Hasil pencarian
9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Bertemu dalam Secangkir Jamu
KEGEMARAN Albertina van Spreeuwenburg, perempuan campuran Indo-Eropa, pada jamu membuatnya jadi penyembuh tenar di Weleri, Jawa Tengah. Suami Albertina merupakan pemilik perkebunan. Bila ada pegawainya yang sakit, Albertina maju untuk menyembuhkan. Perkenalan Albertina pada jamu didapat dari ibunya yang seorang nyai. Persilangan budaya dari dalam rumah umum terjadi di masa kolonial lantaran adanya interaksi intensif orang Eropa dan pribumi, entah nyai ataupun babu, di dalamnya. Para nyai biasanya tetap melakukan kebiasaan mereka, entah mengenakan kebaya, mengunyah sirih, atau meminum jamu. Kebiasaan inimenular pada anak-anak mestizo mereka. Tingginya kebiasaan mengonsumsi jamu di rumah tangga Indies mendorong peneliti Eropa mempelajari jamu dan tanaman obat lokal. Mereka biasanya mendapat informasi dari perempuan Indo-Eropa, penjual jamu di pasar, atau dukun. Penggalian informasi tentang jamu dan tanaman obat makin dipermudah ketika dokter , ahli botani, atau apoteker kulit putih yang datang ke Hindia-Belanda melakukan kawin campur. Dari sinilah ilmu pengobatan modern dan lokal bertemu. Profesor Hans Pols dari Universitas Sydney dalam artikelnya “European Physicians and Botanists, Indigenous Herbal Medicine in the Dutch East Indies, and Colonial Networks of Mediation” menyebutkan, dokter Eropa yang baru tiba di Hindia menikahi wanita Indo-Eropa atau pribumi merupakan hal umum pada paruh pertama abad ke-19. Pernikahan campur ini diterima karena hampir semua orang Eropa yang tiba di koloni adalah lajang dan akan menghabiskan waktu lama di Hindia. Bentuk interaksi antarkelompok sosial dan etnis ini berpengaruh pada pengetahuan medis dan botani di Hindia-Belanda. Fenomena itu dapat dilihat pada kehidupan dr. CCW Mandt. Ahli kesehatan berkebangsaan Jerman yang menikahi perempuan mestizo dari Makassar itusangat tertarik pada jejamuan dan mempelajari khasiat tanaman lokal untuk masalah kesehatan sehari-hari. Selain dari istrinya, pengetahuan Mandt tentang obat tradisional diperoleh dari Albertina. Keduanya sering berdiskusi tentang khasiat tanaman Nusantara. Istri Mandt bahkan sering bertukar resep jamu dengan Albertina. Bermodal pengetahuan itu, Mandt lalu mendirikan spa tradisional. Kegemaran Albertina pada jamu menurun pada anaknya, Johanna Maria Carolina Verst e egh (setelah menikah dikenal sebagai Jans Kloppenburg-Verste e gh). Selain mendapat pengetahuan tentang jamu dari ibunya, Jans juga sering berdiskusi dengan Hendrik Freerk Tillema, pengusaha air mineral dan pemilik apotek di Semarang, untuk mendapat informasi yang lebih saintifik . Saking tertariknya pada jamu, pada 1907 Jans menulis buku Indische Planten en Haar Geneeskracht (Tanaman asli Hindia dan kekuatan penyembuhnya). Buku itu jadi pegangan rumah tangga orang kulit putih dan buku tentang jamu paling banyak disebut dalam catatan sejarah . Namun, Jans bukan orang kulit putih pertama yang menulis buku tetang jamu. Sebelumnya, ada Emelie van Gent de Telle, yang berasal dari keluarga pemilik perkebunan di Yogyakarta, yang menulis Boekoe Obat-Obat voor Orang Toewa dan Anak-Anak pada 1875. Setelah Emelie, pada 1885 Nyonya van Blokland dari Suabaya menulis tentang keampuhan pengobatan tradisional lewat buku Doekoen Djawa . Menurut Martina Safitry dalam tesisnya “Dukun dan Mantri Pes”, hal itu menjadi bukti tingginya minat orang kulit putih pada khasiat jamu dan pengobatan tradisional Nusantara. Pada abad ke-19, hampir semua orang Indo-Eropa dan sebagain orang Eropa menggemari perawatan kesehatan oleh dukun perempuan, baik untuk sekadar pijat, membuatkan secangkir ramuan jamu, atau menyembuhkan penyakit ringan. Mereka menilai para perempuan tua ini punya ilmu perawatan kesehatan yang mumpuni. Mereka biasanya minta dicarikan tukang jamu atau tukang urut (dukun) pada babu dan jongosnya. Tak jarang pula mereka merekomendasikan perawatan tradisional ini pada pendatang baru Eropa. Pasien Eropa bahkan terkadang merekomendasikan dokter untuk berkonsultasi dengan ahli jamu atau dukun. Tapi usul itu sering bikin dokter Eropa jengkel, seperti yang disampaikan dokter ternama Cornelis Leendert van der Burg dalam bukunya The Physician in the Dutch East Indies . “Bahkan ada dokter yang tidak keberatan dengan pengobatan dari wanita ini (dukun/tukang jamu) untuk istri, anak-anak dan bahkan dirinya sendiri,” kata Van der Burg. Seiring menguatnya sekat rasial pada abad ke-20, ketidaksukaan pada pengobatan tradisional kian sering disuarakan orang kulit putih. Untuk menghindari identifikasi dengan penduduk pribumi, Komunitas Hindia menerapkan standar tinggi pada etiket berkomunikasi, berpakaian, dan etiket sosial Eropa lain. Buntutnya, para profesional Barat, termasuk dokter dan ahli botani, menjadi kurang tertarik pada obat herbal lokal. Mereka juga kurang menghargai pengetahuan pengobatan lokal dan mulai menyingkirkannya dengan ilmu pengetahuan Barat.
- Serba Serbi Makanan Zaman Purba
Manusia awalnya tak begitu repot memikirkan rasa daging atau sayuran yang dimakan. Cukup kunyah dan telan saja mentah-mentah. Tapi mereka tak terus-menerus begitu. Manusia purba akhirnya juga memasak. Richard Leakey dalam Asal Usul Manusia menjelaskan, Australopithecus , sebagai leluhur bersama manusia dan kera, hidup dengan makan tumbuhan. Ini terlihat dari struktur gigi mereka. Namun, bentuk grahamnya tak mirip kera. Mahkota giginya tak lancip tetapi rata. Bentuk ini cocok untuk menggiling makanan. “Jelas sudah bahwa 2-3 juta tahun yang lalu makanan manusia berubah jadi lebih alot, seperti buah-buahan keras dan kacang-kacangan,” tulis Leakey. Menjelang 2,5 juta tahun yang lalu, walau belum bisa dipastikan, muncul spesies manusia lainnya. Otaknya lebih besar. Giginya juga berubah. Itu mungkin disebabkan kebiasaan makan yang berubah, dari melulu tumbuhan menjadi kombinasi tumbuhan dan daging. “Perubahan struktur gigi Homo purba menunjukkan adanya kebiasaan makan daging, sebagaimana ditunjukkan juga oleh penyempurnaan teknologi perkakas batu,” tulis Leakey. Fosil kerbau purba di Sangiran. (Koleksi Museum Sangiran) Memasuki masa paleolitik, yaitu waktu manusia mulai menggunakan alat batu, mereka menggantungkan hidup pada hewan buruan. Menurut Teuku Jacob, pakar paleoantropologi ragawi Universitas Gadjah Mada dalam “Evolusi Makanan Manusia dari Paleonutrisi dan Paleoekonomi Menuju Gizi Futuristik” terbit di Pertemuan Ilmiah Arkeologi V , manusia purba berburu hewan kecil maupun besar untuk kemudian dimakan. Namun itu masih perdebatan. Ada juga ahli yang berpikir manusia awalnya hidup dengan memakan bangkai binatang buruan hewan lainnya. Jadi, mereka bukannya berburu. Salah satu yang meyakininya adalah Lewis Binford, arkeolog dari Amerika. Dia mengungkapnya pada 1981 dalam Bones: Ancient Men and Modern Myth. “Leluhur kita itu tidak romantis, melainkan pemakan sembarang yang umumnya lebih suka memulung bangkai hewan-hewan berkuku untuk mendapatkan sisa-sisa,” tulis Lewis. Bahkan, ketika sudah mulai makan daging, manusia kemudian berburu manusia lainnya. Diyakini Homo, memakan Australopithecus , saudara tuanya, sebagaimana mereka memangsa hewan lain jika bisa. Pasalnya, kedua spesies itu sempat hidup berdampingan. Tapi ini masih juga diperdebatkan. “Saya tidak ragu, tetapi penyebab kepunahan Australopithecus mungkin tak sedramatis itu,” tulis Leakey. Makin lama, manusia lebih banyak makan daging hewan. Lebih-lebih Homo neanderthalensis . Menurut Jacob, di lingkungan dia hidup kurang banyak tumbuh-tumbuhan yang bisa dimakan. Sementara, hewan besar seperti rusa, banteng, kerbau, gajah, kuda sungai, kambing, mungkin badak, beruang, begitu melimpah untuk diburu. Hewan lain seperti kura-kura, ikan, juga dimakan. Ada pula makanan yang berasal dari hewan seperti madu dan larva. “Kera dan monyet mungkin hanya kalau terpaksa saja dimakan, karena bentuknya menyerupai manusia,” tulis Jacob. The Man of Bicorp adalah gambar di dinding gua berusia 8000 tahun di dekat Valencia, Spanyol. Tergambar seseorang tengah mengumpulkan madu dari sarang lebah Ditemukannya api membuat makan daging menjadi lebih mudah. Homo erectus adalah spesies pertama manusia yang menggunakan api. Dia juga mungkin yang pertama mengumpulkan makanan sekaligus berburu. Karena mereka sudah kenal api, makanan pun lebih mudah dikunyah dan dicerna. Perubahan pola makan terjadi lagi ketika masuk periode lebih modern yang disebut mesolitik. Menurut Jacob penjinakan hewan mulai dikenal. Anjing mungkin yang pertama dipelihara. Lalu sapi, kuda, keledai, kambing, kerbau, babi, kucing, dan unggas. Dengan kebiasaan beternak, makan daging hewan menjadi lebih dominan. “Beberapa kelompok telah memakai susu dalam dietnya,” tulis Jacob. Pada masa ini pula eksploitasi pantai dan laut mulai terjadi. Berbagai jenis kerang dan ketam, ikan, dan udang banyak dikonsumsi. Buktinya adalah tumpukan kulit kerang di beberapa situs yang luar biasa besar. Contohnya di Tamiang, Aceh. Hewan-hewan kecil juga menjadi makanan. Di Liang Toge, Flores ditemukan sisa-sisa kelelawar, tikus biasa dan tikus raksasa, monyet, landak, dan babi. “Berburu masih dilakukan dan tumbuhan tetap dimakan,” tulis Jacob. Pada masa Neolitik, manusia semakin banyak mengonsumsi tumbuhan. Ini didukung pertanian yang mulai berjalan. Mereka mulai rajin makan gandum dan beras. Bahan-bahan itu sudah pula dijadikan bubur, roti, nasi, bir, dan arak. Cara mengolah makanan juga makin beragam. Manusia tak lagi mengonsumsi makanan mentah. Tak juga cuma dibakar atau dipanaskan di atas batu. Mereka sudah mengenal cara merebus dan memanggang. Bahan makanan mereka awetkan dengan dijemur, disalai, diasinkan, dan dibumbui. Mereka pun mulai mencampur bahan-bahan makanan. “Waktu luang bertambah dengan penemuan api, penjinakan tumbuhan dan hewan, permukiman menjadi tetap, umur manusia memanjang,” tulis Jacob.
