top of page

Hasil pencarian

9587 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Pasang-Surut Hubungan Bali dengan Bangsa Asing

    HINGGA kini, Bali masih menjadi ujung tombak pariwisata Indonesia. Bagi warga asing tak lengkap rasanya jika mengunjungi Indonesia tanpa menikmati suasana Bali. Gelar salah satu ‘surga dunia’ pun tak ayal disematkan kepada pulau di sebelah timur Jawa tersebut. Data dari Badan Pusat Statistik Provinsi Bali menunjukan bahwa tiap tahunnya jumlah kunjungan pelancong asing ke Bali selalu meningkat. Hingga Juli 2019, dilansir bali.bps.go.id , telah ada 3,4 juta kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali. Walau menjadi destinasi terfavorit di Indonesia, tidak semerta-merta menjadikan Bali sebagai daerah yang aman. Dari daftar kota-kota teraman tahun 2019 yang dipublikasikan Majalah CEOWORLD, di situs resminya ceoworld.biz , bulan Agustus lalu, Bali menempati urutan 212 dari 334 kota di dunia. Namun sejarah bangsa ini mencatat rakyat Bali abad ke-16 hingga abad ke-18 merupakan sosok masyarakat yang ramah. Jaminan perlindungan dan keamanan didapatkan oleh orang-orang Belanda dan Inggris yang berkunjung ke sana. Mereka membuka selebar-lebarnya kesempatan bagi para penjelajah itu membangun kehidupannya di Pulau Dewata. Hubungan Erat Kontak pertama rakyat Bali dengan bangsa asing dimulai sekitar abad ke-16. Kapal penjelajah Belanda Cornelis de Houtman tercatat merapat di pantai Bali pada 25 Januari 1597. Selama 30 hari lamanya de Houtman beserta anak buahnya menjelajah sebagian besar pulau itu. Ia lalu mencatat semua hal yang dilihat dan didengarnya dalam sebuah laporan perjalanan, yang kemudian oleh peneliti Belanda Cornelis Lekerkerker dalam Bali en Lombok: Overzicht der Litteratuur Omtrent deze Elianden tot einde 1919 , disebut Bali Verslag . Menurut Made Sutaba, dkk. dalam Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Bali , Cornelis de Houtman dan awak kapalnya diterima dalam suasana yang baik oleh masyarakat Bali. Hal itu tentu membuat de Houtman terkejut. Mengingat selama ini kedatangannya selalu mendapat penolakan dari masyarakat di daerah-daerah yang ia singgahi. “Kunjungan Cornelis de Houtman di beberapa tempat sebelumnya boleh dikatakan kurang berhasil. Ia disambut dengan penuh kecurigaan oleh masyarakat setempat sehingga menimbulkan beberapa insiden,” tulis Sutaba. Keramahan penguasa serta rakyat Bali diterima baik oleh de Houtman. Ia lalu mengutus dua orang bawahannya, Lintsgentsz dan Manuel Rodenberch untuk menyampaikan rasa hormat dan memberikan sejumlah buah tangan kepada Raja Gelgel. Dalam Sedjarah Hukum Internasional di Bali dan Lombok: Pertjobaan sebuah Studi Hukum Internasional Regional di Indonesia , E. Utrecht menyebut jika tindakan de Houtman itu merupakan percobaan pertama Belanda menjalin hubungan diplomasi dengan salah seorang raja di Pulau Bali. “Namun kesempatan ini rupanya belum dimanfaatkan untuk mengadakan suatu traktat atau kontrak antara kekuatan politik Belanda dengan salah seorang raja Bali,” ungkap Sutaba. Pada saat de Houtman meninggalkan Bali, Manuel Rodenberch dan seorang kawannya, Yacob Claess, tidak turut serta. Keduanya memutuskan untuk tinggal lebih lama di Bali. Mereka bermaksud meneliti masyarakat di sana dan membuat laporan yang lebih rinci mengenai kehidupan di Bali. Pada 1601, Belanda singgah di Bali untuk kedua kalinya. Kali ini Cornelis van Heemskerck yang dipercaya memegang kendali kapal. Meski beda pimpinan, kedatangan orang-orang Belanda ini tetap disambut dengan hangat oleh masyarakat Bali. Menurut Utrecht kedatangan Heemskerck merupakan tindak lanjut dari hubungan sebelumnya. Dalam kesempatan ini Heemskerck menyampaikan surat dan hadiah dari Pangeran Maurits (memerintah 1590-1625) untuk penguasa Bali. Sebagai balasan, raja Bali menghadiahi Heemskerck seorang gadis bangsawan Bali. Walau mulanya sang kapten menolak, namun berkat saran dari Rodenberch akhirnya diterima pula. “Sebab bila hadiah itu ditolak berarti suatu penghinaan kepada raja Bali, sehingga dapat menimbulkan keretakan dalam hubungan yang telah terjalin baik itu.” Mengalami Keretakan Seiring waktu berjalan, hubungan Bali dengan orang-orang Eropa semakin erat terjalin, terutama sekitar abad ke-17 dan abad ke-18. Hal itu disebabkan oleh peningkatan jumlah perdagangan budak di Bali. Umumnya para budak ini dikirim ke tempat-tempat strategis yang menjadi pusat pemerintahan Belanda, seperti Batavia, Maluku, dan Sumatera. Di kalangan orang-orang Eropa budak dari Bali cukup terkenal. Budak laki-lakinya dikenal memiliki kesetiaan yang besar dan keinginan belajar yang tinggi. Sementara budak perempuan Bali dikenal sebagai pengasuh yang baik, serta pandai dalam melakukan perawatan kesehatan. Setelah H.W. Daendels (1808--1811) menduduki jabatan gubernur jenderal, Belanda memulai serangkaian penguasaan di Nusantara, tidak terkecuali Bali. Daendels berusaha mendirikan pemerintahan kolonial di sana. Ia memulainya dengan mengirim Van den Bahl sebagai konsul dan pengawas perdagangan di Bali. Ketika Sir Thomas Stamford Raffles (1811-1816) mengambil alih kekuasaan, peraturan perdagangan budak di Bali dihapuskan. Bukannya senang, hal itu malah mendapat reaksi keras dari raja Buleleng dan Karangasem. Dua kerajaan itu lalu melakukan serangan terhadap orang-orang Inggris di Banyuwangi. Mengetahui penyerangan itu, Raffles merespons balik dengan menundukkan Buleleng dan Karangasem. Setelah itu kerajaan-kerajaan di Bali menyutujui gagasan penghapusan perbudakan di wilayahnya. “Namun demikian rupanya perdagangan budak masih berlangsung terutama oleh orang-orang Cina,” ungkap Utrecht. Tahun 1817 rombongan Belanda pimpinan Van den Broek tiba di Bali. Ia bermaksud mendirikan pangkalan dagang di sana. Namun, usahanya itu mengalami kegagalan karena sikap raja-raja Bali yang mulai berubah terhadap orang-orang Eropa. Kesalahpahaman yang sebelumnya jarang terjadi pun kini menjadi hal yang lumrah, dan kecurigaan-kecurigaan terhadap orang-orang Eropa mulai menumpuk di dalam diri rakyat Bali. Tahun 1824, melalui perantara pedagang Arab, Belanda berusaha membujuk raja-raja Bali membuka wilayahnya untuk perdagangan mereka. Tawaran tersebut ternyata ditolak oleh sebagian besar raja-raja Bali. Pada 1827, J.S. Wetters berhasil mendapatkan kepercayaan dari para penguasa Bali. Ia pun akhirnya mendapat kepercayaan untuk mengatur perdagangan di pulau itu. Rupanya kelonggaran dari penguasa Bali itu dimanfaatkan oleh Belanda untuk memperlemah hukum di Bali. Mereka mencoba menanamkan kekuasaan mereka secara mutlak di Bali. Namun, berbagai usaha pelemahan itu selalu berujung kegagalan. “Pada saat itu Bali hanya mengenal satu hukum saja, yaitu hukuman mati. Di samping itu kesewenang-wenangan seorang raja tidak dapat dirubah sedikitpun,” tulis Sutaba. Puncak retaknya hubungan Belanda dengan rakyat Bali terjadi saat para kolonial itu mencampuri urusan internal kerajaan-kerajaan di Bali. Pemerintah Belanda sebelumnya telah memutuskan untuk memperoleh pengaruh politik di sana. Bagi mereka cara terbaik untuk melakukannya hanyalah dengan turut ambil bagian di dalam pemerintahan raja-raja Bali. Sebagian penguasa dan rakyat yang tidak menghendaki hal itu terjadi akhirnya menentang keras tindakan orang-orang Belanda. “Usaha Belanda untuk ikut berperan dalam pemerintahan kerajaan Buleleng tampak dalam berbagai perjanjian. Tujuan sebenarnya ialah untuk menjerat secara diplomatis supaya Bali dapat dijajah dengan mudah tanpa mempergunakan intervensi bersenjata karena yang terakhir ini akan memerlukan biaya dan kurban yang besar,” tulis Sutaba.

