Hasil pencarian
9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Makam Plumbon Jadi Situs Memori CIPDH-UNESCO
PADA 1980-an, sebuah makam dengan tumpukan batu di hutan Plumbon, Semarang hanyalah sebuah tempat bagi orang-orang yang mencari peruntungan nomor togel. Sesekali ada orang berziarah, namun tak dikenal siapa mereka. Pasca Reformasi, tepatnya pada 2000, Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 (YPKP 65) yang diketuai Sulami, mantan Sekretaris Jenderal Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), sempat mengidentifikasi keberadaan makam yang diduga berisi kerangka korban-korban pembunuhan massal 1965 tersebut. Namun, tak ada kelanjutan dari indentifikasi kala itu, hingga pada 2014, sekelompok aktivis yang membentuk Perkumpulan Masyarakat Semarang untuk Hak Asasi Manusia (PMS-HAM) mulai membuka memori masa silam dari makam di tengah hutan jati itu. PMS-HAM memerlukan waktu 7,5 bulan untuk melakukan penelitian mengenai identitas para korban serta melakukan pendekatan kepada masyarakat dan pemerintah. “Jadi kami mencari kolega korban, keluarga korban, kemudian minta izin dari RT, RW, lurah, camat sampai walikota, Polsek, Polres, Polda, Koramil, sampai Kodam, dan kami tembuskan juga ke Mabes TNI,” ujar Yunantyo Adi Setiawan, Koordinator PMS-HAM kepada historia.id. PMS-HAM kemudian berhasil mengidentifikasi delapan nama dari 24 korban yang diperkirakan dikubur di makam tersebut. Mereka adalah Moetiah, Soesatjo, Darsono, Sachroni, Joesoef, Soekandar, Doelkhamid, dan Soerono. Moetiah adalah guru TK Melati dan anggota Gerwani di Patebon, Kendal. Soesatjo adalah patih yang merangkap pengurus PKI Kendal. Joesoef adalah carik di Desa Margorejo dan anggota PKI di Cepiring. Soerono adalah anggota PKI dari Kedungsuren. Sachroni adalah anggota PKI dari Mangkang. Sedangkan, Darsono, Soekandar, dan Doelkhamid , merupakan anggota Pemuda Rakyat. Yunantyo menyebut kedelapan korban dan belasan lainnya dibunuh tanpa proses hukum yang jelas. “Tidak ada pengadilannya. Baru dicurigai tapi sudah dibunuh. Jadi,sebagai upaya kemanusiaan kita waktu itu, rekonsiliasi dalam bentuk memanusiakan makam mereka,” terangnya. Awalnya PMS-HAM hendak melakukan penggalian terhadap makam tersebut. Namun, karena Komnas HAM tidak merespons permohonan izin yang diajukan, maka dipilih opsi pemasangan nisan. PMS-HAM juga berkaca dari peristiwa di Wonosobo pada 2000. Kala itu YPKP65 melakukan ekskavasi kuburan massal di Hutan Kaliwiro, Wonosobo. Ketika hendak dimakamkan ulang di daerah Kaloran pada 2001, terjadi penolakan dari Forum Ukhuwah Islamiyah Kaloran (FUIK). Beberapa kerangka bahkan dibakar. Maka untuk pemasangan nisan makam Plumbon, PMS-HAM melakukan dialog dengan Pemuda Pancasila dan Front Pembela Islam (FPI) terlebih dahulu. “Kita hanya bicara kemanusiaan saja , tidak bicara konflik masa lalu,” terangnya. Doa lintas agama pada acara pemasangan nisan makam korban pembunuhan massal 1965 di Plumbon, Semarang, 1 Juni 2015. (Dok. Yunantyo Adi Setiawan). Pada 1 Juni 2015, acara pemasangan nisan dilangsungkanbersamaan dengan Hari Lahir Pancasila. Dengan mengundang warga, tokoh lintas agama, serta berbagai elemen masyarakat dan ormas, acara dapat berjalan dengan lancar. PMS-HAM juga melibatkan pemerintah daerah, pimpinan Perhutani Kendal selaku pemilik lahan hutan, serta pihak kepolisian dan TNI. Akhirnya, sebuah batu nisan dari marmer bertuliskan delapan nama korban pembunuhan berhasil didirikan. “Intinya waktu itu kita resmikan dengan doa bersama lintas agama bersama warga bahwa tempat itu mulai 1 Juni 2015 menjadi tempat terbuka sebagai upaya kemanusiaan terhadap korban itu,” jelas Yunantyo. Nisan ini menjadi monumen pertama korban pembunuhan masal 1965 yang didirikan secara resmi atas izin pemerintah. Acara ini juga sekaligus menjadi peristiwa rekonsiliasi kultural bagi korban, masyarakat dan pemerintah. Pada 1 Mei 2019, Yunantyo mendapat surel dari The International Center for the Promotion of Human Rights (CIPDH) yang berada dibawah United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), yang meminta materi terkait makam Plumbon tersebut. CIPDH-UNESCO kemudian menetapkan makam itu sebagai situs memori terkait pelanggaran HAM berat. CIPDH-UNESCO didirikan pada 2007 di Buenos Aires, Argentina, untuk meningkatkan kesetaraan dan nondiskriminasi melalui program-program yang mempromosikan kesetaraan gender, keberagaman dan antarbudaya. CIPDH-UNESCO mengandalkan potensi pendidikan warisan budaya dan sejarah sebagai elemen penting dalam membangun identitas kolektif. Selain itu,CIPDH-UNESCO juga memprioritaskan pendidikan HAM sebagai pendorong untuk mempromosikan budaya koeksistensi demokratis dan akses yang setara terhadap HAM. Untuk itu, CIPDH-UNESCO berupaya memvisualisasikan situs-situs terkait dengan memori pelanggaran HAM berat di seluruh dunia sebagai bagian dari warisan budaya kolektif komunitas dalam bentuk peta interaktif. Proyek ini juga bertujuan untuk memperoleh pengetahuan tentang bagaimana masyarakat berurusan dengan masa lalu mereka, kebijakan publik apa yang diberlakukan untuk menjaga memori dan untuk mengumumkannya, serta kesepakatan dan konsensus apa yang memungkinkan ingatan ini dikenal. Proyek ini mendata berbagai warisan meliputi arsip, warisan budaya tak benda, monumen, museum dan situs dengan tema perbudakan, genosida dan atau kejahatan massal, konflik bersenjata, dan persekusi politik. Makam Plumbon masuk dalam kategori situs persekusi politik bersama kuburan massal Priaranza del Bierzo di Spanyol dan Space for Memory and for the Promotion and Defense of Human Rights (Former ESMA) di Argentina. Selain makam Plumbon, CIPDH-UNESCO juga memasukan Aksi Kamisan dalam peta mereka. Aksi dengan pakaian dan payung hitam di depan Istana Negara itu masuk dalam kategori warisan budaya tak benda dengan tema persekusi politik.
