanya menjadi tempat pengimpor tetapi juga memiliki sumber setempat sebagai andalan atau pengekspor.” Penggalian di situs Setapang, Sepempang, dan Sekalong, tak mendapat banyak temuan. Padahal sebelumnya temuan permukaan cukup padat. Temuan yang paling sering ditemukan adalah keramik. Sebagian besar pecah kendati masih bisa diidentifikasi masa pembuatannya.   Keberadaan keramik di hampir seluruh situs menandai bahwa tataniaga keramik di wilayah ini pada masanya sangat tinggi.   Khususnya di Situs Setapang, ditemukan keramik mangkuk dengan celadon dari Dinasti Song-Yuan, sekira abad ke-13. Keramiknya ditemukan dekat wadah kubur dari kayu berbentuk perahu. Mungkin keramik ini adalah bekal kubur.   Dari penelitian ini juga diketahui adanya kemungkinan situs di bawah laut. Letaknya di Desa Pengadah. Dugaannya di sana ada sisa kapal karam. Dari muatan barang keramik di dalam kapal menunjukkan kalau itu adalah kapal dagang. “Dua lokasi yang sementara ini diinformasikan penduduk yaitu di perairan Teluk Buton. Temuannya disimpan di Museum Sri Serindit,” kata Sonny. Pelayaran yang Melibatkan Natuna Naniek Harkantiningsih, ahli keramologi Puslit Arkenas dalam “Natuna: Jalur Pelayaran dan Perdagangan Jarak Jauh”, termuat di  Di Balik Peradaban Keramik Natuna  menjelaskan bahwa keramik pada masa lalu menjadi komoditas impor di kawasan Natuna. Berdasarkan catatannya, sebagian besar adalah keramik yang berasal dari Tiongkok, abad ke-9 sampai ke-20, mencakup era Dinasti Song, Yuan, Ming, dan Qing. Keramik yang bukan dari Tiongkok baru ada mulai abad ke-14. Temuan keramik Vietnam, misalnya, berasal dari abad ke-14 hingga ke-15. Ditemukan juga keramik Thailand dari sekira abad ke-15 sampai ke-16, keramik Belanda dari abad ke-19-20, keramik Jepang dari abad ke-19-20, keramik Inggris dari abad ke-20, dan keramik Singkawang dari abad ke-20. “Temuan ini membuktikan bahwa Pulau Natuna merupakan salah satu pusat dan perlintasan niaga, yang terus bersinambung dari sekitar abad ke- 9 sampai ke-20,” jelas Naniek. Dari banyaknya temuan itu,   memperlihatkan kejayaan perniagaan yang melibatkan Pulau Natuna dimulai dari abad ke-9 sampai ke-10. Pada masa itu Sriwijaya tengah berkembang. Perniagaan itu terus meningkat pada abad ke-11 sampai ke-13. “Ketika Sriwijaya mulai berkembang pada abad ke-8 sampai ke-10, partisipasi Natuna dalam perdagangan di Laut Cina Selatan nampaknya belum berlangsung intensif. Proporsi keramik Palembang pada masa ini lebih tinggi,” kata Sonny. Puncaknya terjadi pada abad ke-13 sampai ke-14, dengan banyaknya ditemukan keramik bergaya Dinasti Yuan di Natuna. Setelahnya surut dan naik lagi pada abad ke-18-19   bersamaan dengan hadirnya kekuasaan kolonial di Nusantara. “Tingginya intensitas keramik tampaknya berkorelasi dengan tingginya hubungan misi dagang yang dilakukan antara Tiongkok dengan pusat negeri di Asia Tenggara, termasuk Sriwijaya,” ujar Sonny. “Pasca Sriwijaya partisipasi Natuna lebih tinggi.” Sementara munculnya keramik dari Vietnam dan Thailand bersamaan dengan merosotnya pasokan keramik Tiongkok pada masa Dinasti Ming. Baru kembali meningkat ketika Dinasti Qing berkuasa di Tiongkok.   Pada abad ini mulai bervariasi keramik dari Eropa dan Jepang. Jelaslah bahwa sejak dulu Natuna sudah menjadi   kawasan yang penting. Berkembangnya kerajaan berbasis maritim, termasuk Sriwijaya pada abad ke-7, berperan membuat pulau ini bergeliat.

  • Alex Kawilarang, Kisah Patriot yang Dicopot

    Letnan Jenderal (Purn.) Sajidiman Suryohadiprojo tidak percaya sama sekali jika seniornya di Siliwangi, Kolonel (Purn) Alex Evert Kawilarang adalah seorang pengkhianat. Alih-alih mencap-nya sebagai petualang, Sajidiman justru menyebut Alex (panggilan akrab A.E. Kawilarang) sebagai seorang patriot. Buktinya cukup banyak, ujar mantan Wakasad itu. Sejak tercatat sebagai anggota Tentara Keamanan Rakyat (TKR, cikal bakal TNI) pada 1945, Alex banyak terlibat dalam berbagai peristiwa bersejarah yang menegaskan dirinya adalah seorang loyalis Republik. Memimpin penumpasan pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS), menyelesaikan pembangkangan Andi Aziz dan membentuk pasukan komando di Angkatan Darat, adalah sebagian kecil dari jasa-jasa Alex kepada bangsa Indonesia. Sajidiman yakin jika tak ada pengaruh Alex, sejatinya wilayah Manado dan sekitarnya sudah bergolak sejak awal 1950. Namun mengapa sang kolonel justru bergabung dengan Perjuangan Semesta (Permesta) pada 1958? “Ia bergabung dengan Permesta karena marah saat Manado dibom oleh pemerintah RI,” ujar Sajidiman kepada Martin Sitompul dari historia.id . Sajidiman bisa jadi benar. Ketika mendengar kampung halaman nenek moyangnya (Manado) dibom oleh AURI pada Februari 1958, dari Washington D.C. (tempatnya bertugas sebagai atase militer Kedutaan Besar Republik Indonesia di Amerika Serikat) Alex langsung mengirimkan kawat kepada Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) Mayor Jenderal A.H. Nasution. Isinya sederhana dan tegas: tidak setuju dengan pemboman tersebut dan menyatakan mundur sebagai atase militer. Demikian penuturan Alex dalam biografinya, Untuk Sang Merah Putih  (disusun oleh Ramadhan K.H.) “Saya marah…Tapi tidak pernah bilang saya akan bergabung dengan Permesta,” ujar Alex dalam wawancara khusus dengan majalah Tempo,  10 Mei 1999. Mengikuti “deburan hati”, Alex lantas memutuskan untuk pergi ke Manado sekadar untuk menguatkan perasaan rakyat Minahasa yang baru saja dijatuhi bom oleh AURI. Namun kedatangan Alex di Manado tentu saja tidak disia-siakan oleh para pembangkang dari Permesta. Maret 1958, dia didapuk untuk menjadi Panglima Besar Pemerintah Revolusiener Republik Indonesia (PRRI). “Mereka mengangkat saya sebagai Panglima Besar PRRI. Tapi saya tidak terima. Saya mau bergabung dengan Permesta saja,” ujar mantan Panglima TT III Siliwangi itu. Alex tidak menyetujui konsep politik PRRI yang dianggapnya memiliki kecenderungan ingin melepaskan diri dari Republik Indonesia. Dia lebih nyaman untuk bergabung dengan Permesta yang menurutnya lebih berfungsi sebagai oposisi saja. Kendati banyak petinggi Permesta merasa senasib sepenanggungan dengan PRRI, namun Alex menolak itu. Secara pribadi, dia menganggap tujuan politik keduanya berbeda. Itulah yang menyebabkan Alex bersikeras bahwa dirinya bukan bagian dari kekuatan militer PRRI. Dia hanya menerima dirinya sebagai Panglima Besar Angkatan Perang Revolusiener (APREV), sayap militer Permesta. “(Karena sikap itulah) dia dicurigai oleh kalangan tertentu (di PRRI dan Permesta) merupakan agen Nasution,” tulis Barbara Sillars Harvey dalam Permesta, Pemberontakan Setengah Hati. Ketika bergabung dengan Permesta bukan berarti Alex pun tidak memiliki ganjalan. Sebagai seorang nasionalis, dia merasa kecewa dengan motivasi sebagian orang-orang Permesta yang turut berjuang semata-mata ingin melawan dominasi orang-orang Jawa. “Wah tidak benar kalau begitu. (Tetapi pendapat) itu kebanyakan (dianut) oleh bawahan-bawahan yang kurang mengerti,” kata Alex. Seiring dengan berjalannya waktu, perlawanan Permesta sendiri lambat laun berhasil dipatahkan. Selain adanya friksi di internal mereka (antara yang pro PRRI dengan yang tidak setuju dengan konsep PRRI), perlahan-lahan Amerika Serikat (AS) pun menarik bantuannya kepada PRRI dan Permesta. “Omong kosong! Mereka tidak membantu Permesta, tetapi memanfaatkan Permesta untuk diri sendiri,” ujar salah seorang dedengkot Permesta Ventje Sumual dalam majalah Tempo , 5 Desember 1999. Menurut Ventje, sikap AS berbalik 180 derajat ketika mereka mengetahui bahwa para petinggi tentara seperti A.H. Nasution dan Achmad Jani merupakan para jenderal yang anti komunis juga. Karena itulah harapan politik mereka memblok pengaruh komunisme dialihkan sepenuhnya kepada para jenderal tersebut dan otomatis PRRI/Permesta dibengkalaikan begitu saja. Sebagai Menteri Pertahanan dan KASAD, pada 3 Maret 1961 Nasution menyerukan kepada kaum pemberontak untuk kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Untuk Kawilarang sendiri, seruan untuk kembali juga dilakukan oleh para prajurit-prajurit dari Siliwangi yang sedang ikut menghadapi para gerilyawan Permesta di wilayah-wilayah Sulawesi Utara. “Anak-anak Siliwangi ada yang memasang tulisan-tulisan di papan, yang isinya memanggil: ‘Pak Kawilarang supaya kembali!’,” kenang Nasution dalam biografinya: Memenuhi Panggilan Tugas Jilid IV: Masa Pancaroba Kedua. 11 April 1961, terjadilah gencatan senjata. Tiga hari kemudian, Wakil Menteri Pertahanan RI Mayor Jenderal Hidajat Martaatmadja (yang tak lain sahabat dekat Alex sejak menjadi taruna di KMA) dan Alex Evert Kawilarang secara bersama-sama bertindak sebagai inspektur suatu barisan Permesta dan pasukan TNI di dekat Tomohon. Hadir pula dalam kesempatan itu beberapa atase militer asing, termasuk Kolonel George Benson, atase militer Kedubes AS di Jakarta. “Pertentangan antara kita sekarang tak dapat dipertahankan lagi…” demikian pidato Alex seperti dikutip A.H. Nasution dalam  Memenuhi Panggilan Tugas Jilid V: Kenangan Masa Orde Lama. Nasution sendiri baru bisa bertemu dengan Alex pada 12 Mei 1961. Alex yang saat itu terlihat sangat payah (karena terkena malaria saat bergerilya di hutan-hutan Minahasa) menyatakan kesanggupanya untuk mengembalikan semua orang (eks Permesta) ke pangkuan RI. Pada 22 Juni 1961, terbit sebuah dekrit dari Presiden Sukarno yang berisi pemberian amnesti kepada para pengikut Kawilarang, Somba dan Saerang. Mereka dianggap telah menerima baik seruan kembali ke pangkuan ibu pertiwi. “Satu upacara di Manado pada tanggal 29 Juli 1961 menandaskan amnesti tersebut dan penghapusan tuduhan-tuduhan resmi terhadap bekas pemberontak tersebut,” tulis Barbara Sillars Harvey. Bisa jadi tuduhan-tuduhan itu mengacu kepada suatu surat rahasia Kejaksaan Agung bernomor: Plk. A1/6181/762.- yang ditujukan kepada Mahkamah Agung  pada 27 Oktober 1958. Dalam surat itu, secara resmi pihak Kejaksaan Agung yang mewakili Pemerintah RI menuduh Kolonel A.E. Kawilarang telah bersekongkol dengan pihak pemberontak dengan mengadakan pertemuan di Singapura pada 8 Oktober 1958. Dalam pertemuan itu dibahas berbagai cara guna menghantam Pemerintah RI. Cara-cara itu diantaranya: berupaya mengacaukan perekonomian Indonesia dengan penggabungan perusahaan-perusahaan yang dimiliki kaum pemberontak, menyuap (dengan uang dan perempuan) para oknum petinggi TNI yang kerap datang ke Singapura untuk membantu pihak pemberontak dan  menginfiltrasi Resimen 6 Lampung dan Divisi Siliwangi untuk menghasut para anggotanya supaya tidak puas. Namun bukan berarti pengampunan itu menjadikan Alex kembali ke TNI. Selain dianggap sebagai pucuk pimpinan di militer Permesta, Alex pun mengakui bahwa dirinya tidak mau menyusahkan kawan-kawannya yang mungkin merasa risih berhubungan dengan bekas pemberontak seperti dirinya. Jadi minat untuk kembali berprofesi sebagai tentara sirna sudah. “Saya sendiri menganggap bahwa kehidupan saya sebagai tentara sudah berhenti sejak Maret 1958,” ujar Alex dalam biografinya. Apakah itu artinya Alex merasa trauma dengan dunia tentara? Mungkin saja, jika mengingat ketidaksetujuan sang kolonel saat putranya Edwin Kawilarang berniat masuk Akademi Militer pada 1973.

