Hasil pencarian
9585 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Kisruh Penandatanganan Naskah Proklamasi
SETELAH naskah Proklamasi selesai diketik oleh Sayuti Melik yang kemudian disebut “naskah Proklamasi otentik,” Sukarno menyampaikan bahwa keadaan yang mendesak telah memaksa kita semua mempercepat pelaksanaan Proklamasi kemerdekaan. “Rancangan teks telah siap dibacakan di hadapan saudara-saudara semua dan saya harapkan benar-benar bahwa saudara-saudara sekalian dapat menyetujuinya sehingga kita dapat berjalan terus dan menyelesaikan pekerjaan kita sebelum fajar dini hari,” kata Sukarno. Menurut Adam Malik dalam Riwayat dan Perjuangan sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 , Sukarno mengusulkan supaya naskah Proklamasi ditandatangani besok siang dan diumumkan di depan anggota PPKI. Usul ini ditolak keras oleh Sukarni dan Chaerul Saleh. “Kami tidak mau dibawa-bawa segala badan-badan yang berbau Jepang seperti Badan Persiapan, dan kami tidak suka jika jika orang-orang yang tak ada usahanya dalam hal ini ikut campur, sebab nanti mungkin Proklamasi ini mundur-mundur lagi,” kata Chairul Saleh. Hatta menyuarakan “baiklah kita semuanya yang hadir di sini menandatangani naskah Proklamasi Indonesia merdeka ini sebagai suatu dokumen yang bersejarah. Ini penting bagi anak cucu kita. Mereka harus tahu, siapa yang ikut memproklamasikan Indonesia merdeka. Ambillah contoh kepada naskah Proklamasi kemerdekaan Amerika Serikat dahulu. Semuanya yang memutuskan ikut menandatangani keputusan mereka bersama.” Bukan hanya Hatta yang menginginkan naskah Proklamasi ditandatangani oleh semua seperti Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat. Sukarno juga mengusulkan supaya semua yang hadir ikut menandatangani. “Seperti Declaration of Independence -nya Amerika,” kata Sukarno, ditirukan B.M. Diah. Usul ini, menurut Subardjo, menimbulkan suara ramai. Sukarni segera berteriak, “Pendapat itu sama sekali tidak bisa diterima. Mereka yang tidak menyumbang sedikit pun kepada persiapan-persiapan Proklamasi tidak berhak untuk menandatangani.” Subardjo melihat Sayuti Melik bergerak dari satu orang ke orang lainnya. Dia melobi golongan tua dan golongan muda, di antaranya Sukarni. Karena Subardjo berada di sebelahnya, dia mendengar apa yang dikatakan Sayuti Melik kepada Sukarni: “Saya kira tidak ada yang keberatan jika Sukarno dan Hatta yang menandatangani Proklamasi kemerdekaan atas nama rakyat Indonesia.” Hatta tidak setuju dengan keterangan Subardjo yang menyebut Sayuti Melik yang mengusulkan supaya naskah Proklamasi ditandatangani oleh Sukarno-Hatta atas nama rakyat Indonesia. “Dalam lukisan Subardjo itu Sayuti Melik sekonyong-konyong mendapat peranan yang besar dalam sejarah, menjadi deus ex machina –dewa penolong. Sepanjang ingatan saya, Sukarnilah yang mengemukakan usul itu,” kata Hatta. Dan dalam tulisannya di harian KAMI , 18 Agustus 1969, Sukarni mengaku dialah yang mengusulkan supaya naskah Proklamasi hanya ditandatangani oleh Sukarno dan Hatta atas nama rakyat Indonesia. “Karangannya itu membenarkan ingatan saya,” kata Hatta. Setelah semua setuju, naskah Proklamasi otentik kemudian ditandatangani oleh Sukarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia. Persoalan berikutnya, dimana Proklamasi itu akan dibacakan? Sukarni memberitahukan bahwa “rakyat di dan sekitar kota Jakarta telah diserukan untuk berbondong-bondong ke Lapangan Ikada (sekarang Lapangan Merdeka) pada tanggal 17 Agustus untuk mendengarkan Proklamasi kemerdekaan. Demikianlah yang telah dipersiapkan dan adalah wajar bahwa kita semua datang ke sana dan membacakan Proklamasi itu.” “Tidak,” kata Sukarno, “lebih baik di tempat kediaman saya di Pegangsaan Timur. Pekarangan di depan rumah cukup luas untuk ratusan orang. Untuk apa kita harus memancing-mancing insiden?” Sukarno menjelaskan, “Lapangan Ikada adalah lapangan umum dan suatu rapat umum tanpa diatur sebelumnya dengan penguasa militer mungkin akan menimbulkan salah paham dan suatu bentrokan kekerasan antara rakyat dan penguasa militer yang akan membubarkan rapat umum tersebut mungkin terjadi. Karena itu saya minta semua saudara sekalian untuk hadir di Pegangsaan Timur 56, sekitar pukul 10.00 pagi.”
