top of page

Hasil pencarian

9591 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Legenda Kota Suci Demak

    Konon, para wali mendirikan Masjid Agung Demak hanya dalam satu malam. Empat tiang utama,  soko guru,  ditegakkan untuk menyokong atapnya. Yang tiga terbuat dari balok kayu utuh. Satu lagi adalah tiang yang disusun Sunan Kalijaga dengan potongan-potongan balok yang tersisa dari pekerjaan wali lainnya. Malam itu sang wali datang terlambat. Karenanya ia pun tak dapat membuat tiang dengan kayu yang utuh. Di masjid itu pula Sunan Kalijaga memperoleh baju wasiat “Antakusuma”. Kabarnya, secara ajaib baju “Antakusma” jatuh dari langit di dalam masjid ketika para wali sedang bermusyarawah. Baju “Antakusuma” kemudian menjadi salah satu pusaka raja-raja Jawa. Panembahan Senopati, raja Mataram pertama, mendapatkan baju itu dari ahli waris Sunan Kalijaga, seorang pandita di Kadilangu. Berkat baju gaib itu, Senopati bisa mengalahkan Pangeran Madiun. Baju Antakusuma membuatnya kebal. Kisah ini seolah mengatakan wahyu raja-raja Mataram dan Jawa Tengah lahir di Masjid Agung Demak. Mukjizat lain terjadi pada Ki Ageng Selo yang dimuliakan sebagai moyang keluarga raja Mataram. Suatu hari ketika berada di ladang, ia menangkap petir lalu membawanya ke Masjid Agung Demak atau kepada Sultan Demak. Kisah Ki Ageng Selo menangkap petir diabadikan dalam ukiran pada  Lawang Bledheg  atau pintu petir di Masjid Agung Demak.  Lawang bledheg  sekaligus menjadi sengkalan memet  (kronogram) yang dibaca “ naga mulat salira wani ” atau menunjukkan tahun 1388 Saka (1466). Konon, pada tahun itulah Masjid Agung Demak didirikan. Menurut sejarawan Belanda, H.J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud dalam  Kerajaan Islam Pertama di Jawa,  legenda dan cerita-cerita tradisi tadi mengungkapkan betapa pentingnya Masjid Demak di alam pikiran orang Jawa Islam. Khususnya pada abad ke-17 sampai ke-19.  De Graaf dan Pigeaud menyebut bahwa Masjid Agung Demak adalah pusat kerajaan Islam pertama di Jawa Tengah. Bahkan, hingga abad ke-19 Masjid Agung Demak menjadi pusat bagi muslim kuno di kawasan itu. Kalau menurut  Babad Jaka Tingkir  Masjid Agung Demak adalah pusat dari seluruh pusaka para raja Jawa. “Mungkin sekali raja-raja Demak menganggap Masjid Demak sebagai simbol kerajaan Islam mereka. Masjid Demak pada abad-abad berikutnya menjadi penting sekali dalam dunia Jawa,” tulis De Graaf dan Pigeaud. Kekuasaan Imam Masjid Masjid Agung Demak berdiri saat perkembangan Islam di Jawa mencapai puncak pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16. Ditandai dengan munculnya Kerajaan Islam Demak. Kemunculan Kerajaan Demak bersamaan dengan keruntuhan Kerajaan Majapahit. Lalu muncul kekuatan-kekuatan baru di daerah pesisir utara Jawa Tengah dan Jawa Timur yang secara bertahap menggantikan kedudukan Kerajaan Hindu kuno itu. “Kekuatan baru ini adalah Kerajaan Demak,” tulis arkeolog Hasan Djafar dalam  Girindrawarddhana dan Beberapa Masalah Majapahit Akhir . Babad Tanah Jawi  mengisahkan pendirian kerajaan itu dimulai dari hutan bernama Bintara. Sunan Ampel Denta (Surabaya), tempat Raden Patah dan saudaranya, Raden Husen berguru, adalah tokoh yang memberi petunjuk pembukaan hutan itu. Di situlah Raden Patah bertempat tinggal. Tak lama setelahnya banyak orang datang ikut membangun rumah di sana, membabat hutan, dan mendirikan masjid. Pembangunan Masjid Agung Demak dan munculnya jamaah di sana, merupakan permulaan pengislaman Pulau Jawa. Masjid pun menjadi salah satu pusat keislaman. Kedudukan ulama atau para wali pun menjadi lebih besar. Menurut guru besar sejarah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra dalam  Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII , itu terdorong oleh kebutuhan para penguasa yang baru masuk Islam untuk menerjemahkan beberapa doktrin syariat ke dalam organisasi sosiopolitik dalam kerajaan.  Begitu pula di Kerajaan Demak, para imam masjid kemudian mendapatkan kekuasaan lebih. Itu berawal dengan jalan memimpin salat wajib lima waktu. “Kekuasaan rohani para imam masjid ini sudah sejak zaman awal penyebaran agama Islam meluas meliputi bidang kehidupan masyarakat,” jelas De Graaf dan Pigeaud. Cerita tentang lima imam Masjid Agung Demak termuat dalam  Hikayat Hasanuddin  yang berisi sejarah singkat raja Banten. Kelima imam itu menjabat selama pemerintahan tiga atau empat raja Kerajaan Demak. Mereka adalah Pangeran Bonang (1490–1506/1512), Makdum Sampang (1506/1512–1515), Kiai Pambayun (1515–1521), Penghulu Rahmatullah (1521–1524) yang dilantik oleh Adipati Sabrang Lor, dan Sunan Kudus (1524–?) yang dinobatkan oleh Syekh Nurullah yang kemudian menjadi Sunan Gunung Jati.   Imam keempat yang pertama diberi sebutan penghulu. Menurut De Graaf dan Pigeaud, itu mungkin dapat dihubungkan dengan pergantian fungsi. Dengan gelar itu, raja mungkin hendak menambahkan tanggung jawab lain. Di Jawa para imam masjid hampir selalu disebut penghulu. Kata ini di tanah Melayu berarti “kepala” tanpa arti khusus di bidang rohani. Ini menunjukkan sejak masa awal perkembangan Islam di Jawa, jabatan pemangku hukum syariat dan imam masjid berhubungan erat. “Gelar penghulu yang sudah dipakai oleh imam-imam di Demak mungkin suatu bukti betapa besarnya kekuasaan yang mereka peroleh, juga di bidang hukum,” jelas De Graaf dan Pigeaud. De Graaf dan Pigeaud menyimpulkan, kedudukan imam amat bergantung pada raja-raja Demak, pelindung mereka. Mungkin waktu kekuasaan duniawi mereka atas jamaah di sekitar masjid makin bertambah besar, mereka bersikap agak lebih bebas. “Yang disebut paling akhir dari daftar imam itu, menurut cerita tradisi Jawa, memegang peranan penting dalam merebut kota Kerajaan Majapahit,” tulis De Graaf dan Pigeaud.  Kendati begitu keberadaan para imam tak disebutkan dalam catatan pelaut Portugis, Tomé Pires dan catatan Belanda pada masa kemudian. “Cerita tradisi membuktikan bahwa pada zaman itu masjid beserta para pengurusnya sangat terpandang,” tulis De Graaf dan Pigeaud. Kesetiaan Kepada Para Wali Legenda dan cerita tradisi banyak menghubungkan Masjid Agung Demak dengan Wali Songo .  Ada Pangeran Kudus dan dua sanak keluarganya yang lebih tua, Sunan Ngampel Denta dan Sunan Bonang. De Graaf dan Pigeaud menyebut legenda-legenda itu memang tercipta untuk menghormati orang-orang suci itu. Terutama Sunan Kalijaga sebagai wali dan pelindung generasi penguasa Jawa Tengah. Menurut De Graaf dan Pigeaud dalam  Islamic States in Java 1500–1700  orang Jawa yang saleh pada abad ke-17 dan masa kemudian, percaya kalau Islam disebarkan di Jawa oleh Wali Songo   yang berpusat di masjid suci Demak. Karenanya tak heran, kesetiaan yang berurat terhadap para wali itu membuat Masjid Demak tetap merupakan pusat kehidupan agama di Jawa Tengah. Meskipun kekuasaan raja-raja Demak jatuh pada paruh kedua abad ke-16. Saking pentingnya, ada anggapan kalau mengunjungi Kota Demak dan makam orang-orang suci di sana dapat disamakan dengan naik haji ke Makkah. Di banyak daerah di tanah Jawa rasa hormat muslim pada Masjid Demak masih bertahan sampai abad ke-19. Kota Demak dipandang sebagai tanah suci. “Itulah yang terutama menyebabkan nama Demak dalam sejarah Jawa tetap tidak terlupakan di samping nama Majapahit,” tulis De Graaf dan Pigeaud.