- Letnan Jenderal Tujuh Hari
MEMASUKI tahun 1950 APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) melakukan berbagai pembenahan. Salah satunya penggantian bentuk pangkat. Pangkat mayor, letnan kolonel, dan kolonel tidak lagi menggunakan simbol bintang tetapi bunga tanjung. Simbol bintang hanya digunakan untuk tingkat mayor jenderal, letnan jenderal, dan jenderal; saat itu pangkat brigadir jenderal belum diadakan. Selain soal pangkat, perubahan nama kesatuan pun dilakukan di tiap divisi. Brigade XII Divisi Siliwangi termasuk kesatuan yang harus memberlakukan peraturan baru tersebut. Kesatuan yang bertanggung jawab atas wilayah Bogor, Sukabumi, dan Cianjur itu berganti nama menjadi Brigade D/XV. “Sebagai pimpinan Brigade D ditunjuklah Mayor Sambas Atmadinata yang kemudian pangkatnya dinaikan menjadi letnan kolonel,” tulis buku Siliwangi dari Masa ke Masa Bag. II (1950-1965). Seiring dengan pembenahan itu, aksi pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia pimpinan S.M. Kartosoewirjo semakin merajalela di Jawa Barat. Guna menangani situasi tersebut, nyaris tiap minggu Letkol Sambas harus mempersiapkan pasukannya dan melakukan inspeksi keliling. Suatu hari, Letkol Sambas akan menginspeksi pasukan yang berada di tiga wilayah yang menjadi wewenangnya. Merasa belum punya tanda pangkat letkol, dia kemudian menyuruh ajudannya untuk membeli di Toko Beny, yang terletak di depan Sekolah Zeni Angkatan Darat Bogor. Singkat cerita, tanda pangkat bintang dua berkilauan pun dibeli dan langsung ditempelkan oleh Sambas di leher kamejanya, bukan di pundak. Dengan jip yang dikemudikan oleh seorang ajudan dan dikawal seorang penembak, selama seminggu Sambas berkeliling ke basis-basis pasukan yang berada di Bogor, Sukabumi, dan Cianjur. Mereka mengecek kesiagaan dan mencocokan info lapangan dari pos ke pos. Hari terakhir inspeksi, sampailah mereka di Istana Cipanas dan langsung memeriksa kesiapan satu seksi CPM (Corps Polisi Militer). Begitu memasuki gerbang Istana Cipanas, penjaga langsung memberi hormat. Dengan sikap percaya diri, Sambas lantas bertanya, “Apakah situasi aman?” “Siap! Aman Let!” jawab sang penjaga dalam nada bersemangat. Sambas tersenyum mendengar kata “Let” dari prajurit jaga. Dia memaafkan dan memaklumi jika prajurit itu belum mengetahui tanda pangkat APRI versi terbaru. Tapi tidak demikian dengan dua pengawalnya, mereka terlihat sangat kesal atas panggilan yang sungguh tidak “etis” itu. “Sialan!” Sambas mendengar seorang pengawalnya mengumpat. Memasuki halaman Istana, seluruh peleton CPM pun dibariskan. Kepada sang sersan yang mengomandani peleton itu, Sambas lagi-lagi bertanya, “Apakah situasi di Istana Cipanas terkendali?” Eh, lagi-lagi sersan itu menjawab persis sama dengan jawaban prajurit penjaga di pintu gerbang. “Siap, aman Let!” Sambas memutuskan untuk tidak marah atau menegur. Pikirnya, bisa jadi sosialisasi soal pangkat belum sampai ke seluruh pasukan. Jadi, dia merasa itu bukan salah para prajurit di bawah. Saat situasi tersebut, tiba-tiba ajudannya maju ke depan dan menegur si sersan. “Lihat-lihat dong! Beliau ini komandan brigade, bukan seorang letnan!” Keributan itu cepat dilerai oleh Sambas dan untuk mencegah timbulnya suasana tidak enak, mereka pun lalu beranjak melanjutkan perjalanan pulang ke Bogor. Saat di Puncak, barulah “kesalahpahaman” itu terpecahkan. Mendapat informasi dari seorang tentara lainnya, Sambas baru mafhum bahwa para prajurit di Istana Cipanas itu sama sekali tidak salah. Mengapa? Ternyata tanda pangkat yang dibelikan ajudannya dari Toko Beny adalah tanda pangkat seorang letnan jenderal! “Yang tidak tahu itu adalah kami. Toko Beny salah jual, ajudan saya salah beli. Mereka keliru karena baru pertama kali,” kenang Sambas dalam Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan Jilid I terbitan Markas Besar LVRI (Legiun Veteran Republik Indonesia). Kendati demikian Sambas merasa bersyukur. Kendati tidak sengaja, dia setidaknya pernah merasakan jadi seorang letnan jenderal. Walaupun hanya tujuh hari. *
- Enam Istri Sunan Gunung Jati
SUDAH lama pernikahan menjadi sarana penyebaran agama. Hal itu pernah dilakukan oleh Sunan Gunung Jati saat proses penyebaran Islam di wilayah Priangan. Sang wali tidak hanya memperistri satu orang saja, atau empat orang sesuai ajaran Islam, melainkan enam orang. Walau dalam waktu yang tidak bersamaan. Dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 , M.C. Ricklefs menjelaskan jika jalinan pernikahan menjadi salah satu cara efektif untuk menyebarkan ajaran Islam. "Sunan dan para penggantinya dianggap memainkan peranan penting dalam penyiaran agama Islam ... melalui penaklukan, perkawinan-perkawinan, ataupun melalui dakwah para bekas muridnya". Tidak dijelaskan siapa istri pertama, kedua, ketiga dan seterusnya dari Sunan Gunung Jati. Namun yang pasti pernikahan sang wali dilakukan dalam rentang waktu yang berbeda. Dalam sebuah naskah tasawuf tidak berjudul, yang kemudian diberi nama Naskah Kuningan: Sejarah Wali Syekh Syarif Hidayatullah-Sunan Gunung Jati , terjemahan Amman N. Wahju diketahui bahwa pernikahan Sunan Gunung Jati dilakukan setelah ia selesai berguru kepada seorang ahli qiro’at (membaca Al-Qur’an) bernama Pengeran Makdum, putra Raja Andalusia. Naskah Kuningan sendiri ditulis dalam huruf Arab Pegon, dan menggunakan bahasa Jawa Kuno dialek Cirebon dan Sunda. Menurut Amman, naskah babad tersebut berisi rangkaian tembang yang terdiri atas 21 pupuh, 170 saleh, dan 1.480 padan. Dalam naskah asli yang diterjemahkan oleh Amman tercantum waktu pembuatan naskah, yang jika dimasehikan menjadi 4 April 1880 M. Berikut nama-nama perempuan yang pernah menjadi istri Sunan Gunung Jati. Nyi Gedeng Babadan Usai selesai belajar, sang guru Pangeran Makdum menyuruh Sunan Gunung Jati untuk berjalan ke arah barat. Di sana ia harus menemui Gedeng Babadan alias Maulana Huda dan memperdalam agama Islam bersamanya. Selama proses belajar di barat, Pangeran Makdum meyakini Sunan Gunung Jati akan menemui jodohnya. “Maka Syekh Maulana Jati mengikuti petunjuk itu dan pergi ke arah barat, ke Banten,” tulis Amman. Setiba di Banten, Sunan Gunung Jati menemukan Maulana Huda sedang dirundung keresahan. Musibah kekeringan yang menimpa Banten selama beberapa waktu telah menghancurkan pertanian rakyat. Dalam Naskah Kuningan dikisahkan jika Sunan Gunung Jati membantu permasalahan kekeringan tersebut. Melihat tanahnya kembali subur, Maulana Huda sangat senang. Ia pun menerima pendatang itu dan bersedia mengajarinya. Dalam prosesnya Sunan Gunung Jati lalu dijodohkan dengan putri Maulana Huda, Nyi Gedeng Babadan. Namun sayang pernikahannya itu tidak menghasilkan keturunan. Naskah Kuningan meyakini bahwa Nyi Babadan adalah istri pertama Sunang Gunung Jati. Nyi Rara Jati Setelah kembali dari Banten, Sunan Gunung Jati mulai menyebarkan Islam di Cirebon dan sekitarnya. Ia kemudian bertemu dengan Syekh Datuk Kahfi, dikenal juga sebagai Syekh Nurjati, salah seorang penyebar Islam pertama di Cirebon. Keduanya saling belajar, dan sama-sama menyebarkan ajaran Islam di tatar Sunda. Sunan Gunung Jati dikenalkan oleh Syekh Nurjati kepada putrinya, Nyi Rara Api atau Nyi Rara Jati. Keduanya pun berjodoh. Dalam sebuah naskah ilmu tasawuf, Naskah Mertasinga , diterbitkan dalam buku Sejarah Wali: Syekh Syarif Hidayatullah-Sunan Gunung Jati (Naskah Mertasinga) hasil terjemahan Amman N. Wahju, disebutkan