- Lukisan Saksi Bisu Pembacaan Proklamasi Kemerdekaan
JIKA mencermati foto atau video peristiwa pembacaan teks Proklamasi oleh Sukarno, 71 tahun lalu di Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta, terdapat sebidang kotak simetris gelap, di belakang Sukarno. Jendela atau daun pintukah? Bukan. “Baru tahun 2009 saya tahu bahwa bidang kotak hitam itu adalah lukisan yang tergantung di dinding,” terang Mike Susanto, kurator pameran “17/71: Goresan Juang Kemerdekaan.” Mikke mengungkapkan visualisasi paling terang mengenai keberadaan lukisan yang tergantung di beranda rumah Sukarno terdapat dalam sebuah video rekaman seorang jurnalis asing yang meliput konferensi pers pertama tentang kemerdekaan Indonesia. Pada 4 Oktober 1945, Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta untuk kali pertama mengadakan konferensi pers bersama para jurnalis asing yang datang setelah Sekutu mendarat di Tanjung Priok pada September 1945. “Para wartawan itu berasal dari Amerika, Inggris, Belanda, India, dan Tiongkok,” tulis Rosihan Anwar dalam Sejarah kecil ‘petite histoire’ Indonesia Volume 3. Bagaimana lukisan itu bisa tergantung di dinding rumah Sukarno di Pegangsaan Timur dan menjadi saksi bisu pembacaan teks Proklamasi 17 Agustus 1945? Sekira tahun 1943, Keimin Bunka Sidosho, lembaga kebudayaan bentukan Jepang, menggelar pameran lukisan dan dihadiri Bung Karno. Dia tertarik dengan lukisan orang berlatih memanah karya pelukis Henk Ngantung. Usai pameran, Sukarno diam-diam mendatangi studio lukis Henk. “Aku ingin membeli lukisan itu,” ucap Bung Besar tanpa basa-basi. “Henk belum mau melepasnya karena lukisan itu belum sepenuhnya selesai,” tulis Agus Dermawan T dalam Bukit-Bukit Perhatian. Kekurangannya di bagian tangan yang menarik tali busur, dan dia butuh model. “Jadikan aku modelnya,” jawab Sukarno. Henk pun tak kuasa menolak. Maka jadilah tangan Sukarno menjadi model lukisan. Sementara untuk bagian wajah pemanah, Henk mengambil model seorang sastrawan era revolusi bernama Marius Ramis Dajoh. Jadi lukisan karya Henk adalah perpaduan dua model: wajah milik Dajoh dan tangan milik Sukarno. Lukisan yang dibuat dengan cat minyak di atas selembar triplek berukuran 153x153 cm itu beralih tangan. Sukarno memajang lukisan itu di rumahnya Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, dan terus di sana hingga peristiwa bersejarah pembacaan Proklamasi 17 Agustus 1945. “Lukisan Henk itu salah satu yang sangat disukai Sukarno, oleh karena itu diletakkan sebagai penyambut tamu di rumah Pegangsaan. Saat ibukota negara pindah ke Yogyakarta, lukisan tersebut turut berpindah,” terang Mikke. Lukisan itu baru dipindah ke Istana Bogor pada 2010. Kini, saksi bisu pembacaan naskah Proklamasi itu sudah lapuk dimakan usia. Bagian atas di dekat kepala pemanah, sudah habis dimakan rayap. Melukis ulang pada media baru adalah satu-satunya cara untuk menikmati lukisan tersebut. “Restorasi lukisan Henk itu mahal, butuh ahli khusus, apalagi itu lukisan menggunakan media triplek. Yang terpenting, butuh pelukis yang bisa merestorasi dan bisa memahami teknik goresan khas milik Henk Ngantung,” terang Mikke. Akhirnya, atas persetujuan pihak Istana Kepresidenan, lukisan berjudul “Memanah” itu dilukis ulang oleh pelukis kontemporer kenamaan, Haris Purnomo. Lukisan aslinya bisa dinikmati dari balik lemari kaca hingga akhir Agustus 2016 di Galeri Nasional Jakarta.
- Proklamasi Versi Sumatera
KAUM Republiken di Padang, dimotori kaum muda dan laskar yang tergabung dalam Balai Penerangan Pemuda Indonesia (BPPI) serta Komite Nasional Indonesia (KNI) mendesak seorang pendidik terkemuka, Moehammad Sjafe’i, untuk membacakan naskah Proklamasi yang dibacakan Sukarno pada 17 Agustus 1945. Menariknya, Sjafe’i, pendiri dan kepala sekolah Indonesisch Nederlansche School (INS) Kayu Tanam itu, tidak hanya membacakan naskah Proklamasi namun memberi tambahan naskah sebagai bentuk dukungan dari Sumatera. Sejarawan Audrey Kahin menyebut, tanggal 29 Agustus 1945 atas nama rakyat Sumatera, Sjafe’i mengeluarkan pernyataan umum menerima kemerdekaan Indonesia dengan menambah bumbu-bumbu penegas rasa kemerdekaan tersebut. Ketua Umum DHD 45 Sumatera Barat Zulwadi Dt Bagindo Kali mengatakan, pembacaan proklamasi secara resmi yang dilakukan Sjafe’i pada 29 Agustus 1945 merupakan pertama kali di Sumatera Barat, bahkan Sumatera. “Atas prakarsa para pemimpin, Sjafe’i pertama kali membacakan teks Proklamasi di rumah dr. Rasyiddin di Padangpanjang,” tulis sejarawan Mestika Zed dalam Sejarah Perjuangan Kemerdekaan 1945-1949 di Kota Padang dan Sekitarnya . Pengumuman tersebut kemudian dicetak di Percetakan Nusantara Bukittinggi, milik bankir dan tokoh pergerakan Anwar Sutan Saidi. Berikut naskah Proklamasi dan penegasan dukungan Sumatera yang