top of page

Hasil pencarian

9580 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Awal Kedatangan Manusia ke Nusantara

    Jembatan darat yang pernah menyatukan Jawa, Sumatra, Kalimantan, dengan daratan Asia, memicu kemungkinan datangnya manusia paling awal ke Nusantara. Yang pertama datang adalah Homo erectus, lalu Homo sapiens . “Kita tak bisa lepas dari pengembaraan manusia di dunia, yang semua datangnya dari Afrika. Kita adalah bagian dari dunia,” kata Herawati Supolo Sudoyo, peneliti dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman. Bagi yang tak percaya teori evolusi, sesungguhnya DNA manusia menyimpan kisahnya. “Apa yang ditulis tentang diri kita (di dalam DNA, red. ) itu tak ada salahnya. Kebenaran itu bisa dibuktikan,” kata Hera lagi. Menurut Hera, ada tiga cara mengetahui asal usul:dari bahasa ibu, budaya, dan tes DNA. “Informasi dari genom adalah gambaran migrasi dan asal-usul moyang kita,” lanjutnya. Diawali Homo erectus Ruly Fauzi, arkeolog Balai Arkeologi Palembang, dan Truman Simanjuntak, arkeolog Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, dalam “Sumatra dan Problematikanya dalam Sejarah Migrasi Manusia ke Nusantara” termuat di Gua Harimau dan Perjalanan Panjang Perdaban Oku, menjelaskan migrasi manusia paling awal, Homo erectus , ke wilayah Nusantara diperkirakan terjadi antara 1,8 dan 1,0 juta tahun silam. Namun, masih banyak yang berbeda pendapat soal itu. Dari sisi arkeologis, keberadaan Homo erectus di kehidupan awal Nusantara, dibuktikan dengan adanya temuan fosil. Yang tertua, bertipe arkaik, ditemukan di Situs Sangiran, Sragen, Jawa Tengah , dari 1,5 juta–0,9 juta tahun yang lalu. Lalu muncul Homo erectusyang ciri fisiknya lebih evolutif, dari 0,9–0,25 juta tahun lalu. Fosilnya juga ditemukan di Sangiran. Selanjutnya tipe Homo erectusyang lebih progresif. Ia hidup sekira 150.000 tahun lalu. Fosilnya ditemukan di Situs Ngandong (Blora, Jawa Tengah), Sambungmacan (Sragen), dan Ngawi (Jawa Timur). Menurut Ruly, melihat temuan yang beda tipe dan masanya itu, ada indikasi evolusi regional. Namun, sulit menentukan apakah migrasi berpengaruh dalam pembentukan tipe-tipe yang berbeda itu. Pun apakah perubahan lingkungan mendorong adaptasi dalam bentuk budaya dan evolusi fisiologis, masih belum bisa dibuktikan. Pertanyaan besarnya lagi, apakah Homo erectus kemudian punah tanpa pewarisan genetik kepada populasi yang lebih modern? Dua Ras Manusia Modern Teori multiregional membantah pertanyaan itu. Pendukungnya meyakini kalau manusia yang secara anatomis modern berevolusi dari para pendahulunya, yaitu Homo erectus , di masing-masing wilayah. Peter Bellwood, dosen arkeologi di School of Archaeology and Anthropology Australian National University, dalam Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia menjelaskan di antara yang sepakat adalah sebagian besar pakar paleoantropologi Tiongkok. “Hipotesis evolusi kesinambungan multiregional menganggap sisa-sisa peninggalan di Tiongkok secara morfologis berada pada garis evolusi yang menurunkan orang Mongoloid modern tanpa interupsi yang berarti,” jelasnya.   Sementara teori tandingannya, Out of Africa, meyakini kalau penjelajahan yang dilakukan Homo erectus ke seluruh dunia itu adalah pertama kalinya bagi spesies hominini pergi keluar benua Afrika. Ini terjadi sebelum kemudian leluhur manusia modern masa kini, Homo sapiens , meniru penjelajahan besar mereka hingga sampai ke Nusantara dan menggantikan pendahulunya itu. Bukti yang jelas tentang gelombang pengelanaan Homo sapiens, menurut Ruly, berasal dari 40.000-10.000 tahun dan 10.000-3.000 tahun yang lalu. Bukti-bukti tentang ini banyak ditemukan di situs tertutup, seperti ceruk alami dan gua yang tersebar di perbukitan karst.   “Hunian gua dan ceruk agaknya merupakan suatu tren baru,” jelas Ruly. Contohnya adalah temuan kubur manusia berusia 9.300 tahun dari Song Terus, gua karst di wilayah Pacitan, Jawa Timur. Bukti kubur manusia lainnya juga ada di Gua Lawa (Ponorogo), Braholo (Gunung Kidul), dan Song Keplek (Pacitan). “Menariknya semua gua itu indikasinya ada populasi ras yang sama, Australomelanesid dengan ciri kubur terlipat dan konteks budayanya preneolitik,” jelas Ruly.   Bellwood menjelaskan, Australomelanesid atau Australoid adalah satu dari dua ras utama Homo sapiens yang meninggali kepulauan Nusantara. Selain Australomelanesid, ada pula ras Mongoloid, atau lebih khusus Mongoloid Selatan. Cecep Eka Permana, arkeolog Universitas Indonesia dalam “Tinggalan Budaya Proto-Melayu dan Deutero-Melayu di Indonesia dan Malaysia dan Dampaknya pada Penguatan Kebudayaan Melayu Kini” yang disampaikan di Seminar Antarabangsa Perantauan Sumatera-Semanjung Malaysia, Sabah dan Sarawak di Universiti Sains Malaysia, Penang, Malaysia pada 2012 menjelaskan perbedaan kedua ras itu. Menurut Cecep, ras Australomelanesid antara lain memiliki ciri-ciri berbadan tinggi. Tengkoraknya relatif kecil, berbentuk lonjong dengan dahi yang agak miring dan pelipis agak membulat. Lebar mukanya sedang. Sementara Mongoloid badannya lebih kecil. Tengkoraknya besar, berbentuk bundar dengan dahi lebih membulat dan pelipis tinggi dan persegi. Mukanya lebih lebar. Australomelanesid diduga telah ada lebih dulu di Nusantara sebelum kedatangan ras Mongoloid. Ruly menjelaskan, dalam perspektif biologi, keberadaan Mongoloid yang menggantikan