  • Mengembara Mencari Ilmu

    Pada masa awal penyebarannya di Nusantara, agama Islam diajarkan secara informal. Anak-anak dan orang dewasa belajar membaca dan menghafal Al-Qur’an dari orang-orang kampung yang telah lebih dulu menguasainya. Sejarawan Martin van Bruinessen menjelaskan bahkan sebelum abad ke-20 di Kalimantan, Sulawesi, dan Lombok belum ada lembaga semacam pesantren. Jadi, kalau ada seorang haji atau pedagang Arab mampir ke suatu desa di pulau-pulau itu, ia akan diminta singgah beberapa hari. Kemudian ia akan mengajarkan kitab agama di masjid seusai salat. “Ulama setempat di beberapa daerah juga memberikan pengajian umum kepada masyarakat di masjid,” tulis Martin dalam Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat . Murid-murid yang sangat berminat akan mendatangi ulama itu di rumahnya dan bahkan tinggal di sana untuk belajar agama. Sementara murid-murid yang ingin belajar lebih lanjut, biasanya pergi mondok ke Jawa. Bahkan, jika memungkinkan mereka akan langsung belajar ke Makkah. “Itulah juga kiranya situasi yang ada di Jawa dan Sumatra selama abad-abad pertama penyebaran Islam,” jelasnya. Datang Berguru Martin menduga pesantren belum ada sebelum abad ke-18. Penyiaran agama Islam di Jawa awalnya dilakukan lewat  paguron  atau  padepokan . “ Serat Centhini  yang kadang membicarakan perguruan, tidak menyebutnya pesantren melainkan  paguron  atau  padepokan ,” tulis Martin. Dikisahkan sebuah perguruan terkenal di Banten bernama Karang. Letaknya mungkin di sekitar Gunung Karang, sebelah barat Pandeglang. Seorang pertapa, Danadarma, belajar di Karang selama tiga tahun di bawah bimbingan Seh Kadir Jalena. “Mungkin maksudnya ia belajar ilmu yang dikaitkan dengan sufi besar Abd Al-Qadir Al-Jailani,” jelas Martin. Tokoh lain, Jayengresmi atau Among Raga juga belajar di Karang. Ia dibimbing seorang guru Arab bernama Syaikh Ibrahim bin Abu Bakar, yang lebih dikenal dengan Ki Ageng Karang. Dari Karang, Jayengresmi pergi ke paguron besar lainnya di sebuah desa di Jawa Timur. Perguruan itu dipimpin oleh Ki Baji Panutra. Sang guru dikisahkan menguasai kitab-kitab ortodoks dengan sangat mendalam. Namun, Jayengresmi menurut  Serat Centhini  hidup sezaman dengan Sultan Agung Mataram, yaitu paruh pertama abad ke-17. Sedangkan serat ini baru disusun pada awal abad ke-19. Serat Centhini  ditulis atas perintah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amengkunegara III yang memerintah Surakarta (1820–1823). Ia adalah putra Pakubuwono IV (1788–1820). Penyusunannya dipimpin Ki Ngabehi Ranggasutrasna, didampingi Raden Ngabehi Yasadipura dan Raden Ngabehi Sastradipura. Mereka dibantu Pangeran Jungut Mandurareja dari Klaten, Kiai Kasan Besari dari Panaraga, dan Kiai Mohammad Mindad dari Surakarta. “Gegabahlah menganggap bahwa keterangannya benar untuk masa jauh sebelum  Serat Centhini  disusun,” jelas Martin. Soal keberadaan kegiatan keagamaandi Karangitu, kata Martin, dibahas pula dalam primbon Jawa dari Kabupaten Banyumas. Namun yang disebutkan hanya keberadaan guru di Karang. Dikisahkan Seh Bari Karang (Seh Bari ing Kawis) yang konon telah menyebarkan ajaran para wali Jawa. “Naskah dari Banyumas itu tidak menyinggung sebuah perguruan. Hanya menyebutkan sang syaikh,” kata Martin. Alih-alih perguruan, baik di Karang maupun di tempat lain, sumber  Sajarah Banten  yang disusun pada abad ke-17 justru menyebut adanya tempat yang banyak didatangi orang untuk bertapa. Satu-satunya pengajaran agama yang disebutkan di kitab ini adalah pendidikan pribadi putra mahkota di tangan Kiai Dukuh dan qadhi kesultanan. “Jadi pada abad ke-16 dan ke-17 yang ada adalah guru yang mengajarkan agama Islam di masjid atau istana dan ahli tasawuf yang berpusat di tempat pertapaan atau di dekat makam keramat,” jelas Martin. Dai Kelana Selain murid yang mencari guru, dai kelana juga memainkan peran dalam mengislamkan dan mengajar penduduk. Menurut Guru Besar Sejarah UIN Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra, dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII , mereka kebanyakan adalah orang sufi. Kedatangan para dai di Sulawesi jauh lebih akhir dibandingkan dengan bagian barat Nusantara. Guru keliling dari Aceh, Minangkabau, Kalimantan Selatan, Jawa, Semenanjung Melayu, dan Timur Tengah, datang ke Sulawesi pada awal abad ke-17. “Mereka mengislamkan sejumlah besar penduduk Sul a wesi, mencapai keberhasilan jauh lebih besar setelah para penguasa setempat memeluk Islam,” tulis Azyumardi. Salah satunya adalah Yusuf al-Makassari. Ia memperoleh pendidikan dari para dai kelana. Pada waktu itu, Islam sudah mengakar kuat di Sulawesi Selatan. Mulanya, Yusufbelajar membaca Al-Qur’an dengan guru Daeng ri Tasammang. Ia lalu belajar bahasa Arab, fikih, tauhid, dan tasawuf dengan Sayid Ba‘Alwi bin ‘Abd Allah al-‘Allamah al-Thahir, seorang dai Arab yang tinggal di Bontoala, wilayah di Makassar. Ketika umur 15 tahun, Yusuf melanjutkan pelajarannya di Cikoang, sebuah desa di Sulawesi Selatan. Ia belajar kepada Jalal al-Din al-Aydid, seorang guru keliling. “Guru keliling yang diriwayatkan datang dari Aceh ke Kutai, Kalimantan, sebelum akhirnya menetap di Cikoang,” kata Azyumardi. Seusai belajar dari para guru itu, Yusufkemudian menuntut ilmu ke Timur Tengah. Ia berguru pada banyak ulama terkemuka di berbagai negara. Transmisi keilmuan tak berhenti sampai di sana. Banyak murid yang berkeliling mencari ilmu nantinya akan menjadi pengajar. Menurut Azyumardi, sumber-sumber Gowa menyebut Yusuf di Makkah telah mulai mengajar. Ia kemudian membawa ilmunya ke Nusantara hingga ikut membesarkan keislaman di Kesultanan Banten. “Ketika al-Makassari kembali dengan membawa keunggulan keilmuan, Sultan Ageng Tirtayasa dengan segala cara termasuk lewat tali perkawinan, berusaha menahannya di Banten,” jelas Azyumardi. Abdurrauf as-Singkili kemudian dikenal sebagai ulama terkemuka di Aceh. Namun, sebelumnya ia meninggalkan Sumatra sekira 1642 dan mengembara mencari ilmu di banyak tempat di Timur Tengah. Hal itu membuatnya tak pulang selama 20 tahun. Menurut Carool Kersten, dosen senior Studi Islam dan Dunia Islam di King’s College London, dalam Mengislamkan Indonesia, Sejarah Peradaban Islam di Nusantara , ulama ini kemudian membangun reputasinya sebagai penyambung jejaring ulama yang memperoleh ilmu agama yang luas dan mendalam. Itu lewat puluhan tahun perjalanan dan pembelajaran di pusat-pusat pendidikan Islam di seluruh dunia. “Asia Tenggara maritim sudah terintegrasi ke dalam jejaring intelektual dunia Islam yang lebih luas,” kata Kersten. Utamanya Aceh, pada awal abad ke-17 adalah pos terdepan di zona Samudera Hindia. Ia telah mendapat reputasi sebagai pusat pendidikan Islam dan tempat berkumpulnya para ulama. Bukan hanya dari tempat di sebelah timur namun juga dari barat. Model transmisi keilmuan itu masih berlanjut hingga abad-abad berikutnya. Ini nantinya merangsang kemunculan sistem lembaga pendidikan Islam awal di Nusantara. Sementara itu, menurut Azyumardi Azra dalam  Surau Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modern, sistem pengajaran agama di Sumatra Barat berkembang dari Surau. Salah satu yang terkenal berada di Batuhampar, Payakumbuh, Sumatra Barat. Awalnya didirikan oleh kakek Mohammad Hatta, Syaikh Abdurrahman (1777–1899) setelah 48 tahun berkelana menuntut ilmu kepada berbagai ulama terkemuka di Sumatra. Di sana, ia mengajarkan membaca Al-Qur’an. Banyak murid mendatanginya karena telah dikenal sebagai qari terkemuka. Murid-muridnya berdatangan dari dalam maupun luar Minangkabau, seperti Jambi, Palembang, dan Bangka. Banyaknya murid memunculkan gagasan untuk membangun kompleks pendidikan Islam dengan fasilitas memadai. Kersten menyimpulkan bahwa kontak antarulama yang ikut serta dalam jejaring yang melintasi Samud e ra Hindia menimbulkan interaksi antarulama yang makin intens. Ini pun merangsang pertukaran ilmu Islam. Pertukaran itu ikut mengembangkan budaya menulis muslim baru di Asia Tenggara menggunakan bahasa lokal. Lalu merangsang cara baru melegitimasi kekuasaan politik dan patronase kerajaan untuk pendidikan agama. Jejaring ulama itu kemudian ikut memunculkan pula sistem pendidikan Islam, seperti pesantren. Azyumardi berpendapat, berkembangnya pendidikan Islam juga terdorong oleh keyakinan bahwa pendidikan atau pengajaran merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Banyak ayat Al-Qur’an, termasuk ayat pertama, menjelaskan kewajiban muslim menuntut pendidikan dan pengajaran di mana pun dan kapan pun. “Karenanya dalam sejarah kaum muslim tradisi pengajaran selalu menempati posisi sangat penting,” katanya .

  • Sang Jenderal Jadi Tukang Nasi

    SEJAK tahun 1960, Mayor Jenderal Ibrahim Adjie kerap wara-wiri Bandung-Bogor-Jakarta. Statusnya sebagai panglima Komando Daerah Militer VI Siliwangi (Kodam VI Siliwangi) mengharuskan dirinya kapan pun siap dipanggil oleh Presiden Sukarno. “Ada saja perintah untuk datang jika kebetulan Bung Karno sedang ada di Riung Gunung Puncak atau Istana Bogor bahkan tak jarang juga dipanggil langsung ke Jakarta,” ungkap Kiki Adjie, salah satu putra dari Ibrahim Adjie. Menurut Kikie, di tengah perjalanan itulah Ibrahim kadang minta berhenti di sebuah kawasan yang sangat strategis dan pemandangannya indah. Dia akan turun di sana sekadar untuk menikmati suasana. “Kadang lama juga ayah saya diam di situ,” ujar Kikie. Rupanya kebiasaan berhenti di kawasan Puncak itu diam-diam memunculkan ide bisnis di benak sang jenderal. Belasan tahun kemudian, saat sudah pensiun sebagai tentara, dia mendirikan Rindu Alam, restoran legendaris yang mulai beroperasi sejak 1979. Sejak kemunculannya, Rindu Alam langsung diminati banyak orang. Begitu ramai-nya, hingga tak jarang Ibrahim pun turun langsung melayani para pengunjung. Kikie masih ingat, ayahnya tak segan berpakaian layaknya pramusaji ketika ikut melayani para pelanggan. “ Enggak  apa-apa. Ayeuna mah jenderal-na oge jadi tukang sangu euy  (Sekarang jenderal-nya juga sudah jadi tukang nasi),” katanya suatu hari saat beberapa pegawainya risih dan secara sopan mengingatkan Ibrahim bahwa dia adalah eks Panglima Kodam Siliwangi. Ada suatu kejadian lucu. Suatu hari, seorang perwira menengah dari Kodam Siliwangi datang bersama keluarganya mengunjungi Rindu Alam. Mereka memesan banyak makanan yang tentunya harus melibatkan lebih dari dua orang untuk menyajikannya. “Dengan memakai celemek, ayah saya pun memutuskan untuk langsung turun tangan dengan ikut membawa beberapa hidangan,” kenang Kikie. Begitu tahu yang menghidangkan makanan untuk dia dan keluarganya adalah seorang eks Panglima Kodam Siliwangi, sang perwira pun dengan sigap langsung berdiri tegap seraya memberikan hormat secara militer. Ibrahim hanya tertawa dan menyuruh sang perwira kembali duduk. “Tidak usah begitu. Sekarang kamu jadi raja buat saya, jadi kamu duduk saja yang enak,” ujar Ibrahim. Ibrahim memang termasuk santai dalam menghadapi para bawahannya. Dia lebih banyak berlaku layaknya seorang bapak dibandingkan seorang komandan tentara. Tak aneh jika di kalangan anak buahnya, nama Mayor Jenderal TNI Ibrahim Adjie begitu populis. Begitu dekatnya, hingga Adjie tak segan-segan turun langsung ke palagan sekalipun. “Waktu Operasi Pagar Betis pada awal 1960-an, ayah saya tak jarang menyertai langsung para prajurit yang tengah menghadapi gerilyawan Darul Islam pimpinan Kartosoewirjo di hutan-hutan Jawa Barat,” ujar Kiki Adjie. Kendati seorang panglima, Ibrahim tak pernah berlaku sok berwibawa. Alih-alih  jaim , ia justru sangat berbaur dan berusaha “tak berjarak” dengan para prajuritnya. Adjie sadar, para prajurit adalah garda terdepan saat menghadapi musuh-musuh negara. Karena itu apresiasi dan penghargaan seorang komandan mutlak harus dijalankan kepada mereka. Ada lagi sebuah kisah yang mencerminkan kedekatan Adjie dengan para anak buahnya. Ceritanya, pada 1962, Adjie mengundang semua atase militer asing di Jakarta untuk melihat Jawa Barat. Kegiatan itu dilakukan sebagai upaya pembuktian kepada perwakilan negara-negara di dunia bahwa wilayah Jawa Barat sudah aman dari gangguan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Rute perjalanan rombongan panglima dan para atase militer asing itu dimulai dari Bandung lalu sampai ke Pangandaran. Jalan yang masih jelek berbatu menjadikan hampir sebagian besar anggota rombongan kelelahan. Mengetahui itu, begitu sampai di Kalipucang, Ibrahim memerintahkan rombongan untuk beristirahat sejenak. Nasi berbungkus daun pisang lantas dibagikan kepada pengawal dan anggota rombongan termasuk panglima Divisi Siliwangi yang juga mendapat sebungkus. Acara makan dilakukan secara bersama-sama. Tak ada batas antara perwira, bintara dan tamtama, semuanya menyatu. Saat acara makan baru dimulai, Ibrahim menengok bungkus nasi salah seorang prajurit pengawal yang sedang asyik menyantap jatah nasi bungkusnya. “ Geuningan sangu maneh mah euweuh dagingan  (Kok nasi bungkus milik kamu tidak ada dagingnya?)," kata panglima. Menyaksikan hal tersebut, Adjie kemudian menyodorkan jatah nasi bungkusnya kepada prajurit itu: “Ini saja makan sama kamu,” katanya. Ditawari secara tiba-tiba oleh panglimanya, prajurit itu sigap berdiri menerima nasi bungkus sambil berseru: “Siappp!” lalu ia terbatuk-batuk dan mulutnya menghamburkan nasi yang sedang dikunyah. “ Euh, maneh mah  (Halah, kamu ini),” kata Adjie sambil menyodorkan air minum. Ajudan panglima yang bernama Kapten Ramdhani menjadi jengkel. Setengah memaki, dia berkata kepada prajurit itu: “ Maneh mah, ari samutut tong ngajawab!  (Kamu ini, kalau mulut lagi penuh makanan ya jangan jawab!). Semua anggota rombongan kontan tertawa menyaksikan kejadian itu.

