top of page

Hasil pencarian

9599 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Makna Menarik Kain Jarik

    Twitter  diramaikan oleh thread  tentang "Predator Fetish Kain Jarik Berkedok Riset Akdemik dari Mahasiswa PTN di SBY". Pembuatnya, akun mufis @m_fikris , mengaku telah menjadi korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh orang bernama Gilang yang memiliki fetish . " Fetish  adalah ketika seseorang merasakan rangsangan seksual dari fantasi atau perilaku seksual yang melibatkan nonliving objects , misal sepatu, celana dalam, bra, atau bagian tubuh nongenital, bisa itu rambut hingga kaki," kata psikolog Inez Kristianti, dikutip dari Suara.com . Untuk kasus Gilang, nonliving objects yang membuatnya bergairah seksual adalah kain jarik. Kain jarik merupakan kain panjang yang memiliki motif batik dengan berbagai corak. Setiap daerah mempunyai ciri dan motif berbeda-beda. Dulu, jarik menunjukan status sosial dan dari mana orang tersebut berasal. Namun, umumnya kain jarik dipakai oleh semua orang termasuk rakyat biasa karena memiliki beragam fungsi. Bram Palgunadi dalam Serat Kandha Karawitan Jawi: Mengenal Seni Karawitan Jawa, menyebut di wilayah pedalaman atau pedesaan, lazimnya penduduk yang akan menonton pagelaran datang dengan berkalung kain sarung atau kain jarik. Kain sarung atau kain jarik ini sifatnya serbaguna karena selain dipakai bisa juga digunakan sebagai alas tidur, penutup kepala dan badan, atau sekadar sebagai tabir penahan dingin. Ternyata, jarik bukan sembarang kain. Orang Jawa memberinya makna. M. Hariwijaya dalam Islam Kejawen: Sejarah, Anyaman Mistik, dan Simbolisme Jawa menjelaskan bahwa jarik atau sinjang merupakan kain panjang yang dikenakan untuk menutup tubuh sepanjang kaki. Jarik bermakna aja gampang serik . Artinya, jangan mudah iri terhadap orang lain, menanggapi segala masalah yang terjadi mesti berhati-hati, tidak grusa-grusu apalagi emosional. Jarik dikenakan selalu dengan cara diwiru ujungnya sedemikian rupa. Membuat wiru atau wiron  dengan cara melipat-lipat ujung jarik. Berarti  jarik tidak lepas dari wiru . Wiru artinya wiwiren aja ngantikleru yang artinya olahlah segala hal yang terjadi sedemikian rupa sehingga bisa menumbuhkan suasana yang menyenangkan dan harmonis. " Bebed adalah kain atau jarik yang sedang dikenakan seorang laki-laki pada bagian tubuh sepanjang kakinya. Bebed artinya manusia harus ubed , rajin bekerja, berhati-hati terhadap segala hal yang dilakukan dan tumindak nggubed ing rina wengi artinya bekerjalah sepanjang hari," tulis Hariwijaya. Makna kain jarik sebagai penutup tubuh menjadi istilah bagi orang tua dalam mencari jodoh untuk anaknya. "Dari sisi pakaian, orang dianggap lebih ideal, lebih baik, lebih sopan, seorang bapak yang mencari menantu adalah yang jaritan (kain jarik, ed .). Tapi hal seperti itu sekarang mulai ditinggalkan, pakai jarik atau pakai celana yang pentingpakaiannya sopan," tulis Lusi Margiyani dan Moh. Yasir Alimi (ed.) dalam Sosialisasi Gender: Menjinakkan Takdir, Mendidik Anak Secara Adil . Sementara itu, kain jarik yang membebat tubuh perempuan bermakna bahwa perempuan harus menjaga kesucian dirinya dalam arti tidak mudah menyerahkan diri kepada siapa pun. Di balik makna jarik itu, menurut Hariwijaya, ada perilaku dengan jarik yang tidak sopan dan harus dijauhi, yaitu berselimut kain jarik. "Tidak sepantasnya karena jarik hanya untuk menyelimuti jenazah sebelum dikebumikan," tulis Hariwijaya.

  • Dari Mata Keranjang hingga Mata Ijo

    Istilah Mata Keranjang Ada dua pendapat berbeda. Remy Sylado yakin ini lantaran transliterasi dan transkripsi yang tak konsisten dari huruf Arab gundul ke aksara Melayu. Dalam Arab gundul, mata keranjang tersusun atas huruf mim-alif-ta dengan kaf-ra’-nun-jim-nga . Karena huruf kaf  dan ra'  digandeng, orang membacanya mata keranjang. Mulanya istilah ini untuk menandakan keranjang punya banyak celah yang bisa tembus mata. Tapi ketika Ejaan Yang Disempurnakan resmi digunakan pada 1972, preposisi "ke" terpisah dengan kata di depannya sehingga menjadi "mata ke ranjang". Ini mengasosiasikan mata melihat lawan seks lalu langsung terpikir ke atas ranjang. Pendapat berbeda diutarakan sejarawan Alwi Shahab. Menurutnya istilah ini berasal dari kebiasaan lelaki Jakarta melihat nona-nona Indo bercelana pendek bermain bola keranjang (basket) pada 1950-an. Istilah Hidung Belang Penggunaan istilah hidung belang  terjejaki dari kisah cinta yang tragis Jan Peterszoon Coen, mantan Gubernur Jenderal VOC. Dia mencintai anak tirinya, Sarah Specx. Namun, anak tirinya justru lebih memilih perwira VOC, Pieter Cortenhoeff. Coen, yang melihat anak tirinya berduaan di kamar bersama perwira VOC itu, sontak berang. Dia mencambuk Specx dan menghukum mati Cortenhoeff. Menurut Remy Sylado, sebelum dieksekusi, Cortenhoeff diarak keliling kota. Masyarakat Batavia menghujat dan mencoreng wajah Cortenhoeff dengan arang. Karena corengan arang, yang juga mengenai hidungnya, masyarakat menjulukinya hidung belang. Cortenhoeff si hidung belang. Saat itulah istilah hidung belang mulai dikenal. Menariknya, pemerintah kolonial Belanda pernah menyensor pementasan teater yang mengangkat kisah cinta Coen dan anak tirinya. Soalnya, kisah cinta ini jelas menodai citra sang pahlawan nasional Belanda itu. Mata Ijo Mata duitan Sejarawan Alwi Shahab menyebut sebutan ini bermula dari dekade 1950. Kala itu uang di Indonesia masih dalam pecahan sen. Uang pecahan seratus sen disebut dengan istilah ce-tun atau seperak. Uang seperak ini warnanya hijau, hingga ada istilah " matanye ijo kalo liat duit" . Istilah itu digunakan untuk menyebut orang mata duitan.

  • Ikhwanul Muslimin, PKI, dan D.N. Aidit

    Pada  akhir tahun 1991, melalui kolom surat pembaca di  Al Muslimun  (majalah milik organisasi Persatuan Islam di Bangil), seorang sarjana sejarah bernama Abdul Rojak protes keras kepada Kuntowidjojo. Pasalnya orang yang mengaku sebagai pemerhati sejarah Islam di Indonesia tersebut tidak menerima sang budayawan menyebut “Ikhwanul Muslimin sebagai kepunyaan Partai Komunis Indonesia (PKI)” dalam sebuah bukunya: Paradigma Islam, Intepretasi untuk Aksi . “Saya kecewa. Apa maksudnya Pak Kunto menyebut organisasi Islam terkemuka di dunia tersebut sebagai kepunyaan PKI?” tulisnya. Lama sekali surat itu tak berbalas. Entah karena Kuntowidjojo tak membaca Al Muslimun   atau karena hal lain (terlebih saat itu dia diberitakan sedang sakit keras), yang jelas klarifikasi darinya tak kunjung tiba. Sebulan kemudian, penerangan itu pun muncul juga. Namun bukan Kuntowidjojo yang menjawab melainkan budayawan Ajip Rosidi. Ajip membenarkan bahwa pada era kejayaannya sekitar 1960-an, PKI memang pernah memiliki sebuah sayap agama yang bernama Ikhwanul Muslimin. “Ikhwanul Muslimin di situ memang bukan Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Hasan al Banna dkk di Mesir, melainkan nama organisasi yang memang didirikan oleh PKI, di Indonesia…” ujar Ajip yang menuliskan penjelasan itu saat dia tengah berada di Jepang. Apa yang disampaikan oleh Ajip Rosidi  memang benar adanya. Pasca Pemilu 1955, orang-orang komunis memang pernah berusaha mendekatkan diri dengan Islam. Idham  Chalid dalam buku biografinya: Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid menyebutkan pada 1960-an, Partai Komunis Indonesia (PKI) memang pernah mendirikan organisasi Ikhwanul Muslimin yang berpusat di Solo, Jawa Tengah.  Ikhwanul Muslimin bikinan PKI itu dipimpin oleh KH. Sirat.  Namun menurut ulama terkemuka NU itu, dirinya sangsi  bahwa KH. Sirat  mengerti garis-garis perjuangan PKI yang menggunakan paham marxisme dan leninisme. Dia bahkan meyakini KH Sirat hanya melihat perjuangan PKI sebatas sebagai organ yang melawan penjajajah saat masa perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia. Idham juga menyatakan bahwa lewat salah seorang murid KH. Sirat bernama Ibu Mahmud Damawati dirinya  diberitahu bahwa KH. Sirat sesungguhnya tidak pernah menjadi anggota PKI. “Inilah salah satu pandainya PKI yang berhasil meyakinkan beliau bahwa PKI akan membantu umat Islam…” ungkapnya. Kendati  kerap diidentikan anti agama, namun bila melihat rekam jejak para pemimpin PKI selalu ditemukan hubungan mereka yang  cukup dekat dengan agama. Sebagai contoh sosok pimpinan mereka: D.N. Aidit. Alih-alih tumbuh sebagai seorang yang anti agama, era 1930-an, Aidit muda  malah dikenal sebagai seorang muadzin (tukang adzan) di lingkungan tempat tinggalnya yang terletak dalam wilayah Jalan Belantu, Belitung. “Karena suaranya keras, dia kerap diminta mengumandangkan adzan,”ujar Murad Aidit kepada majalah Tempo edisi 1 Oktober 2007. Murad merupakan salah satu adik Aidit. Putera ketiga dari Abdullah Aidit yang merupakan aktivis partai Islam Masjumi di Belitung. Uniknya, saat Aidit sudah menjadi aktivis PKI pada 1948, dia pun menikahi Soetanti secara Islam. Dan tak tanggung-tanggung, penghulu yang menikahkan mereka adalah KH.  Raden Dasuki, sesepuh PKI Solo! Aidit juga pernah “menyiratkan”bahwa Nabi Muhammad Saw. bukan hanya milik golongan tertentu dan PKI tidak anti agama. Pada 28 April 1954 saat sebagai Sekretaris I PKI ia berpidato di depan kader PKI Malang.  “Nabi Muhammad Saw. bukanlah milik Masjumi sendiri, iman Islamnya jauh lebih baik daripada Masjumi. Memilih Masjumi sama dengan mendoakan agar seluruh dunia masuk neraka. Masuk Masjumi itu haram dan masuk PKI itu halal!”ujarnya seperti dikutip oleh Remy Madinier dalam Partai Masjumi, Antara Godaan Demokrasi dan Islam Integral. Menurut sejarawan asal Prancis tersebut, kata-kata Aidit sontak mendapat respon keras dari para aktivis Masjumi setempat yang langsung mengepung podium tempat Aidit berpidato. Setelah dipaksa oleh Hasan Aidid (Ketua Masjumi Cabang Surabaya), untuk menarik perkataannya, Aidit pun berujar ke khalayak yang mengepungnya: “Apabila diantara saudara ada yang tersinggung oleh ucapan-ucapan saya, maka saya meminta maaf. Saya hanya ingin mengatakan bahwa PKI tidak anti agama,” ungkapnya.