  • Keluar dari Bayang-Bayang Liem Swie King

    HARIYANTO Arbi jadi satu dari sekian legenda bulutangkis Indonesia yang turut mengernyitkan dahi kala mendengar kabar Audisi PB Djarum hendak dihentikan mulai 2020. Ia sendiri jebolan PB Djarum dan berkat didikan klub yang lahir di Kudus, Jawa Tengah tersebut ia jadi termasuk eks atlet yang bergelimang gelar dunia. “Kami tiga bersaudara yg sangat berhutang budi dengan @PBDjarum berkat didikannya Bendera Merah Putih bisa kami kibarkan di manca negara. Sudah 50 tahun tak henti2nya @PBDjarum membina juara2 baru. Tetap semangat PB Djarum demi Indonesia Juara!!” cuitnya di akun Twitter -nya @arbismash . Darah Olahragawan Lahir dari keluarga olahragawan pada 21 Januari 1972 di Kudus, langkah Hariyanto lurus mengikuti jejak kedua kakaknya, Hastomo dan Eddy. Hastomo merupakan salah satu atlet binaan PB Djarum angkatan pertama sebagaimana maestro Liem Swie King. Hariyanto dan kedua kakaknya merupakan putra salah satu jagoan bulutangkis lokal, Ang Tjin Bik. Ang-lah yang memperkenalkan bulutangkis pada Hariyanto dan kedua kakaknya. Hariyanto mengikuti jejak Hastomo dan Eddy menseriusi bulutangkis dengan masuk PB Djarum. Ia masuk asrama Kaliputu pada 1982. “Paling dirindukan ya, kehidupan di asrama. Ada saja kegiatan. Kalau pas enggak latihan, bisa main bola, kadang tenis meja bareng-bareng. Begitu juga tradisi lari ke (bukit) Colo dan Kaliyitno. Lari jaraknya kira-kira 18 kilometer dari asrama,” kata Hariyanto mengenang, kala ditemui Historia di kantor Flypower, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Hariyanto Arbi di kantor Flypower (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Dalam biografi Hariyanto Arbi, Smash 100 Watt, wartawan senior Broto Happy Wondomisnowo mencatat, kecemerlangan Hariyanto sudah tampak sejak usia pelajar. Saat mengikuti Kejuaraan Pelajar se-Asia di Hongkong pada 1986, ia andil dalam membawa pulang gelar juara beregu. Prestasi Hariyanto dilanjutkan dengan gelar juara Invitasi Bulutangkis Dunia Yunior tiga tahun berselang. Era 1980-an menandai kemonceran Hariyanto di tingkat yunior. Di era 1990-an, namanya sudah melesat di level senior. Dari yang mulanya kalahan dari para seniornya seperti Joko Supriyanto, Ardy Bernardus Wiranata hingga Eddy Kurniawan, Hariyanto bangkit berkat dorongan mental dari para mentornya di PB Djarum. “Waktu itu memang sempat ada beberapa pelatih di pelatnas (PBSI, red. ) pernah ngomong bahwa prestasi saya sudah mentok. Biasanya yang bisa menguatkan itu orangtua dan klub. Jadi PB Djarum benar-benar membantu saya. Kalau lagi kesepian karena saya enggak ada sepantarannya di asrama PBSI, saya ‘ngungsi’ ke asrama PB Djarum Jakarta,” sambung Hariyanto. Bayang-Bayang Liem Swie King Perlahan tapi pasti, Hariyanto bangkit. Ia membuktikannya dengan menggamit gelar All England 1993. Gelar prestisius pertama itu tak pernah lekang dari ingatannya itu ia pertahankan di tahun berikutnya. “Kalau dulu kan PB Djarum identiknya dengan All England ya. Jadi waktu juara awal All England itu yang membanggakan banget. Jadi kalau zaman dulu kan Liem Swie King patokannya. Kalau sudah juara All England seperti dia, itu sudah luar biasa sekali,” lanjutnya. Lewat gaya permainannya yang atraktif dengan jumping smash -nya, tak ayal ia mulai disebut-sebut sebagai reinkarnasi Liem Swie King. “Ya saya sih senang-senang saja dibilang mirip Liem Swie King. Karena memang Om Swie King kan idola saya. Dan perjalanan dia untuk mencapai juara All England luar biasa,” tambah Hari. Hariyanto Arbi & Liem Swie King dengan jersey legendaris PB Djarum (Foto: Instagram @hariyanto_arbi) Semasa belia di kandang PB Djarum di Kudus, ia dibina para pelatihnya macam Arisanto dan Anwari dengan diberi patokan sosok Swie King. “Waktu kecil di tempat latihan, oleh pelatih kita diberitahu bahwa di Djarum ini ada sosok yang luar biasa, Liem Swie King. Bahwa dia kalau latihan enggak mau kalah, disiplin juga. Jadi kita kalau latihan diceritakan itu. Oh , kalau mau bagus ya diarahkannya mengikuti Om Swie King ini.” Smash 100 Watt Hariyanto lantas dikenal luas bukan hanya karena gelar-gelar prestisiusnya macam Thomas Cup 1994, dua emas Asian Games 1994 serta Kejuaraan Dunia 1995. Ia juga tenar lantaran senjata mematikannya yang ikonik, Smash 100 Watt, yang membuatnya keluar dari bayang-bayang Swie King. Dalam biografinya disebutkan bahwa julukan itu mencuat setelah ia ditantang seniornya, Ardy BW, untuk bisa mengalahkan Rashid Sidek di kandangnya pada final Malaysia Open 1993. Tantangan itu pun dijawab Hariyanto lewat perkataan bahwa dia akan mengalahkan Rashid dengan “Smash 100 (berkekuatan) Watt”. Celetukan itu lantas terdengar wartawan Indonesia dan ketika menang, sebutan itu muncul di headline beberapa suratkabar nasional. Pukulan ikoniknya itu menurut salah satu pelatihnya di PB Djarum, Arisanto, dalam  biografinya, dikatakan terinspirasi dari jumping smash Liem Swie King . Namun, Hariyanto tidak membenarkan 100 persen. “Benar bahwa inspirasi salah satunya dari Liem Swie King. Kedua, pelatih saya, Indra Gunawan, menyarankan juga melihat Mas Hastomo. Dia posturnya kecil tapi lompatan smash -nya tinggi. Saya disuruh coba latihan kayak gitu. Seperti menambah skipping , lompat pagar, drilling , latihan shadow /bayangan, banyak prosesnya sampai bisa kayak gitu,” tuturnya. Alhasil, gerakannya “Smash 100 Watt” tak 100 persen sama dengan jumpingsmash Swie King. Jika Swie King lazimnya lebih dulu ambil selangkah mundur sebelum melompat, Hariyanto langsung melompat dan melakukan smash keras itu. Hariyanto menutup kariernya tahun 2000. Enggan mengikuti jejak Hastomo yang masih melatih di PB Djarum, Hariyanto memilih berbisnis peralatan olahraga bersama seniornya Fung Permadi dengan membangun merek Flypower. Hariyanto Arbi saat menangi All England 1994 (kiri) & emas Asian Games 1994 di Hiroshima (Foto: Instagram @hariyanto_arbi) Di balik suksesnya dalam karier dan bisnis, Hariyanto masih menyimpan satu penyesalan. Dari semua gelar yang dibanggakannya, ia kecewa belum pernah menyumbangkan medali olimpiade buat negerinya. Pada Olimpiade 1992 di Barcelona ia tak masuk dalam line-up tim. Di Olimpiade Atlanta 1996, ia disingkirkan wakil Denmark Poul-Erik Høyer Larsen di semifinal 11-15 dan 6-15. Untuk perebutan perunggu pun ia keok di tangan Rashid Sidek lewat pertandingan tiga set: 15-5, 11-15 dan 6-15. Ia pun gagal menambah pundi medali dari cabang bulutangkis, sebagaimana kelima rekannya: Ricky Subagdja/Rexy Mainaky (emas), Mia Audina (perak), serta Susy Susanti dan Denny Kantono/Antonius Ariantho (masing-masing perunggu). “Waktu Olimpiade 1996 itu paling pahit. Saya sudah masuk semifinal tapi tidak mendapatkan medali sama sekali. Itu pengalaman yang sangat mengecewakan buat saya. Dulu sebelumnya kan belum ada olimpiade (baru dipertandingkan 1992). Patokan prestis biasanya All England. Setelah ada olimpiade, semua mencita-citakan juara di olimpiade,” tandasnya.

