Hasil pencarian
9580 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Omar Dani Tak Gentar Pulang
AURI dituduh terlibat peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965. Tudingan ini berkaitan dengan surat perintah Menteri/Panglima AU Laksamana Madya Udara Omar Dani yang dianggap mendukung G30S. “Mendukung Gerakan 30 September yang mengamankan dan menyelematkan revolusi dan Pimpinan Besar Revolusi terhadap subversi CIA,” demikian salah satu isi perintah Omar Dani. Dalam biografinya Tuhan Pergunakanlah Hati, Pikiran, dan Tanganku yang disusun Benedicta Surodjo dan J.M.V. Soeparno, Omar Dani mengakui bahwa keputusannya itu adalah keliru. Tekanan dalam surat perintahnya adalah untuk melindungi Presiden Sukarno selaku panglima tertinggi. Namun seruan perintah itu kadung membuat ketegangan antar matra. Gesekan terutama menyulut Angkatan Darat yang menaruh curiga kepada AURI. Apalagi berkembang isu bahwa AURI akan membom markas Kostrad dengan pesawat bomber. Rumor ini sempat bikin Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto ketakutan sekaligus menyimpan dendam kepada Omar Dani. Untuk mengindari friksi lebih lanjut, Presiden Sukarno turun tangan. Omar Dani dicopot dari jabatan Panglima AURI. Posisinya dialihkan menjadi Menteri Panglima Komando Pelaksana Industri Pesawat Terbang (Kopelapip). Omar Dani diinstruksikan melakukan muhibah ke berbagai negara menjajaki kerja sama untuk pengembangan industri dirgantara. Pada 19 Oktober 1965, Omar Dani berangkat ke Kamboja. Di sana, Dani bermukim di ibu kota Pnom Penh, menyewa rumah di Vitnei Monivoung, tidak jauh dari rumah konsul RI. Sejak itu, selama hampir enam bulan Omar Dani tinggal di rumah tersebut. Sementara itu di Jakarta, pengaruh Sukarno mulai goyah. Omar Dani menjadi buruan menyusul Surat Perintah 11 Maret yang memberi kuasa kepada Soeharto. Para intel disusupkan ke Kamboja untuk memata-matai aktifitas Omar Dani. “Dubes Laksamana Muda Udara Budiardjo juga tak dapat berbuat apa-apa, karena Omar Dani waktu itu, resmi masih menjabat sebagai menteri. Demikian pula dari pihak Kamboja tak ada persoalan, karena tampaknya Omar Dani semasa masih Menteri/Pangau, mempunyai hubungan baik dengan pemerintah Kamboja,” tulis Sinar Harapan , 22 Juni 1966. Tinggal lama di negeri orang, Omar Dani pun bergumul secara batin. Dilema melanda antara pilihan pulang ke Indonesia atau menetap di Kamboja. Istri dan lima anaknya ikut serta, apalagi si bungsu masih bayi berusia empat bulan. Jika kembali ke Indonesia, Omar Dani akan dijadikan pesakitan politik oleh kelompok Soeharto. Dia bisa saja cari selamat dengan menetap di luar negeri bersama seluruh keluarga; hidup layak dengan mempergunakan keahliannya sebagai penerbang andal. Atau kalau mau, dia tidak sulit minta suaka perlindungan kepada Pangeran Sihanouk, sahabat karib Bung Karno, untuk tetap tinggal di Kamboja. “Hal ini tidak saya kerjakan justru karena saya berniat untuk mempertanggungjawabkan segala-galanya kepada atasan, kepada rakyat, terutama kepada warga AURI,” kata Omar Dani dalam pidato pembelaannya Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub). Omar Dani pada akhirnya memutuskan pulang ke Indonesia. Dia memilih menanggung tindakan politiknya di depan pengadilan ketimbang melarikan diri ke luar negeri. Pada 20 April 1966, Omar Dani mendarat di Jakarta dengan pesawat C-130 milik AURI. Prediksi Dani soal dugaan untuk mengadili dirinya benar terjadi. Ketika tiba di tanah air, Dani sekeluarga diamankan ke kompleks peristirahatan AURI di Cibogo, Bogor. Dari situ, Dani kemudian ditahan ke Rumah Tahanan Militer (RTM) Nirbaya untuk dihadapkan ke Mahmakah Militer Luar Biasa (Mahmilub). “Bapak Hakim Ketua dan Bapak-bapak Hakim Anggota yang terhormat, apakah tuduhan, bahwa saya adalah seorang yang tidak berani bertanggung jawab itu masih berlaku?,” tanya Omar Dani di depan para hakim. Putusan Mahmilub memvonis Omar Dani dengan hukuman mati. Beberapa tahun menjalani hidup di bui, hukuman Omar Dani diubah menjadi hukuman seumur hidup. Setelah hampir 30 tahun meringkuk di penjara, pada 1995 Omar Dani akhirnya dibebaskan lantaran sudah sepuh. Dia menjalani masa tua hingga akhir hayat dengan damai dan tanpa dendam.
- Naluri Mengubur Mayat
Lima tahun lalu dunia paleoantropologi dikejutkan dengan temuan sisa belulang misterius di kedalaman gua di Afrika Selatan. Tulang belulang yang memfosil itu dengan cepat dikenali sebagai spesies manusia baru. Ia dikenal sebagai Homo naledi. Naledi punya campuran ciri manusia awal, mirip dengan Homo erectus yang eksis 1,5 juta tahun lalu, sekaligus modern. Termasuk volume otaknya yang cukup kecil. Menariknya, titik di mana sisa tulang itu ditemukan jauh dari mulut gua. Ruangannya hanya bisa diakses lewat lorong sempit yang gelap. Untuk melewati celah selebar 20 cm itu harus memanjat secara vertical dan merangkak. Tentu tempat itu mustahil untuk hidup. Karenanya para peneliti meyakini tulang belulang itu sengaja di bawa ke sana untuk dikebumikan. Kedalaman gua dijadikan kuburan. Dugaan itu pun memulai diskusi baru. Bagi para antropolog, ritual pemakaman berkaitan dengan munculnya sifat unik yang mencirikan manusia. Terutama dalam hal berpikir secara simbolis. “Pemikiran simbolis memberi kita kemampuan untuk melampaui masa kini, mengingat masa lalu, dan memvisualisasikan masa depan,” kata Paige Madison, paleoantropolog dalam laman Sapiens. Ritual pemakaman menunjukkan adanya perilaku spiritual. Ini memungkinkan para ilmuan mengkaitkannya dengan kepercayaan, nilai-nilai, dan ide rumit lainnya. “Bersedih atas kematian melibatkan ingatan masa lalu dan membayangkan masa depan di mana kita juga akan mati. Bayangan ini diyakini cukup kompleks untuk direnungkan,” kata Madison. Asumsinya kemudian adalah ritual kematian hanya bisa dipraktikkan oleh manusia modern yang punya perangkat otak memadai. Ritual itu dilakukan oleh kerabat terdekatnya. Karenanya kemungkinan Naledi yang bervolume otak lebih kecil bisa terlibat dalam ritual pemakaman mayat secara sengaja pun cukup mencengangkan. “Itu mengganggu keseluruhan pemikiran konvensional soal perbedaan antara manusia modern dan spesies manusia sebelumnya dan secara luas, perbedaan antara kita (manusia, red. ) dengan seluruh alam,” jelas Madison. Homo neanderthalensis Sebenarnya, perdebatan sudah dimulai sejak 1908. Pemikiran kalau hanya manusia modern yang bisa memikirkan ide menguburkan kawannya diuji dengan temuan kerangka Neanderthal yang cukup lengkap di dekat La Chapelle-aux-Saints di Prancis. Para penemu berpendapat bahwa kerangka itu jelas telah sengaja dimakamkan. Bagi mereka, tampak seolah-olah kuburan itu telah digali, tubuhnya sengaja diletakkan di dalam posisi seperti janin. “Banyak ilmuwan kontemporer tetap meragukan interpretasi ini dan langsung menolak bukti. Perdebatan tentang penguburan La Chapelle Neanderthal berlanjut hingga hari ini,” catat Madison. Sejak penemuan pertama fosil Neanderthal pada 1856 di Lembah Neander, Jerman, spesies ini telah menempati hubungan yang ambigu dengan manusia. Neanderthal adalah spesies yang paling dekat dengan manusia modern. Awalnya Neanderthal dianggap sebagai makhluk yang jauh dari manusiawi. Mereka dikenal kasar dan bahkan belum berdiri tegak. Namun kemudian berubah. Terutama setelah penemuan pada 1960 di Gua Shanidar, Irak. Di sana muncul bukti adanya pemakaman Neanderthal. Seperti yang diungkap Lutfi Yondri dari Balai Arkeologi Bandung di “Situs Bawahparit: Jejak Penguburan Masa Transisi” yang diterbitkan Jurnal Lektur Keagamaan , di antaranya ada satu makam yang sangat menarik. Di sekeliling individu yang dimakamkan, terdapat sampel tanah yang mengandung serbuk sari dan bekal kubur berupa alat-alat. Ralph Solecki, pemimpin tim dan antropolog Universitas Columbia, menganalisis serbuk sari itu sebagai bukti kalau tadinya bunga berwarna-warni ditempatkan di kuburan ketika Neanderthal dimakamkan. “Ini merupakan gaya manusia yang sangat modern,” sebut Madison. Sayangnya, hipotesis itu runtuh ketika akhirnya diketahui kalau serbuk sari di sekitar fosil terbawa oleh tikus tanah. Kendati pada akhirnya para ilmuan berkomentar mungkin keberadaan sisa-sisa bunga itu pun bukan kebetulan belaka. Saat ini, sebagian besar ilmuwan setuju bahwa Neanderthal memang menguburkan mayat mereka. Setidaknya beberapa Neanderthal melakukannya. Pertanyaannya, apakah Neanderthal juga berpikir tentang kematian dengan cara yang