jika pernikahannya itu dikaruniai dua orang putra, yakni Pangeran Jayakalana dan Pangeran Bratakalana. Di dalam Naskah Mertasinga terdapat sepenggal kisah kehidupan sang wali, termasuk ajarannya selama proses penyebaran Islam di Cirebon dan sekitarnya. Nyi Mas Pakungwati Pernikahan Sunan Gunung Jati selanjutnya dianggap sebagai perjodohan yang paling berpengaruh dalam penyebaran Islam di Cirebon dan Priangan. Penelitian yang dilakukan A. Sobana Hardjasaputra dan Tawalinuddin Haris dalam buku Cirebon dalam Lima Zaman: Abad ke-15 hingga Pertengahan Abad ke-20 menyebut jika tahun 1479 Pangeran Cakrabuana menyerahkan kekuasaannya kepada Sunan Gunung Jati. Saat itu, Sunan Gunung Jati telah resmi menikah dengan putri Pangeran Cakrabuana dari Nyai Mas Endang Geulis, yaitu Nyi Mas Pakungwati. Setelah mendapat kedudukan sebagai penguasa Cirebon, Sunan Gunung Jati segera merubah bentuk pemerintahannya menjadi kerajaan Islam. Perubahannya dilakukan untuk memperkuat kekuatan Islam di tanah Sunda dan menyebarkannya ke luar Cirebon. Selama pernikahannya dengan Nyi Mas Pakungwati juga Sunan Gunung Jati diangkat sebagai wali oleh Dewan Wali, menggantikan Sunan Ampel yang telah wafat. Tidak dijelaskan dengan pasti berapa putra dan putri yang diperoleh Sunan Gunung Jati pada pernikahannya ini tetapi banyak di antara mereka yang wafat sebelum meneruskan dakwah sang wali. Nyi Tepasari atau Rara Tepasan Perjodohannya kali ini banyak disebut sebagai proses legitimasi dan persebaran Islam ke wilayah yang lebih luas. Dalam Naskah Kuningan Sunan Gunung Jati menikah dengan putri Nyi Gedeng Tepasan, yang juga cucu dari Raja Majapahit Sri Angerehrah, Rara Tepasan. Naskah Kuningan tidak menjelaskan siapa sebenarnya tokoh bernama Sri Angerehrah ini. Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa pada masa Sunan Gunung Jati bertemu dengan Rara Tepasan (akhir abad ke-15) kekuasaan di Majapahit dipegang oleh Raja Singhawikrama Wardhana. “Dari pernikahannya ini Sunan Gunung Jati dikaruniai dua orang anak, yakni Ratu Ayu dan Pangeran Pasarean, yang kelak menurunkan raja-raja Carbon di kemudian hari,” tulis Amman. Nyi Kawung Anten Asal usul Nyi Kawung Anten masih menjadi perdebatan. Sebagian peneliti menyebut jika istri Sunan Gunung Jati ini adalah adik Bupati Banten saat itu. Namun literatur lain menyebut jika ia adalah cucu raja Pakuan, adik dari Prabu Mandi Pethak atau Dipati Cangkuang. Dalam Naskah Kuningan dikisahkan pertemuan Sunan Gunung Jati dengan Nyi Kawung Anten terjadi dalam kondisi yang unik. Ketika sedang berjalan-jalan ke Pakuan, Sunan Gunung Jati menemukan sebuah istana yang terlihat telah ditinggalkan oleh penghuninya. Saat sedang menyusuri setiap ruang di dalam istana tersebut, Sunan Gunung Jati menemukan sosok perempuan. Singkat cerita mereka pun berjodoh. Dan dari pernikahannya ini terlahirlah Ratu Winahon dan Pangeran Sebakingkin. Kelak keturunan Sunan Gunung Jati ini menjadi bupati di Banten. Syarifah Baghdadi dan Ong Tien Nio Dalam Babad Cirebon dimuat dalam buku Jawa Barat dalam Lima Lembaga karya Edi S. Ekadjati, diceritakan tiga tokoh penting dari Arab yang menyebarkan Islam di Cirebon, yakni Syarif Abdurrahman, Syarif Abdurrahim, dan Syarifah Baghdad. Mereka adalah saudara kandung, putra dan putri dari Sultan Baghdad. “Mereka diperintah untuk berlayar ke Pulau Jawa oleh sang ayah. Di Cirebon ketiganya berguru kepada Syekh Nurjati dan diperkenalkan dengan Pangeran Cakrabuana, pendiri Cirebon,” tulis Bambang Setia Budi dalam Masjid Kuno Cirebon . Kedua putra Sultan Baghdad kemudian mendirikan masjid masing-masing sebagai basis penyebaran ajaran Islam mereka. Sementara itu saudara perempuan mereka, Syarifah Baghdadi, menikah dengan Sunan Gunung Jati. Ia pun turut membantu penyebaran agama Islam bersama saudara dan suaminya. Sementara itu, pernikahan Sunan Gunung Jati dengan putri keturunan Tiongkok, Ong Tien Nio tidak banyak terekam. Para peneliti lebih banyak meduga jika pernikahan itu terjadi saat pemerintah Cirebon melakukan hubungan dagang dengan orang-orang Tionghoa. Pertemuan keduanya terjadi di Tiongkok saat Sunan Gunung Jati melawat ke sana. Namun pernikahannya terjadi di Jawa. Untuk menjaga hubungan baik dengan mereka, sekaligus menyebarkan ajaran Islam di kalangan masyarakat asing tersebut, Sunan Gunung Jati menikahi Ong Tien Nio. Pengaruh Tiongkok sendiri sebenarnya sangat kental terasa di Cirebon. Banyak bangunan masjid yang dipenuhi oleh ornamen Tiongkok, seperti keramik, piring, dan kerajinan khas Tiongkok lainnya. Hal itu cukup memperkuat bukti adanya hubungan yang kuat antara Sunan Gunung Jati dengan etnis Tionghoa.*
- Tragedi Dakota dalam Hari Bakti Angkatan Udara
DENGAN khidmat, Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Yuyu Sutisna memimpin upacara sederhana Hari Bakti TNI AU ke-72 di Lanud Adisutjipto, Yogyakarta,Senin 29 Juli 2019. Di pagi buta itu, KSAU berpesan agar generasi penerus TNI AU meneladani para kadet yang melancarkan operasi pemboman atas Semarang, Salatiga, dan Ambarawa 72 tahun silam. “Nilai-nilai perjuangan yang merupakan warisan para pendahulu harus senantiasa diteladani dan diimplementasikan insan-insan Swa Bhuwana Paksa dari generasi ke generasi, sehingga seluruh prajurit TNI AU mengingat jati dirinya sebagai tentara yang mengabdi pada Ibu Pertiwi,” ujar KSAU. Pidato KSAU kemudian dilanjutkan dengan pementasan sosiodrama yang dilakoni para pereka ulang Djokjakarta 1945. Hari Bakti TNI AU, diungkapkan Irna H.N. Hadi Suwito dkk dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950 , ditetapkan lewat SK KSAU Nomor Kep. 133/VII/1976 berdasarkan pada peristiwa gugurnya tokoh-tokoh AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia)dalam peristiwa jatuhnya pesawat angkut C-47 Dakota bernomor registrasi VT-CLA pada petang 29 Juli 1947. KSAU Marsekal Yuyu Sutisna dalam upacara peringatan Hari Bakti TNI AU di Lanud Adisutjipto. (tni.au.mil.id). Rabu Kelabu Rabu 30 Juli 1947 itu, sejumlah petinggi TNI memenuhi sebuah aula di Hotel Tugu, Yogyakarta dalam suasanakelabu. Di sanalah berbaring tiga jenazah perintis AURI: Komodor Muda Udara dr. Abdulrachman Saleh, Komodor Muda Udara Agustinus Adisutjipto, dan Opsir Muda Udara Adisumarmo Wiryokusumo. Selain KSAU Komodor Suryadi Suryadarma, turut hadir Panglima TNI Jenderal Sudirman memberi penghormatan terakhir dalam upacara militer itu. Ribuan masyarakat sipil yang terpukulturut memberi penghormatan. Masing-masing jenazah lalu dikebumikan sesuai permintaan keluarga.Jenazah Abdulrachman Saleh dan Adisutjipto dikuburkan di Kuncen, sementara Adisumarmo di Taman Makam Pahlawan Semaki. Suryadarma amat terpukul dan sedikit menyesal . Ia merasa gugurnya ketiga kolega beserta enam korban Dakota VT-CLA lain disebabkan oleh amuk Belanda yang dikejutkan oleh serangan udara kadet-kadet AURI pada pagi 29 Juli 1947. Akibatnya, pesawat Dakota VT-CLA itupun jadi salah satu tumbal pembalasan Belanda. Pesawat Dakota VT-CLA itu dibeli pemerintah RI sedianya untuk mengantar dua ton obat-obatan dari Singapura yang merupakan sumbangan Palang Merah Malaya untuk Palang Merah Indonesia. Sebelum dibeli, pesawat itumilik Biju Patnaik, pengusaha India cum mantan pilot Royal Air Force (RAF/AU Inggris) yang bersimpati pada kemerdekaan Indonesia. VT-CLA sendiri merupakan nomor registrasi sipil Dakota itu dalam naungan Maskapai Kalingga Airlines, dan belum diganti meski sudah dibeli