  • Buku Lagu Para Tapol

    Pada 1990, rumah Tuba bin Abdul Rochim, mantan tahanan politik (tapol) Orde Baru, di daerah Penjaringan, Jakarta Utara, kebakaran. Api melahap satu RW di gang sempit itu dan menghabiskan benda-benda di dalamnya. Namun, mantan anggota Pemuda Rakyat itu malah menyelamatkan sebuah buku bersampul ungu dan sebuah gitar. Bukan televisi, radio ataupun benda berharga lainnya. "Saya hanya sempat bawa buku ini sama gitar. Gendong gitar sama bawa ini. Barang lainnya malah tidak dibawa," kenang Tuba kepada historia.id sambil memegang buku yang pinggirannya sudah kerepes itu. Buku itu tampaknya bukan buku biasa. Buku yang kertasnya sudah kecokelatan dan rapuh itu merupakan harta paling berharga milik pria kelahiran 14 April 1944 itu. Buku itu berisi lagu-lagu yang dibuat oleh para tapol Orde Baru sejak dari RTC Tangerang, Nusakambangan, hingga Pulau Buru. Baca juga: Kisah Cinta di Tepi Sungai Cisadane Salah satu lagu yang berkesan bagi Tuba berjudul Penebang Kayu . Lagu ini berkisah tentang para tapol yang dipekerjakan sebagai pencari kayu bakar ketika di penjara di RTC Tangerang pada 1966. Untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar, Tuba dan 24 orang lainnya juga ditugasi untuk mencari kayu bakar. Mereka diperbolehkan mencari kayu bakar ke rumah-rumah penduduk karena dalam sehari mereka harus mengumpulkan 10 kubik kayu bakar. Tuba bercerita, kala itu, di depan Pendopo Kabupaten Tangerang terdapat sebuah pohon sengon yang berdiri megah yang cabang-cabangnya melintang sampai menjorok ke jalan raya. Ia dan kawan-kawannya pun mulai beraksi untuk memangkas pohon tersebut. Pekerjaan itu ternyata menjadi tontonan warga sekitar karena para tapol dengan gesit melompat dari cabang satu ke cabang yang lain seperti permainan sirkus. "Ini merupakan tontonan gratis bagi masyarakat sekitar pendopo Tangerang. Juga tidak sedikit yang merasa simpatik kepada teman-teman kita yang sedang bekerja," ujar Tuba. Pekerjaan mencari kayu bakar membuat para tapol dekat dengan masyarakat. Terlebih para tapol juga sering melakukan pekerjaan di luar seperti pijat dan totok refleksi. Baca juga: Para Tapol dan Anjingnya "Sehingga mereka dengan ikhlas suka menyisihkan sedikit rejekinya untuk dibagikan kepada kita seperti makanan, minuman, rokok, dan juga uang. Hampir seluruh Kota Tangerang dan sekitarnya, Serpong, Balaraja, Cikupa, Tigaraksa, Gunung Sindur, mereka kenal dan tahu tentang tapol PKI," kata Tuba. Berangkat dari kisah para penebang kayu itu, Michiel Karatem, rekan Tuba kemudian membuat lagu berjudul Penebang Kayu . Michiel Karatem merupakan mantan Pegawai Negeri Sipil di Jawatan Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang ditangkap pasca peristiwa 1965 karena dianggap anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Tuba mencatat puluhan lagu yang dibuat para tahanan politik ketika dipenjara. (Andri Setiawan/Historia). Di RTC Tangerang, setiap akhir pekan minggu ketiga diadakan acara hiburan yang disaksikan oleh petugas penjara, termasuk keluarga. Acara biasanya diisi dengan pentas musik lagu-lagu keroncong. Pada suatu ketika, para tapol pun berinisiatif menyanyikan lagu Penebang Kayu . Namun, baru beberapa saat dinyanyikan, mereka dibubarkan. "Karena katanya lagu-lagu ini menyinggung negara. Sedang berpentas, setop, jangan diteruskan," kata Tuba. Baca juga: Ingin Kembali ke Pulau Buru Pada 1973, Tuba dipindahkan ke penjara Salemba selama satu bulan. Bersama seribu lebih tapol, ia kemudian dipindahkan lagi kePulau Nusakambangan hingga akhirnya dibawa ke Pulau Buru pada November 1976. Pekerjaan mencari kayu bakar berlanjut ketika Tuba dan tapol lainnya berada di Nusakambangan. Di pulau bagian selatan Jawa itu, para tapol harus mencari kayu bakar untuk menghidupkan mesin pembangkit listrik tenaga uap. Pekerjaan yang lebih berat dan membutuhkan banyak tenaga. "Kalau di Nusakambangan itu kita ini listriknya. Cari sendiri kayu bahan bakar. Karena tenaga listriknya dengan menggunakan uap," kata Tuba. Lagu Penebang Kayu  dinyayikan ketika mereka bekerja untuk penyemangat. Selain lagu Penebang Kayu , Tuba mencatat puluhan lagu yang dibuat oleh para tapol, baik ketika di penjara Tangerang, Nusa Kambangan hingga Pulau Buru. Ia beli buku tulis di koperasi RTC Nusakambangan. Ia dapat uangnya dari pekerjaan membabat rumput di kebun karet. Baca juga: Kecil di Digul Muda di Buru Tuba masih menyimpan baik-baik buku lagu itu. Di dalam buku itu, Tuba juga menyimpan surat pembebasannya sebagai tapol. Baginya, buku itu adalah saksi bisu perjalanan hidupnya sebagai pelajaran bagi anak cucunya. "Ini loh bapakmu dulu begini. Jangan sampai peristiwa itu terjadi lagi pada anak cucu kita. Sejarah yang kelam," kata Tuba. Tuba kini tengah mencari teman untuk menyanyikan ulang lagu-lagu itu. Ia bercita-cita membentuk grup kwartet. Ia terinspirasi oleh paduan suara Dialita.