mirip dengan manusia modern, yaitu dengan pikiran spiritual? Atau apakah pemakaman dijadikan solusi praktis agar mayat tak membusuk di tengah manusia hidup? Para antropolog pun sepakat lewat bukti bekal kubur yang juga menyertai kuburan Neanderthal itu, artinya memang ada tanda-tanda ritual yang menyertainya. Madison mengungkapkan, bukanlah muluk-muluk jika membayangkan bahwa Neanderthal memiliki kapasitas untuk menguburkan mayat mereka dengan alasan yang sama seperti yang manusia modern lakukan. Mereka memiliki otak yang sangat besar. Volume otak Homo Neanderthalensis dewasa bisa mencapai 1.520 sentimeter kubik. Adapun Homo sapiens dewasa hanya 1.195 sentimeter kubik. “Dapat dibayangkan bahwa mereka juga sama kompleksnya dengan manusia,” kata dia. Sampai sini, argumen kalau hanya hominin berotak besar yang mampu melakukan aktivitas simbolik ini masih bisa bertahan. Hakikat Manusia Namun, dengan temuan Homo naledi cerita baru pun muncul. Otaknya kurang dari setengah ukuran otak manusia modern. Karenanya, Madison melanjutkan, lebih mudah untuk membayangkan bahwa makhluk-makhluk ini membuang mayat mereka untuk alasan praktis daripada alasan simbolik. Pertanyaan selanjutnya, untuk apa naledi harus melalui semua kesulitan membawa mayat melalui kegelapan gua yang sempit? Mungkin artinya, naledi yang mirip Homo erectus itu pun sebenarnya berperilaku kompleks dan sangat emosional. Dari sini, bisa jadi ritual penguburan mayat sebenarnya tak sedemikian unik, sehingga bukan hanya makhluk yang disebut manusialah yang bisa melakukannya. Lebih jauh lagi, Madison memaparkan, dalam beberapa dekade terakhir para ilmuwan telah menyadari bahwa ciri-ciri khas "manusia" sebenarnya muncul sedikit demi sedikit. Artinya, itu bukan datang dalam satu paket melainkan berkembang sejalan dengan proses evolusi. Ini bukan pertama kalinya perilaku khas “manusia” ternyata juga dimiliki spesies lain. Sampai 1960-an, pembuatan alat secara luas dianggap sebagai sesuatu yang mencirikan manusia. Anggapan itu hilang setelah ahli etologi, Jane Goodall menemukan kalausimpanse pun mampu memodifikasi bahan untuk membuat alat mereka sendiri. “Dengan melepaskan kepercayaan pada keunikan perilaku kita, kita mungkin dapat melihat bagaimana kecenderungan memandang diri kita sebagai orang yang sangat istimewa sehingga mengasingkan kita dari keluarga primata yang lain, dan bahkan dari semua evolusi,” ungkap Madison.
- Spider-Man Terjerat Tipu Daya
MACAM-MACAM perasaan yang berbekas selepas angkat bokong dari bangku bioskop usai menyaksikan Spider-Man: Far From Home . Suguhan 129 menit itu menjadi sekuel Spider-Man: Homecoming (2017) sekaligus jadi edisi ke-23 keluaran Marvel Cinematic Universe (MCU). Spider-Man: Far From Home (selanjutnya disebut Far From Home ), film yang paling dinanti setelah demam Avengers: Endgame (2019), merajalela di tanah air sejak 3 Juli lalu. Selain tak kalah dalam mengaduk perasaan, film ini juga memuat memori tentang mendiang Tony Stark/Iron Man yang jadi martir dalam Endgame sebelumnya. Namun, film garapan sutradara Jon Watts ini tak hanya mengumbar kepedihan. Penonton bakal dibikin tertawa oleh kelakuan sahabat Parker, Ned Leeds (Jacob Batalon) atau kelakuan Happy Hogan (Jon Favreau) yang kasmaran dengan sang bibi May Parker (Marisa Tomei). Ada juga haru, kesal dan tentunya terkejut seiring jalannya adegan per adegan. Sebagaimana maksud di sub-judulnya, Spider-Man alias Peter Parker (diperankan Tom Holland) kali ini tengah bertualang ke seberang Atlantik –Benua Eropa. Reputasinya seolah sedang di-global-kan, Watts meracik aksi-aksi Spider-Man menangkal kemungkaran lintas Eropa, mulai dari Venezia hingga London. Tapi jangan harapkan jalan ceritanya bakal mainstream. Lalu, bukan MCU namanya kalau keluaran terbarunya ini tak menyajikan sejumlah twist. Spider-Man kali ini pun bukan melawan alien laiknya para koleganya di seri-seri Avengers, tapi justru nyaris sendirian melawan Mysterio alias Quentin Beck (Jake Gyllenhaal). Mysterio mulanya dianggap kawan tapi ternyata merupakan lawan lewat tipu daya dan teknologi ilusi usai memanfaatkan salah satu barang canggih warisan Stark. MJ, kekasih Spider-Man yang diperankan Zendaya (Foto: spidermanfarfromhome.movie) Perjuangan Peter Parker diperumit dengan dua pertanyaan: Apa yang diinginkan dalam hati dan apakah ia siap jadi penerus Stark? Di satu sisi Spider-Man ingin kembali menikmati kehidupan remaja seumurnya, di mana ia sangat jatuh hati pada MJ (Zendaya). Tapi di sisi lain ia jadi sosok yang dipercaya mendiang Stark untuk menjaga perdamaian bumi. Selanjutnya, baiknya Anda tonton sendiri. Selain beraneka perasaan yang bakal Anda kecap, Anda juga akan diajak melihat keindahan beberapa kota tua di Venezia, Praha, dan London sebagai penyegar mata untuk menyelingi sejumlah efek CGI nan canggih. Telinga Anda juga akan dibikin nyaman oleh sejumlah musicscoring dengan tata suara apik garapan komposer Michael Giacchino. Potongan lagu “Back in Black” milik AC/DC lagi-lagi mengembalikan memori tentang Iron Man alias Tony Stark yang menggemari lagu cadas ini. Sosok Pemred Kharismatik TheDaily Bugle Sebagaimana lazimnya keluaran-keluaran MCU, Far From Home punya dua credit title yang pastinya tak boleh dilewatkan para penggemar Marvel. Salah satu yang paling menarik adalah kemunculan cameo pemred suratkabar The Daily Bugle yang bertransformasi jadi thedailybugle.net . Siapa lagi kalau bukan sosok menyebalkan tapi bikin kangen, J. Jonah Jameson. Pemred pemberang yang khas dengan kumis bergaya sikat gigi dan cukuran rambut cepak flattop ini kembali diperankan aktor senior J.K. Simmons. Kehadirannya sebagai cameo di salah satu credit title -nya seolah menggulirkan nostalgia dengan trilogi Spider-Man (2002-2007) garapan Sam Raimi kala Peter Parker/Spider-Man masih diperankan Tobey Maguire. Sebagaimana di trilogi racikan Raimi, sosok J. Jonah Jameson muncul untuk bikin ruwet reputasi Spider-Man lagi. Ia kini muncul untuk “ikut” menyebarkan hoax bahwa penjahat dan ancaman perdamaian sesungguhnya adalah Spider-Man, berbekal dari viralnya video unggahan Mysterio sebelum meregang nyawa. “Kami selalu tahu bahwa kami ingin identitas Spider-Man terbongkar dan rasanya mesti terbongkar lewat berita. Kantor berita utama apa yang ada di dunia Spider-Man? Jawabannya selalu The Daily Bugle . Ketika Anda bicara The Daily Bugle , Anda bicara soal J. Jonah Jameson. Takkan tepat rasanya jika pemerannya bukan J.K. Simmons,” sambung sang sutradara kepada polygon.com , Minggu (7/7/2019). Karakter sosok bernama lengkap John Jonah Jameson itu sendiri “dilahirkan” duo legenda komik Marvel Stan Lee dan Steve Ditko pada 1963 atau setahun setelah Spider-Man dirilis. Stan Lee dan Ditko pertamakali merilisnya di komik The Amazing Spider-Man edisi nomor satu keluaran Maret 1963. Karakter J. Jonah Jameson yang diperankan aktor senior J.K. Simmons (Foto: Columbia Pictures) Jonah Jameson diciptakan sebagai sesosok pemred suratkabar The Daily Bugle tempat Peter Parker bekerja sebagai fotografer. Karakternya gabungan dari kharismatik, pemarah, nyolot, dan selalu menyebut Spider-Man dengan “Freak, Menace!” (Aneh, Ancaman!). “Saya tak begitu ingat dari mana saya mendapat karakternya. Mungkin kombinasi dari semua orang yang saya kenal. Saya mendapat gagasan tentang Jonah sebagai penerbit pemberang dan Spidey menjadi fotografer lepas yang bekerja untuknya,” terang Stan Lee kepada Leonard Pitts Jr pada 1981 dalam “An Interview with Stan Lee” dan dimuat Jeff McLaughlin di Stan Lee: Conversations . Namun tak lama setelah ia menciptakan karakternya dibantu ilustrator Steve Ditko, Stan Lee sadar bahwa ada pula karakter yang mirip kepunyaan DC Comics, saingan Marvel Comics, tempat Stan Lee berkarya. Yakni, karakter Perry White, pemred suratkabar The Daily Planet , tempat Clark Kent alias Superman bekerja sebagai wartawan lepas. Karakter bikinan George Putnam Ludlam itu lebih dulu muncul di komik Superman edisi ketujuh keluaran November 1940. “Saya mengubah karakter Jonah Jameson sebeda mungkin (dari karakter Perry White). Saya buat karakternya lebih pemberang dan reaksioner. Ia berpikir bahwa masa-masa indah Amerika adalah di masa kepresidenan Herbert Hoover. Dia benci remaja, kaum hippies , rambut gondrong dan gitar. Saya pikir akan lucu jika membuat tokoh seperti itu walau dia bukan penjahat. Dia hanya mewakili segmen masyarakat yang sangat kolot,” tandasnya.
