Hasil pencarian
9592 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Dari OSVIA Sampai IPDN, Riwayat Sekolah Para Birokrat
GUBERNUR DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, beberapa waktu lalu mengusulkan pembubaran IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri). Ahok mengkritik mekanisme perekrutan mahasiswa dan gaya militer di IPDN. Menurut Ahok, IPDN hanya memberikan pembekalan kesatuan korps. Menilik sejarah, pendidikan untuk kaum birokrat dimulai pada mula abad ke-20. Penyelenggaraan pendidikan untuk bumiputera tak lepas dari perkembangan ekonomi Hindia Belanda. Setelah penerapan liberalisme ekonomi pada 1870, ekonomi Hindia Belanda berkembang pesat. Pabrik dan perkebunan berdiri. Kebutuhan terhadap tenaga kerja pun meningkat. Pemodal menginginkan tenaga kerja terampil, tapi murah. Pemerintah kolonial menyediakan jalan untuk kepentingan pemodal. Mereka membuka pendidikan untuk bumiputera. “Singkatnya, tujuan pendidikan ialah untuk memperoleh tenaga kerja murah,” tulis Sumarsono dalam Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman. Memasuki abad ke-20, pemerintah kolonial mengubah tujuan penyelenggaraan pendidikan untuk bumiputera. Menurut Akira Nagazumi dalam Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918 , desentralisasi dan ekspansi birokrasi kolonial ke dalam lapangan-lapangan baru menuntut pemerintah kolonial mempekerjakan sejumlah besar orang Jawa terpelajar. “Hanya orang-orang Jawa dari kalangan pembesar yang benar-benar bisa menjalankan pekerjaan birokrasi,” tulis Akira. Kepentingan ini kemudian sejalan dengan kebijakan politik etis Belanda pada awal abad 20. Pendidikan menjadi sarana penting bagi pemerintah Belanda untuk membayar utang budinya kepada negeri koloni. Maka pada 1900, pemerintah kolonial mendirikan OSVIA (Opleiding Schoolen voor Indlansche Ambtenaren atau Sekolah Pendidikan Pegawai Bumiputera) –setingkat perguruan tinggi– di Bandung, Magelang, dan Probolinggo. OSVIA menerapkan pendidikan bergaya Eropa dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Bumiputera boleh melanjutkan pendidikan ke OSVIA asalkan sudah mengecap pendidikan dasar di sekolah-sekolah rendah Eropa (Europeesche Lagere Schoolen). Ini berarti OSVIA hanya boleh dimasuki anak-anak kaum bangsawan. Sebab kebanyakan siswa ELS berasal dari kalangan bangsawan. Pemerintah kolonial sengaja menerapkan pendekatan elitis dalam proses perekrutan birokrat. Gagasan ini berasal dari direktur pendidikan etis yang pertama, J.H. Abendanon. Menurut M.C Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 , pemerintah kolonial ingin menciptakan elite bumiputera yang dipengaruhi Barat dan membentuk elite bumiputera yang mampu mengambilalih pekerjaan pegawai pemerintah Belanda. “Sehingga tercipta elite baru yang tahu berterimakasih dan bersedia bekerja sama, memperkecil anggaran pemerintah, mengendalikan fanatisme ‘Islam’, dan akhirnya menjadi teladan yang akan dijiwai masyarakat pribumi golongan bawah,” tulis Ricklefs. OSVIA kemudian berubah jadi MOSVIA (Middelbaar Opleiden Schoolen voor Indische Ambtenaren) pada 1927. MOSVIA menerima lulusan bumiputera dari sekolah lanjutan khusus Bumiputera, MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) –setingkat sekolah menengah pertama–untuk menghimpun lebih banyak calon birokrat bumiputera. Setelah menjalani masa pendidikan, lulusan sekolah pemerintahan bentukan Belanda ini diangkat sebagai birokrat pemerintah dan ditempatkan ke berbagai kedinasan. Menurut Akira Nagazumi kalangan priayi rendah sangat berambisi mencapai posisi birokrat. Bagi priayi, status sosial sebagai pejabat pemerintah akan memberikan kedudukan terhormat sekaligus memutus penghambaan mereka kepada pembesar pribumi (raja dan bupati). Singkatnya, “sekolah hanya dipandang perlu bagi mereka yang ingin menjadi pejabat,” tulis Akira mengutip Mas Ngabehi Dwidjosewojo yang menggambarkan pendidikan priayi di zaman kolonial. Meski telah berhasil menjadi birokrat, bumiputera tak dapat menembus statifikasi rasial yang yang diciptakan dan dipertahankan oleh pemerintah Hindia Belanda. Bumiputera tetaplah bumiputera. Biasanya bumiputera lulusan sekolah pegawai pemerintah menjabat sebagai juru tulis ataupun mantri. Ini jabatan terendah dalam hierarki pemerintahan kolonial. Menurut R.Z Leirissa dalam Sejarah Masyarakat Indonesia 1900-1950 , sistem pendidikan kolonial menghasilkan dua kelompok bumiputera. Pertama, kaum birokrat. Mereka penjaga kelangsungan sistem pemerintahan kolonial dan cenderung menjauh dari rakyat kebanyakan. Kedua, kaum pergerakan. Disebut juga sebagai anak haram politik etis karena menentang sistem kolonial. Contohnya Tjokroaminoto dan R. Goenawan. “Mereka menyebut diri dengan istilah kaum muda. Membentuk kesadaran nasional, berbagi gagasan dan pengalaman hingga menjadi sebuah embrio bangsa,” tulis Takashi Siraishi dalam Zaman Bergerak: Radikalisme di Jawa 1912-1926 .