  • Herawati Diah Wartawati Brilian Penerus Jejak Sang Ibu

    LANTARAN diminta pihak sekolahnya untuk mengenakan pita oranye sebagai perayaan hari ulang tahun Ratu Belanda Wilhelmina, bocah Siti Latifah Herawati meminta pada ibunya, Siti Alimah, untuk disiapkan pita oranye. Betapa terkejutnya Herawati karena sang ibu justru melarangnya. Bagi Herawati, Ratu Wilhelmina ialah ratunya juga. Namun tidak bagi Alimah. “Mengapa?” tanya Herawati kecil, bersedih. “Karena kamu bukan orang Belanda,” kata Alimah. Alimah tak menjelaskan kalau oranye adalah warna Kerajaan Belanda. Alimah memang perempuan teguh pendirian, yang mendorong Herawati untuk terus belajar dan mengadopsi gaya hidup Barat. Hidup dalam tekanan kolonialisme membuatnya ingin melihat anak-anak dapat maju supaya sejajar dengan penjajah. Alimah pernah dilarang masuk di Restoran Capitol, Batavia lantaran berpakian kebaya. Sejak itu, ia selalu mengenakan busana gaya Barat bila ingin memasuki tempat-tempat di mana inlanders dilarang masuk. “Apa yang terjadi bagi diri saya tidak akan kamu alami,” kata Alimah. Ia menginginkan putrinya belajar dan berpendidikan tinggi. Alimah merupakan sosok panutan bagi Herawati. Alimah tak punya latar belakang pendidikan formal. Ia melatih dirinya sendiri. “Ia pun ke mana-mana mengendarai mobil sendiri. Hebat ibuku untuk zaman itu,” kata Herawati dalam autobiografinya, Kembara Tiada Berakhir . Siti Alimah, ibu dari Herawati. (Sumber: Kembara Tiada Berakhir). Keputusan agar Herawati melanjutkan sekolah ke Amerika pun merupakan ide ibunya. Saat itu, menyekolahkan anak ke Amerika merupakan tindakan tak lazim. Pasalnya, kebanyakan keluarga terpandang mengirimkan anaknya ke Belanda. “Ibu menjadi ejekan dari saudara-saudaranya, khususnya dari mereka yang bekerja untuk pemerintah kolonial. Tapi ia nekat, dan berangkatlah saya, naik kapal laut,” kata Herawati. Petuah Alimah bahwa orang pribumi hanya akan maju jika memeluk kebudayaan Barat bukan berarti membuang seluruh tatacara yang diperolehnya semasa kecil. Alimah  amat rajin mengaji dan menyuruh anak-anaknya mempelajari agama. “Haji Agus Salim pernah mengajar kami tentang aqidah. Dengan bahasanya yang tinggi, kami kurang menghayati pelajaran yang sebetulnya untuk tingkat jauh di atas anak usia 13 tahun,” kata Herawati . Alimah merupakan kakak dari Achmad Subardjo yang di kemudian hari jadi menteri luar negeri Indonesia pertama. Kakak-beradik ini suka sekali mengobrol soal politik. Aspirasinya begitu banyak. Suatu hari, Alimah mendirikan majalah bernama Dunia Kita, namun tak bertahan lama karena pendudukan Jepang. Mimpi Alimah itu ia teruskan pada Herawati. Setahun setelah kemerdekaan, Alimah menjual rumahnya untuk modal Herawati mendirikan kantor berita. “Kini terbitkanlah kembali majalah tersebut. Tapi ganti namanya menjadi Keluarga,” kata Alimah. Herawati akhirnya menjadi wartawan dan menikah dengan wartawan pula, BM Diah, sehingga namanya dikenal dengan Herawati Diah. Keduanya menggerakkan harian Merdeka. Herawati bahkan memimpin majalah mingguan Merdeka dan majalah titipan ibunya, Keluarga. Pasangan itu lalu mendirikan harian berbahasa Inggris Indonesian Observer yang terbit pertama pada 1 Oktober 1954. Herawati Diah wartawan  Merdeka  dan pendiri majalah  Keluarga  serta  Indonesian Observer.  Kala para aktivis perempuan bertandang ke India untuk menghadiri All Indian Women’s Congress yang diselenggarakan di Madras, November 1947, Herawati ikut sebagai peliput dari Merdeka . Utami Suryadharma menceritakan dalam memoarnya, Saya, Soeriadi, dan Tanah Air , mereka semua menumpang pesawat Kalingga Airlines milik Bijayananda (Biju) Patnaik, pengusaha dermawan India kepercayaan Jawaharlal Nehru. Patnaik kerap mengemban misi rahasia bolak-balik terbang ke Yogyakarta untuk membawakan obat-obatan dan bantuan lain untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kebetulan, kala itu Patnaik di Yogyakarta untuk menemui Sukarno. Informasi tentang rencana kepulangan Patnaik ke India didapat dari suami Utami, Kepala Staf Angkatan Udara Komodor Soeriadi Suryadarma. Maka berangkatlah rombongan Kongres Perempuan Indonesia yang terdiri atas Utami, Siti Sukaptinah, dan Sulianto Sukonto (Saroso) dibarengi Herawati sebagai peliput. Sebagai wartawan perempuan yang sudah menikah, Herawati menemukan beberapa tantangan untuk menyeimbangkan kehidupannya. Baginya, keluarga sama pentingnya dengan karier. Ia pun mengaku merasa beruntung punya suami yang berprofesi serupa karena bisa memahami penyitaan waktu akibat pekerjaannya. Ia mengkritisi bagaimana pembagian tugas dalam keluarga mempengaruhi karier perempuan, khususnya dalam bidang jurnalistik. Ia mencotohkan, di masyarakat jarang sekali wartawan pria bingung membagi waktu antara mengurus keluarga atau menyelesaikan deadline . Hal sebaliknya terjadi para perempuan. Padahal, bagi Herawati, bila pembagian tugas dalam keluarga diubah secara mendasar, seorang perempuan bisa dengan tuntas mengejar karier wartawannya. “Sayang. Selama masyarakat menganggap itu wajar jika pria mengabaikan keluarganya, dan tidak wajar bila perempuan melakukan hal yang sama. Selama itu pula kita akan melihat bidang ini didominasi oleh praktisi pria,” kata Herawati.

  • Menemukan Wong Osing

    PEMANDANGAN tak biasa akan Anda jumpai ketika mendarat di Bandar Udara Internasional Banyuwangi. Tak seperti bandara lainnya di Indonesia, terminal di bandara Banyuwangi mengusung konsep hijau dan ramah lingkungan –yang pertama di Indonesia. Terminal bandara mengedepankan konsep rumah tropis dengan penghawaan dan pencahayaan alami. Semilir angin dan sinar matahari masuk lewat kisi-kisinya yang terbuat dari kayu ulin bekas. Desain interior yang minim sekat juga memperlancar sirkulasi. Selain itu, kolam-kolam ikan di setiap sudut terminal membuat suasana lebih nyaman dan sejuk. Sementara di atap gedung terminal terhampar rerumputan hijau nan luas. Ventilasinya dihiasi tanaman menjuntai. Menariknya lagi, ia mengadopsi konsep atap rumah Osing atau ada yang menuliskannya Using, suku asli Banyuwangi. Terdapat dua atap dengan arah berlawanan, yang menandakan keberangkatan dan kedatangan. Lalu terdapat pula killing , kincir angin khas Osing, di depan bandara. Banyuwangi memang membuat banyak perubahan. Citranya kian mentereng. Jika dulu hanya dikenal sebagai kota singgah sebelum bertolak ke Bali, kini menjadi kota incaran para pelancong. Salah satunya karena puluhan festival yang menghadirkan ragam budaya, seni, dan tradisi di Banyuwangi yang multikultural. Banyuwangi sejak masa lalu memang dihuni beragam etnis. Sebagaimana daerah pesisir, Banyuwangi mendapat pengaruh kebudayaan dari para pendatang yang kemudian menetap di sini. Namun Suku Osing, yang diyakini sebagai pewaris kultural Blambangan masa lalu, merupakan aktor penting dalam membentuk identitas Banyuwangi masa kini. “Peneguhan identitas Osing tak bisa tak dipengaruhi oleh politik kebudayaan Orde Baru awal 1970-an, berkaitan dengan revitalisasi tradisi dan kebudayaan lokal,” ujar Wiwin Indiarti, pengajar PGRI Banyuwangi, kepada Historia . Identitas yang Samar Suku Osing menempati beberapa kecamatan di Kabupaten Banyuwangi bagian tengah dan utara. Terutama di Kecamatan Banyuwangi, Rogojampi, Sempu, Glagah Singojuruh, Giri, Kalipuro, dan Songgon. Ia memiliki bahasa sendiri, yakni bahasa Osing. Namun, sebelum abad ke-20, Osing adalah identitas yang samar. Bahkan Osing sebagai identitas etnis tak pernah dipakai untuk menyebut masyarakat “asli” di wilayah ujung timur Jawa ini. Dalam manuskripnya yang terbit tahun 1849, Franz Epp, dokter berkebangsaan Jerman yang pernah bertugas di Banyuwangi, menyebut penduduk asli sebagai “orang Jawa” dan sebutan lainnya, yakni Blambangers  (orang Blambangan). Begitu pula dalam hal bahasa. Hal itu dicatat Tjandranagara, seorang bangsawan yang juga penulis kisah perjalanan, yang mengunjungi daerah Banyuwangi pada 1860-an. Dia menulis bahwa penduduk setempat berbahasa Jawa walaupun dengan cara desa. Sementara lebih dari tiga dekade kemudian, ahli bahasa HN van der Tuuk memasukkan kekhasan bahasa itu yang disebutnya sebagai “dialek Banyuwangi” serta “Balambangansch Javaansch”. Istilah Osing untuk menyebut bahasa di Banyuwangi dan penuturnya kali pertama muncul dalam tulisan C. Lekkerkerker berjudul “Balambangan” yang terbit di De Indische Gids tahun 1923. Dia memberi deskripsi mengenai mereka yang disebut “orang Using” ( Oesingers ). Lekkerkerker juga mencatat bahwa “kepribadian, bahasa, dan adat orang Using berbeda dari orang Jawa lainnya”. Kendat demikian, “Pada zaman itu, kelompok ini dianggap –dan kemungkinan besar menganggap dirinya– orang Jawa,” tulis Bernard Arps dalam “Terwujudnya Bahasa Using di Banyuwangi dan Peranan Media Elektronik di Dalamnya (Selayang Pandang, 1970-2009)” pada buku Geliat Bahasa Selaras Zaman . “Sampai kira-kira tahun 1970 mereka masih lazim digolongkan sebagai orang Jawa, dan sekarang pun kategorisasi ini masih terdengar, terutama di lingkungan pedesaan.” Istilah Osing untuk penduduk “asli” Banyuwangi dibuat oleh para imigran dari Jawa Tengah, Madura, Bali, Bugis dan Mandar. Mereka didatangkan Belanda untuk bekerja di perkebunan-perkebunan. Kata “osing” sendiri dalam bahasa Osing berarti “tidak”; merujuk pada keengganan mereka dikaitkan dengan orang Jawa atau Bali. Orang-orang Banyuwangi sendiri saat itu lebih suka disebut Wong Wetanan  (orang timur) sementara para pendatang disebut Wong Kulonan  (orang barat) –sebutan yang masih dipakai hingga kini. “Hal ini mengindikasikan bahwa istilah Osing pada mulanya merupakan cemoohan atau olok-olok, sebentuk diskriminasi terhadap kelompok lain yang dikonstruksi sebagai liyan  (bukan bagian dari kelompok),” tulis Wiwin Indiarti dalam “Wong Osing: Jejak Mula Identitas dalam Sengkarut Makna dan Kuasa” di laman  Matatimoer Institute. Pada 1970-an, seiring kebijakan politik budaya Orde Baru untuk merevitalisasi tradisi sebagai counter terhadap westernisasi budaya dan kampanye antikomunis, ada upaya menemukan identitas lokal di Banyuwangi. Pencarian dimulai dari aspek bahasa. Dimulai dari penerbitan buku Selayang Pandang Blambangan  tahun 1976.   “Pada era itu aktor-aktornya adalah seniman atau budayawan yang notabene pegawai pemerintah,” ujar Wiwin Indiarti. Salah satu yang memainkan peranan kunci adalah Hasan Ali, yang kala itu menjabat kepala bagian Kesra Kabupaten Banyuwangi. Dia bertanggungjawab atas bab bahasa dalam buku Selayang Pandang Blambangan , yang meneguhkan bahasa Osing sebagai bahasa tersendiri dan bukan bagian dari dialek bahasa Jawa. Argumentasi Hasan Ali diperkuat disertasi Suparman Herusantoso di Universitas Indonesia tahun 1987 berjudul Bahasa Using di Banyuwangi . Disertasi itu menyimpulkan, berdasarkan perbandingan kosakata, bahasa Osing dan Jawa sejajar secara genealogis bahasa. Keduanya merupakan perkembangan dari bahasa Jawa Kuno. Artinya, bahasa Osing memiliki status sama dengan bahasa Jawa. Keberadaan bahasa Osing diteguhkan dengan terbitnya Tata Bahasa Baku Bahasa Using (1997) dan Kamus Bahasa Using (2002). Lalu, mendapat legitimasi dengan terbitnya Perda Kabupaten Banyuwangi No. 5 tahun 2007 mengenai pembelajaran bahasa daerah pada jenjang pendidikan dasar yang “mengakomodasi bahasa Osing sebagai bahasa utama”. “Perubahan ini adalah hasil sebuah proses politik yang mengambil waktu beberapa dasawarsa. Bagi orang dan lembaga yang memprakarsai dan memotorinya, proses ini boleh disebut sebuah perjuangan,” tulis Bernard Arp dalam “Terwujudnya Bahasa Using di Banyuwangi dan Peranan Media Elektronik di Dalamnya” pada buku Geliat Bahasa Selaras Zaman . Menguatkan Identitas Selain bahasa, peneguhan identitas Osing menyentuh aspek kultural lainnya. Dari seni, tradisi, ritual, hingga pakaian adat. Hal ini bukan tanpa alasan. Masy a rakat Osing memiliki kekayaan seni budaya dan tradisi. “Mereka benar-benar membe r d a yakan bahasa Using dalam kehidupan sehari-hari. Banyak sekali karya seni baik berupa puisi, mantra, macapat, atau lagu yang ditulis dengan menggunakan bahasa Using sehingga menimbulkan kesan tertentu yang sangat kuat. Karya seni ini semakin mempertebal rasa cinta mereka terhadap identitas kedaerahannya,” tulis Arif Izzak dkk dalam Pesona Jawa Timur . Pada 1970-an, banyak seniman Banyuwangi mulai berani menciptakan dan merekam lagu-lagu berbahasa Osing. Sejumlah kesenian tradisional seperti gandrung pun digiatkan dan direvitalisasi. Stigma kiri yang pernah menerpa kesenian Banyuwangi perlahan luntur. Identitas Osing menemukan momentumnya ketika Samsul Hadi, bupati Banyuwangi (2000-2005). mengeluarkan kebijakan Banyuwangi Jenggirat Tangi  alias “kebangkitan Banyuwangi”. Dari istilahnya saja ini bernuansa Osing-sentris. Salah satunya diwujudkan dengan penetapan gandrung, kesenian khas Osing, sebagai maskot pariwisata. Maka dimulailah secara masif pembangunan patung gandrung di sudut-sudut kota dan berbagai titik utama di Banyuwangi. Hal itu berlanjut pada era Bupati Abdullah Azwar Anas yang menjadikan kesenian gandrung sebagai proyek komodifikasi budaya dalam bentuk pentas kolosal bertajuk Gandrung Sewu. Anas juga mengubah citra Banyuwangi menjadi daerah destinasi wisata berjuluk The Sunrise of Java . Hal ini didukung oleh pesona bentang alam, seni, dan tradisi lokal di wilayah ini. Keindahan alam dan budaya juga dihadirkan dalam event tahunan Banyuwangi Festival sejak 2012. Pada event itu banyak ritual dan kesenian Osing dihadirkan. Identitas Osing makin kental dengan banyaknya pembangunan, dari bandara hingga pabrik kereta api, yang mengusung arsitektur ala Osing. “Era otonomi daerah pascareformasi adalah semacam perayaan bagi identitas Osing,” ujar Wiwin Indiarti. Tertarik untuk melihat lebih banyak kekhasan seni dan budaya Osing di Banyuwangi? Semoga Anda tak menjawab “tidak”.