diberi label “Permakluman Kemerdekaan Indonesia” tersebut: PERMAKLOEMAN KEMERDEKAAN INDONESIA Mengikoeti dan mengoeatkan pernjataan kemerdekaan Indonesia oleh Bangsa Indonesia seperti PROKLAMASI pemimpin2 besar kita SOEKARNO-HATTA atas nama Bangsa Indonesia seperti berikoet: PROKLAMASI Kami Bangsa Indonesia dengan ini menjatakan KEMERDEKAAN INDONESIA Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan dan lain2 diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat2nya. Djakarta 17 boelan 8 tahoen 1945 Atas nama Bangsa Indonesia Soekarno-Hatta Maka kami Bangsa Indonesia di Soematera dengan ini mengakoei Kemerdekaan Indonesia seperti dimaksoed dalam Proklamasi di atas dan mendjoendjoeng keagoengan kedoea pemimpin Indonesia itoe. Boekittinggi hari 29 bl 8 th 1945 Atas nama Bangsa Indonesia di Soematera Moehammad Sjafei Mengapa teks Proklamasi telat dibacakan?Kendati Proklamasi sampai Padang pada malam hari, 17 Agustus 1945, namun beredar di kalangan terbatas.Sisi lain, tokoh-tokoh lokal, termasuk Sjafe’i khawatir reaksi Jepang yang dalam dikte penuh Sekutu. Sehingga komunikasi dan merapatkan barisan menjadi pilihan. Menurut Mestika, seminggu setelah pembacaan Proklamasi di Jakarta dan teks Proklamasi sudah di tangan segelintir pemimpin di Kota Padang, namun kebanyakan warga kota masih bingung.Bagi mereka, berita kekalahan Jepang disusul pembacaan Proklamasi masih desas-desus atau dari mulut ke mulut. Sebetulnya, berita Proklamasi sampai ke Padang pada 17 Agutus 1945 malam, melalui telegram milik Post Telegraaf en Telefoon (PTT). Aladin, pegawai PTT di Bukittinggi yang mendapat kabar pertama kali, langsung melaporkan ke Sudibiya, kepala PTT Sumatera Tengah. Aladin kemudian bertolak ke Padang. Aladin, sebut Mestika, menyerahkan teks telegram kepada Jahja Djalil, aktivis dan wartawan sekaligus kakak iparnya.Dari Jahja Djalil, teks Proklamasi mengalir dan diviralkan di antara tokoh-tokoh lokal. Teks itu kemudian dicetak 20 lembar untuk disebarkan. “Walaupun hanya untuk mencetak 20 lembar teks, pekerjaan itu dirasakan amat mencekam. Ketegangan itu tidak lain karena kekhawatiran kalau-kalau diketahui pihak Jepang. Lagi pula disebabkan kesadaran bahwa dibalik teks tersebut berada sesuatu yang besar, yang menggemparkan yang harus dilakukan. Juga kesadaran bahwa naskah itu akan menentukan hidup-matinya sebuah bangsa yang sudah lama berjuang,” Mestika menuliskan kembali risalah Jahja Djalil dalam Pengalaman Tidak Terlupakan. Jahja Djalil, Arifin Alip, dan Abdullah, kemudian menemui Yano Kenzo, residen Jepang di Padang. Secara pribadi Kenzo senang dengan kemerdekaan Indonesia, namun dia memperingatkan Jepang harus memenuhi perintah Sekutu. Kendati mendapat jawaban yang mengkhawatirkan dari Kenzo, Jahja Djalil dan kawan-kawan terus bergerak, berkomunikasi dengan banyak kalangan, termasuk dengan bekas perwira Gyugun seperti Ismael Lengah. Bekas anggota Gyugun beserta laskar rakyat membentuk BPPI yang bermarkas di gedung bekas kantor Saudagar Vereeniging (Persatuan Saudagar Indonesia). Pada 20 Agustus 1945, pertemuan BPPI memberi mandat kepada Jahja Djalil menemui Sjafe’i yang berada di rumah guru Abdoel Muluk di Alang Laweh, tidak jauh dari Pasa Gadang. Akhirnya, sebagaimana pemuda menculik Sukarno-Hatta ke Rengasdenglok, para pemuda di Padang pun mendasak kaum tua seperti Engku Sjafe’i untuk memproklamasikan kemerdekaan. Sjafe’i juga diminta menjadi Residen Sumatera Barat setelah Proklamasi disebarluaskan. Dia tidak menolak, namun meminta waktu menjawabnya esok. Guru Besar Sejarah Universitas Andalas Gusti Asnan dalam makalah “Peran Aktif Golongan Republiken pada Awal Kemerdekaan di Sumatera” pada seminar nasional Proklamasi Kemerdekaan RI di 8 Wilayah menilai, golongan pemuda memiliki andil besar dalam menyebarluaskan berita kemerdekaan. “Berita yang dihimpun dari PTT dan Radio Hodohan, disampaikan dan disebarluaskan kepada politisi dan masyarakat luas,” jelas Gusti. Menurutnya, aksi politisi ini adalah sebuah sikap yang menggambarkan satu kesatuannya Sumatera. Aksi ini pulalah yang memudahkan pembentukan Provinsi Sumatera sebagaimana yang dinyatakan dalam hasil sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus 1945 dan menyikapi pasal 18 UUD 1945 dengan menetapkan Sumatera sebagai salah satu dari delapan provinsi di Indonesia saat itu. “Mudahnya proses penerimaan “penetapan” Provinsi Sumatera ini juga disebabkan oleh –secara kebetulan– banyak tokoh (politisi) penting Sumatera saat itu tengah berada di Bukittinggi dan mereka berunding dan berbicara atas nama Sumatera,” tandasnya. Pada akhir Agustus 1945, Sjafe’i dipilih secara aklamasi menjadi Ketua KNI. Sehari setelah itu, 1 September 1945, sidang pertama KNI di Padang, menetapkan Sjafe’i sebagai residen Sumatera Barat.
