Hasil pencarian
9594 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Asal Usul Jalan Tol di Indonesia
MENJELANG akhir bulan puasa tahun 2015, Presiden Joko Widodo meresmikan jalan tol terpanjang di Indonesia, yaitu Cipali atau Cikopo-Palimanan. Selanjutnya, ada beberapa proyek tol yang sedang dibangun, seperti Solo-Kertosono, Balikpapan-Samarinda, empat ruas tol Sumatera, enam tol dalam kota Jakarta dan beberapa proyek tol lainnya. Orang yang pertama kali mengusulkan jalan tol adalah Walikota Jakarta, Sudiro (menjabat tahun 1953-1960). Usulan jalan berbayar itu sebagai cara pemerintah daerah Kotapraja Jakarta mendapatkan dana tambahan untuk pembangunan. “Pemerintah Daerah Kota Praja Jakarta Raya berusaha keras, karena pengeluarannya terus meningkat, padahal subsidi dari pemerintah pusat tetap terbatas,” tulis Subagijo IN dalam Sudiro Pejuang Tanpa Henti. Selain tol, Sudiro juga mengusulkan retribusi satu sen dari harga normal bensin, namun ditolak menteri perekonomian; dan airport tax atau pajak bandar udara Kemayoran yang diusulkan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara (DPRDS), juga ditolak pemerintah pusat. Sudiro bersama Badan Pemerintah Harian Kotapraja Jakarta menyampaikan usul jalan tol kepada DPRDS pada 1955. Usul itu muncul karena sedang pembangunan jalan raya, yang sekarang disebut Jalan Sudirman-MH Thamrin, dengan anggaran yang sangat besar. “Di jembatan panjang, pada ujung jalan MH Thamrin itulah, diusulkan untuk didirikan tempat guna pemungutan toll bagi tiap kendaraan bermotor yang lewat di situ,” tulis Soebagijo. “Usul ini ditentang keras oleh DPRDS.” Alasannya, ada anggota DPRDS menganggap tol akan menghambat laju lalu lintas. Anggota lain menyebut tol sebagai pajak kuno. Alasan terakhir ada benarnya. Penerapan pungutan uang untuk jalan sudah dilakukan pada zaman kolonial. Pemerintah kolonial menyewakan gerbang pemungutan tol kepada kalangan Tionghoa. Bahkan, tarif pajak didasarkan kepada kedudukan gerbang tol, selain tingkat kemakmuran rata-rata di suatu distrik. “Jadi sepikul (61,175 kg) beras harus membayar pajak sebesar 44 sen di Ampel. Sebuah gerbang tol di Surakarta yang telah lama didirikan pada jurusan Sala-Salatiga, hanya akan terkena pajak 15 sen pada gerbang tol utama Panaraga di Jawa Timur, 8 sen di bandar Pacitan di pantai selatan dan hanya ditarik 2 sen saja di rangkah pager Waru di Pacitan,” tulis Peter Carey dalam Orang Cina, Bandar Tol, Candu, dan Perang Jawa. Ketika tol dianggap ketinggalan zaman, beberapa negara menggunakan sistem tol tersebut. Hal itu berdasarkan pengalaman Sudiro sendiri ketika mengunjungi Amerika Serikat. “Tatkala Sudiro sendiri pada tahun 1961 naik mobil dari New York ke Washington, di tempat tertentu diharuskan membayar toll. Apakah dengan demikian di USA hingga saat ini toll itu juga dianggap sebagai pajak kuno,” tulis Subagijo. Jalan tol yang dianggap kuno akhirnya dibangun juga 18 tahun kemudian, ketika pembangunan jalan tol pertama di Indonesia dimulai pada 1973. Jalan tol Jagorawi (Jakarta-Bogor-Ciawi) sepanjang 46 km itu dioperasikan pada 9 Maret 1978. Pembangunan jalan tol sekarang ini juga mendapatkan penentangan dengan alasan tidak akan menyelesaikan masalah lalu-lintas. Namun, pemerintah jalan terus bahkan pembangunan jalan tol dilakukan di berbagai daerah.
- Mau Menikahi Megawati, Ini Syaratnya!
PADA 30 September 1965 malam, Presiden Sukarno didaulat untuk berpidato di depan Musyawarah Nasional Teknik (Munastek) di Istora, Senayan. Bung Karno, seperti biasa, selalu memikat dalam setiap pidatonya. Dia bahkan membukanya dengan lagu irama lenso Mari Bergembira yang diciptakannya sendiri. Menurutnya, kemampuan teknik mutlak dibutuhkan oleh sebuah bangsa. Dalam kesempatan yang sama dia mengatakan revolusi kemerdekaan telah berhasil menghancurkan sistem imperialisme yang bertahun-tahun berkuasa di Indonesia. Perjuangan berikutnya adalah menentang alam dan menundukan alam supaya bersahabat. Karena dengan demikian alam bisa bersahabat untuk menciptakan kemakmuran rakyat. “He kaum teknisi, sadarilah hal ini. Bahwa sekarang ini, saudara-saudara, kita berjuang menundukan alam, menundukan angin, menundukan gempa, menundukan laut, menundukan udara...semuanya kita tundukan, jadikan sahabat kita yang membantu kepada kita,” ujar Bung Karno. Dia juga menegaskan bahwa tanpa kemampuan teknik yang mumpuni, kemakmuran dan keadilan bakal sulit dicapai. “Sosialisme tidak bisa dibina tanpa pengetahuan teknik.” Karena alasan itu pula Bung Karno mendidik kedua anaknya, Guntur dan Megawati, agar membantu mewujudkan sosialisme di Indonesia. Kepada kedua anaknya itu dia mewanti-wanti agar belajar serius demi tercapainya Indonesia yang makmur dan adil. Dengan bangga Bung Karno mengisahkan dua anaknya tersebut yang juga memilih kuliah di jurusan teknik. Dia menuturkan, “Guntur Sukarnaputra, mahasiswa ITB, jurusan teknik. Megawati milih jurusan teknik pertanian. Megawati –saya panggil dia Dis... Dis, engkau harus bantu di dalam usaha rakyat mendatangkan sosialisme Indonesia yang cukup sandang, cukup pangan.” Kendati menyampaikan hal-hal serius dalam pidatonya, Bung Karno tak lupa menyelipkan canda yang mengundang derai tawa peserta Munas. Sambil menujukan jarinya kepada para peserta Munas yang berjaket kuning (kemungkinan mahasiswa Universitas Indonesia), presiden pertama Republik Indonesia itu mengajukan satu syarat kepada mereka apabila mau mempersunting Megawati sebagai istri. “ Dus , he pemuda-pemuda, itu yang baju kuning itu, kalau engkau tidak jurusan teknik, jangan ngelamar Megawati, ya!” kata Presiden Sukarno disambut tawa para peserta. Dalam otobiografinya Penyambung Lidah Rakyat , Bung Karno juga beberapa kali menyebut anak perempuannya itu. Dia mengisahkan tentang kemahiran Megawati menari. “Megawati, yang biasa kupanggil Ega, pandai menari dan tariannya menggairahkan," kata Bung Karno kepada Cindy Adams, penulis otobiografinya. Megawati Sukarnoputri menikah pertama kali dengan Letnan Satu Surindro Supjarso, seorang pilot pesawat TNI AU yang tewas dalam tugasnya menerbangkan pesawat Skyvan T-701 di perairan Biak, 22 Januari 1970. Ia kemudian menikah lagi dengan Hasan Gamal, seorang diplomat Mesir. Pernikahan keduanya ini tak berlangsung lama setelah mereka memutuskan berpisah. Suami ketiga Megawati adalah Taufiq Kiemas, aktivis politik yang pernah menjabat ketua MPR periode 2009-2014. Taufik wafat 8 Juni 2013 pada usia 70 tahun.
