top of page

Hasil pencarian

9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Seteru Sang Guru

    HAJI Rasul risau. Pemimpin Sumatera Thawalib Padang Panjang itu tidak sependapat dengan komunisme. Dia berpandangan, komunis sebenarnya hendak menghilangkan agama dengan cara menunggangi agama. “Suatu hari pada 1923, Haji Rasul berdebat sengit dengan Datuak Batuah dan murid-murid Thawalib yang pro komunis. Perdebatan itu menghilangkan wibawa Inyiak Rasul di depan murid Thawalib,” kata Ketua Alumni Thawalib Padang Panjang, Yan Hiksas kepada Historia . Selepas itu, entah dari mana ujung pangkalnya, tiba-tiba beredar desas-desus bahwa Datuk Batuah dan Natar Zainuddin bersekongkol dengan para penghulu adat untuk memberontak terhadap pemerintah dan membunuh orang-orang Eropa, termasuk asisten residen Padang Panjang. “November 1923, Belanda mengirim satu detasemen polisi bersenjata ke Koto Laweh untuk menangkap Datuk Batuah dan Natar Zainudin,” tulis Audrey Kahin dalam buku Dari Pemberontakan Ke Integrasi . “Setelah ditahan di Padang selama sekitar setahun, keduanya diasingkan ke Timor dan kemudian dipindahkan ke Boven Digul pada awal 1927.” Desember 1923, giliran Djamaludin Tamin yang ditangkap karena artikel-artikelnya di Pemandangan Islam memprotes penangkapan rekan-rekannya. Ia dijatuhi hukuman dua tahun penjara pada Mei 1924. Menjalani hukuman selama lima belas bulan di penjara Cipinang, Jakarta dan dibebaskan pada September 1925. “Para siswa Sumatera Thawalib menyalahkan Haji Rasul karena penangkapan guru-guru muda mereka,” tulis Kahin. Puncaknya, Haji Rasul undur diri dari Thawalib. Dia pulang kampung ke Maninjau. Awal 1925 Haji Rasul ke Jawa menemui menantunya, AR. Sutan Mansur yang telah menjadi pemuka Muhammadiyah di Pekalongan. Bulan Juni dia kembali ke Minang. Dan, langsung gencar mempropagandakan Muhammadiyah di setiap dakwahnya. Perkumpulan Sendi Aman yang didirikannya di Sungai Batang, Tanjung Sani, Maninjau, atas persetujuannya menjadi Muhammadiyah cabang Maninjau. Ketuanya Haji Yusuf Amrullah, adiknya. “Boleh dikatakan inilah cabang pertama Muhammadiyah di Sumatera dan di luar Jawa,” tulis Hamka dalam Ayahku: Riwayat Hidup DR. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera . Atas arahannya, pada 20 Juni 1925 murid-murid Sumatera Thawalib Padang Panjang asal Maninjau mendirikan kelompok Tabligh Muhammadiyah. Jamaluddin Sutan dan Makmur Salim bertindak sebagai ketua dan sekretarisnya. “Mereka menerbitkan Khatib al-Ummah . Inilah jurnal Muhammadiyah pertama di daerah ini,” tulis Burhanuddin Daya dalam Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam: Kasus Sumatera Thawalib . Meski menyokong Muhammadiyah, sepanjang hayatnya, Haji Rasul tidak pernah tercatat sebagai anggota, apalagi menjadi pengurus. Dia hanya lakon balik layar. “Haji Rasul melihat Muhammadiyah bagaikan sebuah kendaraan yang bisa ia tumpangi untuk lebih mempercepat gerakan pembaruannya,” tulis Tamrin Kamal dalam Purifikasi Ajaran Islam pada Masyarakat Minangkabau . Basis-basis Muhammadiyah kian meluas. Akan tetapi, komunisme tak kalah hebat. Dalam laporan untuk gubernur jenderal, 23 Juli 1924, penasehat pemerintahan, R. Kern mencatat, komunisme kian subur. “Walaupun Asisten Residen Whitklau telah mengemukakan bahwa pergerakan perlawanan akan padam setelah tertangkapnya Datuk Batuah dan Zainudin, ternyata enam bulan setelah penangkapan itu, orang komunis lebih banyak dari yang sudah-sudah,” tulis Kern dalam laporan berjudul Voorstel om Natar Zainuddin en Hadji Datoeq Batoewah te Interneren, Adviz aan G.G .

  • Tinju Kiri Ali di Jakarta

    Pertarungan Muhammad Ali yang paling diingat publik adalah ketika dia menghadapi Joe Frazier pada 8 Maret 1971 di New York, Amerika Serikat. Ali kalah dalam pertandingan bertajuk “Pertarungan Abad Ini” untuk kali pertama setelah menang 31 kali berturut-turut. Gelar juara dunia kelas berat pun lepas dari genggamannya. Publik menanti pertarungan Ali-Frazier selanjutnya. Sebagai pemanasan melawan Frazier, Ali menjalani satu pertandingan di Jakarta. Promotor Raden Sumantri berhasil menggelar pertandingan Ali melawan Rudi Lubbers, juara tinju kelas berat asal Belanda. Awalnya akan dilaksanakan di Surabaya pada 14 Oktober 1973, tapi pertandingan dialihkan ke Stadion Utama Gelora Bung Karno pada 20 Oktober 1973. Ali dielu-elukan bak pahlawan terutama karena dia seorang muslim. Dia juga dianggap representasi pahlawan bagi bangsa-bangsa Dunia Ketiga. “Lubbers jelas menjadi representasi kolonialisme Belanda, dan orang-orang Indonesia bersemangat melihat kemenangan politik mereka terulang di atas ring,” tulis Julio Rodriguez, “Documenting Myth” dalam Sports Matters: Race, Recreation, and Culture suntingan John Bloom dan Michael Nevin Villard. Secara teknis, Ali tidak dalam kondisi terbaik. Persiapannya hanya sepuluh hari. Ali tidak meremehkan reputasi Lubbers sebagai kuda hitam. Seperti kebiasaannya mengumbar omongan kepada pers sebelum bertanding, Ali sesumbar akan menumbangkan Lubbers di ronde kelima. Pertandingan disiarkan secara internasional. Pertandingan nongelar ini tetap menarik khalayak ramai. Tiket yang dibanderol Rp1.000 sampai Rp27.500 ludes terjual. “Salah satu hal yang paling diingat dari pertandingan ini adalah kapasitas Ali yang mampu menarik perhatian khalayak internasional. 35.000 orang Indonesia datang untuk menonton. Ditambah pameran tentang Ali yang ikut menarik 45.000 orang untuk datang melihat-lihat,” tulis David West dalam The Mammoth Book of Muhammad Ali . Panitia berharap acara terselenggara dengan lancar tanpa kendala. Salah satunya yang diantisipasi adalah hujan. Solusinya pawang hujan. Sudah menjadi tradisi di Indonesia, mulai dari acara kecil seperti hajatan sampai acara berskala internasional, sang pengendali air diminta menunjukkan kemampuannya menghalau hujan. "Penyelenggara sempat mengundang pawang hujan dari Aceh, Banten, Jawa Tengah, dan Maluku," tulis Julius Pour dalam  Dari Gelora Bung Karno ke Gelora Bung Karno .     Seperti telah diperkirakan, pertandingan berjalan berat sebelah. Ali mempermaikan Lubbers habis-habisan sampai hidungnya patah dan mata kanannya bengkak. Lubbers bertahan selama 12 ronde. Ali menang angka, bukan knock out seperti sesumbarnya. “Ali harus mengakui bahwa Lubbers lebih tangguh daripada yang dia pikirkan. Begitu pula Rudi yang merasa sudah memberikan yang terbaik yang dia bisa, dan percaya bahwa Ali juga melakukan hal yang sama di pertandingan itu. Pertarungan dengan Ali memberikan Lubbers 15 menit ketenaran. Dia akhirnya kembali ke jalur kejuaraan Eropa,” tulis Joe Ryan dalam Heavyweight Boxing in the 1970’s: The Great Fighters and Rivalries . Ali meraih kemenangan dengan mudah; mayoritas hanya dengan tinju kirinya. Ketika ditanya mengapa dia hanya mengandalkan tangan kiri, Ali menjawab sambil mengepalkan tangan kanan, “Saya harus menyimpan ini untuk Joe Frazier.” Ali kembali melawan Joe Frazier di New York pada 28 Januari 1974. Dia berhasil membalas kekalahan sebelumnya dengan menang angka. Pada 30 Oktober 1974, Ali kembali menjadi juara dunia kelas berat setelah menumbangkan George Foreman dalam pertarungan sengit di Kinshasa, Zaire. Setelah gantung sarung tinju, Ali masih sempat beberapa kali berkunjung ke Indonesia untuk menyapa penggemarnya.