pemerintah RI. Pesawat dengan rute Singapura-Yogyakarta itu dipiloti penerbang veteran AU AustraliaAlexander Noel Constantine dan veteran AU InggrisRoy Lance Hazelhurst. Mengutip Adityawarman Suryadarma dalam biografi ayahnya, Bapak Angkatan Udara: Suryadi Suryadarma , rute penerbangan nonmiliter itu sudah mendapat izin terbang dari pemerintah Inggris dan NICA di Jakarta. Berdasarkan manifes otoritas bandara Singapura, pesawat itu ditumpangi sembilan orang. Selain tiga tokoh AURI dan dua penerbangnya, turut menumpang istri sang pilot, Beryl Constantine; Abdulgani Handonotjokro dari GKBI Tegal; Zainal Arifin dari Konsul Dagang RI di Malaya; dan teknisi Bhida Rom asal India. Dikuntit Sepasang Kittyhawk Dakota VT-CLA itu bertolak dari Singapura pukul 1 siang dengan muatan dua ton sumbangan obat-obatan. Penerbangan berjalanan aman. Namun sesampainyadi atas Kepulauan Bangka-Belitung, sepasang pesawat Curtiss P-40 “Kittyhawk” AU Belanda mulai tampak. Muncul dan menghilang,begitulahseterusnya dua Kittyhawk bermanuver untuk menguntit Dakotahingga tiba di angkasa Yogyakarta sekira pukul 4 sore. Saat runway Lanud Maguwo terlihat, pilot Constantine segera menurunkan roda pesawat sambil mengarahkan pesawat berputar sekali sebelum mendarat. Saat itulah tembakan dari senapan mesin kaliber 12,70 milimeter M2 Browning sepasang Kittyhawk dimuntahkan kedua pilotnya. “Dakota VT-CLA mengeluarkan asap; baling-baling sebelah kanan patah. Pesawat itu kehilangan keseimbangan dan tembakan masih gencar dilancarkan. Ketika menukik tajam, dari pintu pesawat tampak beberapa sosok tubuh terlempar ke luar. Pesawat miring hingga sayap kirinya melanggar pucuk pohon, kemudian jatuh melayang mem b entur tanggu l sawah,” ungkap Irna dkk b e r dasarkan kesaksian seorang bernama Soma Pawiro. Panglima TNI Jenderal Sudirman turut memberi penghormatan terakhir pada tiga tokoh AURI di Hotel Tugu. Dakota VT-CLA jatuh dan meledak di persawahan batas Desa Ngoto dan Desa Wojo, sekira tiga kilometer dari pusat kota Yogyakarta. Warga langsung mendatangi lokasi. Meski mulanya dikira pesawat Belanda, pertolongan tetap diupayakan meski hari mulai gelap. Dengan obor dan tandu seadanya dari batang bambu, masyarakat mengevakuasi beberapa korban. Para personil AURI lantas berdatangan, termasuk kadet Suharnoko Harbani dan KSAU Suryadarma. Saat itulah warga insyaf bahwa itu pesawat republik. Selain Abdulgani, Beryl Constantine masih hidup dengan luka tembak di pipi saat dievakuasi. Namun, nyawanya tak tertolong saat dilarikan ke Rumahsakit Bethesda, tempat para korban mendapat penanganan. Para korban, utamanya para perintis AURI, lalu disemayamkan di Hotel Tugu untuk mendapatkan penghormatan terakhir secara militer. Mereka dimakamkan keesokan harinya. Peristiwa itu membuat Belanda mencari alasan untuk mengelak.“Menurut radio Yogya, dua pesawat Belanda menembak jatuh Dakota yang membawa bantuan medis dari Singapura. Namun jurubicara pemerintah Belanda di Den Haag membantah, berdasarkan komunike Belanda di Batavia, di mana pesawat Belanda hanya memberi tembakan peringatan namun Dakota itu jatuh karena menabrak sebuah pohon,” tulis Suratkabar Nieuwe Apeldoornsche Courant , 30 Juli 1947. Alasan itu jelas mengada-ada lantaran pada jenazahBeryl Constantine dan Adisumarmoterdapat luka tembak. Belanda lantas “meralat” pernyataannya bahwa memang benardua pilot Kittyhawk, Lettu B.J. Ruesink dan Serma W.E. Erkelens, melepas tembakan tapi lantaran mereka salah mengira pesawat itu sebagai pembom tukik Jepang Ki-49 “Helen”. Dua pilot AU Belanda, B.J. Ruesink dan W.E. Erkelens yang menembak jatuh Dakota VT-CLA. (Dienst voor Legercontacten Indonesie/nationaalarchief.nl) Alasan yang lebih mengada-ada itu –lantaran kedua pilot Belanda merupakan alumnus Skadron Nederlands East Indisch (NEI) yang berlatih di Canberra, Australia semasa Perang Dunia II;mustahil mereka tak mengenali bentuk pesawat Dakota yang merupakan andalan Sekutu–kembali direvisi Belanda. Menurutnya, pesawat mereka menembaki Dakota VT-CLA lantaran tak menggunakan insignia palang merah di badan pesawat. Dunia internasional kian mengecam Belanda, terlebih setelah keluar kesaksian Letkol Peter Ratcliffe , perwira Inggris utusan SEAC (South East Asia Command) yang sedang di Yogyakarta. Ratcliffe menyaksikan sendiri dua Kittyhawk Belanda itu menembaki Dakota meski D a kota sudah miring menjelang menghantam daratan. Ratcliffe ikut mendatangi RS Bethesda untuk melihat dua korban, Beryl Constantine dan Adisumarmo. Dalam kesaksiannya, kedua tubuh jenazahdipenuhi luka tembak. “Sebuah insiden paling pengecut dan brutal dan tindakan kebodohan yang pernah saya lihat,” kata Ratcliffe marah, dikutip tabloid AU Australia, Pathfinder, edisi 159, Juli 2011.
- Nasib Tragis Sang Environmentalist
DEMI merayakan natal bersama keluarganya, Francisco Alves Mendes Filho atau biasa disapa Chico Mendes pulang ke rumahnya di Xapuri, Acre, Brazil pada Oktober 1988. Aktivitasnya keliling Brazil mengkampanyekan kelestarian hutan untuk sesaat dia hentikan dulu. Namun, ada yang berbeda dari perayaan natal tahun 1988 itu. Saat pesta ulangtahunnya yang ke-44, 10 hari sebelum natal, Mendes melontarkan kalimat aneh. “Saya menganggap saya tak akan hidup sampai natal,” ujarnya sebagaimana dikutip Andrew Revkin dalam The Burning Season: The Murder of Chico Mendes and the Fight for the Amazon Rain Forest . Mendes, pria kelahiran Xapuri pada 15 Desember 1944, merupakan penduduk pedalaman belantara Amazon yang getol mengkampanyekan pelestarian hutannya. Hutan hujan terluas di dunia itu merupakan rumah bagi ribuan jenis tanaman dan hewan. “Dan di antara pohon paling ajaib dari semua adalah seringueiras –pohon karet. Kemampuan mereka menghasilkan lateks secara teratur menjadikannya setara dengan pabrik kecil secara biologis”kata Alon Tal dalam tulisannya di buku Speaking of Earth: Environmental of Speeches that Moved the World . Sebagaimana masyarakat di tempat tinggalnya, leluhur Mendes hidup dari menyadap karet alam. “Selama hampir dua abad mereka telah mengekstraksi karet dari pohon-pohon yang tumbuh di sana, untuk memasok nafsu konsumsi karet dunia yang berkembang. Hutan bagi mereka adalah tambang bahan mentah amat berharga,” sambung Tal. Sejak usia sembilan tahun, Mendes sudah diajak menyadap karet oleh ayahnya. Aktivitas itu membuatnya belajar banyak hal tentang karet, mulai dari memilih pohon hingga proses pengasapan sebelum lateks bisa dijual. Pada usia 11 tahun, Mendes bekerja penuh waktu sebagai menyadap karet. Kesehariannya di hutan membuatnya mengenal seluk-beluk hutan di sekitarnya pada usia 18 tahun. Namun, saat itu Mendes belum pernah mengenal dunia di luar hutan apalagi membaca koran. Maka sama seperti masyarakatnya, keluarganya tetap tak tahu bagaimana cara mengatasi utang yang terus menumpuk kepada baron-baron setempat akibat jatuhnya harga karet. Karet merupakan sandaran hidup tiap keluarga dan tumpuan utama perekenomian masyarakat. Begitu pentingnya arti karet bagi membuat mereka pantang merusak hutan. Keharmonisan hubungan manusia-alam itu akhirnya terusik oleh kedatangan perusahaan peternakan ( ranch ). Banyak pengusaha peternakan membabat hutan untuk dijadikan padang penggembalaan hewan ternak mereka setelah pemerintah berkeinginan menyediakan daging terjangkau bagi rakyatnya. Di tempat tinggal Mendes, peternakanFazenda Parana milik Darly Alves da Silva menjadi pemain kunci