- Cara Ali Sadikin Lindungi Guru
KEMEJA putih Dasrul bernoda ceceran darah. Guru SMKN 2 Makassar itu lunglai setelah mendapat bogem mentah dari orangtua muridnya. Peristiwa ini menjadi viral di lini massa. Sebelumnya, Mei lalu, guru asal Sidoarjo terancam pidana penjara karena mencubit muridnya yang melalaikan salat. Kasus kekerasan terhadap guru juga pernah bikin Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin (1966-1977) geram bukan main. Dari surakabar, Ali mendapati seorang guru SMA Filial di Rawasari, Jakarta Pusat, mengalami pemukulan dan pengeroyokan. Berita Kompas, 5 November 1971, mewartakan seorang siswa yang tidak lulus, bersama beberapa tukang pukul berambut gondrong, memukuli gurunya sampai cidera. “Guru berinisial RSP itu tidak dapat melarikan diri karena diancam dengan golok,” tulis Kompas. “Maka, tentu saja saya turun tangan langsung. Tidak bisa keadaan begitu dibiarkan berkepanjangan,” ujar Ali dalam otobiobiografi Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 karya Ramadhan KH. Ali segera memerintahkan kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan mengusut tuntas kasus tersebut. Untuk penanganan lebih lanjut, Ali berkoordinasi dengan kepolisian. Dia juga mengimbau para guru untuk mengadukan setiap penganiayaan yang dialami mereka. “Telepon gubernur, jika ada guru dipukuli murid,” tulis Kompas . Di beberapa tempat, Ali berseru, dirinya akan menjadi backing para guru. Menurut Letjen (Purn.) KKO (Korps Komando) Angkatan Laut itu, tidak bisa dibayangkan apabila guru takut pada murid. Bagi Ali, guru harus dihormati oleh murid-muridnya, orangtua murid, dan masyarakat. “Laporkan saja kepada saya jika ada yang menghalang-halangi tindakan para guru. Saya akan bereskan! Ini sudah merupakan konsensus saya dengan Kapolda Metro Jaya Brigjen Widodo,” seru Ali. Ali menuturkan, “Tak ada pilihan lain selain daripada menegakkan kembali wibawa guru. Hanya orang tua yang bodoh, yang tak tahu diri yang selalu membela anak-anaknya yang jelas tidak benar.” “Saya tak ada kompromi lagi. Setiap anak yang melanggar hukum akan ditindak,” tegas Ali. Dalam Kompas , 6 November 1971, Kapolda Metro Jaya Brigjen Widodo menyatakan siswa SMA Filial di Rawasari berinisial T yang memukul gurunya telah ditahan dan akan diproses secara hukum. Setelah kejadian itu, dibentuklah POMG (Persatuan Orang Tua Murid dan Guru) di Jakarta. “Setelah saya menunjukkan sikap tegas begitu, meredalah dan turun jumlah kejadian kenakalan anak-anak sekolah itu,” pungkas Ali. Dalam Menguak Tabir Kusam: Kumpulan Essey Permasalahan Pendidikan, M.S Abbas mencatat pada dekade 1970-an, banyak guru mengalami tekanan di sekolah. Hal ini terjadi terutama menjelang masa kenaikan kelas. “Pemukulan atau penusukan tetap saja menjadi kekuatiran para guru di sekolah, karena bila saat yang menegangkan itu datang, yaitu saat kenaikan kelas, tak sedikit pula sekolah yang meminta polisi untuk berjaga-jaga,” tulis Abbas.*
- Perdana Menteri Piet de Jong dan Nota Ekses Belanda
Piet de Jong tutup usia, Rabu 27 Juli 2016, demikian diumumkan oleh CDA, Senin siang 1 Agustus 2016 pada situs web Partai Kristen Demokrat Belanda ini. Kelahiran 3 April 1915, De Jong mencapai usia 101 tahun. Dia adalah perdana menteri Belanda dari 1967 sampai 1971, jabatan penuh pertama selama empat tahun yang dipegang oleh seorang perdana menteri Belanda setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua. De Jong dikenal sebagai seorang politikus yang tidak begitu suka berpolitik. Dia memang menempuh karier sebagai militer pada Angkatan Laut Belanda. Pada 1959 dia ditunjuk oleh pemimpin partai katolik KVP (pendahulu CDA) sebagai menteri muda marinir. Baru saat itu dia menjadi anggota KVP. Pada 1963 De Jong menjabat menteri pertahanan dan akhirnya pada 1967 menjabat perdana menteri. Itu pun hanya untuk sekali masa jabatan, maklum partai katolik KVP butuh pemimpin lain. Walau begitu De Jong berhasil memerintah selama empat tahun penuh. Ini prestasi sendiri, karena sebelum itu pelbagai kabinet Belanda, di bawah Ratu Juliana yang mulai bertakhta tahun 1948, selalu jatuh akibat pelbagai krisis. Tidak satu kabinet pun sesudah perang ini yang memerintah penuh selama empat tahun. Sebagai bekas komandan kapal selam, De Jong ternyata berhasil melampaui pelbagai kelokan krisis yang menghantam pemerintahannya. Salah satu krisis itu berakhir dengan apa yang disebut “ Excessennota ” alias nota ekses, dan ini berkaitan dengan Indonesia. Tanpa peran kunci De Jong mustahil nota ini keluar dan kabinetnya bisa terus berkuasa. Menariknya dalam pelbagai obituari yang hari-hari ini terbit, media massa Belanda ternyata sama sekali tidak menyinggung lagi peran kunci De Jong ini. Hanya mingguan De Groene Amsterdammer yang melakukannya, itu pun bukan dalam rangka kepergian De Jong, melainkan pada 2008, tatkala Excessennota digugat dan dicerca. Inilah alasan utama mengapa publik Indonesia perlu tahu peran kunci De Jong dalam masalah nota ekses ini.