  • Yasuke Si Samurai Hitam

    Pada 1581, massa di Kyoto melabrak rumah misionaris Jesuit, Alessandro Valignano, karena ingin melihat budak yang dibawanya dari Mozambik, Afrika Selatan. Beberapa orang terluka, bahkan ada yang tewas, saking antusias melihat budak itu. Kejadian itu sampai ke telinga Oda Nobunaga (1534-1582), seorang daimyo (tuan tanah-pendekar) Provinsi Owari sekitar Nagoya, yang tengah berdiam di Kyoto. Dia dan pengikutnya menaklukkan sepertiga wilayah Jepang dari kekuasaan para tuan tanah feodal untuk mempersatukan Jepang di bawah panji satu pemerintahan. “Karena merasa dipermalukan oleh insiden tersebut, Oda Nobunaga sendiri yang memanggil si budak Afrika, memeriksanya dengan saksama untuk memastikan bahwa warna kulitnya asli, menghadiahkannya uang, dan menjadikannya pelayan,” tulis Gary P. Leupp dalam Interracial Intimacy in Japan: Western Men and Japanese Women, 1543-1900 . Nobunaga menyematkan nama “Yasuke”, yang artinya kurang lebih “orang berkulit hitam.” Keberadaan Yasuke tercatat dalam beberapa catatan sezaman. Kronik tentang Nobunaga, Shinchokoki , mendeskripsikan pertemuan pertama Yasuke dengan Nobunaga. Saat itu Yasuke berusia 26 atau 27 tahun, tubuhnya hitam legam, kuat, dan bisa sedikit berbahasa Jepang. Tingginya sekitar 188 cm, sangat mencolok bagi ukuran orang Jepang kala itu. Yasuke diizinkan mengenakan baju samurai dan membawa senjata perang Nobunaga dalam beberapa pertempuran. Meski menjalani hidup layaknya samurai, Yasuke tidak memiliki tanah. Dia seorang samurai hanya sebatas nama. Penghambaan Yasuke berakhir ketika Akechi Mitsuhide, panglima Nobunaga, berkhianat dan memaksa Nobunaga melakukan seppuku , ritual bunuh diri, pada Juni 1582. Yasuke akhirnya dilepaskan karena Mitsuhide menganggapnya orang asing yang tak tahu apa-apa. Beberapa kronik menyebutkan dia kemudian diserahkan kembali kepada para misionaris Jesuit. Setelah itu, nama Yasuke menghilang dari sejarah. Karena pengkhianatannya, Mitsuhide tewas sebelas hari kemudian oleh panglima Nobunaga yang lain, Toyotomi Hideyoshi. Baru pada masa kepemimpinan sekutu Nobunaga lainnya, Tokugawa Ieyasu, Jepang dipersatukan di bawah panji Dinasti Tokugawa yang berlangsung selama 250 tahun –dikenal dengan nama Zaman Edo (1603-1867). Pada masa ini, orang-orang kulit hitam kembali berdatangan. Sebagian besar diperdagangkan sebagai budak oleh orang-orang Belanda melalui jaringan dagang VOC. Selama Zaman Edo, sebagian kecil dari mereka bahkan menetap di pos dagang Belanda di Pulau Deshima. “Seperti Yasuke, beberapa orang Afrika ditempatkan oleh para tuan tanah dalam beragam kapasitas, sebagai prajurit, penembak, pemusik, dan penghibur,” tulis John G. Russell, “The Other Other: The Black Presence in the Japanese Experience”, termuat dalam Japan’s Minorities: The Illusion of Homogeneity suntingan Michael Weiner. Kisah hidup Yasuke menginspirasi lahirnya buku cerita anak-anak tentang seorang samurai berkulit hitam yang mengabdi pada Nobunaga. Judulnya Kuro-suke , yang ditulis Kurusu Yoshio pada 1960-an. Kuro-suke kemudian memicu terbitnya buku-buku bacaan historis untuk anak-anak serupa di Jepang. Kisah Yasuke akan diangkat ke layar lebar yang akan diperankan oleh Chadwick Boseman, Sang Raja Wakanda dalam film Black Panther. Film ini akan digarap oleh Eric Feig's Picturestart, De Luca Productions, Solipsist Films, dan X●ception Content. Dalam data filmografi di  imdb.com disebut Yasuke menjadi film terakhir Chadwick Boseman dalam status  pre-production.  Selain akan memerankan Yasuke, Chadwick Boseman juga menjadi produser. Sayangnya, Chadwick Boseman meninggal pada 29 Agustus 2020 di usia 43 tahun karena kanker. Tulisan ini diperbarui pada 29 Agustus 2020 .