  • Hatta Bikin Pengusaha Hasjim Ning Pening

    HASJIM Ning, pengusaha-sahabat Presiden Sukarno sekaligus keponakan Wapres Moh. Hatta, selalu ingat pribadi Hatta sangat teguh memegang prinsip. Salah satu prinsip yang teguh dipegang Hatta adalah ketidakmauannya menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi. “Misalnya, pada suatu hari di awal tahun 1950, Bung Hatta yang telah begitu lama tidak ketemu dengan ibundanya sudah demikian rindunya. Aku disuruh menjemput ke Sumedang,” kata Hasjim dalam otobiografinya, Pasang Surut Pengusaha Pejuang . Bagi Hasjim, permintaan Bung Hatta kurang sesuai dengan adat ketimuran. Hasjim menyarankan Bung Hatta mengirimkan mobil dinasnya untuk menjemput sang ibu jika Bung Hatta tak punya waktu. Dengan menunjukkan bakti kepada ibunya begitu, Hasjim yakin sang ibu pasti bangga. “Tidak bisa. Pakai saja mobil Hasjim,” jawab Bung Hatta. “Mobil itu bukan kepunyaanku. Mobil itu milik negara.” Hasjim yang bingung dengan sikap pamannya itu pun mau-tak mau menurutinya. Kebingungan itu pula yang dirasakan Hasjim ketika suatu kali menemui Bung Hatta dan menjelaskan keinginannya untuk berderma. “Oom,” kata Hasjim, “perusahaanku ingin menyumbang, karena memperoleh untung lumayan tahun ini. Siapa menurut Oom yang perlu dibantu?” “Hasjim tentu lebih tahu. Kasihkan padanya,” jawab Bung Hatta singkat dan datar. “Baik juga kalau ada yang Oom calonkan,” kata Hasjim terus mengejar. “Coba Hasjim tanya Margono!” Hasjim lalu menemui Margono Djojohadikusumo, pendiri Bank Negara Indonesia (BNI) sekaligus ayah ekonom Soemitro Djojohadikusumo, yang dimaksud Hatta. Margono merupakan pendiri sekaligus ketua Yayasan Bung Hatta, yayasan yang bergerak di bidang perpustakaan. Kepada Margono, Hasjim menceritakan soal pembicaraannya dengan Hatta. Margono langsung tertawa begitu mendengar penjelasan Hasjim. “Bung Hatta, Bung Hatta. Untuk menyebut yayasan yang memakai namanya saja ia tidak mau. Ia malah menyuruh Hasjim kepadaku sebagai ketua yayasan,” kata Margono, dikutip Hasjim. Sebagai salah seorang sahabat dan pernah menjadi bawahan Hatta di Departemen Urusan Perekonomian semasa pendudukan Jepang, Margono tahu betul pribadi Hatta. “Ia seorang yang keras memegang ajaran dan hukum agamanya, tanpa fanatik dan mengganggu orang-orang lain. Di dalam sikap hidupnya ia selalu mendengrakan suara hati nuarninya dan sangat menghargakan waktu sampai kepada soal yang berkecil-kecil,” kata Margono dalam otobiografinya, Kenang-Kenangan dari Tiga Zaman: Satu Kisah Kekeluargaan Tertulis . Penjelasan Margono pun membuka pintu lebih bagi Hasjim dalam memahami Bung Hatta. “Seringkali sikap Bung Hatta itu menyesakkan napasku karena aku tidak bisa mengerti. Kalau ingin mengetahui sikapnya, tak ada gunanya mengajaknya berdebat. Ia selalu punya alasan. Tapi yang terutama ia tidak pernah mau berubah dari pendiriannya semula,” kata Hasjim. Keteguhan sikap Hatta itu makin membuat Hasjim enggan memanfaatkan kedekatannya dengan Bung Hatta untuk meminta katebelece . Namun, suatu ketika, keadaan memaksa Hasjim minta katebelece kepada Bung Hatta. Hasjim memintanya untuk keperluan bisnisnya ke Amerika Serikat (AS). Pasalnya, Kedutaan Besar (Kedubes) AS di Jakarta baru akan memberinya visa jika ada jaminan dari dua orang terkemuka Indonesia. Hasjim langsung mendatangi Bung Hatta usai mendapat pemberitahuan dari Kedubes AS. Dia yakin bakal mendapatkan apa yang diinginkannya dari Bung Hatta mengingat perjalanan bisnisnya juga menyangkut kepentingan negara. Setelah menceritakan duduk perkaranya, Hasjim meminta jaminan tertulis kepada Bung Hatta. Alih-alih  mendapatkannya, Hasjim justru ditanya balik oleh Bung Hatta. “Mengapa tidak Hasjim minta pada presiden direktur Chrysler saja?” kata Bung Hatta. “Akan memakan waktu lama, Oom,” jawab Hasjim menjelaskan lamanya proses surat-menyurat formal Indonesia-AS saat itu yang bisa memakan waktu sebulan. “Tidak mengapa menunggu.”

  • Teman Lama Ternyata CIA

    UPAYA pemerintah pusat meredam pergolakan di Sumatra dan Sulawesi menemui jalan buntu. Pemerintah tak bisa memenuhi tuntutan para panglima daerah. Mereka juga tak mau berkompromi dengan tuntutannya, terutama pulihkan dwitunggal Sukarno-Hatta, ganti pimpinan TNI AD (KSAD Mayjen TNI A.H. Nasution diganti sebagai langkah pertama stabilisasi TNI), otonomi daerah yang luas, dan melarang komunisme yang hakikatnya berorientasi internasional.