- Mula Cacar Menyebar
DI masa kini, cacar bukanlah penyakit menakutkan. Orang bisa dengan tenang menghadapinya lantaran akses layanan kesehatan sudah terjangkau dan makin mutakhir. Paling banter, orang akan merisaukan bekas lepuhan yang berubah jadi koreng lantaran sulit hilang. Kerisauan akan penyakit ini cenderung rendah sekarang. Hal itu berbeda jauh dari zaman dulu. Mereka amat menakutinya. Sebelum masyarakat mengetahui cacar, mereka menganggap kemunculan cacar akibat ulah makhluk halus yang datang dari laut. Penduduk Pulau Buru bahkan sampai punya kepercayaan untuk menghindari pantai dan laut. Untuk mencegah cacar masuk ke desa, mereka melakukan ritual dengan membangun rakit kecil untuk melarung penyakit ke tempat asalnya. Di Kubu, Sumatera dan orang Dayak di Borneo percaya untuk menghindari cacar mereka dilarang pergi ke dataran rendah dan berada di sekitar orang asing. Bila harus melakukan transaksi, mereka akan melakukan barter bisu, melakukannya dari jarak jauh, dan menghindari dataran rendah. Kebiasaan itu berhasil menghindarkan orang Kubu dari epidemi cacar. Dalam seabad, tercatat hanya tiga kali Kubu terserang wabah cacar, jauh lebih sedikit dibanding daerah lain. Di Aceh, Bali, Batak, dan Sulawesi, orang memilih meninggalkan desa selama bertahun-tahun untuk menghindari cacar. Begitu tahu ada salah seorang penduduk desa yang terkena cacar, mereka langsung cepat-cepat kabur dan mencari tempat tinggal baru. Usaha itu dilakukan karena mereka belum tahu cacar penyakit menular, melainkan kutukan roh halus. Di Bali, Borneo, dan Sulawesi Tengah, orang-orang yang mati karena cacar dianggap sebagai kematian yang buruk. Mereka tidak akan diterima di surga atau alam kematian dan dikeluarkan dari lingkungan leluhur. Di Halmahera, pemakaman korban cacar akan dilakukan tanpa ritual, sedangkan di Batak, makamnya tidak boleh kelihatan. Hal berbeda terjadi di Jawa. Ketika wabah cacar menyerang, orang tetap tinggal karena sudah terbiasa menghadapi penyakit menular. “Beberapa etnis yang paham bahwa cacar adalah penyakit menular tidak berusaha meninggalkan desa ketika epidemi terjadi,” tulis Peter Boomgard dalam “Smallpox, Vaccination, and the Pax Neerlandica”. Ia menduga, keputusan penduduk untuk tinggal karena mereka sudah terbiasa dengan penyakit mematikan dan pindah desa adalah hal sia-sia. Cacar sendiri, menurut catatan paling awal, muncul pertamakali tahun 1558 di Ternate dan Ambon. Dalam periode tersebut, cacar sudah jadi penyakit endemik di beberapa wilayah Asia Tenggara. Para pelaut Portugis mencatat, cacar mewabah di Fillipina pada 1574 dan 1591. Antara 10-20 persen penduduk terbunuh oleh cacar pada abad ke-16. Dalam “Dari Mantri Hingga Dokter Jawa” yang dimuat Jurnal Humaniora Oktober 2006, Baha’Udin menyebut cacar pertamakali masuk ke Batavia pada 1644. Tom Harrison dalam “Prehistory of Borneo” berpendapat bahwa penyakit cacar dibawa oleh pedagang Eropa ke Borneo. Namun pendapat ini dibantah Boomgard, yang mengatakan cacar sudah dikenal lama oleh penduduk Tiongkok dan India. Dua negeri ini sudah menjalin kontak dengan banyak kerajaan di Nusantara jauh sebelum bangsa Eropa datang. Sagat sulit untuk tidak membawa serta cacar (tanpa sengaja) dalam hubungan antarnegara tersebut. Keganasan cacar tentu tak hanya menyerang pribumi. Pada 1658 di Banda, beberapa orang kulit putih terkena cacar. Namun, penderitaan mereka tak separah kaum terjajah. Orang-orang Eropa relatif lebih resisten terhadap cacar lantaran kualitas lingkungan hidup yang bersih dan makanan yang bergizi. Pun akses kesehatan bagi mereka terbuka lebar, berbanding terbalik dengan pribumi. Orang Belanda menyebut cacar sebagai cacar anak atau penyakit anak-anak ( kinderziekte ) lantaran kebanyakan menyerang anak di bawah 12 tahun. Ada anggapan bahwa orang Eropa lebih kebal pada cacar lantaran sudah mengenal penyakit ini lebih dulu sehingga imun tubuhnya pelan-pelan terbentuk untuk resisten pada cacar. Petugas kesehatan di Batavia juga berpikir bahwa etnisitas berpengaruh pada daya tahan penyakit tiap orang. Budak-budak dari Bugis dan Bali punya daya tahan tubuh lebih kuat menghadapi cacar dibanding budak dari Nias. Hal ini dikarenakan jumlah penduduk dan kemungkinan terpapar cacar di tempat asal para budak. Bugis dan Bali berpenduduk padat, sementara Nias lebih jarang. “Nias terpapar cacar lebih jarang dibanding Bali dan Bugis sehingga punya daya imun lebih rendah,” tulis Boomgard.