- Dituduh Komunis, Gubernur Bali Dihilangkan
KORBAN pembantaian massal pasca Gerakan 30 September 1965 (G30S) tidak hanya anggota dan simpatisan PKI. Tetapi juga orang-orang nasionalis atau Sukarnois seperti Gubernur Bali, Anak Agung Bagus Sutedja, yang dihilangkan dan sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya. “Ayah saya bukan anggota atau simpatisan PKI. Ini dibuktikan dengan surat keterangan nomor 351 tahun 1989 yang menyatakan tidak terlibat Gerakan 30 September,” kata Anak Agung Gede Agung Bagus Sutedja, anak sang gubernur, dalam bedah buku Nasib Para Soekarnois: Penculikan Gubernur Bali Sutedja, 1966 di LBH Jakarta, 1 Oktober 2015. Bagus Suteja menyebut ayahnya yang lahir tahun 1923 sebagai pejuang kemerdekaan sejak tahun 1942 sehingga tercatat sebagai veteran sejak 29 Juli 1964. Menurut Aju, penulis buku, menghilangnya Gubernur Sutedja berlatar belakang konflik Partai Nasional Indonesia (PNI) di Bali. Sutedja yang dekat dengan Sukarno dituduh masuk PKI. “Ada perseteruan internal di tubuh PNI antara kubu Sutedja dan kubu I Nyoman Mantik serta Wedastera Sujasa,” kata Aju. Dalam Sisi Gelap Pulau Dewata: Sejarah Kekerasan Politik, sejarawan Geoffrey Robinson menyebutkan bahwa Nyoman Mantik adalah seorang antikomunis yang kukuh. Sudah sejak tahun 1957 dia melancarkan serangan gencar terhadap PKI, mengingatkan bahaya kudeta komunis, dan menyerukan kepada Presiden Sukarno agar melarang partai ini. Pada 1958, ketika upayanya untuk menjadi gubernur dimentahkan oleh pilihan Sukarno kepada Sutedja, Mantik mulai menuduh Sutedja sebagai simpatisan komunis. Dalam kampanyenya, Mantik dibantu oleh sosok antikomunis yang ganas, Wedastera Suyasa. “Lebih daripada tokoh PNI lokal manapun, kedua eks pemuda inilah –Mantik dan Wedastera– yang bertanggung jawab atas meningkatnya polarisasi politik di Bali sesudah tahun 1958. Sesudah kudeta 1965, Mantik bekerja keras untuk ′meng-Golkar-kan′ PNI Bali, yang pada hakikatnya berarti membersihkan organisasi elemen-elemen Sukarnois yang berafilias dengan PNI,” tulis Geoffrey Robinson. Setelah G30S konflik semakin berkembang, apalagi setelah Sutedja pergi ke Jakarta. “Pada 9 Desember 1965, Anak Agung diisukan oleh lawan-lawan politik melarikan diri ke Jakarta. Itu tidak benar, karena ada undangan resmi dari ketua MPRS Chairul Saleh untuk hadir di Bandung dalam rangka sidang gabungan ke-10 MPRS. Juga menghadiri sidang-sidang akhir tahun dari Dewan Harian Nasional Angkatan 45,” kata Bagus Sutedja. Selain itu, Bagus Sutedja mengatakan bahwa ayahnya dipanggil oleh Presiden Sukarno ke Istana Negara pada 10 Desember 1965. Presiden membutuhkan bantuannya. Sukarno pun mempercayai bahwa dia tidak terlibat G30S. Setelah pertemuan itu, dia tinggal di Jakarta. “Kemudian pada tanggal 29 Juli 1966, saksinya adik saya yang perempuan bersama almarhumah ibu saya, didatangi empat orang militer berseragam membawa senjata laras panjang dan pistol, membawa mobil Nissan warna abu-abu. Sejak saat itu, tidak tahu lagi bagaimana nasib Gubernur Sutedja,” kata Bagus Sutedja. Nursjahbani Kartjasungkana, aktivis hak asasi manusia yang mendorong Internasional People’s Tribunal 1965 menegaskan bahwa setelah G30S banyak orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan PKI dibunuh atau ditahan atas tuduhan ikut terlibat dalam pemberontakan. Padahal, mungkin hanya karena dendam pribadi yang akhirnya mengakibatkan pembantaian. “Pemerintah tidak boleh melihat konflik 1965 semata-mata konflik ideologis. Ini ada aspek kemanusian. Paling tidak, bahwa pernah terjadi kejahatan HAM serius, as bad as genocide, ” kata Nursjahbani. Ketua Komnas HAM Bidang Internal, M. Imdadun Rahmat, menyambut baik hadirnya buku tentang G30S dari perspektif di luar pemerintah. “Masyarakat bisa menggunakan nalarnya untuk mencari kebenaran masing-masing,” katanya. Selain Gubernur Bagus Sutedja, buku ini juga menceritakan kisah enam kepala daerah lainnya yang dituduh terlibat G30S: Gubernur Sumatera Utara Brigjen TNI Oeloeng Sitepu, Gubernur Sumatera Selatan Pagar Alam, Gubernur Kalimantan Tengah Tjilik Riwut, Gubernur Jakarta Henk Ngantung, Gubernur Kalimantan Barat Johanes Chrisostomus Oevaang Oeray, serta Gubernur Jawa Tengah Mochtar.
- Orang Tondano Melawan Kompeni
KONGSI Dagang Belanda (VOC) tak ingin mengulangi kesalahan Spanyol di Minahasa. Akibat sewenang-wenang, Spanyol diusir penguasa setempat. Belanda memilih jalur persahabatan. Simon Cos merintis persahabatan itu pada 1655, setelah armada kecilnya berlabuh di Sungai Monango Labo. “Dengan diplomasi ‘topi di tangan’ serta ‘tepukan bahu’, mulailah Kompeni merayu dan membujuk penduduk,” tulis Bert Supit dalam Minahasa: Dari Amanat Watu Pinawetengan Sampai Gelora Minawanua . Persahabatan itu membuahkan bantuan pendirian Benteng Nederlandsche Vastigheyt di Manado. Bagi Cos, Manado amat strategis sebagai pos terdepan Maluku dan penghasil beras, komoditas yang amat diperlukan Belanda. Pendirian benteng tersebut diprotes Makassar dan Spanyol, mitra niaga beras Tondano (sekarang ibukota Kabupaten Minahasa). Orang-orang Tondano pun menolak berhubungan dengan tamu barunya itu. Cos menaksir kekuatan Tondano sebesar 1.400 pria dewasa. Didukung serdadu Ternate dan Bolaang plus memanfaatkan alam, Cos menyerang Tondano pada Juni 1661. Setelah menutup Sungai Temberan yang menggenangi Tondano, Cos memimpin pasukan dengan empat perahu besar untuk menaklukkan Tondano. Rakyat Tondano telah siap bertempur dengan mempersiapkan peralatan perang, logistik, ribuan perahu untuk medan berawa. Pertempuran berjalan sengit. Perahu-perahu Tondano yang dilengkapi meriam mampu menyaingi kora-kora pasukan Belanda. Korban jatuh dari kedua belah pihak. Cos segera insyaf bahwa taktiknya salah. Rumah-rumah Tondano dibangun di atas air menggunakan kayu. Penduduknya tak masalah dengan genangan air, meski yang kebanjiran menyingkir ke Toulour. “Belanda sama sekali tidak menduga bahwa rakyat tani primitif yang merumah di atas air ini dapat menyiapkan persediaan-persediaan perang yang demikian lengkap,” tulis Giroth Wuntu dalam Perang Tondano, 1661-1809 . Kegigihan Tondano menyulitkan pasukan Belanda, yang sama sekali tak bisa melakukan serangan darat akibat taktik genangan air, dan gagal dalam serangan air. Cos menghentikan ofensifnya untuk memilih taktik baru berupa pengepungan. Sambil mengepung, pasukan Belanda mengultimatum: meminta penduduk Tondano meninggalkan rumahnya di atas air dan pindah ke daratan di tepi danau, menyerahkan pemimpin-pemimpin perlawanan, dan membayar denda 50-60 budak. Ultimatum itu tidak diindahkan. Dengan tertunduk malu, Cos mengakhiri “petualangannya” dan membawa pulang pasukannya ke Manado. Sementara itu, jesuit Spanyol, Pater de Miedes memberi angin segar kepada Tondano. Dia mengorganisir kekuatan melawan Belanda dan menyuplai mesiu serta keperluan lain untuk serangan balasan. Pada 1663, Tondano dengan bantuan Spanyol dan berkekuatan lima kapal menyerang Belanda di Manado. Perlawanan mereka tak berlangsung lama karena Spanyol harus mengatasi bajak laut Tionghoa. Pada 2 Juni 1663, Spanyol menarik diri untuk konsentrasi ke Manila. Kepergian Spanyol membuat Tondano kehilangan sekutu politik, militer, dan mitra niaga. Seiring perjalanan waktu, para pemimpin Tondano akhirnya memutuskan mendekat ke Belanda karena beras menumpuk. Mereka terpaksa mematuhi poin pertama ultimatum Cos. Belanda menyambut baik keputusan itu. Jacob Geel, utusan Gubernur Antoni van Voorst ke Manado, mencatat penyerahan itu: “Akhirnya orang Tondano serta lain-lain yang jahat itu menjadi patuh pada Kompeni, dan telah membakar perkampungan mereka di atas air dan telah mulai membangun kembali satu perkampungan baru di daratan, di tempat yang ditunjuk oleh komandan kita.” “Dengan demikian berakhirlah Perang Tondano,” tulis Supit.