  • Film Indonesia Pertama yang Menggunakan Efek Khusus

    Babi kecil itu ditaruh di atas meja untuk disembelih. Ketika sang jagal sedang mengambil kapak, si babi berubah menjadi seorang manusia berkepala babi. Sang jagal kaget dan ketakutan. Manusia babi itu lalu menghilang. Tie Pat Kai namanya, siluman babi itu hendak memperistri Tjoei Lan, anak gadis seorang hartawan. Ia berubah menjadi pemuda tampan untuk mengelabui Tjoei Lan dan keluarganya. Setelah berhasil menikah, mereka dikaruniai seorang anak berwujud babi. Akhirnya, penyamaran Tie Pat Kay terbongkar. Tie Pat Kay Kawin  (1935) merupakan film besutan The Teng Chun produksi Java Industrial Film. Film ini merupakan koleksi film tertua yang dimiliki Indonesia, yang saat ini tersimpan di Sinematek. Namun, dari durasi 43 menit, hanya 21 menit yang bisa ditonton. Sebagian film telah rusak. “Itu yang bisa diselamatkan, sisanya kondisinya tidak memungkinkan. Ada pula yang semacam mengkristal,” kata Budi Ismanto, pekerja Sinematek. Film ini merupakan salah satu film era awal yang menggunakan efek khusus untuk memvisualisasikan filmnya. Efek-efek khusus digunakan pada adegan perkelahian, perubahan wujud atau bentuk, serta jurus-jurus yang menunjukkan kesaktian. Misalnya pada saat babi berubah menjadi manusia berkepala babi, terdapat kilatan putih pada tubuh babi lalu membesar hingga berubah menjadi siluman babi. Siluman babi mengeluarkan jurus berwujud kilatan putih. Jika saat ini efek khusus menggunakan CGI atau Computer Generated Image , seperti pada film-film superhero , film  Tie Pat Kay Kawin ternyata hanya menggunakan teknik sederhana dan sangat manual. Agustinus Dwi Nugroho, pengajar di Program Studi Media Rekam, Jurusan Film dan Televisi Institut Seni Yogyakarta (ISI), dalam "Special Effect Technology in Film Tie Pat Kay Kawin (1935) and Tengkorak Hidoep (1941)" yang dipresentasikan di International Conference for Asia Pasific Art Studies (ICAPAS) 2017 menyebut bahwa efek-efek khusus tersebut dibuat dengan teknik scratch atau goresan untuk merusak lapisan emulsi pada pita seluloid. Frame demi frame dirusak lapisannya dengan bentuk gambar berbeda untuk menghasilkan gambar bergerak. Teknik untuk menggerakkan efek goresan ini biasanya disebut teknik stop motion . “Untuk menghasilkan efek berdurasi 1 detik maka harus secara manual menggores 24 frame sesuai gambar yang diinginkan. Namun ada pula frame yang hanya digores kurang dari 24 frame , maka efek yang dihasilkan terlihat bergerak sangat cepat, dengan motivasi membentuk efek kecepatan,” jelas Dwi. Warna putih menunjukkan goresan pada frame. (Dok. Agustinus Dwi Nugroho). Bentuk-bentuk seperti kilatan cahaya dan seperti kobaran api akan dihasilkan dari teknik ini. Goresan pada lapisan emulsi seluloid mengakibatkan warna yang muncul di frame berwarna putih. Efek scratch tidak hanya muncul di shot statis, namun juga muncul di shot dengan pergerakan kamera dengan teknik pan. Efek scratch dikombinasikan transisi editing (transisi cut ) untuk menghasilkan efek khusus yang kompleks. Transisi editing dipakai pada adegan Tie Pat Kay yang ketika menghilang ( out frame ) ataupun muncul ( in frame ) di frame secara tiba-tiba. Visualisasi efek khusus lainnya juga terdapat pada perubahan bentuk karakter, dan obyek. Perubahan bentuk atau wujud ini memberikan efek transisi jump cut . Menurut Dwi, teknik-teknik efek khusus yang dipakai Tie Pat Kay Kawin ini belum ditemui di film-film era selanjutnya dan perlu diteliti lebih lanjut. “Saat ini yang saya tau belum ada. Saya tanya petugas Sinematek sepertinya juga nggak ada film sejenis. Di film Tengkorak Hidoep yang saya teliti pun tekniknya sangat sederhana dan tidak ada teknik scratch effect -nya,” kata Dwi kepada Historia . Penggunaan efek khusus pada era early cinema bisa dijumpai pada karya-karya George Melies, sutradara asal Prancis. Melies membuat ratusan film pendek pada 1896-1913 yang penuh trik dan efek khusus. A Trip to the Moon (1902) adalah salah satu karyanya yang kental akan efek khusus. Namun belum diketahui apakah George Melies yang menginspirasi The Teng Chun. “Kesimpulan sementara, dilihat dari tekniknya, di film-film George Melies menggunakan teknik-teknik seperti transisi editing dan properti asli dalam filmnya, sedangkan di film Tie Pat Kay Kawin juga menggunakan hal yang sama namun juga ada satu teknik lagi yang dinamakan scratch effect (menggores seluloid) di film ini yang secara dominan dipakai,” ungkap Dwi. Film-film George Melies lebih banyak menggunakan trik-trik serta ilusi sulap mengingat ia juga merupakan seorang pesulap. “Di film-film George Milies sepertinya jarang menggunakan scratch ini,” sebut Dwi. Selain  Tie Pat Kay Kawin , Dwi juga meneliti film Tengkorak Hidoep . Penggunaan efek khusus film ini terdapat pada adegan bangkit dari kubur yang memperlihatkan properti asli berupa bentuk kerangka tengkorak berubah menjadi manusia. Efek ini dibuat mengunakan transisi dissolve . Properti berbentuk kerangka dimungkinkan merupakan replika kerangka manusia. ”Transisi editing dissolve yang secara perlahan mengubah sosok kerangka menjadi Maha Daru mampu memberikan efek kengerian. Transisi dissolve macam ini tidak muncul dalam Tie Pat Kay Kawin . Teknik ini selalu digunakan pada adegan yang menunjukkan perubahan wujud karakter serta muncul/hilangnya tokoh dalam frame ,” jelas Dwi.