  • Piala Super Spanyol Sarat Drama

    AHAD (12 Januari 2020) malam, duel tim sekota antara Real Madrid kontra Atlético Madrid bakal tercipta di final Supercopa de España alias Piala Super Spanyol. Trofi itu sebelumnya diperebutkan oleh tim jawara La Liga dan kampiun Copa del Rey atau Piala Raja. Gelaran musim ini akan menandai untuk pertamakalinya laga Piala Super dimainkan di luar Spanyol, yakni di Arab Saudi. Itu mengikuti jejak Piala Super Italia 2018 yang dimainkan di King Abdullah Sport City, Jeddah, negeri yang sama. Mengutip Daily Mail , Rabu (8/1/2020), kesepakatan antara federasi sepakbola Spanyol (RFEF) dan pemerintah Saudi terjadi pada November 2019. Deal kedua pihak dimuluskan dengan “fulus” senilai total 120 juta euro yang berlaku tiga tahun. Selain soal jumlah partisipan yang ditambah menjadi empat, jadwal pun diubah dari Agustus, saat jeda kompetisi musim panas, ke Januari saat jeda liburan musim dingin. “Uang yang kami dapatkan bukan untuk membangun vila mewah. Uangnya akan disalurkan ke sepakbola putri dan klub-klub di Segunda B dan Tercera (dua kasta bawah sepakbola Spanyol, red. ). Tentu uang itu penting, siapa yang menyangkal? Uang sangat penting namun uangnya akan mengalir pada kebutuhan yang tepat,” ujar Presiden RFEF Luis Rubiales. Kendati empat partisipan, yakni Real Madrid, Atlético Madrid, Valencia, dan Barcelona tutup mata dan mulut, sejumlah kritik mencuat. Selain soal mendobrak tradisi, kritik menganggap kesepakatan itu sebagai bentuk dukungan pada kebijakan diskriminatif pemerintah Saudi terkait sejumlah isu politik, mulai dari kebebasan berpendapat dan pers, hingga soal isu hak-hak perempuan. Sementara Presiden La Liga Javier Tebas mengkritik soal hak siar yang diambil pihak Saudi, kolumnis Joan Poqui mengecam lewat tulisannya di suratkabar El Mundo (6/1/2020). “Ini turnamen yang mestinya hanya dipertandingkan Barcelona dan Valencia sebagai pemenang liga dan Piala Raja. Ini bukan Supercopa dan laganya bukan di Spanyol. Ini kejuaraan yang telah dilacurkan demi uang,” tulisnya. Amnesti Internasional mengkritik bungkamnya para bintang lapangan hijau yang jauh-jauh terbang lebih dari 4.000 mil dari Spanyol ke Saudi demi mendongkrak imej Saudi, terutama soal imej pemerintah yang gemar menangkapi aktivis HAM. “Di bawah Mohammed bin Salman (putra mahkota dan wakil perdana menteri, red. ), giat-giat olahraga bertaraf internasional digalakkan dengan kencang, bahkan saat putra mahkota memimpin sendiri pemadaman pergolakan HAM terhadap aktivis hak perempuan, aktivis hukum dan kaum minoritas Syiah. Tidak ada keadilan terhadap pembunuhan Jamal Khashoggi (wartawan Saudi, red. ) dan koalisi militer di Yaman pimpinan Saudi masih menyasar pasar-pasar, permukiman sipil, dan rumahsakit,” ujar Ketua Kampanye Amnesti Internasional Inggris Felix Jakens. Kendati dihujani kritik, Piala Super Spanyol tetap bergulir dan resmi akan dihelat dua edisi berikutnya. Toh, sejarah Piala Super Spanyol juga sarat drama sejak awal. Pentas Adu Jawara di Masa Lampau Kendati kompetisi adu kampiun liga dan Piala Raja bernama resmi Supercopa de España hadir baru pada 1982, pentas sejenis sudah eksis sejak 1940 kala Spanyol masih dipimpin diktator fasis Generalísimo Francisco Franco. Kompetisi di luar liga itu dinamai Copa del Generalísimo. Mengutip situs RFEF , ajang itu merupakan buah gagasan Leopoldo García Durán, presiden RFEF periode 1931-1936.Durán mencanangkannya untuk digulirkan pada 1936. Namun, Perang Saudara Spanyol (1939-1939) menunda rencana itu.  Gagasan yang tertunda itu baru terwujud pada 1940. Laga yang memperebutkan trofi Copa de los Campeones de España itu berformat dua leg atau tandang-kandang. Atlético Aviación (kini Atlético Madrid) merebut trofi pertama laga para jawara antarkompetisi, Copa Campeones 1940. ( El Mundo , 28 Agustus 1940). Atlético Aviación (kini Atlético Madrid) jadi juara pertamanya. Sebagai juara liga musim 1939-1940, Atletico meladeni RCD Espanyol yang merupakan jawara Copa del Generalisimo. Pertandingan dihelat pada 1 September 1940, di markas Espanyol, Estadio de Sarriá, dan pada 14 September di Campo de Fútbol de Vallecas, stadion pengganti darurat karena markas Atlético Estadio Metropolitano rusak berat akibat perang. Dalam drama dua laga final itu tercipta 14 gol. Atletico keluar sebagai kampiun setelah menang agregat 10-4. Akan tetapi Copa Campeones hanya sekali bergulir dan bahkan panggung sejenis sempat vakum hingga 1945. Usai Perang Dunia II, baru perebutan trofi antara jawara liga dan copa digagas dengan tajuk Copa de Oro Argentina, merujuk pada persahabatan antara pemerintahan Francisco Franco dengan Argentina. “Pertandingannya diinisiasi federasi sepakbola Katalan dan Konsul Argentina di Barcelona, Don Alfredo de Molina, pada 1945. Trofinya sendiri disediakan atas sumbangan orang-orang Argentina yang bermukim di Katalan,” sebut Juan Expósito Bautista dalam Organización del Fútbol Mundial. Dalam duel di stadion Camp de Les Corts, 23 Desember 1945, itu FC Barcelona, kampiun liga musim 1944-1945, menang 5-4 atas jawara copa Athletic Bilbao. Tetapi seperti pendahulunya, event itu hanya sekali itu saja dihelat. Pentas anyar hadir pada 1947. Mengutip Heinz Duthel dalam biografi klub, FC Barcelona , kompetisinya cenderung lebih berbau politis meski masih ada benang merahnya dengan Argentina yang kebetulan saat itu Franco bersahabat dekat dengan pemimpin sayap kanan Argentina, Juan Perón. “Turnamennya Copa Eva Duarte de Perón yang digulirkan RFEF secara rutin, sebagai penghormatan kepada Presiden Argentina Juan Perón dan istrinya Eva Perón. Sejak 1947 hingga 1953 digelar antara bulan September dan Desember,” tulis Duthel. María Eva Duarte 'Evita' de Perón saat tiba di Spanyol pada Juni 1947. (Wikimedia). Bukan sembarang persahabatan yang tercipta antara Argentina dan Spanyol saat itu. Spanyol dengan pemerintahan fasisnya tengah diembargo ekonomi oleh Amerika dan negara-negara sekutunya di Eropa. Krisis pangan pun melanda Spanyol. “Banyak rakyat Spanyol yang kelaparan. Peron datang membantu dan mengirim 400 ribu ton gandum, 120 ribu ton jagung, 20 ribu ton daging beku, hingga 50 ribu peti telur ke Spanyol. Oleh karenanya segenap pelosok Spanyol menganggap pasangan Perón sebagai penyelamat mereka,” ujar Joanne Mattern dalam biografi Eva Peron. Trofi turnamen Copa Eva Duarte de Perón disumbangkan langsung oleh Evita Perón saat mengunjungi Spanyol guna memenuhi undangan pemerintah setempat yang sangat berterimakasih, 8 Juni 1947. Sistem turnamennya, semua menampilkan satu laga, kecuali pada 1950 yang menampilkan dua leg. Pada 1952 dan 1953, Barcelona meraih trofi secara otomatis tanpa bertanding lantaran di dua musim itu memenangi double winners (liga dan copa). Turnamen itu mati seiring wafatnya Evita Perón, yang membuat rakyat Spanyol juga berduka. Turnamen serupa baru dibuat RFEF kembali pada 1982, yang diajukan Presiden FC Barcelona Luís Nuñez. Baik regulasi maupun format, tiada berubah dari turnamen sebelumnya. Trofi yang diperebutkan pun masih menggunakan trofi yang sama, meski kemudian menggunakan nama baru: Supercopa de España. Aturan yang diubah sekadar pemenang double winners . Sebelumnya, pemenang La Liga dan Copa del Rey otomatis mendapatkan trofi Supercopa. Namun mulai 1996, pemenang double winners akan tetap diadu lagi dengan runner-up Copa del Rey. Aturan itu masih berlaku hingga sekarang.