yang merusak keharmonisan masyarakat dan hutan mereka. “Tahun 1974 mereka membeli sebidang tanah pertama di Xapuri. Darli menjual tanah pertaniannya seluas 250 hektar di Umuarana dan membeli tanah seluas 2.100 hektar di sepanjang kiri-kanan jalan menurun yang membelok ke Xapuri. Di sinilah keluarga itu menciptakan peternakan Fazenda Parana. Padahal daerah itu tadinya adalah sebuah hutan perawan di dalam wilayah suatu seingalistas . Dengan membangun jalan, Lembah Acre, di antara pertengahan 1970-an dan akhir 1980-an telah berubah dari hutan menjadi padang rumput. Dalam proses itu semua, keluarga ini dikenal dengan reputasi pemakai cara kekerasan yang luar biasa,” kata Chico Mendes dalam tulisannya di buku Berjuang Menyelamatkan Hutan: Sebuah Kata Hati . Konflik antara masyarakat dan peternakan terus bermunculan. Dalam suasana itulah Mendes tumbuh tanpa tahu apapun cara untuk menyelesaikannya. Namun, pertemuannya dengan Euclides Fernando Tavora, perwira AD Brazil yang melarikan diri setelah terlibat dalam pemborontakan gagal pimpinan Luis Carlos Prestes pada 1934, mengubah semuanya. Tavora menjadikan Mendes anak didik, mengajarkan membaca, memperkenalkan koran, dan mengajaknya mendengarkan siaran radio. “Dia tak membuang waktu untuk memperkenalkannya pada dasar-dasar sosialis, prinsip-prinsip populis,” kata Alon Tal. Dunia di luar bukan hal asing lagi bagi Mendes sejak itu. Penyelesaian konflik dengan peternakan pun menjadi obsesi Mendes. Untuk itu, Mendes mengajarkan para pemuda di sekitarnya membaca dan menulis. “Pada 1975, Chico mendengar bahwa serikat buruh telah masuk wilayah Acre. Dengan kesadaran kelas yang baru didapat dan hasrat mudanya, ia secara alami cenderung untuk bergabung dengan mereka.” Seiring menguatnya kesadaran teman-temannya akan perlakuan tak adil yang diterima, Mendes mendirikan Rural Workers’ Union dan Rubber Tappers’ Union. Pada 1976, Serikat membuat aksi “standoff”. Sekira 70 orang, lelaki dan perempuan, berjalan menuju hutan untuk menggagalkan penebangan pohon oleh ratusan pekerja yang didukung beberapa pria bersenjata. Aksi itu mendapat dukungan para penyadap karet. Mereka bergandengan tangan membentuk dinding manusia yang menghalangi para penebang pohon (dinamakan empate ). “Itu adalah latihan spontan dalam perlawanan sipil, tetapi itu mengatur nada untuk aksi Mendes berikutnya: tanpa kekerasan, jauh lebih agresif dibanding protes sopan. Para demonstran hanya bertekad untuk menghentikan penebangan,” tulis Alon. Mendes kian aktif mengorganisir dukungan lokal Partai Buruh dalam menyuarakan National Campaign for the Defence and Development of the Amazon. Mereka lalu menuntut pemerintah membuat hutan “extractive reserve” untuk mendukung pelestarian alam sekaligus sumber mata pencarian penduduk. Untuk meluaskan dukungan, Mendes menginisiasi pertemuan nasional penyadap karet di Brasilia pada Oktober 1985. Para penyadap karet dari berbagai pelosok negeri menghadiri pertemuan perdana itu, yang mendiskusikan ancaman lingkungan tempat tinggal mereka dari pembangunan jalan dan perluasan peternakan, serta deforestasi. Pertemuan itu berhasil menarik perhatian gerakan pecinta lingkungan internasional. Stephan Schwartzman, pecinta lingkungan asal AS, hadir dalam pertemuan itu bersama antropolog Mary Allegretti dan Tony Gross (perwakilan Oxfam). Menurut Margaret E Keck dalam “Social Equity and Environmental Politics in Brazil: Lssons from the Rubber Tappers of Acre”, “pertemuan ini juga menghasilkan pembentukan Dewan Penyadap Karet Nasional dan mulai merumuskan proposal extractive reserve s di Amazon. Hutan cadangan ini, yang dibuat di wilayah publik, akan menjamin penggunaan tanah penyadap karet.” Proposal extractive reserves itu lalu dibawa Serikat ke Sekretaris Lingkungan Hidup Brazil Paulo Nogueira Neto dan dibawa Schwartzman ke Washington. Mendes diundang Environemental Defense Fund and the National Wildlife Federation ke Washington untuk berbicara di depan Kongres AS, World Bank (WB), dan pertemuan tahunan Inter-American Development Bank (IDB) pada Maret 1987. WB dan IDB menyetujui pendanaan extractivereserves . Pemerintah Brazil pun membentuk instrumen hukum bagi pembentukan hutan cadangan itu. “Pada 30 Juni 1988, utusan lokal dari Ministry for Land Reform and Development (MIRAD) menjejakkan kakinya sambil berkata bahwa perkebunan karet Cachoeira tidak akan pernah diambil alih. Hanya 30 hari sesudah itu, suatu perintah untuk pembelian Cachoeira dikeluarkan. Sejak itu, hutan cadangan baru dinyatakan berdiri. Kemudian hutan cadangan lainnya di Sao Luis do Remanso dinyatakan berdiri. Kesemuanya berjumlah 40.000 hektar (150 mil persegi),” kata Mendes. Pada Juli 1987, PBB menganugerahi Mendes Global 500 Award, penghargaan bidang lingkungan yang diberikan kepada aktivis akar-rumput, organisasi lingkungan, dan tokoh masyarakat atas kontribusi mereka terhadap perlindungan lingkungan. Keberhasilan itu membuat Mendes dan rekan penyadap karet masuk dalam bidikan para tuan tanah pengusaha peternakan. Untuk menghancurkan gerakan yang menghalangi kepentingan bisnis mereka, para pengusaha memanfaatkan aparat keamanan dan aparat hukum Brazil yang korup. Perlawanan mereka makin gencar setelah berdirinya União Democrática Rural (UDR). “Di sini di Xapuri, kehadiran UDR mulai terasa. Sejak April 1988, ketika organisasi itu secara formal didirikan, jumlah penembak bayaran di Xapuri bertambah. Sejak itu pula jumlah pembunuhan dan usaha untuk itu meningkat. Orang-orang bersenjata itu dalam kenyataannya adalah sayap militer dari UDR, dan kami adalah target mereka. Tantangan besar lainnya ialah memobilisasi pendapat umum. Dengan begitu kami dapat semakin kuat mendorong pemerintah untuk mengambil alih lebih banyak hutan,” sambung Mendes. Mendes makin sering mendapat ancaman pembunuhan. Pada 29 November 1988, dia mengirim telegram berisi informasi adanya rapat perencanaan pembunuhan dirinya di Peternakan Fazenda Parana ke sejumlah pemangku kebijakan. Namun, pengaduan itu tak ditindaklanjuti. Desa tempat tinggal Mendes juga terus diawasi para pria bersenjata kaki-tangan Darly sejak beberapa bulan sebelum ulangtahun Mendes ke-44. Mereka menghilang begitu pesta itu berjalan lancar dengan banyak tamu. Masyarakat menganggap ketiadaan kaki-tangan Darly di sekitar desa adalah pertanda buruk. Ketika Mendes pulang untuk merayakan natal 1988, para pria bersenjata sudah tak tampak kendati sebetulnya tetap mengawasinya. Kamis 22 Desember malam, Mendes menghabiskan waktu dengan bermain domino bersama beberapa pengawalnya di dapur. Saat hendak menyiram teras belakang, tulis Alon Tal, “Mendes tidak pernah mencapai teras itu. Serentetan tembakan meletus yang membuatnya kembali ke dalam rumah dengan darah berkucuran.” Mendes tewas. Kematiannya menimbulkan kemarahan, terutama di kalangan para penyadap karet. Sementara, penggundulan hutan Amazon semakin menjadi. “Sembilan bulan setelah pembunuhan Chico Mendes, empate masih berjalan baik,” kata Revkin. Namun, korupnya aparat keamanan Brazil membuat pembunuhan Mendes tak pernah benar-benar diusut. Penyerahan diri Darci Alves, anak Darly yang mengaku jadi dalang pembunuhan itu, dan bahkan Darly tak banyak membantu pengungkapan kasus itu. “Chico Mendes merupakan aktivis pedesaan ke-90 yang dibunuh di Brazil tahun itu,” kata Anthony L. Hall dalam bukunya Sustaining Amazonia: Grassroots Action for Productive Conservation .
