Hasil pencarian
9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Nasib Tragis Kapal Inggris
BERT “Curly” Harris selalu ingat hari ketika peristiwa yang merenggut nyawa Edwin, kakaknya, dan juga nyaris merenggut nyawanya terjadi. Peristiwa itu terjadi perairan Norwegia, Laut Utara, awal Perang Dunia II. Bert merupakan personil AL Inggris yang –diterima pada 14 Februari 1938– bertugas sebagai stoker di kapal perusak (destroyer) HMS Glowworm . Di kapal itu pula Edwin berdinas sebagai stoker . Menyusul pecahnya Perang Dunia (PD) II, Glowworm bersama beberapa destroyer lain ditugaskan mengawal kapal penjelajah berat HMS Renown melancarkan Operasi Wilfred pada 5 April 1940. Operasi penebaran ranjau di perairan Norwegia itu bertujuan untuk menutup jalur distribusi impor bijih besi Jerman dari Swedia. Inggris menggelarnya setelah gagal mendapat izin dari Swedia dan Norwegia untuk menempatkan pasukan di kota-kota utara dua negeri netral itu, terutama kota pelabuhan Narvik, Norwegia. Dari kota pelabuhan itulah bijih besi, bahan pembuat baja beragam peralatan militer Jerman, Swedia dikirim ke Jerman. Dengan menutup jalur perairan itu, Inggris berharap mematikan industri Jerman. Pasalnya, Swedia jadi satu-satunya pemasok bijih besi ke Jerman setelah terhentinya pasokan bijih besi dari Prancis menyusul pecahnya PD II. Bijih besi itu bisa dikirim langsung Swedia ke Jerman lewat pelabuhan Lulea hanya pada musim panas. Namun, perairan di pelabuhan itu membeku saat musim dingin sehingga bijih besi untuk Jerman hanya bisa dikirim menggunakan keretaapi ke pelabuhan Narvik untuk kemudian dibawa kapal-kapal Jerman lewat Laut Utara. Dengan menebar ranjau di laut itu di lepas perairan Norwegia, Inggris berupaya untuk menggiring kapal-kapal pengangkut bijih besi Jerman masuk ke perairan internasional. Di perairan internasional, kapal-kapal AL Inggris bisa menenggelamkan atau menangkap kapal-kapal Jerman. Misi itulah yang diemban Glowworm ketika berlayar mendampingi HMSRenown pada 5 April 1940. Pelayaran itu terasa berat lantaran kabut tebal, gelombang tinggi mengguncang-guncang kapal, dan udara sangat dingin. “Begitulah yang terjadi sampai pagi 6 April ketika alarm berbunyi memperingatkan bahwa seorang pelaut tercebur ke laut, dia petugas bagian torpedo,” kata Harris, dimuat hmsglowworm.org.uk . Setelah mengirimkan sinyal ke Renown dan mendapat balasan, Glowworm putar balik untuk melakukan pencarian. Renown dan kapal-kapal lain tetap melanjutkan perjalanan. “Itu membuat kami sendirian. Kami tak pernah melihat mereka lagi,” kata Harris. Alih-alih berhasil menemukan awaknya, Glowworm malah terpisah dari konvoinya. Upayanya mencari konvoi sepanjang hari sia-sia. Kesialan itu masih berlanjut hingga keesokan paginya, ketika satu awak lain mengalami nahas terlempar dari dek. Kendati berhasil diangkut kembali ke kapal, awak itu sudah terluka parah. Harris dan beberapa rekannya mengganggap itu sebagai pertanda buruk. Benar saja, pagi 8 April, Harris yang sedang tidur di ranjang gantungnya dikagetkan oleh bunyi alarm keras. Dia langsung bergegas menuju tempat tugasnya –yang berada di bagian belakang; tempat para stoker memasok peluru atau peledak lain ke kru senjata ( gun crew ) guna ditembakkan– sebagaimana awak lain menuju tempat tugas masing-masing. Dalam perjalanan, Harris melihat sebuah destroyer di kejauhan dan bertanya-tanya kapal siapa itu. “Kapten kami, Lt. Cdr. Roope, mengirim sinyal yang menanyakan kebangsaan dan tak mendapat balasan. Momen berikutnya kapal (destroyer, red .) itu menjawab dengan sebuah salvo dari meriam-meriamnya,” kata Harris. “Kesenangan pun dimulai.” Destroyer itu merupakan Bernd von Arnim (Z11) dan Hans Ludemann (Z18) milik Kriegsmarine (AL Jerman). Destroyer-destroyer itu mengawal kapal penjelajah berat Admiral Hipper dari Grup 2 naval detachment dalam Operasi Weserubung, operasi penyerbuan Denmark dan Norwegia oleh Jerman. Glowworm langsung membalas dengan kanonnya. “Setelah saling berputar, ia berbalik dan menjauh bersama kami yang mengejarnya,” kata Harris. Destroyer-destroyer meminta bantuan Admiral Hipper . “Beberapa saat kemudian, kami diberi tahu bahwa kami mengejarnya ke posisi skuadron armada kami yang bisa dilihat dari kejauhan. Namun, kami segera mendapati kesalahan karena itu adalah skuadron Jerman yang kami masuki.” Pukul 9.50, Glowworm bertemu Admiral Hipper yang panjangnya dua kali lipat darinya. Alih-alih kabur, komandan Glowworm Letnan Komander Gerard Broadmead Roope memilh melawan. “Selama kampanye Norwegia, kapal-kapal Inggris berulangkali menunjukkan tekad bunuh diri. Salah satu alasannya adalah, peraturan angkatan laut; yang lain adalah sikap umum para perwira angkatan laut negara-negara yang berperang, yang mengharapkan bertempur dengan gagah melawan musuh dan tenggelam dengan kibaran bendera, dan penghormatan pantas bila terjadi,” tulis buku yang dieditori Holger Afferbach dan Hew Strachan, How Fighting Ends: A History of Surrender . Meski selamat dari tiga tembakan kanon 8 inci Hipper , Glowworm akhirnya terbakar setelah dihantam kanon keempat Hipper . “Sementara kami terus memasok senjata, rasanya semua kacau. Ia ( Hipper ) sepertinya memukul kami dengan keras saat kami mengejar,” kenang Harris. Dalam “lindungan” kabut dan asapnya sendiri, Glowworm menjauh dari Hipper . Upaya itu sia-sia karena persenjataan Hipper telah dipandu radar. Beberapa saat kemudian, beberapa kanon 4,1 inci Hipper kembali menghantam Glowworm. Ruang radio, bridge , kanon 4,7 inci Glowworm langsung hancur. Sementara, kanon 4,7 inci Hipper memporak-porandakan ruang mesin, ruang kapten, dan menara Glowworm . Di tengah kondisi parah itu, Glowworm menembakkan lima torpedonya. Sayang tak satupun dari lima torpedo itu menyentuh Hipper . Glowworm terus bermanuver untuk menghindari senjata-senjata lawan. Begitu kabut menipis, Roope memerintahkan nahkoda untuk mengarahkan Glowworm menabrak Hipper . “Saya masih di magazine (kompartemen senjata) ketika Glowworm memberi dorongan ekstra ke depan dan ada tabrakan dan bergetar. Lampu padam, kapal berguling dan terombang-ambing,” kata Harris. Glowworm berhasil menabrak Hipper tepat di atas jangkarnya. Selain kehilangan seorang awak yang terbentur akibat tabrakan, Hipper kehilangan jangkar dan sebuah torpedo depan-kanan. Tabrakan juga membuat lambung depan Hipper bolong sehingga mengalami kebocoran kendati tak parah dan bisa ditangani para awaknya. Glowworm sendiri terbakar hebat dan terapung-apung di lautan. “Kami baru saja membuat permainan besar terakhir. Kemudian datang perintah untuk meninggalkan kapal,” kata Harris. Evakuasi dimulai. Saat melintasi tempat kakaknya ketika akan menuju dek atas, Harris sempat berhenti dan mencari kakaknya. Tak berhasil. Dia melanjutkan ke dek atas. Suasana amat kacau lantaran para personil Hipper masih menembaki awak Glowworm yang hendak menyelamatkan diri menggunakan senapan mesin maupun pistol. Sementara Glowworm telah terbalik ke kanan dan mulai tenggelam, Harris ragu apakah akan melompat atau tetap di kapal sebagaimana banyak dipilih stoker lain meski sudah mengenakan pelampung. Selain ombak besar, tumpahan minyak amat tebal dan dinginnya air bisa membekukan. Dia akhirnya melompat ke laut setelah diperintahkan Roope yang berkeliling untuk memastikan evakuasi berjalan baik. “Itu terakhir kali saya melihat Lt.Cdr Roope,” kata Harris. Harris terombang-ambing oleh ombak. “Saya hanya hanyut, berenang atau tidak tak ada bedanya,” kenangnya. “Lalu tiba-tiba saya melihat kapal Jerman di depan saya. Saya berenang sekuat mungkin, karena saya pikir jika saya tak mencapainya saya akan hilang selamanya.” Awak Hipper akhirnya ikut menyelamatkan awak Glowworm . “ Admiral Hipper menunggu setidaknya satu jam untuk mengambil orang yang selamat,” tulis Henry Buckton dalam Retreat: Dunkirk and the Evacuation of Western Europe . Dari perahu Jerman, Harris dipindahkan ke Hipper . “Saat saya pindah, salah satu dari mereka memberi rokok dan bertanya apakah saya baik-baik. Saya berada di bawah pancaran lampu yang mereka pasang untuk menghangatkanku. Kata-kata pertamaku adalah menanyakan kabar kakakku, tapi tak ada,” kata Harris yang akhirnya merelakan kepergian kakaknya bersama 109 awak Glowworm lain yang tenggelam. Sebanyak 29 – versi lain menyebut 31– awak Glowworm akhirnya selamat setelah dinaikkan ke Hipper . Sayang Roope tak berhasil diselamatkan. Lukanya terlalu parah sehingga dia tak sanggup menggapai tali yang dilemparkan oleh awak Hipper . Para awak Glowworm di kapal Hipper akhirnya dibawa ke Jerman dan dijadikan tawanan. Selama pelayaran, mereka diperlakukan dengan baik. “Saya mengatakan mereka adalah pelaut Jerman terbaik yang pernah saya kenal. Mereka menjaga kami sebaik mungkin. Kapten mereka mendatangi kami dan memberitahu bahwa kapten kami adalah orang yang sangat pemberani,” kata Harris. Kekaguman Hellmuth Heye, komandan Hipper , akan keberanian Roope lalu dilanjutkannya dengan meminta Kementerian Angkatan Laut Inggris agar menganugerahi Roope sebuah penghargaan. Permintaan itu disampaikannya lewat pesan yang dikirim ke palang merah. “Raja (George VI) dengan senang hati menyetujui pemberian Victoria Cross kepada mendiang Letnan Komander Gerard Broadmead Roope atas keberaniannya,” tulis The London Gazette yang dikutip Buckton.