- Begini Naskah Proklamasi Dirumuskan
SEKIRA pukul 02.00 tanggal 17 Agustus 1945. Sukarno, Mohammad Hatta, Ahmad Subardjo, mBah Soediro (sekretaris Subardjo), Sukarni, dan B.M. Diah; serta pihak Jepang terdiri dari Laksamana Tadashi Maeda, Shigetada Nishijima, Tomegoro Yoshizumi (dari Kaigun Bukanfu atau kantor Penghubung Angkatan laut dan Angkatan Darat); dan Miyoshi (Angkatan Darat Jepang), berkumpul di ruang makan rumah Maeda di Jalan Imam Bonjol No. 1 Menteng Jakarta Pusat. “Sekarang meja bundar tersebut duduklah Sukarno, Hatta, Maeda dan Miyoshi, dan saya sendiri,” kata Subardjo dalam Lahirnya Republik Indonesia . Menurut Hatta, waktu panitia lima bekerja, Maeda mengundurkan diri ke tingkat kedua, mungkin ke kamar tidurnya. Sedangkan Miyoshi masih tinggal, duduk tidak jauh dari mereka. Dia mungkin mendengarkan segala yang dipersoalkan, tetapi dia diam saja. Dia pun mengerti bahwa penyusunan teks Proklamasi itu bukanlah hal yang harus dicampurinya. “Miyoshi lebih dulu pulang ke rumahnya waktu kami pindah ke ruang tengah. Tetapi dia sudah tahu, bahwa rapat larut malam itu ialah akan mengesahkan teks Proklamasi yang dibuat, yang dilihatnya dari dekat,” kata Hatta dalam Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945. Maeda dan Nishijima mengaku ikut membahas naskah Proklamasi, namun ketika ditahan dan diinterogasi oleh Belanda mereka bungkam. Keterlibatan mereka tidak pernah diakui oleh pihak Indonesia kemungkinan untuk menghindari tudingan Belanda bahwa kemerdekaan Indonesia bentukan Jepang. Dan memang sejak awal pun Belanda menganggap kemerdekaan Indonesia sebagai bentukan Jepang. Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, dan hanya mengakui penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949. Ketika naskah Proklamasi dirumuskan, anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan beberapa pemuda, menunggu di ruangan tengah dan serambi rumah. Menurut Hatta yang hadir dalam perumusan naskah Proklamasi adalah Sukarno, Hatta, Subardjo, Sukarni, dan Sayuti Melik. “Kami duduk sekitar sebuah meja dengan maksud untuk membuat sebuah teks ringkas tentang memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Tidak seorang di antara kami yang membawa dalam sakunya teks Proklamasi yang dibuat pada 22 Juni 1945, yang disebut Piagam Jakarta,” kata Hatta dalam otobiografinya, Untuk Negeriku . Menurut Subardjo, teks Proklamasi telah dirumuskan dalam Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945. “Rumusan ini adalah hasil dari pertimbangan-pertimbangan mengenai Kata Pembukaan atau Bab Pengantar dari Undang-Undang Dasar kita oleh sembilan anggota Komite dimana Sukarno sendiri adalah ketuanya.” “Masih ingatkah saudara teks dari bab Rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar kita?” tanya Sukarno kepada Subardjo. “Ya, saya ingat, tetapi tidak lengkap seluruhnya,” jawab Subardjo. “Tidak mengapa, kita hanya memerlukan kalimat-kalimat yang menyangkut Proklamasi dan bukannya seluruh teksnya,” kata Sukarno. “Aku persilakan Bung Hatta menyusun teks ringkas itu sebab bahasanya kuanggap yang terbaik,” kata Sukarno. “Sesudah itu kita persoalkan bersama-sama. Setelah kita memperoleh persetujuan, kita bawa ke muka sidang lengkap yang sudah hadir di ruang tengah.” “Apabila aku mesti memikirkannya,” kata Hatta, “lebih baik Bung menuliskan, aku mendiktekannya.” Semuanya setuju. Sukarno memegang pena dan menulis teks Proklamasi yang kalimatnya terdiri dari dua ayat. Kalimat pertama diambil dari akhir alinea ketiga rencana Pembukaan Undang-Undang Dasar yang mengenai Proklamasi: “Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia” adalah kalimat yang diingat Subardjo dari Piagam Jakarta yang antara lain berbunyi: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya. ” “Kami tidak mencari pena bulu ayam agar sesuai tradisi,” kenang Sukarno dalam otobiografinya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia . “Kami bahkan tidak menyimpan pena bersejarah yang dipakai menuliskan kata-kata yang akan hidup abadi itu. Aku tahu, para presiden Amerika Serikat membagi-bagikan pena yang telah digunakan untuk menandatangani undang-undang penting; tetapi aku, yang menghadapi momen penting dalam sejarah itu bahkan tidak ingat dari mana datangnya pena yang kupakai. Kukira aku meminjamnya dari seseorang.” Bagaimana dengan kertasnya? “Pernyataan (Proklamasi) ini tidak dipahatkan di atas perkamen dari emas,” kata Sukarno. “Kalimat-kalimat ini hanya digoreskan pada secarik kertas. Seseorang memberikan buku catatan bergaris-garis biru seperti yang dipakai pada buku tulis anak sekolah. Aku menyobeknya selembar dan dengan tanganku sendiri menuliskan kata-kata Proklamasi di atas garis-garis biru itu.” Hatta mengatakan, kalimat itu (Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia) hanya menyatakan kemauan bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri. “Ini tidak cukup dan merupakan suatu pernyataan abstrak tanpa isi. Kita harus mengantar kemerdekaan kita pada pelaksanaan yang nyata dan kita tidak mungkin dapat berbuat demikian tanpa kekuasaan berada di tangan kita. Kita harus menambahkan pikiran tentang penyerahan kekuasaan dari Jepang ke dalam tangan kita sendiri,” kata Hatta. Lalu Hatta mendiktekan kalimat: “Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya” Jadi, konsep (klad) naskah Proklamasi yang ditulis tangan Sukarno, sebagai berikut: Proklamasi Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-2 yang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja. Djakarta, 17-8-05 Wakil-2 bangsa Indonesia Menurut anggota PPKI, Iwa Kusuma Sumantri dalam otobiografinya Sang Pejuang dalam Gejolak Sejarah , semula Sukarno dan Hatta akan memberikan judul pernyataan kemerdekaan itu dengan “Maklumat Kemerdekaan”. “Saya mengusulkan agar pernyataan kemerdekaan ini diberi judul Proklamasi,” kata Iwa.