  • Karier Sepakbola Erdogan Penuh Tanda Tanya

    TAHUN 2020 seolah milik Recep Tayyip Erdogan. Setelah pada 10 Juli lalu resmi mengubah status Hagia Sophia dari museum menjadi masjid, kini ia mendapati klub sepakbola yang didukungnya, Başakşehir FK, menjuarai Süper Lig Turki yang tutup musim 2019/2020 pada Minggu (26/7/2020). Saking girangnya, putra kedua Presiden Erdogan, Necmettin Bilal Erdogan, sampai berlarian ke tengah lapangan untuk turut merayakan kemenangan. Başakşehir merupakan klub plat merah milik Kementerian Pemuda dan Olahraga Turki, di dalamnya masih dikuasai Partai Pembangunan dan Keadilan Turki (AKP) yang mengusung Erdogan. Dibesut eks pemain timnas Okan Buruk, klub itu untuk kali pertama menjuarai liga Turki kasta teratas sejak promosi dari kasta kedua, TFF 1. League 11 tahun sebelumnya. Sukses Başakşehir via “jalur” Covid-19 itu sekaligus mematahkan dominasi “ The Big Three ”: Galatasaray SK, Beşiktaş JK, dan Fenerbahçe SK. Ketiga raksasa Turki itu kebetulan juga tengah dibelit persoalan finansial gegara pandemi virus corona , utamanya setelah liga dihentikan sementara pada Maret lalu. Namun, tidak halnya dengan Başakşehir. Klub semenjana ini tak punya problem serupa. Gaji para pemain bintangnya seperti Robinho (eks-Real Madrid), Demba Ba (eks-Chelsea), Martin Škrtel (eks-Liverpool), Eljero Elia (eks-Juventus), Gökhan İnler  (eks-Napoli), dan Gaël Clichy (eks-Arsenal) lancar. Gelar juara tersebut paling ditunggu Erdogan sejak dua tahun silam. “Kami ingin Başakşehir menargetkan gelar juara di liga politik, sebagaimana di liga sepakbola. Jika kita tak berhasil di lapangan hijau, maka kita juga akan lemah dalam pertarungan politik,” kata Erdogan, dikutip Al-Monitor , 16 April 2018. Başakşehir FK merayakan gelar juara Süper Lig Turki musim 2019/2020 (Foto: ibfk.com.tr ) Bukan rahasia bila Başakşehir dijadikan alat politik Erdogan. Klub yang berdiri pada 1990 itu laiknya cabang buat AKP sejak 2014 ketika diambilalih kepemilikannya dari pemerintah kota Istanbul. Presiden klub, Göksel Gumüşdağ, merupakan kader Partai AKP yang masih punya hubungan keluarga dengan istri Erdogan. Salah satu anggota dewan direksinya, Ahmet Ketenci, adalah ipar dari salah satu putra Erdogan. Sebulan menjelang pemilihan presiden 2014, Erdogan rela tampil membelanya dalam sebuah laga eksebisi dalam rangka pembukaan stadion baru di Istanbul, 28 Juli 2014. Dalam laga yang turut diikuti beberapa pejabat, seniman, selebritis, dan sejumlah mantan atlet Turki itu, ia mencetak hattrick (tiga gol). Erdogan kala itu mengenakan jersey oranye bernomor punggung 12 dengan emblem Başakşehir walau timnya bernama Turuncu Takim. Nomor punggung itu resmi dipensiunkan Başakşehir saat merayakan juara musim 2019/2020. Sepakbola Sembunyi-Sembunyi Lahir dari rahim Tenzile Mutlu pada 26 Februari 1954 di perkampungan miskin di Istanbul, Kasımpaşa, Erdogan kecil mesti sudah banting tulang karena keluarganya hidup pas-pasan. Nafkah keluarga hanya seadanya karena ayah Erdogan, Ahmet Erdogan, hanyalah anak buah kapal di feri-feri Istanbul. Erdogan kecil sampai harus membantu ekonomi keluarga dengan menjadi pedangang asongan. Biasanya setelah pulang sekolah Erdogan menjajakan simit (roti khas Turki mirip donat) dan beragam minuman di jalan-jalan kota Istanbul. Satu-satunya kesenangan yang ia punya hanyalah sepakbola yang ia mainkan dengan teman-teman satu sekolahnya di waktu luang. Erdogan mengenang masa lalu sepakbolanya ketika diwawancarai dalam program olahraga NTVSpor yang disitat Daily Sabah , 14 November 2017. Menurutnya, ia memulai petualangan sepakbolanya di usia 15 tahun. “Kami biasanya bermain dengan bola yang terbuat dari kertas di perkampungan kami. Sementara di klub amatir, Erokspor menyarankan saya bermain di Camialtı , salah satu klub amatir top di 1970-an,” tutur Erdogan. Nomor punggung 12 di Başakşehir dipensiunkan untuk sang presiden (Foto: Twitter @ibfk2014) Meski sang ibu tak keberatan Erdogan punya angan-angan jadi pesepakbola, ayahnya tak mengizinkan. Akibatnya, sebagaimana dituliskan John McManus dalam Welcome to Hell? In Search of the Real Turkish Football , Erdogan sampai harus sembunyi-sembunyi untuk bisa tampil di lapangan membela Erokspor dan Camialtı SK di kompetisi amatir. “Saya mencintai sepakbola. Itu menjadi hasrat saya. Angan itu selalu masuk dalam mimpi saya saat tidur malam. Tetapi ayah saya tak pernah memberi izin. Katanya: ‘Sepakbola takkan membuat perut kenyang.’ Tetapi Recep Tayyip muda selalu menentang ayahnya dengan menyembunyikan sepatu sepakbolanya di bunker batubara,” kata Erdogan mengenang, dikutip McManus. Karena main di kompetisi amatir, Erdogan bisa menyambi sepakbolanya dengan sekolah. Walau tak terlalu pintar, Erdogan dikenal sebagai pelajar yang rajin dan punya nilai bagus di pelajaran agama Islam dan olahraga. Seorang tetangga Erdogan yang juga kapten tim semi-pro İETT Spor sampai merekomendasikannya untuk bergabung ke tim yang dimiliki İETT, badan usaha bidang transportasi milik Pemerintah Provinsi Istanbul. Prospek itu benar-benar dipikirkan Erdogan. Pasalnya, sebagaimana dituliskan Patrik Keddie dalam The Passion: Football and the Story of Modern Turkey , Erdogan di bawah panji Camialtı berkembang dengan cukup baik. Dengan keunggulan posturnya, pemain jangkung 185 cm saat berusia sekolah menengah atas itu disebutkan menarik perhatian Fenerbahçe, klub yang diidolakannya sejak bocah. Erdogan termasuk pemain serba bisa lantaran mulanya ia ditempatkan sebagai penyerang, lalu gelandang, kemudian bek. “Erdogan mengklaim bahwa saat bermain untuk Camialtı saat berlaga melawan Kasımpaşaspor di tahun 1973, ia dipantau oleh pelatih Fenerbahçe asal Brasil, Didi (Waldyr Pereira) dan klub memberikan tawaran (kontrak profesional, red ). Tetapi Erdogan mengaku bahwa ayahnya tak membolehkan proses transfer –dia menginginkan putranya fokus pada studinya,” ungkap Keddie. Di masa muda, Erdogan sempat meniti karier di sepakbola amatir dan semi-profesional (Foto: Repro "Onların da Yolu İETTden Geçti") Tapi begitu lulus pada 1970-an dan sudah berhak menentukan jalan hidupnya, Erdogan menghadap ke sang ayah dan menyatakan akan tetap bermain bola di klub yang juga membolehkannya bekerja. Maka tawaran dari tetangganya di İETT Spor diterimanya. Jadi sembari bekerja sebagai karyawan İETT dengan gaji bulanan, Erdogan main untuk klub IETT. “Saya menikmati lima gelar dalam tujuh tahun di İETT. Awalnya saya penyerang, kemudian main di tengah, lalu saya dipindah posisi di belakang sebagai sweeper. Selain posisi kiper, bisa dibilang saya mampu main di posisi mana saja. Sepakbola permainan keras. Tubuh saya terdapat beberapa luka jahit. Bekas lukanya masih tampak. Makanya setiap saya bercermin, saya mengingat masa-masa saya sebagai pesepakbola,” kata Erdogan mengenang. Di Balik Karier Sepakbola Karier sepakbola Erdogan harus berhenti pada 1980. Penyebabnya, Erdogan terlibat percekcokan dengan manajemen baru İETT. Di sisi lain, Erdogan makin sibuk dengan aktivitas politiknya. Sejak 1970-an, Erdogan ikut MTTB, sayap pemuda Partai Keselamatan Nasional (MSP) pimpinan Necmettin Erbakan. Keputusan Erdogan itu disayangkan beberapa rekannya. Walau secara teknik tak menonjol, Erdogan punya kelebihan fisik dan kelugasan bermain yang dibutuhkan untuk menjegal setiap alur permainan lawan. Erdogan juga punya pengaruh besar terhadap penyiapan mental rekan-rekannya dengan acap mengajak shalat berjamaah. “Dia selalu menggelar sajadah dan shalat di ruang ganti. Teman-teman setimnya menyebutnya hoca , guru agama. Seringkali Erdogan dan pelatihnya mengajak tim (shalat berjamaah) ke Masjid Sultan Eyüp dan sering menjadi imamnya. ‘Kami memenangi semua pertandingan yang dimainkan dekat (distrik) Eyüp. Keimanan adalah 50 persen dari kesuksesan’ katanya,” sambung McManus. Sejak keputusan mundur itu, Erdogan benar-benar meninggalkan sepakbola. Ia hanya menikmati sepakbola lewat tontonan semata. “Tetapi setelah kudeta militer di tahun itu juga, Erdogan vakum dari perpolitikan, mengingat MSP dibubarkan. Setelah meninggalkan İETT Spor, ia memilih bekerja di sektor swasta, di industri tekstil,” singkap Soner Çağaptay dalam The New Sultan: Erdogan and the Crisis of Modern Turkey. Erdogan kemudian sempat menjalani wajib militer sebelum masuk kembali ke dunia politik. Karier politik Erdogan melejit sejak 1994 dengan menjadi walikota Istanbul. Ia mendaki tangga politik lebih tinggi dengan menjadi perdana menteri pada 2003, untuk kemudian menjadi presiden (2014). Karier emas Erdogan di semi-pro bersama İETT Spor (Foto: Repro "Onların da Yolu İETTden Geçti") Lantaran penggunaan sepakbola untuk urusan politiknya, gosip-gosip miring tentang benar-tidaknya soal karier sepakbola Ergodang pun bermunculan. Utamanya tentang tawaran dari klub Fenerbahçe yang diklaimnya urung ia ambil gegara tak diizinkan ayahnya. Terdapat beberapa perbedaan detail tentang kariernya dari sumber-sumber berlainan. Oleh karenanya beberapa sumber mengambil “jalan tengah” dengan menyebut ia berkarier di era 1970-an. Dalam wawancaranya dengan NTVSpor , disebutkan ia memulai di klub amatir Erokspor di usia 15 tahun yang berarti ia memulai kariernya di Erokspor pada 1969. Sementara, Keddie menuliskan Erdogan memulai karier amatir di Erokspor pada usia 13 tahun (1967) dan pada 1969 Erdogan baru tampil bersama Camialt ı Spor. McManus mengungkap Erdogan sudah ikut tim Erokspor di usia 11 tahun, seiring ia masuk Sekolah Imam Hatip. Beberapa sumber lain juga terbelah dalam hal usia Erdogan memulai karier amatirnya. Mengenai isu Erdogan nyaris direkrut Fenerbahçe, Keddie menuliskan berdasarkan pernyataan Erdogan bahwa dia mendapat tawaran itu pada 1973 ketika masih membela Camialtı Spor. Pernyataan itu berbeda dari ketika Erdogan diwawancara suratkabar Miliyet jelang pemilihan walikota Istanbul pada 1994, di mana ia menyatakan Fenerbahçe ingin merekrutnya pada 1977 alias ketika ia sudah berseragam İETT Spor. “Disebutkan (di Miliyet ) bahwa dia masuk dalam daftar calon rekrutan Fenerbahçe pada 1977. Itu menguatkan keyakinan sejumlah penulis bahwa catatan historis tentang kariernya dilebih-lebihkan. Apalagi klaim tentang dia hampir bermain untuk The Canaries (julukan Fenerbahçe, red. ) selalu diulang-ulang selama karier politiknya,” tambah McManus. Erdogan di tengah-tengah dua tim dalam laga eksebisi pada 2014 di mana ternyata skill sepakbolanya masih tersisa dengan mencetak trigol (Foto: ibfk.com.tr ) Narasi itu, sambung McManus, dikemas lagi dengan begitu apik lewat biografi karya Haci Hasdemir, jurnalis suratkabar pro-pemerintah Zaman, yang terbit pada 2005, Aman Babam Gormesin: Basbakan Erdogan’in Futbol Macerasi . Menariknya, Hayri Beşer, jurnalis Zaman lain, menyiratkan keraguan lewat tulisannya dalam pendahuluan di buku tersebut: “Ketika membacanya, beberapa orang mungkin berkesimpulan bahwa buku ini adalah anatomi seorang malaikat. Karena petualangan sepakbola Tayyip Erdogan sejak usia 15 nyaris tak bercela.” “Jurnalis dan pemerhati olahraga Mustafa Hoş menyindir buku Hasdemir itu sebagai ‘kitab suci’, membandingkan masa-masa sepakbola Erdogan seperti mencoba membongkar bukti tentang sejarah yang terjadi 100 tahun lalu. ‘Semuanya ambigu dan kontradiktif’ katanya,” papar McManus. Penulis Soner Yalçın dengan lantang menyebutkan bahwa cerita tentang Fenerbahçe terlalu dibuat-buat. Dari penelusurannya, semua sejarawan resmi Erdogan menuliskan tahun yang berbeda terkait kapan dia menerima tawaran transfer itu. Hal yang sama juga terjadi pada fakta siapa pelatih Fenerbahçe yang diklaim tertarik padanya: Waldyr Pereira Didi atau Tomislav Kaloperović. “Yalç ı n juga mengklaim Erdogan menghabiskan dua tahun di Cam ı alti Spor sebenarnya hanya staf asisten perlengkapan dan dia bisa beralih ke lapangan sebagai pemain hanya karena tekanan seorang temannya yang berpengaruh di Kas ı mpaşa kepada pelatih. Hal-hal itu mencuatkan terbelahnya kepercayaan tentang karier sepakbola sang presiden. Tergantung dari mana Anda melihatnya, baik dia sebagai Pelé-nya Kas ı mpaşa atau penipu belaka,” tandasnya.