- Sepuluh Benda Bersejarah Hasil Repatriasi dari Belanda
MUSEUM Nasional kini tengah melakukan kajian konten dan kajian konservasi terhadap 1.499 benda bersejarah hasil repatriasi dari Belanda. Sebagian besar benda memang belum memiliki data provenance (asal usul) yang lengkap. Beberapa data bahkan baru berupa perkiraan dari pihak Museum Nusantara, Delf. "Banyak koleksi yang belum jelas provenance -nya (asal usulnya). Perlu kajian khusus untuk memperdalam informasi koleksi itu sendiri," jelas Nusi Lisabila Estudiantin, Kepala Bidang Pengkajian dan Pengumpulan Museum Nasional Indonesia. Nantinya, kata Nusi, benda-benda tersebut akan diklasifikasikan dalam tujuh kelompok, yakni prasejarah, etnografi, arkeologi, numismatik dan heraldik, geografi, keramik dan sejarah. Berikut ini sepuluh dari 1.499 benda bersejarah yang diperoleh dari situs resmi Museum Nusantara ( collectie-nusantara.nl ): 1. Model Perahu dari Cengkeh Model perahu yang disusun dari kuncup-kuncup cengkeh. ( collectie-nusantara.nl ). Model perahu dengan pendayung dan tiga tiang ini terbuat dari susunan cengkeh. Tiap-tiap kuncup cengkeh disatukan dengan cara dijahit menggunakan benang. Benda berukuran 19 x 39,5 x 9 cm ini berasal dari paruh pertama abad ke-20. Terdapat dua model kapal dengan bentuk berbeda serta satu model bentuk set peralatan merokok dan satu set peralatan minum teh. Semuanya berasal dari Ambon, Maluku. 2. Ukiran Tanduk Rusa Tanduk rusa dengan ukiran dari Bali. (Fernando Randy/Historia). Dua tanduk rusa sepenuhnya dihiasi dengan ukiran. Ukiran-ukiran merepresentasikan pangeran, putri, raksasa, dan garuda dan lain sebagainya tersebar pada dua tanduk. Data Museum Nusantara menyebut ukiran tanduk ini "berkualitas tinggi". Dua tanduk tersebut kemungkinan merupakan tanduk rusa Jawa atau rusa Timor ( Cervus timorensis syn . Rusa timorensis ) yang dibuat atau dibawa dari Bali. Kedua tanduk ini diperkirakan berasal dari abad 19–20. 3. Kapak Batu Kapak batu berasal dari 5.000-1.000 SM. ( collectie-nusantara.nl ). Sebuah kapak terbuat dari batu yang diperkirakan berasal dari 5.000-1.000 SM. Kapak ini berbentuk cembung memanjang. Sementara bagian depannya datar dan bagian sisinya sempit dan rata. Data Museum Nusantara menyebut kapak berukuran 3 x 9 x 5,5 cm ini berasal dari Pulau Kalimantan. 4. Peralatan Perak Batak Beragam peralatan perak dari Batak. ( collectie-nusantara.nl ). Terdapat 12 objek berbeda yang digantung dengan rantai yang disatukan oleh cincin logam. Berisi berbagai peralatan seperti pembersih telinga, penjepit rambut, tusuk gigi, kotak tembakau hingga kotak kapur. Peralatan terbuat dari perak ini berasal dari paruh kedua abad ke-19 (sebelum 1890). Kemungkinan dibuat atau dibawa dari Karo, Sumatra Utara. 5. Liontin Ikan Berkepala Naga Liontin ikan berkepala naga dari Jawa Timur. ( collectie-nusantara.nl ). Sebuah liontin berbentuk ikan dengan kepala naga berukuran 10,5 x 13 x 0,4 cm. Liontin ini kemungkinan juga digunakan sebagai jimat keberuntungan. Liontin ini terbuat dari tembaga dan perak dan berasal dari paruh pertama abad ke-20. Kemungkinan berasal dari kebudayaan Peranakan di Jawa Timur. Liontin sejenis disebut sebagai "kalung baderan" atau kalung ikan mas. 6. Gayor Gong Gayor gong yang dibuat oleh seniman M.B. Djadjeng Lesono. ( collectie-nusantara.nl ). Gayor gong atau stand gong ini menurut data Museum Nusantara diproduksi pada 1925 oleh seniman M.B. Djadjeng Lesono dari Yogyakarta. Sementara gongnya disebut dibuat di Bogor dari perunggu. Gayor gong dihiasi ukiran dengan karakter dua orang penjaga dengan pedang di bagian atas. Terdapat pula karakter naga di kedua sisi. Bagian tengah berupa lubang bundar untuk gong. Kemudian pada bagian atas merupakan pahatan karakter merak dengan ekor mengembang. Gayor gong ini berukuran 173,5 x 140 x 27 cm. 7. Laci Perhiasan Piramida Laci perhiasan berbentuk piramida. ( collectie-nusantara.nl ). Laci berbentuk piramida ini merupakan kotak perhiasan pernikahan. Namun, ada kemungkinan juga merupakan kotak obat. Laci berukuran 43 x 39 x 38 cm ini diperkirakan berasal dari Bali atau Jawa Timur. Dibuat atau dibawa ke Belanda pada paruh pertama abad ke-20. Terdapat satu lagi laci berbentuk piramida yang berasal dari Palembang. 8. Sisir Sisik Penyu Sisir yang terbuat dari cangkang penyu sisik. ( collectie-nusantara.nl ). Sisir dekoratif ini dibuat dari cangkang penyu sisik ( Eretmochelys Imbricata ). Bagian atas sisir melengkung dan memiliki motif cut-out . Di bagian tengah terdapat bentuk sebatang pohon kehidupan. Sementara di kedua sisi berupa ayam jantan yang berdiri di atas seekor rusa. Sisir dekoratif lainnya menunjukan motif garuda di bagian tengah, kuda poni dan seorang gadis. Sisir berukuran sekitar 15 x 13,5 x 5 cm ini kemungkinan berasal dari Sumba, dibuat atau dibawa ke Belanda pada paruh pertama abad ke-20. 9. Jas Hujan Sabut Kelapa Jas hujan sabut kelapa dari Belitung. ( collectie-nusantara.nl ). Benda ini berasal dari paruh kedua abad ke-19 (sebelum 1895). Jas hujan berdimensi 125 x 120 cm ini berasal dari daerah Dendang, Pulau Belitung (dulu Biliton). Jas hujan yang dibuat dari sabut kelapa ini berasal dari kebudayaan China dan menurut data Museum Nusantara, jas hujan ini memang digunakan oleh penambang China di Pulau Belitung. 10. Model Rumah Adat dan Perahu Model perahu dagang dari Kota Baru, Sumatra Barat. (Fernando Randy/Historia). Terdapat setidaknya 16 model perahu serta 12 model rumah dan masjid yang tururt dikembalikan. Model-model perahu mewakili bentuk perahu dari Bugis, Makassar, Sangihe, Bacan, Jawa, Madura, hingga Sumatra. Model perahu paling besar berupa perahu dagang dari Kota Baru, Sumatra Barat. Model perahu berukuran 197 x 53 cm bahkan memiliki dua atap. Diperkirakan berasal dari paruh kedua abad ke-19. Sementara model rumah, masjid, dan lumbung merepresentasikan berbagai kebudayaan di Nusantara. Sebagian besar dibuat atau dibawa ke Belanda pada paruh kedua abad ke-19. Selain benda-benda di atas, masih ada ratusan tekstil, mata uang, litograf, perabot rumah, perhiasan, dan senjata. Pihak Museum Nasional telah menyiapkan gedung baru berlantai tiga yang akan difungsikan sebagai storage di belakang Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Kedepan, juga akan dilakukan berbagai kegiatan penunjang penelitian dan konservasi museum di storage baru ini. "Nanti akan ada untuk pelatihan konservasi, sekolah konservasi, untuk museum-museum di Indonesia dari sana. Semacam workshop ," ujar Siswanto, Kepala Museum Nasional. Setelah kajian konten dan konservasi selesai, Museum Nasional rencananya akan menggelar pameran benda-benda hasil repatriasi pada Juni mendatang.