- Melacak Jejak Silam Freeport Mengeksploitasi Bumi Papua
PADA 1959, Jean Jacques Dozy, seorang geolog anggota Ekspedisi Colijn yang pernah melakukan pendakian ke Puncak Cartenz pada 1936, kedatangan seorang tamu. Si tamu tadi bertanya kepadanya tentang keadaan Papua yang pernah dikunjunginya. “Katanya Anda pernah mengunjungi New Guinea (nama Papua saat itu, red. ) dan menemukan badan bijih ( ore body ) ini. Seberapa besarnya?” tanyanya pada Dozy, sebagaimana dikutip dari buku Grasberg karya George A. Mealey. Pertanyaan tamunya membuat Dozy terhenyak. “Kagetnya serasa seperti sedang ditodong pistol tepat di dada,” kata dia. Bagaimana tidak, setelah 23 tahun lamanya, baru ada orang bertanya demikian kepada Dozy. “Baiklah,” kata Dozi melanjutkan, “ini menyerupai sebuah dinding tebing, tingginya kira-kira 75 meter dan begitu juga panjangnya.” “Oh..oh,” ujar tamunya. Menurut Dozy, setelah pertemuan itu, tamu tadi langsung terbang menuju Papua, untuk membuktikan apakah omongan Dozy bohong atau jujur. Dan ketika kembali, dia menemui lagi Dozy dan mengatakan, “(Ternyata) itu lebih besar dari yang pernah Anda bilang.” Tamu yang dimaksud Dozy adalah Forbes. K. Wilson, yang bekerja sebagai manajer eksplorasi sulfur di Freeport. Kelak bertahun kemudian Forbes jadi petinggi di Freeport. Sebelum bertemu Dozy, Forbes sudah terlebih dahulu mencari informasi tentang Ekspedisi Colijn. Dalam catatan hariannya, Dozy membuat sketsa gundukan batu hitam aneh yang berdiri menyembul pada ketinggian 3500 meter, di pedalaman Papua. Di bawah skesta itu, Dozy membubuhkan tulisan “Ertsberg” yang artinya “gunung bijih”. Dari sana Forbes mengendus kekayaan bumi Papua. Sebelum informasi itu ditemukan oleh Forbes, laporan Dozy hanya disimpan di perpustakaan Leiden. Setelah membuktikan temuan Dozy, pihak Freeport tak bisa begitu saja melakukan kegiatan eksploitasi di Irian Jaya (nama Papua saat itu). Terlebih karena kebijakan pemerintahan Sukarno menutup kemungkinan masuknya modal asing ke Indonesia. Peluang baru muncul saat terjadi peristiwa G30S 1965 yang bermuara pada kejatuhan Sukarno. Dua bulan setelah kup militer itu CEO Freeport Langbourne Williams menelepon Forbes. Dia mendapat kabar baik dari dua eksekutif Texaco bahwa negosiasi Ertsberg akan segera dimulai. Pemerintah Soeharto, kendati belum resmi, mereka anggap jauh lebih bersahabat dengan Amerika ketimbang Sukarno. Williams yakin, negoisasinya bakal mulus lantaran salah satu eksekutif Texaco, Julius Tahija, punya koneksi kuat dengan Soeharto, yang punya kans kuat untuk naik ke puncak kekuasaan. Julius Tahija adalah mantan tentara yang dekat Sukarno namun berubah menjadi penentangnya. Sejatinya, pada April 1965 Freeport sudah mendapat lampu hijau untuk menambang di Ertsberg. Namun negosiasi tak kunjung selesai lantaran pemerintahan Sukarno tak mau begitu saja kekayaan alam Indonesia dikelola oleh kelompok bisnis asing. Ketika perubahan politik sudah menunjukkan akhir dari kekuasaan Sukarno, terlebih mendapat pinjaman senilai 60 juta dolar dari lembaga-lembaga dana Amerika, kekuasaan, langkah Freeport kian mantap untuk mengesploitasi kekayaan alam di Papua. PADA April 1967, tiga bulan sesudah pemberlakuan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) No 1/1967, Freeport Sulphur Incorporated menandatangani sebuah kontrak karya untuk mengeksplorasi dan menambah cadangan emas dan tembaga di Irian Jaya. Penandatangan itu, “membuat Freeport Sulphur perusahaan asing pertama yang menandatangani kontrak dengan pemerintah baru dan satu-satunya perusahaan yang menandatangani kontrak di bawah kondisi yang luar biasa seperti itu,” tulis Denise Leith dalam The Politics of Power: Freeport in Suharto’s Indonesia . Penandatangan itu terbilang unik dan berani. Selain penandatangannya dilakukan ketua presidium kabinet Ampera Jenderal Soeharto, bukan oleh presiden, wilayah konsesinya (Irian Barat), masih dalam sengketa. Menurut persyaratan kontrak itu, Freeport memperoleh masa bebas pajak selama tiga tahun serta konsesi pajak sebesar 35 untuk tujuh tahun berikutnya dan pembebasan segala macam pajak atau royalti selain lima persen pajak penjualan. “Namun segera setelah kontrak ‘generasi pertama’ ini ditandatangani, pemerintah menyadari bahwa kontrak itu perlu direvisi agar memberikan keuntungan ekonomi bagi Indonesia,” ujar Mohammad Sadli, yang ketika itu menjabat menteri pertambangan, dalam buku Pelaku Berkisah dengan editor Thee Kian Wie. Sadli kelak menjadi anggota tim penasehat ekonomi Presiden Soeharto. “Karena itu kontrak-kontrak ‘generasi kedua’ dibuat lebih restriktif dan kurang menguntungkan investor asing, termasuk untuk perusahaan Kanada, Inco, yang menambang nikel di Soroako, Sulawesi Selatan.” Undang-Undang PMA, produk hukum yang baru diciptakan di masa transisi kepemimpinan nasional, menjadi salah satu langkah pemerintahan Soeharto untuk menarik modal asing demi memulihkan perekonomian nasional. Dan Freeport, salah satu koorporasi internasional pertama yang ketiban rezeki dari peralihan kekuasaan Sukarno ke Soeharto.*
- Hendrick Arnold Koroh, Pejuang dari Timor
PROKLAMASI kemerdekaan Indonesia bergema. Tak ingin kehilangan jajahannya, Belanda mencoba melemahkan negara baru itu dengan membuat negara-negara federal pada 1946. Di wilayah Indonesia timur, Belanda mengundang raja-raja antero Timor hadir dalam Konferensi Malino pada 15-25 Juli 1946. Tujuannya mengajukan usulan pembentukan Negara Indonesia Timur. Rencana Belanda terhadang. Sebab seorang raja Timor menolak usulan Belanda. Raja itu bernama Hendrick Arnold Koroh, seorang Raja Amarasi dari Timor. Koroh juga utusan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Timor, partai berhaluan nasionalis yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di Timor. Koroh menginginkan wilayah timur Indonesia masuk Republik Indonesia. Koroh lahir di Baun (Amarasi) pada 9 Mei 1904. Koroh turunan ke-18 dari Nai Nafi Rasi, seorang bangsawan dari kerajaan Wahele di Belu. “Dinasti ini dalam sejarah perjuangan fisik melawan Belanda sejak abad ke-17 terkenal sebagai suatu keluarga pejuang kemerdekaan yang pantang mundur dan tidak kenal menyerah. Bertempur, tertawan, dibebaskan dengan syarat, kemudian menyusun kembali kekuatan dan bertempur lagi sendiri-sendiri atau membantu