  • Perintis Gagasan Wawasan Nusantara

    MOCHTAR Kusuma-Atmadja, pakar hukum laut dan internasional, berulangtahun ke-86 pada 17 Februari lalu. Rambut Mochtar sudah putih semua dan kesehatannya sering turun. Kalau keluar rumah, Mochtar harus menggunakan kursi roda. Tapi perhatian Mochtar pada hukum, laut, dan generasi muda Indonesia belum jua menurun. Soal perhatiannya pada generasi muda itu dibenarkan oleh Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia. “Saya bertemu Pak Mochtar kali pertama pada 1991. Setelah pertemuan itu, Pak Mochtar sering bilang kamu harus memikirkan generasi muda. Mereka harus berilmu. Tanpa ilmu, negara ini akan runtuh,” kata Hikmahanto menirukan Mochtar pada peluncuran biografi Mochtar Kusuma-atmadja Rekam Jejak Kebangsaan Mochtar Kusuma-Atmadja , Sabtu siang, 28 Februari di Hotel Dharmawangsa, Jakarta. Sementara itu mantan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda menilai Mochtar sebagai sosok yang memiliki perhatian khusus pada regenerasi di lingkungan Departemen Luar Negeri dan  menekankan pentingnya mereka memahami gagasan Wawasan Nusantara. Namun dia menyayangkan “macetnya kaderisasi” dan rendahnya pemahaman Wawasan Nusantara tersebut. Mochtar menggagas konsep Wawasan Nusantara pada 1957. Ini bermula dari kejeliannya melihat celah dalam pasal 1 ayat 1 Teritoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie (TZMKO, Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim). Undang-undang laut itu buatan Belanda pada 1939, tapi bertahan hingga Indonesia merdeka. Menurut TZMKO, laut Indonesia hanya berjarak 3 mil dari garis pantai. Di luar jarak 3 mil, termasuk laut internasional. Kapal-kapal asing bebas berlayar. Sementara pulau-pulau Indonesia jadi terpisah, tak menjadi kesatuan. Untuk mengganti TZMKO, Mochtar mengajukan gagasan bahwa Indonesia berhak atas wilayah laut bagian dalam. Mochtar ingin mengintegrasikan wilayah laut dengan daratan: tanah-air. Agar pulau-pulau Indonesia tak terpisah oleh laut, dia mengemukakan perhitungan batas laut baru. Mochtar menghitung batas laut Indonesia menjadi 12 mil dari garis pantai. Gagasan ini belum pernah terpikirkan oleh para ahli hukum laut sebelumnya. “Ini pemikiran revolusioner,” kata Hassan.  Mochtar memperjuangkan gagasan sampai ke Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Semua melalui jalur legal dan konstitusional. Tanpa sebutir peluru pun keluar. “Sebab Pak Mochtar orang yang percaya pada kekuatan hukum. Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat; bisa memberi kemaslahatan bagi bangsa,” kata Hikmahanto. Perjuangan Mochtar tak mudah. Negara-negara maju bersatu menolak gagasannya. “Sebab gagasan ini bisa membatasi kebebasan mereka di laut lepas,” kata Menteri Koordinator Bidang Maritim Indroyono Soesilo dalam sambutannya. Tak heran Mochtar butuh waktu 25 tahun untuk meyakinkan negara-negara maju agar menerima Wawasan Nusantara. Perjuangan Mochtar berbuah pada 1982. PBB menerima konsep Wawasan Nusantara. “Ini membuktikan keyakinan Pak Mochtar bahwa hukum bisa memberi kemaslahatan dan membuktikan pada dunia bahwa putra-putri Indonesia tak hanya bisa membuat undang-undang di negaranya sendiri, tapi juga di dunia,” tutur Hikmahanto. Presiden Indonesia periode 2009-2014 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga memberikan sambutan dalam peluncuran buku Mochtar mengatakan penerimaan masyarakat internasional terhadap Wawasan Nusantara tak lepas dari peran Mochtar. “Beliau memadukan konsep hard dan soft power menjadi smart power . Beliau bisa tegas dan bisa pula sangat halus dalam berjuang… Kita patut memberi penghargaan setinggi-tingginya,” kata SBY   Hingga sekarang gagasan Mochtar masih bertahan. Bahkan Hikmahanto berniat mengembangkannya. “Sekarang kita mesti berpikir bagaimana konsep negara kepulauan bisa menjadi alat tawar diplomasi,” pungkasnya.

  • Amat Jantan Indonesia

    AMAT, salah seorang anggota barisan pembantu prajurit Jepang ( Heiho ) di Angkatan Laut, dipuja bak pahlawan. Kisah keberanian dan pengorbanannya dipropagandakan melalui drama, film, hingga lagu. Pemerintah pendudukan Jepang memobilisasi para pemuda untuk bergabung dengan pasukan-pasukan semimiliter. Salah satunya Heiho , yang dibentuk pada April 1943. Syaratnya, pemuda berusia 18-25 tahun, berbadan sehat, berkelakuan baik, dan pendidikan minimal sekolah dasar. Mereka dijanjikan akan ditempatkan di Angkatan Darat dan Angkatan Laut Jepang. Nyatanya, Heiho dimaksudkan untuk membantu pekerjaan-pekerjaan kasar di kesatuan-kesatuan angkatan perang Jepang. “Oleh karena barisan Heiho ini adalah barisan tenaga pekerja, maka umumnya tidak diberi senjata kepada mereka, kecuali satu taikeng (sangkur) yang merupakan satu bagian mutlak dari pakaian seragam yang lengkap,” tulis O.D.P. Sihombing dalam Pemuda Indonesia Menantang Fasisme Djepang . Para Heiho kemudian diberi senjata ketika Jepang semakin terdesak oleh Sekutu. Mereka berperang bersama para serdadu Jepang. Dari sinilah kisah Amat, yang kemudian dikenal dengan sebutan “Amat Heiho Jantan Indonesia”, bermula. Amat terkenal ketika Sekutu berusaha merebut Balikpapan pada 21 Mei 1945 –sumber lain menyebut di Tarakan, Kalimantan. Amat dipropagandakan Jepang sebagai “teladan dan keberanian yang tiada tandingannya, yaitu dengan mengorbankan dirinya sebagai torpedo berjiwa menghancurkan kapal-kapal perang musuh,” tulis Bambang Gunardjo dan Lesek Keti Ara dalam Buku Pantjawindhu Kebangkitan Perdjungan Pemuda Indonesia . Kotot Sukardi, pemimpin Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa (POSD) bentukan Departemen Propaganda Jepang ( Sendenbu ), membuat drama “Turut Bersama Amat”. Sandiwara tersebut membawa pesan semangat berjuang bernyala-nyala untuk membenci musuh dan menuntut bela atas kematian Amat. Ia dipentaskan pada 18-22 Juni 1945 secara serentak di Jakarta, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Bondowoso, dan Situbondo. Sebagian pendapatannya disumbangkan untuk keluarga almarhum Amat. Selain drama, kisah Amat dijadikan film propaganda berdurasi 30 menit dan sebuah lagu berjudul “Amat Heiho Jantan Indonesia” yang dinyanyikan di mana-mana. Liriknya: Amat Heiho Jantan Indonesia / Nun di Tarakan membela negara / Mati berjuang tiada tara / Membela negara gagah perwira. Banyak orang menganggap Amat adalah sosok misterius, bahkan fiktif. Namun, menurut M. Sunjata Kardarmadja dan Sutrisno Kutoyo dalam Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Nusa Tenggara Barat , Amat adalah tokoh nyata. Pada Juni 1945, Sukarno menyaksikan penguburan Amat di Tarakan. Kehadiran Sukarno bisa jadi bagian dari propaganda Jepang. Sebab, sebagai konsekuensi kerjasama dengan Jepang, Sukarno kerap terlibat dalam proyek-proyek propaganda Jepang. Terlepas Amat fiktif atau nyata, para pemuda yang bergabung menjadi Heiho diperkirakan 42.000 orang (Jawa 24.873, Timor 2.504, dan 15.000 daerah lain). Bagi orang Jepang, anggota Heiho lebih terlatih dalam kemiliteran daripada tentara Pembela Tanah Air (Peta) yang didirikan pada Oktober 1943, karena kedudukannya sebagai pembantu prajurit Jepang di medan perang. Di antara mereka ada yang memegang senjata antipesawat terbang, tank, artileri, dan pengemudi. Namun tidak seorang pun yang berpangkat perwira karena pangkat itu hanya diberikan untuk orang Jepang. Hal ini berbeda dari tentara Peta.