- Bantuan Senjata dari Indonesia untuk Mujahiddin Afghanistan
Pada Maret 1983, menjelang Sidang Umum MPR, Mayor Luhut Pandjaitan, Komandan Den 81/Antiteror, dikejutkan dengan laporan bahwa pasukannya disiagakan. Perintah itu datang dari wakilnya, Kapten Prabowo Subianto. Prabowo akan menangkap Letnan Jenderal TNI Benny Moerdani, Asintel Hankam/ABRI dan beberapa perwira tinggi ABRI. Luhut segera memanggil Prabowo. Namun, Luhut langsung ditarik oleh Prabowo ke luar kantor. Alasannya, ruangan sudah disadap. Prabowo mengatakan bahwa Benny akan melakukan kudeta dan sudah memasukkan senjata. Dalam biografi Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando karya Hendro Subroto, Luhut membenarkan bahwa Benny memasukkan senjata. Namun, senjata itu barang dagangan untuk Pakistan yang selanjutnya akan disalurkan kepada Mujahiddin di Afghanistan untuk melawan Uni Soviet. “Operasi intelijen oleh L.B. Moerdani dilakukan dalam upaya mencari dana dan memberi peran Indonesia dalam perjuangan di Asia,” tulis Hendro. Marsekal Muda TNI Teddy Rusdy ketika menjabat Ketua LPT Taruna Nusantara menerima kunjungan Menhankam Jenderal TNI Benny Moerdani. (Repro Think A Head) Pengiriman senjata kepada Mujahiddin Afghanistan bermula dari pertemuan Benny Moerdani didampingi Kolonel Udara Teddy Rusdy, Paban (Perwira Diperbantukan) VIII Staf Intel Hankam, dengan Kepala Intelijen Pakistan (Inter-Service Intelligence/ISI), di Islamabad pada 18 Februari 1981. Pertemuan rahasia itu membahas permintaan Mujahiddin Afghanistan dan intelijen Pakistan kepada Indonesia untuk membantu logistik, obat-obatan, dan persenjataan. “Saat itulah awal dari operasi khusus L.B. Moerdani dan Teddy Rusdy memasok senjata ke Mujahiddin Afghanistan,” tulis Servas Pandur dalam biografi Teddy Rusdy, Think A Head. Keputusan itu diambil karena persenjataan dan logistik yang ideal untuk melanjutkan perang gerilya Mujahiddin Afghanistan melawan Uni Soviet adalah jenis persenjataan yang sama dengan yang digunakan lawan. Oleh karena itu, Mujahiddin sangat membutuhkan senjata-senjata buatan Uni Soviet, yang kebetulan banyak dimiliki ABRI sebagai inventaris masa Trikora (Tri Komando Rakyat) dan Dwikora (Dwi Komando Rakyat). “Dengan persetujuan Presiden Soeharto, dikumpulkan jenis senjata buatan Uni Soviet dari gudang-gudang seluruh Indonesia, dan terkumpul persenjataan untuk kelengkapan dua batalion infanteri,” tulis Servas. Senjata dan logistik tersebut selama beberapa bulan diangkut ke Jakarta, dikumpulkan di gudang-gudang khusus milik Staf Intel Hankam, Pusat Intelijen Strategis (Pusintelstrat), dan Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Pekerjaan pertama yang memakan waktu lama adalah menghapus semua nomor seri yang tertera pada setiap senjata untuk mengaburkan asal senjata tersebut. Setelah selesai semua persiapan yang sangat teliti, ketat, dan tertutup, pada Juni 1981 dipersiapkan cara dan sarana pengangkutan dari Jakarta ke Afghanistan. Semua senjata itu dimasukkan ke dalam peti dan diberi tanda palang merah, dicampur dengan peti obat-obatan dan selimut. Tentara Uni Soviet bersiaga, 1988. (Wikimedia Commons) Peti-peti itu diangkut dengan pesawat jenis Boeing 707. Pilotnya dipilih yang biasa terlibat dalam operasi intelijen, yaitu Kapten Arifin, Kapten Abdullah, dan Kapten Danur. Rute penerbangannya dari Jakarta ke Kepulauan Diego Garcia di Samudera Hindia, selanjutnya ke Rawalpindi di Pakistan Utara. “Penerbangan operasi intelijen di wilayah udara internasional di- cover sebagai penerbangan bantuan kemanusiaan, dikendalikan melalui peralatan komunikasi khusus ( scrambler ) di pesawat oleh Teddy Rusdy dan di markas Staf Intel Hankam oleh L.B. Moerdani,” tulis Servas. Pesawat tiba di Rawalpindi, pangkalan Angkatan Udara Pakistan, menjelang tengah malam. Tim penerima telah siap dengan tank dan personel bongkar muat dan angkutan disiapkan oleh intelijen Pakistan. Tengah malam menjelang pagi, konvoi bantuan kemanusian pemerintah Indonesia untuk pengungsi dan korban perang Afghanistan bergerak ke Barat, melalui Attock, Nowshera, Peshawar, melalui lembah yang terkenal Khyber Pass, memasuki Afghanistan. Sesampainya di sana, peti-peti berisi senjata yang dicampur obat-obatan dan selimut diserahkan kepada pimpinan Mujahiddin di Nangarhar. Perang yang berlangsung sejak 1979 berakhir tahun 1989. Pasukan Uni Soviet ditarik mundur dari Afghanistan disusul jatuhnya rezim Mohammad Najibullah tahun 1992. Perang itu mengakibatkan Uni Soviet kehilangan 14.453 tewas, 53.753 luka-luka, dan 264 hilang. Sedangkan Mujahiddin kehilangan 57.000 tewas dan Pakistan kehilangan lebih dari 300 tewas.
- Mengukur Kemurnian Manusia Indonesia
Banyak masyarakat barangkali masih ragu, atau bahkan tidak percaya dengan kebenaran teori asal mula manusia modern yang pasti selalu dikaitkan dengan benua Afrika. Biasanya muncul pertanyaan: jika benar mengapa setiap orang tidak memiliki fisik seperti orang Afrika? atau siapa sebenarnya leluhur manusia modern itu? Pemikiran seperti itu nyatanya juga masih terus tumbuh di Indonesia. Terlebih para ilmuwan menambahkan teori dari Asia untuk menjelaskan asal usul masyarakat Indonesia. Akhirnya sebagian dari kita belum puas dengan teori para ilmuwan tersebut, dan terus mempertanyakan keaslian nenek moyang yang membentuk gen manusia Indonesia. Baca juga: Ikuti Proyek DNA: Sebineka Apa Kamu? Dalam acara kajian sains modern, “Asal-Usul Manusia Indonesia”, yang diselenggarakan Museum Nasional Indonesia bekerjasama dengan Gramedia pada 25 Juli 2019 di Auditorium Museum Nasional, Herawati Supolo Sudoyo, Peneliti Genetika Molekul dari lembaga Eijkman, memaparkan dengan jelas unsur genetika manusia Indonesia yang tesusun atas gen dari berbagai bangsa dunia. “Manusia pada dasarnya berkerabat dekat kalau kita lihat dari rekonstruksi silsilah populasi kita,” kata Herawati. Herawati Supolo-Sudoyo, peneliti Molekul Genetika Lembaga Eijkman. (Fernando Randy/Historia). Adanya teori Out of Africa yang menyebut manusia modern berasal dari Afrika ratusan ribu tahun yang lalu memang cukup membingungkan jika para ilmuwan tidak menjelaskannya dengan lengkap. Herawati mengatakan bahwa persebaran manusia dari Afrika ke seluruh dunia, termasuk Indonesia, terjadi dalam beberapa tahap yang berlangsung selama ratusan ribu tahun. Sehingga tidak heran jika pada prosesnya terjadi perubahan dalam bentuk fisik akibat perbedaan lingkungan dari tempat asalnya, yakni Afrika. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Colin Groves, profesor Biological-Anthropology di Australian National University, dalam Bones, Stones, and Molecules: Out Of Africa and Human Origins , menyebut jika perubahan bentuk fisik manusia terpengaruh oleh tempat tinggal mereka setelah keluar dari Afrika. Baca juga: Bukti Terbaru Asal Usul Manusia Modern Dalam mengungkap tabir genetika manusia di seluruh dunia, menurut Herawati, Indonesia memiliki kedudukan yang sangat istimewa dalam proses pencariannya. Sejak dahulu, wilayah Indonesia telah menjadi tempat manusia berlalu-lalang. Dan dari sinilah jenis-jenis manusia tersebar ke daerah-daerah sekitarnya. Seperti manusia dari daratan Asia yang bergerak ke arah timur menuju Pasifik atau ke selatan menuju Australia, sudah tentu akan melewati Indonesia terlebih dahulu. “Indonesia di tingkat genetika populasi dunia sangat penting. Sumbangan kita terhadap genetika molekul itu terbesar. Jadi kunci penyebaran manusia itu ada dikita,” katanya. Ahmad Arif, penulis dan wartawan Kompas. (Fernando Randy/Historia) Saat proses persebaran terjadi, tidak hanya fisik saja yang terpengaruh, tetapi kebiasaan, bahasa, budaya, bahkan komposisi gen pun ikut berubah. Hal itu terjadi saat manusia mulai melakukan pembauran dengan manusia lain yang memiliki perbedaan secara DNA. Periode perubahan gen masyarakat Indonesia berlangsung selama ribuan tahun. Tergantung dari tempat mereka tinggal. Sehingga setiap kelompok masyarakat memiliki periode yang berbeda. Seperti proses pembentukan etnis Banjar di Kalimantar yang diperkirakan memakan waktu 1.300 tahun, hasil campuran etnis Dayak dan Melayu. Baca juga: Manusia Indonesia adalah Campuran Beragam Genetika “Menarik bahwa ternyata pencampuran etnis di Indonesia itu sudah berlangsung lama sekali. Prosesnya memang alami, namun dipengaruhi oleh banyak faktor,” kata Ahmad Arif, wartawan Kompas yang menjadi pembicara di acara kajian sains modern “Asal-Usul Manusia Indonesia”. Di Indonesia proses pembauran terbesar terjadi pada era perdagangan hingga kolonial, yang telah dimulai sejak abad-abad pertama Masehi. Pada periode tersebut banyak bangsa yang datang ke Nusantara membawa DNA campuran dari wilayahnya masing-masing. Para pedagang dari Arab, Tiongkok, India, Afrika, dan Eropa, yang melakukan kontak dengan masyarakat lokal perlahan mulai mengalami perubahan di dalam genetikanya. Mereka terpengaruh oleh keadaan lingkungan, kebiasaan, makanan, dan segala jenis interaksi yang terjadi di Nusantara. Di samping hubungan pernikahan. Baca juga: Spesies Baru Manusia Ditemukan “Orang yang tinggal di pesisir, seperti masyarakat Jawa pesisir, pasti ada gen Chinanya, Indianya, sama Arabnya, walau ga semua. Karena memang itu tempat pertemuan genetis,” kata Herawati kepada Historia . Keadaan itu berlaku juga bagi masyarakat Indonesia, baik yang tinggal di pesisir ataupun pegunungan. Masyarakat pesisir yang berinteraksi langsung dengan bangsa asing, ditambah lingkungan laut, memiliki bentuk genetika yang berbeda dengan masyarakat pedalaman, yang umumnya dipengaruhi oleh gen dalam lingkup yang lebih sempit. Potret peserta diskusi. (Fernando Randy/Historia). Sebagai contoh, Ahmad Arif melakukan tes DNA di salah satu laboratorium genetika di Amerika dan Lembaga Biologi Molekular Eijkman. Ia menggunakan sampel darah dan saliva (air liur) untuk melihat komposisi gen di dalam dirinya. Hasilnya memperlihatkan bahwa leluhur Ahmad berasal dari Tiongkok sekitar 9.000 tahun lalu yang menyebar ke kawasan barat dan selatan Asia Tenggara hingga akhirnya masuk ke Pulau Jawa. Baca juga: Ciri Negatif Manusia Indonesia "Misalnya saya yang dikonstruksikan sebagai orang Jawa ternyata DNA saya menceritakan bahwa leluhur saya itu macam-macam. Ada yang sekitar 200 tahun lalu dapat tambahan dari China, ada tambahan dari Asia Selatan, dan seterusnya. Jadi saya menjadi Jawa pun bukan berarti paling pribumi karena semua pun ada jejak pembaurannya," kata Ahmad kepada Historia . Lalu seberapa murni gen manusia yang disebut masyarakat asli Indonesia? Ahmad menegaskan bahwa tidak ada satupun orang Indonesia yang memiliki gen murni atau gen yang tidak bercampur. “Baca DNA menurut saya bisa dibawa kemana aja, bisa bilang mana yang murni. Walau sebenarnya secara ilmiah gaada yang paling murni, semua orang pasti campuran,” tutupnya.