Australomelanesid di Nusantara selalu dikaitkan dengan tradisi Neolitik dan diaspora penutur bahasa Austronesia. Ciri khas tradisi Neolitik misalnya, gerabah dan beliung persegi. Sementara diaspora Austronesia diperkirakan terjadi sekira 4.000 tahun yang lalu. Menggantikan atau Membaur? Herawati menjelaskan sejak awal yang membuat manusia Indonesia beragam adalah karena kawasannya menjadi persilangan migrasi. Hal ini tergambar dalam DNA manusia Indonesia masa kini. Melalui data genetik terjelaskan, gelombang pertama migrasi Homo sapiens keluar dari Afrika masuk ke Indonesia terjadi pada 50.000 tahun lalu yang secara arkeologis ditandai dengan ras Australomelanesid. Mereka masuk melalui dua jalur ke arah timur. Pertama, dari Asia daratan turun ke Sumatra, Jawa, menyeb e rangi Nusa Tenggara. Kedua, melewati Kalimantan, masuk ke Halmahera, Raja Ampat, dan Fak Fak. Gelombang kedua datang dari 30.000 tahun lalu. Mereka berpindah ke selatan masuk ke Nusantara dari Asia daratan melewati Semenanjung Malaya. Ketika itu Sumatra, Kalimantan, dan Jawa masih menjadi satu.  “Nah jadi pertanyaan kan? Turun itu membaur atau menggantikan (Australomelanesid, red. ) nanti kita bisa tahu,” kata Hera. Gelombang ketiga terjadi sekira 4.000 tahun lalu. Mereka adalah sekelompok orang yang berkelana dari Tiongkok Selatan menyebar ke Taiwan, Filipina, sampai ke Sulawesi dan Kalimantan. “Ini yang teori Out of Taiwan, termasuk dari Tiongkok daratan masuk Formosa lewat Filipina turun ke Kalimantan, yang ke barat menyebar sampai ke Madagaskar, yang ke timur menyebar ke Papua sampai ke Polinesia,” jelas Hera. Dalam diasporanya mereka membawa Bahasa A u stronesia. Bahasa inilah yang kemudian berkembang, khususnya di Nusantara. “Kita adalah mereka yang berbahasa Austronesia,” jelasnya. Gelombang keempat terjadi ketika Nusantara sudah masuk periode sejarah. DNA-nya membekas khususnya pada orang-orang yang tinggal di pesisir. “Dulu banyak sekali pedagangan dari Eropa, Tiongkok, India, Arab yang datang membaur,” kata Hera. “Keempat gelombang migrasi ini akan mempengaruhi DNA.” Dari penelitiannya, Hera melihat pada populasi etnik yang mendiami Indonesia bagian barat dan timur terdapat gradasi pembauran genetik. “Dari data genomik menunjukkan adanya migrasi Austronesia ke jalur barat yang bercampur dengan penutur Austroasiatik dan kemudian menetap di Indonesia barat,” ujar Hera. Misalnya, gen manusia Jawa asli ternyata membawa gen Austroasiatik dan Austronesia. Begitu pula manusia etnis Dayak dan manusia di Pulau Sumatra yang tampak pada etnis Batak Toba dan Batak Karo. Austroasiatik dan Austronesia adalah dua rumpun bahasa yang berbeda. Namun keduanya sama-sama disebarkan oleh ras Mongoloid. Secara arkeologis, kelompok penutur Austroasiatik bermigrasi lebih dulu ke Nusantara.  Sekira 4.300-4.100 tahun lalu, mereka mulai bermigrasi dari Yunan ke Vietnam dan Kamboja, menyusuri Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Salah satu hasil budaya yang dibawa adalah tembikar berhias tali.  Sementara penduduk asli Pulau Alor membawa genetika Papua (Austromelanesid). Manusia asli Lembata dan Suku Lamaholot, Flores Timur, membawa genetika Papua dengan persentase paling tinggi dan sedikit genetika bangsa penutur Austronesia. Ini dibuktikan dari penggunaan bahasanya. Di Indonesia timur hingga kini memakai bahasa non-Austronesia atau Bahasa Papua. Berbeda dengan Indonesia bagian barat yang memang bertutur Bahasa Austronesia. “Latar belakang genetis itu bergradasi. Dari barat Austronesia yang dominan, lalu gen Papua dimulai dari NTT, Alor, dan seterusnya,” jelas Herawati. Kesimpulannya didukung sebaran geografis beberapa temuan arkeologi. Pada zaman Neolitik, ras Australomelanesid lebih dominan di Indonesia bagian barat. Seperti di situs Anyer Lor (Banten), Buni (Jawa Barat), Sangiran, Plawangan, Gunung Wingko di JawaTengah, serta Muncar, Pacitan, Jember, Puger (Jawa Timur). Di Indonesia bagian tengah dan timur, seperti temuan rangka manusia di Melolo (NTB), Ulu Leang, Bada, Napu, Besoa, Paso, Sangihe (Sulawesi), serta Gua Alo, Liang Bua di NTT memperlihatkan percampuran antara ras Mongoloid dan ras Australomelanesid. Percampuran ras Mongoloid dan ras Australomelanesid juga terjadi di Malaysia seperti yang ditemukan di gua Kepah. Sementara pada masa yang lebih muda, zaman logam, ras Mongoloid lebih dominan di Indonesia barat. Sementara di timur, dominasi Australomelanesid lebih terlihat. Hal yang sama juga terjadi di Malaysia, populasi Mongoloid lebih dominan. Kendati populasi ini mempunyai banyak warisan genetik Australomelanesid. Jika disederhanakan, menurut Bellwood, bisa disebut populasi Mongoloid mendominasi wilayah barat dan utara. Di Indonesia timur, populasi yang paling dominan jelas merupakan bagian dari dunia Melanesia, baik secara fisik maupun budaya. “Ekspansi Mongoloid yang memasuki lingkungan Australo-Melanesia menimbulkan variasi yang cukup besar dalam setiap kelompok mestinya cukup menjelaskan keadaan yang ada,” jelas Bellwood. Itu belum ditambah variasi dari gelombang migrasi keempat pada masa sejarah. Tak heran jika kini manusia Indonesia merupakan hasil campuran dari beragam genetika. Akhirnya, seperti kata Herawati, tak ada pemilik gen murni di Nusantara, karena moyang manusia Indonesia pun adalah pengembara yang secara bertahap pergi keluar dari Afrika.