  • Pemain American Football Jadi Agen CIA di Indonesia

    DARI 25 tahun kariernya di CIA, dua tahun di antaranya di Indonesia. Ralph Walter McGehee bertugas di Jakarta pada 1964-1966, periode berdarah dalam sejarah Indonesia. Atas pengabdianya, CIA menganugerahkan penghargaan Career Intelligence Medal.

  • Jajan Tahu Pakai Pesawat Mustang

    Pada dekade 1950, Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) memiliki puluhan pesawat tempur jenis P-51 Mustang. Pesawat buatan Amerika Serikat itu adalah pesawat buru sergap jarak jauh yang sangat handal pada era Perang Dunia II. Karena keandalannya, Mustang diproduksi ribuan dan digunakan oleh banyak angkatan udara, termasuk Indonesia. Menurut laman tni-au.mil.id , setelah pengakuan kedaulatan, Indonesia menerima hibah sejumlah pesawat Mustang dari Belanda. Di lingkungan AURI, P-51 Mustang ditempatkan di satuan tempur buru sergap Skuadron ke-3 yang bermarkas di Pangkalan Udara Cililitan, Jakarta Timur. Sebanyak 50 pesawat Mustang yang tersedia ternyata tidak sebanding dengan pilot tempur yang dimilki AURI. Wajar saja jika para penerbang Skuadron ke- 3 suka-suka saja berganti-ganti pesawat karena Mustang tidak boleh terlalu lama didiamkan. “Dulu dari Pangkalan Halim kami suka terbang dengan Mustang ke berbagai pangkalan di Jawa Tengah atau Bandung hanya untuk beli sate atau es kopyor,” ujar Ashadi Tjahjadi, salah seorang penerbang tempur Skadron III dalam Pahlawan Dirgantara: Peranan Mustang dalam Operasi Militer di Indonesia suntingan Soemakno Iswadi. Ashadi mengisahkan ruang tempat peluru yang ada di pesawat sering dikosongkan oleh para penerbang Mustang kalau sedang tidak bertempur. Ruang kosong itu kemudian kerap kali dijadikan tempat untuk mengangkut bermacam-macam barang, mulai dari beras sampai ayam kampung. “Waktu istri saya ngidam , terpaksa saya harus terbang dengan Mustang ke Bandung padahal keluarga tinggal di Polonia Medan hanya untuk membeli tahu Bandung,” kenang Ashadi. Kendati punya tingkah dan kelakuan unik demikian, pilot tempur Mustang AURI ini dikenal lihai dalam manuver di udara. Beberapa penerbangnya seperti Leo Wattimena, Roesmin Noerjadin, Ignatius Dewanto, Mulyono, Hadi Sapandi dan Pracoyo, kemudian membentuk tim aerobatik kebanggaan AURI. Merekalah yang menjadi inspirasi bagi penerbang-penerbang AURI berikutnya untuk membentuk tim aerobatik sejenis. “Sehingga tim aerobatik P-51D Mustang dapat dikatakan sebagai perintis atau the pioneer dari tim-tim aerobatik kebanggaan bangsa Indonesia, khususnya TNI Angkatan Udara,” tulis laman tni-au.mil.id . Beberapa di antara para pilot tempur tadi, kelak menjadi tokoh penting ketika AURI membangun angkatan perangnya sehingga menjadi yang terkuat pada dekade 1960. Leo Wattimena menjadi pilot tempur Mustang legendaris yang terjun di berbagai operasi militer. Ignatius Dewanto merupakan penerbang Mustang yang menembak jatuh kapal bomber yang dikendalikan pilot Amerika, Allen Pope. Roesmin Noerjadi menjadi Kepala Staf Angkatan Udara antara 1966 hingga 1969. Ashadi Tjahyadi sendiri menjabat Kepala Staf Angkatan Udara periode 1977-1983.