- Akhir Tragis Kapal Greenpeace Penentang Nuklir Prancis
HARI ini, 10 Juli, 34 tahun silam. Kesunyian dermaga Pelabuhan Auckland, Selandia Baru seketika berganti jadi menakutkan pada pukul 23.45 waktu setempat. Dentuman keras mengagetkan orang-orang di kapal-kapal yang bersandar maupun yang berada di daratan. “Suara apa itu? Jelas bukan bagian dari kebisingan rutin kapal. Bahkan, tidak ada suara normal kapal yang bisa didengar. Generator, yang memasok listrik ke kapal, anehnya sunyi. Gempa bumi kah?” kata Peter Willcox, kapten kapal Rainbow Warrior milik Greenpeace yang merupakan salah satu kapal di dermaga itu, dalam memoarnya yang dimuat dalam Greenpeace Captain: My Adventures in Protecting the Future of Our Planet . Garda Terdepan Anti-Nuklir Rainbow Warrior merupakan kapal Greenpeace, organisasi pemerhati lingkungan yang berasal dari Kanada, yang dibeli pada 1978. Bekas kapal Sir William Hardy milik Skotlandia itu lalu direparasi ulang agar berfungsi untuk pekerjaan lingkungan. Untuk menyelaraskan dengan misi yang diembannya, cat kapal didominasi warna putih dan hijau tua. Tak lama setelah melakukan pelayaran perdana usai reparasi ulang, Rainbow Warrior langsung melakukan pelayaran berbahaya dengan mencegat kapal pengangkut sampah nuklir milik Inggris, Gem, yang mengotori perairan internasional. Selang beberapa waktu kemudian, Rainbow Warrior berhasil menggagalkan perburuan anjing laut Norwegia di Kepulauan Orkney. Dua pelayaran berbahaya nan heroik itu membuka ratusan pelayaran Rainbow Warrior berikutnya dalam menjaga kelestarian bumi. “Greenpeace telah menjadi terkenal karena eksploitasi keberanian dan aksi dramatisnya, yang semuanya dimaksudkan untuk menarik perhatian pada penghancuran bumi dan semua mahluk di atasnya yang sistematis oleh industri,” tulis Steven McFadden dan Ven. Dhyani Ywahoo dalam Legend of the Rainbow Warriors . Ketika intensitas ujicoba senjata nuklir Amerika Serikat dan Prancis di Pasifik meningkat pada 1970-an, Greenpeace bergabung dalam barisan penentangnya. “ Gerakan untuk Pasifik bebas-nuklir dimulai di Fiji pada 1970 dengan pembentukan komite ATOM (Against Tests on Moruroa) untuk memprotes pengujian nuklir Prancis. Didukung oleh Konferensi Gereja-Gereja Pasifik, ATOM menyelenggarakan konferensi pertama untuk Pasifik bebas nuklir di Fiji pada 1975, dan sebuah konferensi lanjutan penting di Pulau Pohmpein di Mikronesia pada 1978,” tulis Arnold Leibowitz dalam Embattled Island: Palau’s Struggle for Independence . Dalam kampanye menentang ujicoba nuklir Prancis di Moruroa itulah Rainbow Warrior menjadi andalan Greenpeace. Dari turnya ke berbagai tempat, kapal itu kemudian menuju Auckland, Selandia Baru. Selandia Baru dianggap para aktivis lingkungan sebagai rekan. “Awak kapal berencana untuk mengumpulkan dukungan dari para simpatisan di Selandia Baru dan kemudian bergabung dengan armada perdamaian yang akan berlayar ke Atol Moruroa, di mana Prancis secara terus-menerus menguji bom-bom nuklirnya sejak 1966,” sambung McFadden dan Ywahoo. Tiba di Pelabuhan Auckland pada 7 Juli 1985, Rainbow Warrior mendapat sambutan meriah. Realitas itu membuat Prancis gerah. Sudah empat kali Prancis dibuat malu Greenpeace dengan protes kerasnya atas ujicoba nuklir di Pasifik. Protes kelima yang akan dilakukan Greenpeace, dengan dukungan yang lebih kuat, oleh karena itu harus digagalkan. “Pada 10 Juli 1985 di Pelabuhan Auckland, pasukan komando Prancis menanam bahan peledak di bawah lambung kapal,” tulis Elzbieta Posluszna dalam Environmental and Animal Rights Extremism, Terrorism, and National Security . Ledakan pertama,15 menit sebelum pergantian hari ke tanggal 11 Juli, merobek bagian tengah bawah lambung kapal. Generator RainbowWarrior langsung tak berfungsi, kapal pun gelap. Setelah memerintahkan para awak untuk meninggalkan kapal, Kapten Willcox yang hanya mengenakan handuk langsung menyelamatkan diri ke dermaga. “Kapal sudah tenggelam ke titik di mana aku harus memanjat dari dek untuk bisa sampai ke dermaga,” kata Willcox dalam memoarnya. Willcox kemudian mulai menghitung para awaknya. Davey, rekannya yang datang kemudian, memberitahu Willcox bahwa Fernando Pereira, fotografer resmi Rainbow Warrior , masih di dalam kapal. Sang kapten dan Davey langsung ke bagian tertinggi kapal untuk mencoba menyelamatkan rekan mereka. Namun, situasi membahayakan membuat mereka urung melanjutkannya. Ledakan kedua, dekat baling-baling kapal, muncul saat itu. Semua awak Rainbow Warrior makin bingung. “ Kami masih belum tahu tentang apa yang menyebabkan semua kerusakan iru. Tidak ada kapal lain yang bisa bertabrakan dengan kami. Bahan bakar kapal adalah diesel, yang tidak mudah meledak. Satu-satunya bahan peledak yang ada di atas adalah tangki oksigen dan asetilena yang digunakan untuk pengelasan, tetapi itu disimpan jauh di depan dan jauh dari tempat kerusakan terjadi. Saya benar-benar bingung,” kata Willcox. Menjelang subuh, Willcox dibawa polisi ke TKP untuk mengidentifikasi jenazah di RainbowWarrior yang diambil lima penyelam AL Selandia Baru. Benar saja, jenazah itu merupakan Fernando Pereira. “Dia berada di kabinnya sekitar 20 detik ketika ledakan kedua terjadi tepat di bawahnya,” sambung Willcox. Setelah menjalani interogasi di kantor kepolisian setempat, para awak Rainbow Warrior lalu dibebaskan. “Fakta bahwa ada dua ledakan –terpisah hanya beberapa menit di dua lokasi berbeda– mengindikasikan ini adalah upaya disengaja untuk menenggelamkan Rainbow Warrior ,” kata Willcox. Dua hari kemudian, Kepolisian Selandia Baru menangkap sepasang suami-istri asal Prancis, Alain Turenge dan Sophie Turenge. Investigasi lebih lanjut menyatakan keduanya adalah Mayor Alain Mafart dan Kapten Dominique Prieur, perwira militer Prancis yang di-BKO-kan ke Direction Generale de le Securite Exterieure (DGSE). Keterilbatan militer Prancis membuat publik marah dan pers mencecar pemerintahan Francois Mitterand. Laporan yang dirilisnya pada 27 Agustus tetap tak memuaskan permintaan pers akan kebenaran. Suara pelengseran Mitterand makin kuat. Setelah Menhan Charles Hernu mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban, pada 22 September PM Prancis Laurent Fabius buka suara tentang keterlibatan DGSE. “Perdana Menteri Laurent Fabius mengakui DGSE telah memerintahkan ‘netralisasi’ Rainbow Warrior dalam apa yang disebut, ‘Operation Satanic’,” tulis John E. Lewis dalam Terrorist Attacks and Clandestine Wars .
- Kisah Pemenggal Prajurit Gurkha
FOTO usang milik IPPHOS (Indonesian Press Photo Service) itu memang sangat legendaris. Lima remaja era revolusi di sebuah mobil terbuka nampak tengah bergaya. Salah satu gadis muda berambut kepang yang tengah membawa senjata diidentifikasi sebagai Toeti Amir Kartabrata. Kelak beberapa tahun kemudian dia menjadi Kepala Brigade I Laswi (Lasjkar Wanita Indonesia). “Dia merupakan kader militer Husein Wangsaatmadja, instruktur militer di TKR Bandung yang kelak menjabat sebagai walikota Bandung (1978-1983)," tulis Irna H.N. Hadi Soewito dalam Lahirnya Kelasykaran Wanita dan Wirawati Catur Panca. Toeti dikenal sebagai prajurit perempuan pemberani. Dia bukan hanya bisa bergaya namun juga kerap berhadapan langsung dengan bahaya. Suatu siang pada Agustus 1946, entah datangnya dari mana tiba-tiba muncul seorang penjual cendol di depan Markas Laswi di Majalaya. Tak lama kemudian, pesawat Inggris muncul dan membombardir tempat tersebut. Toeti yang saat itu sedang tidur-tiduran sontak meloncat dan menerobos kepulan asap untuk mencari jalan keluar. Begitu di luar, dia melihat rekannya Saartje dengan kepala berdarah-darah. "Asrama Laswi kena!" teriak Saartje. Akibat pemboman itu, Markas Laswi hancur lebur. Empat anggota Laswi gugur dan 10 orang lainnya luka-luka termasuk Saartje. "Sampai masa tuanya, dia pendengarannya tidak normal, gendang telinganya pecah," kata Toeti kala masih hidup. Aksi pengeboman itu memang termasuk "tidak biasa" bagi mereka. Selama bermarkas di