- Apakah Rezim Mao Terlibat G30S?
SEBELUM peristiwa G30S meletus, Ketua CC PKI, D.N Aidit berkunjung ke Beijing. Di sana, Aidit bertemu ketua Partai Komunis Tiongkok (PKT), Mao Zedong. Mereka membicarakan situasi politik yang sedang terjadi di Indonesia; suksesi kekuasaan bilamana Presiden Sukarno wafat atau dilengserkan. Tidak lama berselang, terjadilah peristiwa 1 Oktober 1965. Sukarno kemudian tumbang. Jenderal Soeharto naik tampuk kekuasaan mendirikan rezim Orde Baru. Selain PKI, penguasa Orde Baru mencurigai keterlibatan pemerintah Tiongkok dalam G30S. Pada 1967, hubungan diplomatik antara Indonesia dan Tiongkok diputuskan. Apakah benar penguasa Beijing berada di balik G30S? “Percakapan antara Mao dengan Aidit barangkali merupakan bukti terkuat,” ujar Taomo Zhou, sejarawan Nanyang University dalam peluncuran dan bedah bukunya Revolusi, Diplomasi, Diaspora: Indonesia Tiongkok, dan Etnik Tionghoa, 1945—1967 yang diselenggarakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), 29 Juli 2019. Peluncuran dan bedah bukuRevolusi, Diplomasi, Diaspora: Indonesia, Tiongkok, Etnik Tionghoa 1945-1967karya Taomo Zhou di aula gedung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta, 29 Juli 2019. (Martin Sitompul/Historia) Keterlibatan rezim Mao dalam G30S selalu jadi perdebatan. Menurut Taomo, teka-teki itu dapat terjawab bila merujuk percakapan antara Aidit dan Mao. Transkrip percakapan keduanya tertanggal 5 Agustus 1965 tersebut tersimpan dalam arsip Kementerian Luar Negeri Tiongkok. Lebih dari setengah abad mengendap, arsip tersebut dideklasifikasi secara bertahap pada 2007. Sebanyak 250 bundel arsip setebal 2000 halaman dibuka hanya terbatas kepada peneliti dan sejarawan. Namun sayangnya, pemerintah Tiongkok mereklasifikasi (menutup akses) arsip berharga itu pada 2013 tanpa alasan yang jelas. Taomo menjadi salah satu sejarawan yang beruntung bisa meneliti arsip-arsip itu untuk keperluan disertasi doktoralnya di Universitas Cornell. Disertasi Taomo yang berjudul “Diaspora and Diplomacy: China, Indonesia and The Cold War, 1945-1967” rampung pada 2015. “Secara fundamental kita dapat katakan bahwa Aidit adalah aktor yang dengan sadar merancang gerakan sedangkan pengaruh Beijing pada dasarnya sangatlah terbatas,” kata Taomo. Menurut Taomo keterlibatan rezim Mao pada prahara paling berdarah dalam sejarah Indonesia tidak signifikan. Ketika bertemu dengan Mao, Aiditlah yang menerangkan rencana gerakan merebut kekuasaan. Mao sendiri terkejut saat mendengar gerakan tersebut akhirnya dilancarkan. Berdasarkan bukti itu, Taomo dalam penelitiannya menggugurkan mitos yang tersebar luas di mana Mao digambarkan sebagai “arsitek G30S”. Kendati demikian, dampaknya cukup berimbas besar terhadap masyarakat Tionghoa di Indonesia. Propaganda pemerintah Soeharto yang mengidentifikasi etnik Tionghoa dengan komunisme telah membuat komunitas minoritas itu rawan terhadap kekerasan dan pengusiran selama berlangsungnya pembunuhan massal pada 1965-1966. Akibatnya, lebih dari 160 ribu orang Tionghoa terpaksa meninggalkan Indonesia untuk kembali ke negeri leluhurnya. Dan selama tiga dasawarsa berkuasa, rezim Orde Baru menerbitkan sejumlah peraturan yang diskriminatif terhadap orang Tionghoa. Misalnya, orang Tionghoa peranakan harus mendapat surat kewarganegaraan dengan tanda khusus, sedangkan pendidikan berbasis bahasa Tionghoa dilarang sama sekali. “Tuduhan Orde Baru bahwa Tiongkok itu terlibat di dalam G30S tentunya menjadi sangat lemah,” ujar sejarawan LIPI Asvi Warman Adam yang menjadi pembedah buku. Pendapat Asvi ini bersandar pada informasi yang disampaikan Aidit kepada Mao dua bulan sebelum G30S. Dan juga mengenai pasokan senjata yang dipersiapkan untuk Angkatan Kelima tidak kunjung sampai ke Indonesia. “Kalau Aidit hanya sekedar menyatakan akan melakukan suatu tindakan atau gerakan tentunya informasi itu adalah sangat umum. Coba kita bandingkan dengan apa yang disampaikan Kolonel Latief kepada Soeharto selang beberapa jam sebelum peristiwa itu terjadi,” kata Asvi. Kendati demikian menurut Asvi, penelitian Taomo berhasil membuat rekonstruksi sejarah yang mengungkapkan beberapa hal yang baru mengenai dinamika hubungan Indonesia-Tiongkok. Sementara itu menurut pakar politik internasional, Dewi Fortuna Anwar, meski tidak terlibat langsung mengorkestrasi G30S, bukan berarti Mao tidak mendukung upaya PKI untuk suatu saat merebut kekuasaan. Apakah itu melalui jalan partai ataupun melalui jalan revolusioner. Bahwa ada fakta senjata untuk Angkatan Kelima belum dikirim, tentunya itu bukan berarti senjata-senjata itu tidak dipesan. “Secara teknis, Beijing memang tidak terlibat langsung (G30S), tapi bahwa Beijing sepenuhnya berada di belakang seandainya PKI menjalankan perebutan kekuasaan itu juga tidak bisa dipungkiri,” ujar Dewi. Tidak hanya mengenai G30S, Taomo juga menyoroti berbagai aspek dari hubungan Indonesia-Tiongkok dalam kurun waktu 1945-67. Mulai dari keterlibatan barisan pengawal “Pao An Tui” di masa revolusi, persaingan Beijing dan Taipei (Kuomintang) merebut pengaruh di Indonesia, pengusiran warga Tionghoa di era Sukarno lewat PP 10/1959, hingga pembekuan hubungan diplomatik pada masa awal kekuasaan Orde Baru. “Buku ini sangat kaya dan betul-betul menambah wawasan kita,” pungkas Dewi.
- Anti Serangan Rudal Israel dalam Pesawat Kepresidenan
Otobiografi Presiden Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya , dibuka dengan pembahasan keberhasilan Indonesia swasembada beras setelah lama menjadi pengimpor beras terbesar di dunia. Indonesia pernah mengimpor lebih dari dua juta ton beras. Akhirnya, pada 1984 petani Indonesia berhasil memproduksi beras lebih dari 25,8 juta ton, bandingkan dengan tahun 1969 yang hanya 12,2 juta ton. Soeharto pun diundang untuk memaparkan keberhasilannya dalam konferensi ke-23 FAO (Badan Pangan dan Pertanian PBB) di Roma, Italia, pada 14 November 1985. Sedangkan wakil dari negara maju ditunjuk Presiden Prancis Francois Mitterand. Forum itu merupakan kesempatan emas bagi Soeharto untuk tampil di pentas dunia. Oleh karena itu, keamanan dan keselamatannya harus terjamin. Sampai-sampai intelijen Indonesia meminta bantuan Israel. Teddy Rusdy, Paban (Perwira Diperbantukan) VIII Staf Intel Hankam/ABRI, menjadi tim pendahuluan ( advance team ) yang mempersiapkan kedatangan Presiden Soeharto ke Roma. Dia segera mengontak rekannya di intelijen Israel, Dubby Shiloah. Dalam 70 tahun Teddy Rusdy: Think A Head , Servas Pandur mengungkap bahwa Teddy menginformasikan kepada Dubby mengenai kunjungan Presiden Soeharto ke Roma. Dia meminta bantuan Dubby agar intelijen Israel dapat memastikan keamanan perjalanan Presiden Soeharto. “Termasuk meminjam senjata anti rudal serangan ke udara yang dipasang pada pesawat Kepresidenan RI,” tulis Servas. Teddy Rusdy berjabat tangan dengan Presiden Soeharto dalam Rapat Pimpinan ABRI. (Repro70 Tahun Teddy Rusdy: Think A Head) Menurut Servas, hanya ada satu alat yang dapat menghentikan serangan rudal dari darat. Untuk mendapatkan alat itu, Teddy datang ke beberapa negara, seperti Amerika Serikat dan Inggris, tetapi alat itu sedang dipakai. Dia kemudian datang ke Israel yang meminjamkan alat anti serangan rudal dari darat ke udara itu untuk dipasang pada pesawat Kepresidenan. Pada waktu itu, menurut Dubby, informasi ini tidak dapat diungkapkan ke publik, karena sangat vital dan bisa dijadikan sebagai sarana propaganda. Perjalanan Presiden Soeharto ke Roma tanpa hambatan. Dia berpidato mengenai keberhasilan swasembada beras selama lebih dari setengah jam di hadapan wakil dari 165 negara. “Saya bicara dalam forum itu sampai pada hal-hal teknis pelaksanaan. Hadirin ingin mengetahuinya. Dan pengetahuan kita diperlukan oleh sejumlah negara lainnya. Forum itu adalah tempat dan kesempatan tukar-menukar pengetahuan dan pengalaman,” kata Soeharto. Dalam kesempatan itu, Soeharto menyumbangkan 100.000 ton gabah kepada FAO untuk disalurkan kepada negara-negara yang dilanda kelaparan terutama di Afrika. Pada Juni 1986, Direktur Jenderal FAO Edouard Saouma datang ke Jakarta. Dia menyerahkan penghargaan berupa plakat dan medali emas FAO, satu berukuran kecil dan satunya lagi lebih besar, berukir timbul wajah Soeharto dengan tulisan President Soeharto-Indonesia. Pada sisi lainnya bergambar seorang petani sedang menanam padi dengan tulisan From Rice Importer to Selft-Sufficiency. “Medali itu dikeluarkan oleh FAO sebagai penghargaan untuk memperingati keberhasilan Indonesia di bidang pertanian, khususnya dalam mencapai swasembada pangan,” kata Soeharto. FAO kemudian mencetak cukup banyak medali itu yang terbuat dari emas, perak, dan perunggu. Hasil penjualannya untuk membantu negara-negara yang kelaparan dan membiayai kegiatan FAO.