  • Riwayat Politik Dinasti

    Jelang Pilkada serentak 2020, politik dinasti menjadi sorotan. Paling banyak dibahas adalah majunya putra pertama Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka sebagai calon walikota Solo. Sedangkan iparnya, Bobby Nasution, maju sebagai calon walikota Medan. Putri Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Siti Nur Azizah, juga maju dalam pemilihan walikota Tangerang Selatan, Banten. Ia akan bertarung melawan keponakan Prabowo Subianto, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo. Dalam kontes yang sama, ada Pilar Saga Ichsan sebagai bakal calon (bacalon) wakil walikota Tangsel. Ia adalah putra Bupati Serang Ratu Tatu Chasanah dan keponakan mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah. Masih ada lagi, Hanindhito Himawan Pramono, anak Sekretaris Kabinet Pramono Anung, maju dalam Pilkada Kediri. Irman Yasin Limpo, adik Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo yang maju sebagai balon walikota Makassar. "Ini bukan fenomena tapi juga tradisi," kata Sri Margana, sejarawan Universitas Gadjah Mada, dalam dialog sejarah "Riwayat Dinasti Politik"  live  di saluran Facebook dan Youtube Historia.id , Selasa, 28 Juli 2020. Akarnya bisa ditarik jauh ke masa lalu. Tradisi yang dimaksud Margana itu berawal dari budaya feodalisme di Nusantara yang juga menganut patrimonialisme. "Memang budaya politiknya mengarah ke sana, garis keturunan ayah diutamakan. Hampir semua kerajaan di Indonesia menerapkan tradisi ini, termasuk dari masa Hindu, Buddha, dan Islam," kata Margana. Margana menilai, ada jurang antara jalan politik demokrasi yang dipilih oleh bangsa Indonesia pada masa modern dengan kultur yang dibawa oleh orang-orang yang menjalankannya. Kultur ini tak mudah hilang begitu saja. "Teori bisa kita aplikasikan, institusinya bisa kita bentuk, tapi orang yang mengisi di lembaga-lembaga yang juga menjalankan kekuasaan itu, kulturnya masih feodal," kata Margana. Di Jawa Relatif Lebih Kuat Politik dinasti relatif lebih banyak ditemukan di Jawa dibanding di tempat lain. Margana berpendapat, ini ada hubungannya dengan langgengnya tradisi kerajaan di Jawa. Sudah sejak abad ke-7 orang Jawa terbiasa dengannya. Sumber-sumber dari masa Jawa kuno jelas menyebutkan konsep kekuasaan. Terlihat dari gelar penguasa atau raja. Konsep dewa raja pada zaman Hindu dan Buddha berarti raja memiliki sifat kedewaan. "Maknanya, apapun titah dia harus jadi undang-udang. Jadi absolut, pantang diubah, harus dipatuhi karena dia bukan hanya raja, dia juga dewa yang mengatur rakyatnya," ujar Margana. Dalam politik dinasti garis keturunan menjadi penting bagi seseorang yang ingin menjadi penguasa. Saking pentingnya dalam beberapa kasus raja-raja sampai harus merunut dan menyatakannya di hadapan publik. Seperti disebutkan dalam Prasasti Mantyasih (907). Raja Dyah Balitung menarik urutan raja-raja pendahulunya hingga Sanjaya, raja pertama Mataram Kuno dari Dinasti Sanjaya. Menurut Dwi Cahono, arkeolog dan sejarawan Universitas Negeri Malang, Balitung perlu melakukannya karena ada kemungkinan Balitung naik takhta bukan sebagai putra raja terdahulu. Statusnya adalah menantu yang kawin dengan putri mahkota. Balitung pun memberikan anugerah kepada orang-orang yang berjasa dalam pernikahannya. "Hal ini penting untuk mengingatkan khalayak bahwa dia menantu tetapi tetap memiliki trah panjang raja-raja terdahulu," kata Dwi. Raja Airlangga juga begitu. Dalam Prasasti Pucangan (1041), dia membeberkan silsilahnya hingga Mpu Sindok, raja Medang Kamulan. Dia naik takhta di Medang melalui pernikahan dengan putri Dharmawangsa Tguh, raja terakhir Medang Kamulan. "Sebenarnya ibunya (Airlangga, red. ) punya hak atas takhta di Jawa, tapi dia tidak naik takhta dan malah menikah dengan Udayana di Bali," kata Dwi. Pada masa perkembangan Islam, yakni era Mataram, dikenal konsep Khalifatullah. Artinya raja adalah wakil Tuhan di bumi. Raja-rajanya menggunakan gelar, misalnya Sayidin Panatagama Khalifatullah. "Konsepnya mirip. Sebagaimana dijelaskan dalam buku karya Soemarsaid Moertono dengan melihat kasus Kerajaan Mataram jelas bahwa raja-raja Mataram juga melanjutkan konsep dewa raja," kata Margana. Buku dimaksud berjudul Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau: Studi Tentang Masa Mataram II, Abad XVI sampai XIX. Silsilah juga penting. Garis keturunan sang penguasa dibuat dari dua sisi yang disebut trah mangiwo dan manengen . Trah manengen merunut silsilah penguasa hingga era kenabian. Di Jawa, sering kali dalam suatu silsilah ditemukan nama nabi yang tidak begitu dikenal, misalnya Nabi Sis. Sementara trah mangiwo , silsilahnya diurutkan sampai tokoh-tokoh pewayangan hingga Parikesit, yaitu keturunan Pandawa terakhir. "Artinya tak ada perubahan berarti dalam konsep kekuasaan. Dari kebudayaan Hindu dan Buddha ke Islam budaya politiknya tetap sama," kata Margana. Menurut Margana, orang Jawa mengenal trahing kusuma, rembesing madu, wijiling naratapa, tedaking andana warih. Seseorang untuk menjadi raja harus berdarah bangsawan, yaitu orang-orang yang darahnya merembes dari sultan yang bangsawan, pendeta atau ulama. "Jadi hanya orang-orang itu yang dianggap bisa menjadi pemimpin," kata Margana. Kalau ada yang tidak sesuai kriteria itu tapi naik takhta, maka orang itu mendapat pulung .   "Walau orang kecil tapi mendapat wahyu dari Tuhan maka dia legitimate . Ini cara orang Jawa mengkompromikan sesuatu yang tidak biasa," kata Margana. Kultur ini kemudian dipelihara oleh masyarakat sekarang dalam melihat seorang pemimpin. Kalau bukan seseorang yang dekat dengan bangsawan atau elite, paling tidak ia harus dari kalangan intelektual atau ulama. "Biasanya seseorang yang mempromosikan kandidat, walaupun program ada, visi misi juga punya, tidak kalah penting dikaitkan dengan itu," ujar Margana. "Itu alam bawah sadar." Kembali ke Etika Dengan adanya jurang antara politik demokrasi yang dipilih bangsa Indonesia dengan kultur yang dibawa oleh orang-orang yang menjalankannya, maka politik dinasti sangat mungkin terus terjadi. Apalagi itu bukan praktik ilegal. "Dalam undang-undang tak ada larangan. Masing-masing, setiap orang punya hak sama. Jadi sangat mungkin," kata Margana. Kendati tak persis seperti dipraktikkan pada masa lalu. Namun, dalam kasus Gibran dan Bobby misalnya, ada interpretasi bahwa efek dari sosok Joko Widodo masih berpengaruh. "Jadi, kemungkinan dinasti politik ini akan terjadi tapi dalam tanda kutip. Tidak bisa juga serta merta disebut sebagai dinasti," ujar Margana. Apa yang diharapkan kini adalah kesadaran untuk kembali ke etika berpolitik. "Oke, semua orang berhak dipilih dan mencalonkan diri. Mungkin yang diharapkan ada kesadaran kultural atau etika. Misalnya, saya (Gibran, red .) akan maju setelah Jokowi tidak lagi menjabat," kata Margana. Namun, mengubah kultur politik bukan perkara mudah. Itulah mengapa Sukarno bicara revolusi belum selesai. "Salah satu yang paling penting adalah merevolusi kultur yang masih kolonial dan feodal," kata Margana. "Harus cocok kan, institusinya demokrasi modern, tapi orang yang menjalankan, kulturnya masih feodal." Menurut Margana, salah satu caranya adalah memasukkan pembahasan soal budaya politik Indonesia ke dalam sistem pendidikan. Pendidikan politik seharusnya mengikuti kultur politik yang ada. "Orang yang menguasai kultur politik di Indonesia berarti akan bisa memenangkan pertarungan ini," kata Margana. Penyelenggara Pemilu juga mesti memiliki pemahaman terhadap kultur politik. Termasuk bagaimana sistem pemilihan calon pemimpin bisa memunculkan banyak tokoh alternatif yang bisa dipilih rakyat. "Sejauh mana mereka melihat ini sebagai fenomena yang tidak biasa dalam sebuah demokrasi. Kalau itu dianggap hal biasa matilah demokrasi kita," kata Margana. Pemimpin redaksi Historia.id , Bonnie Triyana yang memandu dialog sejarah, mengatakan adalah mimpi bersama demokrasi Indonesia tidak hanya prosedural, tetapi juga esensial. Semua pihak bisa bertarung dalam kontestasi pemilihan pemimpin di manapun wilayah administrasinya. "Tanpa harus mengandalkan trah, tanpa harus menjual atau berdayakan suatu hal yang justru datang dari masa lalu sehingga membawa kita ke dalam kemunduran praktik demokrasi," kata Bonnie.