  • Wejangan Istri untuk Perwira Penjudi

    SUATU hari, Brigjen TNI Kemal Idris mendapat panggilan tugas ke Kongo sebagai Komandan Pasukan Garuda III –kontingen pasukan perdamaian Indonesia untuk PBB. Selama setahun, Kemal berdinas di negara konflik yang terletak di Afrika bagian tengah itu. Setelah misi selesai, Kemal ditarik pulang ke Indonesia pada 1963. Pangkatnya diturunkan setingkat menjadi kolonel. “Setelah kembali dari Kongo, saya tidak langsung ditugaskan, tetapi tetap istirahat di rumah. Saya tidak bekerja, gaji kecil, sedangkan harga barang sangat mahal,” kenang Kemal dalam otobiografinya Kemal Idris: Bertarung dalam Revolusi. Menurut Kemal, penugasannya ke Kongo adalah sekadar usaha untuk menyenangkan dirinya. Dalam catatan Markas Besar Angkatan Darat, Kemal punya reputasi kurang baik. Dia termasuk perwira yang tidak disukai, khususnya oleh Presiden Sukarno. Kemal pernah mengarahkan moncong meriam ke arah Istana Negara saat terjadi Peristiwa 17 Oktober 1952. Akibatnya, karier militer Kemal macet. Untuk kenaikan jabatan, namanya tergolong perwira yang kurang diperhitungkan. Terlilit hidup sulit karena gaji kecil bikin Kemal gelap mata. Agar dapur rumahnya tetap ngebul, Kemal nekat mencari tambahan pundi-pundi dengan main judi. Kemal menyelenggarakan perjudian di rumahnya sehingga dapat uang tong –uang tarikan yang diberikan kepada tuan rumah. Kalau lagi menang judi, Kemal menyetorkan setengahnya kepada sang istri, Winoer Idris. Lambat laun, persoalan ekonomi, perkara kalah-menang main judi bikin emosi Kemal tidak stabil. Kemal sering naik pitam dan membentak anaknya yang masih duduk di bangku SMP. Perubahan perilaku Kemal jadi perhatian istrinya. Sekali waktu, Kemal dipanggil oleh istrinya dan kemudian terjadilah perbincangan. “Perlu kamu ketahui, keadaan yang hadapi sekarang merupakan konsekuensi sikap kamu,” kata Winoer kepada Kemal. Pernyataan itu dilanjutkan dengan ultimatum: “Kalau kamu tidak tahan dengan keadaan seperti ini, segera pergilah ke Istana. Temui Sukarno. Jilati pantatnya bersih-bersih. Setelah itu pasti hidup kita akan baik. Kalau ternyata hal itu kamu lakukan, saya tidak akan respek pada kamu seumur hidup,” demikian pesan istri Kemal. Betapa tertegun Kemal mendengar curahan hati sang istri. Kemal menyadari kekeliruannya. Dia pun insaf dan berjanji menghentikan kegemaran berjudi. Kemal ingin hijrah dan mencari kesibukan baru. Kemal sempat terpikir untuk berkuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Untuk menambah biaya rumah tangga, istrinya ikutan banting tulang menjual koran atau botol bekas kepada tukang loak yang melintas di depan rumah.         “Akhirnya mata saya terbuka melihat kenyataan yang ada di sekeliling saya. Ini membangkitkan semangat baru dalam hidup saya,” tutur Kemal.   Belum sempat Kemal berkuliah, datanglah Kolonel Suwardoyo, asisten personel Kostrad. Suwardoyo merupakan utusan Panglima Kostrad Mayjen Soeharto. Suwardoyo menyampaikan pesan Soeharto yang mengajak Kemal bergabung ke Kostrad. Kehadiran Kemal dibutuhkan sebagai pengganti Brigjen Rukman, wakil Soeharto sebelumnya. "Soeharto tahu riwayat hidup Kemal, seorang pejuang berwatak pemberang, berpendirian tegas, dan tidak kenal kompromi," tulis Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto. Pada 1964, Kemal mendampingi Soeharto sebagai Kepala Staf Kostrad. Pangkatnya naik lagi jadi brigjen. Selama di Kostrad, karier militer Kemal mulai menanjak. Kemal terlibat dalam Operasi Dwikora “Ganyang Malaysia” dengan wilayah komando operasi di Sumatra. Kemal juga berperan dalam “Operasi Khusus (Opsus)” yang berujung pada penyelesaian sengketa Indonesia dan Malaysia. Tidak hanya di medan tempur, Kemal turut “bermain” di gelanggang politik. Kemal menyokong dan melindungi gerakan mahasiswa yang getol berdemonstrasi menuntut Sukarno lengser. Kemal pula yang mengirimkan pasukan liar saat Sukarno menyelenggarakan sidang kabinet pada 11 Maret 1966. Puncaknya, Kemal naik menjadi panglima di Kostrad dan membantu Soeharto naik ke tampuk kekuasaan. Menurut Salim Said, Kemal Idris adalah king maker  (orang di balik layar) terpenting dalam masa peralihan menuju rezim Orde Baru. “Beliau memimpin Kostrad sebagai King Maker  senior yang berhasil menyingkirkan Sukarno dan menaikan Soeharto,” tulis Salim Said.*

  • Saat Maria Ullfah Bebaskan Tawanan Perang

    KETIKA Sutan Sjahrir membentuk kabinet keduanya pada Maret 1946, Maria Ullfah diminta masuk dalam jajaran kabinet sebagai menteri sosial. Ajakan Sjahrir sempat membuat Maria bingung. Ada banyak masalah sosial pasca-proklamasi, namun Maria tak tahu mana yang harus diselesaikan lebih dulu. Ia pun ragu menerima permintaan Sjahrir. “Saya juga tidak pernah jadi perdana menteri, kamu yang sering memperlihatkan keberanian mestinya mau (menjadi menteri sosial, red. ),” kata Sjahrir membujuk Maria. Pada akhirnya, Maria menerima permintaan itu. Dorongan untuk memperlihatkan pada dunia kalau Indonesia bukan negara buatan Jepang seperti anggapan Belanda berperan penting dalam keputusan Maria. “Karena kalau di Jepang itu wanita tidak punya kedudukan yang sama dengan pria. Di sini saya perlihatkan kalau wanita Indonesia juga bisa menjadi menteri,” kata Maria pada Dewi Fortuna Anwar dalam wawancara yang diterbitkan Arsip Nasional. Langkah pertama yang dilakukan Maria Ullfah ialah mengeluarkan wanita-wanita Eropa dari kamp tawanan perang. Reggie Baay dalam Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda  menyebut orang Eropa dan Indo itu ditangkapi oleh tentara pendudukan Jepang dan dimasukkan ke kamp tawanan, salah satunya di Cideng, Jakarta Pusat. Setelah proklamasi kemerdekaan, sebagian tawanan itu belum dibebaskan. Perdana Menteri Sjahrir membuat kesepakatan dengan Inggris untuk meredam pertumpahan darah antara pihak pro-republik dan pro-Belanda. Pihak Belanda, yang membonceng Inggris, ngotot menolak perundingan dan tidak mengakui kemerdekaan Indoensia. Bagi Belanda, proklamasi kemerdekaan adalah produk Jepang, hal yang ditolak oleh pejuang kemerdekaan. Untuk meredam kekacauan, Sjahrir dan diplomat Inggris Sir Archibald Clark Kerr sepakat dengan keputusan Indonesia mengeluarkan tawanan perang. Itulah tugas pertama Maria: mengurusi tawanan wanita sebagai bagian dari diplomasi. Untuk itu, Maria banyak berhubungan dengan Kerr selaku penengah. Selain itu, Maria juga dibantu Panitia Urusan Pemulangan Jepang dan Allied Prisoner War Interneese. Pada April 1946, Maria dan Sjahrir bertemu Kerr dalam sebuah perjamuan di geladak kapal Norfilk . Maria ditugaskan menjadi perantara antara tawanan kamp dengan otoritas Sekutu. Setelah bertemu pihak Indoensia, Kerr bertemu dengan pihak Belanda. Dengan begitu, Belanda tidak punya alasan untuk menolak perundingan. Semua ini  merupakan taktik Sjahrir untuk meredam konflik Indonesia-Belanda. Maria langsung mengunjungi kamp-kamp dan melihat kebutuhan para tawanan perang. Mayoritas tawanan kekurangan pakaian, makanan, dan susu anak. “Waktu mereka lihat menteri sosialnya seorang wanita, ada perempuan Eropa yang menghampiri saya. Ia berbisik minta bedak dan lipstick,” kata Maria. Permintaan itu kemudian diteruskan ke headquarters  Sekutu di Jakarta selaku penanggung jawab semua kebutuhan tawanan. Sekutu lalu mengirimkan semua kebutuhan itu lewat Maria selaku perantara. Dalam misi ini, Maria bertugas sebagai tim diplomasi untuk kemanusiaan. Selain menyalurkan kebutuhan, Maria juga menyertai perempuan-perempuan Belanda dan Prancis naik kereta api sampai di titik pertemuan sebelum kembali ke negara masing-masing. Sebagai imbalannya, Inggris mengizinkan pemerintah Indonesia menumpang pesawatnya untuk berhubungan dengan pemerintahan di Sumatera. Pada April 1947, Maria datang ke Padang bersama Menteri Dalam Negeri Mohammad Roem, Mr. Sumarman, Menteri Pekerjaan Umum Ir. Putuhena dan Sjafrudin Prawiranegara menggunakan pesawat pembom Inggris. Di sana, Maria menginap di rumah dokter perempuan pertama Marie Thomas yang menikah dengan dokter Yusuf. Setelah kunjungan itu, perundingan lanjutan dengan Belanda diagendakan namun ternyata tidak berhasil. Buntutnya, Sjahrir meletakan jabatan pada Juni 1947 dan kabinetnya resmi bubar pada 3 Juli 1947. “Perundingan tidak berhasil karena pertengkaran golongan antara kita, diplomasi Sjahrir dipandang terlalu lunak,” kata Maria.*