  • Habibie, Menhankam dan Tank Korea

    SUATU hari di tahun 1995, Menteri Riset dan Teknologi  (Menristek) B.J. Habibie mengajak Letnan Jenderal (Purn) Sintong Panjaitan berdiskusi. Dia mengeluhkan soal seringnya Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam) Edi Sudradjat absen dalam berbagai rapat  mengenai “sistem senjata Hankam” yang dipimpinnya. “Padahal ada yang ingin sekali saya diskusikan dengan Pak Edi mengenai rencana pembelian tank buat ABRI,” ujar Habibie kepada staf ahli Menristek itu. Sebagai orang yang merasa dekat dengan kedua lelaki yang secara politik bersebrangan itu, beberapa hari kemudian Sintong berinsiatif menemui Edi yang tak lain adalah seniornya di ABRI tersebut. Dia mendatangi Kantor Departemen Hankam dan menyatakan  kekecewaan dirinya secara langsung kepada Menhankam. “Kenapa sih Mas, selalu tidak hadir dalam rapat itu?” tanya Sintong. Edi langsung menukas,” Maksudnya apa kau, ngomong begitu?” “Mas, kita ini kan tentara. Yang memerintahkan soal itu kan Pak Harto, Panglima Tertinggi. Apa kata orang jika Mas “membangkang” perintah Panglima Tertinggi? Saya rasa itu tidak benar. Boleh tidak menyukai seseorang, tetapi sebagai bawahan Panglima Tertinggi kita harus ikut garis komando. Datanglah ke rapat itu nanti, Mas. Kalau tidak, enggak enaklah nanti sama Pak Harto,” ungkap Sintong. Menhankam tidak bereaksi. Wajahnya datar saja. Lama sekali mereka saling berdiam diri, hingga akhirnya Sintong merasa tidak enak hati lalu pamit dan kembali ke kantor. Namun baru saja dia sampai di ruangannya, tetiba ada telepon untuk dirinya. Siapa lagi kalau bukan dari Menhankam Edi Sudradjat. “Ya sudahlah Tong, kau yang atur supaya saya langsung bertemu Habibie. Saya tidak mau menunggu lama,” katanya. Edi menegaskan “tidak mau menunggu lama” karena saat itu semua orang sudah pada mafum jika ingin menemui Habibie maka seseorang harus ekstra sabar. Bisa jadi itu disebabkan oleh begitu banyaknya tamu yang datang ke Habibie setiap harinya. Selesai bicara dengan Edi, Sintong langsung bergegas menuju ruangan Habibie. Ia menceritakan perihal pertemuan itu. Sintong menyarankan Habibie agar langsung menjemput Edi  begitu dia tiba di kantor Kemenristek. Tanpa banyak pertimbangan, Habibie langsung menyanggupi. Singkat cerita, bertemulah kedua “seteru politik” itu dalam suasana yang ramah dan akrab. Ketika rapat berlangsung, Habibie membahas masalah rencana pembelian beberapa unit tank. Pilihannya ada tiga: K200 KIPV (Korean Infantry Fighting Vehicle) buatan Korea Selatan sesuai  permohonan yang diajukan oleh Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung kepada Presiden Soeharto pada 25 Januari 1995 atau tank jenis FV 101 Scorpion dan FV 103 Stormer buatan Inggris. Secara kualitas dan harga, Habibie menyatakan setuju dengan pilihan ABRI itu. Selain harganya murah (3 KIFV=1 Scorpion), KIFV sudah teruji di berbagai medan dan lebih sesuai dengan situasi di alam Indonesia. Persoalannya, pemegang tender proyek tersebut yakni Siti Hardijanti Rukmana alias Mbak Tutut (putri sulung Presiden Soeharto) dan Jenderal Hartono lebih cenderung memilih Scorpion dan Stormer. Edi mendukung keinginan Habibie. Terlebih setelah Habibie memberikan uraian tentang keunggulan dan kelemahan dua jenis tank itu, Edi semakin mantap untuk memilih KIFV sebagai tank yang akan dipergunakan ABRI. “Pak Edi dan Pak Habibie itu sebetulnya sama-sama orang yang lebih mengutamakan kepentingan negara. Jadi ya keduanya bisa kompak kalau  terkait soal itu,” ujar Sintong Panjaitan. Sejarah mencatat, pilihan keduanya kandas. Tanpa sepengetahuan Menhankam, Scorpion dan Stormer terlanjur dibeli. Padahal menurut Sintong, Korea Selatan sudah berniat untuk membeli lagi pesawat CN-235-200 lewat cara imbal beli dengan peralatan militer dari Korea Selatan. “Tetapi karena kita sudah membeli  50 tank Scorpion dan Stormer dari Inggris, maka Indonesia tidak jadi membeli tank dan ranpur dari Korea Selatan,” ujar Sintong  dalam biografinya yang ditulis Hendro Subroto, Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando. Menurut Sintong, pilihan Habibie dan Edi sebenarnya sudah tepat. Andaikan Indonesia jadi membeli K200 KIFV (berharga di bawah 1 juta dollar AS) dan tidak menggunakan FV 101 Scorpion dan FV 103 Stormer (berharga 2,5 juta dollar AS), maka ABRI akan memiliki 150 tank dan ranpur atau setengah dari kebutuhan Angkatan Darat. “Jadinya kita hanya dapat 50 tank buatan Inggris,” ujar Sintong.