- Bidan Berjuang di Medan Perang
SAMIARTI Martosewojo, Sulastri, Mardiana Firdaus, Rusdiati Koesmini, Supiah, Sufitah, Kus Adalina, Djoharnin, Maryati, Sumartinah, Clara Lantang, Corrie Probonegoro, Daatje Idris, Murni Kadarsih, dan Soejati tak sedikitpun takut pada suasana perang. Perang mempertahankan kemerdekaan justru membulatkan tekad 15 siswi sekolah bidan itu untuk maju ke medan perang sebagai tenaga medis bagi para pejuang. Kala itu, jumlah tenaga medis di Indonesia amat minim. Di Jakarta misalnya, jumlah dokter yang semula 26 menyusut menjadi 14 orang lantaran ada rumah sakit yang tutup. Dokter-dokter itu kembali ke negaranya atau berpihak pada Sekutu. Jumlah bidan pun amat minim. Di Rumah Sakit Budi Kemulyaan yang sebelumnya terdapat enam biro konsultasi kehamilan, jumlahnya justru berkurang. Sudar Siandes mencatat dalam Profesi Bidan Sebuah Perjalanan Karier, pada pertengahan 1946 beberapa biro harus ditutup lantaran kekurangan bidan dan tenaga medis. Rumahsakit ini pun agak keteteran memberikan bantuan persalinan di awal kemerdekaan. Meski demikian, selama enam bulan dari 1945 hingga pertengahan 1946, Budi Kemulyaan berhasil menangani 1157 persalinan dalam sebulan. Paling sedikit, rumahsakit ini menangani 451 persalinan dalam sebulan. Minimnya jumlah bidan membuat Budi Kemulyaan membuka pelatihan bidan untuk gadis, minimal tamatan SMP atau yang sudah mendapatkan pendidikan keperawatan, antara 1945 hingga 1947. Sebanyak 163 gadis mendaftar sebagai murid sekolah bidan tersebut, 15 di di antaranya dikirim ke palagan Surabaya. Mereka dikirim ke palagan di bawah bendera Palang Merah. Dokter Walter Tambunan bersama O.E. Engelen, asistennya yang seorang mahasiswa kedokteran di Ika Daigaku, memimpin rombongan tersebut. Kala itu, kondisi medis di Surabaya amat memprihatinkan. Hampir seluruh rumahsakit di Surabaya mengalami masalah serupa, yakni pasien membludak, alat medis terbatas, dan kekurangan petugas medis. Untuk menjaring bantuan dari luar daerah, selama pertempuran Surabaya berlangsung, Radio Pemberontak terus menyiarkan berita perang terbaru. Berkat pidato dan popularitas Bung Tomo, obat-obatan, bantuan medis, bahan pangan, tentara, dan beragam dukungan berhasil dikumpulkan dari luar daerah. Dalam siarannya, Bung Tomo acap memaki pasukan musuh dalam bahasa Jawa Surabaya. Frank Palmos dalam Surabaya 1945: Sakral Tanahku lebih jauh mencatat, di medan laga kala itu jumlah korban berjatuhan tak sebanding dengan jumlah tenaga medis yang harus merawat mereka. Beruntung, perawat, dokter, dan bidan baru terus berdatangan dari daerah lain untuk membantu rumah sakit yang masih kebanjiran pasien. Bahkan gedung-gedung sekitar rumah sakit pun dijadikan ruang perawatan. Para relawan ini, kemudian hari dikenal sebagai gadis-gadis P3K. “Relawan baik pejuang maupun tenaga medis datang dari berbagai penjuru Nusantara,” kata Rosihan Anwar, seperti dikutip Frank Palmos. Begitu tiba di Surabaya, para bidan dan dr. Walter Tambunan langsung bergabung dengan relawan medis dari daerah lain. Orang-orang yang terluka langsung dibawa ke RSU Pusat namun semakin hari pasien makin banyak. RS Karangmenjangan yang tadinya RS Angkatan Laut Jepang pun sudah tak mampu menampung pasien. Ketika situasi perang makin memburuk dan pengeboman Inggris dimulai, kaum perempuan Surabaya berbondong-bondong turun tangan sebagai tenaga medis. Semua tim medis yang terkumpul dibagi menjadi beberapa kelompok dan dikirim ke Ngemplak, Plampitan, Kampemen, Kedungdoro, dan Embong Sawo. Merekalah yang membantu para korban untuk dibawa ke rumah sakit. Salah satu perempuan yang bergabung dengan tim medis ialah Truus Iswarni Sardjono. Ia bergabung dengan Palang Merah 45 pimpinan Loekitaningsih. Pada Historia Truus bercerita bahwa ia pernah menyaksikan anak-anak kecil yang tewas terkena bom Inggris. Banyaknya korban membuat tim medis keteteran dan kurang tidur. Mereka harus berjaga secara bergiliran untuk menolong korban-korban perang. “Kita itu 24 jam…. Kalau kita bisa merem, itu sudah hebat,” kata Truus. Lantaran rumah sakit dianggap sebagai wilayah netral untuk keperluan kemanusiaan, para relawan medis bisa keluar masuk daerah perang dengan relatif aman. Biasanya mereka naik mobil ambulans atau kendaraan dengan atap bertuliskan Palang Merah. Selain membawa pasien, truk-truk medis juga membawa obat, bahan farmasi, alat medis, dan bedah. Setelah perang usai, dari seluruh bidan yang berangkat, hanya delapan di antaranya meneruskan sebagai bidan dan bergabung dengan Ikatan Bidan Indonesia yang dibentuk pada 1950.