- Petualangan Evertsen, dari Arktik hingga Arafura
JANUARI hari ke-15, TNI AL rutin memperingati Hari Dharma Samudera, hari ketika Insiden Laut Arafura terjadi 58 tahun lampau. Insiden tersebut menewaskan Deputi I KSAL Komodor Yosaphat Sudarso setelah kapalnya, KRI Matjan Tutul, dikaramkan kapal perang Belanda Hr. Ms. Evertsen . Evertsen merupakan kapal fregat Koninklijke Marine (KM) atau angkatan laut Belanda bernomor lambung F-803. Hingga saat ini Evertsen tercatat sebagai kapal terakhir yang memuntahkan peluru dalam pertempuran resmi yang melibatkan Belanda. Setahun setelah Pertempuran Laut Arafura atau yang oleh Belanda disebut “Vlakke Hoek Incident”, Evertsen dipensiunkan dan dibesituakan. Keputusan tersebut mengakhiri petualangan Evertsen sejak Perang Dunia II, Perang Korea, hingga Irian Barat. Mulanya, Evertsen merupakan kapal perusak dari kelas-S milik Royal Navy (Inggris). Namanya HMS Scourge . Menukil H. T. Lenton dalam British & Empire Warships of the Second World War , kapal itu dibuat galangan kapal Cammel Laird di Birkenhead pada 1941 dan rampung tahun berikutnya. Kapal dengan nomor lambung G-01 itu dinamai HMS Scourge saat masuk kedinasan sebagai bagian dari Armada Teritorial Inggris pada 14 Juli 1943. Dua mesin uap Admiralty 3-drum boilers- nya mampu melajukan kapal sepanjang 110,6 meter, lebar 10,9 meter, dan bobot 1.740 ton itu hingga kecepatan maksimal 36 knot . Kapal perusak HMS Scourge G01 milik AL Inggris sebelum berpindah tangan ke AL Belanda mulai 1946 (Foto: Imperial War Museum) Scourge dipersenjatai empat meriam 120mm Mark XII, sepasang meriam Bofors 40mm, empat pasang meriam Oerlikon 20mm, 16 tabung torpedo 21 inci, serta empat pelontar depth charge (bom dalam) berkapasitas 70 bom. Tugas pertamanya di luar perairan Inggris terjadi pada Desember 1943. Scourge turut serta dalam “Konvoi JW 55B”. Konvoi itu merupakan upaya Sekutu mengirim bantuan untuk Uni Soviet yang punya musuh sama dengan Sekutu: Jerman Nazi. Konvoi yang membawa 19 kapal dagang itu dilindungi 32 kapal perang beraneka jenis dari AL Inggris, Amerika, Kanada, dan Norwegia, di mana Scourge termasuk. Setahun berselang, Scourge turut serta dalam invasi Sekutu ke Normandia (D-Day), 5-6 Juni 1944. Scourge bagian dari Gugus Tugas-S, yang bertugas melindungi konvoi Sekutu menyeberangi Selat Inggris dan menyokong pembomban jelang pendaratan. Setahun usai Perang Dunia II, Evertsen diambil-alih Belanda. Beberapa sumber menyebutkan, Evertsen dibeli, bukan dihibahkan. “ Hr. Ms. Evertsen adalah salah satu kapal perang yang diambil-alih oleh AL kerajaan (Belanda, red. ) dari AL Inggris. Sebelumnya sebagai HMS Scourge , kapal itu terlibat dalam konvoi bantuan Sekutu menuju Murmansk. Evertsen di bawah pimpinan Letnan Laut I G. P. Küller pada 21 April tiba di Tanjung Priok dan disambut Panglima AL Belanda di Hindia Belanda Laksamana Madya A. S. Pinke,” sebut suratkabar Het Dagblad , 24 April 1946. Dipermak jadi Fregat Saat baru berpindah tangan ke AL Belanda, Scourge diganti namanya menjadi Hr. Ms . (di beberapa sumber disebut HNLMS) Evertsen dengan nomor lambung D-802. Nama itu untuk kelima kalinya digunakan Belanda untuk menamai kapal perangnya sejak abad ke-19. Nama Evertsen diambil dari nama dua kakak-beradik pelaut yang dianggap Belanda sebagai pahlawan di abad ke-17, Johan dan Cornelis Evertsen. Kala Belanda kembali ke Indonesia, Evertsen berbasis di Modderlust, Surabaya dan ikut dalam serangkaian patroli di Laut Jawa. Hingga 1949, ia juga beberapakali memulangkan para bekas interniran dan tawanan Jepang ke Eropa. Para awak Hr. Ms. Evertsen D802 kala bertugas di Perang Korea (Foto: NIMH) Setahun berselang, Evertsen ikut andil menyokong Sekutu di Perang Korea, sebagai bagian dari Gugus Tugas-96 di Armada ke-7 AL Amerika. Tugasnya memblokade jalur suplai musuh di Laut Kuning dan memberi sokongan salvo dari laut ke pasukan darat PBB. Usai Perang Korea, Evertsen kembali ke Belanda dan pada Oktober 1957 diubah menjadi fregat di galangan kapal Den Helder. Hal itu sebagai dampak kebijakan Belanda yang hendak memperkuat militernya di Irian Barat sekaligus “membesituakan” sejumlah kapal perang tuanya. “ Hr. Ms. Evertsen , Piet Hein, dan Kortenaer yang sebelumnya bertugas sebagai kapal perusak, telah dirombak. Kapal-kapal itu kini telah menjadi fregat pada 1 Oktober karena masih dibutuhkan armada kerajaan,” sebut suratkabar De Tijd , 14 Oktober 1957. Awal 1960, Evertsen yang sudah diubah menjadi fregat dan digganti nomor lambungnya menjadi F-803, berangkat dari Amsterdam ke Hollandia (kini Jayapura) via Terusan Panama. Ia jadi satu dari tiga kapal perang untuk memperkuat perairan Irian Barat, selain fregat Kortenaer dan kapal perusak Utrecht. Ketiga kapal inilah yang menghantam KRI Matjan Tutul pada malam 15 Januari 1962 di Laut Arafura. Dari ketiganya, Evertsen yang maju duluan dan melepas salvo pertama ke tiga kapal ALRI. Suratkabar De Volksrant , 6 April 1960 memberitakan, Evertsen sudah sering berpatroli di perairan Irian dan dikomandani Kapitein-luitenant (setara letnan laut) J.A. van Beusekom. “Pukul 22.07 Evertsen pertama kali memuntahkan peluru meriamnya kepada Matjan Tutul karena diduga akan mengadakan serangan torpedo karena haluan yang mengarah padanya. Pukul 22.10 sebuah tembakan Evertsen tepat mengenai buritan Matjan Tutul . Pada 22.30 tembakan tepat Evertsen mengenai bagian tengah…pukul 22.35 tembakan Evertsen tepat kena anjungan Matjan Tutul ,” sebut Julius Pour dalam biografi Laksamana Sudomo, Mengatasi Gelombang Kehidupan. KRI Matjan Kumbang dan KRI Harimau jelang Pertempuran Laut Aru/Laut Arafura (Foto: Repro "Mengatasi Gelombang Kehidupan") Setelah KRI Matjan Tutul tenggelam 15 menit berselang, Evertsen sebetulnya ingin mengejar dua MTB lain milik ALRI (kini TNI AL) namun Gubernur Nieuw Guinea Belanda Dr. Pieter Johannis Platteel memerintahkan Evertsen , Kortenaer, dan Utrecht kembali ke Hollandia. Setelah tugas di Irian, Evertsen dilelang seperti kapal-kapal perang lain yang sudah renta. Pada 12 Juli 1963 atau sehari setelah mengakhiri masa tugasnya di AL Belanda, ia dibesituakan. “Kemarin, kapal ini dipensiunkan AL kerajaan dan kemudian dilelang secara terbuka oleh inspektorat wilayah setempat (Hendrik-Ido-Ambacht, red ). Setelah dibongkar, 2,5 ton besi tuanya dibeli seharga 245.555 gulden oleh Frank Rijsdijk dalam pelelangan itu,” sebut suratkabar De Volksrant , 13 Juli 1963. Nama Evertsen tetap digunakan AL Belanda. Setelah kapal fregat F-803 itu, Belanda menggunakannya lagi untuk frigat kelas-Van Speijk, HNLMS Evertsen F-815, yang dipakai sejak 1967 tapi dijual ke Indonesia –dan dinamai KRI Halim Perdanakusuma 355 – pada 1989. Setelah itu, nama Eversten dipakai oleh sebuah fregat kelas-De Zeven Provinciën bernomor lambung F-805, HNLMS Evertsen, yang digunakan sejak 2005 sampai sekarang.