  • Kesaksian Hasjim Ning tentang Penyelesaian PRRI

    Ketika sejumlah kolonel di daerah mulai mengeluarkan tuntutan kepada pemerintah pusat pada akhir 1956, Presiden Sukarno berupaya turun tangan mengatasinya lantaran kabinet Ali Sastroamidjojo II maupun Djuanda yang menggantikannya tak kunjung dapat menyelesaikan masalah tersebut. Tindakan Kolonel A. Husein di Padang merupakan bentuk protesnya terhadap pemerintah pusat yang dianggap oleh sejumlah perwira daerah sebagai mengabaikan kepentingan daerah. Sentralisasi pembangunan, pembubaran Divisi Banteng, makin menguatnya PKI setelah Pemilu 1955 dan diperparah oleh mundurnya Moh. Hatta dari kursi wakil presiden menjadi alasan di balik protes tersebut. Begitu mendengar kabar Kolonel A. Husein mengambilalih pemerintahan Sumatera Tengah dari tangan Gubernur Ruslan Muljohardjo, presiden segera mengutus Hasjim Ning, sahabatnya yang merupakan keponakan Bung Hatta. “Katakan pada A. Husein bahwa dia telah aku pandang anakku sendiri. Tindakannya mengambil oper pemerintahan dari tangan gubernur dapat membahayakan negara. Karena mungkin jadi panglima atau komandan militer lainnya akan melakukan hal yang sama. Katakan juga kepadanya bahwa aku tidak bisa melupakan budi baik istrinya, Des,” kata presiden sebagaimana dikutip Hasjim dalam otobiografinya yang ditulis AA Navis, Pasang Surut Pengusaha Pejuang . Hasjim pun langsung bertolak ke Padang esok harinya. Sesampainya di kampung halaman, Hasjim langsung menuju kediaman Husein di Jalan Hatta (kini Jalan A. Yani). Dia disambut hangat tuan rumah. “Dugaanku, melihat kedatanganku A. Husein menyangka aku datang sebagai ‘Raja Mobil’ yang ingin membantu gerakannya. Dan menahan aku agar menginap di rumahnya saja. Mungkin ia menyangka bahwa kedatanganku akan menyampaikan rencana besar lainnya untuk mengambil kesempatan berusaha seperti yang ia lakukan,” sambung Hasjim. Lepas pukul 22.00 WIB, Hasjim pun membicarakan tujuannya menemui Husein adalah diutus Presiden Sukarno. Hasjim menyampaikan semua yang dipesankan Sukarno kepada Husein di depan istri Husein agar menimbulkan kesan bahwa Husein tetap diperhatikan Sukarno, bukan seperti yang selama ini dianggapnya sendiri ditelantarkan pusat. Husein tak menyangka tujuan kedatangan Hasjim itu. Kepada Hasjim, Husein menjelaskan panjang lebar. “Ah, Bung Hasjim, tidak ada pikiranku, apalagi mengangan-angankan untuk memisahkan Sumatera Tengah dari Republik Indonesia. Kami hanya menuntut keadilan dan hak-hak kami kepada pemerintahan Ali. Bukan kepada Bung Karno,” kata Husein. Pembicaraan dilanjutkan Husein dengan menjelaskan program-program Dewan Banteng –bekas Divisi Banteng yang dibubarkan MBAD– yang didirikannya. Husein lalu menitipkan semua penjelasan itu kepada Hasjim agar disampaikan kepada presiden. Permintaan Husein itu membingungkan Hasjim. “Bagaimana aku harus menyampaikan pada Bung Karno bahwa Pak Husein tetap menjunjung tinggi pribadinya selaku presiden?” kata Hasjim bertanya pada Husein. “Aku akan mengirim surat padanya. Surat dari seorang anak kepada bapaknya,” jawab Husein. Begitu Hasjim kembali ke Jakarta sepekan kemudian, surat A. Husein telah lebih dulu tiba ke presiden. Situasi tetap tak mereda meski Kabinet Ali II telah digantikan Kabinet Djuanda. Bercampur dengan konflik internal Angkatan Darat, di mana sejumlah panglima daerah kecewa terhadap kebijakan tour of duty yang diterapkan KSAD AH Nasution, tuntutan daerah makin menguat. Posisi mereka kian kuat setelah beberapa tokoh politik pusat, seperti M. Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara, dan perwira MBAD Kolonel Zulkifli Lubis bergabung. Puncaknya, mereka mengultimatum pemerintah pusat. “Pada tanggal 10 Februari 1958 mereka mengeluarkan ultimatum dari Padang yang menuntut supaya kabinet Djuanda mengundurkan diri dalam tempo lima hari, dan supaya dibentuk kabinet baru oleh Hatta dan Sultan Yogya. Jika tuntutan itu tidak dipenuhi, mereka akan membentuk pemerintah tandingan di Sumatera,” tulis Ulf Sundhaussen  dalam Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI . Kendati tuntutan itu secara resmi dijawab Djuanda-KSAD Nasution dengan pemecatan para perwira daerah pembangkang, sejumlah pihak termasuk Nasution secara pribadi mengirim utusan untuk penyelesaian informal. Presiden kembali mengutus Hasjim menemui Kolonel Husein, PM Djuanda mengutus Mr. Hardi, KSAD Nasution mengutus Bachtar Lubis, Bung Hatta mengutus Baharudin Datuk Bagindo dan Bujung Djalil. Namun tak satupun dari utusan itu yang berhasil. Bachtar Lubis bahkan menyeberang ke kubu Husein. “Sikap yang diambil pemerintah pusat itu memaksa kaum pembangkang untuk melaksanakan ancaman mereka. Pada tanggal 15 Februari di Padang dibentuk Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dengan Sjafruddin Prawiranegara sebagai perdana menteri,” sambung Sundhaussen. Maka sebelum memulai safarinya ke sejumlah negara Eropa esok harinya, presiden menyempatkan diri mampir ke rumah Bung Hatta untuk mendiskusikan penyelesaian PRRI. Meski mengkritik cara penyelesaian PRRI yang diambil Sukarno sebagai bertele-tele, Hatta dengan senang menyambut kedatangan Sukarno. Hatta tetap memandang Sukarno presiden yang sah dan gerakan Husein sebagai tindakan salah karena merupakan putsch militer. Saran Hatta bahwa cara penyelesaian PRRI hendaknya menjauhi penggunaan kekerasan lalu diikuti Sukarno. “Pada hari keberangkatannya, Bung Karno menyampaikan pidato agar sepeninggalnya tidak ada tindakan kekerasan dilakukan, harus diupayakan agar tidak ada pertumpahan darah,” kata Hasjim. Namun sepeninggal presiden, PM Djuanda dan KSAD Nasution menjawab tuntutan daerah dengan operasi militer berbekal UU Keadaan Darurat Perang. PRRI pun ditumpas oleh pasukan yang dipimpin Kolonel A. Yani. Di Eropa, setelah mendiskusikan dengan Jakarta lewat telegram dan mengirim kurir, presiden akhirnya menyetujui cara penyelesaian yang diusulkan Wakasad Gatot Subroto bahwa PRRI/Permesta harus segera diselesaikan dengan melakukan amnesti dan abolisi. Pada 1961, para petinggi PRRI/Permesta termasuk A. Husein menyerahkan diri ke Jakarta.  “Akan tetapi pada suatu pagi, Bung Karno berkata kepadaku, ‘Hasjim, jij tahu, teman jij itu tidak setuju dengan amnesti abolisi itu. Maunya bertempur terus.’ Aku tidak tanyakan siapa yang dimaksud Bung Karno dengan istilah teman jij . Ia itu adalah Jenderal AH Nasution, yang sama-sama mendirikan IPKI dengan aku dahulu,” kata Hasjim.