  • Kisah Garda Bahari di Awal Revolusi

    KETIKA berpidato menyambut HUT TNI AL ke-74 pada Selasa, 10 September 2019, KSAL Laksamana Siwi Adji menekankan fakta historis bahwa TNI AL berembrio dari kekuatan rakyat. “Bersama rakyat, TNI AL siap membangun SDM unggul, pondasi Indonesia Maju,” ujar Laksamana Adji di dermaga Koarmada I Pondok Dayung, Jakarta Utara. Eksisnya TNI AL, 10 September 1945, berangkat dari lahirnya Badan Keamanan Rakyat (BKR) Laut. Sejalan dengan pembentukan tentara resmi oleh pemerintah, nama itu pun selanjutnya berubah secara berurutan menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Laut, Tentara Republik Indonesia (TRI) Laut, Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI), dan terakhir TNI AL.  Ia merupakan badan perjuangan yang diisi para pelaut yang digembleng sejak zaman Belanda, Jepang, ditambah para pemuda dan buruh pelabuhan di kota-kota pesisir. “Selama 74 tahun TNI Angkatan Laut menunjukkan jati dirinya sebagai komponen pertahanan negara yang tangguh di tengah perubahan lingkungan strategis yang kian dinamis,” lanjut Adji dalam amanatnya selaku inspektur upacara. Selaras dengannya, maka defile kali ini tak hanya diikuti satuan-satuan di TNI AL, namun juga satu barisan BKR Laut lengkap dengan atribut masa 1945. Pasukan BKR Laut memang bukan diisi para pejuang sebenarnya, namun oleh puluhan reenactor (pereka ulang sejarah) dari Jakarta, Bekasi, Bogor, Bandung, dan Surabaya. Kehadiran para reenactor justru mendapat tepuk tangan riuh, termasuk dari KSAL, lantaran mencerminkan pasukan laut di masa awal kemerdekaan.  Berdirinya BKR Laut Pusat, menurut Zamzulis Ismail dan Burhanuddin Sanna dalam Siapa Laksamana R.E. Martadinata, dibidani sejumlah pelaut di kantor bekas gedung Sekolah Pelayaran Tinggi (SPT) Kali Besar Barat yang lantas disahkan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Markas pertamanya di gedung SMA Budi Utomo, Jalan Budi Utomo (kini SMA Negeri 1 Jakarta). “Dipelopori oleh kelompok pemuda pelaut bekas siswa dan guru SPT serta pelaut-pelaut dari Jawatan Pelayaran Jawa Unko Kaisha , Akatsuki Butai yang antara lain dikoordinasikan oleh Mas Pardi, Adam, RE Martadinata, R. Soerjadi, Oentoro Koesmardjo dan Jasanatakoesoemah, pada tanggal 10 September 1945 berhasil dibentuk BKR Laut Pusat.” Bara di Utara Jakarta Kedaulatan republik yang baru beberapa pekan lahir mulai terusik dengan kedatangan Sekutu, 16 September 1945. Adalah BKR Laut dan para pemuda pelabuhan yang pertamakali berkontak dengan Sekutu di Tanjung Priok. Mereka datang disertai Belanda (NICA). “Karena sikap serdadu-serdadu Inggris dan NICA sangat angkuh dan sama sekali tidak mau menghargai aparatur pelabuhan RI, maka terjadilah bentrokan senjata antara mereka dengan para pemuda pejuang (BKR Laut, red.) di sekitar Menara Air, Stasion (Stasiun Tj. Priok), dan Zeeman’s Huis (mess pelaut),” ungkap tim Dinas Sejarah Militer Kodam V Jaya dalam Sejarah Perjuangan Rakyat Jakarta, Tanggerang dan Bekasi dalam Menegakkan Kemerdekaan R.I. Barisan BKR Laut di HUT TNI AL ke-74 oleh puluhan reenactor Bekasi, Jakarta, Bogor, Bandung dan Surabaya. (Ist/Indra Eka Saputra). Pasukan BKR Laut di Utara Jakarta dipimpin Matmuin Hasibuan, pemuda Batak yang sebelumnya “bos” buruh pelabuhan. Oleh Letkol Moeffreni Moe’min, pemimpin BKR Jakarta Raya, Hasibuan dan Martadinata ditunjuk jadi penanggungjawab pengamanan wilayah Utara Jakarta merangkap BKR Laut Cabang Jakarta. Hasibuan bersama pasukannya baku-tembak dengan pasukan Inggris dan NICA mengakibatkan markas BKR Laut terpaksa dipindah. Menukil Sejarah Teluk Jakarta karya Dinas Museum Sejarah dan DKI Jakarta, markas BKR Laut dipindah dari gedung SMA Budi Utomo ke Gang Z, mengungsi ke kantor Jawatan Pelabuhan dan lantas ke Cilincing. Sampai awal Oktober 1945, Inggris dan NICA sudah menguasai Priok dan kemudian memperluas basis hingga ke Cilincing.  Hasibuan dan pasukannya mendapat bantuan serdadu dari segala pelosok Utara Jakarta dan Bekasi untuk membuat perimeter pertahanan di sekitar Jembatan Kali Kresek, Cilincing. Di Jembatan Kali Kresek inilah sekira 6 Oktober 1945 pecah pertempuran pertama antara serdadu laut republik (per 5 Oktober BKR Laut berubah menjadi TKR Laut) dengan Sekutu dan NICA. Meski skala kecil, pertempuran tergolong sengit lantaran berlangsung sehari semalam. Inggris sampai mengerahkan pesawat-pesawat P-40-nya untuk mematahkan perlawanan kaum republik. “Cilincing merupakan medan pertempuran yang menguntungkan pihak RI karena daerah penuh ditumbuhi pepohoan mangrove, banyak sungai kecil, jalannya tak beraspal, sempit dan berbelok-belok,” lanjut tim Kodam Jaya. Perimeter di Jembatan Kali Kresek akhirnya jebol juga. Pada 10 November, Sekutu dan NICA sudah merangsek ke arah Koja, Jembatan Tinggi, dan Pasar Ikan. Sejak jebolnya “gerbang” Priok, teror-teror terhadap rakyat meningkat di berbagai pelosok Jakarta. Kondisi tersebut membuat PM Sutan Sjahrir mengeluarkan maklumat pada 19 November 1945. Seluruh satuan TKR diperintah meninggalkan Jakarta.  Sisa TKR Laut pimpinan M. Hasibuan yang sebelumnya berbasis di Priok dan Cilincing, pun menyingkir ke Babelan, Bekasi. Mereka mengonsolidasikan kekuatan dengan Laskar Hisbullah pimpinan KH. Noer Ali di Utara Bekasi. Sementara, Martadinata dan KSAL Laksamana III Mas Pardi sudah pindah ke Yogyakarta pada 15 November 1945.  Di Bekasi, pasukan Hasibuan lagi-lagi terlibat pertempuran sengit. Bersama Laskar Hisbullah, TKR Laut terjun di Palagan Sasak Kapuk (kini Pondok Ungu), 29 November 1945. Tiada yang menang dalam palagan ini.  Beberapa hari setelahnya, KH Noer Ali prihatin dengan tertangkapnya Hasibuan oleh NICA. Hasibuan ditangkap pada 5 Desember 1945 saat berperjalanan bersama wedana Priok Hindun Witawinangun ke kantor penghubung TKR di Jalan Cilacap, Jakarta.  “Mereka ditahan dan disiksa NICA di Kamp Polonia hingga Hindun Witawinangun tewas. Madnuin (Hasibuan) juga disiksa, namun selamat. Ia baru dibebaskan 15 Desember 1945,” tulis Ali Anwar dalam biografi KH Noer Ali, Kemandirian Ulama Pejuang menyebut.  Setelah Agresi Militer Belanda I, KH Noer Ali dan Hasibuan terus mundur dari Bekasi. KH Noer Ali akhirnya menyingkir ke Yogyakarta dan pasukan Hasibuan hijrah ke Tegal.

  • Langsa Diancam, Gubernur Hasan Bertindak Cepat

    SUATU hari seorang opsir Jepang datang tergesa-gesa menghadap Gubernur Sumatra Teuku Mohammad Hasan. Dia menyampaikan pesan Panglima Tentara Jepang di Pematang Siantar. Isinya, mendesak Hasan supaya meninjau Kota Langsa karena keadaan sangat genting: akan terjadi pertempuran antara pihak militer Jepang dengan para pejuang Indonesia. “Mengingat kepentingan keamanan umum dan kepentingan negara, maka desakan Jepang ini saya setujui,” kenang Hasan dalam memoarnya Mr. Teuku Hasan dari Aceh ke Pemersatu Bangsa . Pada 29 Desember 1945, rombongan Hasan berangkat menuju Langsa. Setengah perjalanan tibalah di Kuala Simpang. Hasan menemui pimpinan tentara Jepang, Mayor Jenderal Sawamura. Laporan Sawamura menyebutkan kejahatan orang-orang Langsa. Mereka telah merampas senjata milik Jepang. Padahal, tentara Jepang telah menyerahkan senjatanya kepada TKR, pimpinan Letkol Bachtiar. Selain itu, TKR merampas pula obat-obatan, uang, beras, pakaian, makanan, kendaraan dan kendaraan Jepang. Perampasan yang terjadi membuat tentara Jepang siap siaga menggempur Langsa. Moncong meriam telah diarahkan. Sawamura menuntut senjata yang dirampas dikembalikan. Hasan meneruskan perjalanannya ke Langsa.   Tiba di Langsa, Hasan bertemu dengan T. Hasan Ibrahim, pemimpin laskar rakyat. Dari Ibrahim didapati keterangan tentang tindakan Jepang yang kejam dan kasar. Makanya rakyat Aceh dari seluruh penjuru berduyun-duyun ke Langsa. Bersenjatakan tombak, rencong, bambu runcing, mereka hendak menggempur tentara Jepang. Pada 30 Desember 1945, diadakanlah rapat antara Gubenur Sumatra dengan pemuka rakyat bertempat di rumah asisten residen. Sepanjang jalan dipenuhi oleh laskar rakyat yang membawa aneka senjata tajam. Mereka berjalan sambil melantunkan kalimat syahadat dan ayat-ayat Al- Qur’an. “Keadaan suasana waktu itu sangat seram dan tegang, seolah-olah hendak menyerbu saja tentara Jepang yang kejam itu,” kata Hasan.Setelah dengar pendapat, Hasan berkesimpulan pertempuran dengan Jepang buang-buang tenaga dan waktu. Tengah hari, Hasan berangkat dari Langsa menuju Kuala Simpang untuk berunding dengan Sawamura. Reaksi Sawamura tidak disangka-sangka. Dia tetap bersikukuh agar senjata Jepang dikembalikan. Sawamura lantas memanggil opsir-opsirnya dan memberikan perintah. Seorang kolonel yang bertugas sebagai penerjemah memberi tahu Hasan bahwa Sawamura marah. Ultimatum dilontarkan: besok pagi pukul 6 meriam-meriam akan ditembakan ke Kota Langsa sampai hancur. Hasan melobi pihak Jepang untuk mengulur waktu. Waktu tambahan diberikan hingga pukul 12 untuk pengembalian senjata. Kembali ke Langsa, Hasan bertindak cepat. Dia meminta komandan TKR dan kepala polisi setempat untuk mencari beberapa pucuk senapan rampasan, lalu menyerahkannya langsung kepada Sawamura. Hasan juga membujuk Hasan Ibrahim agar menyerahkan senjata yang dirampas oleh para laskar. Mendengar anjuran Hasan, Ibrahim menyadari bahaya yang akan menimpa Kota Langsa. Dia berjanji menyerahkan beberapa pucuk senjata kepada Hasan untuk dikembalikan kepada pihak Jepang. Pagi hari, tanggal 31 Desember 1945, sudah terkumpul puluhan pucuk senapan di kediaman Hasan. Pukul 9 pagi, semua barang itu diantar oleh staf Hasan, Abdul Xarim MS ke Kuala Simpang. Sebelum jam 12, sampailah senjata rampasan itu kepada pihak Jepang. Kepada rakyat di Langsa, Hasan memberi penjelasan tentang keputusannya untuk mengembalikan senjata rampasan. Maka terhindarlah Kota Langsa dari amukan balatentara Jepang.