- Agen KGB di Indonesia Dieksekusi Mati
SALAH satu operasi rahasia CIA (Dinas Intelijen Pusat Amerika Serikat) yang paling sukses terhadap Uni Soviet dilakukan di Indonesia. Operasi bersandi HABRINK ini berhasil mendapatkan informasi dari pejabat militer Indonesia mengenai alutsista dan persenjataan Uni Soviet yang dijual kepada Indonesia, termasuk sistem rudal, kapal selam, kapal perusak, kapal penjelajah, dan pesawat pembom.
- Apa Kabar Michael Schumacher?
NAMA Schumacher terpampang di kokpit mobil Formula One (F1) Scuderia Ferrari. Schumacher bahkan sudah menjajal beberapa varian jet darat Ferrari sejak 2019. Belum lama ini, ia mencicipi tiga mobil berjuluk “kuda jingkrak” itu di rangkaian sesi tes resmi musim 2020 di Bahrain. Namun, Schumacher itu bukan si legenda Michael “Schumi” Schumacher yang masih terbaring usia kecelakaan, atau Ralf Schumacher yang kembali dari masa pensiunnya. Schumacher itu ialah Mick Schumacher, anak kedua Schumi dari perkawinannya dengan Corinna Betsch. Mengutip GP Today , Sabtu (11/1/2020), Mick sebelumnya menjajal mobil Ferrari F2004 yang pernah dipakai ayahnya, mobil F2002 sebelum dilelang pihak Ferrari, serta mobil SF-90 yang dipakai duo Sebastian Vettel dan Charles Leclerc pada musim lalu. “Sulit mengatakan mana favorit saya. Mobil 2019 luar biasa. Juga bisa mengendarai F2002 dan F2004 selalu jadi mimpi saya,” ungkap Mick. Mick Schumacher, anak kedua Michael Schumacher yang mengikuti jejak ayahnya di balap mobil (Foto: formula1.com ) Apakah ini pertanda Ferrari bakal merekrutnya sebagaimana tim itu merekrut ayahnya pada 1996? Masih terlalu dini untuk menjawabnya. Usia Mick baru genap 20 tahun. Masih banyak jenjang yang mesti dilewati jebolan akademi balap Ferrari itu untuk bisa mengikuti jejak ayahnya. Mick saat ini masih mengaspal bersama tim Prema Racing di Formula 2. Schumacher yang Dirindukan Sudah enam tahun Schumacher tergolek di kamar perawatan. Koma sebagai dampak cedera trauma otak dialaminya setelah kecelakaan kala berski di Pegunungan Alpen pada 29 Desember 2013. Sempat dirawat intensif di Centre Hospitalier Universitaire de Grenoble, lantas dirujuk ke Centre Hospitalier Universitaire Vaudois, Schumi akhirnya dirawat secara privat di kediamannya di Gland, Swiss. Schumi dikabarkan sudah siuman, namun masih mengalami kelumpuhan. Sempat lima tahun tiada kabar, pada September 2019 Schumi dikabarkan dibawa lagi ke Hôpital Européen Georges-Pompidou, Paris untuk terapi stem cell atau sel punca dan Januari 2020 ini ia kembali menjalani terapi serupa. “Ada satu sampai tiga tahun rencana untuk periode regenerasi (terapi, red. ). Saya secara rutin mengunjungi Schumacher dan bicara pada keluarganya tentang kemajuan yang saya lihat dari kondisinya,” ungkap Profesor Jean-Francois Payen, dokter yang menangani Schumacher, dikutip Express , Senin (13/1/2020). Schumacher mengalami cedera trauma otak usai bermain ski di pegunungan Alpen pada Desember 2013 (Foto: Ferrari) Bagi penggila F1, nama Schumi ibarat dewa di lintasan. Tujuh gelar juara dunia yang digapainya melampaui rekor para legenda pendahulunya macam Juan Manuel Fangio (5 kali), Alain Prost (4), Jack Brabham, Niki Lauda, dan Ayrton Senna (masing-masing 3); sudah cukup banyak berbicara. Schumi memulai debutnya di F1 bersama tim Jordan pada 1992. Petualangannya dilanjutkan bersama tim Benetton. Bersama Ferrari selama satu dekade (1996-2006), Schumi mencetak banyak prestasi hingga namanya melegenda. Kariernya ditutup di tim Mercedes (2010-2012) setelah pensiun sementara pada 2006-2010. Sepanjang kiprahnya merebut tujuh gelar juara dunia (1994, 1995, 2000-2004), Schumi mencetak 68 kali pole position (posisi start terdepan) dan 91 kemenangan dari 155 kali naik podium. Namun cerita tentang Schumi bukan sekadar angka, melainkan penuh warna hingga dipuja banyak pembalap lintas generasi. Jago Balap di Usia Dini Schumi lahir di Hürth-Hermülheim, Jerman pada 3 Januari 1969 dari pasangan Rolf dan Elisabeth Schumacher. Sang ayah berprofesi sebagai pekerja bangunan yang hobi utak-atik mesin otomotif. Ayahnyalah yang memperkenalkan Schumi dengan mobil balap saat membelikan dia hadiah mainan mobil berpedal di usia empat tahun. “Mainan mobil itu dipasangi mesin motor. Sayangnya ia menabrakkannya ke sebuah pohon. Namun kejadian itu membuatnya makin senang dengan balapan. Orangtuanya membawanya ke trek go-kart di Kerpen-Horrem, untuk didaftarkan ke klub balap sebagai anggota termuda,” ungkap Jack Goldstein dan Frankie Taylor dalam 101 Amazing Facts about Michael Schumacher. Melihat Schumi tumbuh dengan bakat di lintasan, Rolf dan Elisabeth mendukung penuh putranya. Untuk itu, Rolf sampai nyambi bekerja sebagai montir go-kart. Sementara, Elisabeth membantu dengan menjadi pelayan kantin di sirkuit Kerpen. Dukungan itu berbuah manis, Schumi jadi juara termuda antarklub di usia enam tahun. Saat hendak naik ke level pro, Schumi yang butuh mesin go-kart baru seharga 800 deutschemarks, menghadapi masalah. Orangtuanya tak mampu membelikannya mesin itu. Mereka tentu bingung. Schumacher memulai kiprahnya di balapan karting (Foto: michael-schumacher.de ) Beruntung, bakat Schumi dipantau seorang pebisnis lokal, Jürgen Dilk. Dilk, kata James Allen dalam biografi Michael Schumacher , merupakan orangtua Guido, salah satu pembalap cilik yang dikalahkan Schumi pada kejuaraan itu. Dilk memberi pertolongan pada Schumi. “Saya akan membayarnya dengan trofi-trofi, di mana hal itu jadi kesepakatan yang bagus. Lalu saya disponsori olehnya untuk maju ke balapan pertama saya. Dia mendanai 25 ribu deutschemarks dan membantu saya mencari sponsor lain. Ia sosok yang sangat penting bagi saya,” ujar Schumi, dikutip Allen. Batu sandungan lain menghadang Schumi saat berusia 13 tahun. Usianya mengancamnya tak bisa mengikuti kejuaraan Karting Junior lantaran regulasi balap di Jerman mensyaratkan, untuk bisa tampil di kejuaraan Karting Junior Jerman harus punya lisensi go-kart. Lisensi itu bisa didapat setelah seseorang berusia 14 tahun. Schumi pun mencari cara untuk mendapatkan lisensi dengan menyeberang ke Luksemburg. Di sana, usia 13 sudah boleh mengajukan lisensi. Setelah mendapatkannya, Schumi kembali ke Jerman dan kemudian memenangi kejuaraan itu. Sejak saat itu, nyaris semua kejuaraan go-kart di Jerman maupun Eropa yang diikuti Schumi selalu berbuah trofi. Setelah direkrut tim Eurokart milik pebisnis otomotif Adolf Neubert pada 1987, Schumi memutuskan berhenti sekolah dan memilih menekumi dunia balap 100 persen. Hasilnya, Schumi menjuarai Formula König bersama tim Hoecker Sportwagenservice setahun berselang. Tahun berikutnya, Schumi masuk ajang Formula 3 bersama tim WTS Racing. Benetton jadi tim kedua Schumacher kala merintis kegemilangan di pentas F1 (Foto: michael-schumacher.de ) Willi Weber, pemilik tim WTS Racing, menjadi sosok penting bagi karier Schumi. Dialah yang membuka