kaisar Sonbai,” tulis I.H. Doko dalam Pahlawan-pahlawan Suku Timor . Sebagai seorang bangsawan, Koroh diijinkan masuk Europese Largere School (ELS atau Sekolah Rendah Belanda) di Kupang, sekolah khusus orang Belanda. Dia menamatkan ELS pada 9 Juni 1920, lalu melanjutkan pendidikannya ke Mulo di Batavia dan tamat pada 1924. Koroh meneruskan pendidikan menengah atasnya ke Algemene Middelbare School (AMS) di Yogyakarta. Selama di Batavia dan Yogyakarta, Koroh gemar membaca buku-buku politik, kemasyarakatan, dan surat kabar De Express asuhan Douwes Dekker. Baru setahun di AMS, Koroh dipaksa pulang ke Amarasi atas dasar surat rahasia Residen Timor. Dia dipanggil untuk menjadi raja, menggantikan kakaknya, A.R. Koroh, yang pada waktu itu dipecat oleh Belanda karena dianggap kepala batu, tidak tunduk kepada pemerintah. Belanda berharap Koroh bisa bekerja sama. Belanda berupaya menjauhkan Koroh dari pengaruh kaum pergerakan nasional. “Waktu dia diangkat menjadi Raja Amarasi, dia senantiasa dihalang-halangi dan dilarang oleh pemerintah Hindia Belanda untuk membaca surat kabar yang bersifat nasional,” tulis Doko. Upaya Belanda gagal. Koroh tetap dekat dengan gagasan kaum pergerakan nasional. Selama pendudukan Jepang, Koroh melindungi rakyatnya dari ancaman tentara Jepang. Koroh membuat peraturan bahwa semua keperluan pemerintah kolonial Jepang diurus oleh raja. “Tetapi, sebagai imbalan, dia menuntut dari penguasa Jepang, agar melarang anggota tentaranya, memasuki rumah-rumah rakyat untuk meminta sesuatu atau menembak hewan rakyat,” tulis Doko. Jepang menyetujui permintaan Koroh. Menurut Steven Glen Farram dalam From Timor Koepang to Timor NTT: A Political History of West Timor, 1901-1967, disertasi pada Northern Territory University, Koroh mendapatkan banyak informasi tentang perang pasifik. Koroh juga mengetahui berita pengeboman Hirosima dan Nagasaki oleh pihak Sekutu, namun Koroh belum mengetahui bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Koroh baru mengetahui hal itu pada 24 Agustus 1945, ketika dia dipanggil ke rumah Yano, Komandan Kedua Jepang di Kupang. “Yano memberitahu bahwa Tentara Jepang telah ‘memberikan’ kemerdekaan kepada Indonesia. Namun dia menyuruh Koroh untuk merahasiakannya,” tulis Farram. Pada masa mempertahankan kemerdekaan, Koroh berupaya mempengaruhi para raja di Timor untuk menolak pendirian Negara Indonesia Timur. Belanda tak diam. Untuk menghadang upaya Koroh, Belanda membuat pertemuan dengan para raja setelah Konferensi Malino. Residen Timor memimpin langsung pertemuan itu. “Raja Koroh telah diperingatkan oleh Residen untuk berhati-hati. Karena katanya, semua raja tidak menyetujui dan akan menentang mati-matian pendiriannya yang dikemukakannya di Malino itu,” tulis Doko. Peringatan itu tak mengurungkan niat Koroh untuk tetap memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Di depan para raja Timor, Koroh mengatakan bahwa Republik Indonesia adalah hal yang ideal bagi rakyat Timor. “Tuan-tuan raja se-Pulau Timor, inilah amanat rakyat Timor, inilah amanat rakyat Timor yang telah diberikan kepada saya untuk diperjuangkan pada Konferensi Malino. Terserahlah tuan-tuan akan menyetujui atau menolaknya. Saya telah melaksanakan tugas saya sebaik-baiknya sesuai amanat rakyat Timor itu, dalam batas-batas kemampuan saya.” Rasiden Timor memberikan kesempatan kepada raja Timor lain untuk menanggapi argumen Koroh. Pendapat pertama dikemukakan oleh Raja Molo. Menurut Doko, Raja Molo sangat berpengaruh di kalangan raja Timor. Pendapatnya bisa mempengaruhi pandangan raja lain. Ketika Raja Molo berkata “Akol” yang berarti setuju, raja-raja lain pun sependapat dengannya. Ini berarti para raja menerima pendapat Koroh. Persatuan para raja semakin menguat. Pada 21 Oktober 1946, Gabungan Federasi Zelfbestuur Kepulauan Timor atau Dewan Raja-Raja berdiri. Ketuanya Koroh dan wakil ketua Raja Kupang, A. Nisnoni. Terbentuknya Dewan Raja memperkuat perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan. Koroh meninggal pada 30 Maret 1951 setelah mengalami tekanan darah tinggi. Ratusan ribu orang dari seluruh penjuru Timor menghadiri pemakamannya. “Timor Kehilangan seorang pemimpin yang berbudi luhur, berjasa bagi nusa dan bangsa. Berakhirlah sudah perjuangan seorang pejuang yang disegani oleh kawan dan lawan, seorang raja yang sangat dicintai rakyatnya,” tulis Doko.
- Menafsir Sejarah Lewat Senirupa
SESOSOK perempuan menunggang kuda, menerjang barisan pasukan -mungkin tentara Belanda-, tangan kiri memegang kekang kuda dan tangan kanannya menggenggam tongkat bermata serupa bunga padma. Di belakang, agak menjorok ke belakang, tampang penunggang kuda lainnya: lelaki bersorban dan menghunus keris. Bisa jadi, apa yang digambarkan oleh Entang Wiharso dalam karyanya berjudul Under National History –berbahan aluminium resin dan berdimensi 323 x 219 cm- itu adalah gambaran Perang Jawa. Sosok perempuan penunggang kuda itu, mungkin saja penggambaran Nyi Ageng Serang, salahsatu penasehat perang Diponegoro. Selama 11 hari, mulai 11-30 Agustus 2015, karya Entang Wiharso dan belasan perupa kontemporer papan atas Indonesia itu memenuhi ruangan utama di gedung A Galeri Nasional, bilangan Gambir-Jakarta Pusat. Mereka semua turut berpartisipasi dalam pameran dalam rangka memperingati 70 tahun kemerdekaan RI yang diselenggarakan Galeri Canna dan Galeri Nasional Indonesia. Dengan kurator Jim Supangkat, pameran tersebut mengambil judul Langkah Kepalang Dekolonisasi . “Tema sejarah sengaja kami ketengahkan dalam pameran ini. Sejarah sampai saat ini belum menjadi domain publik. Sebagian besar publik belum mengetahui seluk beluk perdebatan sejarah. Lewat pameran inilah sejarah mencoba ditampilkan perupa,” jelas kurator Jim Supangkat dalam sesi konferensi pers sore tadi (19/8). Hampir semua karya yang tampil pada pameran tersebut adalah karya terbaru, buatan 2015. Dalam catatan kuratorialnya, Jim memberi penekanan mengenai episode perjuangan 1945-1949. Menurutnya, kemerdekaan Indonesia itu seperti mengungkapkan jawaban Perdana Menteri Inggris Winston Churchill yang tidak jelas pada akhir Perang Dunia II karena diliputi keraguan apakah dekolonisasi selayaknya dilakukan atau tidak. Jawaban yang terungkap kemudian, tulisnya, niat melaksanakan dekolonisasi di kalangan