  • Kisah Luciano Leandro Adu Nasib Lintas Benua

    DARI Brasil untuk berhasil. Motto itu masih tertanam dalam hati Luciano Leandro, mantan bintang Persija dan PSM Makassar asal Brasil. Meski kini sudah berganti profesi menjadi pelatih, motto itu masih dipegangnya erat-erat menjadi “ruh” guna mewujudkan ambisinya. Pun begitu, ia tetap rendah hati dan selalu bersahabat. Sapaan lebih dulu terlontar darinya ketika ditemui Historia . Hampir setiap kalimat ia buka dengan kata friend  alias teman. Dengan bahasa Indonesia yang kadang masih terbolak-balik strukturnya, ia berkisah banyak tentang kariernya pasca-dipecat Persipura pada Juli 2019. Luci, begitu ia biasa disapa, masih optimis berkarier di klub lain untuk musim depan. “Ya, setelah Juli lalu habis dari Persipura ada tawaran lagi (dari) dua klub. Ada dari tim Liga 1 dan Liga 2. Tapi kita tidak bisa sebut dulu timnya, friend . Kita tunggu saja. Mudah-mudahan Tuhan tentukan tempat yang lebih bagus,” ujarnya kepada Historia dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata. Merantau ke Belahan Bumi Lain Jejak Luci di persepakbolaan Indonesia dimulai pada 1995 bersama PSM Makassar. Di klub kebanggaan Kota Makassar itu kebintangannya mulai dipoles. Meski gelar juara Liga Indonesia VII baru dicicipinya musim 2001, Luci tercatat jadi salah satu legiun asing tersukses yang dicintai publik sepakbola tanah air, di Makassar maupun Jakarta. Luciano Gomes Leandro lahir di Macaé, Rio de Janeiro, 1 Februari 1966. Anak keempat dari lima bersaudara hasil perkawinan Cecilio Leandro dan Luci dos Santos Gomes itu suka sepakbola lantaran melihat salah satu kakaknya yang jadi pemain profesional. Luciano Gomes Leandro berkisah masa mudanya di Brasil sebelum merantau ke Indonesia (Foto: Fernando Randy/HISTORIA) Laiknya anak-anak Brasil yang nyaris sudah pasti akrab dengan sepakbola, Luci sudah sering jadi andalan tim sekolahnya di berbagai kejuaraan. “Sejak anak (kecil) saya awalnya main bek kanan. Tapi kemudian saya masa remaja pilih gelandang serang seperti Zico,” kata Luci mengenang. Suatu hari, bakatnya diminati klub Seri C Brasil Goytacaz FC. Di klub itulah kariernya dirintis. Seiring makin berkibar namanya, kariernya tak hanya dihabiskan di satu tempat. Luci malang melintang di klub-klub kasta bawah macam Macaé Esporte FC, Valério Esporte Clube, hingga Bangu Atlético Clube yang jadi klub terakhirnya pada 1995 sebelum merantau ke Indonesia. “Di Valério itu saya sempat main bersama Jacksen (F. Tiago, legiun asing Liga Indonesia kompatriot Luciano) tapi tidak lama. Lalu saat saya masih bermain untuk Bangu, ada agen yang memantau saya,” tuturnya. Adalah Angel Ionita, agen bola ternama dari International Sport Association yang bermarkas di Swiss, yang kepincut Luci. Ionita acap mendatangkan pemain asing dari berbagai benua ke persepakbolaan Indonesia. Sebelum memboyong Luci, ia sudah membawa Jacksen F. Tiago bersama enam jogador (pemain) dari Brasil lain pada 1994. Ditipu Agen Sebagaimana Jacksen, Luci diiming-imingi banyak hal oleh Ionita untuk mau berkiprah di Liga Indonesia. Luci bimbang. Jangankan liganya, Indonesia kala itu sama sekali tak dikenal Luci. Di mana letak negeri itu pada peta, Luci tak tahu. Namun, Luci akhirnya mendapat dukungan penuh keluarga. “Papa saya bilang, Luci, jangan takut gagal. Kalau kamu gagal, kami di sini siap menyambut kamu pulang,” sambung Luci. Dorongan orangtua membulatkan tekadnya untuk menerima ajakan Ionita. Namun sebenarnya Luci kena tipu. Seperti halnya Jacksen, Luci mulanya dijanjikan untuk main di Malaysia. Kepada Koran Tempo , 2 Maret 2005, Jacksen berkisah, ia dan keenam kompatriotnya juga mulanya dijanjikan main di Malaysia. “Tapi saya memilih tetap bertahan. Lagipula nanggung kalau kembali ke Brasil. Dicoba dulu. Kalau tak cocok nanti bisa pulang,” kata Jacksen yang lebih muda dua tahun dari Luci. Luci pun saat itu memilih bertahan di Indonesia. Salah satu faktor yang membuatnya bertahan adalah pantai. Indonesia sebagai negara kepulauan punya banyak pantai nan mempesona, tak kalah dari Brasil. Sejak muda, Luci paling getol main ke pantai. “Di Jakarta, kita seperti barang dagangan. Jadi kita (pemain-pemain bawaan Ionita) dikumpulkan di Hotel Kempinski (Hotel Indonesia) ke hadapan bos-bos klub. Saya dimaui (diinginkan) Nurdin Halid. Jadilah klub pertama saya PSM Makassar,” Luci mengenang. Di Indonesia, Luciano Gomes Leandro mengukir kebintangan bersama PSM Makassar dan Persija Jakarta (Foto: Instagram @lucianogomesleandro) Kontraknya pun diurus Ionita. Di situlah kejengkelan kedua Luci datang. Ia merasa dikerjai Ionita soal kontrak yang tak sesuai dengan yang dijanjikannya sewaktu masih di Brasil. “Waktu itu tidak fair . Waktu di Brasil dia janji sesuatu tapi ketika datang ke Indonesia, dia tidak ikuti apa mereka janji kita sesuatu. Kita dijanjikan kalau sign dengan klub akan langsung dikasih 25 persen dari total nilai kontrak. Tapi ketika sudah di sini (Indonesia), tidak ada itu uang di muka. Itu pasti mereka yang ambil,” Luci mengisahkan sambil mendongkol atas keingkaran Ionita itu. Namun, Luci masih bertahan. Selain karena ia hobi main ke pantai, ia masih pegang tekad untuk berhasil di Indonesia. “Saya tetap di sini usaha untuk bisa (main) lebih bagus. Tahun berikutnya agar bisa sign kontrak lebih bagus. Memang banyak pemain bermasalah Ionita bawa ke sini. Ada Maboang Kessack, Roger Milla, ada banyak pemain Brasil lain yang tidak mau saya sebutkan namanya,” tandas Luci.