mata Schumi untuk masuk F1, hal yang sebelumnya tak pernah diimpikan Schumi. Weber ingin melihat ada pembalap Jerman berjaya di lintasan F1. Maklum, di era 1980-an itu pentas F1 masih didominasi pembalap-pembalap Brasil, Prancis, Inggris, dan Italia. “Saya sendiri balapan selama 20 tahun dan F1 selalu jadi misi saya, target utama, namun saya terlalu tua untuk jadi pembalap lagi. Jadi saya bermimpi membawa seorang pembalap muda Jerman ke F1. Michael memberikan saya firasat bahwa dialah orangnya,” kata Weber mengenang, dikutip Allen. Weber pun memasukkan Schumi ke program balapan Mercedes junior pada 1990. Kombinasi Weber dan kerja keras Schumi di beragam ajang, di antaranya World Sports-Prototype Championship dan World Sportscar Championship, membuahkan hasil ketika Schumi berhasil masuk F1 dan direkrut Eddie Jordan dari Mercedes dengan “mahar” USD150 ribu untuk pindah ke tim Jordan-Ford pada 1991. Namun debut Schumi di Belgia berjalan buruk, ia gagal finis di lap pertama. Karier Schumi di Jordan lalu sempat terhambat dokumen kontrak yang ternyata belum legal antara Jordan dan Mercedes. Schumi kemudian “dibajak” tim Benetton. Di Benettonlah Schumi memenangi balapan pertamanya, di Sirkuit Spa, Belgia pada 1992. Dari sana, kemenangan demi kemenangan pun terus dikoleksi Schumi hingga namanya melegenda.
- Sanghyang Siksa Kandang Karesian, Pedoman Masyarakat Sunda
Masif-nya penyebaran agama Islam pada abad ke-16 nyaris membuat kerajaan Sunda Hindu tamat riwayatnya. Namun di era pemerintahan Prabu Jayadewata atau Sri Baduga Maharaja (1482-1521), pengaruh Islam di pusat kerajaan Sunda (Pakuan Pajajaran) berhasil dibendung. Selama kurang lebih 39 tahun masa pemerintahannya, Jayadewata mampu menjaga ajaran Hindu tetap hidup di Pajajaran. Bagaimana sang raja melakukannya? Dikisahkan Carita Parahyangan , dalam Sejarah Nasional Indonesia Jilid II karya Nugroho Notosusanto, dkk, Prabu Jayadewata membuat sebuah kitab pedoman hidup bernama Sanghyang Siksa Kandang Karesian (SSKK). Naskah berangka tahun 1440 Saka, atau 1518 Masehi ini bersifat ensiklopedis. Isinya memberikan gambaran tentang pedoman moral umum, dan bekal praktis untuk kehidupan bermasyarakat di Sunda Pajajaran. Dalam acara Seri Diskusi Naskah Nusantara “Kabuyutan dan Keutamaan Sanghyang Siksa Kandang Karesian: Teks Sunda Kuno dalam Dua Media Tulis” di Perpusatakaan Nasional Republik Indonesia, Jakarta Pusat, filolog Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) Ilham Nurhamsah menyebut jika SSKK menjadi salah satu ajaran yang sakral di masyarakat Sunda. “Proses membaca naskah ini tidak dibaca begitu saja oleh masyarakat. Tetapi ada seorang yang membacanya, kemudian yang lain mendengarkan,” kata Ilham. Kitab pedoman hidup milik masyarakat di kerajaan Sunda itu memuat banyak nilai dari ajaran Hindu dan ajaran karuhun (nenek moyang) yang dipercaya telah ada sebelum agama Hindu-Budha masuk ke Tatar Sunda. Naskah SSKK ini berisi ungkapan dan keterangan tentang sepuluh kesejahteraan ( dasakreta) , sepuluh pengabdian ( dasa prebakti ), sepuluh alat indra ( panca indriya ), lima pelindung ( panca byapara ), pembagian lima arah mata angin ( sanghyang wuku lima ), dan sebagainya. Dalam bukunya, Sewaka Darma (Kropak 408); Sanghyang Siksa Kandang Karesian (Kropak 630); Amanat Galunggung (Kropak 632) , Saleh Danasasmita, dkk menjelaskan jika naskah SSKK ini diajarkan oleh seorang budiman (pendeta suci) kepada mereka yang mencari kebahagiaan. Karenanya seluruh rakyat bisa mempelajarinya, tidak hanya terbatas kepada kalangan tertentu saja. Naskah ini pun banyak memuat tugas-tugas rakyat di dalam kerajaan yang dimaksudkan demi kepentingan pemerintahan. “Kata karesian dalam naskah ini tidaklah dikonotasikan khusus dengan pengertian biara (tempat tinggal resi), melainkan dengan kearifan atau kewaspadaan hidup menurut ajaran darma. Ditinjau dari isinya, kata Siksa Kandang Karesian itu dapat diartikan bagian aturan atau ajaran tentang hidup arif berdasarkan darma,” kata Saleh. Naskah Sanghyang Siksa memuat berbagai peraturan sehari-hari yang ditujukan bagi ketentraman masyarakat. Di antaranya mengajarkan formasi perang, cara mengukur tanah, pertanda alam, mantra, makanan, pekerjaan dan keahlian, serta segala larangan dan anjuran dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Sementara dari hasil penelitian filolog Aditia Gunawan, dalam Sanghyang Sasana Maha Guru dan Kala Purbaka: Suntingan dan Terjemahan , Siksa Kandang mengandung nilai yang lebih mendasar. Pada salah satu terjemahan Siksa Kandang bahkan sampai mengurusi cara mengahadapi raja, berpakaian, sampai cara buang air yang benar di masyarakat. “… tidak baik buang air besar di pinggir jalan, barangkali tercium oleh orang yang tidak sengaja lewat, takut nanti disumpahi dan disalahkan. Haruslah kita bercelana dan berpakaian lengkap, barangkali kita bertemu dengan raja atau mantra, haruslah kita berada di sebelah kiri dan berjongkok. Itulah yang disebut Siksa Kandang ,” tulis Aditia. Selama masa kekuasaan Prabu Jayadewata ajaran dalam naskah Sanghyang Siksa diperhatikan dengan sangat baik. Pemerintahan di Pakuan pada masa itu benar-benar menerapkan berbagai hal yang diajarkan dalam kitab SSKK. Rakyat pun diwajibkan untuk mengikutinya. Sehingga para pelanggar ajaran ini akan mendapat sanksi dari sang raja. “Sang Jayadewata menjalankan pemerintahannya berdasarkan kitab-kitab hukum yang berlaku, sehingga pemerintahannya berjalan dengan aman dan tentram. Pada masa itu tidak terjadi perang. Jika pun terjadi rasa tidak aman, maka hal itu cumalah terjadi pada mereka yang berani melanggar Sanghyang Siksa saja,” tulis Nugroho. Ajaran dalam SSKK terbukti mampu menghalau pengaruh Islam. Sehingga kendati masyarakat Muslim telah mengepung kerajaan Pajajaran –dari Barat melalui Banten, dan dari Timur melalui Cirebon serta Demak– wilayah pusat tetap dalam pengaruh Hindu. Selain karena pengaruh Raja Pajajaran yang begitu kuat di masyarakat, aturan hidup dalam SSKK yang telah diturunkan secara turun-temurun juga sedikit banyaknya mempengaruhi kehidupan masyarakat Sunda dalam berperilaku dan bertindak di dalam kerajaan. Namun begitu Prabu Jayadewata mangkat, ajaran dalam SSKK tidak dijadikan pedoman wajib di masyarakat. Perbedaan situasi politik di kerajaan Sunda era Jayadewata dengan Prabu Surawisesa (1521-1535), ditambah konflik dengan Islam yang semakin meluas, membuat masa pemerintahan ini dijalankan dengan mengedepankan perang. Hingga akhrinya kerajaan Pajajaran benar-benar runtuh pada 1579 di masa Prabu Surya Kencana. Meski demikian, berbagai ajaran Sanghyang Siksa Kandang tidak lenyap begitu saja di dalam diri masyarakat Sunda. Menurut Ilham, nilai-nilai di dalam naskah itu terus diturunkan dari generasi ke generasi, walau sudah semakin terbatas. “Ya, karena sebagian masih ada di dalam ingatan masyarakat Sunda sekarang,” ucapnya.