- Ronggeng Deli, Hiburan Orang Melayu yang Mati Suri
TIGA pasang pria dan wanita berhadap-hadapan. Mereka menari sambil melepas rasa dalam balutan pantun. Saling sahut-menyahut, mencurahkan nyanyian isi hati. Gesekan biola dan akordion mengiringi dendang irama Melayu. Penyayi dan penonton tenggelam dalam alunan ria pertunjukan. Demikianlah suasana riuh Ronggeng Deli yang diadakan komunitas Melayu di anjungan Sumatra Utara Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur, 2 September 2015. Ronggeng Deli dimulai sejak tanah Deli dibuka menjadi perkebunan tembakau di Sumatera Timur. Kesenian ini menjadi sarana mengungkapkan perasaan. Roman Merantau ke Deli karya Buya Hamka mengisahkan, kesenian ronggeng telah menjadi hiburan yang diminati masyarakat kebun. “Dan yang asyik menonton ronggeng itupun, bila sudah bersangatan asyiknya, ada yang tampil ke muka, sama-sama menari dengan sehelai selendang bersama perempuan ronggeng itu, sama-sama berbalas pantun! Demikianlah kehidupan di perkebunan, kehidupan dalam lingkungan Punale Sanctie ,” tulis Hamka. Pembeda Ronggeng Deli dengan Ronggeng Jawa adalah seni berbalas pantun yang menjadi ciri khas orang Melayu. Selain itu, instrumen biola dan akordion memperlihatkan pengaruh Portugis yang menduduki Malaka pada abad ke-16. Umumnya, Ronggeng Deli dimainkan oleh tiga pasang penyanyi dan lima orang pemain musik. Ronggeng Deli semakin populer pada dekade 1920-1930-an. “ Ronggeng biasanya digelar di pasar malam atau hajatan. Sampai-sampai dipanggil ke istana untuk menghibur sultan dan pejabat Belanda,” tutur Totok Sam, seniman Ronggeng Deli generasi ketiga. Pantun-pantun yang dilantunkan berkisah tentang kehidupan, seperti percintaan, nasihat, hingga ratapan kepada Tuhan. Walaupun dilakukan berpasangan, Ronggeng Deli tidak memperbolehkan lelaki dan perempuan bersentuhan. “Jangan coba nyentuh, tak boleh. Menyanyi boleh, berjoget pun boleh. Tapi jangan coba nyentuh . Kalo di (Ronggeng) Jawa kan sampai bisa masuk duit ke tetek. Melayu identik dengan Muslim, itulah yang kami jaga,” terang Totok dengan logat Melayunya. Menurut peneliti dan pemerhati budaya Melayu, Rizaldi Siagian, Sultan Serdang-lah yang memberi perhatian besar terhadap Ronggeng Deli. “Sultan Serdang membagi-bagikan lahan kepada seniman dan memelihara kesenian Ronggeng Deli di istana. Liuk tari yang terdapat dalam Ronggeng Deli adalah cikal bakal dari tari Serampang Dua Belas,” kata Rizaldi. Menurut Rizaldi, ketika pendudukan militer Jepang, Ronggeng Deli terdekonstruksi. Dalam pertunjukan Ronggeng Deli, kegiatan prostitusi disusupkan untuk melayani serdadu-serdadu Jepang. Hal ini kemudian menimbulkan stigma negatif di masyarakat. Tuduhan Ronggeng Deli adalah seni erotis dan seronok tidak dapat terelakkan. Sejak itu, Ronggeng Deli kerap dipandang sebelah mata, meskipun masih diminati masyarakat Melayu Deli, khususnya di Medan. Di kota Medan, komunitas seniman Ronggeng Deli berbasis di pinggiran Sungai Deli (Jalan Raden Saleh), di mana banyak masyarakat Melayu bermukim. Namun seiring waktu, Ronggeng Deli kian meredup. Dalam pertunjukan Ronggeng Deli, semua orang dapat berpartisipasi. Penonton, jika senang hatinya dapat ikut berjoget. Hal ini kemudian terkontaminasi dengan budaya urban kota Medan yang semakin maju. Akibatnya, citra Ronggeng Deli semakin buruk di mata masyarakat. “Misalkan di setiap pertunjukan ronggeng, datanglah perempuan ntah dari mana-mana. Ikut dia nimbrung di situ. Tau-tau ada laki-laki yang sor (berminat) sama dia, usai nari dibawalah (kencan berlanjut). Tempat ronggeng tuh jadi buruk kan,” kata Totok. Selain itu, tulis Kompas 12 September 1992, citra Ronggeng Deli kemudian diidentikan dengan minuman keras. Banyak rumah-rumah yang menggelar pertunjukan ronggeng menjajakan minuman keras, seperti kamput (kambing putih) dan tuak. Hal ini acap kali membuat kegaduhan tengah malam karena banyak yang mabuk-mabukan. Pada pertengahan 1980-an, pemerintah Kota Medan menggusur permukiman Sungai Deli. Akibatnya, ruang publik pertunjukan Ronggeng Deli ikut tergusur. “Tempat mereka tampil di gusur, senimannya diusir dan terpencar. Jadilah Ronggeng Deli menjadi kesenian yang terbuang. Ironisnya yang membuang justru pemerintah yang tidak mengerti seni,” kata Rizaldi. “Padahal Ronggeng Deli itu adalah kesenian cerdas. Ia bisa menyatukan dan menyuarakan antaretnis Melayu Sumatera. Orang Batak, Karo, dan Mandailing punya tradisi pantun. Ketika itu dapat bergabung dalam ronggeng, mereka bisa kontribusikan menjadi karya-karya disini, ke dalam bahasa Melayu. Hal ini bisa menjadi pergaulan dan kritik sosial karena yang diungkapkan biasanya adalah problema-problema kehidupan. Di pagelaran ini, kita mencoba merevitalisasi kesenian Ronggeng Deli itu,” tutup Rizaldi.