  • Alarm Perang Dunia Ketiga

    Tanda pagar (tagar) “Perang Dunia Ketiga (PD III)” tengah meramaikan jagat maya beberapa hari belakangan. Beberapa meme bertema sama juga mencuat di sana-sini meski belum menghapus kecemasan akan “alarm” Perang Dunia Ketiga yang bukan isapan jempol belaka. Banyak pengamat militer dan politik, bahkan sejumlah pemimpin dunia, mengkhawatirkan potensi itu selepas serangan drone  Amerika Serikat yang menewaskan petinggi militer Iran paling dihormati, Jenderal Qassem Soleimani, di Baghdad, 3 Januari 2020. Pasalnya, sehari berselang Iran mengibarkan bendera merah sebagai simbol perhitungan. Baik pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei maupun Presiden Iran Hasan Rouhani, sama-sama menjanjikan pembalasan militer, bukan solusi diplomatis. Gawatnya, Presiden Amerika Donald Trump membalas ancaman itu dengan mengatakan, jika Iran bikin perhitungan secara militer, ia bakal hantam balik 52 lokasi penting Iran. Apakah ini bakal jadi pemicu PD III? Atau mungkin PD III malah bakal bermula di Laut Cina Selatan, mengingat situasi di wilayah laut yang dipersengketakan ini juga memanas beberapa tahun belakangan, dengan yang terbaru sengketa RI-RRC di Natuna? Dalam sejarah, potensi pemicu Perang Dunia Ketiga bukan terjadi kali ini saja. Sejak Perang Korea (1950-1953) isu itu terus-menerus muncul menyusul benturan kepentingan di penjuru bumi . Pada 1949, ilmuwan Albert Einstein pernah memperingatkan bahwa jika Perang Dunia Ketiga terjadi, kehidupan umat manusia di muka bumi bakal kembali ke zaman batu mengingat dampak kehancuran yang ditimbulkan oleh senjata nuklir. “Saya tidak tahu dengan senjata apa nantinya Perang Dunia III akan dilancarkan, namun Perang Dunia IV akan dilakukan dengan tongkat kayu dan batu,” ujarnya, dikutip Alice Calaprice dalam The New Quotable Einstein . Berikut empat peristiwa yang nyaris membuka Perang Dunia Ketiga: Krisis Misil Kuba Kapal selam Uni Soviet B-59 di perairan Karibia yang membawa torpedo berhulu ledak nuklir (Foto: nsarchive2.gwu.edu ) Di tengah panasnya situasi saling ancam misil nuklir di Krisis Misil Kuba (16-28 Oktober 1962), Soviet mengirim kapal selam B-59 yang bersenjatakan torpedo berhulu ledak nuklir ke Teluk Marie untuk membangun pangkalan maritim. Namun, kapal selam itu dicegat satu armada AL Amerika yang terdiri dari satu kapal induk USS Randolph dan 11 kapal perusak saat masih di Laut Karibia yang merupakan perairan internasional, 27 Oktober 1962. Tebaran depth charge (bom-dalam) oleh armada AS memaksa B-59 naik ke permukaan. Kapten B-59 Valentin Savitsky yang merasa terprovokasi mengajukan izin melepas torpedo nuklir mereka. Khusus untuk B-59 yang membawa torpedo nuklir, kebijakan AL Soviet menetapkan bahwa izin tersebut baru diberi lampu hijau setelah disetujui tiga komandan di dalam kapal. Selain Savitsky, komandan di B-59 ada Ivan Maslennikov (perwira politik) dan Komodor Vasily Arkhipov (perwira penghubung armada). Arkhipov, satu-satunya yang menentang peluncuran torpedo nuklir, akhirnya memenangkan diskusi tiga komandan B-59. Selain enggan memulai Perang Dunia Ketiga, dia juga berargumen bahwa kondisi baterai B-59 mulai menipis dan mesin pendingin udaranya rusak akibat guncangan ledakan depth-charge . Arkhipov menyelamatkan Amerika dan Soviet dari perang dahsyat setelah Savitsky dan Maslennikov menyetujui keputusan B-59 naik ke permukaan. “Pelajaran dari kejadian ini adalah, seorang perwira Vasily Arkhipov menyelamatkan dunia,” kata Thomas Blanton, direktur arsip keamanan nasional AS, kepada Marion Lloyd, jurnalis suratkabar The Boston Globe , 13 Oktober 2002. “Insiden itu tidak hanya momen paling berbahaya dalam Perang Dingin, namun juga momen paling berbahaya dalam sejarah umat manusia,” ujar Arthur M. Schlesinger Jr., penasihat Presiden Kennedy. Perang India-Pakistan Presiden Amerika Serikat Richard Milhous Nixon (kanan) & pemimpin Uni Soviet Leonid Ilych Brezhnev bertemu pada 1973 setelah dua tahun sebelumnya sepakat tak menyeret Perang India-Pakistan menjadi Perang Dunia Ketiga (Foto: cia.gov ) Bulan Desember baru saja memasuki hari ketiga pada 1971 ketika 11 pangkalan udara (lanud) AU India diserang Pakistan. Serangan yang memulai Perang India-Pakistan yang bergulir hingga 13 hari berikutnya itu merupakan dampak dari Perang Kemerdekaan Pakistan Timur (kini Bangladesh). Skala konfrontasinya makin gendut lantaran India dibekingi Soviet, yang terikat Pakta Persahabatan dan Kerjasama India-Soviet pada Agustus 1971, dan Pakistan disokong Amerika, yang sama-sama tergabung dalam CENTO (Central Treaty Organization). Meski mulanya Soviet dan Amerika hanya memberi dukungan moril dan senjata, eskalasi keterlibatan keduanya meningkat sejak posisi Pakistan di Pakistan Timur mulai melemah dan Pakistan di barat mulai terancam invasi besar India. Presiden Amerika Richard Nixon mengirim Gugus Tugas 74 dari Armada ketujuh AL ke Teluk Benggala pada awal Desember dan dibantu sekutunya, Inggris, yang mengirim kapal induk HMS Eagle . Soviet merespon dengan mengirim dua grup kapal perusak dan dua grup kapal penjelajah ke Samudera Hindia. Situasi itu membuat Amerika dan Soviet bisa benar-benar terlibat pertempuran langsung dan berpotensi memicu Perang Dunia Ketiga. Masing-masing pasukan dari kedua blok itu tinggal menunggu perintah dari pemimpin tertinggi. Meski begitu, Nixon berinisiatif mengontak pemimpin tertinggi Soviet Leonid Brezhnev pada 10 Desember via hotline , jaringan komunikasi khusus yang dibangun sejak Krisis Misil Kuba 1962. “Anda harus menahan agresi India sebisa Anda, di mana Anda punya pengaruh besar karena jika tidak, tindakan-tindakan yang terjadi selanjutnya juga harus Anda tanggung,” kata Nixon kepada Brezhnev, dikutip Richard A. Moss dalam Nixon’s Back Channel to Moscow: Confidential Diplomacy and Détente . Tiga hari berselang, Kremlin baru merespon permintaan Gedung Putih. kremlin akan menanti konfirmasi situasi terbaru di Pakistan Timur. Kremlin juga menegaskan tak sepenuhnya mendukung jika India berencana menginvasi Pakistan di bagian barat. Alhasil tensi antara Amerika dan Soviet mereda, terlepas dari kemenangan India di Dhaka lewat penyerahan tanpa syarat komando militer Pakistan Timur kepada India pada 16 Desember yang berujung berdirinya negara Bangladesh. Perang Yom Kippur Pasukan Mesir kala menyeberangi Kanal Suez jelang Perang Yom Kippur menghadapi Israel (Foto: cia.gov ) Kala Israel dikeroyok negara-negara Arab dalam Perang Yom Kippur (6-25 Oktober 1973), Amerika dan Soviet ikut campur lagi. Armada keenam Amerika pimpinan Laksamana Daniel Murphy, yang membela Israel, dan Skadron Mediterania Soviet pimpinan Laksamana Yevgeni Volubuyev, pendukung negara-negara Arab, hampir bentrok di laut pada 24 Oktober. Kedua armada berhadapan dengan jarak beberapa ratus mil. Amerika sampai meningkatkan status DEFCON atau kondisi pertahanan dari siaga empat menjadi siaga tiga. Menukil Lyle J. Goldstein dan Yuri M. Zhukov dalam jurnal US Naval War College Review yang rilis 2004, kedua pimpinan armada itu bahkan sudah menyiapkan strategi masing-masing jika harus melakoni pertempuran yang bisa memicu Perang Dunia Ketiga itu. “Laksamana Volubuyev punya skenario, mengingat dia kekurangan kekuatan udara, dia merencanakan menyasarkan semua senjatanya ke dua kapal induk sebelum mereka bisa meluncurkan pesawat-pesawatnya. Semua misil, meriam, torpedo, dan roket bakal dimuntahkan total mengingat tak satupun dari mereka akan bertahan jika terjadi serangan udara,” sebut Goldstein dan Zhukov, berdasarkan catatan pribadi kepala staf gabungan skadron Soviet Kapten Yevgeni Semenov. Sementara, Murphy diperintahkan markas staf gabungan Amerika untuk tetap menghindari manuver apapun yang bisa ditafsirkan oleh Rusia atau negara-negara Arab sebagai tindakan keterlibatan langsung pada konflik. Titik balik terjadi ketika Mesir bersedia menerima usul Amerika untuk urung meminta bantuan personil. Hal itu membuat Soviet juga urung terlibat langsung. Amerika pun kembali menurunkan status DEFCON-nya. Potensi konflik akhirnya mendingin setelah terjadi gencatan senjata menyusul dikeluarkannya Resolusi DK PBB 339 yang mengakhiri Perang Yom Kippur. “Kita memang tidak seharusnya menggulirkan Perang Dunia Ketiga,” ungkap Kepala KGB atau Dinas Intelijen Soviet Yuri Andropov, dikutip Abraham Rabinovich dalam The Yom Kippur War: The Epic Encounter that Transformed the Middle East. Insiden Bandara Pristina Pasukan Rusia dan NATO bersama-sama bertindak sebagai penjaga perdamaian usai Perang Kosovo, tak lama setelah meredakan ketegangan Insiden Bandara Pristina (Foto: nato.int ) Baru sehari Perang Kosovo diakhiri lewat Perjanjian Kumanovo pada 11 Juni 1999, sebuah insiden di Bandara Internasional Pristina, Kosovo malah memicu Perang Dunia Ketiga. Gara-garanya, Rusia mengirim 30 kendaraan tempur (ranpur) lapis baja dan 250 serdadu pimpinan Mayjen Viktor Zavarzin untuk menduduki bandara itu sebelum kedatangan pasukan perdamaian NATO. Mendapat kabar bandara diduduki Rusia, Panglima Tertinggi Pasukan NATO asal Amerika Jenderal Wesley Clark pun mengirim pasukan intai gabungan dari unit SAS 22 (Special Air Service 22) Inggris, Brigade Linud ke-5, Brigade Kavaleri ke-4, dan pasukan elit FSK (Forsvarets Spesialkommando) Norwegia. Pasukan itu dipimpin Jenderal Inggris Mike Jackson. Clark yang melihat kubu Rusia jumlahnya lebih sedikit dan tak punya dukungan udara, memerintahkan pengepungan agar pasukan Rusia tak bisa keluar, untuk kemudian dihancurkan. Jackson insyaf bahwa itu sama saja memprovokasi baku tembak. Hasilnya bisa memulai perang baru dengan skala lebih dahsyat. “Saya tidak akan memulai Perang Dunia Ketiga demi Anda,” ungkap Jackson kepada BBC , 9 Maret 2000, kala menentang perintah Clark. “Kami melihat adanya kemungkinan konfrontasi dengan kontingen Rusia yang mungkin bukan cara tepat untuk memulai hubungan dengan pihak Rusia yang akan menjadi bagian dari unit di bawah komando (pasukan perdamaian) saya,” tandasnya. Kesepakatan baru antara Rusia dan NATO terjadi pada awal Juli 1999. Pasukan Rusia tetap beroperasi sebagai tentara penjaga perdamaian di Kosovo bersama NATO, namun bukan di bawah komando NATO.