  • Burung Besi Pertama Buatan Hindia Belanda

    SEBAGAI pewaris NV Merbaboe, perusahaan pemotongan sapi, Khouw Ke Hien ingin mengembangkan usahanya. Dia merasa transportasi darat dan laut kurang efisien. Di sisi lain, dia butuh mengunjungi dan mengawasi cabang-cabang perusahaan di sejumlah kota dalam waktu singkat. Setelah putar otak, dia memutuskan harus punya pesawat sendiri. Pada Maret 1934, dia menghubungi Achmad bin Talim, teknisi pesawat dari Luchtvaart Afdelling, unit Militaire Luchtvaart Dients. Dia pesan pesawat. Kriterianya lumayan berat. Pesawat itu harus mampu terbang jarak jauh dengan kargo seberat 130 kilogram plus dua penumpang. Ia juga mesti bermesin ganda sehingga bisa tetap terbang bila satu mesin mati. Talim mendiskusikan pesanan tersebut dengan kawan-kawannya. Termasuk dengan Laurents Walraven, desainer teknik di Militaire Luchtvaart-Koninklijke Nederlandsch Indische Leger, yang juga punya design workshop sendiri. Keputusannya: mereka terima pesanan itu. Walraven dan Kapten MP Pattist membuat cetak-biru dan desainnya, sementara Talim dan kawan-kawan lainnya yang mengerjakannya. Walraven mendesain pesawat itu dengan performa apik, yang dia namakan Walraven-2. Dua mesin Pobjoy (ada yang menulis Pobyo) Niagara 7 silinder berkekuatan masing-masing 90 tenaga kuda terpasang di kedua sayap. Menurut artikel “Built in the Dutch East Indies” dalam majalah Flight , 28 Februari 1935, dengan mesin itu “pesawat didesain untuk penerbangan jarak jauh –berkisar 1.100 mil di udara.” Aerodinamika mendapat perhatian penting. Walraven-2 berbeda dari kebanyakan pesawat kala itu yang desainnya belum compact dan rendah nilai estetis. Selain bodi ramping, Walraven-2 bersayap tunggal dan rendah –kala itu umumnya pesawat yang ada bersayap ganda dan letak sayapnya tinggi; mesinnya kebanyakan tunggal. Walraven-2 juga dilengkapi cowl (penutup) mesin dan roda dengan bentuk aerodinamis. “Memang baru pertama kali itulah saya membuat penutup mesin bulat begitu,” kenang Talim, sebagaimana ditulis Cartono Soejatman dan Duni Sudibyo, “Made In Bandung Menggegerkan Eropa”, dimuat dalam Kisah Hebat di Udara I . Talim dan kawan-kawannya mengerjakan pembangunan Walraven-2 di bengkelnya, Jalan Pasir Kaliki (Bandung) saban sore sepulang kerja lantaran pesawat tersebut merupakan proyek sampingan. Setelah selesai, giliran Walraven dan Pattist melengkapi pesawat itu dengan komponen-komponen seperti roda pendarat, pipa besi, kabel, dan sebagainya. “Akhirnya pesawat dapat diselesaikan dan kemudian dilakukan uji terbang oleh pilot Belanda, Kapten C Terluin,” tulis majalah milik TNI AU, Suara Angkasa , Januari 2012. Walraven-2 rampung pada akhir 1934 dan menjalani uji terbang perdana pada 4 Januari 1935. Letnan Cornelis Terluin, yang dipercaya mempiloti, mengatakan dalam evaluasinya bahwa hasil uji baik semua. Di pengujung bulan, Walraven-2 mendapatkan registrasi penerbangan PK-KKH. Hien, yang menyukai dunia penerbangan, senang bukan kepalang. “Dia peranakan pertama yang mendapat diploma pilot dari Depertemen Penerbangan Hindia Belanda,” tulis Sam Setyautama dalam Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia . Rencana gila langsung dibuat Hien: terbang ke Eropa (Amsterdam dan London). Banyak orang tak percaya. Walraven-2 belum pernah uji terbang jarak jauh. Tapi Hien bergeming. Pada September 1935, Walraven-2 lepas landas dari Bandara Andir –sekarang Husein Sastranegara. Hien dan Terluin yang memilotinya. Sekira 20 hari kemudian, Walraven-2 mendarat mulus di Bandara Schipol, Amsterdam. Direktur Maskapai Penerbangan Belanda (KLM) Plesman dan Laurents Walraven, yang sudah terbang lebih dulu, ikut menyambut. Plesman sangat tertarik untuk mengoperasikan Walraven-2 ke dalam armada KLM. Dia meminta Walraven memproduksinya dalam jumlah banyak –dengan penambahan kapasitas angkut dan beberapa modifikasi– untuk dijadikan taksi udara. “Pesawat ini adalah mesin yang sangat menarik, dan, jika diproduksi banyak, akan cocok bukan hanya untuk kepentingan pribadi tapi juga untuk tujuan bisnis,” tulis majalah Flight. Namun, rencana produksi massal –yang rencananya akan dibuat perusahaan patungan antara Hien dan Walraven– tak pernah terlaksana akibat kematian Hien dalam kecelakaan pesawat pada 1938. NV Merbaboe kemudian diteruskan adiknya, Khouw Keng Nio, yang juga mengantongi izin pilot.