- Dalam Sistem Tanam Paksa, Petani Ditindas Belanda dan Pejabat Bumiputera
KERUSAKAN yang diakibatkan Perang Diponegoro (1825-1830) memukul roda perekonomian Belanda. Keadaan demikian menyebabkan pemerintah Belanda harus mencari cara untuk kembali mendulang laba di tanah koloni. Pemerintah Belanda akhirnya mengirimkan Gubernur Jenderal yang baru, Johannes van den Bosch untuk mengatasi kemelut ekonomi itu. Van den Bosch mengeluarkan satu sistem budidaya tanaman yang dikenal dengan kebijakan cultuurstelsel . Menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 1 , sistem ini memungkinkan eksploitasi pedesaan Jawa secara maksimal dan membuktikan bahwa koloni dapat memberikan hasil melebihi biayanya. Tiap desa harus menyerahkan seperlima bagian dari tanah dan pekerja taninya untuk ditanami produk natura (hasil bumi) yang sedang laku di pasar dunia, seperti kopi, tebu, teh, dan indigo. Tanaman pemerintah harus dirawat warga desa sampai masa panen. Mereka memanen dan menyetorkan hasilnya ke pabrik pengolahan atau gudang setempat. Desa akan menerima pembayaran uang hasil bumi yang ditaksir saat tanaman dagang masih berdiri di ladang. “Dengan sistem bonus dan insentif yang cerdik, Van den Bosch berhasil mengerahkan para Bupati Jawa untuk mengawasi penanaman, panen, dan pengangkutannya. Dia hanya memerlukan sejumlah kecil pegawai administrasi Belanda untuk mengawasi kelancaran seluruh sistem,” tulis Lombard. Dalam praktiknya, sistem budidaya tanaman ini dijalankan dengan aneka rupa penyelewengan. Transaksi kekuasaan antara pemerintah kolonial dan penguasa lokal membuat sistem budidaya menjadi tanam paksa. “Kesetiaan penguasa lokal kepada penguasa Belanda diimbangi dengan pembayaran gaji yang besar dan hadiah persentase dihitung dari panen tanaman dagang yang dihasilkan kabupaten masing-masing,” tulis Robert van Niel dalam Sistem Tanam Paksa di Jawa. “Kerja yang dituntut dari kaum tani diperlakukan sama seperti corvee (rodi atau kerja paksa).” Lama-kelamaan, ketentuan jumlah tanah dan tenaga tani yang dikerahkan lebih dari lima persen. Hal ini dilakukan oleh para bupati untuk memperoleh lebih banyak bonus persentase penjualan tanaman dagang. Van Niel mencatat, beberapa daerah melibatkan 90 persen keluarga tani untuk mengerjakan tanah pemerintah. Tidak pelak lagi, petanilah yang harus memanggul derita tanam paksa. “Terlalu banyak waktu dicurahkan untuk penanaman pemerintah sehingga menelantarkan tanaman padi. Apabila terjadi gagal panen selama setahun atau dua tahun maka terjadilah bencana kelaparan, muncul wabah penyakit, dan perpindahan penduduk ke daerah-daerah lain,” tulis Van Niel. Sementara itu, Lombard mencatat, selama empat dekade diterapkan, sistem tanam paksa menyumbangkan 800 juta gulden terhadap kas pemerintah Belanda. Roman Max Havelaar yang ditulis oleh Multatuli menggambarkan dengan jelas rupa penindasan yang dialami sekaligus ketidakberdayaan petani Jawa. Bupati dan pejabat desa sebagai penguasa lokal kerap mengeksploitasi petani untuk keuntungan mereka sendiri. Hal ini terjadi karena pertalian feodal mengikat petani sebagai kawula yang harus tunduk terhadap bupati. “Orang Jawa dianiaya!” kata Multatuli yang bernama asli Eduard Douwes Dekker. “Orang merasa biasa, bahwa beratus-ratus keluarga mendapat panggilan dari tempat jauh, untuk tanpa bayaran mengerjakan ladang-ladang milik bupati. Orang merasa hal biasa, bahwa mereka memberikan tanpa bayaran barang makanan untuk keperluan rumah tangga bupati. Dan jika bupati berkenan menyenangi seekor kuda, seekor kerbau, seorang anak gadis, seorang istri orang biasa, maka dianggap luar biasa atau mustahil jika orang itu tidak mau menyerahkan tanpa syarat apapun.” Kaum liberal Belanda menentang sistem tanam paksa dan secara bertahap dihapuskan pada 1870. Penolakan ini juga datang dari kalangan pengusaha yang tergiur keuntungan dan potensi usaha di Jawa. Pada tahun itu pula lahir Undang-Undang Agraria tahun 1870, yang mengatur kepemilikan tanah negara seraya memberikan peluang masuknya modal swasta.
- Cerita Menarik di Balik Pembentukan Provinsi NTT
KONFERENSI Partai Katolik di Nele Sikka pada 1956 mengusung pembentukan Provinsi Flores. Hal ini karena Partai Katolik menang di Flores dalam pemilu pertama tahun 1955. Namun, delegasi komisariat Partai Katolik Timor yang dipimpin Frans Sales Lega menentang gagasan itu, dengan melontarkan pertanyaan: mengapa Flores tidak bergabung dengan Timor dan Sumba? Gagasan pembentukan Provinsi Flores gagal. Pada konferensi Partai Katolik di Ende tahun 1957, Lega mengusulkan satu provinsi untuk seluruh bekas Karesidenan Timor yang meliputi Timor, Flores, Sumba, dan pulau-pulau sekitarnya. Usul ini disetujui. Karesidenan Timor sendiri bagian dari Provinsi Sunda Kecil. “Nama Sunda Kecil kemudian diubah menjadi Nusa Tenggara oleh Menteri Moh. Yamin, mungkin untuk tidak menciptakan inferiority complex warganya,” kata Ben Mboi dalam Memoar Seorang Dokter, Prajurit, Pamong Praja. Lega mendekati Kepala Daerah Timor, Stephanus Ndoen dan Dewan Perwakilan Rakyat Timor untuk memimpin perjuangan pembentukan provinsi baru. Di Kupang dibentuk delegasi untuk menemui Menteri Dalam Negeri Sanusi Hardjadinata. Delegasi terdiri atas Tobing sebagai ketua, dengan anggota Lega sebagai