  • Kasino Sebelum Gabung Warkop

    Kasino Hadiwibowo atau Kasino, sohor sebagai komedian serba-bisa dari grup Warkop Prambors. Dia lincah melawak dalam berbagai logat: Jawa, Betawi, Melayu, dan Mandarin. Dia juga piawai bergitar dan bernyanyi memplesetkan lagu-lagu tenar seperti “Come Together”, “My Bonnie”, “Sukiyaki”, dan “Feeling”.  Kasino dianggap sebagai personel paling kocak di Warkop. Pleseten lagunya bikin orang tergelak. Dia tampil dengan gaya bicara ceplas-ceplos di panggung dan gesit menyampaikan humor tentang kondisi masyarakat. Celetukannya di film pun banyak dikenang. Sebutlah beberapa di antaranya. “Anak orang kaya emang begitu. Kayak duit bapaknya halal aja!”, “Kasino, Putra Gombong, nyogok tidak etis”, atau “Hidup di Jakarta musti lihai. Kalau gak lihai, kita yang dilihaiin orang.” Eddy Suhardi dalam Warkop: Dari Main-Main Jadi Bukan Main mengungkap kebisaan lain Kasino di luar lawak. “Mulai dari sekadar juru bicara, public relations sampai deal bisnis. Kasino pula yang mengatur strategi dan konsep Warkop sebagai sebuah usaha jasa tawa. Singkat cerita, Kasino adalah leader di kelompok ini.” Baca juga:  Warkop, Ini Baru Namanya Mainan Tapi sebelum mencapai semua itu, Kasino melalui berbagai pengalaman yang penuh warna dan belum banyak diketahui orang. Dia lahir di Gombong, Jawa Tengah, pada 15 September 1950 dari pasangan Notopramono dan Kasiyem. Ayahnya pekerja di Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) dan sering berpindah tugas dari satu tempat ke tempat lainnya. Kasino sempat mencicip masa kecil di Padalarang, Bandung, Jawa Barat. Saat duduk di kelas 3 Sekolah Dasar, dia ikut ayahnya pindah ke Jakarta. Ayahnya sangat ketat dan disiplin dalam mendidik anak. Dia berharap anak-anaknya kelak bakal jadi pegawai negeri atau orang kantoran. Pengaruh Bing dan Mang Udel Kasino kecil pandai dalam pelajaran sekolah. Dia paling jago dalam pelajaran berhitung. Tapi di sisi lain, bakat humornya juga menonjol. Kasino mengaku sudah berkarib dengan humor sejak kecil. “Humor memang sudah menjadi bagian hidupku sejak dulu,” kata Kasino dalam “Biografi Kasino Warkop” termuat di majalah Vista , No. 550 tahun 1982. Kasino mempunyai pelawak favorit: Bing Slamet dan Mang Udel, dua komedian andal dari grup Trio Los Gilos. Bersama Mang Cepot, Bing dan Mang Udel mempelopori lawak dengan naskah. Mereka merajai panggung lawak dan siaran radio selama 1950–1960-an. Sebagian orang menyebut Los Gilos sebagai pelopor lawak cerdas. Baca juga:  Los Gilos Pelopor Lawakan Cerdas Bing mahir menirukan suara anak kecil dan Bung Karno. Seluruh tubuhnya bisa menjadi sumber daya penunjang lawakan. Sedangkan Udel jago bermain ukulele dan berpegang pada naskah sebelum dan selama tampil di panggung. Terakhir Cepot, fasih membuat naskah humor yang berangkat dari idiom dan ungkapan masyarakat setempat.  Kasino bilang lebih memperhatikan gaya Bing dan Mang Udel setiap kali mereka tampil. “Kalau Bing Slamet main, ku amati gayanya. Kemudian esoknya dalam panggung kut  Demikian pula Mang Udel, gaya-gayanya yang khas banyak mewarnai penampilanku dalam panggung-panggung sekolah,” lanjut Kasino. Kasino semasa menjadi pelajar sekolah dasar, 1950-an. ( Vista , No. 550 tahun 1982). Selain gemar memperhatikan polah pelawak, Kasino kecil suka bicara ceplas-ceplos. “Apalagi ada orang yang bentuknya agak aneh, rasanya pengen nyeplos saja,” ungkap Kasino. Dia telah terbiasa pula memirip-miripkan polahnya dengan polah orang lain. Misalnya ketika dia punya teman sebaya dengan kaki pengkor dan berjalan pincang. Baca juga:  Dono dan Novel-novelnya Suatu kali Kasino bertemu teman sebayanya di sebuah jalan. Dia mengikutinya dari belakang dengan menirukan cara berjalannya. Maksud hati ingin melucu di hadapan teman-teman lainnya, tapi dia justru kena sial. Saking asyiknya meniru, Kasino tak awas terhadap keadaan sekitar. Ayah si anak tiba-tiba muncul dari belakang. Melihat kepincangan anaknya jadi bahan tiruan, Sang ayah murka. “Karuan saja ditendangnya tubuhku, gusrak jatuh tersungkur. Sambil teriak ampun-ampun minta dikasihani,” kenang Kasino. Kasino merasa masa kecilnya penuh dengan kenakalan wajar. “Sebab masa itu masih murni. Kalau toh nakal, merupakan keindahan tersendiri untuk dikenang,” kata Kasino. Ingat Pesan Ibu Di luar meniru cara berjalan anak berkebutuhan khusus, Kasino pernah menghiraukan larangan orang tuanya berlari naik turun mengejar kereta api yang berjalan. Dia baru kapok dan sadar mengapa orang tuanya melarang perbuatan itu ketika menyaksikan temannya tewas setelah terjatuh dari sambungan kereta.   Menginjak masa remaja, Kasino mulai sering tampil di panggung sekolah. Dia bermain sandiwara bersama teman-temannya ketika ada acara tur sekolah. Biasanya dia tampil membawakan lawakan. Karena lawakan, namanya jadi tenar di antara teman-teman. Baca juga:  Dono dan Artikel-Artikelnya Polah kocak seorang lelaki remaja sering kali jadi jurus ampuh untuk memikat perempuan remaja. Kasino remaja tahu itu. Tapi orang tuanya melarang pacaran atau dekat-dekat dengan lawan jenis. “Pacaran boleh kalau sudah punya penghasilan,” kata Kasino menirukan ucapan ayahnya. Kasino remaja (kiri) bersama kerabat dan kakaknya (kanan). ( Vista , No. 550 tahun 1982). Remaja periang dan usil seperti Kasino sesekali akan melanggar larangan. Dia sempat mencuri-curi kesempatan berdekatan dengan lawan jenis. Tapi sebatas saling lirik dan berpegangan tangan saja. “Anehnya, kalau cewek tersebut saya pegang tangannya, nurut. Tidak dikipatake (ditepis, red .),” ungkap Kasino. Selain sesekali melanggar larangan pacaran, Kasino pernah pula mengabaikan larangan berkelahi dari orang tuanya. Dia sebenarnya bukan tukang kelahi. Tapi situasi membuatnya tak bisa menghindar dari perkelahian. Ceritanya ada tukang palak di dekat sekolahnya. Dia tak suka orang minta uang pakai cara begitu. “Terpaksa ku lawan. Terjadi pergumulan seru mempertahankan duit,” cerita Kasino. Baca juga:  Dono Mahasiswa Kritis Ujungnya Kasino tak pernah berkelahi lagi. Dia berupaya keras memegang teguh pesan ibunya. “ Wong ngalah iku duwur wekasane ,” kata sang ibu kepadanya. Artinya, orang mengalah itu tinggi harkatnya. Alasan lainnya, Kasino tak mau kena tempeleng ayahnya. Menurutnya, kalau dia ketahuan terlibat perkelahian, ayahnya akan lebih dulu mengoreksi tingkah laku anaknya dengan memukulnya.   Berdandan ala Hippies Masa remaja Kasino sebati dengan masa maraknya demonstrasi pelajar anti-Sukarno dan anti-PKI. Mereka tergabung dalam Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI). SMP tempat Kasino belajar tak luput pula dari pergolakan ini. Kegiatan belajar terganggu. Orang tua Kasino melihat tensi politik di Jakarta kurang baik bagi rencana masa depannya untuk Kasino. Mereka memindahkan putranya ke Cirebon agar tetap bisa belajar. Di sana dia memperoleh pelajaran membaca al-Qur’an dari guru ngaji. “Hampir setiap malam sehabis belajar aku berhadapan dengan kitab Al-Qur’an,” kata Kasino. Baca juga:  Kelucuan Dono di Luar Film Cirebon memberikan pengalaman baru lainnya kepada Kasino. Dia mulai berkesempatan mempelajari alat-alat musik. “Saya menjadi pemain band, pegang rhythm, dan menyanyi,” kata Kasino. Dia sering memainkan lagu-lagu band kebanggaannya, The Beatles, saban ngeband. Saat itu kekuasaan Sukarno sudah melemah dan pengawasan terhadap musik-musik Barat melonggar. Kasino (tengah) sepulang dari mengaji di Cirebon sekira 1965. ( Vista , No. 550 tahun 1982).  Situasi Jakarta berangsur pulih setelah huru-hara politik yang panjang. Sekolah kembali normal dan Kasino balik lagi bersekolah di Jakarta. Masa-masa awal Orde Baru sangat menyenangkan untuknya. Seiring kejatuhan rezim Sukarno, benteng terhadap penetrasi budaya Barat ikut roboh. Nilai-nilai baru dari Barat menerobos dan menyebar masuk ke Indonesia ibarat virus. Para remaja Indonesia ketularan gerakan generasi bunga ( flowers generation ). Tak terkecuali Kasino. Dia kini tampil dengan setelan ala hippies , sebuah tatanan hidup baru anak muda di Amerika Serikat. Baca juga:  Virus Kaum Hippies “Dengan topi ala Bali, jaket klewer-klewer penuh gambar bunga hilir mudik naik motor. Kalau sudah begitu, urutan kalimat ngaji mulai lupa lagi,” kata Kasino. Tapi dia tak meniru semua gaya hidup Hippies . “Aku tak pernah sama sekali melibatkan diri dalam urusan narkotik,” terang Kasino. Meski penampilannya urakan, otak Kasino tetap cemerlang. Dia berhasil menembus jurusan Administrasi Niaga Fakultas Ilmu Sosial Universitas Indonesia. Kelak di kampus ini, dia bertemu dengan Nanu, Rudi Badil, Dono, Temmy Lesanpura, dan Indro. Pertemuan yang mengubah harapan orang tuanya dan jalan hidupnya sendiri.

  • Awal Invasi Narkotika ke Indonesia

    Baru-baru ini, model papan atas Catherine Wilson berurusan dengan pihak berwajib karena penyalahgunaan obat-obatan terlarang. Perempuan yang akrab dipanggil Keket  itu terciduk setelah polisi menemukan sepaket sabu-sabu dikediamannya. Saat diperiksa, Keket positif menggunakan metamfetamin, jenis psikotropika golongan II. Nama Catherine Wilson menambah daftar panjang selebritis tanah air yang terjerat kasus narkotika. Selebritis dan kehidupan bebas ibarat satu paket. Salah satu rupa gaya hidup bebas itu  mewujud dalam pemakaian narkotika. Dari masa ke masa, cukup banyak seniman maupun artis yang dikenal sebagai pemakai narkotika. Tidak sedikit pula yang meninggal karena overdosis. Zat candu berbahaya ini terdiri dari narkoba, psikotropika, dan obat-obatan terlarang  Di luar kebutuhan medis, narkotika adalah barang haram. Namun, sejak kapan penyalahgunaan narkotika mulai marak di Indonesia? “Masuknya narkoba modern ke Indonesia itu mulai awal tahun 70-an,” ujar Tama Bara Sakti, arsiparis di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) kepada Historia .     Generasi Bunga Situasi global pada dekade 1970-an melahirkan generasi yang disebut kaum hippies. Mereka dikenal sebagai generasi antikemapanan yang menolak nilai-nilai konservatif Amerika. Gelombang protes terhadap keterlibatan Amerika dalam Perang Vietnam pada 1960-an jadi momentum kemunculan hippies. Simbol mereka adalah bunga sehingga kerap disebut sebagai generasi bunga ( flower generation ). Kaum hippies identik dengan gaya hidup bebas, seperti aktivitas seks bebas dan konsumsi obat-obatan terlarang. Love, Peace, and Freedom (Cinta, Perdamaian, dan Kebebasan) adalah semboyan hippies yang terkenal. Grup band pop Inggris The Beatles dan gitaris rock kesohor Amerika Jimi Hendrix adalah musisi yang mendukung dan berpenampilan ala hippies. Jimmi Hendrix bahkan meninggal akibat overdosis obat penenang jenis barbiturat pada 1970. Budaya hippies lalu mengular ke sejumlah negara, termasuk Indonesia. Anak-anak muda, yang mengalami depolitisasi sejak awal Orde Baru, menyerap mentah-mentah budaya hippies kendati hanya kulitnya. Penetrasi kultur pop ini terutama menyasar kaum muda di kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung. Menurut Ekspres , 7 Juni 1971, mulanya anak-anak muda di negeri ini meniru hanya sebatas mode. Lama-lama mereka menyaplok habis budaya dan kehidupan hippies, seperti rambut gondrong, dandanan eksentrik, suka pesta, dansa telanjang, dan seks bebas. Yang paling membuat keadaan menggawat adalah penggunaan narkotika, ganja, dan morfin. Kepala kepolisian RI, Jenderal Hoegeng Iman Santoso turut prihatin menyaksikan anak-anak muda yang terjerumus dalam penyalahgunaan narkotika. Hoegeng mengakui invasi narkotika di Indonesia bersumber dari situasi global yang menyerang kalangan muda. Selain itu, menurut Hoegeng ancaman narkotika tidak luput dari persoalan domestik.     “Banyak anak-anak orang kaya yang mengalami broken home mencoba melarikan diri dari kepahitan hidup dengan jalan menjadi pecandu ganja, heroin, dan narkotika,” ujar Hoegeng kepada Abrar Yusra dalam otobiografi Hoegeng, Polisi: Idaman dan Kenyataan yang disusun Ramadhan K.H. Lahirnya Undang-Undang Narkotika Menurut Hoegeng kekhawatiran terhadap ancaman narkotika cukup beralasan. Apalagi letak geografis Indonesia tidak jauh dari kawasan penghasil narkotika alami jenis ganja. Kawasan yang dimaksud Hoegeng adalah Indocina yang disebut-sebut sebagai segitiga emas daerah ganja. Lagi pula, Asia Tenggara merupakan daerah tropis dimana narkotika alami seperti ganja bisa tumbuh subur. Selain itu, pemasokan narkotika dilakukan lewat cara penyelundupan. “Mobilitas transportasi yang kian berkembang, memudahkan narkotika masuk ke Indonesia,” kata Tama, “bisa dilihat dari kasus-kasus tahun 70-an yang melibatkan pemalsuan paspor.” Peredaran narkotika ditengah masyarakat generasi muda meluas dengan cepat. Tempat-tempat hiburan seperti klub malam jadi tempat rujukan transaksi narkotika meskipun ada juga pedagang rokok jalanan menyambi jualan ganja kecil-kecilan. Dari kota besar ke kota kecil. Dari kalangan menegah ke atas, lantas golongan ekonomi lemah pun jadi ikut-ikutan mencicip barang terlarang itu. Semuanya bermula dari rasa penasaran, coba-coba, lalu terjerumus pergaulan.   Menurut berita Kompas , 10 Juli 1975, pecandu narkotika di Indonesia mencapai 5000 orang. Para pecandu itu menghabiskan uang sebesar 10,8 milyar rupiah untuk memuaskan candu mereka terhadap berbagai jenis narkotika. Karena kelangkaannya narkotika menjadi barang  yang mahal. Pada masa itu 1 kilogram morfin, narkotika semisintesis yang lebih dikenal dengan nama putaw dihargai sebesar 15 juta rupiah. Nilai yang cukup fantastis untuk menebus candu.  Sebagai bandingan, harga sekilogram beras pada tahun 1975 senilai 45 rupiah.   Memasuki 1976, kepolisian menggelar operasi besar-besaran untuk memberantas penyalahgunaan narkotika. Langkah awal dilakukan lewat “Operasi Gurita” pada 21 April–3 Juni. Namun, upaya itu masih belum cukup menekan laju peredaran narkotika. Hingga pertengahan 1976, jumlah korban narkotika di Jakarta saja mencapai 10.000 orang. Sayangnya, belum ada pisau hukum yang cukup tajam untuk menguliti kasus-kasus penyalahgunaan narkotika. Hal inilah yang kemudian mendorong pemerintah meregulasi narkotika ke dalam undang-undang. Maka pada 26 Juli 1976, pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Dengan adanya undang-undang itu, pemerintah memberikan wewenang pengolahan narkotika hanya kepada otoritas kesehatan dan medis. Menteri kesehatan, misalnya dapat memberikan izin khusus kepada apotek, dokter, rumahsakit, maupun lembaga ilmu pengetahun dan pendidikan yang memerlukan bahan narkotika untuk kepentingan pengobatan. Sementara itu bagi mereka yang tidak berwenang, si penyalahguna narkotika dapat dipidana bahkan dengan ancaman hukuman mati. “Penegakan hukum (kasus penyalagunaan narkotika) bisa dilakukan jika ada dasarnya. Dengan adanya Undang-Undang Narkotika itu, aparat hukum leluasa melakukan penindakan,” pungkas Tama.