- 17 Tuan dan Kehancuran VOC
Dibentuknya Heeren Zeventien atau 17 Tuan sebagai dewan tertinggi perdagangan di Belanda terbukti berhasil membawa kejayaan bagi negeri di barat benua Eropa tersebut. Melalui Verenigde Oostindische Compagnie (VOC), Belanda mampu menguasai perdagangan di Benua Biru pada abad ke-17. Mereka menjadi kongsi dagang terbesar yang menjajakan rempah-rempah dari timur, terutama wilayah Hindia Timur (sekarang Indonesia) dan sebagian Asia. Selama lebih dari setengah abad, sejak berdirinya Heeren Zeventien pada 1602, VOC mengalami kemajuan yang sangat signifikan. Dewan yang berisi wakil-wakil dari enam kamar dagang –Amsterdam, Zeeland, Delft, Rotterdam, Hoorn, dan Enkhuizen– ini mengatur manajemen di tubuh VOC dengan sangat baik. Perputaran ekonomi di Belanda juga berjalan lancar, hanya terjadi masalah-masalah kecil yang dengan cepat diatasi. Namun seiring berjalannya waktu, prilaku para pejabat VOC di negeri jajahan semakin tidak terkendali. Dalam Jan Kompeni: Sejarah VOC dalam Perang dan Damai 1602-1799 , CR Boxer menyebut jika sejak pertengahan abad ke-17, Heeren Zeventien kesulitan mengatur anak buahnya. Banyak pelanggaran yang akhirnya membuat 17 Tuan ini menaruh curiga terhadap orang-orang di tanah jajahan. “Mengenai mutu para abdi VOC, entah ini pedagang, pendeta, pelaut atau serdadu, kebanyakan pendapat masa itu mengenai mereka sangat kritis, Heeren XVII sejak mulanya menaruh kecurigaan terhadap bawahan mereka di Timur, terus-menerus. Para pengurus cenderung meragukan kejujuran mereka dan efisiensi mereka,” tulis Boxer. Musabab Kehancuran Kehancuran VOC pada abad ke-18 memang memberi pukulan berat bagi ekonomi Belanda. Mereka kehilangan banyak sekali pemasukan demi keperluan penjajahan di wilayah koloninya. Bahkan kedudukan sebagai pemilik ekonomi terbesar di Eropa pun harus rela mereka lepaskan. Namun runtuhnya kongsi dagang utama milik Belanda ini adalah ulah mereka sendiri. Banyak faktor di baliknya. Dalam hal ini, Heeren Zeventien juga ikut bertanggaung jawab karena membuat keputusan yang keliru. Mereka membiarkan para pejabat VOC menjalankan bisnis pribadi di wilayah koloni. Pada awalnya mereka melarang segala bentuk kegiatan di luar kepentingan negeri Belanda. Tetapi dengan pertimbangan rendahnya gaji para pegawai, larangan-larangan itu akhirnya terabaikan. Akhirnya banyak praktek berjalan tanpa sepengatuan Heeren Zeventien. “Tidak dapat disangkal bahwa banyak mereka yang tidak baik wataknya bekerja pada VOC dengan tujuan memperkaya diri, secepat mungkin, dengan daya apa saja,” ucap Boxer. Sebenarnya kejahatan-kejahatan di tubuh VOC dapat dihindari manakala para pejabatnya membuat pernyataan yang jujur dalam setiap laporannya. Sejarawan Universitas Leiden FS Gaastra dalam De Geschiedenis van de VOC , mengatakan jika surat-menyurat antara Dewan Hindia di Batavia dan Heeren Zeventien di Amsterdam berjalan lancar. Namun mengenai kebenaran isi laporannya itu menjadi soal lain. Saling kirim laporan ini sering dilakukan dengan nada sengit karena baik Heeren Zeventien maupun dewan di negeri jajahan memiliki ego yang sama-sama tinggi. Runtuhnya pondasi VOC juga terjadi akibat Heeren Zeventien dianggap tidak sigap dalam merespon keluhan para pegawainya. Seperti terlihat saat mereka enggan menyediakan serdadu dan kelasi kapal yang baik mutunya. Pada 1630 para pejabat di Batavia mengirimi Heeren Zeventien surat agar bisa diberi serdadu yang baik kualitasnya. Namun dewan pusat malah memberi mereka serdadu dengan pengalaman serta watak yang buruk. “Lagi-lagi begitu banyak orang yang bejat dan tidak berpengalaman di antara mereka yang baru saja tiba di sini (Batavia) hingga beberapa orang nakhoda dan perwira menyatakan keheranannya bahwa kapal-kapal sempat juga bisa selamat sampai ke mari,” ujar Gubernur Jenderal Carel Reyniersz dalam salah satu suratnya. Ketegangan antara Heeren Zeventien dengan para pejabat di Dewan Hindia juga diyakini sebagai sebab keruntuhan VOC. Dalam kurun masa 1700-an, para pejabat di Batavia telah sering dicap lalai bertugas oleh dewan pusat. Puncaknya, jalur perdagangan dari Batavia ke negeri Belanda ditutup. Bahkan kapal-kapal dari wilayah Asia yang semula singgah di Batavia membuat jalur baru agar dapat langsung menuju Belanda. Seperti jalur dari India dan China. Namun keputusan Heeren Zeventien itu memberikan kerugian yang amat besar bagi VOC. Dari setiap keberangkatan, hanya sebagian kecil kapal yang berhasil tiba di Belanda ataupun sebaliknya. Perjalanan panjang tanpa istirahat, serta kondisi cuaca dan kapal menjadi alasan kapal-kapal itu tidak bisa kembali. Menuju Kematian Memasuki abad ke-18, dewan pusat di Amsterdam mendesak para pejabat di negeri-negeri jajahannya untuk segera menambah pemasukannya. Di Hindia, VOC akhirnya mencari jalan pintas, yakni dengan cara ikut campur dalam urusan politik kerajaan-kerajaan di Nusantara. Hal itu dilakukan agar mereka segera menarik simpati para penguasa daerah sebagai pemilik sumber daya alam. Mereka mulai terlibat dalam urusan pelik di negeri jajahan. Menurut sejarawan Universitas Gadjah Mada Sri Margana, VOC terlibat dalam berbagai peperangan di Jawa, Sulawesi, dan Maluku, yang memakan kas perusahaan dalam nominal yang tidak sedikit. Senada dengan Margana, Gaastra juga menyebut jika perang dengan Inggris paling menguras keuangan VOC. Keadaan tersebut memaksa Heeren Zeventien melakukan peminjaman modal ke berbagai kamar dagang di Belanda. Hutang di tubuh VOC pun semakin membengkak. Dewan menanggung malu dan kepercayaan terhadap penanaman modal di kamar dagang pusat itu perlahan mulai hilang. Reinout VOS dalam Gentle Janus, Merchant Prince: The VOC and The Tightrope of Diplomacy in The Malay World 1740-1800 menyebut jika perang dengan Inggris pada 1780 telah menguras 70% dari seluruh aset VOC. Hal itu telah benar-benar membuat VOC kehilangan kekuataan untuk menjalankan perusahaannya. “Beberapa tahun terakhir (VOC) diliput berbagai pertentangan. Dua faktor utama yang menyebabkan kemerosotan: kehilangan laba dan akumulasi utang,” tulis Reinout. Pada 31 Desember 1799, VOC resmi dinyatakan bangkrut. Ketidakmampuan mempertahankan kondisi keuangan perusahaan memaksa pemerintah Belanda akhirnya mengambil tindakan pembubaran kongsi dagang yang telah berjasa hampir 2 abad tersebut. Heeren Zeventien juga ikut dihilangkan, meski sejumlah kongsi dagang yang ada di bawahnya masih tetap berjalan. Seluruh utang dan aset-asetnya diambil alih oleh Kerajaan Belanda, termasuk bekas wilayah koloninya di Hindia. Sejak 1800, didirikanlah pemerintahan kolonial baru bernama Hindia Belanda.
- Imlek Bersama Presiden Jokowi
Presiden Joko Widodo menjadi magnet dalam perayaan Imlek Nasional 2020 di ICE BSD Tangerang Selatan, Kamis, 30 Januari 2020. Dalam perayaan tahun baru Tionghoa itu, Jokowi menyampaikan pentingnya menjaga keberagaman dan pluralisme. Ia juga sempat berkelakar soal kerja keras. "Selamat memasuki tahun tikus logam. Shio saya kerbau. Katanya tahun ini saya harus kerja keras. Padahal tahun kemarin saya sudah super kerja keras," seloroh Jokowi dalam sambutannya. Presiden ketujuh itu juga menarik perhatian hadirin karena mengenakan baju tradisional Tiongkok, changshan berwarna merah. Baju yang dipakai itu merupakan baju yang dirancang oleh desainer Anne Avantie. "Saya senang sekali hari ini bisa pakai baju ini ( changshan )," kata Jokowi disambut tepuk tangan hadirin. Presiden bersama Susi Susanti dan seorang hadirin ketika hendak membagikan sepeda. (Fernando Randy/Historia). Dalam acara tersebut tampak hadir mantan Wakil Presiden Try Sutrisno dan istri mantan Presiden Abdurrahman Wahid, Sinta Nuriyah Wahid. Serta hadir pula Menteri Agama Fachrul Razi dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, serta perwakilan dari kerajaan-kerajaan yang masih ada di Indonesia. Darma Ismayanto dalam tulisannya di historia.id , Kala Musim Semi Tiba , menyebut Imlek atau Tahun Baru Cina di negeri asalnya merupakan perayaan menyambut musim semi. Tradisi ini berkaitan dengan sistem penanggalan kalender Tionghoa yang berpatokan pada peredaran bulan berpadu peredaran matahari. Sistem penghitungan ini dikenal sebagai kalender Lunisolar, di mana awal tahun bertepatan dengan masuknya musim semi. Karena itu, di Tiongkok, Tahun Baru Imlek lebih dikenal dengan sebutan Chunjie (perayaan musim semi). Aksi paduan suara di acara Imlek Nasional 2020. ( Foto : Fernando Randy/Historia) Sementara Novi Basuki, mahasiswa doktoral di Sun Yat-sen University, Cina, menyebut perayaan tahun baru Imlek merupakan hari rayanya kaum tani. Kitab Shang Shu dan dan kitab Li Ji telah menyebut adanya perayaan ini pada masa Kaisar Shun berkuasa sekitar 2184 SM. Hal ini juga berkaitan dengan Tiongkok sebagai negara agraris sejak ribuan tahun sebelum kelahiran Khonghucu. "Dengan demikian barangkali bisa dibilang, hari raya Imlek bukanlah monopoli pemeluk agama Khonghucu semata, melainkan seluruh masyarakat Cina, terlepas apa pun agama yang kini diimani atau tidak diimani mereka,” tulis Basuki dalam artikelnya di historia.id : Benarkah Khonghucu Memerintahkan Perayaan Tahun Baru Imlek? Di Indonesia, perayaan Imlek diperkirakan sudah ada sejak orang-orang Tionghoa bermigrasi ke kepulauan Nusantara dan membentuk komunitas-komunitas Tionghoa. Pada masa penjajahan, pemerintah melarang adanya perayaan Imlek. Kemudian pada masa pedudukan Jepang, berdasarkan keputusan Osamu Seiri No. 26 tanggal 1 Agustus 1942 hari raya Imlek menjadi hari libur resmi. Salah satu penyanyi saat menghibur di acara Imlek Nasional 2020. ( Foto : Fernando Randy/Historia) Ini merupakan kali pertama perayaan Imlek di Hindia Belanda diakui secara resmi dan dijadikan hari libur. Hal ini ternyata merupakan cara pemerintah Jepang "membersihkan" masyarakat Tionghoa dari pengaruh budaya Barat. Pada masa pemerintahan Sukarno, Imlek tetap dirayakan. Kala itu, Sukarno mengeluarkan Penetapan Pemerintah 1946 No.2/Um tentang “Aturan tentang Hari Raya” di mana pada Pasal 4 menyebut Hari Raya Tiong Hwa meliputi Tahun Baru, Wafat N. Kong Hu Cu, Tsing Bing dan Hari Lahir N. Khong Hu Cu. Kemudian pada Pasal 5 disebutkan bahwa, "pada hari Raya Tiong Hwa, maka semua kantor pemerintah dibuka setengah hari, kecuali kantor-kantor pejabatan penting yang menurut pendapatan kepalanya harus dibuka sehari, sedangkan pegawai bangsa Tiong Hwa diwajibkan masuk kantor." Barongsai dalam perayaan Imlek Nasional 2020. (Fernando Randy/Historia). Setelah Sukarno lengser dan kekuasaan diambil alih Soeharto, terjadi pelarangan terhadap Imlek. Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 tahun 1967, melarang segala hal yang berbau Tionghoa, termasuk perayaan Imlek. Pada masa ini, perayaan Imlek digelar secara tertutup dan diam-diam. Sejak 2000, Imlek kembali dapat dirayakan secara terbuka oleh masayarakat Tionghoa di Indonesia. Keran bagi ekspresi kebudayaan masyarakat Tionghoa kembali dibuka oleh Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur setelah mencabut Inpres Nomor 14 tahun 1967. Kemudian pada 2002, Presiden Megawati Soekarnoputri menjadikan Imlek sebagai hari libur nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 19 tahun 2002. Sejak itu, Imlek kembali digelar dengan semarak.