  • New Normal ala Zaman Jepang

    New Normal . Istilah ini lagi populer di mana-mana. Dari belahan bumi Barat sampai ke bumi Timur. New Normal mengacu pada suatu tatanan hidup baru yang penuh protokol kesehatan dari pemerintah seiring perkembangan pandemi Covid-19. Cara orang bersekolah, bekerja, berbelanja, dan berinteraksi tidak akan lagi sama seperti sebelum Maret 2020. Di Indonesia, Hidup Baru kemungkinan mulai berlangsung pada Juni 2020. Pemerintah telah bersiap mengizinkan pembukaan mal, sekolah, kantor pemerintahan, dan sejumlah sektor usaha. Pemerintah berupaya mengkampanyekan Hidup Baru lewat berbagai corong media. Pengelola sekolah, manajemen perusahaan, mal, dan pusat keramaian tengah ikut membantu menjabarkan apa itu Hidup Baru. Istilah ini tampak menjadi sebuah gerakan bersama. Tapi Indonesia bukan kali pertama ini mengalami gerakan Hidup Baru. Mari mundur ke masa pendudukan Jepang. Masa ini memperlihatkan adanya persiapan masyarakat untuk menyongsong hidup baru. Memasuki 1945, posisi Jepang di Indonesia mulai keteteran. Ini berawal dari kekalahan mereka di palagan Pasifik sepanjang 1944. Jepang butuh dukungan rakyat Indonesia untuk mempertahankan kedudukannya di Asia. Caranya dengan melempar janji kemerdekaan oleh Perdana Menteri Koiso pada September 1944 dan mempropagandakan Gerakan Hidoep Baroe. Gagasan Gerakan Hidoep Baroe muncul dalam dialog antara Saiko Shikikan (Panglima Tertinggi) dengan sejumlah anggota dewan Chuo Sangi-In pada 20 Februari 1945. Panglima tertingg bertanya bagaimana caranya memenangkan peperangan. Para anggota dewan menjawab peperangan hanya bisa diraih dengan mewujudkan penghidupan baru bagi masyarakat Indonesia, yaitu kemerdekaan. Menurut anggota dewan, kemerdekaan berarti kebebasan dari luar dan dalam. Kebebasan dari luar berarti merdeka dari Amerika Serikat, Inggris, dan Belanda. Sedangkan kebebasan dari dalam adalah merdeka dari Jepang. Panglima tertinggi bertanya lagi tentang maksud penghidupan baru. Seorang anggota dewan menjawab bahwa penghidupan baru ialah “bagaimana memperbaiki pemerintah, baik melalui rohani maupun jasmani sehingga sesuai dengan panggilan zaman.” Demikian kutipan Asia Raja , 21 Februari 1945 . Kemudian dialog itu menjadi pembahasan serius dalam sidang ketujuh Chuo Sangi-In (Dewan Pertimbangan Pusat –semacam DPR masa Jepang) pada 21 Februari 1945. Mr. Soedjono dan R.H. Fathoerachman, anggota dewan, mengusulkan perlunya rakyat belajar menerapkan perilaku baru dan membuang semua sikap lemah pada masa penjajahan Belanda. Bangsa Indonesia akan memasuki zaman baru. Dan zaman baru harus laras dengan cara pandang dan perilaku baru. “Maka untuk mencapai tujuan di atas insaflah kita, bahwa suatu gerakan pembaruan penghidupan harus dilaksanakan, yang akan memberi dasar baru kepada budi-pekerti dan masyarakat rakyat yang dihidupkan oleh suatu jiwa baru. Dengan semangat yang menyala-nyala kita masukilah Gerakan Hidoep Baroe,” demikian pernyataan Chuuoo Sangi-In dalam Pandji Poestaka, No 5 Tahun Showa 2605 (1945). Gerakan Hidoep Baroe berisi 33 butir pedoman. Antara lain meliputi semangat berkhidmat kepada tanah air dan Asia Timur Raya, bersifat ksatria, beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berdisiplin terhadap diri, menghormati orang tua, terbiasa hidup bersih dan sehat lahir dan batin, berhemat, giat bekerja, cinta ilmu pengetahuan, suka menanam, dan memuliakan kerja tangan. Semua butir pedoman termaksud merupakan gagasan anggota dewan dari berbagai kelompok bangsa Indonesia. “Program ini dapat dikatakan luar biasa, karena sama sekali tidak menguraikan ide-ide atau slogan-slogan Jepang,” catat Arniati Prasedyawati Herkusumo dalam Chuo Sangi-In: Dewan Pertimbangan Pusat pada Masa Pendudukan Jepang. Dalam pidato penutup sidang, Sukarno sebagai ketua dewan mengatakan Gerakan Hidoep Baroe ibarat udara segar bagi orang sakit. Dia memandang masyarakat di seluruh negeri sedang sakit. Mereka perlu terapi selekasnya. “Maka oleh karena itu, perlu maha-perlu, laksana udara buat napas kita, kita harus membongkar segala penyakit yang ada di dalam tubuh masyarakat kita itu, dan menegakkan satu Hidoep Baroe, yang sehat dan rasional,” kata Sukarno, termuat di Kan Po , No. 62 tahun 2605 (1945). Sukarno juga menegaskan, Gerakan Hidoep Baroe tidak cukup jadi jargon. Ia tidak boleh sekadar menjadi anjuran pemerintah atau pelajaran di sekolah. Ia mesti pula mewujud dalam tindakan. Dan beban itu pertama-tama terletak pada para pemimpin yang membuatnya. “Kita sebagai pemimpin wajib memberi contoh. Marilah kita menjadi pelopor rakyat, juga di atas lapangan pembaruan jiwa dan moral itu,” lanjut Sukarno. Pemerintah Jepang mengaku menerima isi Gerakan Hidoep Baroe. Mereka berjanji akan membantu mempropagandakan seluruh isi Gerakan Hidoep Baroe ke pelosok negeri. Kenyataannya, Jepang hanya berminat pada empat isi Gerakan Hidoep Baroe. Tentang penanaman, cinta tanah air, bakti Asia Timur Raya, dan memuliakan kerja tangan. Keempatnya berkaitan langsung dengan kepentingan Jepang. Sisanya tidak. Tapi anggota dewan meminta isi Gerakan Hidoep Baroe tetap disebarluaskan kepada seluruh bangsa Indonesia. Caranya beragam. Dari memuat selebaran di media massa, membikin poster, sampai membuat lagu. Perang soedah sampai di poentjak tingkatan Hidoep baroe lekaslah dilaksanakan… Oentoek menjoesoen negara Indonesia Jang pasti merdeka Begitu potongan lirik lagu “Hidoep Baroe” karangan R. Harta dalam suatu edisi Djawa Baroe tanpa keterangan waktu publikasi. Lagu itu diiringi komposisi musik karya Ismail Marzuki. Gerakan Hidup Baru terus bergaung ke antero negeri. Ia memperoleh tempat lapang di kalangan organisasi. Masyumi, melalui Soeara Moeslimin edisi 1 Maret 1945, memperlihatkan dukungannya pada Gerakan Hidoep Baroe. “Masyumi memandang sudah selayaknya ikut menggerakkan segala macam gerakan rakyat yang menuju perbaikan dasar-dasar negeri dan bangsa kita,” tulis Soeara Moeslimin seperti dikutip Lukman Hakiem dalam Biografi Mohammad Natsir. Jawa Hokokai , organisasi kebaktian Jawa, turut mempublikasikan secara luas Gerakan Hidoep Baroe. Sukarno sebagai ketua Jawa Hokokai berkeliling Jawa untuk mengajak rakyat melaksanakan Gerakan Hidoep Baroe. Rosihan Anwar, seorang jurnalis muda, menyaksikan langsung pidato Sukarno di Pati, Jawa Tengah, yang berisi anjuran melaksanakan Gerakan Hidoep Baroe. Dia berseberangan pendapat dengan sebagian besar kaum nasionalis. Dia berada satu kelompok dengan Sutan Sjahrir, pemimpin perlawanan kelompok non-kolaborator atau anti-Jepang. Rosihan menilai Gerakan Hidoep Baroe cuma propaganda murahan bikinan Jepang. “Terdesak akibat serangan tentara Sekutu di bawah Jenderal MacArthur,” tulis Rosihan dalam Sejarah Kecil “Petite Histoire” Volume 1. Sementara Sjahrir bersikap dingin terhadap Gerakan Hidoep Baroe. Dia lebih banyak membahas penderitaan rakyat ketimbang berbicara Gerakan Hidoep Baroe. Pada akhirnya, gaung Gerakan Hidoep Baroe mengecil. Ia tak pernah lagi didengung-dengungkan. Sebagian gagasannya lesap ke dalam pembahasan dasar negara, undang-undang dasar, dan naskah persiapan kemerdekaan Indonesia oleh BPUPKI sepanjang Mei-Juni 1945.