juru bicara, N.D. Dillak, dan Piet Parera-Fernandez. “Saya ingat betul waktu, pada 1957 saya mengunjungi Pak Lega (dan rombongan) di Hotel Des Indes, Jalan Majapahit Jakarta,” kata Ben Mboi. “Sebagian besar rombongan belum pernah ke Jakarta. Mereka ketakutan menyeberang Jl. Majapahit karena padatnya lalu lintas plus trem.” Kepada Ben Mboi, Lega menceritakan pertemuannya dengan Mendagri Sanusi. “Berapa sarjana kamu punya untuk bikin provinsi?” tanya Sanusi kepada Lega. “Justru supaya kami bikin sarjana, kami mau bentuk provinsi,” jawab Lega yang balik bertanya, “Berapa sarjana di Indonesia ketika Proklamasi 17 Agustus 1945?” Sanusi tidak menjawab. Upaya lain ditempuh oleh Stephanus Ndoen dengan melakukan diplomasi olahraga. Timor mengirimkan kontingen yang terpisah dari kontingen Nusa Tenggara ke Pekan Olahraga Nasional IV tahun 1957 di Makassar. Lega memimpin kontingen Timor itu. Menurut Ben Mboi, nama-nama seperti Nani Manoe, Rudy Leiwakabessy, J.N. Manafe, kelompok pemanah dari Alor, atlet-atlet sepakbola (yang kebanjiran gol), dan atlet sepeda yang kesasar di Kota Makassar, adalah pelaku-pelaku sejarah yang berjuang agar Nusa Tenggara Timur mendapatkan pengakuan dan dapat mengatur rumah tangganya sendiri. “Merekalah ratusan pahlawan tak bernama yang memikul pasir dan batu bata awal bangunan yang bernama Nusa Tenggara Timur sekarang ini,” kata Mboi. Mendagri Sanusi kemudian datang ke Kupang untuk menyaksikan sendiri semangat kehidupan Timor, Flores, dan Sumba, untuk membentuk provinsi sendiri. Akhirnya, Provinsi Nusa Tenggara dipecah menjadi tiga provinsi: Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Pengesahannya berdasarkan UU No. 64 tahun 1958 tanggal 14 Agustus 1958. Menurut Mboi yang menjadi Gubernur NTT ketiga (1978-1983), pembagiannya sangat berat beban ideologis. Bali, mayoritas beragama Hindu dan dikuasai Partai Nasional Indonesia; mayoritas penduduk NTB beragama Islam dengan kekuatan politik partai Islam (Masyumi dan Nahdlatul Ulama); dan NTT penduduknya 90 persen Kristen (55 persen Katolik, 35 persen Protestan) secara politis berbasis Partai Katolik dan Parkindo (Partai Kristen Indonesia). Kendati lahir bersamaan, namun peresmian ketiga provinsi itu berbeda-beda: Bali (14 Agustus 1958), NTB (17 Desember 1958), dan NTT (20 Desember 1958). Gubernur pertama NTT dijabat Lalamentik, sedangkan Lega menjabat bupati Manggarai. Untuk mengenang jasanya, Frans Sales Lega diabadikan menjadi nama bandar udara di Ruteng, Manggarai.
- Konser Bon Jovi di Ancol Rusuh
Bon Jovi kembali menggelar konser di Gelora Bung Karno, Jakarta, 11 September 2015. Duapuluh tahun lalu, tepatnya 6 Mei 1995, band rock asal Amerika Serikat ini, menggebrak panggung konser di Stadium Ancol, Jakarta Utara. Pada tahun ini, konser band dunia di Jakarta dua kali lebih banyak dibandingkan tahun sebelumnya. “Sejumlah nama mendunia mulai Roxette, Phil Collins, Bon Jovi, Take That, dan Wet Wet Wet mengisi album pertunjukan tahun lalu (1995) dengan meraup miliaran rupiah,” tulis majalah Warta Ekonomi , No. 33 Th VII/B Januari 1996. “Hanya konser Bon Jovi yang mampu menandingi pentas Phil Collins yang memamerkan perpaduan antara manajemen panggung, kemampuan musikal, dan olah vokal yang prima.” Phil Collins yang juga konser di Ancol dihadiri tak kurang dari 70.000 penonton. Sedangkan penonton Bon Jovi, menurut promotor lokal, sekira 60.000. Namun, menurut Mike Levin dalam majalah Billboard , 20 Mei 1995, “laporan-laporan media massa menaksir penonton mencapai 100.000.” Angka ini mungkin termasuk penonton di luar yang tak bertiket dan jumlahnya mencapai ribuan. Kerusuhan mewarnai kesuksesan konser Bon Jovi. Laura Jackson dalam Jon Bon Jovi: The Biography mencatat, kerusuhan pecah ketika ribuan penggemar tanpa tiket mencoba untuk memaksa masuk ke Stadium Ancol. Ini membutuhkan ratusan polisi untuk menguasai kekacauan itu, dan puluhan penggemar Bon Jovi terluka. Menurut Levin, tidak ada penonton luka serius, meskipun banyak yang pingsan karena terjebak dan terkena lemparan botol selama 30 menit. Pihak kepolisian menyatakan kerusuhan terjadi akibat penonton yang frustrasi karena tidak mendapatkan tiket. Kerusuhan ini bukan insiden serius, tapi kedepan konser yang menarik ribuan orang muda harus dievaluasi kembali. “Itu kerusuhan kedua di konser rock n roll Barat dalam beberapa tahun di ibukota Indonesia. Pada 1993, penonton mengamuk selama pertunjukan Metallica, memaksa pemerintah untuk melarang acara hard rock . Larangan itu telah tenang, namun para pejabat setempat mengatakan kerusuhan konser Bon Jovi mungkin memaksa pemerintah untuk mempertimbangkan kembali pengaruh musik rock Barat,” tulis Levin. Apalagi, lanjut Levin, “Indonesia sedang belajar untuk pertama kalinya bagaimana menghadapi budaya kaum muda. Hukum Islam mencegah impor budaya dari Barat melalui sensor dan larangan televisi satelit. Sementara itu, pemuda Indonesia telah lama suka musik dan salah satu pasar terbesar di kawasan Asia Tenggara untuk musik rock internasional.” Kerusuhan dalam konser Bon Jovi membuat Levin mempertanyakan masa depan musik rock n roll di Indonesia. Kekhawatiran itu telah usai bila melihat sekarang ini konser musik dari penyanyi atau band dunia di Indonesia selalu ramai dihadiri penonton.