Majalaya, Toeti dan kawan-kawannya selalu merasa aman-aman saja. Belakangan diketahui bahwa tempat itu "bocor" karena ada mata-mata. Dan mata-mata itu tak lain adalah tukang cendol yang kata Toeti langsung diadili dan ditembak mati oleh para pemuda Pesindo (Pemoeda Sosialis Indonesia) wilayah Soreang. Salah satu nama beken lain dari Laswi adalah Soesilowati. Laiknya pejuang lelaki, ia pun terlibat langsung di garis depan. Bahkan Soesilowati tak sungkan-sungkan untuk bertarung satu lawan satu dengan prajurit musuh. Salah satu korban dari kegarangan “maung bikang” (macan betina) ini adalah seorang perwira muda dari Gurkha Riffles, sebuah kesatuan elite BIA (British India Army) yang diturunkan di palagan Bandung. Dalam Memenuhi Panggilan Tugas Jilid I: Kenangan Masa Muda , Jenderal (Purn) A.H. Nasution mengisahkan bahwa para pejuang Bandung sempat jengah dengan kehadiran para perempuan di medan laga. Dikhawatirkan mereka hanya membuat kesulitan saja dan akan mudah ditangkap oleh musuh. Dalam situasi tersebut, pada suatu pagi di tahun 1946, markas Nasution di Jalan Kepatihan, Bandung tetiba didatangi oleh seorang perempuan muda. “Dia datang dengan menunggang seekor kuda,” kenang A.H. Nasution. Begitu sampai di depan pintu, perempuan yang tak lain adalah Soesilowati itu, masuk dan langsung menemui Nasution. Tanpa banyak cakap, dia melemparkan sebuah bungkusan di atas meja Kepala Staf Panglima Komandemen Jawa Barat tersebut. Begitu Nasution membukanya, langsung terperanjat. Di dalam bungkusan, nampak kepala seorang perwira Gurkha yang masih segar lengkap dengan pita-pita tanda kepangkatannya. “Wajahnya simpatik dan nampak dia masih sangat muda namun sayang harus menjadi korban pergolakan politik negeri orang lain yang tak memiliki hubungan apapun dengan negaranya,” ujar Nasution. Sejak itulah Nasution paham akan keberanian para mojang Bandung. Dia tak ragu lagi melibatkan mereka dalam setiap tugas dan pertempuran. Soesilowati sendiri, kata Nasution, secara sukarela kadang menjadi pengawal Nasution dalam setiap kegiatan komandemen. “Yang saya masih ingat dari dia adalah kebiasaannya jika tengah melakukan pengawalan: duduk tegap di atas kap mobil,” kenang sang jenderal. Selain Soesilowati, satu lagi anggota Laswi yang dikenal sebagai tukang penggal kepala tentara Gurkha di front Bandung adalah Willy Soekirman. Dalam buku Saya Pilih Mengungsi karya Ratnayu Sitaresmi, Aan Abdurachman, Ristadi Widodo Kinartojo dan Ummy Latifah Widodo, disebutkan nyaris pada setiap pertempuran kota di Bandung, Willy yang menggunakan sebilah pedang kecil sering terlibat perkelahian satu lawan satu dengan prajurit Gurkha yang bersenjata khukri (sejenis pisau tajam yang berbentuk melengkung) dan selalu berhasil memenggal kepala lawannya. “Saya selalu tak sadar jika sedang memenggal kepala musuh. Tahu-tahu aja ada darah segar mengalir di tangan saya dan kawan-kawan di sekitar berteriak histeris menyemangati saya,” ungkapnya. Willy masih ingat sebuah duel yang dilakukannya dengan seorang prajurit Gurkha yang terus memburunya di dekat jembatan Viaduct. Ceritanya, Willy bersama pasukannya dalam suatu pertempuran terdesak dan menghindar. Namun begitu sampai jembatan Viaduct, dia sadar tak ada jalan lain. Tanpa banyak cakap, Willy mengeluarkan pedang kecilnya dan mengamuk. Perkelahian satu lawan satu pun dimenangkan Willy dengan disaksikan para pejuang lainnya. Sejak itulah nama Willy menjadi terkenal di kalangan pejuang Bandung.*
- Mengobati Penyakit pada Zaman Kuno
Sanjaya dalam waktu yang lama menderita karena sakit panas. Badannya lemah, lemas, dan kehabisan tenaga. Guru atau pembimbing raja tak dapat menyembuhkannya. Maka setelah penderitaan itu dan kesedihannya selama delapan hari, dia pun masuk surga. Anaknya, Śaṅkara, setelah ayahnya meninggal lagi-lagi dia tak sadarkan diri. Dia yang karena takut kepada guru ayahnya yang dianggapnya tidak benar dan mengingat janjinya kepada mendiang ayahnya, lalu meninggalkan kebaktian kepada Dewa Siwa dan yang lain-lain. Dia pun menjadi penganut Buddha Mahayana. Demikian kisah dalam Prasasti Śaṅkara yang menurut Boechari dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti, sangat mungkin berasal dari pertengahan abad ke-8. Raja Sanjaya wafat karena sakit panas yang dideritanya tak mampu disembuhkan. Penanganan penyakit pada zaman kuno cukup banyak petunjuknya. Misalnya, adegan-adegan praktik pengobatan dimunculkan, di antaranya dalam relief Karmawibhangga di kaki Candi Borobudur. Dalam salah satu relief, seorang lelaki nampaknya sakit cukup parah sampai harus ditangani beberapa orang. Ada yang memegang kepalanya, mungkin sedang memijat. Beberapa yang lain memegang lengan dan kakinya. Sementara orang-orang di sekitarnya nampak sedih. Di panil lainnya, seorang laki-laki lainnya juga sedang diberi pertolongan. Kepalanya dipijat. Perut dan dadanya digosok. Seorang perempuan memegangi obat untuknya. Ada lagi dalam panil lainnya, dua lelaki yang sepertinya sakit kepala. Kepalanya tengah dipijat. Laki-laki lainnya yang juga terlihat sakit sedang dirawat seorang perempuan yang memegang lengannya. Beberapa jenis penyakit disebutkan dalam prasasti. Prasasti Wiharu II (851 Saka atau 929) menyebutkan ada orang yang meninggal dunia karena perutnya membengkak ( matya busunga ) dan adanya penderita ayan ( ayana ). Kendati dalam prasasti tak jelas bagaimana proses mengobati penyakit itu, paling tidak bisa diketahui kepada siapa orang Jawa Kuno mengadu ketika merasa tak enak badan. Berbagai profesi yang dihubungkan dengan dunia kesehatan disebutkan dalam beberapa prasasti. Dalam Prasasti Balawi (1305) muncul istilah tuha nambi , yang artinya tukang obat. Kemudian terdapat istilah kdi (dukun wanita) dan walyan (tabib). Profesi tuha nambi juga muncul dalam Prasasti Sidoteka (1323). Prasasti ini juga menyebut wli tamba atau orang yang mengobati penyakit. Sedangkan dalam Prasasti Bendosari (1360) disebutkan keberadaan tabib desa atau disebut janggan. Adapun padadah atau pemijatan mungkin merujuk pada tukang pijat, yang menurut Prasasti Biluluk dari masa Hayam Wuruk adalah salah satu pekerjaan yang dibebaskan dari segala macam bea cukai. Dari masa Majapahit lainnya, ada Prasasti Madhawapura, yang menyebut profesi penjual jamu ( acaraki ). Penanganan penyakit disebutkan singkat di Pararaton. Jayanagara menderita penyakit, yang oleh Sejarawan Kanada, Earl Drake dalam Gayatri Rajapatni, diartikan sebagai tumor yang membuat sang raja sulit bergerak. Tanca diantar ke kamar tidur raja untuk menyembuhkannya. Setelah beberapa kali mencoba membedah raja tetapi gagal terus. Akhirnya operasi berhasil setelah sang prabu menanggalkan pelindungnya. Selain lewat operasi, penyakit pada masa itu salah satunya disembuhkan dengan obat. Dalam Sima dan Bangunan Keagamaan di Jawa Abad IX-X TU, epigraf Riboet Darmosoetopo mencatat kalau pada masa Jawa Kuno, obat-obatan dan kosmetika sudah diperhatikan. Mereka terutama memanfaatkan beberapa tumbuhan, di antaranya buah jana, buah maja, buah jujube, pulai, dan buah mengkudu. Di antara itu ada obat yang bentuknya berupa bedak. “Orang sakit influenza cukup dibedaki hidungnya,” jelas Riboet. Rupanya kewenangan mengobati orang sakit pada masa lalu pun tak sembarangan. Dalam Kitab Agama diatur jika ada orang yang mengobati tanpa memiliki pengetahuan tentang obat-obatan, tanpa banyak mengetahui mantra, tanpa mengetahui soal penyakit, tetapi hanya menghendaki hadiah dari orang yang sakit, orang itu akan diperlakukan bagai seorang pencuri. “Pengobatan semacam itu tak akan berhasil,” sebut undang-undang dari masa Majapahit itu. Hukuman berat justru menantinya. Jika dia mengobati binatang, dan binantangnya mati, pelakunya mesti didenda empat kali tiga atak . Sementara jika manusia yang dia obati, dan malah tak sembuh tetapi kemudian mati, dendanya selaksa . Lalu jika yang diobati seorang brahmana yang kemudian mati, dia bakal diganjar hukuman mati oleh raja yang berkuasa.