  • Pencarian Minyak di Kutai Kartanegara

    JACOBUS Hubertus Menten seorang pensiunan Dinas Pertambangan Belanda. Dia pernah bekerja di Kalimantan Timur, Buitenzorg (sekarang Bogor), dan Sumatra (1860—1882). Dia bisa saja kembali ke negerinya menikmati masa pensiun, tetapi minyak Kalimantan Timur membuatnya penasaran sehingga harus tinggal lebih lama di koloni.

  • Warisan Habibie untuk Indonesia

    INDONESAI baru saja beduka. Bangsa ini kembali harus kehilangan salah satu putra terbaiknya . Rabu (11/9), pukul 18.05 WIB di Rumah Sakit Gatot Subroto, Bacharuddin Jusuf Habibie tutup usia. Menurut keterangan Thareq Kemal Habibie, putra kedua Habibie, penurunan fungsi jantung menjadi sebab Habibie meninggal. Ucapan duka cita untuk Presiden RI ke-3 itu terus berdatangan dari seluruh lapisan masyarakat. Di lini masa Twitter doa terus mengalir dari warganet. Melalui akun pribadinya @jokowi , Presiden Joko Widodo pun ikut mengirim . “Bangsa ini kehilangan seorang putra terbaik, yang hidupnya didedikasikan bagi kemajuan Indonesia. Semoga kita dapat melanjutkan cita-cita Pak Habibie membawa Indonesia menjadi bangsa yang maju,” tulisnya. Presiden Joko Widodo saat melepas jenazah B.J. Habibie (Fernando Randy/Historia) Semasa menjabat presiden, Habibie berusaha sekuat tenaga melakukan stabilisasi di dalam negeri. Kekacauan yang diwariskan pemerintah sebelumnya menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi Habibie. Ia pun menyelesaikannya dengan mengeluarkan sejumlah kebijakan penting, yang dampaknya masih bisa kita rasakan hingga hari ini. Demokratisasi Pemilihan Umum Tertutup. Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan pemilihan kepala negara dan para pendampingnya semasa Soeharto menjabat sebagai presiden RI. Keadaan yang telah puluhan tahun dirasakan masyarakat ini berakhir setelah Habibie dengan berani menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu). Baginya pemilu merupakan wujud demokrasi yang sesuai dengan nilai dasar Indonesia. “Sebab, pemilu adalah cara terpenting untuk menyelamatkan dan merehabilitasi bangsa akibat peroalan-persoalan berat. Karena itu, saya benar-benar berharap agar pemilu dapat berlangsung dengan jujur, adil, dan demokratis mengingat begitu sentralnya peran pemilu,” kata Habibie dalam otobiografinya Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia menuju Demokrasi . Habibie juga menghapus peran Menteri Dalam Negeri sebagai penyelenggara pemilu, dan menggantinya dengan mendirikan lembaga politik yang demokratis, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU). Selain itu Pegawai Negeri, TNI, dan POLRI diatur supaya tidak memihak kepada salah satu kekuatan. Peningkatan Peran Legislatif Pada era Pemerintahan Habibie, presiden bersama pimpinan DPR dan pimpinan fraksi dapat mengatur suatu agenda pertemuan. Secara bergantian, mereka akan melaksanakan jajak pendapat di Istana Negara dan Gedung DPR/MPR. Langkah itu, menurut Habibie, ditempuh agar kebijakan-kebijakan pemerintah dapat segera diketahui oleh anggota DPR, maupun sebaliknya pemerintah dapat cepat memproleh masukan dan pengawasan dari DPR. “Pemerintah menyambut baik digunakannya hak-hak DPR seperti hak inisiatif dalam mengajukan Rancangan Undang-Undang dan hak untuk meminta keterangan dari pemerintah untuk mendapatkan penjelasan secara langsung dari Presiden di depan Sidang Paripurna DPR, sebagaimana telah dilaksanakan pada 21 September 1999,” ungkap Habibie. Pemulihan Ekonomi Krisis yang melanda negeri pasca pemerintahan Orde Baru dianggap sebagai pekerjaan terberat pemerintahan Habibie. Dalam Reformasi Visi dan Kinerja BJ Habibie karya A. Watik Pratiknya, dkk dikatakan bahwa sejak Habibie pertama membentuk Kabinet Reformasi Pembangunan, upaya memulai proses pemulihan ekonomi nasional telah dilakukan. Pemerintahan Habibie berusaha keras mencegah krisis di tahun-tahun sebelumnya terulang kembali. “Untuk mendukung terwujudnya perekonomian nasional tersebut, dan sejalan dengan tantangan perkembangan dan pembangunan ekonomi yang semakin kompleks, maka sistem keuangan yang semakin maju perlu dikembangkan. Kebijakan moneter harus dititikberatkan pada upaya memelihara stabilitas nilai rupiah,” kata Habibie. Satu kebijakan utama yang diambil oleh Habibie untuk mengatasi persoalan ini adalah memperkuat kedudukan Bank Indonesia (BI). Melalui UU No. 23 Th. 1999 BI mendapat kekuatan mengatur pengendalian jumlah uang yang beredar dan penetapan suku bunga. Berkat itu, kondisi ekonomi di Indonesia perlahan membaik. Bahkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika pernah menyentuh angka kurang dari Rp. 6. 500,00 pada era itu. Membuka Keran Kebebasan Pers Selain pemulihan ekonomi makro, era pemerintahan Habibie juga diakui sebagai salah satu tonggak terpenting dalam terbebasnya pers dari kekangan penguasa. Bila sebelumnya banyak lembaga pers yang merasa takut mengungkap data dan fakta, pada masa Habibie mereka mendapat hak untuk bersuara. Keran kebebasan pers di Indonesia ini diakui oleh Stanley Roth, Asisten Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (1997-2001), sebagai langkah terpenting Habibie dalam merealisasikan gagasan reformasi yang sedang dibangun oleh bangsa Indonesia. “Pers yang merdeka, bermoral, dan professional diharapkan dapat memelihara dinamika masyarakat yang tercermin pada keseimbangan pemerintaan informasi antara pelaku pembuat kebijakan dengan pembentuk pendapat publik, baik perorangan maupun organisasi,” ungkap Habibie. Pemanfaatan BUMN Habibie menempatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai salah satu pemecah masalah ekonomi masa reformasi. Ia berusaha memberdayakan BUMN agar dapat berkontribusi dalam mengeluarkan Indonesia dari krisis yang saat itu sedang melanda. Upaya pertama Habibie dalam mereformasi BUMN ini adalah dengan membuat tiga kebijakan pokok, yaitu restrukturisasi (peningkatan daya saing perusahaan melalui penajaman fokus bisnis), profitisasi (peningkatan efesiensi perusahaan hingga nilai yang optimum), dan privatisasi (peningkatan kepemilikan kepada masyarakat dan swasta asing guna terbukanya pendanaan, pasar, dsb). Habibie berusaha menciptakan perusahaan Indonesia yang berdaya saing dan berdaya cipta tinggi. “Jika program swastanisasi BUMN dan optimalisasi