- Aksara Menunjukkan Peradaban Nusantara
AKSARA-aksara Nusantara menginspirasi Edi Dolan, yang akrab dipanggil Edo, untuk berkarya membuat kaligrafi. Sebelumnya, dia membuat kaligrafi aksara Arab, namun sejak tahun 2005 dia mengembangkan kaligrafi aksara Sunda dan Jawa kuno. Dan ternyata, banyak orang yang tertarik dengan aksara Nusantara. Hal ini terlihat dari animo pengunjung yang menghadiri pameran aksara Nusantara di beberapa kota seperti Jakarta, Yogyakarta, dan Bandung. “Saat pameran di Yogyakarta, awalnya jadwal pameran selama satu minggu, namun diperpanjang sampai tiga kali,” kata Edo dalam diskusi, pemeran dan workshop “Aksara Ibu Peradaban” di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, pada 8 September 2015. Edo tidak menulis kaligrafi di kain kanvas atau kaca. Dia memilih kertas dari kulit pohon Paper mullberry atau disebut Saeh oleh orang Sunda. Dia membuat sendiri kertas dari pohon itu dengan cara ditumbuk-tumbuk setelah direbus. Hasilnya adalah kertas daluang . Daluang membuat karyanya terlihat seperti naskah-naskah kuno. Namun, dia belum menemukan bahan cat alami yang digunakan secara tradisional. Dia masih menggunakan pena atau pulpen. Dia pun kagum dengan karya orang zaman dulu. “Para leluhur kreatif, mencari media yang ada di sekitarnya salah satunya daluang ,” kata Edo. Edo menyalin beberapa naskah kuno seperti Bhagawadgita , atau mengubah naskah lain kedalam aksara kuno seperti Pancasila. Dia sedang membuat salinan naskah aksara Sunda kuno berjudul Sanghyang Siksa Kandang Kresian koleksi Perpustakaan Nasional. Dia menggunakan bahan lontar seperti naskah aslinya. Penggunaan aksara Latin menenggelamkan aksara Nusantara. Padahal, aksara Nusantara merupakan aksara asli Indonesia. Dia lahir dan berkembang di Indonesia. “Kita banyak aksara tapi tidak banyak yang menggunakannya,” kata seniman Edi Susanto. Edi pun menggunakan aksara-aksara Nusantara sebagai bahan kreasi seninya. Edi mengadakan sebuah pameran seni berupa instalasi dan lukisan yang mengusung aksara Jawa. Pameran itu bertema Java Script , diadakan pada 4-13 September 2015 di Galeri Nasional Indonesia. Edi sangat tertarik mempelajari aksara karena aksara memiliki peranan penting dalam peradaban manusia. “Aksara adalah alat komunikasi yang paling awal sejak masa dulu,” kata Edi. Keharusan mengembangkan aksara Nusantara juga diutarakan oleh Zulkipli dari Yayasan Alam Melayu Sriwijaya, lembaga yang bergerak dalam kebudayaan melayu Sriwijaya. Aksara menjadi bukti kejayaan sebuah peradaban. Baginya, kita tidak akan mengetahui kejayaan Sriwijaya jika tidak ditemukan prasasti Talang Tuo. “Tanpa bukti aksara kita akan lupa. Kita sedang ngobrol. Sejam lagi mungkin akan lupa apa yang diobrolkan,” kata Zulkipli.
- Hendrick Arnold Koroh, Pejuang dari Timor
PROKLAMASI kemerdekaan Indonesia bergema. Tak ingin kehilangan jajahannya, Belanda mencoba melemahkan negara baru itu dengan membuat negara-negara federal pada 1946. Di wilayah Indonesia timur, Belanda mengundang raja-raja antero Timor hadir dalam Konferensi Malino pada 15-25 Juli 1946. Tujuannya mengajukan usulan pembentukan Negara Indonesia Timur. Rencana Belanda terhadang. Sebab seorang raja Timor menolak usulan Belanda. Raja itu bernama Hendrick Arnold Koroh, seorang Raja Amarasi dari Timor. Koroh juga utusan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Timor, partai berhaluan nasionalis yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di Timor. Koroh menginginkan wilayah timur Indonesia masuk Republik Indonesia. Koroh lahir di Baun (Amarasi) pada 9 Mei 1904. Koroh turunan ke-18 dari Nai Nafi Rasi, seorang bangsawan dari kerajaan Wahele di Belu. “Dinasti ini dalam sejarah perjuangan fisik melawan Belanda sejak abad ke-17 terkenal sebagai suatu keluarga pejuang kemerdekaan yang pantang mundur dan tidak kenal menyerah. Bertempur, tertawan, dibebaskan dengan syarat, kemudian menyusun kembali kekuatan dan bertempur lagi sendiri-sendiri atau membantu kaisar Sonbai,” tulis I.H. Doko dalam Pahlawan-pahlawan Suku Timor . Sebagai seorang bangsawan, Koroh diijinkan masuk Europese Largere School (ELS atau Sekolah Rendah Belanda) di Kupang, sekolah khusus orang Belanda. Dia menamatkan ELS pada 9 Juni 1920, lalu melanjutkan pendidikannya ke Mulo di Batavia dan tamat pada 1924. Koroh meneruskan pendidikan menengah atasnya ke Algemene Middelbare School (AMS) di Yogyakarta. Selama di Batavia dan Yogyakarta, Koroh gemar membaca buku-buku politik, kemasyarakatan, dan surat kabar De Express asuhan Douwes Dekker. Baru setahun di AMS, Koroh dipaksa pulang ke Amarasi atas dasar surat rahasia Residen Timor. Dia dipanggil untuk menjadi raja, menggantikan kakaknya, A.R. Koroh, yang pada waktu itu dipecat oleh Belanda karena dianggap kepala batu, tidak tunduk kepada pemerintah. Belanda berharap Koroh bisa bekerja sama. Belanda berupaya menjauhkan Koroh dari pengaruh kaum pergerakan nasional. “Waktu dia diangkat menjadi Raja Amarasi, dia senantiasa dihalang-halangi dan dilarang oleh pemerintah Hindia Belanda untuk membaca surat kabar yang bersifat nasional,” tulis Doko. Upaya Belanda gagal. Koroh tetap dekat dengan gagasan kaum pergerakan nasional. Selama pendudukan Jepang, Koroh melindungi rakyatnya dari ancaman tentara Jepang. Koroh membuat peraturan bahwa semua keperluan pemerintah kolonial Jepang diurus oleh raja. “Tetapi, sebagai imbalan, dia menuntut dari penguasa Jepang, agar melarang anggota tentaranya, memasuki rumah-rumah rakyat untuk meminta sesuatu atau menembak hewan rakyat,” tulis Doko. Jepang menyetujui permintaan Koroh. Menurut Steven Glen Farram dalam From Timor Koepang to Timor NTT: A Political History of West Timor, 1901-1967, disertasi pada Northern Territory University, Koroh mendapatkan banyak informasi tentang perang pasifik. Koroh juga mengetahui berita pengeboman Hirosima dan Nagasaki oleh pihak Sekutu, namun Koroh belum mengetahui bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Koroh baru mengetahui hal itu pada 24 Agustus 1945, ketika dia dipanggil ke rumah Yano, Komandan Kedua Jepang di Kupang. “Yano memberitahu bahwa Tentara Jepang telah ‘memberikan’ kemerdekaan kepada Indonesia. Namun dia menyuruh Koroh untuk merahasiakannya,” tulis Farram. Pada masa mempertahankan kemerdekaan, Koroh berupaya mempengaruhi para raja di Timor untuk menolak pendirian Negara Indonesia Timur. Belanda tak diam. Untuk menghadang upaya Koroh, Belanda membuat pertemuan dengan para raja setelah Konferensi Malino. Residen Timor memimpin langsung pertemuan itu. “Raja Koroh telah diperingatkan oleh Residen untuk berhati-hati. Karena katanya, semua raja tidak menyetujui dan akan menentang mati-matian pendiriannya yang dikemukakannya di Malino itu,” tulis Doko. Peringatan itu tak mengurungkan niat Koroh untuk tetap memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Di depan para raja Timor, Koroh mengatakan bahwa Republik Indonesia adalah hal yang ideal bagi rakyat Timor. “Tuan-tuan raja se-Pulau Timor, inilah amanat rakyat Timor, inilah amanat rakyat Timor yang telah diberikan kepada saya untuk diperjuangkan pada Konferensi Malino. Terserahlah tuan-tuan akan menyetujui atau menolaknya. Saya telah melaksanakan tugas saya sebaik-baiknya sesuai amanat rakyat Timor itu, dalam batas-batas kemampuan saya.” Rasiden Timor memberikan kesempatan kepada raja Timor lain untuk menanggapi argumen Koroh. Pendapat pertama dikemukakan oleh Raja Molo. Menurut Doko, Raja Molo sangat berpengaruh di kalangan raja Timor. Pendapatnya bisa mempengaruhi pandangan raja lain. Ketika Raja Molo berkata “Akol” yang berarti setuju, raja-raja lain pun sependapat dengannya. Ini berarti para raja menerima pendapat Koroh. Persatuan para raja semakin menguat. Pada 21 Oktober 1946, Gabungan Federasi Zelfbestuur Kepulauan Timor atau Dewan Raja-Raja berdiri. Ketuanya Koroh dan wakil ketua Raja Kupang, A. Nisnoni. Terbentuknya Dewan Raja memperkuat perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan. Koroh meninggal pada 30 Maret 1951 setelah mengalami tekanan darah tinggi. Ratusan ribu orang dari seluruh penjuru Timor menghadiri pemakamannya. “Timor Kehilangan seorang pemimpin yang berbudi luhur, berjasa bagi nusa dan bangsa. Berakhirlah sudah perjuangan seorang pejuang yang disegani oleh kawan dan lawan, seorang raja yang sangat dicintai rakyatnya,” tulis Doko.