- Perjalanan Hidup Ip Man
MENGENAKAN kacamata hitam untuk menutupi air matanya, Bruce Lee (diperankan Danny Chan) berusaha berjalan tegap. Beberapa langkah di hadapannya tampak foto mendiang guru paling dihormatinya, Ip Man, yang wafat pada 2 Desember 1972. Perjalanan Ip Man juga ditampikan dalam beberapa cuplikan di akhir bagian film Ip Man 4: The Finale, seri layar lebar paripurna Ip Man yang diperankan Donnie Yen . Dari empat seri Ip Man yang diperankan Donnie Yen, diakui Sifu Martin Kusuma, pendiri Tradisional Ip Man Wing Chun (TIMWC) Indonesia, bahwa sebagian besar kisah-kisahnya didramatisir. “Kisah aslinya Ip Man enggak seperti itu. Memang banyak sekali dramatisasinya. Kalau diurutin dari seri yang pertama, enggak ada yang benar sebetulnya,” ujar Martin kepada Historia . Sifu Martin Kusuma pendiri Tradisional Ip Man Wing Chun Indonesia yang belajar langsung dari Ip Ching, putra kedua Ip Man (Foto: Fernando Randy/HISTORIA) Keluarga Tuan Tanah Dalam biografi yang dituliskan putra keduanya, Ip Ching, bersama Ron Heimberger, Ip Man: Portrait of a Kung Fu Master , disebutkan Ip Man lahir di Foshan, Provinsi Guangdong, China selatan pada 1 Oktober 1893 dari keluarga kaya raya. Nama lahirnya Ip Kai-man. Ia anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Ip Oip-dor dan Ng Shui. Ip Oi-dor merupakan hartawan pemilik banyak bisnis dan investasi tanah. Kerajaan bisnisnya membentang dari jalan-jalan utama kota Foshan sampai Hong Kong. Dari salah seorang penyewa lahan ayahnyalah Ip Man mengenal wing chun. “Ip Man pertamakali mengenal wing chun dari Chan Wah-shun. Dia orang yang menyewa lahan di belakang rumahnya Ip Man,” sambung Martin. Ip Man kecil tumbuh sebagai anak yang pintar selama belajar pendidikan Khonghucu. Namun sejak Chan Wah-shun membuka kelas wing chun di belakang rumahnya yang disewa dari Ip Oi-dor pada 1905, Ip Man yang baru berusia 12 tahun mulai sering telat pulang. Usai sekolah, biasanya Ip Man lebih dulu menonton guru wing chun itu mengajar beberapa muridnya, di antaranya putranya sendiri Chan Yiu-min dan Ng Chung-so. Di kemudian hari, keduanya jadi guru Ip Man. “Segera ia minta untuk menjadi murid Chan Wah-shun dan permintaan itu membuat Chan berada di posisi sulit. Ia cemas karena kondisi Ip Man yang sering sakit-sakitan, namun di sisi lain ia anak tuan tanah yang tempatnya dia sewa. Chan mencoba melunturkan semangatnya dengan mengatakan bahwa lazimnya anak berpendidikan dan kaya takkan bisa jadi murid beladiri yang baik,” ungkap Benjamin Judkins dan Jon Nielson dalam The Creation of Wing Chun: A Social History of the Southern Chinese Martial Arts. Kolase sosok asli Ip Man di usia senja (Foto: londonwingchun.net/kwokwingchum.com ) Upaya Chan gagal lantaran Ip Man bersikeras ingin belajar wing chun sebagai murid ke-16 alias murid terakhir Chan. Sang guru akhirnya memberi syarat Ip Man membayar uang latihan dengan 20 ons perak murni jika ingin menjadi muridnya. Jumlah itu lebih mahal dari bayaran 15 murid lain yang hanya membayar 20 tael. “Harga 20 ons perak murni di masa itu bisa untuk beli sebuah rumah, membiayai sebuah pernikahan, atau memulai bisnis kecil-kecilan. Keesokan harinya Chan syok melihat Ip Man datang dengan syarat yang diminta. Setelah Chan membicarakannya dengan Ip Oi-dor, Chan insyaf bahwa memang keinginan keluarga untuk Ip Man belajar beladiri dan Chan menerima Ip Man sebagai murid ke-16 dan terakhir,” lanjut Judkins dan Nielson. Ip Man hanya tiga tahun dilatih Chan lantaran kesehatan sang guru menurun dan akhirnya pensiun. Namun, Ip Man tetap bisa terus belajar lantaran Chan mewasiatkan pada Ng Chung-so untuk meneruskan melatih Ip Man hingga usia 15 tahun. Kala itu usia 15 dianggap sudah usia dewasa. Di usia itu pula Ip Man kemudian dikirim orangtuanya ke Hong Kong untuk meneruskan pendidikan. Lewat bantuan kerabatnya, Leung Fut-ting, Ip Man masuk sekolah berbahasa Inggris terbaik di Hong Kong, St. Stephen’s College. Tanpa guru di Hong Kong, Ip Man hanya bisa berlatih wing chun sendiri bermodal ajaran-ajaran teknik chi sao (teknik tempel tangan), dan mok yan jong (boneka kayu). Ip Man berkembang menjadi arogan lantaran tiada satupun teman-temannya yang bisa mengalahkannya. Arogansi itu membuatnya kemudian harus bertarung menghadapi pria paruh baya bernama Leung Bik. Pertarungan itu berawal dari ulah Lai Yip-chi, teman Ip Man. Lai memberi tahu bahwa seorang teman ayahnya yang usianya sudah 50-an merupakan praktisi kungfu. Lai menantang Ip Man untuk menghadapinya. Tantangan itupun diterima Ip Man dengan senang hati. Meski Bik sudah paruh baya, gerakannya lebih cepat dari Ip Man. Gerakan-gerakannya bikin Ip Man tak berdaya. Kiri ke kanan: Chan Wah-shun guru pertama Ip Man, Leung Bik guru ketiga Ip Man, Dr Leung Jan yang merupakan ayah Leung Bik dan guru dari Chan Wah-shun (Foto: dragonwingchun.com ) Ip Man mengaku kalah dan tak berani tarung ulang. “Saya merasa terlalu malu untuk bertemu dia lagi. Saya bukan tandingannya sama sekali,” cetus Ip Man, dikutip Samuel Kwok, salah satu murid Ip Man, dalam The Weapons of Wing Chun . Ip Man baru tahu di kemudian hari bahwa Bik adalah anak dari Dr. Leung Jan, guru Chan Wah-shun si guru wing chun pertama Ip Man. Ip Man lalu minta diri untuk jadi murid Bik dan sang guru menerima Ip Man dengan senang hati. Titik Balik Ip Man baru pulang ke Foshan tahun 1917 atau enam tahun pasca-keruntuhan Dinasti Qing. Namun sepeninggal sang ayah, Ip Man yang mewarisi hartanya, menjual sejumlah aset bisnis di Hong Kong. Ip Man memilih hidup dari hasil penjualan aset-aset bisnis itu ketimbang melanjutkannya. Dengan begitu ia merasa lebih bebas memperdalam wing chun pada Ng Chung-so sekaligus menata reputasi bagi jago-jago kungfu manapun yang menantangnya. Ia juga menikahi anak tuan tanah lain, Cheung Wing-sing, pada 1923. Putra pertamanya, Ip Chun, lahir setahun berselang. “Ip Man itu anaknya ada empat. Selain Ip Chun, ada Ip Ching dan dua lagi perempuan (Ip Nga-sum dan Ip Siu-wah, red. ). Kalau di film Ip Man pertama (2008), Ip Chun yang ditonjolkan. Kalau di Ip Man 4 ini Ip Ching. Tapi di film-filmnya enggak pernah ditonjolkan dua anak perempuannya, mungkin karena memang enggak belajar beladiri,” sambung Martin. Kolase sosok Ip Man yang diperankan Donnie Yen (Foto: Mandarin Films) Sial baginya. Ketika tengah menikmati hidup tenang dengan membuka sekolah wing chun dan melanjutkan beberapa bisnis yang masih berjalan, situasi geopolitik berubah. China diinvasi Jepang pada Juli 1937. Itu jadi awal titik balik kehidupan Ip Man. Rumah mewah dan beberapa bisnisnya diambil paksa tentara pendudukan Jepang. “Orang Jepang tahu Ip Man merupakan ahli kungfu. Selama pendudukan Jepang, Ip Man menerima banyak undangan untuk melatih tentara Jepang. Tetapi ia menolak dan malah memilih mengungsi ke rumah Kwok Fu (salah satu murid Ip Man, red. ) di pedesaan luar kota Foshan,” ujar Robert Hill dalam World of Martial Arts! Selepas Perang Dunia II, yang membuat Jepang angkat kaki dari China, Ip Man tak bisa hidup seperti sediakala. Jaringan bisnis tekstilnya hancur. Harta Ip Man di rumah mewahnya habis sudah banyak dijarah Jepang. Ia hanya bisa mengandalkan reputasinya sebagai guru kungfu untuk menjadi kepala polisi Kuomintang di Foshan. Kondisinya lebih nahas menimpa Ip Man ketika pada 1949 Partai Komunis China (PKC) digdaya di Perang Saudara (1946-1949). Ketika PKC mendirikan Republik Rakyat China, Ip Man yang seorang perwira polisi Nasionalis tak punya pilihan untuk bertahan. Seiring tanah-tanah miliknya direbut kaum Komunis atas nama reforma agraria, Ip Man mengungsi ke Hong Kong via Taiwan dan Makau. Potret Ip Man dan Bruce Lee, salah satu muridnya yang paling populer lintas benua (Foto: kwokwingchun.com ) Kehidupannya tambah menyedihkan lantaran harus berpisah dengan putri dan istrinya. Upaya istri dan anaknya menyusulnya pada 1951 gagal lantaran China menutup perbatasannya dengan Hong Kong. “Fakta itu yang kemudian juga salah di film-filmnya. Padahal istrinya enggak bisa ikut ke Hong Kong, tapi di film ada. Juga terkait Ip Ching, guru saya. Di film (Ip Man 2) disebutkan dia lahir di Hong Kong, padahal dia sudah lahir duluan di Foshan,” tutur Martin lagi. Ip Man tak punya skill lain selain wing chun lantaran ia pilih menganggur setelah lulus dari St. Stephen’s College. Dengan sepicis-dua picis modal yang dia punya, Ip Man pun membuka sekolah wing chun di Castle Peak Road, Distrik Sham Shui Po, dan kemudian pindah ke Lee Tat Street di Distrik Yau Ma Tei. Dari Hong Kong itulah wing chun dipopulerkan oleh beberapa muridnya, seperti Duncan Leung dan Lee Jung Fang alias Bruce Lee, ke seluruh dunia. “Memang yang paling menonjol menyebarkan wing chun itu Ip Man. Katakanlah 90 persen yang ada di dunia itu wing chun-nya Ip Man. Karena sejak 1949 Komunis itu menang, mereka ada Revolusi Budaya. Semua unsur agama dan budaya dibubarkan, termasuk kungfu. Jadi para guru kungfu itu menyebar keluar China. Dan yang beraliran wing chun hanya sedikit dan kurang berkembang selain Ip Man,” tandas Martin.