  • Empat Siti Soendari dalam Sejarah Kaum Putri*

    DI hadapan para hadirin dalam Kongres Perempuan Indonesia Pertama di Mataram, Siti Soendari menyampaikan pidatonya yang amat progresif di masanya. Pidato itu tentang kedudukan perempuan dalam perkawinan. Namun, ada dua Siti Soendari di kongres tersebut. Pertama, Siti Soendari Sudirman dari Putri Budi Sejati, organisasi perempuan di Surabaya. Kedua, Siti Soendari Darmobroto dari organisasi Putri Indonesia. Nama Siti Soendari terbilang jamak di era tersebut. Dalam sejarah Indonesia, ada empat Siti Soendari yang namanya sering disebut. Lantas, Siti Soendari mana yang membawakan pidato progresif dalam kongres tersebut? Siti Soendari Darmobroto Siti Soendari Darmobroto merupakan putri dari Wirio Darmobroto, bangsawan Ponorogo yang bekerja sebagai kepala sekolah. Soendari juga membuka sekolah di Pacitan, Jawa Timur. Namanya banyak disebut dalam sejarah gerakan perempuan. Ia amat peduli pada isu pentingnya pendidikan bagi perempuan. Harry A Poeze mengisahkan dalam Di Negeri Penjajah, Soendari Darmobroto hadir menyuarakan pendidikan bagi para gadis pribumi di Kongres Pengajaran Kolonial Pertama di Den Haag, Agustus 1916. Siti Soendari Darmobroto. (Harry A Poeze,  Di Negeri Penjajah ). Susan Blacburn dalam Women and The State in Modern Indonesia menyebut Soendari Darmobroto inilah yang menjadi kontributor Putri Hindia dan mendirikan Wanito Sworo pada 1913, bukan Soendari istri Mohammad Yamin. Lewat terbitan berbahasa Jawa itulah Soendari menyuarakan ide-idenya tentang kedudukan perempuan dalam masyarakat. Saat kongres perempuan, Soendari Darmobroto hadir mewakili Putri Indonesia yang punya cabang di Bandung, Mataram, dan Surabaya. Pidatonya berjudul “Kewajiban dan Cita-Cita Putri Indonesia” amat progresif, berisi tentang kesetaraan peran lelaki dan perempuan dalam pernikahan. Baca juga:  Keributan di Kongres Perempuan “Sudah lama kaum laki-laki menjadi raja dalam pergaulan hidup dan terkadang juga dalam rumah tangga kita,” kata Soendari dalam pidatonya yang dikutip Susan Blackburn dalam Kongres Perempuan Pertama: Tinjauan Ulang . “Kalau Indonesia ingin maju dan harum, haruslah kita semua berada dalam persamaan dengan kaum laki-laki,” sambungnya. Siti Soendari Sudirman Prestasi penting Soendari Sudirman ialah berhasil menjadi anggota Gemeenteraad (Dewan Kota) Surabaya setelah perjuangan panjang para perempuan pribumi untuk mendapat hak pilih. Soendari merupakan aktivis perempuan yang mendirikan Putri Budi Sejati, organisasi perempuan di Surabaya. Amat sulit menelusuri masa kecil Soendari Sudirman. Ia menikah dengan R. Soedirman, residen Surabaya yang juga wakil pengurus besar Parindra di kota tersebut. Soendari Sudirman merupakan tokoh lama dalam gerakan perempuan. Sama seperti Soendari Darmobroto, Soendari Sudirman juga hadir dalam Kongres Perempuan Indonesia pertama dan menjadi pembicara. Pidato Soendari Sudirman berjudul “Pergerakan Perempuan, Perkawinan, dan Perceraian”. Di masa itu, isu kedudukan perempuan dalam perkawinan sedang jadi fokus pembahasan para aktivis. Tak heran jika mayoritas materi pidato kongres pertama berkutat pada soal perkawinan. Baca juga:  Chailan Si Peliput Kongres Perempuan Pertama Pidatonya membahas tentang nasib perempuan dalam perkawinan sekaligus mengkritik ketiadaan hak perempuan dalam beragam aspek. “Hak menolak, hak bersuara sesuai dengan pendapat sendiri, apalagi hak kawin sesuai dengan kehendak sendiri sebagaimana laki-laki memilih istri yang disukainya, tidak dimiliki kaum perempuan,” kata Soendari dalam pidatonya. Oleh karena itu, organisasi yang dipimpin Soendari, Putri Budi Sejati, bergerak di bidang pemajuan dan pendidikan perempuan. Dalam Konferensi Putri Budi Sejati tahun 1937, Soendari mengatakan bahwa organisasinya tidak ikut dalam soal politik namun memberi kelonggaran pada anggotanya bila ingin bergerak di jalur politik. Soendari Sudirman kemudian diangkat sebagai anggota Dewan Kota Suarabaya pada 1938. Artikel “De Gemeenteraad Van Soerabaia” di De Indische Courant edisiSabtu, 24 September 1938, menyebut pengangkatan Soendari sebagai anggota Dewan Kota Surabaya merupakan momen bersejarah lantaran ia perempuan pertama yang berhasil masuk menjadi anggota Dewan Kota Surabaya. Siti Soendari Adik dr. Soetomo Banyaknya nama Siti Soendari dalam sejarah Indonesia membuat banyak pihak acapkali terkecoh, termasuk Historia . Dalam artikel “Soendari Gigih Lawan Poligami” , Historia membuat kesalahan dengan menggabungkan kisah Siti Soendari Darmobroto dan Soendari adik dr. Soetomo. Soendari adik dr. Soetomo merupakan teman kuliah dan indekos Maria Ullfah saat mengambil jurusan hukum di Universitas Leiden. Semasa kuliah, Soendari mengikuti Perhimpunan Mahasiswa Perempuan Universiats Leiden (Nederlandse Vereeniging voor Vrouwelijke Studenten Leiden, VVSL) dan menjadi anggota Perhimpunan Indoensia (PI). Mulanya, PI hanya wadah untuk berkumpul mahasiswa Indonesia. Namun seiring derasnya gerakan politik di tanah air, PI ikut berpolitik menentang penjajahan Belanda. (Solita Sarwono dan Santo Koesobjono,  Siti Soendari, Adik Bungsu dr. Soetomo). Ia lulus dari Universitas Leiden pada 1934 dan kembali ke tanah air. Soendari kembali tinggal satu kontrakan dengan Maria Ullfah di kawasan Salemba. Di Jakarta, ia bekerja di Departemen Kesehatan Umum dan sempat bergabung dengan Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari). Dalam biografi Siti Soendari, Adik Bungsu dr. Soetomo, disebutkan bahwa Soendari kemudian hari bekerja sebagai direktur Bank Nasional Malang . “Pernah ikut Perwari waktu tinggal di Semarang. Bu Soendari itu bukan tipe orang yang aktif dan tidak menonjol. Kalau kakaknya (Sri Oemiyati) atau Maria Ullfah itu memang aktif dalam kegiatan organisasi,” kata Solita Sarwono dan Santo Koesobjono (anak Soendari) pada Historia. Siti Soendari Istri Mohammad Yamin Siti Soendari Mertoatmodjo, bersama Moh. Yamin (kanan) dan anak mereka. (Sutrisno Kutoyo, Prof. H Muhammad Yamin, S.H). Tak banyak catatan tentang Siti Soendari istri Moh. Yamin. Dalam biografi Mohammad Yamin yang ditulis Sutrisno Kutoyo hanya disebutkan bahwa Yamin memperistri perempuan bangsawan Jawa asal Kadilangu, Demak bernama Siti Soendari Mertoatmodjo. Tahun pernikahan mereka pun tidak jelas. Kutoyo menulis mereka menikah tahun 1934, sumber lain menyebut mereka menikah tahun 1937. Lantaran namanya sama, ada penulis biografi yang mengira Soendari Mertoatmodjo merupakan pendiri Wanito Sworo . Padahal, seperti disinggung sebelumnya, pendiri Wanito Sworo merupakan Siti Soendari Darmobroto dari Jawa Timur. * Artikel ini merupakan koreksi atas artikel berjudul “Soendari Gigih Lawan Poligami” . Dalam artikel tersebut, Historia melakukan kesalahan berupa tercampurnya kisah Soendari Darmobroto dan adik dr. Soetomo. Artikel ini ditulis dengan menelusuri nama-nama Soendari dalam sejarah Indonesia.