- Pasukan Bunuh Diri Indonesia dalam Perang Kemerdekaan
TERINSPIRASI oleh penerbang bunuh diri Kamikaze, Jepang membentuk barisan bunuh diri (Jibakutai) di Indonesia pada 8 Desember 1944. Jibaku kemudian diserap sebagai kata Indonesia yang artinya “menyerang musuh dengan jalan menubrukkan dirinya (yang sudah dipersenjatai dengan bom atau alat peledak lainnya) pada musuh; bertindak nekat.” Jumlah keseluruhan anggota Jibakutai mencapai 50.000 orang. Ia didirikan di beberapa daerah. Di Bali misalnya, Jibakutai disebut juga Bo’ei Teisin Tai. Pada Desember 1944, pihak berwenang Jepang melaporkan bahwa orang Bali “minta bagian dalam menghajar musuh” dengan ikut Bo’ei Teisin Tai. “Mereka mencatat bahwa para intelektual, kebanyakan guru sekolah, redaktur media massa dan sebagainya merupakan mayoritas nama-nama yang terdaftar. Kesatuan Bo’ei Teisin Tai pertama berdiri pada Maret 1945, dan pada Juni 1945, grup kedua bertolak dari Buleleng ke Gianyar untuk latihan,” tulis sejarawan Geoffrey Robinson dalam Sisi Gelap Pulau Dewata. Kendati namanya sebagai pasukan berani mati, namun Jibakutai seperti barisan semimiliter lain bentukan Jepang (Peta atau Pembela Tanah Air dan Heiho), dipersiapkan hanya sebagai pendukung tentara Jepang. “Haruslah diperhatikan bahwa satuan-satuan ini dipersenjatai dan dilatih hanya dengan bambu runcing…Tujuan melatih kelompok-kelompok ini adalah saling kerja sama dan mendukung kepada perang, bukanlah ikut serta secara militer sebagai satuan-satuan tempur,” tulis sejarawan Joyce C. Lebra dalam Tentara Gemblengan Jepang . Bahkan, sejarawan Nugroho Notosusanto, menegaskan bahwa Jibakutai tidak pernah mempunyai eksistensi yang nyata sebagai organisasi monolitis seperti yang lain-lain. “Barisan itu lebih merupakan ungkapan daripada tekad pemuda Indonesia untuk mempertahankan tanah airnya terhadap musuh,” tulisnya dalam Tentara Peta Pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia . Setelah Indonesia merdeka, Peta dan Heiho menjadi cikal bakal tentara Indonesia. Bagaimana dengan Jibakutai? Mantan pejuang kemerdekaan, Asmadi mengungkapkan kesaksiannya bahwa segera setalah Proklamasi kemerdekaan, Jibakutai mengubah namanya menjadi Barisan Berani Mati (BBM), tetapi umumnya orang menganggap namanya terlalu muluk. Mereka baru menunjukkan aksinya ketika perang melawan Sekutu di Surabaya pada 10 November 1945. “Berjenis-jenis kendaraan lapis baja seperti brencarrier , panser dan tank banyak yang meledak karena ulah mereka,” tulis Asmadi dalam Pelajar Pejuang. Anggota BBM beroperasi dalam kelompok-kelompok kecil. Masing-masing menjinjing sebuah bom, kemudian membenturkan diri ke kendaraan perang musuh yang menghancurkan benteng-benteng berjalan itu. Tindakan yang kelewat berani ini sangat menonjol pada hari ketiga perang. Keberanian mereka menimbulkan kekaguman di kalangan pejuang dan keterkejutan di pihak lawan. Tentara Inggris terperanjat dan menuding Indonesia menggunakan orang-orang Jepang untuk melakukan bunuh diri, karena mereka menganggap hanya orang Jepang yang berani berbuat nekat seperti itu. “Anggota BBM telah membuktikan bahwa cemooh yang diperolehnya selama ini adalah tidak benar, bahwa keberanian bukan milik bangsa Jepang saja yang dengan Kamikaze-nya berani menumbukkan pesawat terbang ke kapal perang Sekutu,” tulis Atmaji.