- Serba-serbi Tradisi Wimbledon
SETELAH serve -nya bisa dikembalikan Julia Görges, Serena Williams membalas lagi dengan forehand keras menyilang. Di poin kritis itu, Serena kemudian diselamatkan “dewi fortuna” ketika pengembalian bola Görges menyangkut di net. “Match, Williams,” kata sang wasit, yang artinya laga berakhir dengan kemenangan Serena di babak ketiga turnamen grand slam Wimbledon, Sabtu (6/7/2019), itu. Sekilas, tidak ada yang aneh dari pertunjukan itu. Namun jika diperhatikan, ada yang berbeda dari Wimbledon ke-133 ini, yakni soal penyebutan panggilan dari wasit kepada pemain putri. Bila dulu wasit memanggil pemain putri yang belum menikah dengan “Miss” dan pemain yang sudah menikah dengan “Mistress” diikuti nama suami, kini gelar itu tidak ada lagi. Panitia melarang tradisi berbau patriarkis yang sudah bertahan 135 tahun itu. Maka saat Serena menang, wasit tak memanggilnya “Match, Mrs. Ohanian” lantaran Serena sudah menjadi istri Alexis Ohanian sejak 2017. Wasit langsung memanggil nama belakangnya tanpa menyebut status atau nama belakang suaminya. Hal serupa diberlakukan di sektor putra. Alexandra Willis, juru bicara Wimbledon, menyatakan perubahan sejak babak pertama Wimbledon salah satunya dalam rangka penyetaraan gender. “Kita harus melangkah maju seiring waktu,” katanya kepada The Sun , 2 Juli 2019. Ada yang setuju, ada pula yang menyayangkan penanggalan tradisi lebih dari satu abad itu. Petenis tuan rumah Heather Watson menyatakan, “Kesetaraan selalu merupakan hal yang bagus.” Sementara, pernyataan berseberangan datang juara bertahan tunggal putra Novak Djokovic. “Saya pikir tradisi itu sangat unik dan istimewa. Saya cukup terkejut mereka menanggalkanya,” kata Djokovic. Sebagai turnamen tenis tertua, Wimbledon punya banyak tradisi. Panggilan pemain hanya salah satunya kendati kini sudah ditiadakan. Berikut empat tradisi Wimbledon yang masih dipertahankan: Busana Serba Putih Semua pemain yang bertandingdi Wimbledon diwajibkan mengenakan busana all-white alias serba putih dan sopan, terlepas dari warna hijau tua dan ungu yang jadi warna tradisional Wimbledon. Warna berbeda hanya dibolehkan untuk corak atau motif yang tak mendominasi busana. Kewajiban all white yang dikeluarkan sejak 1963 bukan hanya meliputi atasan dan bawahan, tapi juga kaus kaki, sepatu, body stocking , dan topi/bandana. Kewajiban yang sudah muncul sejak Wimbledon pertama pada 1877 itu namun baru diresmikan pada 1963. Kenapa putih? John Barret dalam Wimbledon: The Official History of the Championships mengungkap, warna putih adalah warna tradisional paling dibanggakan Inggris Raya sejak era Victoria. Dalam praktiknya, tidak sedikit pemain yang melanggarnya. Pada 1949, Gertrude Moran mengenakan dalaman rok yang warnanya menyerupai warna kulit. Pada 1989, Boris Becker diperintahkan wasit mengganti kausnya yang berwarna hijau bergaris biru. Larangan itu amat mengekang bagi para pemain yang sadar mode. Petenis flamboyan Andre Agassi sejak 1988 sampai memboikot Wimbledon lantaran enggan pakai serba putih. Namun ia mengentaskan boikotnya saat edisi 1992 sekaligus memenangkan Wimbledon pertamanya. Keluarga Kerajaan Bukan Wimbledon namanya kalau tak dihadiri anggota Kerajaan Inggris Raya di Royal Box di Centre Court atau lapangan utama. Meski sudah dimulai sejak 1877, Wimbledon baru jadi tontonan wajib keluarga kerajaan pada 1907. Bruce Tarran mengungkapkan dalam George Hillyard: The Man Who Moved Wimbledon , tradisi itu bermula dari permintaan George Hillyard, sekretaris All England Club, kepada Pangeran George, presiden All England Club, untuk menyerahkan trofi kepada pemenang turnamen. “Tiga tahun kemudian, 1910, sang pangeran menjadi Raja George V dan menjadi ‘Bapak All England Club’ – meresmikan tradisi kehadiran keluarga kerajaan sampai sekarang,” tulis Tarran. Alhasil, setiap pemain mesti lebih dulu hormat dengan membungkukkan badan ke Royal Box setiap ada keluarga kerajaan yang nonton. Tapi sejak 2003 diputuskan pemain hanya wajib membungkuk jika yang hadir adalah Ratu Elizabeth II atau suaminya, Pangeran Philip. Barisan Serdadu Tradisi barisan serdadu di tiap lapangan jadi pemandangan unik dalam turnamen Wimbledon. Menukil situs resmi pemerintah Inggris, gov.uk , 2 Juli 2010, tradisi barisan serdadu yang berjaga di antara lapangan dan tribun penonton bermula pasca-Perang Dunia II pada 1946. Gagasannya adalah All England Club ingin membantu para serdadu aktif maupun yang baru pensiun agar bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan sipil selepas bertugas di medan perang. Mulanya, barisan serdadu didatangkan hanya dari Angkatan Laut untuk menjadi Service Stewards atau pengawal turnamen. Seiring waktu, Angkatan Darat dan Udara juga turut disertakan. Para serdadu itu merupakan 300 serdadu pilihan yang melewati proses seleksi. Mereka bisa mencicipi lagi rasanya hidup di tengah-tengah masyarakat dan bahkan tak jarang jadi sasaran permintaan foto dari para penonton. Hal itu membuat gairah hidup mereka terjaga. “Mulanya sulit menyesuaikan diri setelah setahun selesai bertugas di Irak. Berada di Wimbledon dengan seragam kebanggaan di hadapan publik, saya merasa masyarakat bisa melihat Angkatan Laut yang sebenarnya lewat keberadaan saya. Memang Wimbledon adalah turnamen tenis, tapi buat saya lebih kepada kebanggaan saya bisa berada di tengah publik,” ujar kelasi Stuart Linnahan, serdadu yang bertugas di Irak pada 2004 dan pernah bertugas di Wimbledon. Stroberi dan Krim Sampai sekarang, banyak sejarawan Inggris kesulitan mengaitkan hubungan antara tenis dan hidangan stroberi dan krim. Namun, stroberi dan krim tak pernah absen jadi suguhan yang disediakan penyelenggara kepada penonton dan pemain setiap edisi Wimbledon. “Fakta turnamen dan stroberi dan krim yang beriringan mempertahankan aroma pesta kebun khas Inggris. Tradisinya memberi kesan kualitas, karakter, dan imej yang unik terkait Wimbledon,” ungkap Stephan Wagg dalam “The Wimbledon Effect: The Tennis Championships as Changing National Symbol”, dirangkum dalam Routledge Handbook of Tennis: History, Culture and Politics . Suguhan Stroberi dan Krim itu sendiri merupakan salah satu sajian favorit di tiap-tiap pesta kerajaan sejak abad ke-16. Tetapi tetap saja misteri tentang keterkaitannya masih sangat rancu sejak jadi tradisi di Wimbledon pertama. “Ada dua kemungkinan: kebetulan stroberi sedang musim panen saat turnamen (Wimbledon) digelar dan sejak era Victoria, stroberi menjadi makanan yang sedang tren untuk dikonsumsi,” kata Kepala Humas All England Club Johnny Perkins kepada CNN , 17 Juni 2015.
- Cerita di Balik Gedung Mabes Polri
TAK banyak yang tahu bangunan Markas Besar (Mabes) Polri merupakan salah satu aset sejarah bangsa yang ada di kawasan Jakarta Selatan. Siapa saja yang melintasi Jalan Trunojoyo tentu akan melihat bangunan tersebut. Lokasi persis Mabes Polri terletak di Jalan Trunojoyo No. 3. Dibangun pada masa kepemimpinan Kapolri pertama, Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo. “(Gedung) itu dibangun ta h un 19 50 - an. Pernah dikatakan gila lho sama yang lain ,” kata Ambar Wulan sejarawan yang mengkaji kepolisian kepada Historia . “Soekanto berpikir membuat Mabes yang bisa menampung ribuan polisi. Tentara s aja itu belum punya. Ya di Trunojoyo itu. ” Memasuki tahun 1950, tugas kepolisian kian meningkat. Soekanto yang menjabat Kepala Kepolisian Nasional (KKN) merasa jawatan kepolisian yang dipimpinnya perlugedung sendiri. Sebab sebelumnya, markas kepolisian masih menyatu dengan Kementerian Dalam Negeri di Jalan Vetaran. Pemerintah akhirnya memberikan lahan seluas 40 ha di Kebayoran Baru yang kini menjadi Mabes Polri. Pembangunannya ditandai dengan penanaman pohon beringin yang dilakukan Soekanto pada 17 Maret 1952. Harian Abadi , 6 Juli 1953, menyebut Soekanto dengan penuh perhatian melaksanakan pengawasan terhadap proyek tersebut. Kendati sempat dikritik Menteri Pekerjaan Umum Ir. Laoh karena dianggap berlebihan, aksi Soekanto didukung Presiden Sukarno. Pembangunan gedung berlantai tiga itu rampung pada 1955. Peresmian dihelat di Lapangan Banteng, Jakarta, bersamaan perayaan ulang tahun DKN (Djawatan Kepolisian Nasional) pada 1 Juli 1955. Pada acara itu secara simbolis Presiden Sukarno menyerahkan pataka Kepolisian RI kepada Soekanto. Ketika baru berdiri, Mabes Polri terbilang bangunan mewah pada zamannya. Mabes Polri menjadi gedung perkantoran pertama yang menggunakan konstruksi besi di Indonesia. “Di zamannya Pak Soekanto, Mabes selalu bersih. Lantai mengkilat,” kenang mendiang Awaloedin Djamin mantan Kapolri periode 1978—82 dua tahun silam kepada Historia . Tatkala DKN memiliki gedung sendiri, Soekanto memerintahkan memasang tulisan “Departemen Kepolisian Negara” di atas pintu masuk. Sekali waktu, sebagaimana terkisah dalam Ensiklopedi Kapolri: R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo , Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo melintas di Jalan Trunojoyo dan melihat tulisan itu. Keesokan harinya, Soekanto dipanggil dan diperintahkan segera mengganti tulisan menjadi “Djawatan Kepolisian Negara”. Harapan Soekanto menjadikan kepolisian sebagai kementerian tersendiri kandas. Harapan itu baru terwujud setelah Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Status DKN diubah menjadi Departemen Kepolisian. Soekanto selaku kepala DKN diangkat menjadi menteri muda kepolisian. Namun kegembiraan Soekanto tak berlangsung lama. Sukarno membentuk Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang terdiri dari angkatan perang dan angkatan kepolisian. Soekanto yang keberatan dengan alasan untuk menjaga profesionalisme kepolisian pun diberhentikan.