penerimaan pajak dapat kita lakukan dengan efisien dan berkesinambungan, maka Indonesia secara bertahap akan mampu mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri, dan bahkan mampu membiayai pembangunan secara lebih mandiri,” kata Habibie. Otonomi Daerah Pemerataan pembangunan kembali menjadi duri di era kekuasaan Habibie. Sejak masa kepemimpinan Presiden Soeharto, yang memang menjadikan pembangun merata sebagai program utamanya, penyelesaian masalah ini tidak kunjung usai. Pemerintah menginginkan pembangunan tidak hanya dinikmati oleh sekelompok masyarakat dalam wilayah tertentu saja. Namun dalam prakteknya hal itu sangat sulit terwujud. Menanggapi permasalah ini, Habibie membuat usulan agar secepatnya dibuat undang-undang baru yang dapat mendorong inisiatif pembangunan dari tatanan terendah dan memperkuat peran politisi lokal di dalam mengatur rumah tangganya sendiri. Akhirnya dibentuk undang-undang baru yang menjelaskan hakikat otonomi di Indonesia yang bentuk negaranya kesatuan, yakni UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah. “Kedua undang-undang ini sungguh merupakan terobosan pemerintahan BJ. Habibie untuk mengatasi persoalan-persoalan yang selama ini membelenggu daerah untuk mengembangkan otonominya,” tulis Watik, dkk. Perlindungan Konsumen dan Usaha Rakyat Satu dari sekian banyak agenda reformasi yang disusun Habibie adalah memulai langkah-langkah untuk membangun sistem ekonomi kerakyatan. Sasaran dari program itu adalah memperkuat dasar ekonomi rakyat (pengusaha kecil dan menengah), yang memang menjadi kekuatan bagi dunia usaha. Pada masa Habibie, program pemerintah tentang ekonomi rakyat baru menyentuh permukaannya saja. Pelaku usaha dan koperasi, bahkan masyarakat belum banyak yang menerima dampaknya saat itu. Namun konsep dasar yang dibawa oleh Habibie dan jajarannya saat itu terus berkembang dan akhirnya dapat dirasakan hari ini. Guna menjaga program ekonomi rakyat terus berjalan baik, Habibie mengesahkan undang-undang untuk mengaturnya. Dalam UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, Habibie berusaha mencegah terjadinya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku ekonomi tertentu. Untuk melindungi kebutuhan konsumen, pemerintahan Habibie mengesahkan UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang mewajibkan produsen mencantumkan informasi yang lengkap tentang produk yang dihasilkannya. Kebebasan Berpendapat Bebas mengutarakan pendapat menjadi hal yang tabu pada era Orde Baru. Mereka yang dianggap berbeda dengan pemerintah akan dicap pemberontak. Tak ayal banyak tokoh yang ditangkap saat itu. Wujud lain dari terkekangnya rakyat dengan aturan berpendapat ini adalah kewajiban para abdi negara mendukung Golongan Karya (Golkar). Habibie berusaha menghindari kemungkinan terburuk dari dosa masa lalu itu. “Peralihan dari suatu sistem otoriter ke suatu sistem demokrasi yang bertanggung jawab dan berbudaya, secara damai dalam waktu sesingkat-singkatnya, adalah satu-satunya jalan yang meyakinkan untuk menyelesaikan masalah multikompleks dan implementasi program reformasi yang sedang kita hadapi dan harus lalui,“ ucap Habibie. Pada masa ini rakyat telah bebas mendirikan organisasi tanpa perlu menghadapi peraturan yang memberatkan. Menurut Habibie, masyarakat Indonesia diberikan kebabasan mengutarakan pendapat, sepanjang tidak mengganggu ketertiban umum, dan dalam batas hukum yang diatur konstitusi. Demi memperkuatnya, Habibie mengesahkan UU No.9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyempaikan Pendapat di Muka Umum. Berkat kebebasan berpendapat ini jugalah partai-partai politik bermunculan. Habibie menyerukan agar semua orang berlomba-lomba membentuk partai dan mengikutsertakannya ke dalam pemilihan umum 1999. Terbukti, sebanyak 48 partai politik mengikuti pemilu tersebut. Permasalahan Aceh Habibie mencoba membuat kunci penyelesaian berbagai konflik, melalui peraturan konkret berdasarkan hukum berkeadilan, yang diyakini akan terus muncul selama negara ini berdiri. Ia ingin segala macam konflik kebangsaan diselesaikan secara demokratis, terbuka, dan bermartabat. Untuk itu Habibie memulainya dengan menyelesaikan permasalahan di Aceh. “Saya mengajak seluruh masyarakat Aceh untuk menyelesaikan semua persoalan secara damai, demokratis, transparan, tulus, adil dan beradab, dengan tetap memelihara persatuan dan kesatuan bangsa,” ucap Habibie. Masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Aceh memang menjadi soal sejak era pemerintahan Soeharto. Untuk mengatasinya, Habibie membentuk Komisi Independen Pengusutan Tindakan Kekerasa di Aceh. Pemerintahannya mencoba memerhatikan aspirasi masyarakat Aceh tentang berbagai masalah di daerahnya. Selain itu, melalui UU No.44 tentang Keistimewaan Provinsi Istimewa Aceh rakyat di sana memperoleh keleluasaan yang luas untuk mengurus sendiri kehidupan keagamaan, pendidikan, dan adat istiadat. Kebijakan otonomi daerah pada era ini juga membantu masyarkat Aceh mengembangkan kehidupannya. Menyelenggarakan Rekonsiliasi Upaya Habibie membuka jalan demokrasi di Indonesia dilakukan dengan membebaskan para tahanan politik (tapol) Orde Baru. Dalam B.J. Habibie Si Jenius: Sehimpun Cerita, Cita, dan Karya , Jonar T.H. Situmorang menyebut jika langkah Habibie memberikan amnesti dan abolisi kepada mereka yang diasingkan pemerintahan sebelumnya merupakan langkah penting menuju keterbukaan dan rekonsiliasi. Habibie tidak membebaskan para tapol itu dalam waktu yang bersamaan. Pada 22 Mei 1998, amnesti diberikan kepada Sri Bintang Pamungkas (dipenjara karena mengkritik Soeharto), Mochtar Pakpahan (dipenjara karena dianggap memicu kerusuhan Medan tahun 1994), para aktivis petisi 50, para tarahan insiden Tanjung Priok, mantan jenderal, mereka yang dianggap PKI, dsb. Pada 10 Juni 1998 giliran para demonstran yang menentang kebijakan Orde Baru di Timor Timur dibebaskan. Pada 24 Juli 1998, 50 tapol, termasuk terduga pelaku pemberontakan PKI, dibebaskan. Sementara para tokoh Partai Rakyat Demokratik (PRD), seperti Budiman Sudjatmiko, Dita Indah Sari, dan pemimpin gerakan kemerdekaan Timor Leste Xanana Gusmao dibebaskan ikut dibebaskan pula. Khusus untuk PRD, para aktivisnya dibebaskan setelah partai itu secara terbuka menerima Pancasila.

bottom of page