  • Hasto dan Budiman Punya Gen Samaritan

    PROYEK DNA Historia mengajak delapan orang figur publik untuk ikut serta dalam tes DNA. Dua di antaranya politisi PDI Perjuangan: Hasto Kristiyanto dan Budiman Sudjatmiko. Hasilnya, sebagian besar DNA moyangnya berasal dari Asia Timur. Yang menarik, keduanya memiliki jejak moyang Timur Tengah, yaitu Semitik yang kemungkinan besar dari orang-orang Samaria (kini di Palestina). “Saya tidak kaget. Sejak awal saya meyakini bahwa Nusantara adalah titik temu dari berbagai ras, etnis, dan peradaban dunia. Sehingga kita tidak bisa mengatakan diri kita asli. Inilah kita semua, perpaduan dari berbagai etnis dunia,” kata Hasto Kristiyanto dalam pembukaan pameran ASOI (Asal Usul Orang Indonesia) di Museum Nasional, Jakarta Pusat, Selasa, 15 Oktober 2019. Sementara Budiman Sudjatmiko merasa terkejut memiliki DNA dari Samaritan. “Saya terkejut, kok, satu partai sama-sama turunan, kalau dalam Alkitab, Yesus menyebut The good Samaritan , yaitu orang Samaria yang baik. Orang Samaria yang menolong sesamanya tanpa melihat asal usul dan agamanya, dan kelihatannya cocok dengan ideologi kita, Bung Hasto,…Marhaenisme,” kata Budiman sambil tertawa. Menurut Akhmad Sahal, kandidat doktor University of Pennsylvania, tulisan ini cukup menjelaskan, setidaknya sebagai pengantar tentang Samaritan. Tapi yang menjadi pertanyaan bagaimana Samaritan bisa “nyelonong” ke manusia Indonesia. “Samaritan memang punya pertautan dengan Yahudi, tapi sebagian besar silsilah Yahudi itu bukan Samaritan. Apakah penyebutan Samaritan untuk DNA yang nyelonong ke orang Indonesia tersebut memang Samaritan, atau Yahudi? Saya kok cenderung percaya itu Yahudi, gak  spesifik Samaritan. Tapi kan kalau disebut Yahudi takutnya kontroversial,” kata Sahal kepada Historia . Siapakah Orang Samaritan? Pada zaman kuno, bangsa Yahudi terbagi menjadi Kerajaan Israel di Utara dan Kerajaan Yudea di Selatan. Pada 722 SM, Kerajaan Utara ditaklukkan Kerajaan Assyria. “Sepuluh suku di bagian utara Israel diusir, dipaksa untuk bergabung dan, dengan dasar agama dimusnahkan. Kesepuluh suku yang hilang itu selamanya lenyap dari sejarah,” tulis Karen Armstrong dalam Perang Suci dari Perang Salib hingga Perang Teluk . Orang Yahudi yang menetap bercampur dengan orang-orang Assyria. Kaum campuran inilah yang menjadi orang Samaritan. Menurut Steve Olson dalam Mapping Human History: Gen, Ras, dan Asal Usul Manusia , orang Samaritan memiliki Kitab Taurat yang sampai sekarang masih ditulis dalam salah satu alfabet Semitik kuno. Mereka menjalankan ajaran-ajaran kitab itu sebelum jatuhnya Kerajaan Yehuda di Selatan ke tangan Kerajaan Babilonia pada 587 SM. “Akan tetapi, ketika kaum Yehuda mulai kembali ke Israel dari pengasingannya di Babilonia, mereka tidak pernah menerima orang Samaritan sebagai kaum Yahudi dan menolak tawaran untuk bersatu dengan orang Samaritan. Sejak saat itu, dua tradisi Yahudi ini berjalan sendiri-sendiri dengan sejumlah persamaan dan perbedaan,” tulis Steve Olson. Yonky Karman, pendeta dan pengajar Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, menyebutkan bahwa meski orang Samaritan menganut agama Yahudi, tetapi orang Yahudi menganggap agama Yahudi yang dianut mereka tidak murni lagi. Permusuhan antara orang Yahudi dan orang Samaritan meruncing ketika orang Samaritan mendirikan Bait Allah sendiri di Gunung Gerizim. Sedangkan orang Yahudi memiliki tempat suci di Yerusalem. “Di antara kelompok di luar Yahudi yang tidak dianggap sesama, mungkin orang Samaria yang paling tidak disukai oleh orang Yahudi,” tulis Yonky Karman dalam Merentang Sejarah, Memaknai Kemandirian: Menjadi Gereja Bagi Sesama. Kendati demikian, Steve Olson mencatat bahwa salah satu persamaan antara orang Yahudi dan orang Samaritan adalah sama-sama pernah mengalami sejarah penyiksaan. Komunitas-komunitas Samaritan yang hidup di bawah Kerajaan Romawi mengalami penganiayaan secara kejam. Sementara itu, komunitas-komunitas Samaritan di Syiria dan Mesir telah punah, dan pada akhir abad ke-19, jumlah total orang Samaritan hanya 150 orang. Pada abad ke-21, lanjut Steve Olson, komunitas Samaritan mulai tumbuh lagi. Jumlah mereka sekarang lebih dari 600 orang. Setengahnya tinggal di Kota Holon di luar Tel Aviv, sedangkan setengahnya lagi di Bukit Gerizim. Orang Samaritan terkenal paling ketat dalam perkawinan seiman. Mereka menjaga tradisi itu selama lebih dari 2.000 tahun. Kini mereka memiliki lima garis keturunan lelaki, dua di Bukit Gerizim, dua di Holon, dan satu lagi berada di antara kedua komunitas. Bagaimana dengan orang Samaritan yang berdiaspora? Situs   Mashfeht Baanee Yaashaaron  menyebut orang Samaritan melarikan diri dari penindasan dan perang ke Italia dan Kroasia pada awal abad ke-6. Orang Samaritan bermigrasi ke Amerika pada abad ke-19. Menariknya, ada yang ke Indonesia pada abad ke-21, yaitu Yaqob bar-Karoza yang tinggal bersama istri dan anaknya di Surabaya. Dalam wawancara dengan minanews.net , Yaqob menyebut jumlah Samaritan sekarang kurang dari seribu orang di seluruh dunia. The Good Samaritan Di awal tulisan, Budiman Sudjatmiko menyebut The good Samaritan . Seperti apa kisahnya? Yonky mengisahkan bahwa dalam kitab Alkitab, Yesus bercerita tentang seorang Yahudi yang dalam perjalanan dari Yerusalem menuju Yerikho menjadi korban perampokan dengan kekerasan. Ia tergeletak di pinggir jalan dalam keadaan tak berdaya. Kemudian lewat seorang imam dan seorang Lewi. Keduanya orang Yahudi yang tergolong rohaniawan. Imam adalah orang yang memimpin ibadah dan upacara kurban di Bait Allah Yerusalem. Sedangkan orang Lewi yang membantu imam bertanggung jawab atas musik dalam ibadah dan keamanan bangunan-bangunan di kompleks Bait Allah. Imam dan orang Lewi itu melihat orang yang tergeletak di pinggir jalan dalam keadaan mengenaskan. Bukannya berhenti menolongnya, mereka malah menempuh jalan lain. Sebagai manusia, mereka mungkin simpati pada korban. Namun, mereka tidak mau repot dan ingin menghindari masalah yang mungkin akan timbul. Kemudian lewatlah orang Samaritan yang paling tidak disukai oleh orang Yahudi. “Nyatanya, ia memberi pertolongan. Simpati yang dimiliki imam dan orang Lewi berhenti sebagai simpati," tulis Yonky. "Namun, simpati orang Samaria melahirkan aksi. Simpati memang baik, nasihat juga baik. Yang terbaik tentu saja pertolongan konkret." Orang Samaritan itu menolong seadanya: mencuci luka orang Yahudi itu dengan anggur dan minyak, membalut lukanya, dan membawanya ke penginapan untuk dirawat lebih lanjut. Setiba di penginapan, ia masih merawatnya dan menginap semalam. Ia pergi meninggalkan korban karena ada urusan yang harus diselesaikan. Namun, ia sempat menitipkan sejumlah uang kepada pemilik penginapan sebagai biaya untuk merawat korban selama ia pergi. Setelah urusannya selesai, ia berjanji akan kembali dan membayar segala kekurangannya. “Orang Samaria dalam cerita Yesus telah berhasil menjadi sesama bagi orang yang memerlukan uluran tangan,” tulis Yonky. “Ia telah menjadi sesama bagi orang yang malang itu, sedangkan imam dan orang Lewi belum menjadi sesama kendati kesamaan etnis dan agama.” Setiap orang bisa menjadi The good Samaritan  dengan berempati, bersimpati, dan yang lebih penting beraksi untuk kebaikan.*