negara-negara penjajah dari Eropa sebenarnya memang tidak ada. Interpretasi perupa tentang sejarah dalam periode 1945-1949 itu tampak dalam karya Rosid berjudul Wajah-wajah Tokoh Kemerdekaan . Ia menggambarkan keberadaan Sukarno dan Mohammad Hatta yang diapit enam lukisan foto pahlawan. Rosid pun menambah instalasi berupa beras merah-putih dan taburan bunga mawar. Lukisan lain yang cukup menyita perhatian adalah karya Heri Dono berjudul Soekarno-Hatta Keluar dari Gunung Revolusi . Dalam lukisan berukuran 200 x 150 cm itu, sosok Sukarno dan Hatta digambarkan sebagai manusia super yang terbang keluar dari sebuah mulut gunung. Sukarno yang berpeci terbang ke kiri sembari membawa obor dan membakar kepala badut, sementara Hatta terbang kekanan membawa sebuah kitab dan sebuah neraca. Tak hanya itu, karya kedua Heri Dono yang lain berjudul The Anger of Dutch General in 1945 . Ia menggambarkan seorang jenderal Belanda bermata tiga dengan lidah bercabang empat menjulur keluar. Jenderal ini sudah berada dalam kotak yang diinjak-injak oleh dua sosok: satu berpeci yang bisa jadi gambaran Sukarno dan satu lagi berkacamata yang tak lain adalah sosok Mohammad Hatta. Dalam lukisan akrilik di atas kanvas dan berdimensi 200 x 150 itu, Heri Dono menggambarkan pula mahluk berkepala dua, bertangan tiga, dan salah satu tangannya memegang bendera Hinomaru, bendera Jepang. Selain pameran yang dikuratori Jim Supangkat, ternyata ada pula sub-pameran lain dan dikuratori oleh Donny Ahmad dan mengambil judul Negosiasi dan Agresi . “Jadi ini ada pameran didalam pameran. Pameran yang dikuratori Donny adalah karya dari generasi terbaru yang menginterpretasi persoalan sejarah,” pungkas Jim. Pameran lukisan dengan tema menafsir sejarah bukan diselenggarakan kali ini saja. Pada Juni 2012 lampau, panitia bulan Bung Karno pun pernah menyelenggarakan pameran seni rupa bertajuk “Energi Bung Karno” di Taman Ismail Marzuki, menampilkan karya perupa muda yang menafsirkan peran sejarah Bung Karno. Pameran lain yang juga bertema sama digelar pada November 2013. Dalam pameran tunggal tersebut pelukis Patrick Wowor menampilkan karya-karyanya, menafsir ulang sosok-sosok pelaku sejarah yang selama ini hilang dari ingatan kolektif bangsa Indonesia: mulai Sneevliet sampai Wikana.
- Kekerasan, Dampak Revolusi Kemerdekaan yang Bertahan Hingga Sekarang
REVOLUSI Indonesia tidak termasuk ke dalam kategori revolusi besar di dunia.Tetapi, Indonesia berhasil merdeka melalui proses revolusi dan diplomasi. Di masa revolusi inilah Indonesia mengalami saat-saat krisis dan kritis untuk mencapai negara kesatuan. Demikian disampaikan Guru Besar Sejarah Universitas Indonesia, Susanto Zuhdi, dalam seminar “Memaknai 70 Tahun Kemerdekaan Indonesia di Tengah Dunia yang Berubah dalam Perspektif Sejarah” yang diselenggarkan Program Studi Sejarah FIB UI di Balai Sidang Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, 20 Agustus 2015 . Menurut Zuhdi, Perjanjian Linggarjati merupakan ujian pertama bagi Indonesia menuju negara kesatuan. Ada ketegangan di antara kekuatan-kekuatan besar yang seharusnya bersatu untuk menerima konsep Republik Indonesia Serikat yang termuat dalam Perjanjian Linggarjati yang diparaf pada 15 November 1946. “Hatta berpidato sedemikian keras di KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) agar Perjanjian Linggarjati diratifikasi. Di situ pula Sukarno menyatakan diri sebagai presiden revolusi,” ujar Zuhdi. Dalam konteks “merdeka 100 persen,” Jenderal Soedirman memilih bergabung dengan Persatuan Perjuangan yang dibentuk 4-5 Januari 1946 atas prakarsa Tan Malaka. Organisasi yang menghimpun 141 organisasi politik, laskar, dan lain-lain, ini oposisi terhadap Kabinet Sutan Sjahrir yang memilih cara diplomasi. Puncaknya, ketika Amir Sjarifuddin dan Musso mendirikan Front Demokrasi Rakyat hingga pecahnya Peristiwa Madiun 1948 . Hal ini membuktikan, tidak mudah cita-cita Proklamasi dapat digaungkan hingga semua komponen bangsa mendukung negara kesatuan. “Tidak mengherankan apabila muncul slogan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) harga mati. Akan tetapi, slogan ini hanya akan mati harga jika kita tidak memanfatkan segala potensi yang ada. Salah satunya sektor kelautan,” kata Zuhdi. “Sekarang, inilah tugas kita, bagaimana kita merajut pulau-pulau menjadi satu seperti yang biasa kita nyanyikan dari ‘Sabang sampai Merauke berjejer pulau-pulau.’Dan kalau boleh, jangan lagi kita menyebutkan istilah pulau terpencil atau pulau terluar dari kepulauan-kepualauan yang ada di Indonesia.” Sementara itu, Anthony Reid, sejarawan yang menggeluti sejarah Asia Tenggara, menyoroti dampak dari revolusi kemerdekaan. Menurutnya, ada jejak yang hilang dan muncul dari revolusi Indonesia pascakemerdekaan. Hal ini turut membentuk apa yang terjadi di Indonesia hari ini. Pertama, hilangnya kelas menengah asli Indonesia. Banyak etnis Tionghoa dan orang-orang Eurasia yang terbunuh masa revolusi 1945-1946. Padahal, mereka adalah elite intelektual dan pelaku ekonomi kreatif di masa itu. “Apa yang terjadi di Indonesia berbeda dengan apa yang terjadi terhadap Malaysia dan Thailand. Malaysia dan Thailand tidak mengalami jejak kekerasan dalam kemerdekaannya. Lewat proses negosiasi, banyak kelas menengah di Malaysia yang menjadi nasionalis. Sedangkan di Thailand, kebanyakan kelas menengah elitenya adalah orang-orang Tionghoa yang masih memiliki garis keturunan dengan kerajaan Thailand,” kata Reid. Kedua, munculnya legitimasi penggunaan kekerasan. Seperti yang terlihat dalam kasus Peristiwa Madiun 1948, Darul Islam sejak tahun 1949; separatisme di Maluku tahun 1950, Aceh tahun 1953, dan PRRI/Permesta tahun 1958; teror pasca-Gerakan 30 September 1965, hingga invasi ke Timor Timur tahun 1975. “Negara secara tidak langsung melegitimasi kekerasan sebagai cara menyelesaikan masalah,” kata Reid. “Hal ini mendorong terjadinya tindak pelanggaran hak asasi manusia dan berimplikasi terhadap sulitnya penegakan hukum di Indonesia.” “Rekonsiliasi pelaku-korban memang diperlukan tetapi yang lebih penting adalah hukum harus ditegakkan. Para pelanggar hak asasi manusia harus dihukum sesuai prosedur yang berlaku. Namun, hal ini agaknya susah terjadi karena hukum di Indonesia masih sangat lemah, ia digerakkan oleh penguasa,” kata Reid.