- Kisah Jenderal Soedirman dan "80 Perompak"
Jumat, 1 November 1946. Udara pagi Jakarta mulai menghangat, saat serangkaian kereta api istimewa memasuki Stasiun Manggarai. Begitu berhenti, ribuan orang yang memenuhi ruang tunggu mulai ramai bersuara. Suasana mulai “histeris” manakala dari salah satu gerbong muncul dua orang yang ditunggu: Panglima Besar Tentara Republik Indonesia (TRI) Jenderal Soedirman dan Kepala Staf TRI, Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo. “Pekik merdeka kembali berdengung di Jakarta, menyambut kedatangan Pak Dirman,” ujar mantan Menteri Pertambangan di era Orde Baru Soebroto, seperti dikutip sejarawan Moehkardi dalam Akademi Militer Yogya dalam Perjuangan Pisik 1945-1959. Soebroto adalah salah seorang kadet Akademi Militer Yogyakarta. Bersama 14 rekannya, dia masuk dalam barisan pengawal Soedirman saat itu. Mereka terpilih karena dianggap berasal dari kalangan elit TRI yang memiliki disiplin tinggi dan kapasitas intelektual yang memadai (salah satunya menguasai bahasa Inggris dan bahasa Belanda). Kriteria itu penting supaya prajurit-prajurit TRI tidak memalukan bila tampil di depan hidung tentara Inggris dan tentara Belanda. Kedatangan para pucuk pimpinan TRI ke Jakarta dalam rangka menindaklanjuti hasil Perjanjian Linggarjati antara pemerintah RI dengan pemerintah Kerajaan Belanda yang hingga akhir Oktober 1946 sudah mendekati final. Mereka akan membicarakan soal teknis dari pelaksanaan gencatan senjata antara kedua belah pihak. Belanda sendiri awalnya keberatan dengan kedatangan Jenderal Soedirman lengkap dengan para pengawal bersenjatanya ke Jakarta. Bahkan dalam nada marah, Panglima KNIL Jenderal S.H. Spoor menyebut upaya itu sebagai bentuk provokasi dari Soedirman. Dalam suratnya kepada Kepala Staf Umum Tentara Kerajaan Belanda Jenderal H.J. Kruls, Spoor menyatakan kedatangan Soedirman dengan rombongan bersenjatanya ke Batavia sungguh memberi malu kepada orang-orang Belanda. “Ia sangat berang dengan tindakan provokatif Jenderal Soedirman ‘dengan 80 perompak-nya’ di Batavia,” tulis sejarawan JA.de Moor dalam Jenderal Spoor: Kejayaan dan Tragedi Panglima Tentara Belanda Terakhir di Indonesia. Spoor juga menyebut bahwa Soedirman dan para republiken sama sekali tidak memiliki niat baik untuk menciptakan perdamaian. Mereka tidak loyal terhadap kesepakatan yang sudah diciptakan oleh kedua pihak dalam Perjanjian Linggarjati. Namun apa boleh buat, orang-orang Inggris yang masih bercokol di Jakarta dan merupakan wakil sah dari Sekutu, menginginkan Belanda untuk menyelesaikan semaksimal mungkin konfliknya dengan Indonesia harus lewat meja perundingan. “Belanda kini terpaksa berunding dengan para ‘bajingan dan kolaborator dari masa perang’,” ungkapnya. Di lain pihak, kedatangan rombongan Soedirman ke Jakarta, memang dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Perdana Menteri RI Sutan Sjahrir. Menurut sejarawan Rushdy Hoesein, sebenarnya bisa saja rombongan Panglima Besar menyudahi perjalanannya di Stasiun Gambir dan diam-diam langsung masuk Hotel Shutteraff yang ada persis di muka stasiun tersebut (sekarang Gedung Pertamina). “Namun Sjahrir menginginkan supaya Soedirman dan rombongannya diarak dari Stasiun Manggarai menuju hotel tempat mereka menginap untuk memperlihatkan kepada Belanda dan Inggris bahwa Republik memiliki tentara yang patut dibanggakan,” ujarnya. Bagi para pengawal, situasi tersebut merupakan ujian tersendiri bagi kedisiplinan mereka sebagai tentara. Terutama bagi yang kebagian jaga di depan hotel, persis menghadap jalan raya. Entah berapa kali dalam sehari, serdadu-serdadu Belanda secara provokatif berjalan hilir-mudik di depan mereka dengan sorot mata memusuhi dan menghina. “Kami masing-masing hanya bisa saling melototkan mata saja, untunglah tidak sampai terjadi insiden,” kenang Soebroto. Namun selain perang urat syaraf, ada juga kenangan indahnya. Tak jarang orang-orang Jakarta, terutama para gadisnya, mondar-mandir di depan kadet penjaga. Mereka rupanya sengaja lewat depan Hotel Shutteraff hanya sekadar ingin tahu betapa tampan dan gagahnya para prajurit TRI yang mereka banggakan itu. Rombongan Soedirman berada di Jakarta hingga Selasa sore, 5 November 1946. Paginya, Panglima Besar masih menyempatkan diri melakukan shalat Idul Adha di Lapangan Gambir (sekarang kawasan Monas) bersama masyarakat Jakarta. Seperti saat menyambut kedatangan Soedirman di Stasiun Manggarai beberapa hari sebelumnya, ribuan masyarakat Jakarta pun terlihat antusias menjalankan shalat berjamaah dengan panglima besar-nya.