- Lagu Buat Alex Kawilarang
KETIKA masih berpangkat mayor (1946), demi suatu kepentingan Alex Evert Kawilarang ada di Jakarta. Berpenampilan sebagai orang sipil, ia menumpang sebuah becak untuk sampai ke tujuan. Tak dinyana, di depan Centraal Burger Ziekenhuis (sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo), becak yang ditumpanginya disalip sebuah jip militer berisi 4 serdadu KNIL. Jip tersebut kemudian berhenti beberapa meter di depan becak yang ditumpangi Kawilarang. Para serdadu KNIL itu dalam gerakan kilat berloncatan dari kendaraan itu dan salah seorang dari mereka berdiri menghadang perjalanan Kawilarang. “Saya kenal orang itu. Dia perwira KNIL Sam de Jong, teman sekelas saya semasa di KMA (Akademi Militer Kerajaan),” ungkap Kawilarang seperti tertulis dalam otobiografinya, Untuk Sang Merah Putih (disusun oleh Ramadhan K.H.) Kawilarang berpikir Sam pasti belum tahu dirinya sudah bergabung dengan TKR. Setelah keluar dari becak, dia kemudian mengulurkan tangannya kepada Sam sambil berbicara dalam bahasa Belanda. “Halo Sam. Kok ada di sini? Aduh saya tidak berseragam KNIL karena masih sakit akibat ditangkap Kenpeitai,” ujar Kawilarang. Selintas muncul bisikan di pikirannya untuk tidak memberi kesempatan kepada Sam untuk bicara. “Sam kau tinggal di mana? Nanti sore saya ke sana…” “Ya, ya…” jawabnya sambl matanya terus mengawasi Kawilarang. “Aduh Sam, saya belum bisa mendapat pekerjaan setelah disiksa oleh Jepang. Saya masih nganggur,” Kawilarang terus nyerocos. Seperti tidak paham apa yang harus dilakukan, Sam de Jonge hanya bisa menganguk-anggukan kepalanya seraya bertolak pinggang. Kendati tidak terlihat memiliki niat jahat namun nampak sekali sikapnya pun agak kurang ramah terhadap Kawilarang. Sebelum kawan lamanya itu berubah pikiran, Kawilarang lantas cepat pamit. Maka selamatlah dia dari incaran kawan lamanya tersebut. 32 tahun kemudian, soal pertemuan itu dibahas oleh Kawilarang dan Sam pada saat keduanya bertemu dalam reuni peringatan berdirinya KMA yang ke-150 di Breda, Belanda. Di luar perkiraan Kawilarang, ternyata Sam sebenarnya sudah tahu bahwa kawannya itu telah bergabung dengan tentara Republik. “Kenapa kau tidak menangkap saya?” tanya Kawilarang “Bagaimana bisa kawan menangkap sesama kawan di luar pertempuran?” jawab Sam. Ternyata solidaritas korps di KMA tetap terjaga kendati dalam kondisi mereka harus saling berhadapan sebagai musuh. Penghargaan atas persahabatan satu korps juga diperlihatkan para perwira KNIL (yang pernah satu angkatan dengan Kawilarang) di medan pertempuran. Dalam otobiografinya, Kawilarang berkisah saat bergerilya di pelosok selatan Cianjur dia kerap mendapat kiriman lagu via Radio Angkatan Bersenjata Belanda. “Maka di bulan Maret, 1947 saya dengar penyiar radio itu bicara dalam bahasa Belanda: Dan sekarang untuk Letnan Kolonel Alex Kawilarang dari TNI, dari kawan-kawan lamanya, inilah (lagu) ‘Lay that pistol down’…” tutur Alex Kawilarang. Sejak itulah, sang overste hampir tiap dua minggu sekali rutin mendapat kiriman lagu-lagu yang sedang populer. Belakangan Alex mendengar bahwa permintaan tersebut berasal dari teman-teman sekelasnya di KMA sebelum perang. Kendati menjadi musuh, kawan-kawan Alex Kawilarang sangat memahami dan menghormati pilihan lelaki asal Minahasa itu untuk bergabung dengan TNI. Dalam memoarnya, Ed Mahler menulis kesan pribadi mengenai pilihan kawan seangkatannya di KMA tersebut. “Lex Kawilarang tentunya memiliki alasan tersendiri untuk memilih pihak Indonesia. Memang pada saat itu saya sempat tidak bisa memahami bahwa di tahun 1946 kami telah saling berperang dengan sengit dan penuh keyakinan,” ujar Mahler seperti dikutip Gert Oostindie dalam Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950: Kesaksian Perang pada Sisi Sejarah yang Salah.