  • Mat Depok, Sekondan Menteri Keamanan Rakyat

    Nama aslinya Daeran. Lahir tahun 1910. Pernah ditahan Belanda di Pulau Onrust karena merampok. Pada 1935, bebas dari Onrust, dia ke Berland, Matraman. Di sana Daeran bertemu Nyai Emah, perempuan cantik dari Karawang yang jadi “nyainya” orang Belanda. Dengan kepandaiannya, Daeran berhasil mencuri hati Nyai Emah. Si Nyai dibawa kabur ke kampong halamannya di Tanah Baru (kini masuk wilayah Depok –berbatasan langsung dengan Ciganjur, Jakarta Selatan). Jadilah Daeran buronan kompeni. Agar aman, Nyai Emah dititipkan di Pengasinan, Sawangan, di rumah guru silatnya. Pada masa perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Daeran berada di garis depan. Dia berkawan dengan Imam Syafe’i alias Bang Pi’ie, pemimpin para jago di Pasar Senen dengan organisasinya Oesaha Pemoeda Indonesia. Selain di kancah perjawaraan, Daeran dan Bang Pi’ie kawan seperjuangan di Karawang. Para laskar rakyat di Karawang menjuluki Daeran; Mat Depok. Julukan itu dialamatkan kepadanya karena aksi heroik Daeran dalam Peristiwa Gedoran Depok. Pentolan Banteng Merah itu pernah memimpin pemuda menyerbu dan merebut Depok yang tidak mau mengakui proklamasi 17 Agustus 1945. “Sebelum menyerbu Depok (11 Oktober 1945 – red ), orang-orang ngumpul di rumah. Saking ramenya , itu perapatan sampai penuh,” kata Engkong Misar, anak kandung Daeran berbagi kisahke pada Historia . Kini, rumah itu di perempatan tugu Gong Si Bolong, Tanah Baru, Beji, Depok. Dulu, wilayah itu belum masuk Depok. Menurut laporan intelijen Belanda di arsip Algeemeen Secretarie, hari itu orang Depok dipaksa oleh ekstrimis dan rampokkers – begitu bahasa dokumen tersebut–mengibarkan merah putih dan teriak merdeka. Bagi yang melawan dibunuh. Ketika Jakarta dijadikan kota diplomasi menyusul kesepakatan yang diambil Sutan Sjahrir, Daeran ikut hijrah ke Karawang bersama laskar-rakyat di Jakarta dan sekitarnya. Di Karawang, Daeran alias Mat Depok cukup dikenal. “Dulu, di semua daerah yang kita lewati ada aja yang kenal bapak. Walau satu dua orang. Biasanya yang kenal dia itu orang yang berpengaruh di kampong tersebut,” kata Engkong Misar yang saat itu berusia 15 tahun (lahir tahun 1930) dan ikut serta berperang di Karawang. Robert Cribb dalam Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949 beberapa kali menyebut-nyebut nama Camat Nata dan Usman Debot, jawara yang tampil memimpin laskar. Ternyata nama itu dikenal baik oleh Misar. “Itu kawan bapak. Saya kenal. Bahkan saya pernah disuruh mengantar surat oleh Camat Nata.” Suatu hari, dalam sebuah pertempuran, Mat Depok bersama beberapa gerilyawan tertangkap Belanda. Mereka ditahan di penjara Nusa Kambangan. Ketika bebas setelah perang usai, Daeran pulang ke Tanah Baru, hidup bersama pujaan hati, Nyai Emah. Dan kini di dadanya sudah ada tato besar bertuliskan: MAT DEPOK. “Siapa pun yang pernah jumpa Pak Daeran pasti tahu tato itu. Pak Daeran suka pakai jas warna hitam tanpa dalaman. Jadi, tatonya kema-mana,” ungkap Buang Jayadi, Ketua Gong Si Bolong, kelompok kesenian tertua di Depok ketika dijumpai Historia di kediamannya. Tahun 1950-an, sebagaimana dikisahkan Engkong Misar, datang utusan Bang Pi’ie ke rumahnya di Tanah Baru, Depok. Mat Depok diajak berunding oleh Bang Pi’ie untuk sama-sama membantunya di Komando Militer Kota Besar Djakarta Raya. “Dulu bapak ditugaskan Bang Pi’ie menjaga keamanan.” Belakangan, Bang Pi’ie diangkat menjadi Menteri Negara Keamanan Rakyat dalam Kabinet Dwikora oleh Bung Karno. Dan sebagai sekondan lama, Mat Depok lagi-lagi diajak serta. Kini, Mat Depok telah tiada, namun lakon hidupnya masih jadi buah bibir. Setidaknya di kampung halamannya: Tanah Baru, Depok.