  • Meredam Murka Gunung Kelud

    Lapisan abu vulkanis setebal 10 cm menutup lantai bata Situs Petirtaan Geneng di Brumbung, Kepung, Kediri. Tim dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur mulai menggali situs ini pada awal Juli 2020. Telah berabad lamanya petirtaan ini terkubur oleh aktivitas vulkanis Gunung Kelud yang berada di dekatnya. "Termasuk bencana banjir yang menerjang membuat sebagian struktur bangunan pemandian suci itu runtuh," kata Wicaksono Dwi Nugroho, arkeolog BPCB Jawa Timur, dalam webinar "Bencana Alam dan Jejak Peradaban Abad 12-14 M" yang diadakan Teknik Geofisika ITS. Di situs ini ditemukan bongkahan batuan andesit yang diduga terlontar dari perut Kelud. Dorongan dari dalam tanah telah merusak struktur gapura. Sepertinya situs ini memiliki gapura paduraksa yang beratap. "Jelas akibat letusan Gunung Kelud, karena letaknya di Kecamatan Kepung, yang merupakan kecamatan terakhir, yang paling dekat dengan aktivitas vulkanis dari Gunung Kelud,"  kata Wicak sono . Di wilayah situs ini juga ditemukan dua prasasti. Prasasti Geneng I menyebut nama Geneng sebagai desa perdikan. Prasasti ini dikeluarkan oleh Raja Bameswara pada 1128 dari masa Kadiri. Sedangkan Prasasti Geneng II dikeluarkan oleh Tribhuwanattunggadewi pada 1329 juga tentang desa bebas pajak terkait keberadaan bangunan suci pemujaan. Selain prasasti, ditemukan pula arca Brahma, Dwarapala, dan yoni. "Saya belum lihat literatur kenapa lokasi ini mendapat perhatian dari masa Kadiri maupun masa Majapahit," kata Wicaksono. "Tapi ini menunjukkan adanya kompleks percandian yang lebih luas, petirtaan yang kini ditemukan adalah bagian dari kompleks candi ini." Situs Petirtaan Geneng diduga terpendam sebelum tahun 1800-an atau 1700-an. Wicaksono memperkirakan letusan hebat Gunung Kelud pada 1500-an yang merusak situs ini. Pasalnya, situs ini masih tercatat dalam prasasti pada abad ke-14. Namun, keberadaannya tak muncul dalam catatan kolonial Inggris maupun Belanda. Padahal pernah terjadi letusan besar Gunung Kelud pada 1919. "Bila ia tertimbun tahun ini, tak mungkin," ujar Wicaksono. "Ada catatan registrasi tinggalan kuno di Jawa oleh Belanda dan Gubernur Jenderal Raffles pada 1800-an. Kalau terpendam pada 1919 harusnya situs-situs ini masuk dalam catatan mereka." Temuan Situs Petirtaan Geneng menambah deretan tempat pemujaan kuno yang dibangun di kaki Gunung Kelud. Pemujaan ini diyakini sebagai salah satu upaya meredakan amarah Kelud. Berkawan dengan Bencana Peradaban yang dibangun di sekeliling Gunung Kelud harus berdampingan dengan bancana yang ditimbulkannya. Amien Widodo, peneliti Departemen Teknik Geofisika ITS, menjelaskan letusan Gunung Kelud sebelum tahun 1920 dikenal dengan letusan lumpur atau banjir bandang. Pemerintah Belanda sampai membangun terowongan, yang selesai tahun 1924, untuk mengurangi ketinggian air danau kawah. "Sebelum itu kalau meletus dikenal dengan letusan lumpur atau banjir bandang," ujar Amien. "Sebelum meletus didahului banjir bandang. Peradaban masa lalu mereka berhadapan dengan hal-hal ini." Menurut Dwi Cahyono, dosen sejarah dan arkeolog dari Universitas Negeri Malang, dalam "Vulkano-Historis Kelud: Dinamika Hubungan Manusia-Gunung Api" yang terbit di Kalpataru (2012), masyarakat kuno melakukan pendekatan terhadap alam baik secara teknis maupun religi. "Sebagai warga yang agamis, pendekatan terhadap alam dilakukan bukan semata dengan teknis-teknologi, namun juga dengan pendekatan religi sesuai dengan keyakinannya," tulis Dwi. Aktivitas vulkanis Gunung Kelud tercatat rinci dalam Serat Pararaton. Naskah ini mencatat bencana gunung meletus yang pertama terjadi pada 1233 Saka (1311). Lalu peristiwa tumuli guntur – pabanyu – pindah i saka 1256 (gemuruh lahar dingin pada 1334). Peristiwa ini juga tercatat dalam Nagarakrtagama sebagai letusan yang menandai kelahiran Hayam Wuruk. " Guntur bisa juga digunakan untuk menyebut banjir bandang yang membawa material vulkanis. Bukan hanya membanjiri, tetapi sekaligus menimbun area sekitarnya," tulis Dwi. Selanjutnya peristiwa gunung baru pada 1298 Saka (1307).Gunung meletus lagi pada 1395, 1421, 1451, 1462, dan 1481. Pararaton ,  Nagarakrtagama , dan naskah Tantu Panggeralan yang ditulis sekira abad ke-14, menyebut nama gunung itu Kampud. "Kapan nama Kelud mulai digunakan tidak diketahui dengan pasti, harusnya terjadi sejak atau setelah abad ke-15 M," tulis Dwi. Pendekatan Teknologi dan Religi Berdasarkan Prasasti Harinjing B (921), masyarakat berupaya mengatasi aliran lahar dingin dari Gunung Kelud dengan membuat bendungan ( dawuhan ) dan sodetan pada Sungai Konto yang nama kunonya Bhagawanta. Selain secara teknis, mereka juga mencoba meredam murka alam lewat pemujaan. Banyak peninggalan benda sakral sebagai tempat dan perangkat upacara keagamaan di lereng dan lembah Gunung Kelud, baik di wilayah Blitar maupun Kediri. "Ini memberikan petunjuk bahwa salah satu pendekatan yang mereka lakukan dalam upaya meredam murka Kelud adalah dengan ritus religio-magis," tulis Dwi. Gunung api ini dijadikan kiblat dari bangunan-bangunan suci yang berada di lereng dan lembah. Misalnya Candi Sawentar I dan II, Waringin Branjang, Sumbernanas, Sumberagung, dan Ndorok. Paling utama adalah Candi Palah atau Candi Panataran. Di puncaknya bersemayam dewa yang disebut Prasasti Palah (1197) sebagai Bhattara Palah. "Candi Palah yang kini disebut Candi Panataran merupakan tempat pemujaan bagi Gunung Kelud,"  tulis Dwi. Dwi menyebut ada hubungan antara Kelud sebagai gunung api dengan Dewa Siwa sebagai dewa penghancur. "Justru lantaran sifatnya ini, pemujaan terhadap dewa yang bersemayam di puncak Kelud menjadi penting artinya, yakni agar manusia terhindar dari murka alam, dan sebaliknya mendapat berkah daripadanya," tulis Dwi. Candi-candi itu memiliki fungsi khusus untuk memuja dewa tertentu sebagai dewa utama. Namun, dalam hal ini mereka mempunyai fungsi tambahan, yaitu memuja dewa di puncak Kelud. "Mengingat sebagian besar warga Blitar dan Kediri timur sangat berkepentingan terhadap Gunung Kelud, baik berkah ataupun bencana," tulis Dwi. Cara lama ini tak sepenuhnya ditinggalkan. S eperti tampak pada tradisi larung sesaji ke kawah Gunung Kelud.

  • Menentang Pajak Hewan Kurban Hindia Belanda

    Permulaan abad ke-20, pemberontakan besar terjadi di Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Barat. Kemarahan rakyat itu dipicu oleh sebuah peraturan yang dikeluarkan pemerintah kolonial Belanda terkait Hari Raya Idul Adha: setiap hewan kurban dikenakan pajak perseorangan. Jika pajak tidak dibayarkan pada waktu tertentu, maka hewan-hewan kurban itu akan disita, atau dimusnahkan. Perlawanan rakyat NTB terjadi  pada 1908. Di dalam penelitian Lalu Wacana, dkk, Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Nusa Tenggara Barat , disebutkan bahwa pemberontakan itu dipicu oleh pelanggaran perjanjian yang dilakukan Belanda, serta ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintahan Sultan Ibrahim, raja Kesultanan Bima (1881-1915). Tahun 1908, terjadi pembaharuan perjanjian antara Belanda dengan Kesultanan Bima. Isinya: pengakuan Sultan Ibrahim atas kedaulatan Belanda di wilayah NTB, dan perjanjian untuk tidak melakukan kontak dengan orang-orang kulit putih lain selain Belanda, serta bersedia memberi bantaun kapanpun dibutuhkan pihak Belanda. “Sedangkan sesuai dengan pasal surat perjanjian tersebut, pemerintah Belanda akan tetap menghormati adat-istiadat yang berhubungan dengan hari raya Idul Fitri, hari Raya Idul Adha, dan Maulud yang berlaku di Kesultanan Bima,” tulis Wacana, dkk. Meski ditentang oleh banyak pihak, Sultan Ibrahim tetap menandatangani perjanjian tersebut. Gubernur Jenderal J.B. van Heutsz di Batavia juga ikut menyutujuinya. Sebagai bentuk kekecewaan bangsawan Bima memilih keluar dari wilayah kesultanan. Perlahan mereka menghimpun kekuatan rakyat untuk memberontak. Namun belum lama perjanjian itu disahkan, pemerintah Belanda sudah berbuat ingkar. Mereka menarik berbagai macam pajak kepada rakyat, seperti pajak hewan, pajak tanah, dan pajak kepala. Para kolonialis juga melanggar beberapa hukum adat dan hukum agama. Termasuk ketika mereka membebani pajak terhadap hewan yang biasa digunakan untuk kebutuhan ritual Idul Adha. Juga pajak tanah yang dipakai untuk upacara adat. Jika tidak bisa membayar, hewan dan tanah milik rakyat akan dirampas sebagai bayaran. “Rakyat Bima yang secara turun-temurun mengikuti perundang-undangan berdasarkan hukum Islam, tidak mau menerima perundang-undangan baru yang didasarkan perundang-undangan hukum Hindia Belanda, maka golongan bangsawan yang tidak senang kepada Belanda bersama-sama rakyat meminta pertanggung jawab Sultan Ibrahim,” ungkap Wacana. Sultan Ibrahim yang melihat gelagat para bangsawan Bima segera melaporkannya sebagai upaya pemberontakan kepada pemerintah Belanda. Situasi panas di kesultanan membuat pemerintah Belanda di Batavia mengirim bala bantuan ke Bima. Perang besar pun tidak dapat dihindari. Perang berlangsung di Ngali, salah satu desa di Kecamatan Belo, sebelah tenggara teluk Bima. Menurut Susanto Zuhdi dan Triana Wulandari dalam Kerajaan Tradisional di Indonesia: Bima , serangan ke Ngali oleh pihak Belanda diartikan sebagai upaya menegakkan wibawa sultan. Terutama ketika utusan sultan ke Ngali ditolak oleh rakyat. Di situlah awal mula pecahnya perang. Perjuangan rakyat Ngali dipimpin oleh Abas Daeng Manasa, dan golongan alim ulama: Haji Yasin, Haji Said, dan Syekh Abdul Karim. Sementara musuh menggempur dengan kekuatan penuh, lebih dari 1000 pasukan, dari darat dan laut. Perbedaan jumlah, serta kualitas persenjataan tidak mengecilkan nyali rakyat Ngali. Mereka dengan gigih terus mengangkat senjata. “Selama tiga hari tiga malam mereka melakukan takbir keliling desa tanda dimulainya perang sambil melawan pemerintah Belanda. Takbir dan Tahlil inilah yang mereka pakai untuk mengobarkan semangat rakyat yang sudah meluap-luap menanti kedatangan serangan Belanda. Mereka bertekad untuk mati syahid di jalan Allah,” tulis Wacana, dkk. Rakyat Ngali akhirnya menyerah setelah Belanda mendapat sejumlah besar pasukan dari Sulawesi. Kekuatan yang tidak berimbang, serta hancurnya pertahanan di pemukiman Ngali membuat perlawanan di Ngali akhirnya terhenti. Pimpinan pemberontakan dibawa ke hadapan sultan, dan masing-masing dijatuhi hukuman, termasuk membayar denda 70 ekor kerbau jantan. Pemandangan serupa juga terlihat di Sumatera Barat tahun 1908. Keputusan pemerintah Hindia Belanda menaikkan jumlah pajak mendapat tentangan dari rakyat Minang. Khairul Jasmi dalam Inyiak Sang Pejuang , menyebut jika pemerintah Belanda melanggar peraturan tentang pajak dalam Plakat Panjang 1833. Alih-alih menjalankan peraturan, mereka malah lebih memberatkan pajak kepala dan pajak hewan ternak, termasuk hewan kurban. “Yang menjadi sebab pemberontakan itu ialah peraturan yang diadakan oleh pemerintah Hindia Belanda yang mewajibkan rakyat Minangkabau membayar pajak langsung,” kata Mohammad Hatta dalam otobiografinya, Untuk Negeriku .