- Prasasti Kutukan Sriwijaya di Wilayah Taklukkan
Prasasti kutukan terlengkap ditemukan Kota Sriwijaya, Palembang. Penguasa Sriwijaya juga menempatkan prasasti kutukan di luar pusat kota, yaitu daerah-daerah yang mereka taklukkan. Dua prasasti kutukan yang ditempatkan di Palembang, yaitu Prasasti Bom Baru dan Prasasti Telaga Batu. Selain itu, ada Prasasti Baturaja yang ditemukan di Baturaja. Prasasti Kota Kapur ditemukan di Pulau Bangka. Prasasti Karang Berahi ditemukan di Jambi. Sementara Prasasti Palas Pasemah dan Prasasti Jabung ditemukan di Lampung. Bambang Budi Utomo, arkeolog senior Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, menjelaskan Palembang telah dihuni manusia paling tidak sejak abad ke-7, tepatnya pada 682. Ini sesuai dengan pertanggalan Prasasti Kedukan Bukit yang memberitakan keberhasilan perjalanan Dapunta Hiyang, seorang penguasa dari Kedatuan Sriwijaya. Sebelum abad ke-7 pun mungkin Palembang sudah berpenghuni. Pasalnya, jauh di pedalaman Musi dan anak-anak sungainya sudah berkembang kebudayaan yang lebih awal. Misalnya di daerah dataran tinggi Pasemah, di sekitar kota Pagaralam, dan Lahat. “Melalui Sungai Musi dan anak-anaknya, manusia dari daerah pedalaman datang ke Palembang,” kata Bambang kepada historia.id . Palembang juga merupakan tempat bertemunya Sungai Ogan, Sungai Komering, Sungai Kramasan dengan Sungai Musi. Akibatnya, ia menjadi tempat bertemunya manusia dari daerah hulu sungai-sungai yang bermuara di tempat itu. Dari situ terbentuklah pasar. Di Palembang lalu tumbuh suatu peradaban dengan institusi dalam bentuk kedatuan. Ini kemudian dikenal dengan nama Kedatuan Sriwijaya. “Saya berpegangan pada anggapan bahwa pusat Sriwijaya pada awalnya ada di Palembang,” ujar Bambang. Di kota Sriwijaya itu tinggalah para pejabat mulai dari putra mahkota hingga tukang cuci. Karenanya, menurut Bambang, di tempat itu ditanamkan prasasti persumpahan terlengkap, Telaga Batu. Pada bagian atas prasasti itu terdapat ukiran tujuh kepala ekor naga. Bagian yang ditulis ada di bawah hiasan kepala naga. Di bagian bawah bidang tulis ada saluran air yang membentuk cerat di tengahnya. Mungkin, dulu air suci disiramkan pada prasasti. Air itu mengalir ke bawah menuju ke bagian cerat. “Air ditampung pada mangkuk untuk diminumkan pada para pejabat baru yang mengangkat sumpah setia,” ujar Bambang. Prasasti Telaga Batu. Prasasti kutukan itu, kata Bambang, diletakkan di Kota Sriwijaya, yang kini menjadi wilayah Pelambang, supaya seluruh penduduk kota tak berkhianat. “Mulai dari putra mahkota hingga tukang cuci disumpah. Merekalah orang-orang paling dekat dengan raja,” kata Bambang. Jika Palembang diyakini sebagai pusat pemerintahan Sriwijaya, di luar pusat pemerintahan juga ditemukan prasasti-prasasti kutukan. Seperti prasasti yang ditemukan Karangberahi di Jambi, Kota Kapur di Bangka, Palas Pasemah dan Jabung di Lampung. Bedanya dalam prasasti persumpahan yang ini tak ditemukan nama-nama jabatan dalam lingkup kedatuan. Menurut Bambang, prasasti-prasasti dibuat bukan karena ada masalah di masing-masing lokasi itu. Namun, prasasti-prasasti itu ditempatkan setelah lokasinya ditaklukkan oleh penguasa Sriwijaya. Sebelumnya pada masing-masing lokasi itu sudah terdapat permukiman. Untuk mengantisipasi agar permukiman-permukiman yang sudah ditaklukkan itu tidak memberontak, maka ditempatkanlah prasasti kutukan. “Ini sifatnya umum. Berbeda dengan yang ditemukan di Telaga Batu yang sifatnya khusus karena ditempatkan di Kota Sriwijaya,tempat para pejabat tinggal,” kata Bambang. Wilayah Malayu yang pertama kali diduduki oleh penguasa Sriwijaya pada awal masa perkembangannya. Malayu penting dikendalikan karena menguasai beberapa pelabuhan di sekitar Selat Malaka. “Salah satu tempat yang ideal di sekitar Selat Malaka adalah pelabuhan Malayu,” kata Bambang. Menurutnya, soal kedudukan Malayu yang menjadi bagian dari Sriwijaya didukung oleh catatan biksu Tiongkok, I-Tsing. Ketika kembali dari India pada 685 , dia mencatat Mo-lo-yeu , yang diartikan sebagai Malayu, sekarang sudah menjadi bagian dari Fo-shih atau Sriwijaya. Pun terbukti pula dengan adanya prasasti kutukan Karangberahi. Kemudian ada Prasasti Kota Kapur (686)yang merupakan petunjuk bahwa daerah tersebut termasuk dalam wilayah kekuasaan Sriwijaya. Dalam bukunya, Pengaruh Kebudayaan India dalam Bentuk Arca di Sumatra, Bambang menulisbahwa Kota Kapur perlu ditaklukkan karena kalau tidak akan menjadi penghalang pintu masuk ke pusat Sriwijaya di Palembang.Pelabuhan di Kota Kapur berada di jalur yang menghubungkan Sriwijaya dan Jawa. Jauh sebelum ditaklukkan oleh Sriwijaya, Kota Kapur telah dihuni kelompok masyarakat yang menganut ajaran Hindu. “Sriwijaya menaklukan Kota Kapur karena telah ada permukiman Waisnawa yang mungkin menguasai sumberdaya alam tambang timah,” kata Bambang. Mungkin karena tempat tersebut dipandang strategis, yaitu di tepi Selat Bangka, Sriwijaya pun menaklukannya terlebih dahulu sebelum menaklukan tempat lain. Soal menaklukan tempat lain ini tersirat dalam Prasasti Kota Kapur. “Pemahatannya berlangsung ketika balatentara Sriwijaya baru berangkat untuk menyerang bhumi Jawa yang tidak takluk kepada Sriwijaya,” catat prasasti itu. Hal yang sama dilakukan juga ke daerah lain, misalnya ke Palas Pasemah dan Jabung di Lampung. Dengan menduduki daerah-daerah itu, Sriwijaya tidak perlu memindahkan ibukotanya yang ada di Palembang. Lalu ditempatkan prasasti persumpahan agar penduduk dan penguasa di sana tak melakukan pemberontakan. “ Kala itu sumpah sangat populer dan dipercaya betul ,” ujar Bambang.
- Akhir Tragis Mantan Analis OSS
SETELAH lulus Yale College tahun 1928, Raymond Kennedy memulai kariernya sebagai pengajar di Brent School di Filipina. Namun hanya setahun. Dia kemudian bekerja sebagai perwakilan lapangan General Motors Corporation di Hindia Belanda. Selama tiga tahun, dia menjual mobil Amerika di Jawa dan Sumatra. Dia pun terpesona pada Indonesia.
- Salon Kitty, Tempat Prostitusi dan Sumber Informasi Nazi
Penemuan mayat perempuan di Kelurahan Dulomo Selatan, Kecamatan Kota Utara, Kota Gorontalo pada Rabu, 2 Oktober 2019 menghebohkan warga setempat. Perempuan yang bersimbah darah tak bernyawa itu ditemukan tergeletak di pinggir Jalan Brigjen Piola Isa. Polres Gorontalo kemudian menyebutkan identitas korban bernama Rosita Hulalata. Selang beberapa jam kemudian, polisi berhasil menangkap pembunuhnya, Oyong Tongkono, yang tak lain merupakan suami korban. Menurut Kapolres Gorontalo Kota AKBP Robin Lumban Raja, Oyong membunuh Rosita lantaran marah karena istrinya kembali bekerja di sebuah salon plus-plus. “Pelaku ini pernah memperingatkan korban agar jangan kembali kerja di salon itu karena menilai pekerjaannya tidak layak. Pelaku mengindikasikan pekerjaan di salon itu memberi pelayanan lebih ke para pelanggannya,” ujar Robin sebagaimana diberitakan okezone.com , 3 Oktober 2019. Salon plus-plus –salon yang memberikan layanan salon plus seksual kepada para pelanggannya– menjamur di berbagai kota tanah air sejak beberapa tahun silam. Ia merupakan bentuk prostitusi dengan selubung salon. Keberadaannya sering meresahkan warga sekitar lantaran berada di lingkungan masyarakat, dan merepotkan aparat kepolisian yang berupaya menindaknya. Kendati popularitasnya di Indonesia belum lama, eksistensi salon plus-plus di berbagai belahan dunia telah lama ada. Jerman-Nazi semasa Perang Dunia II bahkan sempat menggunakan sebuah salon plus-plus untuk mengorek informasi. Salon plus-plus itu bernama Salon Kitty. Salon Kitty yang terletak di Giebachstreasse 11 Charlottenburg, Berlin itu awalnya merupakan rumah bordil kelas atas. Didirikan dan dijalankan oleh Katharina Zammit, populer sebagai Kitty Schmidt, pada awal 1932 –versi lain menyebut 1936, para pelanggan salon berasal dari kelas atas beragam latar belakang profesi, mulai pebisnis terkemuka, diplomat asing, petinggi militer, pejabat pemerintahan, hingga anggota senior Partai Nazi. Ketika Nazi berkuasa di Jerman pada 1933, banyak orang Yahudi memilih keluar Jerman. Madame Kitty rutin mentransfer uang ke bank-bank Inggris untuk teman-teman Yahudinya yang mengungsi itu. Aktivitas amalnya itu akhirnya diketahui penguasa ketika pada 1939 dia ditangkap agen Sicherheits Dienst (SD), dinas intelijen Nazi, saat hendak menyeberang ke Belanda. Setelah tertangkap, Kitty dibawa ke markas Gestapo. Di tempat itulah ia terlihat oleh Walter Schellenberg, orang kepercayaan Jenderal SS Reinhard Heydrich, kepala SD. Heydrich merupakan veteran Angkatan Laut Jerman di Perang Dunia I yang lalu mengabdi di sayap militer Nazi Schutzstaffel (SS) pimpinan