- Intelijen dan Wajib Helm
Pengendara motor banyak yang ditilang karena tak memakai helm SNI. Padahal menggunakan helm untuk keselamatan mereka. Helm dapat melindungi bagian kepala dari benturan bila terjadi kecelakaan. Wajib memakai helm merupakan warisan dari Kapolri Hoegeng Iman Santoso. Di pengujung masa jabatannya, Hoegeng mengeluarkan maklumat Kapolri, yaitu para pengendara sepeda motor harus memakai topi helm dan penumpang yang membonceng harus duduk mengangkang. Peraturan itu menuai polemik. Mereka keberatan dengan alasan sudah biasa memakai topi atau peci, harus mengeluar biaya beli helm, hingga soal aturan hukumnya. Menurut Hoegeng dalam otobiografinya, Polisi: Idaman dan Kenyataan , keluarnya peraturan pengendara sepeda motor harus pakai topi helm sebenarnya dinilai baik. Namun, ada yang keberatan dengan alasan bahwa polisi hanya pelaksana peraturan bukan pembuat peraturan. Kapolri pun dianggap telah bertindak menyalahi hukum atau over acting . Hoegeng menegaskan bahwa pihak kepolisian ketika menyusun dan mengeluarkan peraturan topi helm tidak berpretensi mengambil alih hak atau wewenang DPR. Kepolisian hanya sekadar melayani masyarakat untuk mewujudkan rasa aman dalam berlalu lintas. “Rasanya berdosa membiarkan para pengendara sepeda motor terbang di jalan raya tanpa pengaman sebuah topi helm. Padahal di lingkungan kerja tertentu pemakaian topi helm merupakan keharusan agar terhindar dari kecelakaan kerja,” kata Hoegeng. Kendati demikian, kata Hoegeng, para pengkritiknya tidak keberatan jika keharusan pakai topi helm diatur menurut sebuah undang-undang yang disahkan DPR. Namun, UU tak kunjung dibuat. Aturan wajib helm yang mulai berlaku sejak 1 November 1971 hanya bersandar pada maklumat yang dikeluarkan Hoegeng. “Saya bersyukur peraturan itu berjalan terus sampai sekarang,” kata Hoegeng. Akhirnya, baru pada 1992 lahir UU yang memuat pasal wajib memakai helm dan sabuk pengaman. Menurut Ken Conboy dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia , pada Oktober 1991, Kepolisian telah menyusun sebuah rancangan peraturan lalu lintas yang mewajibkan pengendara sepeda motor mengenakan helm dan pengemudi mobil mengenakan sabuk pengaman. UU No. 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan disahkan Presiden Soeharto pada 12 Mei 1992. Namun, pemberlakuan UU ini harus ditunda. Pasalnya, pemerintah tengah disibukkan dengan persiapan penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi Non-Blok ke-10 yang akan diadakan di Jakarta pada 1-6 September 1992. Konferensi itu merupakan kesempatan bagi Soeharto untuk mendapatkan pengakuan di tingkat internasional . Oleh karena itu, keamanan dalam negeri harus terjaga. Tak boleh ada gerakan oposisi terhadap pemerintah. Pemerintah kemudian menugaskan Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Negara) untuk menganalisis tanggapan masyarakat terhadap UU lalu lintas yang baru disahkan di mana terdapat pasal kewajiban memakai helm dan sabuk pengaman. “Jenderal Sudibyo mendapatkan penugasan darurat untuk melakukan analisis apakah peraturan lalu lintas yang baru ini akan mengakibatkan gangguan bagi pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi,” tulis Ken Conboy. Jenderal Sudibyo adalah kepala Bakin. Setelah melakukan analisisyang mendalam, Bakin memberikan kesimpulan: pelaksanaan peraturan mengenakan helm dan sabuk pengaman kemungkinan besar akan menimbulkan masalah sosial. Berdasarkan masukan itu, pemerintah memutuskan untuk menunda pelaksanaan UU itu selama satu tahun. “Sudibyo ingat bahwa analisis ini merupakan salah satu tonggak yang penting selama kepemimpinannya di Bakin,” tulis Ken Conboy. Bakin kemudian menjadi BIN (Badan Intelijen Negara). Setelah berlaku sekitar 17 tahun, UU No. 14 tahun 1992 kemudian digantikan UU No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas yang mulai berlaku awal tahun 2010 .
- Pemimpin Ideal ala Sunda
Tersebutlah pada zaman dulu kala hidup seorang raja bernama Prebu Niskala Wastu Kancana. Dia telah memerintah selama 104 tahun. Pemerintahannya dinilai sangat baik. Saking baiknya dia disamakan dengan Sang Hyang Indra, raja para dewa. Karena kebajikan sang prabu, para rama yang memimpin desa-desa dapat dengan tentram mengurus bahan pangan. Para resi dapat pula tentram melaksanakan tugasnya sebagai pendeta. Kerajaannya aman sejahtera Kisah itu muncul dalam Carita Parahyangan. Menurut arkeolog Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar dalam Siliwangi, Sejarah, dan Budaya Sunda Kuna, tokoh raja atau prebu , rama, dan resi sering muncul di berbagai kitab Sunda Kuno. Mereka selalu disebutkan sebagai tiga orang pemimpin yang menjaga rakyat dari kekeliruan. Tak cuma seorang raja, berdasarkan Fragmen Carita Parahyangan, masyarakat Sunda Kuno mempunyai tiga pemimpin yang menjadi panutan, yaitu resi ( kaum agamawan), rama ( pemimpin daerah) , dan raja atau prebu . Tugas utama raja adalah melaksanakan pemerintahan. Resi menyejahterakan alam. Sementara rama sebagai pembimbing kehidupan. “Wibawa dimiliki oleh sang prebu , ucapan dimiliki oleh rama, dan tekad miliknya sang resi,” tulis bagian lain dalam kitab itu. Sebagaimana kitab itu, Agus menjelaskan, raja harus memelihara kewibawaannya. Jika tidak, kekuasaannya akan pudar. Dia pun akan jatuh dari takhtanya. “Senantiasa raja harus menjaga martabatnya dengan menjalankan hak dan kewajibannya sebagai raja,” jelasnya. Sementara petuah dan contoh kehidupan yang baik harus selalu disampaikan oleh rama. Pasalnya dia yang hidup paling dekat dengan masyarakat. Dia juga yang harus membimbing warganya. Resi punya tugas memberi contoh tentang tekad dan niat yang baik dalam kehidupan . Seperti tekad mereka dalam menjalankan ibadah agama dan tekad untuk dapat bersatu dengan Sang Hyang. “Dalam kitab Sang Hyang Siksa Kanda ng Karesian , tiga pemimpin itu bagai tiga tantu di bumi. Ia disebut peneguh dunia,” jelas Agus. Di luar itu, hingga kini tak ada kitab khusus dari era Sunda Kuno yang menyimpan dan menguraikan bagaimana perilaku pemimpin yang baik. Ajaran atau perilaku yang harus ditampilkan raja banyak disebut dalam berbagai kitab yang berbeda. Soal kepemimpinan, dalam kebudayaan Jawa Kuno dan Bali, ada yang dikenal dengan ajaran astabrata. Ajaran ini disampaikan oleh Raja Rama kepada Wibisana, adik Rahwana, dalam Kitab Ramayana. Isinya, delapan perilaku atau sikap yang sebaiknya dimiliki seorang raja. Sifat-sifat dewa menjadi contohnya. “Dikenal luas dalam kebudayaan Jawa Kuno dan Bali, namun tak dikenal dalam lingkup kebudayaan Sunda Kuno,” ujar Agus. Beberapa kitab yang menyebutkan soal kepemimpinan seorang raja misalnya, Sang Hyang Siksa Kanda ng Karesian . Kitab ini menurut Agus berasal dari Priangan Timur. Ia selesai digubah pada 1518. Isinya adalah soal pendidikan, pengetahuan umum, kebudayaan, dan kesehatan. Di dalamnya disebutkan pula kalau raja yang baik punya lima tugas utama. Raja bertugas membuat kesejahteraan di seluruh wilayah kerajaan. Ia harus menjaga kemuliaan dan kewibawaan. Raja pun mesti menjadikan dirinya sebagai yang utama. Ia selaiknya memiliki sifat melindungi dan menyayangi rakyatnya. Terakhir, ia punya tugas membangun keagungan. Lalu dalam Carita Parahyangan yang disusun pada pertengahan abad ke-16, terdapat enam butir tugas raja yang diambil dari sumber aslinya, kitab India Kuno Bhradaranyaka-Upanishad. Isinya, raja harus menjaga martabat kebangsawanan. Ia harus memiliki jiwa kehidupan luhur. Ia juga harus melindungi kehidupan, melindungi yang lemah dan terluka. Ia harus bersifat bagai mentari yang memberikan anugerah. Namun ia juga mesti bagai matahari yang panasnya menghancurkan. Terakhir, ia harus mampu melindungi kaum pertapa. “Penyusun Carita Parahyangan mengagungkan Sanjaya sebagai tokoh penting peletak dasar pemerintahan Kerajaan Galuh hingga Sunda,” jelas Agus. Sesuai kebiasaan Sunda Kuno yang mengenal tiga bentuk pemimpin, maka ketiganya sama-sama harus ditaati. Mereka punya tugas masing-masing. Jika satu di antaranya tak bekerja dengan baik kerajaan akan kacau balau. Bahkan, Kitab Sang Hyang Siksa Kanda ng Karesian menyatakan ketiga tokoh itu bagai Tri Murti. Wisnu ibarat prabu, Brahma ibarat rama, dan Iswara ibarat resi.





