- Pasukan Bunuh Diri Indonesia dalam Perang Kemerdekaan
TERINSPIRASI oleh penerbang bunuh diri Kamikaze, Jepang membentuk barisan bunuh diri (Jibakutai) di Indonesia pada 8 Desember 1944. Jibaku kemudian diserap sebagai kata Indonesia yang artinya “menyerang musuh dengan jalan menubrukkan dirinya (yang sudah dipersenjatai dengan bom atau alat peledak lainnya) pada musuh; bertindak nekat.” Jumlah keseluruhan anggota Jibakutai mencapai 50.000 orang. Ia didirikan di beberapa daerah. Di Bali misalnya, Jibakutai disebut juga Bo’ei Teisin Tai. Pada Desember 1944, pihak berwenang Jepang melaporkan bahwa orang Bali “minta bagian dalam menghajar musuh” dengan ikut Bo’ei Teisin Tai. “Mereka mencatat bahwa para intelektual, kebanyakan guru sekolah, redaktur media massa dan sebagainya merupakan mayoritas nama-nama yang terdaftar. Kesatuan Bo’ei Teisin Tai pertama berdiri pada Maret 1945, dan pada Juni 1945, grup kedua bertolak dari Buleleng ke Gianyar untuk latihan,” tulis sejarawan Geoffrey Robinson dalam Sisi Gelap Pulau Dewata. Kendati namanya sebagai pasukan berani mati, namun Jibakutai seperti barisan semimiliter lain bentukan Jepang (Peta atau Pembela Tanah Air dan Heiho), dipersiapkan hanya sebagai pendukung tentara Jepang. “Haruslah diperhatikan bahwa satuan-satuan ini dipersenjatai dan dilatih hanya dengan bambu runcing…Tujuan melatih kelompok-kelompok ini adalah saling kerja sama dan mendukung kepada perang, bukanlah ikut serta secara militer sebagai satuan-satuan tempur,” tulis sejarawan Joyce C. Lebra dalam Tentara Gemblengan Jepang . Bahkan, sejarawan Nugroho Notosusanto, menegaskan bahwa Jibakutai tidak pernah mempunyai eksistensi yang nyata sebagai organisasi monolitis seperti yang lain-lain. “Barisan itu lebih merupakan ungkapan daripada tekad pemuda Indonesia untuk mempertahankan tanah airnya terhadap musuh,” tulisnya dalam Tentara Peta Pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia . Setelah Indonesia merdeka, Peta dan Heiho menjadi cikal bakal tentara Indonesia. Bagaimana dengan Jibakutai? Mantan pejuang kemerdekaan, Asmadi mengungkapkan kesaksiannya bahwa segera setalah Proklamasi kemerdekaan, Jibakutai mengubah namanya menjadi Barisan Berani Mati (BBM), tetapi umumnya orang menganggap namanya terlalu muluk. Mereka baru menunjukkan aksinya ketika perang melawan Sekutu di Surabaya pada 10 November 1945. “Berjenis-jenis kendaraan lapis baja seperti brencarrier , panser dan tank banyak yang meledak karena ulah mereka,” tulis Asmadi dalam Pelajar Pejuang. Anggota BBM beroperasi dalam kelompok-kelompok kecil. Masing-masing menjinjing sebuah bom, kemudian membenturkan diri ke kendaraan perang musuh yang menghancurkan benteng-benteng berjalan itu. Tindakan yang kelewat berani ini sangat menonjol pada hari ketiga perang. Keberanian mereka menimbulkan kekaguman di kalangan pejuang dan keterkejutan di pihak lawan. Tentara Inggris terperanjat dan menuding Indonesia menggunakan orang-orang Jepang untuk melakukan bunuh diri, karena mereka menganggap hanya orang Jepang yang berani berbuat nekat seperti itu. “Anggota BBM telah membuktikan bahwa cemooh yang diperolehnya selama ini adalah tidak benar, bahwa keberanian bukan milik bangsa Jepang saja yang dengan Kamikaze-nya berani menumbukkan pesawat terbang ke kapal perang Sekutu,” tulis Atmaji.
- Film Anak Riwayatmu Dulu
BIOSKOP kelas rakyat di Pasar Rumput, Manggarai, Jakarta, kedatangan calon penonton sejak sore. Calon penonton mengerumuni loket karcis demi beroleh kesempatan menyaksikan film pertama, pukul 18.15. Sejumlah kanak-kanak di bawah umur ikut masuk kerumunan. Rebutan karcis. Mereka mengabaikan papan peringatan “Untuk 17 tahun ke atas” pada poster film. “Padahal saya percaya, mereka itu tidak mengetahui arti film yang hendak dipertunjukan itu. Hal ini di muka bioskop rakyat, tetapi keadaan ini pun tidak asing pula di muka bioskop cabang atas,” tulis BS, saksimata antrean bioskop, kepada majalah Wanita , No. 15, Agustus 1950. Dia menilai anak-anak tak bakal beroleh banyak faedah dari menonton film berkategori 17 tahun ke atas. Menurut saksimata, anak-anak selayaknya menonton film untuk anak-anak. Misalnya The Little Ballerina dan Circus Boy . Dua film buatan Inggris ini pernah tayang di Garden Hall (Kebun Binatang Jakarta). “Anak-anak sungguh bergembira melihatnya, sebab hampir semua yang dipertunjukan itu dapat ditangkap oleh jiwa akal si anak,” tulis BS. BS berharap perusahaan film nasional berkenan membuat film serupa. Sebab film untuk anak-anak masih amat jarang tayang di bioskop. Padahal anak-anak butuh tontonan untuk membantu tumbuh-kembangnya jiwa dan pikiran mereka. Berniat memenuhi kebutuhan film untuk anak-anak, Perusahaan Film Negara (PFN) memproduksi film Si Pintjang pada 1951. “Dalam soal film anak-anak ini, Perusahaan Film Negara telah mempelopori membuatnya untuk ikut memberikan gambaran sebagian dari watak anak-anak yang beribu-ribu macam watak,” tulis Minggu Pagi , 9 September 1951. Kotot Sukardi, sutradara dan penulis skenario Si Pintjang , memberi anak-anak terlantar ruang berekspresi. Dia mempercayakan pemeran utama film pada anak-anak itu. Cerita utama film pun seputar kehidupan anak-anak, korban pendudukan Jepang. Perang memisahkan mereka dari orangtua dan saudara kandung. Tayang pada 1952, Si Pintjang hanya beroleh sedikit apresiasi. Salahsatunya dari Usmar Ismail, tokoh sohor perfilman Indonesia. “ Si Pintjang film Kotot Sukardi yang pertama sebagai sutradara mempunyai arti penting karena pemakaian anak sebagai pemain dengan secara efektif,” tulis Usmar dalam Usmar Ismail Mengupas Film . Apresiasi lebih justru datang dari luar negeri. Panitia Festival Film Internasional Praha, Cekoslowakia, memberi Si Pintjang penghargaan pada 1952. Begitu Si Pintjang hilang dari bioskop dalam negeri, film untuk anak-anak lainnya hadir menggantikannya. Antara lain Membalas Budi dan Si Melati . Sebenarnya banyak film menampilkan anak-anak sebagai pemeran. Tapi mereka tak lantas bisa berlabel film untuk anak-anak. Sebab cerita dan dialognya jauh dari dunia anak-anak. Star Weekly , 5 