- Kisah Tanah Kuno Leluhur Barus
BERTEMPAT di antara dua muara kuno, Aek Busuk dan Aek Maco, Lobu Tua mendiami daerah pesisir di kawasan pantai barat pulau Sumatera. Keberadaannya amat penting dalam mengungkap jaringan laut internasional abad ke-6 hingga ke-11 di Nusantara. Para peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional Indonesia, bekerja sama dengan École française d’Extrême-Orient tahun 1995-2000, telah membuka kurang lebih lahan seluas 1000 m² di situs Lobu Tua. Mereka pernah menemukan ribuan benda kuno, seperti perhiasan, emas, mata uang, prasasti, keramik, kaca, tembikar, dan lain sebagainya. “Dari jumlah pecahan, artefak kaca merupakan salah satu jenis temuan yang paling banyak di Lobu Tua. Jumlah seluruh temuan kaca mendekati seribu buah,” tulis Calude Guillot dan Sonny Ch. Wibisono dalam “Temuan Kaca di Lobu Tua: Tinjauan Awal” dimuat Lobu Tua Sejarah Awal Barus . Dahulu Lobu Tua adalah sebuah kota berbenteng yang memiliki luas area dalam sekitar 14 hektar. Dengan 7,5 hektar di antaranya digunakan sebagai tempat bermukim. Sementara sisanya digunakan untuk parit dan dinding yang menjadi pertahanan kota. Benteng pertahanan Lobu Tua di masa lalu membentang hingga ke tebing di bibir pantai. Namun sebagian besar dindingnya telah hilang, terkikis oleh mata air di sekitar kota maupun longsor di sekitar tebing. Kini hanya tersisa jejak-jejak fondasi benteng yang pernah membelah kota menjadi dua bagian. “Sistem pertahanan sejenis ini sering ditemukan di dunia Melayu barat, khususnya di Sumatera dan di Semenanjung Melayu. Sebaliknya, ciri ini jarang sekali ditemukan di Jawa, kecuali Banten Girang,” tulis Claude Guillot dalam Barus Seribu Tahun yang Lalu . Hasil penggalian di sana menunjukkan bahwa pemukiman masyarakat Barus tidak hanya terbatas di dalam benteng saja. Mereka menemukan sisa-sisa pemukiman di luar benteng dalam bentuk yang lebih kecil. Diperkirakan kawasan luar benteng itu dihuni oleh para pedagang yang tinggal sementara di wilayah Barus. Namun tidak menutup kemungkinan digunakan oleh masyarakat pedesaan dengan status sosial lebih rendah, ataupun buangan dari dalam benteng. Sehingga jika ditotal, keseluruhan wilayah kota kuno Lobu Tua mencapai 200 hektar. Meliputi pusat pemukiman di dalam benteng hingga desa-desa kecil di sekitar muara Aek Busuk dan Aek Maco. Wilayah kota, baik di dalam maupun di luar benteng, dipenuhi oleh bangunan kayu beratap daun yang menjadi ciri khas rumah-rumah di Melayu pada waktu itu. Di Lobu Tua tidak ada satupun rumah yang dibuat dari bahan permanen (batu bata, semen, atau beton), kecuali satu bangunan yang digunakan sebagai tempat beribadah. Keberadaan tempat ibadah itu memperkuat kedudukan para pedagang Tamil di Barus. Menurut laporan pemerintah Hindia Belanda di Barus, pada abad ke-19 ditemukan prasasti Tamil dan arca dari granit yang digambarkan sebagai Bodhisatwa. Saat ditemukan pertama kali, keadaan bangunan itu telah hancur, tetapi arca dan prasastinya masih dalam kondisi yang cukup baik. “Jika hipotesis kami benar, kecuali tempat ibadat yang kecil, maka semua bangunan lain terbuat dari bahan-bahan organik,” tulis Claude. Selain struktur pemukiman, Lobu Tua juga meninggalkan jejak pelayaran yang amat penting. Di sekitar Aek Busuk dan Aek Maco ditemukan bekas kanal yang langsung mengarah ke laut. Karena dahulu letaknya tidak di pinggir pantai seperti sekarang, Lobu Tua memiliki akses berlabuh bagi kapal-kapal dagang di sepanjang kanalnya tersebut. Walau tidak diperuntukan bagi kapal besar, tetapi akses kanal daerah itu cukup untuk menjadikan Lobu Tua sebagai pusat peradaban Barus di jaringan dagang interasional. Setiap tahunnya Lobu Tua hanya menerima 3 kapal dagang dari Gujarat. Namun meski begitu, satu kilogram kamper memiliki nilai yang sama dengan satu kilogram emas. Sehingga tidak heran jika kamper wilayah Barus tekenal hingga ke Jazirah Arab. Pada 1856, Herman Neubronner van der Tuuk, seorang ahli bahasa dari Belanda, melakukan sebuah pengamatan di Barus. Dalam laporannya, van der Tuuk menyebut wilayah pantai barat Barus, terutama di Karesidenan Tapanuli, dikuasai oleh orang-orang Tionghoa dan Koromandel (orang Keling). Mereka mendominasi sebagian besar sektor perdagangan di sana. Penelitian van der Tuuk itu membuka fakta bahwa Barus tidak hanya dihuni oleh orang Batak dan Melayu saja. Melainkan banyak suku bangsa yang membangun peradabannya di sana. Bahkan masyarakat Tionghoa terbilang baru jika dibandingkan orang Keling yang telah membangun pemukiman berabad-abad sebelumnya. Dalam Sejarah Raja-Raja Barus: Dua Naskah dari Barus , Jane Drakard mengatakan bahwa kemajuan Barus banyak disebabkan oleh orang-orang India. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya perkakas dan tembikar bermotif yang biasa ditemukan di kawasan Asia Selatan. Mereka membawanya langsung dari India untuk kebutuhan sehari-hari karena di Lobu Tua tidak ada kebudayaan membuat tembikar. “Singkatnya, dari semua unsur ini dapat disimpulkan bahwa kotanya bersuasana India dan Barus muncul sebagai satu tempat perdagangan India di Sumatera,” tulis Claude. Tidak hanya orang-orang dari India, Lobu Tua dahulu dihuni oleh penduduk dari Timur Dekat. Salah satu bukti paling kuat adalah temuan “wadah darah”, yang di Timur Tengah digunakan para tabib untuk menampung darah saat mengobati pasiennya. Selain itu nama “Fansur” yang ditulis dalam beberapa teks berbahasa Arab semakin memperkuat keberadaan orang-orang dari Timur Dekat. Claude meyakini bahwa orang-orang Timur Dekat itu didominasi oleh penduduk dari Teluk Persia. Wilayah Siraf, Oman, Mesopotamia, Tus, dan Neyshabur cukup mudah mencapai Barus. Mereka dapat melakukan pelayaran melalui Basrah. Sehingga terciptalah jalur perdagangan dan pelayaran besar menuju pantai Sumatera. Beberapa temuan artefak kaca dan perhiasan pun mengarah langsung ke wilayah-wilayah tersebut. Selain penduduk asing, orang-orang Jawa pun banyak menetap di Lobu Tua. Dari hasil temuan prasasti berbahasa Jawa Kuno di Barus, diketahui bahwa orang Jawa menempati wilayah tersebut pada abad ke-11. Pengaruh terbesar Jawa di Barus adalah peredaran mata uang emas berukirkan bunga cendana yang saat itu menjadi ciri mata uang kerajaan-kerajaan di Jawa. Berbeda dengan keberadaan orang-orang asing yang cukup mudah dianalisis berkat peninggalannya, para peneliti kesulitan menggambarkan penduduk lokal di Lobu Tua. Tetapi mereka meyakini bahwa mayoritas berasal dari Minangkabau dan Batak. “Dalam legenda mengenai pendirian kotanya, kronik Batak mencatat bahwa kerja sama cepat terjalin, bahkan orang asing tidak keberatan mengakui kekuasaan raja Batak,” tulis Claude.