  • Singapura Tak Terima KRI Usman Harun

    Angkatan Laut Republik Indonesia berencana menamai salah satu kapal barunya KRI Usman Harun. Pemerintah Singapura pun protes, menganggap penamaan itu akan melukai perasaan rakyat Singapura, terutama keluarga korban pengeboman MacDonald House pada 1965. Pada 10 Maret 1965, pukul 15.07, bom meledak di gedung Hongkong and Shanghai Bank atau dikenal dengan MacDonald House di Orchard Road, Singapura, tujuh menit setelah bank tutup kendati karyawannya masih menyelesaikan pekerjaan. Bom seberat 9-11 kg berbahan nitrogliserin itu diletakkan di dekat lift. Tiga orang tewas, dan setidaknya 33 orang lainnya luka-luka. Pemboman MacDonald House terjadi selama periode Konfrontasi Indonesia-Malaysia. Pada 16 September 1963, Presiden Sukarno menentang terbentuknya Federasi Malaysia, yang merupakan ide Inggris untuk menyelesaikan masalah dekolonisasi di bekas wilayah-wilayah jajahannya di Asia Tenggara. Sukarno menyebutnya sebagai bentuk neokolonialisme. Bahkan, menurut Kevin YL Tan dalam “International Law, History & Policy: Singapore in the Early Years”, termuat dalam Monograph No. 1 tahun 2011, Sukarno siap menggunakan kekerasan untuk menghancurkan federasi baru itu. Meski tak ada perang habis-habisan, Indonesia meluncurkan berbagai serangan ke Malaysia, termasuk Singapura. “Bahkan Singapura paling menderita karena banyak mendapatkana serangan-serangan dan penyusupan karena wilayahnya lebih dekat,” kata Linda Sunarti, dosen sejarah Universitas Indonesia kepada Historia . Penyusupan ke Singapura berlangsung setelah Singapura bergabung dengan Federasi Malaysia pada 1963. Delapan hari setelahnya, para penyusup meledakkan bom di Katong Park, seberang Hotel Ambasador. Duapuluh bulan kemudian, 36 ledakan dilepaskan pada sasaran bervariasi. “Pada akhir Konfrontasi tahun 1966, sekira 60 orang tewas atau terluka,” tulis Kevin. Tiga hari setelah ledakan bom MacDonald House, pelakunya tertangkap di laut saat hendak melarikan diri. Keduanya, Usman alias Janatin dan Harun alias Tohir, adalah anggota Korps Komando (KKO, sekarang Marinir) Angkatan Laut Republik Indonesia. Usman dan Harun meringkuk di penjara Changi Singapura selama delapan bulan. Pada 20 Oktober 1965 pengadilan memvonis mereka hukuman mati. Berbagai upaya ditempuh pemerintah Indonesia untuk membebaskan mereka dari hukuman mati, namun gagal. Pada 17 Oktober 1968, pukul 06.00 pagi, pemerintah Singapura melaksanakan hukuman mati kepada Usman dan Harun. Hari itu juga jenazah keduanya langsung dipulangkan ke Indonesia. Dalam perjalanan dari bandara Kemayoran ke Markas Hankam di Merdeka Barat Jakarta, ribuan orang yang datang dari berbagai tempat menyambut dengan dukacita. Demikian pula ketika keesokan harinya jenazah diberangkatkan dari Hankam ke Taman Makam Pahlawan Kalibata. Sebagai bentuk pernghormatan, pemerintah menaikkan pangkat mereka satu tingkat menjadi Sersan Anumerta KKO Usman dan Kopral Anumerta KKO Harun, menganugerahkan tanda kehormatan Bintang Sakti, dan mengangkat sebagai pahlawan nasional. Enam bulan setelah peledakan MacDonald House, Singapura keluar dari Federasi Malaysia pada 9 Agustus 1965.

  • Asal Usul Hari Valentine

    VALENS atau Val marah karena Jay, rekan duetnya dalam grup musik Valentino, lalai dan mementingkan diri sendiri. Teman-temannya berusaha membuat mereka rujuk. Apalagi mereka harus mengadakan pertunjukan di Hari Valentine. Ketika pertunjukan dimulai, Jay muncul di panggung. Pertunjukan berlangsung sukses. Sebelum pertunjukan, sempat muncul dialog pembelaan terhadap Hari Valentine, yang entah bagaimana mulai dirayakan di Indonesia dengan bermacam acara dan cukup menimbulkan kontroversi dalam masyarakat. Sinopsis film Valentine, Kasih Sayang Bagimu tersebut, tayang 1989, tampaknya dibuat untuk menyambut Hari Valentine. Di Indonesia, tulis Charlie Lie dalam Kilas Kilau Bisnis , Hari Valentine mulai dikenal sejak 1970-an dan pada 1980-an kegilaan terhadap Hari Valentine memuncak. Selain film, beberapa novel remaja menyuguhkannya. Dalam Lupus: Bangun Dong, Lupus! yang terbit pada 1988, misalnya, Hilman menampilkan dialog soal Hari Valentine. Hilman juga menerbitkan novel Dancing on the Valentine (1990). Penulis lainnya, Gola Gong, menuliskannya dalam Happy Valentine (1991). Walaupun masih simpang siur, umum diketahui bahwa Valentine mengacu pada nama seorang martir: Santo Valentine atau Valentinus, seorang imam dan uskup Terni (dekat Roma). Valentine menentang kebijakan Kaisar Romawi Claudius II yang melarang menikah muda, terutama bagi mereka yang masih dinas tentara atau pegawai kekaisaran. Kaisar Claudius II menganggap prajurit dan pejabat yang belum menikah dapat lebih diandalkan dan efektif menjalankan tugas. Namun Valentine menikahkan pasangan muda yang jatuh cinta. Atas ketakpatuhannya, Valentine dipenjara dan dihukum mati. Di penjara, dia menyembuhkan anak gadis kepala penjara yang buta karena ketekunannya berdoa. Membalas jasa Valentine, kepala penjara menyelundupkan surat-suratnya kepada generasi muda Roma. Dalam surat terakhir sebelum eksekusi, Valentine membubuhkan frasa penutup: from your Valentine. Dalam The Lovers Book , Kate Gribble menulis bahwa mengekspresikan cinta di kartu Valentine kali pertama dilakukan pada abad ke-15 oleh Charles, duke dari Orleans. Setelah penangkapannya saat Perang Agnicourt tahun 1415, dia diasingkan di Inggris sampai 1440. Selama itu dia menulis surat cinta dan puisi kasih sayang untuk istrinya, Bonne dari Armagnac yang tinggal di Prancis. Enampuluh surat itu utuh tersimpan di British Library, London. “Di Amerika, kartu Valentine kali pertama diproduksi secara massal awal 1850-an. Kartu ini merupakan hasil ciptaan seorang sarjana bernama Esther Howland,” tulis Kate Gribble. Pada abad ke-17, perayaan Hari Valentine menjadi tradisi umum di seluruh dunia. Selain kartu ucapan dan surat, tradisi tukar-menukar hadiah pun dimulai. Di awal 1700-an, Charles II dari Swedia mengenalkan kepada Eropa sebuah seni Persia yang disebut “bahasa bunga”. Lewat kiriman bunga, kita bisa mengekspresikan pesan-pesan tersembunyi. Pilihannya kemudian beragam, dari cokelat hingga cincin. “Barang yang dicari biasanya boneka, permen berbentuk love , cincin, cokelat, tas, dan baju,” kata Feny, penjual di pusat perbelanjaan Mangga Dua Square, Jakarta, kepada Historia . Di negara-negara mayoritas beragama Islam, para pemuka agama melarang perayaan Hari Valentine. Alasannya, selain merujuk pemuka agama Santo Valentine, perayaan Valentine dianggap bukan lagi sebagai hari kasih saying tapi hura-hura yang dibumbui pergaulan bebas. Namun muda-mudi tetap saja merayakannya, sampai sekarang.