  • Ketika Bendera Belanda Terkoyak

    GEDUNG tua di mulut Jalan Braga, Bandung itu masih  berdiri dengan gagahnya. Gaya arsitekturnya yang bercorak art deco masih berwujud tegas dan tak lekang dimakan zaman. Pada ujung masa pemerintah Hindia Belanda, di sinilah Bank DENISH (De Erste Nederlands Indische Spaarkas en Hypotheekbank) memutar roda bisnisnya sehari-hari. Saat ini, bekas gedung DENISH dipergunakan untuk kantor Bank Jawa Barat Banten (BJBB). Kendati sudah berumur lumayan tua, namun pesonanya masih terpancarkan. Itu dibuktikan dengan masih banyaknya orang yang mengunjunginya. “Terutama para pegiat sejarah kota Bandung,” ujar Hasan Sobirin, koordinator Historical Trip Bandung. Namun tak banyak orang tahu, Gedung DENISH memiliki kisah sendiri dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.  Beberapa bulan usai proklamasi Indonesia dikumandangkan, di sinilah tempat-nya para pemuda Bandung memamerkan semangat nasionalisme-nya dalam menghadapi kolonialisme Belanda di Indonesia. “Hari ini orang sudah mulai lupa dan hanya mengetahui bahwa perobekan bendera Belanda hanya terjadi di Hotel Yamato, Surabaya saja,” ujar R.H. Eddie Soekardi, pelaku sejarah sekaligus veteran pejuang Perang Kemerdekaan di Jawa Barat. Akhir November 1945. Hari belum beranjak siang ketika bendera berwarna merah putih biru dikibarkan secara provokatif oleh sekelompok orang Belanda di puncak Gedung DENISH. Aksi itu kontan menggemparkan kota Bandung dan mengundang ratusan pemuda datang dari berbagai pelosok kota untuk datang ke sana.  Mereka kemudian bergerombol di depan gedung karya arsitek Belanda Albert Frederik Aalbers tersebut. “Dengan wajah marah, para pemuda berteriak-teriak menuntut penghuni gedung untuk secepatnya menurunkan Tri Warna,” ujar R.H.Eddie Soekardi dalam buku Hari Juang Siliwangi . Demi menghadapi tuntutan masa pemuda Bandung tersebut, para serdadu Jepang dan Inggris yang berjaga di depan Gedung DENIS malah memperlihatkan sikap menantang. Beberapa di antara mereka, bahkan ada yang menembakkan bedilnya ke udara. Alih-alih menjadi gentar, keberingasan pemuda malah semakin menggila. Bunyi tembakan musuh justru dijadikan isyarat komando untuk menyerbu. Maka terjadilah pertarungan jarak dekat yang begitu brutal. “Beberapa serdadu Jepang menjadi korban, kepala mereka sebagian dipuntir (dipelintir sekaligus dipatahkan),” ujar Mohamad Endang Karmas, salah seorang pelaku sejarah dalam insiden tersebut Mengabaikan ancaman peluru yang bersiliweran dan membahana, para pemuda Bandung malah semakin merangsek dan membentuk formasi tempur pula. Seiring terdengarnya teriakan "siap!" dari berbagai penjuru, sekelompok pemuda dari Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI) dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) bergerak cepat melucuti serdadu-serdadu Jepang dan Inggris yang  bertahan penuh rasa kecut di gerbang utama Gedung DENISH. Sementara itu, di bawah komando Kapten Husein Wangsaatmadja, sekelompok pelajar SLP (setingkat SMP) yang baru tamat Sekolah Kader Militer di Tegallega, masuk ke dalam gedung. Setelah terlibat perkelahian satu lawan satu dengan serdadu-serdadu Belanda, beberapa di antara mereka langsung naik ke menara gedung, di mana Si Tiga Warna berkibar dengan pongah-nya. Para serdadu Inggris yang bermarkas di Hotel Savoy Homan (jaraknya hanya beberapa ratus meter dari Gedung DENISH) tentu saja tak tinggal diam melihat kejadian tersebut. Mereka lantas menghadiahi para pemuda dengan peluru-peluru tajam. Tapi dasar pemuda Bandung, bukannya menjadi takut, mereka malah semakin nekat. Dua pemuda bernama Karmas dan Mulyono berhasil mencapai menara tempat bendera Belanda dikibarkan. Mereka kemudian berusaha menurunkan bendera tersebut. Namun sial, angin terlalu kencang bertiup hingga kabel pengibar menjadi semakin kuat dan liar. Mereka berusaha menjangkau kain bendera namun gagal karena posisinya yang terlampau tinggi. “ Kumaha yeuh, Mul?!” tanya Karmas sedikit panik  karena tembakan dari arah Hotel Savoy Homan terasa semakin gencar. “Coba lagi aja !” jawab Mulyono. Tiba-tiba datang ide di kepala Karmas. Sambil memegang ujung bendera yang saat itu tengah terkulai, Karmas menghunus bayonetnya. Ditopang bahu Mulyono yang ia pijak, Karmas lantas mencabik-cabik bagian warna biru Si Tiga Warna hingga serpihan-serpihan kainnya jatuh dan bertebaran di Jalan Braga. Setelah merasa cukup mengoyak bendera milik musuhnya itu, kedua anak muda itu lantas meneriakkan kata "merdeka" berkali-kali, mereka lantas turun dan langsung menghilang di lorong-lorong Jalan Naripan. Koyaknya bagian warna biru itu,  menyebabkan Si Tiga Warna yang masih berkibar  terlihat sebagai Sang Merah Putih, bendera Republik Indonesia.