- Komnas HAM: Peristiwa 27 Juli 1996 Adalah Pelanggaran HAM
PERINGATAN 20 tahun peristiwa 27 Juli 1996 diisi dengan diskusi tertutup, tabur bunga, dan doa bersama di kantor DPP PDI Perjuangan Jalan Diponegoro 58 Jakarta, 27 Juli 2016. Acara ini dihadiri kader-kader DPP PDI Perjuangan, Komnas HAM, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan korban kerusuhan yang tergabung dalam Forum Komunikasi Keluarga (FKK) 124. PDI Perjuangan melaksanakan diskusi itu sebagai langkah untuk menyelesaikan peristiwa yang banyak memakan korban. Peristiwa 27 Juli 1996 atau disebut Kudatuli merupakan penyerangan kantor DPP PDI pro-Megawati oleh kelompok DPP PDI pro-Soerjadi yang didukung pemerintah Orde Baru. “FKK 124 dulu dipenjara oleh rezim yang sangat otoriter yang menggunakan seluruh kekuasaan politiknya untuk mengambil alih kantor ini. kantor sebagai simbol kedaulatan partai diambil secara sepihak,” kata Hasto Kristiyanto, sekretaris jenderal PDI Perjuangan. Sementara itu, Trimedya Panjaitan, ketua DPP PDI Perjuangan sekaligus Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) mengatakan bahwa PDI Perjuangan sangat serius untuk mengusut kasus Kudatuli. PDI Perjuangan akan menjalin komunikasi dengan kelompok masyarakat lain seperti Kementerian Hukum dan HAM, Komnas HAM, NGO dan LSM. PDI Perjuangan juga mengingatkan Presiden Joko Widodo yang telah berjanji untuk menyelesaikan kasus-kasus HAM yang terjadi di masa lampau. Komnas HAM menyimpulkan ada pelanggaran HAM dalam peristiwa Kudatuli. Komnas HAM mendapatkan temuan bahwa lima orang meninggal, 149 orang luka-luka, 136 orang ditahan, dan 23 orang dihilangkan secara paksa. Temuan ini menunjukkan telah terjadi pelanggaran HAM pada kerusuhan 27 Juli 1996. Komnas HAM menuntut ada orang yang dimintai pertanggungjawaban. Namun, terjadi ketidakadilan dalam penegakan hukum atas kasus tersebut. Hal ini berdasarkan temuan dari pemantauan dan penyelidikan yang dilakukan pada 2003. “Komnas HAM menemukan indikasi bahwa yang dikenai tuntutan secara intensif adalah pihak yang diserang bukan kelompok penyerang. Juga ada tindakan di luar prosedur yang dilakukan,” kata Imdadun Rahmat, ketua Komnas HAM. Selain itu, lanjut Imdadun, pemangku kebijakan pada saat itu harus dimintai pertanggungjawaban. “Bukan hanya pelaku lapangan yang dimintai pertanggungjawaban tetapi juga ada pembuat keputusan, otoritas yang memiliki kewenangan membina keamanan yang terlibat di dalam perencanaan dan juga pelaksanaan di lapangan,” tegas Imdadun. Bukti-bukti hasil penyelidikan Komnas HAM sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung. Selain itu, sedang dilakukan pencarian bukti-bukti lain untuk memperkuat hubungan antara hilangnya nyawa dengan Kudatuli. “Komnas HAM butuh dukungan publik dan politik untuk menyelesaikan kasus ini,” kata Imdadun.
- Huru-Hara 27 Juli 1996 dalam Ingatan Wartawan
MENJELANG tanggal 27 Juli 1996, kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro 58 Jakarta Pusat selalu tampak ramai. Sejak seminggu sebelumnya, basis PDI kubu Megawati Sukarnoputri itu selalu dipenuhi gelombang massa. Lukas Luwarso menggambarkan suasana saat itu. Siang hari suasana kantor sangat meriah, seperti festival demokrasi; mimbar bebas untuk menumpahkan aspirasi demokrasi. Tokoh-tokoh politik oposisi dan aktivis bergiliran pidato di panggung, menyuarakan demokrasi. “Saya ditugaskan memantau kantor PDI. Jadi, hampir setiap malam selalu stand by di kantor PDI,” ujar Lukas kepada Historia. Lukas saat itu bertugas sebagai wartawan majalah Forum . Konflik politik memang tengah melanda partai berlambang banteng itu. Nakhoda partai terbagi dua antara Soerjadi dan Megawati. Rezim Orde Baru mengakui Soerjadi sebagai ketua umum lewat kongres PDI di Medan pada Juni 1996. Sementara itu, kubu Mega menolak tunduk. Restu pemerintah terhadap PDI Soerjadi dianggap sebagai rekayasa untuk melengserkan Megawati dari pimpinan partai. Mimbar bebas pun digelar sebagai tanda perlawanan. “Setiap malam selalu beredar rumor, kantor PDI akan diserbu. Di sisi lain, juga beredar info, aparat militer juga melakukan persiapan untuk merebut kantor PDI,” kenang Lukas. Edi Siswoyo, saat itu wartawan Pos Kota , juga mendengar desas-desas akan terjadinya penyerangan. “Isu yang berkembang, rencana penyerangan berasal dari seorang pejabat militer,” ujar Edi yang saat itu menjadi kordinator mimbar bebas. Pukul 06.00 pagi, tanggal 27 Juli, orang-orang berseragam merah hitam turun dari mobil di depan kantor PDI. Mereka memaksa masuk dan melemparkan bata dan batu ke kantor PDI. “Di belakang mereka (penyerang) ada pasukan polisi. Yang bisa melarikan diri loncat ke tembok belakang. Ada yang naik ke atas kantor. Dan yang tak sempat lari bertahan dan melakukan perlawanan dalam suasana ruang gelap gulita. Yang ada di ruangan kantor DPP dikumpulkan dan dibariskan menuju truk yang sudah disiapkan, dibawa pergi entah kemana,” kenang Edi. Kabar penyerbuan kantor PDI tersebar dari mulut ke mulut. Masa berdatangan dan ingin merebut kembali kantor PDI. Kerusuhan pun terjadi antara polisi dan massa di sekitar Jalan Diponegoro 58. Tengah hari, lautan massa semakin banyak dan terus bertambah pada sore, membanjiri Jalan Diponegoro. “Polisi bersikap represif membubarkan massa. Massa yang kecewa dan marah dipecah oleh polisi. Ada arus massa yang marah menuju Cikini, ada yang menuju Salemba, ada yang menuju Proklamasi. Konsentrasi massa terpecah dan semakin menjauh dari kantor DPP PDI,” kata Edi. Kerusuhan pun meluas ke Jalan Proklamasi, Jalan Salemba, dan Matraman Raya. Pembakaran terjadi terhadap beberapa bangunan. Sekira seratusan orang mengalami luka-luka dan lima orang tewas dalam kejadian tersebut. Tragedi ini kemudian dikenal sebagai peristiwa Kudatuli (Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli). “Yang paling berperan-bertanggung jawab adalah Brigjen SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) selaku Kasdam (Kepala Staf Daerah Militer),” ujar Dhia Prekasha Yoedha, mantan wartawan Kompas. “Dia yang memimpin dan memutuskan rapat penyerbuan pada 24 Juli. Termasuk skenario nanti menggunakan pasukan dari Kodam Jaya. Di situ terlibat Joko Santoso, Tri Tamtomo, kolonel-kolonel pada waktu itu. Data itu sebenarnya sudah ada pada tim pencari fakta, termasuk ke Komnas HAM,” jelasnya. Menurut Lukas, peristiwa penyerbuan itu adalah “skenario konyol”. Rezim Soeharto ingin mengesankan yang menyerbu dan merebut kantor PDI adalah kelompok PDI pro-Soerjadi. Jadi diskenariokan, seolah penyerbuan itu adalah kulminasi pertikaian internal PDI antara yang pro-Mega dengan yang pro-Soerjadi (yang didukung pemerintah). “Skenario itu konyol, karena jelas terlihat yang menyerbu adalah aparat gabungan, polisi dan militer. Namun ending -nya, Butu Hutapea (Sekjen PDI kubu Soerjadi), menyebut diri sebagai komandan lapangan penyerbuan, yang kemudian di depan pers mengklaim telah mengambilalih kantor PDI,” kata Lukas. “Saya saksikan denga mata saya sendiri,” lanjut Lukas, “Butu Hutapea muncul di area penyerbuan setelah penyerbuan. Boneka yang dimunculkan setelah huru hara usai.” Menurutnya, rezim Soeharto tak ingin terlibat langsung dalam pertikaian karena sudah kadung mengkampanyekan “era keterbukaan” sejak 1993 (akibat desakan Dubes AS, Paul Wolfowitz). Pemerintah harus berpikir keras, dan merancang skenario yang baik. Itu sebabnya, mimbar bebas festival demokrasi di kantor PDI bisa berjalan lama, dan terkesan pemerintah tak berani membubarkan. “Kudatuli adalah opera ‘setengah hati’ karena selain membuat skenario konyol boneka Butu Hutapea, rezim juga tak cukup punya nyali untuk membabat habis oposisi PDI pro-Megawati dan aktivis yang men- support -nya. Karena operasi setengah hati, maka penyelesaian hukum juga bukan menjadi bagian skenario untuk membabat aktor utama atau yang dianggap bertanggung-jawab,” pungkas Lukas.
- Setelah Pengadilan Rakyat Selesai
KEDUA bahu hakim Zac Yacoob tampak bergerak seirama dengan kalimat yang meluncur dari mulutnya. Dua tangannya, yang terletak di bawah meja, seperti meraba sesuatu, memandunya untuk menyampaikan putusan sidang yang telah dipimpinnya selama empat hari berturut-turut.
- Sepuluh Kejahatan Negara dalam Peristiwa 1965 dan Sesudahnya
SERAYA meraba alat brailenya, Zakeria Yacoob, mengambil sikap mantap. Pria tunanetra itu adalah ketua majelis hakim International People’s Tribunal (IPT), pengadilan rakyat internasional untuk tragedi kemanusian di Indonesia tahun 1965. Siang tadi, 20 Juli 2016/, dari Cape Town, Afrika Selatan, dia membacakan putusan sidang IPT yang telah digelar di Den Haag Belanda pada 11-14 November 2015. “Tindakan pembunuhan massal, dan semua tindak pidana tidak bermoral pada peristiwa 1965 dan sesudahnya; kegagalan pencegahan atau menindak pelakunya, berlangsung di bawah tanggung jawab sepenuhnya negara Indonesia,” ujar Zak yang disiarkan LBH Jakarta. Menurut Zak, kejahatan kemanusiaan yang dilakukan negara terjadi secara sistematis dan meluas. Penyelenggara negara yang dimaksud adalah Tentara Nasional Indonesia, khususnya AD -melalui rantai komando di bawah pimpinan Jendral Soeharto- telah memerintahkan dan melakukan tindakan tidak manusiawi. Yang menjadi korban bukan hanya dialami mereka yang berafiliasi dengan PKI. Berkali-kali, Zak menyebutkan pendukung Sukarno dan kelompok progresif dari PNI. Pihak ini, menurutnya tidak punya sangkut paut dalam prahara politik yang terjadi pada 1965. Berikut ini 10 kejahatan kemanusiaan yang dilakukan negara sebagaimana dipaparkan oleh Zac Yacob. Pembunuhan massal Pembunuhan massal menjadi dakwaan pertama dalam persidangan IPT 1965. Bersumber pada dokumen dan laporan Komnas HAM dan Komnas Perempuan yang disajikan, menyebutkan sedikitnya sekira setengah juta orang dibunuh menyusul peristiwa G30S. Menurut Zak, pembunuhan massal ini adalah serangan meluas dan sistematis terhadap PKI, termasuk pendukung Sukarno dan kelompok progresif dari PNI. Pemenjaraan Sekira sejuta orang ditahan berdasarkan penggolongan tertentu (tahanan politik golongan A, B, dan C). Mereka ditahan tanpa diadili, dan sebagian besar ditahan tanpa surat penahanan. Tidak hanya melanggar hukum internasional, menurut Zak, itu adalah pelanggaran terhadap hukum Indonesia yang termaktub dalam pasal 9E UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM. Penyiksaan Banyak kejadian penyiksaan direkam dalam laporan Komnas HAM dan Komnas Perempuan. Penyiksaan umumnya terjadi dalam skala besar yang dilakukan terhadap para tahanan politik dalam penjara. Hukum internasional melarang praktik penyiksaan. Selain itu, penyiksaan juga melanggar UUD 1945 Pasal 28 Ayat 2 yang menegaskan setiap orang berhak bebas dari penyiksaan atau hukuman tidak manusiawi yang merendahkan, dan berhak mendapat suaka politik dari negara lain. Perbudakan Penjara Pulau Buru adalah contoh perbudakan yang dialami para korban tragedi 1965. Ada cukup bukti yang menunjukan bahwa orang-orang yang ditahan dipaksa untuk melakukan kerja paksa. Tindakan ini masuk kategori pelanggaran atas Konvensi Kerja Paksa tahun 1930 juga UU No. 26/2000. Penghilangan paksa Penghilangan paksa muncul tatkala orang ditahan, dipenjara atau diculik, atau dicabut kebebasannya dengan cara apapun. Laporan Komnas HAM dalam persidangan membuktikan adanya penghilangan secara paksa dalam skala luas. Tindakan penghilangan paksa ini merupakan bagian dari serangan sistemik yang menyeluruh terhadap PKI dan semua yang dianggap terkait dengan partai tersebut. Kekerasan seksual Bukti-bukti lisan dan tulisan yang diajukan dalam IPT 1965 tentang masalah kekerasan seksual adalah lengkap dan tidak terbantahkan. Dalam persidangan, korban yang masih hidup dihadirkan didukung dengan data-data yang dihimpun oleh Komnas