  • Mengilik Sejarah Adu Jangkrik

    ADU jangkrik sebagai permainan rakyat sudah dikenal lama di Indonesia. Adu jangkrik dimainkan seluruh lapisan masyarakat, terutama anak-anak. Dulu mereka mencari sendiri, kini membeli dari penjual yang biasa mangkal di sekolah-sekolah. Menurut buku Permainan Tradisional Indonesia , terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1998), permainan ini biasanya muncul secara musiman, khususnya pada musim gadon yaitu saat sawah ditanami palawija untuk menyelingi tanaman padi. Jenis jangkrik yang diadu adalah jangkrik kalung jantan, berwarna hitam legam, dan ada hiasan kalung pada lehernya. Jangkrik ini digemari anak-anak karena suaranya nyaring dan gerak-geriknya lincah. Menurut Denys Lombard, adu jangkrik tampaknya merupakan kegemaran khas masyarakat Jawa namun juga didapati di kalangan orang Tionghoa; dan kaum peranakan memudahkan penyebarannya. “Itulah yang terjadi pada adu jangkrik yang dewasa ini sudah langka, namun pada zaman Hamengku Buwono VII (1877-1921) telah merasuki seluruh kraton Yogyakarta,” tulis Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya Jilid 2, Jaringan Asia . Para bangsawan dan pedagang kaya di Kota Gede mengadakan pertandingan setiap Selasa dan Jumat. Adu jangkrik lebih dikenal di Jawa Tengah, sedangkan di Bali terkenal adu ayam, Jawa Barat adu domba, dan Toraja adu kerbau. Kendati demikian, di Bali juga ada adu jangkrik, disebut maluan ; dan di Aceh disebut daruet kleng. Adu jangkrik dianggap sebagai hiburan anak kecil. Ini tidak berarti orang dewasa menampik permainan itu. “Konon calon Sultan adalah seorang penggemar daruet kleng dan kadang-kadang memasang taruhan besar,” tulis Snouck Hurgronje dalam Aceh: Rakyat dan Adat Istiadatnya Volume 2. “Konon kegemaran bertaruh itu karena pertarungan diadakan di kalangan terbatas.” Permainan maluan memiliki sifat sekuler (keduniawian) sekaligus sakral karena “si pemain (seorang anak berumur tujuh tahun), sewaktu hendak menggalakkan jangkriknya, akan mengucapkan mantra dengan suara seperti yang dikeluarkan oleh seorang balian,” tulis James Danandjaja dalam Kebudayaan Petani Desa Trunyan di Bali. Bacaan mantra agar jangkrik kuat dan menang, juga disinggung Tjan Tjoe Siem dalam artikelnya “Adoe Jangkrik” yang dimuat majalah Djawa tahun 1940. Sebelum masuk arena, jangkrik biasanya diberi mantra (dijantur) : Jantur, jantur, musuhmu gedhe dhuwur, cokoten ngasi anjur. Janti, janti, musuhmu kecil belaga, gigitlah sampai mati. Setelah dijantur , jangkrik lantas lebih berani menghadapi lawannya. Bahkan dengan menggunakan obat-obatan Tionghoa, jangkrik aduan menjadi perkasa dan senantiasa menang. Peristiwa itu terjadi pada pertandingan besar di Semarang pada 1901. Ampuhnya ramuan itu diungkapkan Siem dengan “sekali gigit akan lekas lari tiada mau berhadapan lagi.” Seperti halnya adu ayam, adu jangkrik pun menjadi ajang judi. Menurut Siem, adu jangkrik sebagai praktik perjudian ramai dilakukan di Jawa Tengah, dan tidak sedikit orang Tionghoa ikut pat-sik-soet (adu jangkrik) pada musim jangkrik. “Pusat-pusat aduan jangkrik yang taruhannya tiada kecil adalah kota Magelang, Yogyakarta, dan Solo,” tulis Siem. Menurut Permainan Tradisional Indonesia , cara taruhannya tak jauh berbeda dengan taruhan adu ayam. Ada satu lawan satu, satu lawan dua (apit), dua lawan tiga dan sebagainya. “Di samping mati, ada jangkrik yang putus giginya, perutnya yang keluar, sayapnya putus, kakinya putus akibat gigitan lawan.”

  • Lelaki Tak Dikenal Menyusup ke Pesawat Presiden

    SETELAH tujuh kali upaya pembunuhan terhadap Presiden Sukarno, akhirnya pada 6 Juni 1962 pemerintah membentuk Tjakrabirawa. Resimen khusus ini ditugaskan untuk menjaga keselamatan presiden. Tugas berat diemban oleh Tjakrabirawa agar tak kecolongan lagi. Ancaman pembunuhan Sukarno bukan berarti tak ada sama sekali. Itulah yang membuat Maulwi Saelan, wakil komandan Tjakrabirawa, tak mau lengah sedikit pun. Kalau perlu dia turun tangan untuk mengambil keputusan apapun demi keselamatan Presiden Sukarno. Misalnya pada saat Presiden Sukarno berkunjung ke Filipina untuk menghadiri konferensi Maphilindo (Malaysia, Philipina, Indonesia), 30 Juli–5 Agustus 1963. Konferensi tersebut membahas penyelesaian pembentukan federasi Malaysia yang bakal membuat Filipina kehilangan sebagian wilayahnya di Sabah. Delegasi Indonesia menggunakan dua pesawat. Satu pesawat Jetstar C-140 dan rombongan lain, termasuk pengawal presiden Tjakrabirawa, menumpang pesawat Garuda. Seminggu sebelum kedatangan Presiden Sukarno ke Manila, tim advance Tjakrabirawa telah lebih dulu tiba dan memastikan Manila aman untuk Presiden Sukarno. “Ketika tiba, tak sedikit pun permasalahan keamanan yang ditemui rombongan baik selama di perjalanan maupun setelah di Manila,” ujar Maulwi dalam bukunya Penjaga Terakhir Soekarno . Masalah baru muncul sesaat sebelum Presiden Sukarno pulang ke Jakarta. Pihak bandara Manila mengabarkan kepada Tjakrabirawa tentang seorang lelaki tak dikenal kepergok memasuki pesawat kepresidenan tanpa izin. Maulwi khawatir dan segera menghubungi Brigjen. Sabur, komandan resimen Tjakrabirawa, untuk meminta izin pemeriksaan langsung ke pesawat. Ketika pesawat diperiksa, lelaki misterius itu telah pergi. Belakangan petugas bandara Manila berhasil menangkapnya. Ternyata pria penyusup itu penderita gangguan jiwa. Cemas ada apa-apa, Maulwi tetap memutuskan untuk memeriksa secara teliti setiap bagian pesawat. “Saya nggak bisa percaya begitu saja. Kita kan nggak tahu apa yang dia taruh, apa yang dia lakukan,” kenang Maulwi. Dia pun mengambil keputusan agar Presiden Sukarno pulang ke Jakarta menggunakan pesawat Garuda. Sementara itu Maulwi, bersama beberapa anak buahnya, tetap tinggal di Manila. Memastikan pesawat kepresidenan steril dari ancaman apapun. “Kalau ada apa-apa, kita yang tanggung jawab,” kata Maulwi. Yakin tak ada hal mencurigakan, Maulwi dan pasukannya pulang keesokan harinya ke Jakarta dengan Jetstar C-140. Laporan utama upaya pembunuhan terhadap Sukarno: "Membidik Nyawa Sang Presiden" di majalah Historia No. 14 Tahun II, 2013.