  • ​​​​​​​Jejak Cina di Natuna

    Saling klaim kepemilikan wilayah laut kembali terjadi. Kali ini persengketaan menimpa wilayah Laut Natuna, Kepulauan Riau. Pemerintah RI sungguh dibuat kesal oleh sikap Cina yang kukuh mengakui Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Natuna sebagai bagian dari wilayah Laut Cina Selatan. Padahal Pengadilan Internasional dalam United Nations Convention of the Law of the Sea (UNCLOS) menyebut “Nine Dash Line” milik Cina yang telah ada sejak 1947 tidak memiliki dasar historis yang kuat. Pemerintah Indonesia tentu menolak dengan tegas klaim Cina atas Natuna itu. Pemerintah berpegang pada dua pijakan hukum untuk membantah klaim itu: Konvensi UNCLOS tahun 1982 dan putusan Pengadilan Arbitrase Laut China Selatan saat menyelesaikan sengketa Filipina pada 2016. Akibat adanya perseteruan ini, masyarakat cukup dibuat panik. Terutama untuk para nelayan yang sehari-harinya melaut di sana. Saling lempar tanggung jawab juga terjadi di tubuh pemerintah. Diberitakan detik.com , Ketua DPR RI Puan Maharani meminta pemerintah tegas dalam menindak kapal-kapal Cina yang masuk ke Natuna. Namun ia juga mengingatkan agar jalan damai tetap dikedepankan dalam menyelesaikan persoalan ini. “Pemerintah RI harus bertindak tegas untuk mendesak kapal-kapal Republik Rakyat Tiongkok segera meninggalkan Laut Natuna Utara dengan mengedepankan diplomasi damai,” kata Puan. Lantas apakah klaim secara historis Cina terhadap wilayah Natuna sudah tepat? Tentunya perlu kajian mendalam dari para sejarawan untuk membenarkannya. Namun  sejarah mencatat  jejak orang-orang Cina di Natuna memang sudah ada sejak dahulu kala. Perjalanan ke Natuna Catatan pertama perjalanan orang-orang Cina ke Nusantara diketahui baru muncul pada abad ke-5 M. Melalui seorang biksu bernama Faxian, jejak para pelaut dari daratan Asia itu terekam dengan cukup baik. Meski dalam tulisan sang biksu, Catatan Negara-Negara Budhis , tidak terlalu lengkap membahas tentang keadaan di Nusantara, tetapi narasinya itu berhasil membuka jalan menuju ekspedisi yang lebih besar dikemudian hari. Menurut peneliti dari Pusat Studi Cina di Universitas Indonesia Nurni Wahyu Wuryandari, bangsa Tionghoa baru secara resmi mengunjungi Nusantara pada masa Dinasti Tang abad ke-7 M. Saat itu letak geografis Nusantara, khususnya Jawa, sudah tercatat dengan baik. Sehingga hubungan kerajaan-kerajaan di Nusantara dengan daratan Cina perlahan mulai terjalin. “Saya curiga pelaut Tionghoa belum berlayar sendiri. Tetapi pakai perahu atau kapal besar milik India. Sebab Faxian tidak melaut dengan kapal Tiongkok, tapi pakai kapal dagang India. Mulai dari Dinasti Tang mungkin sudah pakai kapal sendiri (kapal Tiongkok). Cuma kita tidak tahu seberapa besar armadanya,” ucap Nurni kepada  historia. Sementara itu, W.P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa, menyebut jika para pelaut Cina melakukan perjalanan ke Nusantara melalui rute laut di wilayah Samudra Selatan. Total perjalanan menuju perairan Nusantara kurang lebih memakan waktu dua bulan, tergantung keadaan cuaca dan angin selama pelayaran berlangsung. Melalui catatan para pelaut China masa Dinasti Sung (960-1279 M) yang dikumpulkan Groeneveldt, diketahui bahwa mereka sudah melakukan perjalanan ke banyak tempat di Nusantara. Pusat kegiatan memang ada di Jawa, tetapi hubungan dengan daerah lain tidak pernah luput dari perhatian para pelaut Cina. Dalam hal ini apakah Natuna menjadi salah satu tempat yang mereka kunjungi? Kemungkinannya cukup besar, mengingat perairan Natuna masuk dalam rute perjalanan para pelaut Cina ini ketika berada di Nusantara. Jika melihat letak wilayah tersebut, bisa jadi Natuna digunakan sebagai tempat singgah para pedagang yang akan berlayar menuju pantai Sumatera, Kalimantan dan Semenanjung Malaya. Perkiraan itu diperkuat oleh penelitian Groneveldt tentang rute perjalanan pelaut Dinasti Sung antara abad ke-11 sampai abad ke-13. “Jarak dari ibukota ke utara (Kalimantan) memakan waktu 15 hari. Kemudian akan sampai di pantai timur Sumatera 15 hari lagi. Tujuh hari kemudian sampai di Kora, wilayah barat Semenanjung Malaya. Akhirnya tujuh hari lagi menuju Chaili-ting (mungkin sebuah pulau yang terletak di mulut Teluk Siam, di jalan menuju tanah Jiaozhi, Annam bagian utara) dan menuju Guangzhou." Jika rute tersebut terbukti digunakan para pelaut Cina, maka semakin jelas jika Natuna masuk di dalamnya. Lantas apakah ada bukti-bukti sejarah tentang keberadaan koloni dari daratan Asia ini? Tentu ada. Peninggalan di Natuna Dalam Buku Hari Jadi Kota Ranai  yang dikeluarkan pemerintah Kabupaten Natuna, disebutkan bahwa Pulau Bungaran, salah satu wilayah administrasi Natuna, telah menjadi tempat persinggahan kapal-kapal yang akan merapat ke Sriwijaya dari Laut Cina Selatan. Sejak permulaan abad ke-13 rute ini ramai digunakan. Sejumlah kegiatan dagang juga cukup berkembang di sana. Peningkatan aktifitas dagang di wilayah pantai timur Sumatera dan perairan Malaka berimbas pada banyaknya bangsa asing masuk ke wilayah Kepulauan Riau, termasuk perairan Natuna. Kegiatan kemaritiman tersebut tentu meninggalkan jejak kebudayaan yang tidak bisa dianggap remeh. Ada banyak kemungkinan yang terjadi. Salah satunya peninggalan arkeologis berupa benda-benda di sekitar perairan Natuna. Berdasarkan anggapan itulah pada 2015, Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melakukan survei arkeologi di sekitar Teluk Buton. Survei tersebut merupakan tindak lanjut atas laporan-laporan mengenai penemuan pecahan keramik di sekitar situs. Ditambah pengumpulan data secara pustaka juga menjadi acuan tim survei dalam menentukan titik koordinat penggalian. Dalam laporannya, termuat Di Balik Peradaban Keramik Natuna , tim survei berhasil mengumpulkan bermacam-macam peninggalan dari berbagai ukuran, berupa pecahan keramik, koin logam, tembikar dan benda-benda lain. Jumlahnya pun tidak main-main. Di pantai-pantai sekitar Natuna, khususnya Situs Karang Cina, ditemukan banyak pecahan keramik Cina. “Keramik tersebut sebagian besar berasal dari Cina Daratan. Ada yang berasal dari masa Ching, Ming, Yuan, bahkan dari masa Song. Dapat dibayangkan berapa lama Pulau Natuna yang hampir tidak terlihat dalam peta ini begitu diperhatikan oleh para pelaut Asia,” kata Ivan Evendi, tim Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman. Temuan-temuan itu mempertegas peran Natuna dalam perlintasan niaga di masa lalu, utamanya periode abad ke-9 hingga ke-20. Arkeolog Naniek Harkantiningsih dalam Natuna: Jalur Pelayaran dan Perdagangan Jarak Jauh menyebut jika beberapa lokasi juga mengindikasikan adanya bekas pelabuhan singgah di perairan Natuna yang menghubungkan pelabuhan-pelabuhan timur dan barat. “Melalui identifikasi keramik dapat disimpulkan bahwa Pulau Natuna dan sekitarnya secara intensif telah dihuni secara bersinambung oleh penduduk yang terkait dengan perniagaan global, posisi dan potensinya  berada di persimpangan, menjadikan pulau ini pernah memegang peran penting, mungkin berkaitan dengan jaringan pelayaran dan perniagaan kerajaan besar,” kata Naniek.

  • Cara Penguasa Jawa Melawan Tiongkok

    Sejak mendirikan Dinasti Yuan, Khubilai Khan mulai menebar kekuasannya.Ia menuntut bakti dari penguasa-penguasa yang sebelumnya mengakui kekuasaan kaisar-kaisar Dinasti Sung. Jika menolak, mereka akan diserang. Salah satunya penguasa di Jawa. Khubilai Khan mengirim utusan ke Jawapada 1280, 1282, dan 1286.Raja Singhasari, Kertanegara dengan percaya diri merusak muka utusan terakhir, Meng Qi pada 1289, karenatelah menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara dan Asia Tenggara. Sebagaimana disebut dalam Kakawin Nagarakrtagama, bahwa seluruh Jawa, Sunda, dan Madura tunduk di bawah kekuasaan Kertanegara. Ia mengirim ekspedisi militer ke Malayu, menguasai Pahang di Semenanjung Malayu, serta menaklukkan Bali dan memboyong rajanya sebagai tawanan pada 1284. Ia juga menguasai Gurun, pulau di wilayah timur Nusantara, dan Bakulapura atau Tanjungpura di barat daya Kalimantan. Dalam Prasasti Camundi dari 1292 disebutkan Kertanegara puas dengan keme na ngan-kemenangannya di semua tempat. Ia menjadi payung pelindung seluruh dwipantara atau Nusantara. Sejarawan Malang, Suwardono dalam Krtanegara dan Misteri Candi Jawi, menjelaskan Prasasti Camundi memberikan petunjuk tentang hubungan Kertanegara dengan kawasan Asia Tenggara bagian selatan dan kepulauan. Itu pula yang dimaksud dalam Nagarakrtagama. Menurut Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang, walaupun dalam Nagarakrtagama disebut menundukkan bukan berarti ada pertempuran. "Kalau ada (pertempuran) itu akan mempermudah Mongol masuk, karena energi berkurang," ujarnya. Khususnya ekspedisi ke Malayu pada 1275. Untuk mempererat hubungan dengan Malayu , pada 1286 Kertanegara mengirimkan hadiah berupa arca Buddha Amoghapasa. Penempatannya di Dharmasraya dipimpin oleh empat pejabat tinggi dari Jawa. Menurut Dwi itu bukan ekspedisi militer melainkan untuk merekut mitra sejajar. "Menurut saya ini semacam MoU ( memorandum of understanding ). Jika dua kekuatan itu berkoalisi, diharapkan dapat mengontrol Selat Malaka dan menghadapi musuh bersama,khususnya menghadapi serangan Mongol," kata Dwi. Selain di kawasan Nusantara, Kertanegara juga bersekutu dengan Kerajaan Champa. Tujuannya sama: untuk membendung serangan bangsa Tartar, sebutan Jawa untuk Mongol. Dalam Prasasti Po Sah di dekat Phanrang dari 1306 disebutkan seorang permaisuri Raja Champa adalah putri dari Jawa bernama Tapasi. Adik Kertanegara itu menikah dengan Raja Jaya Simhawarman III (1287-1307). Kerja sama itu menguntungkan bagi Jawa ketika Kubilai Khan mengirim pasukan pada 1292 untuk menghukum Kertanegara. Raja Jaya Singhawarman III tidak mengizinkan mereka menurunkan jangkar di pelabuhan Champa untuk mengisi perbekalan. Apalagi s elama berlayar ke Jawa, mereka menghadapi banyak kesulitan. Shi Bi, salah satu komandan ekspedisi dalam catatannya di Sejarah Dinasti Yuan, menyebut angin selama pelayaran bertiup sangat kencang. Lautan begitu bergelombang membuat kapal terombang-ambing. Para prajurit pun tak makan selama berhari-hari. Ditambah lagi, menurut W.P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa , armada Mongol yang berlayar dari Quanzhou di Fujian itu tidak mengikuti rute biasanya yang menyusuri pesisir Malaka dan Sumatra. Mereka justru berlayar di tengah lautan dan dengan berani atau mungkin nekat mengambil rute lurus terdekat menuju tujuannya. Akibatnya, dari ribuan kapal , yang berhasil sampai Jawa Timur hanya sebagian kecilnya. Banyak yang tewas. Baik karena serangan bajak laut, maupun penyakit.  " Mongol itu tidak jago berlayar. Apalagi paling sulit melintasi Laut Cina Selatan," kata Dwi. Supremasi Tiongkok Banyak yang yakin ekspedisi Khubilai Khan ke Jawa sebenarnya demi menguasai perdagangan laut. Namun, David W. Bade, ahli perpustakaan di Joseph Regenstein Library Universitas Chicago, dalam Of Palm Wine, Women and War: The Mongolian Naval Expedition to Java in the 13th Century , menjelaskan bahwa saat itu Jawa menjadi negara terakhir di selatan Tiongkok yang menolak tunduk. Pengaruh Jawa semakin besar setelah mengirim utusan ke Malayu dalam ekspedisi Pamalayu. Apalagi pengaruh Sriwijaya,yang berhubungan baik dengan Tiongkok, sudah pudar. "Kemungkinan invasi Mongol ke Jawa hanya karena hasrat Khubilai Khan mengirimkan angkatan lautnya dan juga amarahnya setelah Meng Qi dilukai, masih terus dipertanyakan,"  tulis Bade. Morris Rossabi, sejarawan Queens College dan Columbia University, salah satu yang meragukan ekspedisi Mongol ke Jawa hanya untuk menghukum orang asing yang melukai utusannya. "Sementara banyak sekali yang harus dipertaruhkan dalam ekspedisi ini," tulis Rossabi dalam Khubilai Khan: His Life and Times . Jika dilihat secara umum, menurut Groeneveldt, penguasa di Tiongkok selalu digerakkan oleh karakter superioritas mereka. Kala itu, supremasi Tiongkok terhadap negara-negara lain adalah dogma nasional yang begitu tertanam, bahwa kaisar ditunjuk Langit untuk menjadi penguasa dunia. Sejak masa awal sejarah Tiongkok, mereka selalu mencatat kedatangan penguasa asing yang memberikan penghormatan kepada kaisar. Para penguasa dari negara - negara yang lebih kecil di Asia sering melakukan perdagangan hingga ke Tiongkok , sambil membawa hadiah untuk mengambil hati penguasa nya .  Bahkan, c ara ini diikuti para pedagang swasta yang menyamar sebagai utusan dari negeri jauh. Dengan memberikan sedikit barang dagangan, mereka berharap mendapat fasilitas perdagangan atau akses hingga ke ibu kota. "Keuntungan utama hubungan ini adalah kesempatan bagi para penguasa di negara-negara lain agar bisa berdagang di Tiongkok," tulis Groeneveldt. Sejak dulu Tiongkok dipandang tinggi, khususnya oleh negara-negara di Asia. Budayanya tinggi, istananya mewah dan luas. Kekayannya membuat kagum bangsa-bangsa di Asia. Karenanya para penguasa merasa mendapat kehormatan jika bisa menjalin hubungan dengan Tiongkok. Sementara bagi kaisar, semua negara harus tunduk kepada bangsa yang dipilih Langit, yaitu Tiongkok. Jika ada yang memberikan hadiah (upeti), walaupun sedikit harus diterima dengan tangan terbuka dan dibantu sesuai dengan kebutuhannya. "Bangsa Tionghoa bahkan menjadikan upaya kontak dagang biasa menjadi pengakuan atas superioritas mereka," tulis Groeneveldt. Terlebih lagi kekuasaan Tiongkok di era Dinasti Mongol. Menurut sejarawan Inggris, John Man dalam Kubilai Khan, ambisi utama Sang Khan adalah membuat dunia mengakui kejayaannya. "Tak ada alasan khusus kenapa harus menaklukkan suatu negara. Ia hanya harus melakukannya," tulis John Man. Oleh karena itu, menurut Suwardono, Kertanegara berusaha untuk menyatukan seluruh Nusantara karena adanya bahaya dari luar yang mengancam, yaitu pasukan Mongol .