Februari 1955, menyebut hanya ada tiga film untuk anak-anak buatan dalam negeri sejak 1926 hingga 1955 : Si Pintjang , Membalas Budi, dan Si Melati . Ini sangat sedikit dari total produksi film dalam negeri. Publik, terutama guru dan orangtua, menyoroti kekurangan film untuk anak-anak. Mereka berpendapat film menjadi lapangan pendidikan ketiga, setelah rumah dan sekolah. Maka mereka minta perusahaan film lebih giat lagi memproduksi film untuk anak-anak. Perusahaan film sulit memenuhi permintaan itu. “Secara praktis, membuat film anak-anak memang lebih sukar dari pembuatan film orang dewasa,” tulis Purnama , No. 1, 1961. Secara finansial, hasilnya pun kurang menguntungkan. Kekurangan film untuk anak-anak berlanjut hingga 1970-an. Untuk mengatasi kekurangan film untuk anak-anak, pemerintah mengeluarkan kebijakan: tiap 10 film impor, harus ada 1 film untuk anak-anak. Demi terpenuhinya kebutuhan anak-anak terhadap film, pemerintah juga memotong dana pungutan film impor untuk anak-anak. “Dana untuk impor dewasa Rp250.000 per film, sedangkan untuk film anak-anak hanya Rp75.000 per film,” tulis Kompas , 30 April 1973. Saat bersamaan, perusahaan film dalam negeri mulai berusaha kembali memproduksi film untuk anak-anak. Jumlah film untuk anak-anak pada 1973 mencapai 8 buah. Jumlah ini turun lagi pada tahun-tahun berikutnya. Sejumlah cendekiawan, budayawan, dan pendidik lalu menggelar seminar untuk membahas permasalahan film untuk anak-anak pada September 1988 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. “Membuat film anak-anak adalah pekerjaan sulit. Dan kalau mau membuat film anak-anak sebaiknya menjauhkan guru, ahli pendidikan, dan para ahli psikologi dari proyek ini,” kata Asrul Sani, budayawan sekaligus pembicara seminar, dalam Kompas , 30 September 1988. Dia lebih percaya pada orang yang pandai bercerita dalam urusan pembuatan film untuk anak-anak. Memasuki 1990-an, film untuk anak-anak menggeliat kembali. Film Langitku, Rumahku karya sutradara Slamet Rahardjo meraih banyak penghargaan dari sejumlah festival film dalam negeri. Melihat pencapaian Langitku, Rumahku , produser film lebih berani memproduksi film untuk anak-anak. Setelah itu, film untuk anak-anak tumbuh bak cendawan di musim hujan pada 2000. Anak-anak kini punya banyak pilihan film.
- Merayakan Sejarah Masa Depan Indonesia
PULUHAN orang berjejal di dalam rangkaian trem yang sekujur gerbong bagian luarnya ditulisi grafiti slogan kemerdekaan berbahasa Inggris. “We need just now Independence!” Kami hanya butuh kemerdekaan sekarang juga. Trem tersebut melaju beriringan dengan tank-tank milik Inggris yang baru saja tiba di Jakarta. Setelah Jepang kalah perang, Indonesia dan beberapa negara di wilayah Asia Tenggara lainnya, menjadi kewenangan Inggris. Ada agenda rahasia Belanda terselip di misi tersebut: kembali berkuasa di Indonesia. Namun nasionalisme yang telah tumbuh subur di kalangan rakyat, menentang upaya tersebut. Situasi itu terekam dalam film dokumenter Setelah Proklamasi yang diputar pada peluncuran buku dan pameran foto sejarah 70 Tahun HistoRI Masa Depan , Sabtu (22/08) lalu di Galeri Foto Jurnalistik Antara, Pasar Baru, Jakarta Pusat. Film dokumenter selama kurang lebih 15 menit tersebut menampilkan situasi Jakarta setelah proklamasi kemerdekaan. “Bung Karno berkeliling Jakarta menemui rakyat. Ini Haji Darip, tokoh masyarakat terkemuka dari Karawang,” kata sejarawan Rushdy Hoesein menjelaskan film selama penayangannya. Selain tampak figur Bung Karno, terekam pula aktivitas warga yang memenuhi alamat kantor redaksi koran Merdeka , berdesakan membeli koran. Rosihan Anwar muda terlihat masih ceking kala mendampingi kedatangan Menteri Penerangan Amir Sjarifoeddin yang datang berkunjung. Meutia Hatta yang didaulat membuka acara menyampaikan kekagumannya pada suasana Jakarta di masa itu yang ditunjukkan di dalam film. Melalui pameran ini, dia berharap anak-anak muda berminat belajar sejarah. “Pameran ini diharapkan dapat menggugah muda-mudi untuk mengenal sejarah bangsanya,” kata anak pertama Bung Hatta itu dalam sambutannya. Tak hanya film yang menggambarkan suasana revolusi, puluhan foto lama yang selama ini belum terpublikasi juga turut dipamerkan. Kurator galeri Antara Oscar Motuloh mengatakan sebagian koleksi foto dia dapatkan dari museum Bronbeek di Belanda. Beberapa foto bersejarah penting lainnya yang dipamerkan adalah 14 lembar foto-foto pembacaan teks proklamasi kemerdekaan, 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur 56. Foto yang selama ini beredar tak lebih dari empat foto, yang memperlihatkan Bung Karno sedang membaca teks proklamasi, memimpin doa, dan pengerekan bendera Merah Putih. Menurut tim riset Yayasan Bung Karno yang juga bekerjasama menyelenggarakan pameran ini, ada sudut pandang menarik lainnya dari foto-foto seputar proklamasi. Selama ini versi yang beredar hanya menyebutkan bahwa peristiwa bersejarah itu hanya dihadiri oleh tak kurang dari 100 orang. Namun foto yang berhasil ditemukan menunjukkan ada lebih dari 500 orang turut menyaksikan pembacaan teks proklamasi. Satu foto yang paling menarik dari 14 foto proklamasi itu adalah pekik “merdeka” yang dilakukan ala salam “banzai” Jepang dengan mengangkat kedua tangan. Bung Karno memimpin dan diikuti ratusan hadirin berseragam peta yang juga mengangkat kedua tangan mereka ke atas. Selembar foto lain menunjukkan Bung Karno menyambut serombongan anggota Barisan Laskar Rakyat yang datang terlambat karena mengira pembacaan teks proklamasi dilakukan di lapangan Ikada. Mereka berbondong bersenjatakan bambu runcing di tangan. Dendam kesumat tentara Belanda pada Bung Karno pun terlihat pada sebuah foto di mana tank Belanda memasang posternya tepat di ujung moncong meriamnya. Foto yang sama memperlihatkan empat serdadu Belanda awak tank yang berpose tersenyum di depan kamera. Pameran foto yang berlangsung sampai Oktober mendatang memberikan gambaran yang lebih meriah tentang revolusi kemerdekaan Indonesia. Foto-foto yang mengandung ribuan kata-kata penjelasan tentang semangat zaman pada masa-masa awal kemerdekaan.