Heinrich Himmler. Kinerjanya yang mengesankan membuat Heydrich ditunjuk Himmler mengepalai SD dan ditugaskan untuk menyempurnakan dinas intelijen SS. Penyempurnaan itu terkait erat dengan ketatnya persaingan antara dinas intelijen SS dengan Abwehr, dinas intelijen militer Jerman. Abwehr didirikan pada 1921 dan sejak 1935 dipimpin Laksamana Wilhelm Canaris. “Sejak awal harus selalu diingat bahwa Canaris dan mayoritas organisasinya –terutama Abwehr II, Hans Oster– dipastikan anti-Nazi,” tulis Terry Crowdy dalam The Enemy Within: Spies, Spymasters, and Espionage . Canaris pernah merepotkan Heydrich dengan pernyataannya bahwa ras Arya Heydrich tak murni karena leluhurnya Yahudi. Pernyataan itu membuat Heydrich harus menjalani tiga kali sidang antara 1935-1937 untuk menyangkal tuduhan itu dan terpaksa mengganti nisan makam ibunya untuk menghilangkan jejak. “Hubungan Canaris dan Heydrich tampak dingin. Tidak ada yang bisa saling percaya. Keduanya saling menjaga dokumen,” tulis John Craig dalam Peculiar Liaisons in War, Espionage, and Terrorism in the Twentieth Century . Persaingan itu membuat Heydrich terus berupaya menyempurnakan organisasi intelijen SS. Salah satu terobosan terpentingnya adalah pendirian Salon Kitty menggunakan rumah bordil Kitty Schmidt. “Misinya: Gunakan alkohol dan perempuan untuk merayu orang asing agar menumpahkan rahasia yang bisa membantu Nazi dan merayu orang Jerman agar mengungkapkan pendapat mereka yang sebenarnya tentang rezim Nazi,” tulis Kara Goldfarb dalam “Inside Salon Kitty – The Brothel Taken Over by Nazis and Used for Espionage” yang dimuat www.allthatsinteresting.com . Heydrich menugaskan Schellenberg, yang berhasil menemui Kitty di markas Gestapo setelah penangkapan Kitty di perbatasan Belanda, untuk mendirikan Salon Kitty. Dengan ultimatum “kerjasama dengan Nazi atau dikirim ke kamp konsentrasi”, Schellenberg berhasil menggaet Kitty. Kitty diperintahkan membuka salonnya seperti biasa, dengan dagangan berupa layanan, minuman, dan makanan kelas atas. Sebelum salon itu dibuka kembali, Schellenberg terlebih dahulu mempersiapkan semua hal untuk mendukung misi sang bos. “Di setiap ruangan (yang berjumlah 9, red. ), para teknisi membuat dinding palsu di belakang tempat mikrofon dipasang. Melalui alat perekam otomatis, setiap kata yang diucapkan di rumah itu direkam dan dinilai untuk kemungkinan penggunaan pemerasan,” sambung Crowdy. Schellenberg tak mau menyediakan perempuan penghibur di Salon Kitty lantaran menganggap agen-agen perempuannya terlalu berharga untuk dilacurkan. Urusan itu ditangani langsung Heydrich dengan menugaskan Kepala Kripo –Kriminal Polizei/Polisi Kriminal– Artur Nobe. Sebanyak 20 perempuan –yang kebanyakan tertipu karena mengira tugas yang akan dijalankan berupa pengabdian pada negeri– lalu terpilih untuk menjadi penghibur di Salon Kitty. Sebelum dipekerjakan, mereka terlebih dulu dilatih teknik dasar intelijen dan etiket pergaulan kelas atas. “Salon Kitty digunakan untuk memata-matai diplomat asing pro-Jerman dan juga para perwira Jerman sendiri,” tulis Richard Symanski dalam The Immoral Landscape: Female Prostitution in Western Societies . Orang penting yang acap mengunjungi Salon Kitty antara lain Menteri Propaganda Joseph Goebbels. “Goebbels, misalnya, menikmati pertunjukan lesbian di Salon Kitty yang terkenal di Berlin,” tulis Jill Stephenson dalam Women in Nazi German . Dari kalangan militer, selain Jenderal Sepp Dietrich, yang sering mendatangi Salon Kitty adalah Heydrich sendiri. “Schellenberg menemukan Heydrich hanya memiliki satu kelemahan: ‘Nafsu seksualnya tak terkendali. Untuk urusan ini dia akan menyerahkan diri tanpa hambatan atau kehati-hatian’,” tulis Craig. Heydrich biasanya memerintahkan petugas mematikan semua alat perekam di Salon Kitty saat berkunjung. Kasus paling terkenal orang asing yang menjadi korban di Salon Kitty adalah Galeazzo Ciano, menantu Mussolini sekaligus menteri luar negeri Italia. Dari kunjungannya ke salon itulah Nazi mengetahui dia anti-Nazi dan menentang aliansi Italia dengan Jerman. “Dia ditangkap Nazi, diadili karena pengkhianatan, dan dieksekusi pada Januari 1944,” tulis Craig. Salon Kitty berhenti operasi pada Juli 1942 karena bombardir udara Sekutu. SD mengembalikannya pada Kitty Schmidt dengan pesan agar tutup mulut bila tak ingin merasakan pembalasan. Keberadaan Salon Kitty baru diketahui publik setelah Schellenberg menuliskannya dalam memoar berjudul The Labyrinthe , yang dibuatnya pasca-interogasi oleh personil intelijen Inggris usai perang. Pada 1976, Tinto Brass mengangkat kisah salon itu ke layar lebar lewat Salon Kitty .
- T.B. Simatupang, Jenderal Jenius yang Religius
Ketika Jenderal Sudirman mangkat pada 29 Januari 1950, pucuk pimpinan TNI diembankan kepada wakilnya, Jenderal Mayor Tahi Bonar Simatupang. Kala itu, Simatupang baru sehari menginjak usia ke-30. Sejak itulah, Sim – panggilan akrabnya – diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) yang membawahi tiap matra. “Pak Sim buat saya merupakan seorang intelektual yang konsekuen dan berani. Kepemimpinannya dalam TNI kurang bersifat teknis, tapi lebih bersifat mental,” ujar Letjen (Purn) Sayidiman Suryohadiprodjo, mantan Wakasad (1973--1974) kepada Historia . Bintang Simatupang memang sudah benderang sejak menjadi taruna militer. Sim merupakan jebolan Akademi Militer Kerajaan Belanda (KMA) Bandung angkatan 1941. Bersama Sim, Alex Evert Kawilarang dan Abdul Haris Nasution adalah kawan seangkatan di KMA. Bila Kawilarang mengambil jurusan infanteri, maka Sim memilih jurusan zeni, bidang militer yang berkaitan dengan persenjatan dan perlengkapan. “Karena dia jurusan zeni, bukan infanteri seperti Pak Nas dan Pak Alex Kawilarang, pandangan teknis taktis kurang jadi perhatiannya. Lebih berat ke strategi dan politik. Tapi karena dia di tingkat KSAP, ya bukan masalah,” ujar Sayidiman. Perwira Mahkota Perak Di KMA, tidak sembarang orang diterima di bagian zeni. Seorang taruna zeni harus memiliki nilai yang mumpuni dalam mata pelajaran eksakta. Menurut Sim, perwira zeni mempunyai pengetahuan yang menyerupai pengetahuan insinyur. Dalam benak Sim, ilmu zeni akan menjadi modal berharga andai dirinya terpaksa keluar dari dinas militer Belanda dan kembali menyandang status sebagai orang sipil. Semasa taruna, Nasution mengenang sosok Sim sebagai siswa pribumi yang menonjol. Nasution punya penilaian tersendiri sehubungan dengan pilihan Sim mengambil jurusan zeni. Sebagai prajurit, Sim tidak memilih infanteri sebagai “ratu pertempuran”, melainkan zeni, yang terkenal sebagai cabang bagi orang-orang pintar atau dalam eksesnya dijuluki tempat “untuk jadi kaya”. Pada saat pemilihan senat, Simatupang mencalonkan diri sebagai kandidat. “Harus ada calon dari Indonesia,” kata Sim kepada Nasution sebagaimana dituturkan Nasution dalam “Rekan Simatupang 70 Tahun” termuat di kumpulan tulisan Saya Adalah Orang yang Berhutang: 70 Tahun Dr. T.B. Simatupang. Kesan senada juga dikenang sejawat yang lainnya, Alex Kawilarang. Saat pelantikan perwira muda, pada seragam militer Simatupang tersemat tanda mahkota (krown) perak. Tanda itu hanya dimiliki oleh taruna yang memiliki nilai yang baik. “Seandainya Simatupang orang Belanda, dia pasti akan mendapat mahkota emas,” tutur Alex Kawilarang, kepada Ramadhan K.H. dalam AE Kawilarang: Untuk Sang Merah Putih . Hengkang dari Ketentaraan Di masa perang kemerdekaan, Sim ikut bergerilya. Kepala Staf TNI Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo menempatkannya sebagai Kepala Organisasi Staf Umum Markas Besar Tentara (MBT). Pos tugas Sim ini dikenal sebagai “sarang” COAM (Corps Opsir Aliran Muda); markas kelompok intelektual tentara di Yogya. Sim menjadi satu-satunya perwira TNI yang terlibat perundingan dengan Belanda sejak 1946 hingga tentara kolonial angkat kaki dari Indonesia pada akhir 1949. Simatupang memulai karier militernya dengan gemilang. Masalahnya, Sim kurang begitu akur dengan Presiden Sukarno. Bermula dari keputusan Sukarno untuk tetap bertahan di Yogya ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948. Padahal, sebelumnya Sukarno selalu mengatakan akan ikut gerilya bersama rakyat dan TNI. Untuk itu, Sim telah menyiapkan satu batalyon Corps Polisi Militer (CPM) yang siap mengawal Sukarno dalam gerilya. Namun yang terjadi, Sukarno memilih ditangkap Belanda untuk meningkatkan bobot diplomasi sedangkan tentara bergerilya di hutan-hutan. Sim adalah orang yang menyarankan Presiden Sukarno agar tidak perlu mengenakan seragam militer. Menurut Sim, sebagai orang sipil Sukarno dapat memberikan teladan dengan mengenakan pakaian sipil