  • Kenduri Massal di Kemiren

    BARONG-barong menari. Di sekelilingnya warga desa asyik menonton sembari mengarak barong. Dengan membawa obor berkaki empat, warga desa mengiringi rombongan barong sebagai bagian dari perayaan Tumpeng Sewu. Setiap rumah setidaknya mengeluarkan satu hidangan tumpeng untuk dimakan bersama-sama. Diterangi obor, orang-orang duduk bersila di depan rumah. Di hadapan mereka tersedia tumpeng yang ditutup daun pisang, lengkap dengan lauk khas Kemiren: pecel pitik dan sayur lalapan. Begitu doa selesai dipanjatkan, kenduri massal dimulai. Tumpeng Sewu adalah tradisi adat warga Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi. Disebut Tumpeng Sewu karena jumlah tumpeng yang disajikan amat banyak. Dalam kultur Jawa, kata “sewu” merupakan metafor untuk menggambarkan jumlah yang tak terhitung. Perayaan ini merupakan ritual bersih desa yang dilakukan satu tahun sekali seminggu sebelum Idul Adha. Tradisi ini sudah hidup di masyarakat Osing Desa Kemiren sejak berpuluh-puluh tahun. Buyut Cili Tumpeng Sewu merupakan upacara slametan warga Kemiren, yang ditetapkan sebagai Desa Wisata Osing, untuk mengungkapkan rasa syukur sekaligus selamatan tolak bala. Tradisi ini tak bisa dilepaskan dari keberadaan makam Buyut Cili, dhanyang atau pendiri Desa Kemiren. Sosok Buyut Cili hidup dalam tradisi lisan. Konon, Buyut Cili yang bernama asli Marjanah adalah seorang petani. Bersama istrinya, ia melarikan diri dari Kerajaan Macan Putih (kini letaknya di sekitar Rogojampi) agar tak dijadikan makanan bagi macan piaraan penguasa. “Dalam istilah Osing mereka menyingkir atau ngili ,” tulis Siti Maria dalam Komunitas Adat Using di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi . Pelarian Marjanah berhenti di sebuah hutan lebat yang ditumbuhi pohon durian dan kemiri. Di situlah dia membabat alas, mengubah hutan jadi sebuah desa. Kini desa itu dinamakan Kemiren. “Karena ia pernah ngili , lantas masyarakat menyebutnya Buyut Cili atau Bo Cili,” tulis Siti Maria. Versi lain menyebut Buyut Cili semula seorang patih Mataram yang mengungsi ( ngili )ke Blambangan setelah terjadi geger Mataram. Setiba di Blambangan, ia mengabdikan diri di Kerajaan Macan Putih. Di kerajaan ini terdapat tradisi bahwa setiap tahun raja memakan manusia, khususnya perempuan bertubuh tinggi dan gemuk. Karena istrinya masuk daftar tumbal, Buyut Cili dan istrinya mengungsi. Varian dari cerita tutur menyebut Buyut Cili sebagai orang sakti Majapahit yang beragama Hindu, pendeta, atau begawan. Terlepas dari beragam versi itu, Buyut Cili dipercaya masyarakat Kemiren sebagai pendiri sekaligus penunggu desa. Untuk menghormatinya, warga Kemiren kerap berziarah ke makam Buyut Cili untuk meminta berkah. Begitu pula jika ada pesta atau selamatan desa seperti Barong Ider Bumi dan Tumpeng Sewu. Menurut Dwi Ratna Nurhajarini dalam “Selametan Desa Tumpeng Sewu” di buku antologi Satu Bendera Beda Warna , ritual Tumpeng Sewu belum lama hadir di masyarakat Kemiren. Semula masyarakat memiliki tradisi selamatan desa yang dilakukan setiap hari Kamis atau Minggu sore pada minggu pertama Bulan Besar atau Bulan Haji. Hari Kamis dan Minggu sore dalam perhitungan Jawa sudah masuk hari Jumat dan Senin. Selamatan dilakukan sebagai ucap syukur kepada Yang Kuasa, yang telah menjauhkan warga Kemiren dari segala marabahaya. Selamatan juga diniatkan sebagai persembahan kepada Buyut Cili yang telah menjaga desa. Semula kegiatan itu melibatkan warga satu lingkungan terdekat. Namun kemudian berubah menjadi ritual satu desa yang dilakukan serentak. “Acara yang semula hanya berupa selamatan pecel pithik yang digelar tiap lingkungan, kemudian dijadikan satu dan serentak dengan ruang utama di sepanjang jalan utama Desa Kemiren dan jalan-jalan kecil yang menghubungkan Kemiren dengan daerah lain,” tulis Dwi. Sarat Makna Persiapan acara dilakukan sejak dini hari. Pada pukul enam pagi, para lelaki di Desa Kemiren sibuk mengupas kelapa. Setelahnya para ibu mulai memasak dan menyiapkan hidangan untuk perayaan Tumpeng Sewu. Selain menyiapkan makanan, pada tengah hari warga desa menjemur kasur ( mepe kasur ) di halaman masing-masing. Tradisi ini diyakini bisa mengusir penyakit. Sebab, masyarakat Osing percaya sumber penyakit datangnya dari tempat tidur. Kasur warga Kemiren berbeda dari kasur di tempat lain karena warnanya yang unik, yaitu merah dan hitam. Warna merah menyimbolkan keberanian sementara warna hitam melambangkan ketenteraman atau kelanggengan. “Secara umum warna merah hitam merupakan perlambang agar orang yang berumah tangga berani menghadapi tantangan kehidupan dan menjaga ketenteraman rumah tangganya,” tulis Wiwin Indiarti dkk dalam penelitian yang dilakukan Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas PGRI Banyuwangi tahun 2013. Keluarga kelompok barong yang akan tampil pada acara Tumpeng Sewu adalah pihak yang paling sibuk. Mereka harus menyiapkan sesaji sebagai syarat utama ritual. Masyarakat percaya sesaji yang kurang lengkap bisa berdampak buruk. Begitu tenda untuk perayaan Tumpeng Sewu dibangun, sesaji sudah siap di depan rumah dan gending Kebo Giro akan terus ditabuh hingga arak-arakan dilakukan. Pada siang hari, dengan membawa sesaji, keluarga kelompok barong berziarah ke makam Buyut Cili untuk meminta izin. Sesaji makam Buyut Cili dihidangkan sego gurih yang ditata di atas tampah beralas daun pisang. Di atasnya ditutup daun pisang untuk menaruh lauk, seperti gimbal jagung, telur dadar, sate aseman daging sapi, abon ayam, irisan mentimun, paha dan sayap ayam goreng masing-masing dua dan ditata dalam empat penjuru mata angin. Ada pula jeroan ayam goreng yang diletakkan di tengah dan kerupuk rambak. Semua hidangan ini ditutup lagi dengan daun pisang yang bagian pinggirnya disemat dengan lidi sehingga tertutup. Penataan ayam yang menghadap empat penjuru mata angin, menurut Wiwin Indiarti dalam “Makna Kultural: Ritual Hidangan Tumpeng Sewu di Kemiren” dalam buku antologi Jagat Osing , menyimbolkan keyakinan mengenai dulur papat lima pancer hang bareng lahir sedina. Maksudnya, manusia konon terdiri atas empat anasir, yakni getih abyang (api), getih putih (air), getih kuning (udara), dan getih cemeng (tanah). Dari situlah wujud kasar yang mewadahi sukma manusia dibentuk. Harapannya, orang yang memakan hidangan tersebut akan punya keharmonisan antara empat unsur tersebut dan sukma. Pada sore hari dilakukanlah arak-arakan barong mengelilingi desa. Setelah itu diadakan selamatan barong dengan menu utama tumpeng serakat yang bentuknya tak kerucut sempurna. Tumpeng ini dialasi daun ilalang, klampes, dan sriwangkat. Tiap daun mengandung pengharapan berbeda. Daun ilalang menjadi simbol doa agar warga Kemiren dapat mengatasi masalah dengan baik. Daun klampes bermakna agar tak mengalami apes . Dan daun Sriwangkat bermakna agar selalu mengalami keberhasilan. Tumpeng serakat yang habis dimakan warga juga dimaknai sebagai lenyapnya malapetaka. Sebab ada idiom ilango serakate kariyo selamete ( malapetaka hilang dan kita selamat). Puncak acara adalah selamatan Tumpeng Sewu setelah Maghrib. Setiap rumah mengeluarkan minimal satu tumpeng yang di letakkan di depan rumah. Lauk khasnya: pecel pitik. Bentuk tumpeng yang mengerucut punya makna pengabdian pada Sang Pencipta. Sementara pecel pitik punya arti “ ngucel-ucel barang sithik ”. Wiwin Indiarti menyebut, pecel pitik punya beragam makna yang hidup di masyarakat Osing. Ada yang mengartikannya sebagai meski hanya sedikit, orang harus senantiasa bersyukur dan berhemat. Ada pula yang memaknainya sebagai “mugo-mugo barang hang diucelucel dadio barang hang apik” (semoga segala yang diupayakan membuahkan hasil baik). Hidangan lain yang umum ditemui dalam peringatan Tumpeng Sewu ialah ayam kampung kuah lembarang, jenang merah putih, dan jajan pasar, seperti rengginang, peyek kacang, onde-onde, nagasari, dan lain-lain. Ritual Tumpeng Sewu, yang dulu dilakukan di lingkungan terbatas, sudah berubah penuh kemeriahan tanpa mengurangi makna ritual itu sendiri. Pada 2013, tradisi Tumpeng Sewu diangkat dalam agenda pariwisata Banyuwangi Festival. Sejumlah wisatawan baik asing maupun dalam negeri bisa ikut menikmati tradisi ini. Mereka berbaur dengan warga menikmati pecel pitik. Warga pun tak sungkan menyambut mereka dan mengajak makan bersama.

  • Hasjim "Keki" Gara-gara Bung Karno Ngungsi Tak Bawa Koki

    SAAT sedang sibuk mengkoordinir pertahanan di daerah tempat tinggalnya, Cianjur, Hasjim Ning mendapat telepon dari Bupati Mohammad Jasin pada suatu hari di awal Oktober 1945. Pengusaha yang merupakan keponakan Bung Hatta itu diminta segera datang ke kantor bupati karena ditunggu Menteri Dalam Negeri R.A.A. Wiranatakusumah. Hasjim dijelaskan bahwa situasi keamanan Jakarta makin tak menentu. Desas-desus Sukarno akan ditangkap dan diadili sebagai penjahat perang atas kolaborasinya dengan Jepang kian sering terdengar. Meski tak bisa dilacak kebenarannya, desas-desas itu bahkan telah muncul pada awal 1945. Sukarno mengalaminya ketika bersama Hatta berkunjung ke Makassar pada Maret 1945. “Kota Makassar menjadi sasaran pemboman terus-menerus, karena pihak Sekutu rupanya mengetahui bahwa Sukarno berada di sana. Sudah tidak ragu lagi bahwa mereka mengejar Sukarno. Sebenarnya aku tidak bisa menyalahkan mereka, oleh karena memang Sekutu menganggapku sebagai penjahat-perang,” kata Sukarno dalam otobiografinya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia . Isu penangkapan itu membuat kabinet memutuskan untuk mengungsikan Presiden Sukarno ke Cianjur sementara waktu sambil mencari informasi langsung ke pihak Sekutu. Untuk itulah Wiranatakusumah ke Cianjur untuk memberitahu Hasjim yang  saat itu merupakan kepala Polisi Tentara di Cianjur. Presiden dan keluarganya akan diungsikan di rumah Kyai Ahmad Basyari atau populer sebagai Kyai Ajengan, pendiri Pesantren Al-Basyariyah. “Rumah tersebut pilihan Bung Karno sendiri. Mereka sudah berkenalan lama. Setahuku, pada zaman Jepang Bung Karno beberapa kali mengunjungi kiai itu,” kata Hasjim dalam otobiografinya, Pasang Surut Pengusaha Pejuang . Selain itu, dipilihnya rumah Kyai Ajengan di Desa Sukanagara karena pertimbangan keamanan. “Desa Sukanegara terletak di tengah-tengah perkebunan teh dan kina. Yang sangat penting ialah, setiap kendaraan yang datang ke Sukanegara akan terlihat dengan segera dari kejauhan. Karena jalan yang ditempuh berada di tengah-tengah pohon teh yang rendah. Dan apabila terlihat gejala yang tidak baik, Bung Karno akan dapat diungsikan ke tempat yang lebih jauh.” Jaminan kesanggupan menyediakan pengamanan misi pengungsian rahasia itu dari Hasjim membuat Wiranatakusumah mengabarkan Jakarta bahwa misi bisa berjalan. Sementara, Hasjim bergerak cepat mengajak sahabat-sahabatnya untuk mengatur pengamanan lebih. Bersama Kosasih, dia pergi ke Sindang Barang di pantai selatan. Kepada camat setempat yang dikenalnya baik, Hasjim meminta disiapkan kapal untuk misi rahasia yang tidak dia terangkan. Langkah itu diambil Hasjim untuk berjaga-jaga bila terjadi hal buruk pada presiden dan jalur darat tertutup untuk evakuasi. Sekira tengah hari besoknya, Hasjim kembali mendapat telepon dari Bupati Jasin bahwa Bung Karno sudah tiba. Hasjim pun langsung menuju ke kediaman bupati. “Aku masuk ke rumah Bupati. Bung Karno menyambutku tanpa berdiri dari kursinya. Kelihatannya ia letih. Tidak seperti biasanya kalau ia bertemu aku,” kata Hasjim. Usai sholat zuhur, mereka berangkat ke rumah Kyai Ajengan di Sukanagara. Mobil yang ditumpangi presiden dari Jakarta hanya berisi Ibu Fatmawati dan putranya karena Bung Karno, ditemani ajudan Muntoyo, memilih naik mobil yang dibawa Hasjim. Entah bergurau atau serius, Bung Karno di dalam mobil buka suara tentang alasannya memilih Sukanagara sebagai tempat pengungsian. Menurutnya, Sukanagara dipilih karena dia tidak bisa membawa koki dan di sana dia bisa mendapatkan makanan yang sesuai seleranya lantaran ada Itje (Siti Indun) yang kenal betul seleranya. “Itje adalah istriku. Bung Karno sering mampir makan siang di rumah kami di Pacet bila beliau kembali dari Bandung. Itje berasal dari Sunda. Karena menikah dengan aku, ia juga belajar masakan Padang. Bung Karno senang masakan Padang yang dibikin oleh Itje. Dan itu berarti Bung Karno menyuruh aku mengirimkan lauk-pauk kesukaannya setiap hari ke Sukanegara,” kata Hasjim.