Perempuan. Kejahatan ini berupa perkosaan, kekerasan seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual yang lain. Mereka yang menjadi korban adalah perempuan yang dikaitkan dengan PKI, pemerintahan Presiden Sukarno, ataupun PNI. Persekusi atau pengasingan Mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan kepada IPT 1965, dapat disusun sejumlah fakta, bahwa banyak orang Indonesia yang berada di luar negeri saat peristiwa 1965 harus mengalami pengasingan paksa karena menolak rezim Orde Baru. Mereka yang disebut kelompok eksil ini, menurut Zak disamakan bobotnya dengan bentuk pemburuan (persekusi), yang merupakan tindak kejahatan kemanusiaan. Ini berarti melanggar hak kebebasan bergerak, hak untuk pulang, dan hak penuh sebagai warga negara. Propaganda kebencian Propaganda palsu maupun pidato kebencian kerap didengungkan pasca tragedi 1965. Hal ini dilakukan untuk membenarkan pemburuan dan pembasmian sistematis terhadap PKI dan onderbouw -nya, pendukung Presiden Sukarno, serta pendukung PNI. Contoh propaganda ini seperti peristiwa di Lubang Buaya dan pemotongan kelamin para jenderal. Selama lebih dari tiga dekade, hal ini terus berlangsung dan tidak pernah dipertanyakan. Propaganda kebencian ini membawa dampak yang tidak manusiawi, tidak hanya bagi para korban, melainkan keturunannya. Hal ini menyebabkan penyangkalan hak-hak sipil para penyintas serta tiadanya upaya keadilan bagi mereka. Keterlibatan negara lain Zak mengungkapkan ada tiga negara yang mengetahui praktik pembantaian massal di Indonesia pada 1965: Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Berdasarkan kajian para sejarawan yang bersaksi dalam persidangan didukung arsip-arsip terdeklasifikasi, ketiga negara mengetahui dan menyokong kejahatan kemanusiaan yang digerakan oleh TNI AD dan ormas-ormas. Amerika Serikat memberikan daftar nama-nama kader dan simpatisan PKI yang harus diburu dan membantunya dengan bantuan logistik. Sementara Inggris dan Australia, lewat pemberitaan masif di media mendukung aksi dan pembasmian kelompok kiri di Indonesia. Genosida Genosida atau pemusnahan secara massal terang-terangan ditujukan terhadap PKI. Dalam cakupan yang lebih luas, genosida juga ditujukan kepada mereka yang setia kepada Sukarno, PNI, dan juga kelompok etnis Tionghoa. Sebuah laporan penelitian dalam persidangan menegaskan, “di Indonesia sebagian besar orang Tionghoa dibunuh karena mereka anggota BAPERKI, perhimpunan Indonesia-Tionghoa yang berafilisasi dengan PKI.” Motif etnik berperan dalam pembunuhan massal orang Tionghoa, khususnya di Aceh, Medan, Makassar, dan Lombok. Zak menegaskan masuk akal untuk menggolongkan pembunuhan itu sebagai genosida sebagaimana tertera dalam Konvensi Genosida tahun 1948.
- Putusan IPT 1965: Negara Harus Meminta Maaf dan Mengadili Pelaku Kejahatan Kemanusiaan
KEPUTUSAN Pengadilan Rakyat Internasional (International People’s Tribunal, IPT 1965) diumumkan hari ini, 20 Juli 2016, oleh Hakim Ketua Zakeria Yacoob di Cape Town, Afrika Selatan. IPT 1965 dilaksanakan di Den Haag, Belanda, pada 10-13 November 2015. Kendati tunanetra karena meningitis sejak lahir, Zak adalah mantan hakim Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan yang dipilih Presiden Nelson Mandela. Zak menyatakan majelis hakim pengadilan IPT 1965 memutuskan negara Indonesia telah melakukan kejahatan kemanusiaan dalam peristiwa 1965. Kejahatan kemanusiaan tersebut berupa pembunuhan massal, perbudakan, pemenjaraan, penyiksaan, kekerasan seksual, persekusi, penghilangan paksa, propaganda kebencian, dan keterlibatan negara asing. Negara asing yang terlibat adalah Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. “Definisi kejahatan kemanusiaan secara umum serupa baik dalam hukum kebiasaan internasional maupun hukum Indonesia,” kata Zak. Zak menjelaskan kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut adalah serangan terhadap warga negara. Semua penyerangan ini merupakan bagian integral dari serangan yang luas dan sistematis terhadap PKI, organisasi underbouw -nya, pemimpinnya, anggotanya, pendukung serta keluarga mereka, termasuk mereka yang bersimpati pada tujuannya. Bahkan, serangan tersebut lebih luas lagi terhadap orang-orang yang tidak berkaitan dengan PKI lalu akhirnya juga menjadi “pembersihan” menyeluruh terhadap para pendukung Presiden Sukarno dan anggota progresif PNI. Oleh karena itu, laporan keputusan IPT 65 menyerukan kepada pemerintah Indonesia secara mendesak dan tanpa syarat untuk meminta maaf kepada semua korban, penyintas, dan keluarganya untuk peran negara dalam semua kejahatan terhadap kemanusiaan; menyidik dan mengadili semua kejahatan terhadap kemanusiaan; memastikan kompensasi dan santunan yang memadai kepada korban dan penyintas. Laporan ini, lanjut Zak, sepenuhnya mendukung dan mendesak semua otoritas untuk mengindahkan dan mematuhi: seruan Komnas Perempuan agar pemerintah melakukan penyidikan sepenuhnya dan memberikan ganti rugi sepenuhnya bagi penyintas kekerasan seksual termasuk keluarganya; seruan Komnas HAM agar Jaksa Agung bertindak berdasarkan laporan tahun 2012 untuk melakukan penyidikan terhadap sesuatu yang dianggap sebagai pelanggaran HAM berat yang terjadi selama 1965-1966 dan sesudahnya; seruan para korban dan berbagai individu dan kelompok-kelompok HAM di Indonesia agar pemerintah dan semua sektor masyarakat Indonesia untuk: memerangi impunitas bahwa pelanggaran HAM berat di masa lalu yang tidak dihukum telah meracuni masyarakat dan membiakkan kekerasan baru; merehabilitasi para penyintas dan menghentikan persekusi yang masih dilakukan pihak berwajib atau pembatasan bagi para penyintas sehingga mereka dapat mendapatkan HAM sepenuhnya yang dijamin oleh hukum internasional dan hukum Indonesia. Dan akhirnya, mengungkapkan kebenaran tentang apa yang terjadi agar generasi masa depan bisa belajar dari masa lampau.