- Kisah Hubungan Sukarno dan Dosennya
Kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) menyimpan awal kisah hubungan abadi antara dosen dan mahasiswanya pada masa kolonial. Saat masih bernama Technische Hoogeschool Bandung (THB), seorang dosen arsitektur berkebangsaan Belanda bernama Prof. Charles Prosper (C.P.) Wolff Schoemaker memiliki mahasiswa favorit. Dialah pemuda Sukarno. Sukarno mulai berkuliah di THB pada 1 Juli 1921. Schoemaker mengajar setahun berselang. Semula kedatangan Schoemaker ke THB melecut semangat para mahasiswa mengikuti kuliah. Dia arsitek terpandang, berpengetahuan luas mengenai kebudayaan Timur, dan lincah menulis kritik arsitektur kolonial di majalah. Tetapi semangat itu langsung ciut begitu mahasiswa mengikuti kuliahnya. Cara Schoemaker menyampaikan kuliah tidak sebagus tulisannya. Dia juga terlalu cepat menjelaskan sesuatu. Para mahasiswa sukar menangkap inti ceramahnya. “Sebagian dari mereka beranggapan bahwa kuliah yang dia berikan tidak jelas dan bertele-tele. Alhasil, banyak dari mereka menganggap perkuliahannya sulit untuk diikuti,” tulis C.J. van Dullemen dalam Arsitektur Tropis ModernKarya dan Biografi C.P. Wolff Schoemaker . Sukarno tidak mengalami kesulitan seperti mahasiswa umumnya. Dia menunjukkan kepandaiannya dalam kelas Schoemaker. Ini membuat Schoemaker menyukainya. “Aku menghargai kemampuanmu,” kata Schoemaker kepada Sukarno dalam otobiografi Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Belajar bareng Ular Sukarno pun menghormati pandangan-pandangan Schoemaker tentang kemanusiaan dan masyarakat Hindia Belanda. Bagi Sukarno, Schoemaker adalah dosen yang komunikatif dan mempunyai wawasan terbuka. “Salah seorang dosenku, Profesor Ir. Wolff Schoemaker, adalah orang besar. Baginya tidak ada orang kulit putih atau kulit sawo matang. Tidak ada orang Belanda atau orang Indonesia. Tidak ada penjajah atau orang merdeka,” kata Sukarno. Usia Schoemaker dan Sukarno berjarak cukup jauh. Beda 20 tahun. Tetapi gagasan tentang kemanusiaan mendekatkan mereka. Dari sini hubungan mereka bertumbuh akrab. “Dua orang yang saling bersahabat,” demikian pendapat Yuke Ardhiati dalam Bung Karno Sang Arsitek . Selain itu, mereka mempunyai beberapa kesamaan minat. “Arsitektur, seni, dan perempuan cantik,” ungkap Dullemen. Klop. Sukarno kerap datang ke rumah Schoemaker. Banyak benda seni dan binatang liar seperti macan kumbang dan ular di rumah Schoemaker. Beberapa mahasiswa Schoemaker ketakutan ketika melihat ular-ular berbisa peliharaannya di studio. Schoemaker bilang bahwa dia punya cukup anti racun jika ular-ular peliharaannya lepas dan menggigit tetamunya. Tetapi tetamu tidak lantas percaya dan berani setelah mendengar hal tersebut. Mereka lintang-pukang meninggalkan rumah Schoemaker. Di rumah seperti itulah Schoemaker memberi Sukarno ilmu menggambar secara khusus. Sukarno berupaya melawan ketakutannya berada di rumah profesor eksentrik demi memperoleh ilmu tersebut. Hasil belajar Sukarno memuaskan Schoemaker. Ketika lulus kuliah pada 1926, Sukarno diajak oleh Schoemaker untuk menjadi asisten dosen. Tetapi Sukarno menolak. “Memang benar bahwa menjadi asisten dosen di Sekolah Tinggi Teknik merupakan suatu kehormatan bagi seorang muda yang baru lulus, tetapi untuk sementara waktu kegiatan itu tidak akan menghasilkan uang,” tulis Lambert Giebels dalam Soekarno Biografi 1901-1950. Sukarno butuh uang. Bantuan keuangan dari keluarganya tidak lagi ada sejak dia wisuda. Inggit Garnasih, istrinya, bahkan harus menjual beberapa perhiasannya untuk mendapatkan uang belanja. Kemudian tawaran Schoemaker datang lagi ke Sukarno. Kali ini menghasilkan uang. “Engkau memiliki pemikiran yang kreatif. Aku minta engkau bekerja di pemerintahan,” kata Schoemaker kepada Sukarno. Dia merekomendasikan Sukarno kepada Burgerlijke Openbare Werken (BOW) atau Pekerjaan Sipil Umum. Kerjaan Sukarno adalah merancang rumah bupati di Jawa Barat. Berbagi Order Pilihan sulit bagi Sukarno. Di satu sisi, dia butuh uang. Sisi lainnya, dia enggan bekerja sebagai bawahan orang Belanda. Apalagi menurut Sukarno, calon atasannya tidak tahu sama sekali mengenai kehidupan kalangan anak negeri. Sukarno sampaikan pendapatnya secara blak-blakan kepada Schoemaker. “Profesor, aku menolak untuk bekerja sama, supaya tetap bebas dalam berpikir dan bertindak. Bila aku bekerja pada pemerintah Hindia Belanda, secara diam-diam aku membantu politik penindasan dari rezim mereka yang otokratis dan monopolistis itu,” kata Sukarno. Sukarno mengutarakan keinginannya mendirikan biro arsitek sendiri. Schoemaker mendengarkan semua keberatan dan keinginan Sukarno. Sudah itu, giliran dia bicara. Dia berusaha meyakinkan Sukarno bahwa biro arsitek buatan anak negeri akan sulit berkembang. “Itu akan memakan waktu bertahun-tahun untuk bisa maju. Hanya orang-orang Belanda yang berpangkat tinggi atau pegawai pemerintah yang bisa berhasil mendirikan biro arsitek,” ujar Schoemaker. Schoemaker bilang kepada Sukarno bahwa dia tak perlu bekerja di BOW untuk selamanya. Tak perlu juga jadi pegawai tetap jika dia tidak suka di sana. Schoemaker memohon Sukarno untuk menyelesaikan satu pekerjaan saja, yaitu merancang rumah Bupati. Pekerjaan itu, menurut Schoemaker, penting bagi seorang insinyur muda untuk mengasah dan mengembangkan bakatnya. “Cobalah kerjakan untuk memenuhi permintaanku,” pinta Schoemaker. Atas dasar adab murid kepada gurunya, Sukarno menerima pekerjaan itu. Kerja Sukarno amat mengesankan orang-orang di BOW. “Pekerjaan ini sangat berhasil dan aku dibanjiri dengan permintaan untuk mengerjakan karya teknik semacam itu untuk pejabat-pejabat lain,” kenang Sukarno. Sukarno menampik semua tawaran itu dan lekas keluar dari BOW. Dia bilang kepada Schoemaker bahwa kelak dia ingin membangun sebuah rumah besar, yaitu sebuah negara dari usahanya sendiri. Schoemaker tidak bisa menahannya lagi. Kini Sukarno bekerja di biro arsiteknya sendiri di Jalan Regentsweg Nomor 22, Bandung, bersama kawannya, Anwari. Pasar bagi insinyur terbuka lebar. Bandung sedang mengalami peningkatan jumlah penduduk. Kerja konstruksi dan sipil ikut meningkat. Tetapi order untuk biro arsitek Sukarno dan Anwari jauh dari biaya operasional bulanan. Sementara itu, Schoemaker justru kebanjiran order. Dia melimpahkan sebagian order itu untuk Sukarno. Salah satunya renovasi Hotel Grand Preanger. Surat-menyurat Setelah itu, hubungan Schoemaker dan Sukarno masuk periode tegang. Sukarno makin gencar mengkritik pemerintah kolonial. Itu menyebabkan dia terkena hukuman penjara dan pengasingan. Schoemaker sangat menyayangkan penangkapan dan pengasingan itu. Schoemaker dan Sukarno terpisah jarak dan harus berkirim surat untuk berhubungan. Dalam surat kepada Sukarno, Schoemaker menulis keberatannya terhadap aktivitas dan ide politik Sukarno. Surat itu berbalas jawaban cukup keras dari Sukarno. “Dia menuduh bekas profesornya telah mengkhianati rakyatnya,” terang Dullemen. Tetapi jawaban keras itu bukanlah tanda putusnya hubungan murid dengan gurunya. Sukarno tetap menghormati Schoemaker. Pada masa pendudukan Jepang, Sukarno telah bebas dan memperoleh kedudukan istimewa. Orang-orang Belanda menjadi paria. Bahkan Schoemaker pun ditahan tentara Jepang meski tidak lama. Dullemen menduga ada peran Sukarno dalam pembebasan Schoemaker. Sebab Sukarno mengunjungi Schoemaker beberapa kali setelah pembebasan itu. Kemerdekaan Indonesia pada 1945 menyibukkan Sukarno. Keduanya terpisah jarak lagi. Sukarno telah mewujudkan keinginan yang dulu disampaikan kepada Schoemaker. Dia telah membangun sebuah rumah besar bernama Republik Indonesia. Sedangkan Schoemaker berada di posisi sulit. Rumahnya dibakar gerombolan anti-Belanda. Konflik Indonesia dan Belanda selama 1945—1949 menempatkan Schoemaker dalam posisi dimusuhi oleh dua kelompok: pro-Republik dan pro-Belanda. Kedekatannya dengan Sukarno tidak membuat kaum pro-Republik simpati dengannya. Sebaliknya, orang-orang Belanda menganggapnya musuh negara lantaran dekat dengan Sukarno. Selama perang, Sukarno dan Schoemaker masih berkirim surat. Isinya seputar pekerjaan, perkembangan arsitektur, Islam, dan curhat Schoemaker tentang penyakitnya. Schoemaker pergi mendahului Sukarno menghadap Tuhan pada 22 Mei 1949. Sukarno memberikan penghormatan terakhir pada sang guru dengan merancang nisan untuknya. Nisan itu berdiri tegak di makam Schoemaker di Ereveld Pandu, Bandung, hingga sekarang. Tanda abadi khidmat murid kepada gurunya.





