  • Pernah Diolok Onta, Gen Arab Najwa Hanya 3,4 Persen

    KENANGAN itu muncul di ingatannya. Nana, sapaan akrab jurnalis Najwa Shihab, kembali teringat candaan teman-teman semasa kanak-kanaknya dulu. Onta, begitulah mereka memanggil Nana yang memang memiliki wajah dan darah Arab. Alih-alih tersinggung dengan olokan itu, putri cendekiawan muslim Quraish Shihab ini, menanggapinya biasa, malah mewajarkannya. “Itu yang kemudian saya rasakan berbeda dengan sekarang. Dulu rasanya santai-santai saja. Dipanggil julukan apapun yang berkaitan dengan orang tua atau garis keturunan, saya merasa hal yang wajar dan biasa, tidak pernah tersinggung, karena tidak pernah dilakukan untuk tujuan menyakiti. Hanya sebatas julukan atau bercanda anak kecil saja. Jadi saya tidak pernah terganggu dengan itu,” kata Nana. Siapapun yang melihat Nana pasti akan berpikir ia berasal dari keturunan Arab murni. Karena secara fisik Nana memang terlihat seperti kebanyakan orang-orang dari wilayah jazirah Arab, terutama bentuk wajahnya. Namun, apakah betul demikian? Historia mencoba menjawabnya. Nana terdaftar sebagai satu dari delapan tokoh publik yang menjadi relawan dalam Proyek DNA Historia. Bersama Ariel Noah dan sutradara Riri Riza, Nana menguji komposisi DNA di dalam tubuhnya dengan menggunakan uji sampel saliva (air liur). Hasilnya sangat mengejutkan. Komposisi DNA Ahli genetika Herawati Sudoyo menjelaskan Nana memiliki latar belakang genetik yang menarik. Karena ada sepuluh fragments (bagian/potongan) DNA yang berasal dari sepuluh moyang berbeda dalam tubuhnya. Paling banyak dan kompleks dibandingkan relawan lainnya. Berturut-turut dari yang paling dominan: 48.54% berasal dari Asia Selatan (Nepal, India, Bangladesh, Tamil); 26.81% dari Afrika Utara (Maroko, Algerian, Aljazair, Berbers); 6.06% dari Afrika (Mozambik); 4.19% dari Asia Timur (Tiongkok); 4.15% dari Diaspora Afrika (Afrika-Amerika); 3.48% dari Timur Tengah (Arab); 2.20% dari Eropa Selatan (Portugis); 1.91% dari Eropa Utara (Dorset); 1.43% dari Diaspora Asia (Asia-Amerika); dan 1.22% dari Diaspora Eropa (Puerto Rico). “Jadi, yang waktu dulu manggil-manggil aku onta   salah. Ternyata Middle Eastern-nya hanya tiga persen saudara-saudara,” kata Nana sambil tertawa. Hasil tes DNA telah membuktikan bahwa darah Arab dalam diri Nana hanya 3.48%, tidak lebih dominan dari darah Asia dan Afrika yang dibawanya. Lalu, bagaimana kita menjelaskan fisik Nana yang jelas terlihat seperti orang Arab? Jika dilihat dari garis keturunan ayah (Quraish Shihab), kata Nana, dirinya memang memiliki darah Arab secara langsung. Kakeknya, Habib Abdurrahman Shihab, adalah putra seorang juru dakwah dan tokoh pendidikan kelahiran Hadramaut, Yaman, bernama Habib Ali bin Abdurrahman Shihab yang hijarah ke Batavia. “Habib Ali kemudian menikah dengan nenek, saya memanggilnya Jidah Salma, kemudian lahirlah Habib Abdurrahman, kemudian Abi (ayah) Quraish Shihab. Jadi, saya tahunya sampai sejauh moyang ( buyut dalam istilah Jawa),” kata Nana. Keterangan Nana itu diperkuat oleh keterangan dalam biografi ayahnya,  M. Quraish Shihab: Cahaya, Cinta, dan Canda karya Mauluddin Anwar, dkk. Disebutkan bahwa Habib Ali telah tinggal di Batavia sejak tahun 1901 untuk membangun lembaga pendidikan Jamiat Khair –lembaga pendidikan modern Islam pertama di tanah air yang awalnya dikhususkan bagi para pemuda Arab– bersama warga keturunan Arab lainnya. Tak hanya dari garis keturunan ayah, darah Arab juga terbentuk dari garis keturunan ibu. Menurut Nana, kakeknya, Habib Ali Asegaf merupakan putra seorang pedagang besar yang juga lahir di Hadramaut. Ia bersama pedagang-pedagang Arab lainnya hijrah dan menetap di Nusantara. Dalam catatan sejarah bangsa ini, keberadaan kaum Hadrami (orang-orang yang berasal dari Hadramaut) telah terekam jauh sebelum Habib Ali tiba di Nusantara. Sebagian besar keturunan Arab yang menetap di Indonesia berasal dari wilayah Hadramaut. Menurut Hikmawan Saefullah, dosen Hubungan Intenasional Universitas Padjadjaran Bandung yang lama meneliti Arab Hadramaut di Indonesia, pada pertengahan abad ke-8 dan ke-9, rezim Ummayah dan Abbasiyah menjadikan kalangan sayyid  target pembunuhan karena ditakutkan menjadi ancaman politik. Karena terus dikejar dan diintimidasi, mereka akhirnya memilih melarikan diri ke luar Yaman, seperti Afrika, Hijaz, Persia, dan India. “Di antara yang melarikan diri ini, ada yang kabur ke wilayah Arabia Selatan, kemudian meneruskan perjalanannya melalui laut hingga ke wilayah Nusantara,” kata Hikmawan, yang juga seorang keturunan Arab Hadramaut, kepada Historia . Linda Boxberger dalam On the Edge of Empire: Hadhramawt, Emigration, and the Indian Ocean 1880s-1930s  menjelaskan bahwa orang-orang Hadrami yang bermigrasi ke Afrika Timur dan India relatif lebih mudah kembali ke tanah airnya ketimbang mereka yang bermigrasi ke daerah yang lebih jauh, seperti Nusantara. Pasalnya, kegiatan pelayaran sebelum adanya kapal uap sangat sulit dan memakan waktu, terutama ketika di tengah perjalanan mereka harus berhenti untuk menunggu angin muson berembus. “Bahkan setelah perjalanan dengan kapal uap lebih mudah, karena alasan keluarga atau bisnis, mereka jarang pulang akibat biaya dan lamanya perjalanan,” tulis Linda. Karenanya, banyak orang Hadrami yang menetap permanen di Nusantara. Di Tengah Keberagaman Setelah melihat hasil tes DNA-nya, Nana sebenarnya tidak terlalu terkejut. Sebelumnya, ia sudah menduga dari mana saja leluhurnya berasal. Seperti gen Asia Selatan, yang baginya wajar karena moyangnya merupakan seorang pedagang besar sehingga sebelum mencapai Nusantara sudah pasti melakukan kontak dengan orang-orang di Gujarat, India. Begitu juga dengan gen Afrika Utara di tubuhnya. Bagi Nana yang pernah tinggal di Mesir, meski tidak ada kaitannya dengan komposisi gen di tubuhnya, wilayah Afrika Utara telah dekat secara emosional dengannya. Satu-satunya yang membuat Nana terkejut adalah persentase gen Arab yang ia miliki hanya 3.4%. Sangat jauh dari dugaan yang selama ini ia atau orang-orang di sekitarnya yakini. Selain itu, gen Puerto Rico juga cukup menarik perhatiannya. Meski tidak tahu mengapa bisa leluhurnya berada di sana, Nana merasa senang karena beragam gen mengalir di dalam dirinya. “Selalu menyenangkan untuk tahu lebih banyak tentang diri sendiri terutama asal-usul kita,” kata Nana. Nana menyadari keberagaman suku di Indonesia merupakan sebuah nilai yang sangat besar. Menurutnya sangat menarik bisa menggambarkan kekayaan Bhineka Tunggal Ika itu lewat tes DNA. Nana berharap kita bisa menunjukkan betapa kayanya negeri ini dari segi perbedaan. “Di tengah begitu banyak perbedaan yang ada di dalam diri kita masing-masing, sesungguhnya ini juga menguatkan bahwa satu hal yang menjadikan kita Indonesia adalah niat bersama untuk menjadikan ini rumah bagi semua. Jadi, dari mana pun kita berasal, dari berapa banyak pun silsilah yang mengalir di darah kita, Indonesia adalah rumah bersama dan Merah Putih jadi tujuan kita sama-sama. Terima kasih Proyek DNA,” tutup Nana.*