pada upacara-upacara militer. Dengan demikian jelas bahwa Sukarno memperoleh penghormatan tertinggi bukan karena uniform nya melainkan karena dia adalah Presiden Negara. Dengan kata lain, tanpa menyerupai militer, Presiden RI punya wewenang penuh atas TNI. Sebaliknya, dengan berpakain militer Sukarno seperti mengurangi kekuasaannya. Namun sepertinya anjuran Sim bagai angin lalu saja bagi Si Bung Besar. Dalam berbagai hajatan negara, Sukarno selalu tampil begitu percaya diri dengan seragam militer lengkap dengan tongkat komandonya. Perseteruan Sim dengan Sukarno semakin terbuka karena keduanya tidak sejalan dalam visi membangun angkatan perang. Pada Juli 1952, Sukarno memberikan dukungannya kepada Kolonel Bambang Supeno untuk menggantikan Nasution dari kedudukan Kepala Staf Angkatan Darat. Mufakat itu terjadi tanpa sepengetahuan Simatupang selaku KSAP. Dalam suatu pertemuan dengan Sukarno, Sim menggebrak pintu di depan Sukarno lantaran kecewa atas sikapnya yang ikut campur urusan internal TNI. Hal ini tentu saja bikin Sukarno marah dan terhina. Dalam otobiografinya Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia , tidak sekalipun Sukarno menyebut nama Simatupang. Konflik dalam tubuh TNI kemudian berujung pada Peristiwa 17 Oktober 1952. Buntutnya, Simatupang dicopot dari kedudukan KSAP. Sim dibiarkan bekerja tanpa jabatan dan hanya berkedudukan sebagai penasihat Menteri Pertahanan hingga dipensiunkan secara dini tahun 1959. Semua itu menimbulkan kepedihan di hati Simatupang. Kiranya rasa pahit itu diungkapkan Sim ketika putra sulungnya lahir, ia namai dalam bahasa Batak: Marsinta Hatigoran. Artinya, bercita-cita keadilan. “Nama itu mengungkapkan perasaan saya pada waktu itu, bahwa saya diperlakukan tidak adil. Terbukti bahwa diperlukan 7 tahun diantara 1952—1959 untuk mengeluarkan saya dari dinas tentara,” kata Simatupang dalam Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos. Di antara rekan sejawatnya, Sim dikenang dengan cara yang berbeda. Jika Nasution kelak dikenal sebagai jenderal besar; konseptor perang gerilya dan dwifungsi ABRI. Sementara Alex Kawilarang menjadi pencetus pasukan elite TNI (Kopassus). Simatupang berkhidmat di jalan agama. Dalam keyakinanya, Sim percaya panggilan pelayanannya dalam gereja dapat menjadi jalan berkontribusi bagi masyarakat. Selepas pensiun dari dinas tentara, Sim mulai aktif dalam kegiatan-kegiatan gereja. Adalah Profesor Sutan Gunung Mulia, seorang teolog pendiri Dewan Gereja Indonesia (DGI) yang mengajak Sim bergabung dalam DGI. Sejak itu Sim menemukan dunia baru. Dia berkhotbah dan menjadi penulis beberapa buku teologi. Sim juga aktif menulis dalam tajuk rencana harian Kristen Sinar Harapan yang kemudian berganti menjadi Suara Pembaruan . Sampai akhir hayatnya, Sim tercatat memimpin beberapa lembaga Kristen, diantaranya Persekutuan Gereja Indonesia, Dewan Gereja-Gereja Asia, Dewan Gereja-Gereja Dunia, dan Universitas Kristen Indonesia. “Keberaniannya menyatakan sikap dan pendiriannya, juga terhadap pihak yang berkuasa seperti Presiden Sukarno, merupakan tauladan yang kuat dari seorang perwira yang jujur,” kata Sayidiman.
- Darah dan Air Mata Long March Siliwangi
MINGGU pagi, 19 Desember 1948. Langit Yogyakarta dipenuhi pesawat-pesawat tempur Angkatan Perang Kerajaan Belanda. Mereka menembaki Lapangan Udara Maguwo dan menerjunkan pasukan elitenya, Korps Speciale Troepen (KST). Setelah berhasil mendaratkan pasukannya di Lapangan Terbang Maguwo, secara kilat mereka langsung melakukan serangan ke jantung Yogyakarta. “Tujuh jam kemudian, lewat aksi militer yang mereka namakan sebagai Operatie Kraai (Operasi Gagak), tentara Belanda berhasil menguasai Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia saat itu…” tulis Himawan Soetanto dalam Yogyakarta 19 Desember 1948. Operatie Kraai dengan sendirinya menghancurkan Perjanjian Renville yang ditetapkan oleh Belanda-Indonesia, setahun sebelumnya. Situasi itu juga memaksa para pejuang Siliwangi harus menghadapi jalan ujung yang pernah disiapkan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman dalam Perintah Siasat No.1 pada Mei 1948: harus kembali bergerak ke Jawa Barat dan membangun kembali perlawanan total di sana. Perjalanan panjang ( long march ) para maung kembali ke kampung halamannya harus ditempuh dengan banyak pengorbanan. Bukan hanya kehilangan harta dan benda, darah dan air mata pun harus mereka keluarkan. Sepanjang jarak 600 km, para peserta long march harus berkawan akrab dengan kelaparan, penyakit hingga serangan militer Belanda dan teror pasukan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Letnan Dua (Purn) JC. Princen, serdadu Belanda yang membelot ke Siliwangi, melukiskan proses long march itu sebagai perjalanan panjang yang menyiksa hati nuraninya sebagai manusia. Di tengah perjalanan tak jarang, ia harus menyaksikan anak-anak dan perempuan tewas terbunuh oleh bom pesawat-pesawat yang dikendalikan teman sabangsanya. “Ratusan Multatuli tak akan dapat menggambarkan penderitaan ribuan Saija dan Adinda dalam perjalanan ini…” kenang anggota Batalyon Kala Hitam Divisi Siliwangi itu. Pengalaman yang hampir sama juga dialami oleh Prajurit Alleh (92). Masih segar dalam ingatannya, menjelang keberangkatan mereka kembali ke Jawa Barat, pimpinan Markas Besar Tentara (MBT) membagikan sarung baru kepada seluruh pasukan. Sarung itu ternyata sangat berguna bagi mereka, bukan saja sebagai selimut penghangat tidur namun juga bisa digunakan untuk hal-hal yang bersifat darurat. Misalnya saat mereka harus menyeberang Sungai Serayu. Dengan sambungan sarung yang beruntai mereka bisa menyeberangi sungai yang berarus deras tersebut. Namun, proses penyeberangan itu tetap meminta korban, terutama anak-anak dan perempuan yang hanyut oleh hantaman arus sungai yang deras. Dengan hati hancur, mereka harus menyaksikan beberapa bocah dan perempuan yang ikut dalam rombongan hanyut ditelan derasnya air sungai. “Ayah dan suami-suami mereka hanya bisa berteriak dan menangis putus asa…” kenang Alleh. Tidak cukup itu, Alleh pun menjadi saksi bagaimana para ibu yang baru melahirkan “anak-anak maung” di tengah perjalanan harus rela memberikan bayi-bayi itu kepada penduduk desa yang dilewati. “Ya, daripada bayi-bayi itu menderita dan menjadi ‘beban’ selama perjalanan, lebih baik diselamatkan oleh para penduduk…” kata mantan prajurit Siliwangi dari Batalyon ke-29 pimpinan Kapten Hoesinsjah tersebut. Lain lagi dengan pengalaman Kopral Soehanda dari Batalyon ke-27. Bersama lima kawannya, ia terpisah dari rombongan batalyon sejak awal rombongan bergerak dari Salatiga. Tak ada sebutir pun nasi yang masuk dalam perut mereka selama perjalanan ke kawasan Jawa Barat. Paling bagus, kata Soehanda, mereka menemukan daun singkong atau jamur kayu untuk dimakan. “Baru setelah 40 hari lebih berjalan, akhirnya kami dapat menemukan nasi di daerah Ciamis,” kenangnya. Peristiwa unik dan misterius sempat dialami oleh Asikin Rachman (95), eks anggota Batalyon ke-29. Suatu hari, seksi yang dipimpinnya sampai di wilayah sekitar Banyumas dan harus menyeberangi sebuah sungai bernama Kali Putih. Persoalan muncul kala mereka menyaksikan sungai itu dipenuhi ratusan buaya. Saat mereka tengah dilanda kebingunan, tiba-tiba seorang tua berpakaian sederhana datang kepadanya. Dengan lembut, ia minta izin kepada Asikin untuk coba menolong mereka menyeberang Kali Putih. Asikin pun mengiyakan. Begitu mendapat izin, orang tua itu menaiki pohon kelapa yang ada di sekitar tempat tersebut. Setelah mendapat dua butir kelapa muda berwarna hijau, ia merapal mantera-mantera lalu menyiramkan air kelapa muda itu ke permukaan Kali Putih. Usai ritual itu, ia menyilahkan anak buah Asikin untuk menyeberangi sungai tersebut tanpa ragu-ragu. Dan ajaib, kendati buaya-buaya itu terkumpul di sekitar sungai, mereka seolah tertidur dan hanya diam saja saat para petarung Siliwangi itu satu-persatu menyeberangi Kali Putih dengan cara berenang. “Kami berhasil sampai di seberang sungai dengan selamat. Inilah keajaiban dalam perang. Jika tak menyaksikan sendiri kejadian itu, tentunya kami juga tak akan percaya,” kenangnya. Kurang lebih 40 hari lamanya, para maung itu menyusuri ratusan kilometer untuk kembali lagi ke sarangnya. Mereka dengan tabah menghadapi apapun yang coba merintangi jalan-jalan mereka, dengan satu tujuan: kembali ke kampung halaman. Persis, seperti isi bait-bait yang pernah mereka buat dan gubah dari lagunya Lily Marlene: “Oh beginilah nasibnya soldadu/Diosol-osol dan diadu-adu/Tapi biar tidak apa/Asal untuk negeri kita/Naik dan turun gunung/Hijrah pun tak bingung/





