  • Inggris Menjarah Keraton Yogyakarta

    Keturunan Sultan Hamengkubuwono II menuntut pemerintah Inggris mengembalikan harta Keraton Yogyakarta yang dijarah saat penyerangan Inggris pada 1812 yang disebut Geger Sepoy atau Geger Sepehi. Menurut mereka, totalnya mencapai 57.000 ton emas. Tuntutan itu disampaikan Sekretaris Pengusul Pahlawan Nasional Sultan Hamengkubuwono II, Fajar Bagoes Poetranto. "Kami meminta agar emas tersebut dikembalikan kepada pihak keraton atau para keturunan dari Sinuwun Sri Sultan Hamengkubuwono II," katanya dalam keterangan tertulis, Sabtu (25/7), dikutip Kumparan.com . Jumlah 57.000 ton emas dipertanyakan oleh Poltak Hotradero, kepala divisi riset di Bursa Efek Indonesia. Poltak mencuit lewat akun twitter -nya: “Emas yang pernah ditambang sepanjang sejarah manusia cuma 190 ribu ton. Gimana bisa seperempatnya ada di Jawa?” Sejarawan Inggris, Peter Carey mengungkapkan, Inggris mengerahkan ribuan pasukan menyerang Keraton Yogyakarta pada 20 Juni 1812. Kedatangan mereka ke keraton tidak terdeteksi karena fajar belum datang. Serangan hanya berlangsung tiga jam, dari pukul 05:00 sampai 08:00. Keraton Yogyakarta ditaklukkan dan Sultan Hamengkubuwono II ditangkap lalu diasingkan ke Pulau Pinang (Penang, Malaysia, red .). Inggris hanya kehilangan 23 orang dan 78 orang terluka. Sedangkan di pihak Keraton Yogyakarta jatuh ribuan korban jiwa. Menurut Peter Carey, tentara Inggris-Sepoy menjarah keraton besar-besaran. Peti berisi harta benda dari keraton hilir mudik diangkut dengan gerobak melalui alun-alun sampai empat hari lamanya. Barang jarahan diangkut ke kepatihan. Lalu semua yang berharga seperti manuskrip dibawa ke Rustenburg (keresidenan). Hasil jarahan dibagikan di antara para perwira. Total nilai jarahan itu sekarang lebih dari 120 juta dolar AS. Peter Carey pun menyebut Inggris sebagai pencuri aset Indonesia nomor wahid. Bahkan, penjarahan dilakukan pada korban yang dihabisi secara brutal sebagaimana terungkap dalam babad Bedhah ing Ngayogyakarta (1816) karya Pangeran Panular, putra Sultan Hamengkubuwono I dari istri selir. Dalam babad itu disebutkan bahwa Pangeran Sumodiningrat, keturunan sultan pertama dan panglima pasukan Yogyakarta, dibunuh pasukan yang dipimpin oleh John Deans, sekretaris Keresidenan Yogyakarta. Pakaian Sumodiningrat dilucuti dan badannya dimutilasi. "Lehernya ditebas. Anak buah John Deans lalu mempreteli semua pakaian dan perhiasan yang dipakai Sumodiningrat," kata Peter Carey. Barang jarahan lainnya di antaranya dua set gamelan yang dibeli oleh Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles. Harga seperangkat gamelan kala itu berkisar 1.000–1.600 dolar Spanyol. Di samping itu, Raffles pernah menghadiahkan Prasasti Sangguran (982) kepada Gubernur Jenderal di India, Lord Minto, karenanya disebut Minto Stone. Raffles menerimanya dari Kolonel Colin Mackenzie. Lebih dari 200 tahun prasasti itu berada di halaman belakang rumah keluarga Lord Minto di Skotlandia dalam keadaan tertutup lumut dan lapuk. Satu lagi, Prasasti Pucangan (1041) atau Calcutta Stone disimpan tak terawat di Museum India. Kemungkinan Mackenzie menemukan prasasti itu di wilayah Mojokerto pada Maret 1812 lalu membawanya ke Surabaya melalui Kali Mas. Prasasti itu termasuk barang-barang yang dibawa Mackenzie ke India pada Juli 1813. Pemerintah Indonesia telah berusaha membawa pulang prasasti itu sejak tahun 2004 , tapi belum berhasil. Inggris juga membawa naskah-naskah kuno milik Keraton Yogyakarta. Manuskrip itu kemudian didigitalisasi oleh British Library. Pada 5 Maret 2019, pemerintah Inggris mengembalikan 75 manuskrip kepada Keraton Yogyakarta, tapi versi digitalnya. "Jadi 75 naskah Jawa kuno sudah dipulangkan secara digital ke Indonesia. Secara fisik mungkin sulit karena dalam koleksi British Library," kata Moazzam Malik, Duta Besar Inggris untuk Indonesia, dikutip Kumparan.com . Sementara itu, pada November 2019, Belanda mengembalikan 1.499 benda bersejarah koleksi Museum Nusantara, Delft, kepada Indonesia. Yang menarik perhatian adalah pengembalian keris milik Pangeran Diponegoro yang secara simbolis diserahkan langsung oleh raja dan ratu Belanda kepada Presiden Joko Widodo. Pengembalian barang bersejarah hasil jarahan, pemberian, dan pembelian itu yang terbesar sepanjang sejarah. Pengembalian barang-barang bersejarah itu dipicu oleh dekolonisasi yang dicetuskan oleh Presiden Prancis Emmanuel Macron dalam pidatonya di Universitas Ougadougou, Burkina Faso, 28 November 2017. Macron mencetuskan gagasan dekolonisasi itu dalam rangka membuka lembaran baru dalam hubungan internasional di kawasan Afrika. Salah satu poinnya bahwa benda-benda bersejarah Afrika sudah semestinya dikembalikan para mantan kolonialis. Macron menjanjikan Prancis akan mengembalikannya dalam jangka waktu lima tahun. Belanda merespons gagasan dekolonisasi itu. "Wacana repatriasi kali ini datang dari Belanda karena di Eropa muncul banyak desakan mengenai repatriasi benda-benda budaya milik negara-negara koloni, baik itu Prancis, Inggris, maupun Belanda," kata Sri Margana, sejarawan Universitas Gadjah Mada, kepada Historia.id . Dalam rangka dekolonisasi, akankah pemerintah Inggris menanggapi tuntutan dari keturunan Sultan Hamengkubuwono II agar mengembalikan harta jarahan yang katanya sebanyak 57.000 ton emas?