  • Prawoto Mangkusasmito, Ketua Masyumi Terakhir

    Masyumi dinilai banyak kalangan sebagai salah satu partai yang para kader dan pemimpinnya punya kepribadian perjuangan, tidak pernah pecah kongsi antara asas partai dengan perilaku kader dan pemimpinnya. Meskipun berusia tidak sampai genap 15 tahun, kemudian membubarkan diri besama Partai Sosialis Indonesia pada 1960, akibat perseteruan politik yang tidak bisa dihindari dengan penguasa Orde Lama. Demikian paparan A.M. Fatwa, ketua pembina Yayasan Asrama Pelajar Islam (YAPI), dalam pembukaan peluncuran buku Alam Pikiran dan Jejak Perjuangan Prawoto Mangkusasmito, Ketua Umum (Terakhir) Partai Masyumi, di Jakarta, 26 Januari 2014. Buku karya SU Bajasut ini terbit kali pertama pada 1972, dan terbitan terbaru kali ini mendapat suntingan dari Lukman Hakiem, penulis biografi tokoh-tokoh Masyumi.  Prawoto Mangkusasmito, tercatat sebagai ketua umum Masyumi terakhir. Pria kelahiran Tirto, Grabag, Magelang, Jawa Tengah, pada 4 Januari 1910 ini, terpilih menjadi ketua umum Masyumi pada Muktamar IX di Yogyakarta tahun 1959. Prawoto sangat teguh dalam pendirian dan sangat hangat dalam pergaulan pribadi dan keluarga. Harry Tjan Silalahi, ketua Partai Katolik Indonesia pada 1971, pernah bertanya kepada I.J. Kasimo , mengapa Partai Katolik Indonesia dekat dengan Masyumi? “Tokoh-tokoh Masyumi dan Prawoto memiliki integritas,” kata Kasimo. Fatwa menambahkan, kebesaran jiwa tokoh Masyumi bukan hanya pada Prawoto, melainkan juga Mohammad Natsir yang akrab dengan J. Leimena (Partai Kristen Indonesia) dan Arnold Mononutu (Partai Nasional Indonesia). Kasman Singodimedjo yang dipenjara pada masa Orde Lama, mengantar jenazah Sukarno ke Blitar, bahkan Buya Hamka yang bernasib sama dengan Kasman, mengimami salat jenazah Sukarno. Sedangkan, Sjafruddin Prawiranegara terkenal dengan ucapannya: “Jangan pernah kehilangan objektivitas meskipun terhadap mereka yang tidak kita sukai.” Sepuluh tahun setelah kepergian Sukarno, muncul tulisan yang mengecilkan perannya. “Tulisan yang intinya menyebut Sukarno sebagai tokoh yang mudah bertekuk lutut itu,” kata Fatwa, “dibantah keras oleh Mr. Roem dengan data dan argumen yang kokoh.” Muhajir Effendy, Rektor Universitas Muhammadiyah Malang, memandang bahwa alam pikiran dan jejak perjuangan Prawoto dilandasi dengan keyakinan dan pemahaman agama yang utuh. “Ajaran agama Islam bila dipahami secara benar, maka tidak ada agama lain yang merasa terancam,” kata Muhajir dengan mengambil contoh persahabatan Prawoto dengan tokoh-tokoh dari agama lain. Gambaran lain mengenai sosok Prawoto, dilukiskan dengan peristiwa pertemuan menjelang pembubaran Masyumi di Istana Merdeka pada 28 Juni 1960. Busana yang digunakan Prawoto tampak kontras dengan tamu lainnya: M. Yunan (Masyumi), Sjahrir dan Soebadio Sastrosatomo (PSI) yang mengenakan jas lengkap. Prawoto hanya mengenakan sarung, berpeci, bersandal kulit, dan baju koko. “Prawoto secara simbolis ingin menempatkan bahwa Sukarno adalah (juga) rakyat biasa” kata pengamat politik, Fachry Ali. Kesederhanaannya pun diungkapkan oleh pemimpin koran Indonesia Raya , Mochtar Lubis . “Jenggot dan kumisnya, peci, kacamata, dan kain sarung yang paling suka dipakainya setiap hari,” kata Lubis. Menurut Fachry, salah satu tulisan Prawoto yang menarik dalam buku ini adalah “Jiwa dan Semangat 1945 Masyumi Menolak Suatu Machsstaat ” yang disampaikan sebagai sikap partai dalam pandangan umum Konstituante pada 4 Mei 1959. Tulisan ini adalah tanggapan balik dari “Konsepsi Presiden” yang dicetuskan pada 21 Februari 1957 tentang pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dan kembali ke UUD 1945. Konsepsi Presiden tersebut jawaban atas kemandekan dan kekacauan politik yang diakibatkan sistem demokrasi parlementer. Dalam tulisannya, Prawoto mengungkapkan bahwa Demokrasi Terpimpin akan memunculkan seorang “mahapemimpin” dan “pemimpin dari suatu kekuasaan yang menempatkan dirinya di atas hukum, permulaan dari pertumbuhan ke arah suatu negara kekuasaan ( machts-staat ) tidak dapat diterima.” Menurut Fachry, ketika Prawoto menyebut dan mengungkapkan penolakkannya terhadap sistem politik yang mengakomodasi terciptanya “mahapemimpin” telah sekaligus mengungkapkan sikap dan kesadaran genuine -nya tentang demokrasi. “Status seorang ‘mahapemimpin’ sangat berbahaya karena punya kecenderungan bertindak di luar sistem, dan di atas itu, berpotensi mengangkangi hukum itu sendiri,” kata Fachry.   Harry Tjan, menjelaskan bahwa machtsstaat tidak menerjemahkan “roh keadilan” dengan baik, bahkan jauh membelakangi, sedangkan recthstaat (negara berdasarkan hukum) menjelma sebagai “roh keadilan.” Itulah konsepsi Prawoto tentang hukum dan keadilan.

bottom of page