- Ciri Negatif Manusia Indonesia
MOCHTAR Lubis, wartawan dan sastrawan, menyampaikan pidato kebudayaan tentang manusia Indonesia pada 1977 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Isi pidatonya menyebutkan ciri-ciri atau watak masyarakat Indonesia. Menurutnya, ada limabelas ciri atau watak manusia Indonesia antara lain munafik, segan dan enggan bertanggungjawab, berjiwa feodal, masih percaya takhayul, artistik karya seninya bernilai tinggi, karakter yang kurang kuat, tidak hemat, tidak suka bekerja keras, kurang sabar, cepat cemburu dan dengki, manusia sok, tukang tiru, malas-malasan, kurang peduli nasib orang lain, dan berhati lembut. Pidato Mochtar Lubis mendorong Ali Akbar, arkeolog sekaligus dosen di Universitas Indonesia, melakukan riset lebih lanjut. Dia menjadikan pidato itu sebagai hipotesis penelitiannya. Salah satu pertanyaan yang dia tanyakan kepada responden adalah sebutkan sepuluh ciri manusia Indonesia. Hasilnya, sepuluh ciri manusia Indonesia antara lain ramah terhadap orang asing, malas, korupsi, tidak disiplin, emosional, boros, suka meniru, rendah diri, individualis, dan percaya takhayul. Menurut Ali, ciri negatif manusia Indonesia bisa berdampak buruk pada pengembangan ekonomi. “Masalah perekonomian bukan hanya masalah ekonomi, persoalan mendasar justru pada manusia Indonesia sendiri,” kata Ali dalam Seminar Penguatan Ekonomi Nasional Melalui Peningkatan Kualitas Manusia di Hotel Pullman, Jakarta, 20 Agustus 2015. Begitu juga menurut Nirwan A. Arsuka, budayawan dari Freedom Institute, bahwa permasalahan ciri negatif manusia Indonesia harus segera diatasi. “Jangan-jangan itu adalah efek dari situasi ruang dan waktu. Jika diubah, mungkin ciri-cirinya bisa hilang,” kata Nirwan. Bagi Nirwan, perlambatan ekonomi adalah masalah kecil, dan kebudayaan menjadi masalah yang lebih besar. “Kebudayaan berurusan dengan hari depan sebuah bangsa,” kata Nirwan. Komaruddin Hidayat, Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, mengatakan bahwa masyarakat Indonesia bisa mengambil beberapa nilai yang ditanamkan oleh Tionghoa. Nilai-nilai tersebut mampu mengantarkan mereka menuju kesuksesan, terutama dalam berbisnis. Dia mencontohkan cerita dan nasihat yang berkembang di kalangan Tionghoa, yaitu orangtua yang membelah gunung. Alkisah, ada satu keluarga hidup di desa yang terisolasi dari desa lain karena terhalang gunung. Mereka harus melewati gunung untuk melakukan kegiatan ekonomi di desa lain. Terkadang, dia harus bermalam di jalan karena kelelahan. Akhirnya, orangtua itu mengajak anaknya membelah gunung penghalang itu. Dia dicemooh karena mencoba membelah gunung. Jika ditanya akankah pekerjaan itu selesai? Orangtua itu menjawab, jika dia tidak berhasil, anak cucunya yang akan meneruskan. Akhirnya, gunung itu terbelah setelah beberapa generasi. Akses keluar masuk desa menjadi mudah sehingga desa tersebut menjadi maju. “Hikmahnya, bahwa Tionghoa itu punya visi yang jauh sekali, lintas generasi. Makanya kalau kita lihat The Great Wall (Tembok Besar China) dibangun ratusan tahun,” kata Komaruddin. Komaruddin mengajak setiap manusia Indonesia agar memiliki visi yang jauh kedepan. “Kita tidak boleh berpikir jangka pendek, tetapi jangka panjang. Dengan begitu, manusia Indonesia tidak lagi didominasi oleh ciri negatif.”
- Misi Gagal Spanyol-Portugis Mengusir Belanda dari Nusantara
SPANYOL dan Portugis pasang badan begitu Belanda menjejak Banten pada 1596. Mereka jelas tidak mau berbagi pengaruh komersial apa pun dengan Belanda di Nusantara. Terlebih Spanyol yang tengah menghadapi perang kemerdekaan Belanda di Eropa. Belanda membangun pos dagang pertamanya di Banten pada 1603. Benteng Victoria milik Portugis di Ambon direbut pada 1605 dan VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur) mendirikan pusat dagangnya di sana. Bahkan pada 1609, armada Belanda mengepung Manila, kota dagang utama Spanyol di Timur Jauh. Peta persaingan itu diperhatikan oleh Gubernur Spanyol di Filipina, Juan de Silva. Dia bertekad mengusir Belanda untuk selamanya dengan menyerang pos-pos dagang Belanda di Jawa dan Maluku menggunakan armada besar, gabungan Spanyol dan Portugis. Saat itu, takhta Spanyol dan Portugis sudah bersatu sejak 1580, di bawah kekuasaan Philip II. Tahun 1611 di Manila, de Silva membangun armadanya. “Sang gubernur mengerahkan tenaga kerja dan menaikkan pajak rakyat Filipina, bahkan meminta dana, orang, dan amunisi tambahan dari New Spain (Meksiko) untuk membiayai ambisi militernya ini,” tulis Peter Borschberg dalam The Singapore and Malaka Straits: Violence, Security and Diplomacy in the 17th Century . Awal 1615, de Silva juga mengirim utusan ke Goa di India, pusat pemerintahan Portugis untuk urusan dagang di Timur Jauh. De Silva berhasil membujuk Gubernur Portugis, Jeronimo de Azevedo. Empat kapal galleon milik Portugis dari Goa dijadwalkan akan tiba di Manila sekitar Juni 1615. Namun, armada Portugis tak kunjung tiba pada Juli 1615, ketika de Silva sudah bersiap dengan armadanya. De Silva menghimpun armada Eropa terbesar yang pernah dilihat di kawasan itu, terdiri dari 10 galleon , 4 galley , 1 patache dan 3 frigate . Dia membawa 5.000 orang, 2.000 di antaranya tentara Spanyol, juga 500 tentara bayaran Jepang. Armada itu dipersenjatai 300 meriam dan 56 ton bubuk mesiu. “Kapal utamanya adalah La Salvadora (2.000 ton); San Marcos (1.700 ton); San Juan Bautista dan Espiritu Santo (masing-masing 1.300 ton); San Miguel dan San Felipe (800 ton); Nuestra Senora de Guadalupe dan Santiago (700 ton); San Andres (500 ton); dan yang paling kecil, San Lorenco (400 ton),” tercantum dalam laporan Juan de Rivera dan Valerio de Ledesma, dimuat di The Philippine Islands1493-1898: Volume XIX, 1620-1621 suntingan Emma Helen Blair. De Silva memutuskan berangkat. Tujuannya tidak langsung ke Jawa atau Maluku, tetapi Malaka, berharap untuk bertemu armada Portugis yang tak ada kabarnya. Ke Manakah Armada Portugis? Ternyata, s udah hancur lebur di Malaka. Satu kapal hancur ketika armada itu tak sengaja bertemu dengan pasukan Aceh yang tengah menyerbu Malaka pada September 1615. Sisanya diserang mendadak oleh pasukan Belanda; satu kapal direbut, dan dua sisanya dibakar oleh awaknya sendiri. Pada 25 Februari 1616, de Silva tiba di Malaka. Barulah dia mengetahui bahwa armada Portugis yang dinantinya sudah binasa. De Silva, yang tengah sakit keras, dan armadanya pun luntang-lantung. Dia akhirnya meninggal pada 19 April 1616. Tanpa pemimpin, armada itu memutuskan pulang ke Manila. Pun setibanya di sana, banyak dari awaknya yang tewas karena wabah penyakit. Ekspedisi itu berakhir dengan tangan hampa. “Armada Spanyol dan Portugis tidak pernah bertemu. Armada Spanyol yang dibanggakan itu tidak pernah pula bertempur dengan musuh. Penyakit merongrong awaknya tiap hari. Beberapa sumber menyebut korbannya ratusan, menyalahkan cuaca buruk dan air yang tidak bersih sebagai penyebabnya,” tulis Peter Borschberg. Setelahnya, Belanda kian menantang dominasi Spanyol-Portugis. Selain berhasil menguasai Maluku dari Portugis, Belanda juga sempat mengepung Manila kembali. Pengaruh dagang Spanyol-Portugis di Nusantara pun kian terkikis, sebelum akhirnya benar-benar lenyap dan digantikan oleh Belanda di abad ke-18 dan 19.






