- Memori Perjuangan Kota Bogor yang Mulai Dilupakan Orang
PADA 26 Oktober 1957, puluhan pejuang kemerdekaan se-Karesidenan Bogor berkumpul di rumah Bupati Bogor, R.E. Abdoellah, di Jalan Panaragan No. 31. Secara aklamasi, mereka menyepakati bahwa gedung di Jalan Cikeumeuh No. 28 (sekarang Jalan Merdeka) sebagai Museum Perjoangan. Mulanya bangunan tersebut adalah gudang barang milik Wilhelm Sustaff Wissner, sejak 7 Juli 1879. Setelah beralih tangan beberapa kali, gedung ini sempat menjadi kantor perusahaan. Kemudian pada Juni 1938 menjadi gedung persaudaraan Parindra (Partai Indonesia Raya) cabang Bogor. Lalu sejak 9 Maret 1942, tentara Jepang memfungsikan gedung ini sebagai gudang. “Pada periode 1945-an, beragam laskar rakyat dan organ perjuangan lain juga berkoordinasi di sini. Kapten Muslihat, Mayor Oking, dan Margonda sering pula berkumpul di gedung ini. Kemudian pada 1949, menjadi kantor pemerintah darurat kabupaten,” ujar Ma’ruf (46 tahun), kurator Museum Perjoangan Bogor, kepada Historia . Sekolah Rakyat juga pernah bertempat di gedung tersbut sekira tahun 1952. Kartinah Muslihat, istri almarhum Kapten Muslihat, melantik dewan pengurus Yayasan Museum Perjoangan Bogor (YMPB) pada 10 Nopember 1957. Tak lama berselang, muncul surat keputusan Pelaksana Kuasa Militer Daerah Res. Inf 8/III-No. Kpts/3/7/PKM/57, yang berisi arahan kepada pengurus YMPB untuk mempersiapkan dan mengusahakan gedung Museum Perjoangan agar dapat diwujudkan dan diresmikan pada 17 Agustus 1958. Sejak 1958-1981, Museum Perjoangan tersebut tak pernah tersentuh renovasi. Pada 18 September 1981, seperti dicatat harian Merdeka 16 Agustus 1987, Jawatan Gedung-gedung Bogor menyatakan kondisi bangunan Museum Perjoangan Bogor secara keseluruhan dinyatakan rusak. YMPB pun berusaha melakukan renovasi dengan melakukan penggalangan dana. Setelah menghabiskan dana sekira Rp80 juta, akhirnya renovasi selesai pada Juni 1987. Bangunan bertingkat satu ini pun mulai menambah koleksinya, terutama dari era revolusi fisik 1945. YMPB membentuk tim khusus untuk sejarah lisan untuk membuat diorama, sebagai bagian koleksi museum. Beberapa diorama itu antara lain peristiwa pertempuran Kapten Muslihat pada 25 Desember 1945, pertempuran di Maseng, pertempuran di Kota Paris, dan peristiwa Cemplang. Hingga tahun 2014, Museum Perjoangan Bogor masih menerima koleksi hibah dari eks pejuang. “Meski sudah dihibahkan ke museum, tak serta merta artefak tersebut bisa di- display . Harus melalui verifikasi yang ketat dan informasi yang akurat tentang sejarah dan fungsi artefak tersebut,” terang Ma’ruf. Berdasarkan buku tamu, tak banyak pengunjung yang datang di museum tersebut, meski tarif masuknya terbilang murah hanya Rp4.000. “Saya sengaja di hari kemerdekaan ini datang mengajak anak dan istri saya kesini. Selain mengenalkan sejarah kepada anak-anak, juga sudah lama saya tidak kesini. Kunjungan pertama tahun 2005, dan ini yang kedua,” ujar Dede Supriyana, 28 tahun, pengunjung museum kepada Historia .
- Ciri Negatif Manusia Indonesia
MOCHTAR Lubis, wartawan dan sastrawan, menyampaikan pidato kebudayaan tentang manusia Indonesia pada 1977 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Isi pidatonya menyebutkan ciri-ciri atau watak masyarakat Indonesia. Menurutnya, ada limabelas ciri atau watak manusia Indonesia antara lain munafik, segan dan enggan bertanggungjawab, berjiwa feodal, masih percaya takhayul, artistik karya seninya bernilai tinggi, karakter yang kurang kuat, tidak hemat, tidak suka bekerja keras, kurang sabar, cepat cemburu dan dengki, manusia sok, tukang tiru, malas-malasan, kurang peduli nasib orang lain, dan berhati lembut. Pidato Mochtar Lubis mendorong Ali Akbar, arkeolog sekaligus dosen di Universitas Indonesia, melakukan riset lebih lanjut. Dia menjadikan pidato itu sebagai hipotesis penelitiannya. Salah satu pertanyaan yang dia tanyakan kepada responden adalah sebutkan sepuluh ciri manusia Indonesia. Hasilnya, sepuluh ciri manusia Indonesia antara lain ramah terhadap orang asing, malas, korupsi, tidak disiplin, emosional, boros, suka meniru, rendah diri, individualis, dan percaya takhayul. Menurut Ali, ciri negatif manusia Indonesia bisa berdampak buruk pada pengembangan ekonomi. “Masalah perekonomian bukan hanya masalah ekonomi, persoalan mendasar justru pada manusia Indonesia sendiri,” kata Ali dalam Seminar Penguatan Ekonomi Nasional Melalui Peningkatan Kualitas Manusia di Hotel Pullman, Jakarta, 20 Agustus 2015. Begitu juga menurut Nirwan A. Arsuka, budayawan dari Freedom Institute, bahwa permasalahan ciri negatif manusia Indonesia harus segera diatasi. “Jangan-jangan itu adalah efek dari situasi ruang dan waktu. Jika diubah, mungkin ciri-cirinya bisa hilang,” kata Nirwan. Bagi Nirwan, perlambatan ekonomi adalah masalah kecil, dan kebudayaan menjadi masalah yang lebih besar. “Kebudayaan berurusan dengan hari depan sebuah bangsa,” kata Nirwan. Komaruddin Hidayat, Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, mengatakan bahwa masyarakat Indonesia bisa mengambil beberapa nilai yang ditanamkan oleh Tionghoa. Nilai-nilai tersebut mampu mengantarkan mereka menuju kesuksesan, terutama dalam berbisnis. Dia mencontohkan cerita dan nasihat yang berkembang di kalangan Tionghoa, yaitu orangtua yang membelah gunung. Alkisah, ada satu keluarga hidup di desa yang terisolasi dari desa lain karena terhalang gunung. Mereka harus melewati gunung untuk melakukan kegiatan ekonomi di desa lain. Terkadang, dia harus bermalam di jalan karena kelelahan. Akhirnya, orangtua itu mengajak anaknya membelah gunung penghalang itu. Dia dicemooh karena mencoba membelah gunung. Jika ditanya akankah pekerjaan itu selesai? Orangtua itu menjawab, jika dia tidak berhasil, anak cucunya yang akan meneruskan. Akhirnya, gunung itu terbelah setelah beberapa generasi. Akses keluar masuk desa menjadi mudah sehingga desa tersebut menjadi maju. “Hikmahnya, bahwa Tionghoa itu punya visi yang jauh sekali, lintas generasi. Makanya kalau kita lihat The Great Wall (Tembok Besar China) dibangun ratusan tahun,” kata Komaruddin. Komaruddin mengajak setiap manusia Indonesia agar memiliki visi yang jauh kedepan. “Kita tidak boleh berpikir jangka pendek, tetapi jangka panjang. Dengan begitu, manusia Indonesia tidak lagi didominasi oleh ciri negatif.”






