  • Merobohkan Memori San Siro

    STADION gagah berkapasitas terbesar Italia, Giuseppe Meazza, sejak dua bulan silam tak lagi disemarakkan suporter fanatik dua klub sekota, Internazionale Milan dan AC Milan. Pandemi virus corona membuat calcio (sepakbola) di negeri itu terhenti. Kini bak jatuh tertimpa tangga, masa depan stadion yang kondang dengan nama Stadio San Siro bakal punah. Stadion berusia 94 tahun itu hendak dirobohkan demi memberi lahan lebih luas untuk stadion anyar. Rencana pembangunan stadion baru di lokasi itu sejatinya sudah diajukan secara kompak manajemen Inter dan AC Milan sejak tahun lalu. Tetapi lantaran stadion itu milik pemerintah kota Milan, butuh waktu menunggu persetujuan walikota, Giuseppe Sala. Rencana itu mulai mendapat lampu hijau setelah pihak Dinas Kebudayaan Lombardia menyatakan stadion berkapasitas 80 ribu orang itu tak punya status “cagar budaya”. Alasannya, bentuknya sudah tak lagi sama dengan bangunan pada awal dibangun, tahun 1926, akibat berulang-kali direnovasi. “Properti atas nama ‘Stadion Giuseppe Meazza’ tak memiliki unsur budaya dan oleh karenanya tak memiliki ketentuan hukum yang melindunginya,” demikian pernyataan tertulis dinas kebudayaan itu, dilansir thelocal.it , 23 Mei 2020.  Pemerintah kota Milan pun mulai terbuka dengan proposal kerjasama dengan kedua tim. Untuk desain stadion baru pengganti San Siro, masih dalam tahap finalisasi oleh  firma arsitektur Populous dan Manica-Cmr Sportium. Yang pasti, kedua klub menginginkan lapangannya disisakan kalaupun stadion lama dirobohkan untuk pembangunan stadion yang lebih modern di sebelahnya, sehingga lapangan tetap bisa digunakan untuk kepentingan publik. Ada pula rencana untuk membangun museum di kompleks lahan di Distrik San Siro, enam kilometer sebelah barat pusat kota Milan, itu. Hingga kini belum pasti kapan stadion akan dirobohkan. Namun yang pasti, berjuta memori manis-pahit yang dialami Inter, AC Milan, dan timnas Italia tersimpan tak hanya di lapangannya tapi juga di bangunannya. Kuil Sepakbola yang Ikonik Sejak berdekade-dekade lalu, Milan selalu bersaing dengan Paris sebagai destinasi wisata favorit para elit Eropa. Beken dengan kuliner dan fesyennya, Milan menyempurnakannya dengan stadion ikonik: Stadio San Siro. “Bukan hal berlebihan untuk mengatakan bahwa sepakbola, selain bisnis kulier dan fesyen, merupakan faktor pendongkrak kepopuleran Milan. Kota itu jadi rumah bagi dua klub ternama dunia. Monumen warisan Piero Pirelli sejak 1920-an ini ibarat katedral beton, baja, dan kaca yang modern dan spektakuler,” tulis Dan Colwell dalam Milan and the Italian Lakes . Pirelli adalah sosok di balik hadirnya stadion megah itu. Ia supremo AC Milan kedua (1909-1928) setelah sebelumnya klub itu dinakhodai presiden asal Inggris Alfred Edwards. Sebelum masa kepemimpinannya berakhir, Pirelli ingin punya warisan tersendiri dan dicetuskanlah gagasan membangun stadion sendiri untuk menggantikan stadion kecil yang menjadi kandang lama klub, Campo di Viale Lombardia. Tak hanya Rossoneri yang didirikan oleh orang Inggris, Pirelli juga sosok penggemar sepakbola Inggris. Maka ia menginginkan stadion yang berbeda dari markas klub Italia kebanyakan, yakni stadion tanpa trek atletik seperti kebanyakan stadion di Inggris. Sebelum San Siro dibangun, hanya ada satu stadion tanpa trek atletik di Italia, yakni Stadio Marassi (kini Stadio Luigi Ferraris) milik klub Genoa CFC yang dibangun pada 1911. Diungkapkan Bo Kampmann Walther dalam “Sports History, Culture, and Practice in Europe” yang dimuat dalam Sports Around the World , stadion itu dibangun Pirelli dengan menelan dana lima juta lira. Pembangunannya dipercayakan pada arsitek Ulisse Stacchini dan insinyur teknik sipil Alberto Cugini. Pembangunannya memakan waktu 13 bulan (Agustus 1925-19 September 1926). “Stadionnya dinamai Nuovo Stadio Calcistico San Siro karena berlokasi di distrik San Siro, Milan, bersebelahan dengan arena pacuan kuda milik Pirelli. Mulanya stadion hanya punya kapasitas 35 ribu kursi,” tulis Walther. Nuovo Stadio Calcistico San Siro alias Stadion San Siro yang rampung dibangun pada 1926 (Foto: magliarossonera.it ) Rupa San Siro saat itu masih sangat tipikal stadion di Inggris. Selain tak ada trek atletik, yang berarti jarak penonton dan lapangan sangat dekat, stadion terdiri dari empat tribun terpisah bertingkat satu. Hanya salah satu tribunnya yang diberi atap. Beberapa fasilitas sederhana ditempatkan di masing-masing kolong tribun. Selain ruang ganti, ada kamar mandi, kantor manajemen, dan staf pelatih. Karena lokasinya sangat berdekatan dengan arena pacuan kuda milik Pirelli, lucunya beberapa area di kolong tribun pun dijadikan istal kuda dan gudang makanan kuda. Saat diresmikan pada 19 September 1926, laga perdana yang dihelat adalah derby AC Milan kontra Inter Milan. Tuan rumah kalah 3-6. Markas AC Milan ini kemudian jadi salah satu markas timnas Italia. San Siro terpilih jadi venue semifinalPiala Dunia 1934, 3 Juni 1934, di mana Italia berhasil mengalahkan Austria 1-0. Serangkaian Bedah Stadion Pada 1935, stadion itu dijual ke pemerintah kota Milan dengan nilai yang hingga kini belum diketahui. Sejak saat itu San Siro mengalami beberapkali renovasi besar. Pemerintah kota merenovasinya pada 1935 dengan menambah tribun tingkat kedua di dua sektor sisi lapangan, serta tribun tambahan di empat sudut stadion. Semua tribunnya pun menyatu. Total, San Siro bisa menampung hingga 55 ribu penonton. Mulai 1947, Inter Milan yang sebelumnya berkandang di Arena Civica, pindah ke San Siro. Hal itu menandai kedua tim sekota tersebut berbagi “rumah sewa”. Imbasnya, terjadi penambahan jadwal pertandingan. Jika sebelumnya pertandingan biasa digelar pada sore, bertambah ke malam hari. Pemerintah kota pun mesti menambah lampu tembak agar laga bisa dimainkan ketika matahari sudah terbenam. Setahun pasca-Inter Milan ikut berkandang di San Siro, bedah stadion kembali diajukan, berupa penambahan tingkat ketiga di semua sektor tribun. Desainnya dikerjakan arsitek Ferruccio Calzolari dan pembangunannya dikomandi insinyur Armando Ronca. Bagian luar stadion juga ditambahkan 12 baris beton berbentuk spiral sebagai aksen anyar sekaligus menjadi akses baru menuju tribun atas. “Rencananya stadion itu bisa menampung 150 ribu penonton. Tetapi dewan kota Milan menolak usulan proyek itu dan melarang kapasitas penonton yang melebihi 100 ribu penonton dengan alasan keamanan. Pada akhirnya renovasi baru berjalan pada 1955 dengan hanya dilakukan penambahan kapasitas di tribun tingkat kedua dengan total bisa menampung 85 ribu penonton,” sambung Walther. Stadio San Siro dengan wajah baru pasca-renovasi 1955 (Foto: magliarossonera.it ) Setelah bintang Inter dan AC Milan Giuseppe Meazza wafat pada 21 Agustus 1979 akibat penyakit pankreas, namanya diabadikan untuk menggantikan nama Stadio San Siro pada 2 Maret 1980. Tetapi meski nama resmi stadion sudah menjadi Stadio Giuseppe Meazza, publik Italia dan dunia masih sering menyebut stadion dengan San Siro. Tujuh tahun kemudian, stadion itu kembali dibedah. Kali ini untuk kepentingan Piala Dunia 1990, di mana Italia jadi tuan rumah untuk kedua kalinya. Proyek bedahnya menghabiskan dana 60 juta dolar Amerika. Pengerjaannya dipercayakan kepada duet arsitek Giancarlo Ragazzi dan Enrico Hoffer, dan pembangunannya di bawah pimpinan Insinyur Leo Finzi. Desain Ragazzi dan Hoffer mengubah total wajah stadion. Mereka menambahkan tribun tingkat ketiga di dua sudut stadion dan tribun sektor barat. Untuk menambah aksen dan memperkuat bangunan tribun tingkat tiga, Ragazzi-Hoffer menambahkan 11 menara penopang berbentuk silinder yang menyamai motif beton spiral di bangunan stadion. Empat dari 11 menara yang berada di masing-masing sudutnya juga berfaedah untuk menopang empat rangka atap baja raksasa menonjol berwarna merah. Stadio San Siro sejak renovasi 1990 hingga kini yang beken dengan atap baja melintangnya yang menonjol (Foto: fifa.com/archeyes.com ) San Siro pun bak benteng, ikonik, dan modern. Renovasi itu rampung pada 1990. Dengan kapasitas 80.018, ia menjadi stadion berkapasitas terbesar di Italia. Laga perdana di San Siro usai renovasi yakni partai pembuka Piala Dunia 1990, yang mempertemukan Argentina dan Kamerun. Partai pembuka Grup B itu dimenangi Kamerun 1-0. “Sejak saat itu atmosfer di San Siro begitu menggairahkan. Atmosfernya tercipta begitu intens dari fans yang berjarak sangat dekat dengan lapangan, sebagaimana di Inggris. Dari tribun teratas San Siro, Anda bisa melihat setiap sudut lapangan, ibarat permainan catur namun dengan intensitas yang kuat,” tandas John Foot dalam Calcio: A History of Italian Football.