- Panglima Doyan Ngebut
JENDERAL M. Jusuf dikenal sebagai panglima yang perhatian kepada prajurit. Hari-harinya selama menjabat sebagai Menhankam/Pangab di kabinet Pembangunan III lebih banyak dihabiskan di lapangan untuk meninjau langsung kesiapan pasukan dan persenjataan atau kondisi kehidupan para prajurit beserta keluarga mereka. Kebiasaan itu telah dilakukan Jusuf jauh sebelum dia menduduki kursi nomor satu ABRI. Namun selain hobi memperhatikan prajurit, Jusuf juga hobi ngebut menggunakan jip. Kebiasaannya sejak masih perwira pertama itu dilakukannya untuk inspeksi mendadak ke lapangan. Ketika sudah menjabat sebagai Pangdam Hasanuddin, kebiasaan itu tetap dilanjutkannya. “Menurut cerita ajudannya waktu itu, meskipun menjabat panglima, Jusuf sering menyetir mobil jipnya sendiri ke daerah-daerah yang masih rawan atau untuk meninjau pasukannya,” tulis Atmadji Sumarkidjo dalam Jenderal M. Jusuf Panglima Para Prajurit . Baca juga: Jenderal Takut Kepergok Merokok Bila sudah mengendarai jipnya, Jusuf akan memacu laju mobil sekencang mungkin, tak peduli keamanan daerah yang dilaluinya maupun ganasnya medan. Hal itulah yang membuat Mayor Himawan Soetanto (dan Yon 330 Siliwangi, di kemudian hari menjabat sebagai Kasum ABRI) dan Letda TB Silalahi (dan Ki kavaleri, di kemudian hari menjabat menteri Pendayagunaan Aparatur Negara) kagum terhadapnya. Himawan mengisahkan pertemuan pertamanya dengan Jusuf terjadi ketika Jusuf melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke Pare-Pare, tempat Himawan bertugas Jusuf datang tanpa ajudan dan pengawal. Pengawalan bukannya tak pernah digunakan Jusuf ketika melakukan sidak. Namun, jumlah yang besar membuat laju pengawal tak bisa cepat. Jusuf tak betah berlambat-lambat. Biasanya, kalau sudah begitu Jusuf akan berjalan duluan. “Pokoknya kalau panglima sudah menghidupkan lampu dim, artinya dia mau lebih cepat. Kalau sudah begitu, pengawal di mobil depan minggir,” kata sang ajudan. Silalahi pernah kewalahan ketika, dalam tugasnya menumpas gerakan Andi Selle, mendapat tugas mengawal Jusuf. Pasalnya, Jusuf acapkali menghilang menggunakan jipnya. Hal itu membuat Silalahi dan regu pengawal ketar-ketir. Alih-alih mendengarkan keluhan dari Silalahi dkk. kemudian, Jusuf justru dengan enteng menjawab, “Habis, panser kalian jalannya terlalu pelan.” Kesukaan pada kecepatan itu membuat Jusuf kerap memilih jalur yang lebih pendek untuk mencapai tujuan kendati jalur itu jauh lebih berbahaya. Bila berkunjung ke Bone, Jusuf lebih suka melewati jalur memotong gunung yang dipenuhi semak dan kanan-kirinya jurang. Suatu kali, dia mengajak seorang pengawal. Sambil memacu jipnya, Jusuf menceritakan ada sebuah mobil yang masuk ke jurang ketika melewati jalur itu. Sang pengawal yang ketakutan sejak awal pun terus berpegangan pada bagian mobil alih-alih mendengarkan keterangan Jusuf. Baca juga: Pelajar Makassar Bernyali Besar Hal itu pula yang dialami Himawan ketika diminta Jusuf menemaninya napak tilas ke Barru. Saat itu tahun 1983, Jusuf sudah menjadi menhankam/Pangab dan Himawan sudah menjadi Kasum ABRI dengan tiga bintang di pundak. Himawan diminta duduk di samping Jusuf yang berada di balik kemudi. Jip Jusuf berada di urutan ketiga, di belakang sebuah sedan Volvo dari Polri dan mobil pembuka jalan dari POM ABRI. Dalam perjalanan, Jusuf tak tahan lagi dengan iring-iringan yang melaju lambat. Pedal gas pun di injaknya lebih kuat. Dalam sekejap, mobil POM ABRI dan kemudian sedan Volvo Polri pun disalipnya. “Wah, payah mobil si Awaluddin ini,” kata Jusuf mengomentari sedan Volvo Polri, yang kala itu Kapolrinya Jenderal Awaluddin Djamin. Alhasil, Jusuf telah selesai minum dan ngobrol dengan pejabat di Barru saat rombongan baru tiba 40 menit kemudian. Usai kunjungan, Himawan kembali harus menahan nafas lantaran harus kembali merasakan kengerian ngebut disupiri panglima ABRI. Kendati jalan menuju Bandara Hasanuddin berliku, Jusuf justru makin “gila”. Laju jipnya dia geber dengan kecepatan rata-rata 140km/jam. Hal itu membuat Himawan kian kencang menggenggam pegangan di bagian depan mobil. Dia tak ingat lagi apa saja yang dikatakan Jusuf ketika dalam perjalanan banyak bercerita. Konsentrasi Himawan hanya tertuju pada keselamatan. Himawan baru lega ketika jip tiba di bandara. Kepada Kolonel Sintong Pandjaitan, orang yang diminta Jusuf menyediakan jip, dan Kasdam Brigjen Bachtiar, Himawan pun mengeluhkan perjalanan yang baru dialaminya. “Wah, Pak Jusuf itu gila betul menyetirnya. Kalau terbalik gimana ya?” kata Himawan yang langsung disambut tawa Sintong dan Bachtiar. Yang disebut terakhir hanya berkomentar singkat, “Ya begitulah beliau itu. Dulu malah jalannya belum sebagus sekarang, tapi ngebutnya sama juga.” Menurut Jusuf, kegemarannya ngebut bukan tanpa alasan. “Kalau kau membawa oto secara cepat, biasanya yang mau mencegat kita berpikir dulu. Paling tidak, susah untuk dijadikan sasaran sniper,” katanya. Hobi Jusuf itu kerap “memakan korban”. Himawan hanya satu di antaranya. Korban paling parah adalah seorang yang dikisahkan mantan komandan Jusuf, Mayjen Andi Mattalatta. Dalam otobiografinya, Meniti Siri’ dan Harga Diri , Mattalatta mengisahkan kejadian itu berlangsung saat Jusuf hendak menghadiri resepsi pernikahannya di Barru, 5 Oktober 1951. Baca juga: Cerita dari Stadion Andi Mattalatta Karena baru tiba dari Jakarta, Jusuf berupaya buru-buru ke Barru menggunakan jip. Mengetahui hal itu, Nyonya Alimbachri yang sangat ingin menghadiri resepsi Mattalata, segera menumpang Jusuf. Jusuf mengizinkan, perjalanannya ke Barru tak sendirian. “Makassar-Barru yang jauhnya 100 km, ditempuhnya kurang dari sejam. Di belakang duduk sendirian Nyoya Alimbachri. Setelah Kapten TNI Andi Jusuf tiba di tempat resepsi, barulah beliau menoleh ke belakang melihat penumpangnya. Tiba-tiba beliau heran, karena tidak ada orang yang duduk di belakang. Ternyata, penumpangnya sudah pingsan dan terjatuh di lantai mobil. Memang Kapten TNI Andi Jusuf senang ngebut. Sampai beliau berbintang empat, masih senang ngebut,” kata Mattalatta.