- Cerita Lama Soal Kudeta di Indonesia
DI Bandara Halim Perdanakusuma, sesaat sebelum terbang menuju Jerman dan Hungaria, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengungkapkan berdasarkan laporan intelijen akan ada gerakan kudeta. Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia (MKRI) yang didirikan ratusan tokoh di Cisarua, Bogor pada Januari 2013, akan turun ke jalan secara besar-besaran pada 24-25 Maret menuntut SBY turun karena dianggap gagal.
- Hilangnya Rumah Komunal di Sulawesi
RUSTAN Lebe, arkeolog Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sulawesi Selatan, kebingungan ketika pertama kali menapak Kampung Kalumpang, di pesisir sungai Karama, Sulawesi Barat. Dia menemukan umpak batu yang digunakan sebagai pondasi rumah. Tapi anehnya, umpak itu, tidak sama rata, ada yang tingginya hingga satu meter, ada pula yang pendek hanya 20 sentimeter. Umpak-umpak itu pun tidak tersusun sejajar. “Jadi secara arsitektur, penggunaan umpak ini sangat unik. Kayunya, diletakkan secara horizontal,” kata Rustan. Menurut Rustan, penggunaan umpak yang tidak sama tinggi dan sejajar itu disesuaikan dengan rangka rumah yang menggunakan kayu gelondongan. Kayu besar itu ditelatakkan dengan mengandalkan teknik takik –membuat celah untuk dudukan umpak– jadi bisa saja kayu tidak akan sama besar. Dan bisa juga tidak akan lurus. “Nah, umpak-umpak yang tidak sejajar itu menjadi kunciannya,” katanya. Di Kalumpang, rumah komunal itu dikenal dengan nama Banua Batang . Rumah-rumah itu dihuni oleh kelompok keluarga. Antara lima kepala keluarga hingga mencapai 20 kepala keluarga. Di Banua Batang , setiap keluarga akan memiliki kamar masing-masing. Dan dalam satu rumah terdapat satu dapur umum yang digunakan bersama. Rumah-rumah yang dihuni keluarga dalam skala kecil, biasanya hanya menggunakan sembilan tiang vertikal. Namun, bangunan akan terus mengalami perubahaan jika anggota keluarga bertambah. Banua Batang di Kalumpang memiliki teras di bagian depan. Tangganya berada di samping. Dan di dekat tangga, dipersiapkan satu kamar untuk menjamu tamu. Tamu dalam setiap rumah, akan menjadi tanggung jawab keluarga yang menghuni rumah. Tidak hanya di Kalumpang, di wilayah Seko, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, juga dikenal rumah komunal itu. Andry, salah seorang penduduk di Desa Tana Makalaeng mengatakan, rumah besar itu biasanya dihuni oleh To Bara –tokoh adat. Penggambarannya, serupa dengan Banua Batang di Kalumpang. Kalumpang dan Seko memang berpisah wilayah administrasi. Namun, wilayah ini berdekatan. Sungai Karama yang menjadi andalan warga Kalumpang, hulunya berada di Seko. Jika menarik garis lurus tak sampai 20 kilometer. Untuk itu, kata Rustan, sangat memungkinkan ada migrasi manusia dari Kalumpang menuju Seko. “Saya kira, dari tipologi temuannya (dalam perspektif arkeologi), Kalumpang adalah kebudayaan tua,” katanya. “Lalu menyebar ke Seko hingga Sulawesi Tengah.” Kini, rumah-rumah komunal itu hanya ada dalam ingatan. Di Seko, Andry dan beberapa masyarakat lainnya telah merancang bangun kembali rumah To Bara . Dia berdiskusi dengan para tetua kampung. “Kami sedang mencari lokasi. Kami ingin mengembalikan apa yang baik dan berharga untuk tidak dilupakan,” katanya. Selama ini, keberadaan rumah komunal secara arsitektur di Indonesia hanya dikenal berada di Kalimatan. “Ada banyak pertanyaan mengenai rumah komunal di bagian tengah pulau Sulawesi ini. Kita baru bisa meraba model arsitekturnya. Untuk setiap makna dan fungsi bagian rumah kita belum tahu,” kata Rustan. Bagi Rustan, hilangnya rumah komunal di Sulawesi, seperti “kecelakaan” kebudayaan. Rumah bersama (komunal) mendekatkan orang per orang dalam membangun hubungan sosial dan sistem kekerabatan.





