  • Empat Upaya Pembunuhan Hitler yang Gagal

    UMUR adalah rahasia Tuhan. Berulangkali percobaan pembunuhan menghampirinya, nyawa Der Führer Adolf Hitler tetap selamat. Nyawa Hitler baru menguap di pengujung perang, 30 April 1945, atas keputusannya sendiri: bunuh diri di bunker -nya. Sejarawan Inggris Roger Moorhouse dalam bukunya, Killing Hitler: The Plots, The Assassins, and the Dictator Who Cheated Death, mengungkapkan, setidaknya terjadi 42 kali usaha mengincar nyawa Hitler, baik sebelum ia jadi Kanselir Jerman pada 1933 maupun sudah mengobarkan Perang Dunia II. Hanya sekali jiwa Hitler benar-benar terancam, yakni kala komplotan Plot 20 Juli (1944) meledakkan bom koper yang bikin Hitler luka-luka. Upaya pembunuhan Hitler juga pernah dilakukan salah satu kaki tangan terdekatnya, yakni Albert Speer. Speer merupakan arsitek cemerlang yang juga menteri Persenjataan dan Produksi Perang. Dia pernah mencoba membunuh Hitler dan upayanya jadi upaya terakhir sebelum Hitler bunuh diri. Niatnya membunuh Hitler mulai muncul setelah pertemuan terakhirnya dengan Hitler di bunker-nya pada 23 April 1945. Niat itu disebabkan Speer tak rela melihat negerinya dibawa ke jurang kehancuran lebih dalam dengan perintah Hitler padanya untuk melakukan bumi hangus di Berlin. “Rencananya adalah menyemprotkan gas beracun ke sistem ventilasi bunker. Dia mencari gas beracun dan menyelidiki sistem pengatur udara. Kemudian dia menemukan bahwa pipa masuk udara di taman dilindungi sebuah cerobong setinggi empat meter yang baru dipasang atas perintah Hitler untuk mengantisipasi sabotase,” tulis A. Pambudi dalam Kematian Adolf Hitler. Baca juga: Hitler Menikah di Bunker Sayangnya rencana itu tak pernah terjadi. Di hadapan sidang militer Nürnberg, sidang pengadilan penjahat perang, Speer menyatakan rencananya gagal setelah cerobong dan sistem ventilasi di bunker Hitler dijaga ketat pasukan Schutzstaffel (SS) sebagai imbas dari intensnya pemboman Sekutu dan kian mendekatnya ancaman Uni Soviet dalam Pertempuran Berlin (16 April-2 Mei 1945). Rencana yang Speer itu hanya satu dari sekian upaya yang “layu sebelum berkembang” gegara “bantuan” Sekutu dan Soviet. Sebagian besar rencana dan upaya sebelumnya juga kandas akibat hal serupa, kecuali beberapa di antaranya di bawah ini: Penembakan Munich Beer Hall Percobaan pembunuhan pertamakali terhadap Hitler terjadi pada November 1921 di Bürgerbräukeller, Munich dalam reli politik di ajang beer hall dalamketika Htiler mendaki kekuasaan lewat Partai Nazi. Menurut James P. Duffy dan Vincent L. Ricci dalam Target Hitler: The Plots to Kill Adolf Hitler , hingga sekarang masih gelap identitas pelakunya lantaran penembakan itu terjadi saat situasi tengah kacau. “Di antara massa yang hadir terdapat sekitar 300 kelompok oposisi dari Partai Sosialis Independen, serta Partai Komunis Jerman. Saat pidato Hitler mulai memanas, meledaklah kerusuhan antarmassa dan dari kekacauan itu, sejumlah orang tak dikenal melepaskan tembakan ke arah Hitler yang tak satupun mengenai sasarannya,” ungkap Duffy dan Ricci. Baca juga: Hitler Seniman Medioker Kericuhan baru mereda setelah situasi dikendalikan pihak kepolisian yang dibantu 25 personel Sturmabteilung (SA), paramiliter Partai Nazi, cikal bakal Pasukan SS. Ratusan orang luka-luka tapi tak satupun yang dilaporkan meninggal, pun tak satu jua yang ditangkap. “Sebelum jadi kanselir, pada 1923 juga dua kali Hitler lolos dari percobaan pembunuhan. Yakni saat mobilnya ditembaki orang tak dikenal di Thuringia dan di Leipzig. Ditambah pada 1929 seorang anggota SS yang bertugas di Sportpalast dilaporkan menanam bom di bawah podium panggung pidato Hitler. Anehnya jelang Hitler berpidato, ia terpaksa buang air ke toilet dan sialnya ia terkunci. Ia lupa memicu bom waktu itu hingga lagi-lagi Hitler lolos dari maut,” sambungnya. Percobaan Maurice Bavaud Setelah Hitler naik menjadi kanselir, upaya percobaan pembunuhan terhadapnya kian intens. Satu yang paling “viral” kala itu adalah upaya dari Bavaud, pelajar asal Swiss di sekolah teologi di Seminari St. Ilan. Rencananya membunuh Hitler dipicu oleh pengaruh gagasan komplotan anti-komunis Compagnie du Mystère pimpinan Marcel Gerbohay yang menganggap bahwa selain orang-orang komunis, Hitler juga seorang anti-Kristus dan reinkarnasi dari iblis yang mengancam Gereja Katolik. Diungkapkan Peter Hoffmann dalam German Resistance to Hitler , Bavaud datang ke Munich pada 9 November 1938 kala Hitler menghadiri peringatan Beer Hall Putsch atau momen kudeta Nazi yang gagal 15 tahun sebelumnya. Bavaud memanfaatkan penyamarannya sebagai wartawan asal Swiss agar bisa mendapat tempat di barisan depan. Ia sudah menyelipkan sepucuk pistol semi-otomatis Haenel Schmeisser kaliber 6,35mm di saku dalam mantelnya. Baca juga: Rekayasa Hoax Mengelabui Hitler “Saat yang dinanti tiba. Hitler tampak datang mendekat tapi sialnya sejumlah pasukan SA berbaris di depan Bavaud untuk melakukan salam Nazi. Pandangan Bavaud pun terhalang. Ia terpaksa mengurungkan niatnya tetap berusaha terus menguntit aktivitas Hitler,” tulis Hoffmann. Sayangnya upaya Bavaud terus menguntit Hitler hingga Desember 1939 terbentur menipisnya dana. Saat di keretaapi hendak melarikan diri ke Paris, ia dicokok Gestapo (polisi rahasia). Setelah melalui interogasi mengerikan, ia membongkar niatnya membunuh Hitler. Upaya diplomasi pemerintah Swiss untuk mengampuninya ditolak. Ia disidang di Pengadilan Rakyat (Volksgerichthof) dan divonis mati. Ia dieksekusi dengan guillotine di Penjara Berlin-Plötzensee, 14 Mei 1941. Pemboman Bürgerbräukeller Johann Georg Elser, seorang tukang kayu cum kader Roter Frontkämpferbund (RFB), onderbouw Partai Komunis Jerman, berupaya membunuh Hitler lewat pemboman di Aula Burgerbräukeller di Munich pada 8 November 1939. Hitler ketika itu hadir dalam rangka peringatan Beer Hall Putsch. Sebagaimana dikisahkan Hellmut G. Haasis dalam Bombing Hitler: The Story of the Man Who Almost Assassinated the Führer , Elser dengan seksama mengendap-endap menanam sejumlah bom waktu di pilar-pilar aula yang bakal jadi tempat Hitler berpidato pada malam 1 November hingga dini hari 2 November. Setelah mengetahui jadwal kedatangan Hitler, yakni pukul 20.00, dan jadwal pidatonya selama dua jam, ia pada 6 November malam kembali menyusup ke dalam aula untuk mengatur detonator agar meledak pada pukul 21.20 tanggal 8 November. “Sehari sebelum hari-H Hitler berpidato, Elser yang sudah mengatur waktu ledakan segera melarikan diri dengan keretaapi dari Munich menuju Friedrichshafen. Dilanjutkan berangkat dengan kapal uap menuju Konstanz,” ungkap Haasis. Baca juga: Erwin Rommel "Dipaksa" Hitler Bunuh Diri Elser pergi dengan keyakinan bomnya bakal memusnahkan sang pentolan Nazi. Namun harapannya meleset. Cuaca berkabut membuat Hitler memilih jalan darat untuk kembali ke Berlin. Agar bisa pulang dari Munich ke Berlin di malam yang sama, jadwal keretaapinya pun dimajukan. Perubahan jadwal itu berpengaruh pada durasi pidato Hitler dari dua jam menjadi satu jam saja. Alhasil Hitler sudah meninggalkan podium pada pukul 21.07 atau 13 menit sebelum detonator itu meledak. Bom itu akhirnya meledak pada jam 21.20, meruntuhkan atap aula dan tembok bagian luar. Delapan orang tewas dan 62 lainnya terluka. Elser kemudian diciduk di Konstanz, dekat perbatasan dengan Swiss. Nasibnya berakhir di Kamp Konsentrasi Dachau. Elser menemui ajalnya setelah dieksekusi pada 9 April 1945 atau beberapa pekan sebelum Kapitulasi Jerman. “Seorang pria punya keberuntungannya sendiri. Sekarang saya bisa tenang! Kepergian saya yang lebih cepat dari biasanya menjadi bukti bahwa Tuhan ingin saya mencapai kesuksesan saya,” ujar Hitler yang baru tahu sebuah bom telah meledak ketika keretaapinya baru sampai di Nürnberg, dikutip Haasis. Pemboman Plot 20 Juli Sudah beberapa kali Generalmajor Henning von Tresckow mengotaki upaya pembunuhan Hitler. Pada 1941, ia turut dalam sebuah komplotan berisi para politikus oposisi dan sejumlah perwira tinggi AD Jerman anti-Nazi. Tetapi upaya itu baru terlaksana pada 20 Juli 1944 lewat bom koper yang dibawa Kolonel Claus von Stauffenberg saat Hitler tengah rapat di Rastenburg. Setelah merancang Operasi Valkyrie untuk merebut kekuasaan dari Nazi demi menertibkan situasi dan kondisi, Tresckow menyerahkan pelaksanaan pembomannya pada Stauffenberg lantaran ia sendiri mendapat tugas ke medan perang Eropa Timur. Baca juga: Stauffenberg, Opsir "Judas" Kepercayaan Hitler “Pembunuhan harus dilakukan. Bahkan jika upayanya gagal, kita tetap harus ambil tindakan di Berlin (via Operasi Valkyrie). Dengan begitu kita tunjukkan pada dunia bahwa rezim Hitler dan bangsa Jerman tidaklah sama dan tak semua orang Jerman mendukung rezimnya,” tutur Tresckow sebelum mempercayakan pelaksanaannya pada Stauffenberg, dikutip Joseph Howard Tyson dalam The Surreal Reich. Sesuai rencana, Stauffenberg ditemani ajudannya, Letnan Werner von Haeften, datang ke Wolfsschanze, markas Hitler di Rastenburg, tempat konferensi militer dengan sejumlah perwiranya digelar pada 20 Juli 1944. Dengan hati-hati, Stauffenberg meletakkan bom waktu itu di bawah meja sedekat mungkin dengan Hitler. Setelahnya, diam-diam ia dan ajudannya meninggalkan lokasi. Baca juga: Akhir Hidup Si Pemeran Hitler Boom! Ledakan terlihat dari kejauhan pukul 12.42 ketika Stauffenberg sudah dalam perjalanan melarikan diri. Ia yakin bom itu menghabisi nyawa Hitler. Namun, ia tak tahu koper berisi bom itu sempat dipindahkan Kolonel Heinz Brandt menjauhi posisi Hitler. Alhasil, Hitler selamat meski kepala dan tangannya terluka. Para konspirator anti-Nazi itu pun lantas diburu. Stauffenberg dan sejumlah perwira AD Jerman yang terlibat dieksekusi mati di halaman Bendlerblock (markas AD Jerman). Tresckow yang mendengar kabar upaya itu gagal, memilih bunuh diri di dekat markas komandonya di Białystok, sehari setelahnya.

  • Bertahan di Barat Jawa

    Awal Mei 1948, empat bulan setelah Divisi Siliwangi meninggalkan Jawa Barat. Senja mulai memasuki Curug Sawer yang dingin. Suara air terjun bergemuruh memerangi sunyi di kawasan yang termasuk wilayah Cianjur Selatan itu. Diapit tebing tinggi dan jurang menganga, iring-iringan konvoi militer Belanda merayap di jalan sempit. Beberapa serdadu bule di dalamnya nampak tegang, sebagian di antara mereka menghisap rokok untuk mengusir rasa takut. Senjata-senjata mereka siap ditembakkan. Begitu jip pengawal iring-iringan lewat, rentetan tembakan berhamburan dari atas tebing-tebing tinggi. Granat-granat melayang dibarengi teriakan nyaring yang membuat suasana semakin mencekam. Di balik sebuah pohon besar, Kopral BM. Permana menembakan stengun-nya. Begitu juga dengan pimpinan pasukan, Letnan Djadja Djamhari tak henti-henti menembakan pistol seraya memberi komando. Setengah jam lamanya pertempuran berlangsung “Mereka akhirnya lari dengan meninggalkan sebuah truk yang berisi sekitar 10 prajurit KL (Angkatan Darat Kerajaan Belanda) yang langsung kami hantam tanpa ada yang tersisa,” kenang lelaki kelahiran Kebumen, 95 tahun lalu itu. B.M. Permana adalah seorang prajurit muda dari Kompi IV Batalyon 2 Brigade Infanteri 2 Soerjakantjana Divisi Siliwangi. Berbeda dengan sebagian besar kawan-kawannya yang dikirim untuk berhijrah ke Yogyakarta akibat pemberlakuan Perjanjian Renville saat itu, dia justru ditugaskan untuk tetap bertahan di wilayah Cianjur Selatan. “Tentu saja kami kami tidak menggunakan nama Siliwangi lagi, tapi mengatasnamakan Kesatuan Patriot Bangsa. Belanda sendiri menyebut kami sebagai 'gerombolan liar',” kata B.M. Permana. Letnan M. Adnan dari Brigade Infanteri 2 Soerjakantjana menguatkan pernyataan BM. Permana.  Dia masih ingat, pada hari-hari menjelang hijrah, dirinya dipanggil oleh Letnan Kolonel A.E. Kawilarang (Komandan Brigif 2 Soerjakantjana) ke Sukabumi. “Saat bertemu Pak Kawilarang itulah, saya diperintahkan untuk tinggal di Jawa Barat untuk terus menghadapi tentara Belanda,” ujar M. Adnan seperti tertulis dalam dokumen Dewan Harian Cabang Angkatan 45 Cianjur berjudul Beberapa Catatan Tentang Sejarah Perjuangan Rakyat Cianjur dalam Merebut dan Mempertahankan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia 1942-1949. Namun ada dua syarat yang wajib ditaati oleh pasukan-pasukan Siliwangi yang diperintahkan bertahan itu. Pertama, jika tertangkap oleh militer Belanda jangan pernah mengaku sebagai bagian dari Divisi Siliwangi dan saat beraksi dilarang keras menggunakan nama kesatuan asli. Kedua, seluruh anggota Divisi Siliwangi yang ditanam di Jawa Barat dilarang keras masuk ke wilayah-wilayah Republik Indonesia versi Perjanjian Renville. Jika ternyata tetap ada yang melarikan diri ke wilayah-wilayah tersebut, maka mereka akan langsung ditembak mati tanpa proses pengadilan. Soal “penanaman” pasukan itu diakui oleh pihak TNI. Itu terjadi karena  hasil kesepakatan Perjanjian Renville diterima dengan setengah hati oleh pihak tentara. Demikian menurut buku Siliwangi dari Masa ke Masa (ditulis oleh Sedjarah Militer Daerah Militer VI Siliwangi/Sendam VI Siliwangi pada 1968). Kendati pada akhirnya menerima keputusan untuk mengosongkan Jawa Barat, namun diam-diam Panglima Besar Jenderal Soedirman telah menugaskan Letnan Kolonel Soetoko untuk tetap mengkoordinasikan perlawanan bersenjata di tanah Pasundan. Lewat Soetoko-lah kemudian dibentuk Brigade Tjitaroem, sebagai induk perlawanan kaum Republik di Jawa Barat. Upaya tersebut sempat tercium oleh intelijen militer Belanda dan menyebabkan Soetoko dipenjarakan pada Agustus 1948. Namun tanpa Soetoko, kiprah Brigade Tjitaroem terus berjalan. Ada beberapa batalion dan kesatuan lasykar yang tergabung dalam organ tersebut. “Yang saya ingat di antaranya  adalah pasukan Mayor Soegih Arto di Cililin, pasukan Letnan Effendi di Gentong-Tasikmalaya, pasukan Letnan Tjoetjoe di Gunung Cikuray-Galunggung, pasukan Letnan Zakaria di Bekasi, dan sebagian anggota Brigade Infanteri Soerjakantjana di Cianjur-Sukabumi,” ungkap Letnan Kolonel (Purn.) Eddie Soekardi, sesepuh Divisi Siliwangi. Aksi rahasia yang dilakukan oleh TNI itu mendapat reaksi keras dari pihak militer Belanda. Guna mengantisipasi aksi-aksi yang dijalankan oleh “pasukan liar” tersebut, pihak militer Belanda memutuskan untuk menjalankan operasi-operasi pembersihan di daerah-daerah yang ditinggalkan oleh pasukan Siliwangi. Salah satu kawasan di Jawa Barat yang dinilai “corak republik”nya masih kental adalah Sukabumi. Di daerah itu, propaganda-propaganda pro-republik terus berlangsung. Bahkan, penyerangan terhadap pos-pos militer Belanda juga sering terjadi, kadang-kadang secara sporadis. Kekacauan-kekacauan itu tentu saja menimbulkan kemarahan pihak militer Belanda. Menurut salah seorang saksi sejarah bernama Atjep Abidin (95), tidak jarang usai terjadi penyerangan terhadap pos-pos militer Belanda, operasi pembersihan langsung dilakukan beberapa jam kemudian. “Rakyat sipil dikumpulkan. Setelah dintimidasi, beberapa kaum lelaki dari mereka diambil dan dimasukkan ke penjara militer Van Delden, yang terletak di Gunung Puyuh, Sukabumi,” ujar anggota Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Takokak ini. Menurut Atjep, operasi pembersihan yang paling sering dilakukan yaitu di kawasan Nyalindung dan Sagaranten. Kedua tempat tersebut memang dikenal sebagai basis fanatik kaum Republik. Selanjutnya dari Van Delden, secara berkala, orang-orang yang dinilai militer Belanda sebagai kaum Republik dibawa ke wilayah Takokak , nama suatu kawasan terpencil yang yang terletak kira-kira 25 km di utara Sukabumi. Salah seorang mantan gerilyawan di Sukabumi, Yusuf Soepardi (96) mengakui bahwa Takokak sebagai tempat eksekusi mati kaum Republik memang sudah santer di kalangan masyarakat Sukabumi dan Cianjur. “Kalau ada orang Sukabumi atau Cianjur dibawa oleh tentara Belanda ke sana, ya jangan berharap ia bisa pulang lagi ke rumah…” ujar veteran yang di masa-masa tuanya pernah menjadi kuli panggul di Pasar Induk Cianjur tersebut. Sepeninggal Divisi Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah, sesungguhnya tak ada perubahan situasi yang berarti di Jawa Barat. Pertempuran tetap berlangsung dan penyerangan pos-pos militer Belanda tetap terjadi. Itu dilakukan baik oleh pasukan Siliwangi yang sengaja ditinggalkan di Jawa Barat, laskar-laskar maupun oleh pasukan Tentara Islam Indonesia (TII) yang secara resmi menentang Perjanjian Renville.  Kondisi tanpa stabilitas tersebut berlangsung hingga “para maung” Siliwangi pulang kembali ke Jawa Barat menyusul  hancurnya kesepakatan Renville pada 19 Desember 1948.