- Ketika Wardiman Djojonegoro Dimarahi Bang Ali
Sewaktu menjadi Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin lekat dengan predikat pemarah. Emosinya kerap meluap-luap. Tidak jarang umpatan keluar dari tutur lisan gubernur yang akrab disapa Bang Ali ini. “Ali Sadikin jika marah sering mengumpat. Banyak pejabat yang pernah jadi sasarannya, termasuk saya,” kenang Wardiman Djojonegoro dalam memoarnya Sepanjang Jalan Kenangan: Bekerja dengan Tiga Tokoh Besar. Wardiman pernah menjabat sebagai Kepala Biro Kepala Daerah Pemda DKI Jakarta antara 1966-1979. Selama itu pula, Wardiman mendampingi Ali Sadikin, terutama dalam menangangi tugas-tugas keprotokolan. Wardiman tahu persis bagaimana sikap Bang Ali kalau lagi jengkel bila tugas dan proyek Pemda DKI dijalankan tidak sebagaimana mestinya. Ketika PON VII dihelat di Surabaya, Bang Ali menjanjikan bonus bagi atlet Jakarta yang berprestasi. Mereka yang mempersembahkan medali antara lain Indrajati Sidi, pemenang cabang panca lomba. Kepada Indrajati, Pemda DKI Jakarta menghadiahinya dengan paket liburan ke Singapura dan Bangkok, Thailand. Wardiman ditugaskan menyiapkan keberangkatan para atlet ke Bangkok. Namun Wardiman lupa memberitahukan kepada Dubes RI di Bangkok perihal kedatangan mereka. “Akibatnya, saya dimarahi oleh Ali Sadikin dan keluarlah kata-kata ‘kebun binatang’,” kenang Wardiman. Kejadian berikutnya, suatu ketika kontingen olahraga DKI Jakarta pulang dari Lampung dengan menggunakan kapal setelah memenangkan pertandingan. Ali Sadikin menelepon Wardiman untuk persiapan penyambutan. Kata Bang Ali, “Man, siapkan korps musik untuk menyambut.” Wardiman menempatkan korps musik di depan tenda tamu. Melihat itu, Bang Ali malah marah. Ali menginginkan agar korps musik di taruh di dermaga tempat kapal merapat. Apes bagi Wardiman. Dia pun kena maki oleh Bang Ali. Kisah dampratan Bang Ali bagi Wardiman masih berlanjut. Pada 1969, Presiden Singapura Yusuf bin Ishak berkunjung ke Jakarta. Seyogianya bendera Singapura berkibar di Balai Kota. Lagi-lagi Wardiman lalai. Dia lupa memberikan instruksi untuk mengibarkannya. Kealpaan itu menurut Wardiman secara tidak sadar dipengaruhi dengan peristiwa digantungnya dua prajurit Korps Komando (KKo) AL, Usman dan Harun. Peristiwa itu menyulut emosi rakyat Indonesia, termasuk Wardiman. “Akibatnya, sekali lagi Ali Sadikin mengumpat marah kepada saya,” ujar Wardiman. Selain itu, Wardiman juga pernah menyaksikan kemarahan Ali Sadikin kepada pihak Hotel Indonesia. Waktu itu, Hotel Indonesia menjadi satu-satunya hotel bergengsi di Jakarta sementara Ali Sadikin sedang kedatangan tamu delegasi luar negeri. Rupanya ada yang melapor bahwa tamu-tamu asing Bang Ali itu tidak mendapat kamar. Untuk mengatasinya. Ali Sadikin mendatangi Manajer Hotel Indonesia, seorang berkebangsaan asing. Sambil memegang dan mengangkat kerah bajunya, Bang Ali mengancam, “Jika delegasi dari luar negeri tidak mendapat kamar, saya akan keluarkan kamu dari Indonesia.” Akibatnya, sejumlah tamu domestik yang menginap di hotel itu terpaksa menjinjing koper untuk pindah ke penginapan lain. Menurut Wardiman, sistem kepemimpinan Ali Sadikin serba cepat dan menuntut selalu ada ‘ check dan recheck ’. Maka itu, selama menjadi bawahan Bang Ali, biro yang dipimpinnya selalu menjadi tempat pengecekan terakhir. Tidak heran Wardiman paham tindak tanduk Bang Ali. Mulai dari visi misi membangun Jakarta, gaya kepemimpinan, sampai tempramennya yang terbilang tinggi. “Ketika Ali Sadikin menjadi gubernur, prioritas yang didahulukannya adalah menyiapkan standar hidup penduduk Jakarta agar lebih baik, tetapi sekarang saya khawatir kita telah kehilangan sasaran,” kenang Wardiman.
- Saat Jakarta Dikepung Banjir
Warga Jakarta memasuki tahun baru 2020. Tapi bertemu lagi dengan masalah klasik: banjir. Jakarta dan air ibarat musuh bebuyutan. Tak pernah sampai pada titik temu, tak pernah ada solusi. Gubernur silih berganti, tapi kota ini tetap takluk oleh air. Seorang pemulung berusaha melewati banjir di Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Banjir Jakarta telah menggenangi catatan sejarah berabad lamanya. Jauh hari sebelum dihuni manusia, Jakarta merupakan dataran rendah. Sebagian daerahnya bahkan lebih rendah daripada permukaan laut. Dengan demikian, banjir di Jakarta sebelum berpenghuni merupakan peristiwa lumrah. Tak ada yang dirugikan. Tapi begitu manusia menghuni wilayah ini, lain ceritanya. Anak-anak bermain saat banjir di kawasan Mangga Dua, Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Seorang warga berusaha menghindari banjir. (Fernando Randy/Historia). Masa VOC bercokol di Batavia, nama lama Jakarta, banyak Gubernur Jenderal mencoba aneka cara untuk menanggulangi banjir. Jan Pieterszoon Coen (menjabat 1619—1623 dan 1627—1629) misalnya, mulai membuat sejumlah kanal untuk mengendalikan air dari sungai-sungai yang membelah Jakarta. Antara lain Sungai Ciliwung, sungai utama di Batavia. Para warga berusaha melewati banjir di kawasan Kelapa Gading, Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Namun upaya tersebut tak sepenuhnya berhasil. Seiring masa, kanal-kanal yang dibuat oleh Coen tidak berfungsi dengan baik. Kanal penuh dengan sampah pabrik gula atau tebu. Laju air tersendat. Banjir pun mendera dan menenggelamkan sebagian wilayah Batavia. Suasana banjir di kawasan Mangga Dua, Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Ratusan tahun kemudian wilayah Batavia meluas dengan pesat. Hutan berganti oleh hunian manusia. Tapi masalah kota ini tetap sama. Bahkan hingga masuk masa merdeka, Jakarta masih dijajah banjir. Tak jarang cakupan wilayah terdampak banjir begitu luas. Seperti banjir pada 1960-an yang melanda Grogol. Berbagai kendaraan berusaha menerobos banjir di Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Edi Sedyawati dkk. dalam Sejarah Kota Jakarta 1950-1980 menyatakan, masalah banjir adalah masalah utama Jakarta. Penyebabnya, Jakarta tak pernah punya sistem tata kelola air yang memadai. Padahal kota ini terbelah oleh hingga sepuluh sungai. Tapi sebab terpenting adalah cara pandang dan perilaku warga kota yang tak pernah mengganggap alam sebagai sahabat. Hingga enak saja membuang sampah. Warga menggunakan perahu karet di kawasan banjir Kelapa Gading, Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Banjir tak pernah pandang bulu mendera warga. Kawasan mewah seperti Kelapa Gading pun tak luput dari banjir. Warga perumahan elite yang biasanya berseliweran di mal-mal Kelapa Gading, awal tahun baru lalu justru sibuk menyelamatkan barang-barang berharga di rumahnya. Ratusan warga yang terjebak banjir di Jakarta Utara. (Fernando Randy/Historia). "Saya sudah lama tinggal di Kelapa Gading. Banjir parah tahun 2004, lalu 2007 dan kini tidak menyangka baru awal tahun 2020 kami sudah dilanda bencana. Semoga ini cepat berlalu," ujar Weni (32), warga kompleks Janur Asri, Kelapa Gading. Baca juga: Air Mengalir Sampai Banjir Pesatnya pembangunan di Jakarta tidak dibarengi dengan perbaikan tata kelola air. Semua membangun, tapi tidak membaik. Ditambah lagi kota ini tak siap dengan perubahan iklim akibat pemanasan global. Tapi belum terlambat untuk memperbaiki cara pandang dan perilaku semua orang di kota. Semua orang masih terus berupaya menemukan inovasi baru untuk menanggulangi banjir. Karena apabila tak ada perbaikan, bukan tidak mungkin Jakarta akan tenggelam. Warga melintasi banjir di kawasan Kelapa Gading, Jakarta. (Fernando Randy/Historia).





