  • Hagia Sophia dan Keteladanan Sahabat Rasulullah

    SERUAN adzan berkumandang dari menara Hagia Sophia di Istanbul, Turki, untuk pertamakali dalam 86 tahun pada Jumat siang, 24 Juli 2020. Bangunan megah dan bersejarah berusia 1483 tahun di tepi Selat Bosphorus itu resmi kembali jadi masjid usai ditetapkan Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan 14 hari sebelumnya. Hagia Sophia dibangun tahun 537 sebagai katedral umat Kristen Ortodoks Yunani kala Istanbul masih bernama Konstantinopel, ibukota Kekaisaran Byzantium (Romawi Timur). Pada 1204, ia beralih fungsi menjadi katedral Katolik Romawi di rezim Kaisar Baldwin I. Seiring jatuhnya Konstantinopel ke tangan Kesultanan Utsmaniyah (Ottoman) pada 29 Mei 1453 dan adanya kebutuhan Sultan Mehmed II untuk melaksanakan shalat Jumat di hari itu, katedral itu diubah fungsinya menjadi masjid. Hampir semua simbol Nasrani berupa relic , atribut, dan ornamen ditanggalkan dan diganti simbol-simbol keislaman, kecuali mozaik di langit-langit kubah yang dijadikan mihrab oleh Mehmed II. “Kebanyakan mural-mural dan mozaik-mozaik di gereja-gereja ditutupi lapisan cat putih. Akan tetapi untuk alasan tertentu, Sultan memberi perintah bahwa mozaik Bunda Maria di langit-langit kubah diberi pengecualian. Sampai ratusan tahun kemudian mozaik itu sekadar ditutupi tirai,” tulis Franz Babinger dalam Mehmed the Conqueror and His Time , sebagaimana saat ini ketika Hagia Sophia kembali dijadikan masjid, mozaik-mozaik itu kembali ditutupi tirai, khususnya di waktu-waktu shalat. Baca juga: Teror di Masjid Al-Noor Shalat Jumat untuk kali pertama didirikan di Hagia Sophia setelah 86 tahun (Foto: istanbul.gov.tr ) Menurut Babinger , mozaik bergambar Bunda Maria tengah memangku Yesus Kristus dari abad kesembilan itu dibiarkan seperti sediakala oleh Mehmed sebagai salah satu “nilai tawar” agar Gennadius Scholarius yang sempat ditahan, berkenan menjadi patriark dan pemimpin umat minoritas Ortodoks Yunani. Keputusan politis itu diambil lantaran Mehmet II menganggap dari sekian pemuka Ortodoks yang ada di Konstantinopel, Gennadius dikenal sebagai salah satu penentang Nasrani dari Barat. Dengan menjadikan Gennadius sebagai patriark, Mehmet II bisa sedikit lebih tenang dan mencegah munculnya pergerakan bawah tanah orang-orang Nasrani yang bersatu antara Ortodoks dan Katolik Roma. Baca juga: Mula Kristen di Sri Lanka Begitu Kesultanan Utsmaniyah runtuh pada 1935, masjid itu ditutup kemudian dijadikan museum oleh Presiden pertama Turki Mustafa Kemal Atatürk. Pengalihfungsian bangunan itu menjadi masjid kembali disayangkan sejumlah pihak. Beberapa bahkan mengecam penetapan Erdoğan itu yang isunya sudah berdengung sejak Juni. “Apa yang bisa saya katakan sebagai agamawan dan Patriark (Ortodoks) Yunani di Istanbul? Alih-alih menyatukan, sebuah warisan dunia berusia 1.500 tahun itu justru memecah-belah kita. Saya terguncang dan bersedih,” ucap Uskup Agung Ortodoks Yunani Bartholomew I, dikutip The Washington Post , 24 Juni 2020. Mozaik Bunda Maria dan Yesus Kristus di langit-langit kubah Hagia Sophia (Foto: hagiasophiaturkey.com ) Senada, dalam peringatan Hari Laut Internasional, Paus Fransiskus juga kecewa atas keputusan para pengambil kebijakan Turki terkait Hagia Sophia. “Lautan membawa pikiran saya lebih jauh, ke Istanbul. Saya memikirkan Santa (Hagia) Sofia…saya sangat terluka,” cetus Paus, dilansir Crux Now , 12 Juli 2020. Keputusan Erdoğan menetapkan Hagia Sophia menjadi masjid sangat politis. Ia mengesampingkan keteladanan salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW, Umar bin al-Khattab, yang menjadi khalifah kedua pasca-wafatnya nabi. Khalifah Umar Menolak Salat di Gereja Jurnalis dan pemerhati politik Islam Mustafa Akyol dalam kolomnya di The New York Times , 20 Juli 2020 bertajuk “Would the Prophet Muhammad Convert Hagia Sophia?”, menguraikan, keputusan Erdoğan bisa membuka bab baru dari cerita lama Islam versus Nasrani. Padahal di masa lalu, orang-orang pemeluk monoteisme seperti Nasrani dan Yahudi selalu dianggap sekutu dan sahabat oleh nabi. “Jadi ketika Nabi Muhammad dan para pengikutnya yang masih sekelompok kecil dipersekusi di Makkah oleh para penyembah berhala, beberapa dari mereka mendapat suaka di kerajaan Nasrani di Ethiopia. Ketika Rasulullah memerintah di Madinah, Beliau menyambut para pemeluk Nasrani dari Kota Najran untuk beribadah di masjidnya,” ungkap Akyol. “Beliau juga membuat perjanjian dengan mereka yang isinya: ‘Tidak boleh ada pelarangan terkait peribadahan mereka. Tidak akan ada uskup yang dicabut dari keuskupannya, tidak ada biarawan yang diusir dari biaranya, maupun pendeta dari parokinya’,” lanjutnya. Baca juga: Özil dan Perkara Peranakan Muslim Turki Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan di Hagia Sophia sebelum penetapan status dari museum menjadi masjid (Foto: Twitter @RTErdogan) Teladan Rasulullah menghargai agama lain kembali dicontohkan Umar bin Khattab. Khalifah kedua setelah Abu Bakar “Al-Siddiq” itu memerintah dalam kurun 10 tahun (634-644 M). Menurut Profesor Daniel J. Sahas, peneliti sejarah Islam dari Universitas Waterloo, Ontario, dalam “The Face to Face Encounter between Patriarch Sophronius of Jerusalem and the Caliph Umar Ibn al-Khattab: Friends or Foes?” yang dimuat dalam The Encounter of Eastern Christianity with Early Islam , Khalifah Umar datang ke Yerusalem seorang diri atas permintaan Patriark Sophronius. Itu terjadi setelah ia menolak menyetujui kapitulasi yang ditawarkan Abu Ubaidah bin Jarrah, panglima pasukan Muslim yang sebelumnya mengepung Yerusalem. Baca juga: Prahara Yerusalem Diusik Amerika Sang patriark memberi syarat bahwa ia bersedia menyerahkan Yerusalem jika Khalifah Umar sendiri yang datang dan menerima penyerahan tanpa syarat itu. Permintaan Sophronius, disebutkan Sahas, bukan tanpa alasan. Permintaan itu sebagai simbol ketidaksenangannya terhadap Abu Ubaidah yang sempat mengancam akan menghancurkan setiap rumah ibadah jika Yerusalem harus direbut secara paksa. “Alasan lainnya adalah Sophronius ingin melihat sendiri kualitas seorang Umar yang berjuluk AmirulMukminin . Lainnya adalah Sophronius ingin penyerahan Yerusalem dilakukan dengan proses seremonial resmi, mengingat pentingnya kesucian Yerusalem. Umar yang menerima kabar permintaan itu ketika berada di Suriah, menyanggupi dan datang dengan menunggang unta,” tulis Sahas. Ilustrasi Khalifah Umar (kanan memegang tongkat) saat masuk ke gerbang kota Yerusalem di salah satu episode seri TV "Omar" (Foto: Youtube Qatar Television) Khalifah Umar kemudian berkemah di Bukit Zaitun (3,5 km timur dari kota tua Yerusalem) dan di situlah kapitulasi Yerusalem ditandatangani pada Februari 638. Menurut catatan Patriark Euthychius yang dituliskan pada tahun 876 dan dikutip Sahas, Patriark Sophronius turut mengantar Umar ke gerbang Yerusalem dan mengiringi sang Amirul Mukminin kala berkeliling ke sejumlah tempat suci di kota tua Yerusalem. “Setelah melewati gerbang, Umar mendatangi dan duduk di serambi Gereja Makam Kudus. Kala menjelang waktu s h alat (Dzuhur), Umar berkata: ‘Aku ingin shalat.’ Dan dia (Sophronius) menjawab: ‘Ya Amirul Mukminin , shalatlah di sini!’ Dan Umar berkata: ‘Aku tidak ingin s h alat di sini.’ Patriark lalu mengantarnya ke dalam gereja itu dan menggelar tikar di lantai gereja. Tetapi Umar berkata: ‘Aku juga tak ingin shalat di sini’,” kutip Sahas. “Lalu Beliau (Umar) keluar menuju gerbang timur gereja dan Beliau mendirikan shalat sendirian di atas rerumputan. Selepasnya, ia duduk bersama Patriark Sophronius. ‘Patriark, apa engkau tahu kenapa aku tak shalat di dalam gereja?’ Dia menjawab: ‘Aku tidak tahu, wahai Amirul Mukminin. ’ Umar berkata: ‘Apabila aku shalat di dalam gereja, Engkau akan kehilangan gereja itu karena setelah kematianku, kaum Muslimin akan merebutnya dengan mengatakan: ‘Umar pernah shalat di sini.’ Tetapi berikanlah aku selembar perkamen untuk menuliskan sebuah dokumen!’” Baca juga: Teror di Masjid Al-Noor Dokumen yang dituliskan Khalifah Umar intinya berisi bahwa kaum Muslimin dilarang mengumandangkan adzan dan mendirikan shalat di tempat umat Nasrani beribadah. Kemudian, disebutkan F. E. Peters dalam Jerusalem: The Holy City in the Eyes of Chroniclers , Khalifah Umar meminta tempat untuk didirikan masjid di kompleks suci itu. “Sophronius berkata: ‘Aku akan memberikan AmirulMukminin sebuah tempat untuk mendirikan tempat ibadah, di mana para raja Romawi tak sanggup membangunnya. Tempat di mana terdapat sebuah batu yang dahulu (Nabi) Yakub berbicara pada Tuhan dan tempat di mana Yakub menyebutnya gerbang surga dan Bani Israil menyebutnya tempat paling suci (jejak-jejak Menorah). Tempatnya berada di tengah-tengah dunia’,” ungkap Peters. Ilustrasi Khalifah Umar (tengah) dalam seri "Omar" yang memilih tempat shalat di luar lingkungan gereja, tepatnya di timur Gereja Makam Kudus (Foto: Youtube Qatar Television) Sophronius kemudian menjelaskan bahwa tempat itu sudah terbengkalai dan kini tertutup pasir dan tanah oleh orang Romawi. Ia tak dijadikan gereja karena Yesus Kristus berkata bahwa Dia takkan meletakkan batu di atas batu yang takkan bisa dihancurkan. Oleh karenanya, umat Nasrani meninggalkannya sebagai reruntuhan. Umar lalu mengambil tanah itu, membersihkannya menggunakan jubahnya sebelum melemparkannya ke Lembah Gehenna, dan diikuti kaum Muslimin sampai tempat itu bersih dan batunya tampak. Setelah batu itu dipindahkan, tempat itupun dibangun masjid yang hingga kini dikenal sebagai Masjid Umar. Letaknya tak jauh dari gerbang timur Gereja Makam Kudus. Tetapi sejak 1193, masjidnya dipindah ke selatan gereja seiring berubahnya gerbang gereja ke arah yang sama sebagai imbas perbaikan usai beberapa kali hancur oleh konflik di abad ke-11. Salahuddin Menjaga Gereja Masjid Umar dibangun kembali pada 1193 oleh Emir Damaskus Al-Afdal bin Salahuddin, putra Sultan Salahuddin “Sang penakluk Yerusalem” dalam Perang Salib III (1187). Sebagaimana Khalifah Umar, Salahuddin al-Ayyub tak menistakan satupun gereja ketika Yerusalem sudah berada di bawah kekuasaannya. Salahuddin merebut Yerusalem dan masuk ke gerbang kota suci itu pada 2 Oktober 1187 atau 27 Rajab 583 Hijriah, bertepatan dengan peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Mengutip Sir Walter Besant dan Edward Henry Palmer dalam Jerusalem, the City of Herod and Saladin, sang sultan sempat menutup semua gereja, termasuk Gereja Makam Kudus, untuk menggelar diskusi dengan para pengikutnya guna menentukan apa yang akan dilakukan terhadap situs-situs Nasrani. Sementara, sejumlah situs suci Islam ia perbaiki dan kembalikan fungsinya sebagai rumah ibadah. Salah satunya, Qubbat al-Sakhrah (Dome of the Rock), masjid yang dibangun pada 691 di masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Salib emas yang dipasang para Ksatria Templar di masjid itu dicopot. Pun begitu dengan yang berada di Masjid al-Aqsa dan Masjid Umar. Baca juga: Gereja Belanda Kutuk Tentara Belanda Ilustrasi Sultan Salahuddin dalam film "Kingdom of Heaven" yang memilih tak menghancurkan gereja-gereja di Yerusalem setelah direbutnya pada 1187 (Foto: Youtube Yubi) Sementara itu, umat Katolik bersama sisa-sisa pasukan Salib pergi setelah dijamin Salahuddin dengan bisa keluar hidup-hidup pasca-kapitulasi sehingga yang tersisa hanyalah budak-budak yang terbebas dan umat Kristen Ortodoks. Gereja-gereja yang mereka tinggalkan juga mendapat perhatian. “Gereja Makam Kudus jadi perhatian khusus. Banyak para pengikut Salahuddin menyarankannya untuk dihancurkan. Akan tetapi berkat pertimbangan matang sultan dan kisah keteladanan (Khalifah) Umar yang ia kemukakan, nasihat-nasihat pengikutnya (untuk menghancurkan gereja) tak ia jalankan,” tulis Sir Walter dan Palmer. Setelah tiga hari itu, Gereja Makam Kudus kembali dibuka dan Salahuddin mengizinkan umat Nasrani manapun untuk menziarahinya. Para penganut Kristen Ortodoks dan Koptik pun diperkenankan untuk tetap menjalani ritual-ritual di situs-situs suci mereka yang sebelumnya sebagian situs Ortodoks dikuasai umat Katolik Roma seiring berdirnya Kerajaan Yerusalem (1099-1187). “Kaisar Byzantium Isaac II mengirim surat untuk memberi ucapan selamat kepada Salahuddin dan memintanya mengembalikan semua gereja di kota (Yerusalem) kepada para agamawan Ortodoks dan semua kebaktian mereka bisa dilaksanakan dalam tata peribadatan Ortodoks Yunani. Permintaan itu dikabulkan Salahuddin, di mana semua urusan gereja diserahkan ke Patriark Konstantinopel,” singkap Maher Abu-Munshar dalam Islamic Jerusalem and its Christianity: A History of Tolerance and Tensions. Baca juga: Pandangan Westerling terhadap Islam

bottom of page