  • Barong Penjaga Desa

    PERAYAAN itu berlangsung sederhana. Dengan mengenakan masker dan menjaga jarak, belasan orang berjalan mengiringi barong keliling desa. Mereka dikawal beberapa petugas berpakaian APD (alat pelindung diri) lengkap yang mengingatkan warga agar menjaga jarak dan sesekali menyemprotkan disinfektan. Sejumlah warga hanya menonton di halaman rumah. Di tengah pandemi Covid-19, pemangku adat warga Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi memutuskan tetap melaksanakan ritual Barong Ider Bumi pada 25 Mei lalu. Ritual ini diadakan sebagai upacara tolak bala atau penolak penyakit, bencana, dan sebagainya. Pada tahun-tahun sebelumnya ritual digelar meriah. Ada acara seremoni, aneka hiburan, hingga tradisi makan tumpeng pecel pitik. Tapi pandemi Covid-19 memaksa mereka untuk memangkas prosesi untuk menghindari kerumunan orang. Tahun ini ritual hanya berupa arak-arakan barong dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan. Makan bersama yang biasanya dilakukan seluruh warga di tengah jalan juga ditiadakan. Sebagai gantinya pelaku adat makan bersama di rumah pemangku adat selametan desa. “Semoga pandemi Covid-19 ini selesai. Tidak ada lagi Corona,” ujar Suhaimi, tokoh adat setempat, dikutip detikcom . Mengarak Barong Ritual Barong Ider Bumi adalah tradisi turun-temurun masyarakat Osing di Desa Kemiren. Tradisi ini dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur atas keselamatan dan keamanan sekaligus upacara tolak bal yang diadakan setiap tanggal 2 bulan Syawal dalam kalender Hijriah. Sesuai namanya, unsur terpenting dalam ritual ini adalah barong, sosok binatang mitologi yang bisa dijumpai dalam masyarakat Jawa dan Bali. Keberadaannya diyakini memiliki kekuatan magis dan dianggap suci oleh masyarakat. Ia juga dipercara menjadi pelindung dari makhluk-makhluk jahat, penyakit, magi hitam, dan sebagai manifestasi kebaikan. Sebagai salah satu ikon seni tradisi Banyuwangi, barong dimiliki beberapa  desa yang dihuni masyarakat Osing. Namun yang paling terkenal dan melegenda adalah barong Kemiren. Ia berwujud hewan raksasa; bersayap empat dan bermahkota, dengan mata besar melotot, serta taring mencuat keluar. Mahkotanya kerucut dikombinasikan dengan hiasan pelengkap dan dandanan rambut berbentuk udang. Barong dimainkan dua orang yang bertugas di bagian kepala dan bagian ekor. Menurut Wiwin Indiarti dan Abdul Munir dalam “Peran dan Relasi Gender Masyarakat Using dalam Lakon Barong Kemiren-Banyuwangi” di jurnal Patrawidya , April 2016, barong Kemiren merupakan unsur terpenting dalam ritual Ider Bumi maupun upacara bersih desa Tumpeng Sewu. Di sisi lain, ia ditampilkan pada acara pernikahan, khitanan, penyambutan tamu, festival kesenian, dan acara lainnya. Barong Kemiren bertransformasi menjadi tontonan (hiburan), meski unsur spiritual magis tetap berperan. “Dengan kata lain, seni tradisi ini berfungsi sakral sekaligus profan,” tulis mereka. Menariknya, menurut Wiwin Indiarti dan Abdul Munir, kendati asal-usulnya selalu dikaitkan dengan Kemiren, pertunjukan barong berasal dari Dandang Wiring (sekarang daerah Perliman) di Banyuwangi yang saat itu dipimpin oleh Mbah Sukib. Mbah Sukib memiliki barong beserta perlengkapan musiknya. Pada 1920-an Mbah Sukib yang sudah mulai tua sepakat menjualnya kepada Mbah Salimah di bagian timur Desa Kemiren. Mbah Salimah adalah salah satu juru kunci makam dan perantara roh Buyut Cili, danyang desa tersebut. Suatu saat dia diminta roh Buyut Cili untuk membeli barong dari Mbah Sukib. Sayangnya, upaya Mbah Salimah gagal karena beberapa anggota kelompok barong dari Dandang Wiring enggan melepas barong itu. Berutung Mbah Sukib akhirnya mau membuat tiruannya. Sebagai ritual, ritual Barong Ider Bumi menjadi salah satu tradisi tertua di Banyuwangi. Menurut Mudjijono dan Christriyati Ariani dalam Komunitas Adat Using di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi ,upacara adat ini awalnya dimaksudkan untuk menghilangkan pagebluk yang menyerang warga Kemiren. Menurut cerita tutur, Desa Kemiren dilanda wabah penyakit dan hama tanaman. Melihat kondisi desa yang sangat memprihatinkan, beberapa sesepuh desa memutuskan berziarah ke makam Mbah Cili. Mereka berdoa meminta petunjuk dan pertolongan guna mengembalikan keadaan desa seperti semula. Beberapa hari kemudian, para sesepuh mendapat wangsit dari Buyut Cili agar warga Desa Kemiren mengadakan upacara slametan dan arakan-arakan barong mengelilingi desa. Setelah melakukan ritual yang dimaksudkan, Desa Kemiren terbebas dari pageblug . “Di sini terlihat bahwa upacara adat dapat 'mengikat' penduduk Kemiren dalam satu tujuan yang sama, yakni keselamatan desa beserta warganya,” tulis Mudjijono dan Christriyati Ariani. Sosok Buyut Cili menjadi bagian penting dalam ritual Barong Ider Bumi. Masyarakat Using meyakini Buyut Cili selalu hadir di setiap pelaksanaan Barong Ider Bumi. Keyakinan itu telah ada sejak pelaksanaan ritual yang pertama; beberapa sumber menyebut tahun 1800-an, namun sumber lain menyebut awal 1900. Pada setiap ritual Barong Ider Bumi, barong selalu diletakkan pada urutan pertama dan diikuti kesenian-kesenian lain yang ada di Kemiren. Iring-iringan biasanya terdiri atas barong, pitik-pitikan (ayam-ayaman), macan-macanan dan para pemusik yang membawa alat musik berupa kethuk, gong, ceng-ceng, dan kendang. “Prosesi mengarak barong mengelilingi desa dalam ritual Ider Bumi merupakan bagian penting dan keharusan bagi masyarakat Kemiren,” tulis Wiwin Indiarti dan Abdul Munir. Pelaksanaan Ritual Selain barong, elemen lain yang tak kalah penting di dalam ritual Ider Bumi adalah sesajen. Ada tiga jenis sesajen yang disiapkan: sesajen di makam Buyut Cili, rumah barong, dan jalan desa. Sesajen di makam Buyut Cili dan jalan desa memiliki kemiripan menu, yakni tumpengan, pecel pitik, jenang merah dan putih, kemenyan yang dibakar, dan toya arum (air bunga kenanga). Sementara sesaji di rumah barong tak terlalu beragam  karena di tempat ini hanya dilaksanakan ritual kecil sebagai wujud permintaan izin. Di sana para pemangku adat melakukan penataan untuk segala keperluan arak-arakan, terutama pemasangan pernak-pernik barong serta alat musik sebagai pemandung iringan barong. “Menurut kepercayaan mereka, setelah pelaksanaan ritual di makam Buyut Cili, barong tersebut sudah dimasuki danyang desa tersebut, maka pendukung yang terlibat tidak berani memegang barong, yang diperbolehkan dan berani hanya pemiliknya,” tulis Sulistyani. Pelaksanaan ritual Barong Ider Bumi melibatkan seluruh warga Desa Kemiren. Persiapan dilakukan dengan melaksanakan upacara adat di makam Buyut Cili dan rumah barong untuk meminta izin agar ritual berjalan lancar dan keselamatan diberikan selama prosesi. Prosesi pemberangkatan iring-iringan barong dimulai dari sisi timur desa (Dusun Kedaleman) menuju sisi barat desa (Dusun Krajan). Di setiap sudut desa, sesaji diletakkan.  Setelah itu iring-iringan kembali lagi ke tempat pemberangkatan awal. Acara ditutup dengan doa bersama dan selametan yang hidangan utamanya bubur merah-putih (jenang abang-putih) dan tumpeng-pecel pitik. Menurut Sulistyani dalam “Ritual Ider Bumi di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi” di jurnal Mudra tahun 2008, pelaksanaan dari timur ke barat ini sesuai keyakinan di dalam Islam, sebagai agama mayoritas masyarakat desa Kemiren bahwa kiblat berada di barat. “Dengan demikian tampak dengan jelas bahwa segala aktivitas masyarakat Using di Desa Kemiren selalu terdapat penggabungan antara agama yang dianut dengan warisan budaya yang masih dijalani,” tulis Sulistyani. Ritual Barong Ider Bumi sejatinya masuk dalam agenda wisata tahunan Banyuwangi Festival 2020. Namun pandemi Covid-19 membuat ritual ini digelar tanpa konsep festival. Toh, meski dilakukan di tengah keterbatasan, makna ritual tetap ada: sebagai penghilang pagebluk .

bottom of page