  • Asal-Usul Marga Sinaga

    SINAGA adalah salah satu marga tertua yang ada dalam suku Batak Toba. Asalnya dari Desa Urat, Pulau Samosir namun marga ini umum pula dikenal di Indonesia. Tidak sedikit pula keturunan Sinaga yang hari ini berada di penjuru dunia. Bila dijejaki dari garis leluhur, maka marga Sinaga keturunan Si Raja Batak generasi kelima. Dari Si Raja Batak memperanakkan Guru Tateabulan. Guru Tateabulan memperanakkan Tuan Sariburaja. Tuan Sariburaja memperanakkan Raja Lontung. Si Raja Lontung inilah yang menjadi ayahnya Sinaga. Si Raja Lontung memiliki sembilan anak yang terdiri dari 7 laki-laki dan 2 perempuan ( boru ). Mereka antara lain: Toga Sinaga, Tuan Situmorang, Toga Pandiangan, Toga Nainggolan, Toga Simatupang, Toga Aritonang, Toga Siregar, Siboru Amak Pandan, dan Siboru Panggabean. Menurut E.H. Tambunan dalam Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan Kebudayaannya , keturunan Lontung kebanyakan tinggal di Samosir. Keturunan Lontung kemudian menyebar memenuhi Tanah Batak. “Hampir di seluruh Tanah Batak terdapat keturunan Lontung, bermarga Sinaga,” tulis Tambunan. Dalam beberapa buku tarombo  (silsilah), sebagaimana dicatat antropolog Richard Sinaga dalam Silsilah Marga-Marga Batak , ada yang menempatkan Situmorang sebagai keturunan Lontung yang pertama sedangkan Sinaga pada urutan kedua. Menurut cerita orang tua turun-temurun, anak sulung Si Raja Lontung adalah Sinaga dan anak kedua Situmorang. Setelah dewasa, Situmorang lebih dulu kawin dengan Boru Limbong sementara adik Boru Limbong ini diperistri oleh Sinaga. “Karena itu Situmorang lazim disebut haha ni parrajaon  (menjadi abang karena istrinya kakak dari istri Sinaga) dan Sinaga disebut haha ni partubu  (abang karena lebih dahulu lahir),” tulis Richard Sinaga. Sinaga mempunyai 3 anak laki-laki antara lain: Raja Bonor, Raja Ratus, dan Raja Uruk. Masing-masing dari mereka mempunyai tiga anak laki-laki. Raja Bonor yang kemudian disebut Sinaga Bonor memperanakkan Raja Pande, Tiang Ditonga, dan Suhutnihuta. Si Raja Ratus yang kemudian disebut Sinaga Ratus memperanakkan Ratus Nagodang, Si Tinggi, dan Si Ongko. Raja Uruk yang kemudian disebut Sinaga Uruk memperanakan Sihatahutan, Barita Raja, dan Datu Hurung. Dalam Toba Na Sae: Sejarah Lembaga Sosial Politik Abad XIII-XX , budayawan Sitor Situmorang  mencatat persaingan antara marga Sinaga dan Situmorang pada masa Si Singamangaraja XII. Salah satu keturunan Sinaga bernama Ompu Palti Raja –menurut Belanda– adalah musuh bebuyutan Sisingamangaraja. Pada masa penyerangan Belanda, Ompu Paltiraja bersikap netral bahkan bermusuhan dengan Sisingamangaraja. Menurut Sitor, meski sama-sama keturunan Lontung, Situmorang dan Sinaga memainkan peran kultural dan politik yang berbeda. Marga Situmorang disebutkan sebagai bride giver  karena Sisingmanagaraja selalu beristrikan boru Situmorang. Sementara Sinaga disebut oleh Sitor sebagai bride taker  bagi dinasti Sisingamangaraja. “Dari silsilah diketahui bahwa relasi antara kedua marga kakak-beradik dalam lingkungan Lontung itu ditandai persaingan intern, yaitu perebutan hegemoni dalam organisasi parbaringin (agama Batak) di semua bius  Lontung,” tulis Sitor. Selain itu, diterangkan Sitor antara marga Sinaga dan Situmorang kerap bersaing mengenai siapa yang berhak menjadi Pandita Bolon  (pendeta utama) yang mempimpin organisasi parbaringin dalam bius (paguyuban meliputi wilayah tertentu) mereka. Sampai saat ini semua keturunan Toga Sinaga masih tetap satu marga yaitu marga Sinaga. Lain halnya dengan saudara-saudaranya yang enam, telah berkembang menjadi beberapa marga. Semua keturunan Toga Sinaga terhimpun dalam satu ikatan yang diberi nama: Parsadaan Pomparan Toga Sinaga dohot Boruna (PPTSB). Persatuan ini ada di tingkat kecamatan, kabupaten, provinsi bahkan tingkat nasional. Pada 1966 PPTSB membangun tugu Toga Sinaga di Desa Urat, Samosir dan diresmikan pada Juni 1970. Di tanah air, beberapa tokoh bermarga Sinaga tercatat sebagai tokoh publik. Mereka antara lain Anicetus Bongsu Antonius Sinaga (uskup agung), Saktiawan dan Ferdinand Sinaga  (pesepakbola), Restu dan Gita Sinaga  (artis peran), Indra Sinaga (vokalis band Lyla), Narova Morina Sinaga  (vokalis band Geisha), Dolorosa Sinaga  (perupa), dan yang lainnya .

bottom of page