  • Grace Natalie Ternyata Punya Gen Afghanistan

    Grace Natalie, mantan jurnalis dan pembaca berita di sejumlah stasiun televisi, mengenang hari pertamanya bekerja sebagai jurnalis. Dia memperoleh perlakuan rasis dari sesama jurnalis. Saat itu dia berada di Cikeas, menunggu Susilo Bambang Yudhoyono memberikan pernyataan kepada pers setelah terpilih menjadi Presiden Indonesia 2004—2009. Grace berwajah oriental. Kulitnya terang. Seorang jurnalis lelaki memperhatikan ini. Dia mendekati Grace dan berbincang sekadarnya. Lalu pernyataan mengganggu keluar dari jurnalis lelaki itu. “Ngapain Lojadi wartawan? Kenapa gakbuka toko aja?” kata jurnalis lelaki, sebagaimana cerita Grace kepada Historia . Ucapan jurnalis lelaki itu berbekas sangat dalam. “Teringat sampai sekarang,” kata Grace. Ucapan itu termasuk stereotip terhadap orang-orang keturunan Tionghoa. Stereotip berarti penilaian orang hanya berpijak pada keyakinan subjektifnya, yaitu pengalamannya semata. “Sebuah stereotip mengenai suku bangsa itu muncul dari pengalaman seseorang atau sejumlah orang yang menjadi anggota sebuah suku bangsa dalam berhubungan dengan para pelaku dari sesuatu suku bangsa tersebut,” terang Parsudi Suparlan, guru besar Antropologi Universitas Indonesia, dalam Hubungan Antar-Suku Bangsa . Stereotip meniadakan pengalaman orang lain terhadap suku bangsa tertentu. Sebaliknya, ia justru menggeneralisasi pengalaman seseorang terhadap suku bangsa tertentu. Ia bersifat sempit, terbatas, jauh dari kebenaran, dekat pada pembenaran atas ketidaktahuan, dan berujung pada rasisme. Masihkah kita percaya pada stereotip? Pekerja Tambang Timah Grace mengatakan dirinya berasal dari Bangka, Timur Sumatra. Tapi dia tak tahu pasti kampung halaman leluhurnya. “ Gak pernah detail, sih , ceritanya. Karena kita, kan , gak mencatat. Jadi paling cerita mama terbatas sampai neneknya,” kata Grace. Dari cerita ibu dan pengalaman bertemu dengan saudara, Grace mengetahui kakek buyut dari pihak ibu sudah lama tinggal di Bangka. Leluhurnya kemudian menikah silang dengan orang tempatan. “Maka saya tak tahu persis siapa saja nenek moyang saya. Sudah campur-campur,” ujar Grace. Grace memperoleh keterangan lain tentang asal-usul buyutnya dari sebuah foto di rumah keluarganya di Bangka. “ Dia tampak dari ker a jaan di China. Datang ke Indonesia. T opinya ber bulu,” lanjut Grace. Menurut sejarawan Myra Sidharta dalam acara “Jejak Langkah Kaum Peranakan Indonesia, Silang Budaya Negri China dan Nusantara”, orang-orang Tionghoa menapak di Bangka pada awal abad ke-18. Kala itu pertambangan timah mulai dibuka. Mereka umumnya tidak membawa istri sehingga menikah dengan orang-orang tempatan. Dari penelusuran literatur tersebut, leluhur Grace kemungkinan termasuk di antara pekerja tambang timah di Bangka. Kemungkinan ini secara tidak langsung telah menggugurkan stereotip si jurnalis lelaki bahwa orang Tionghoa pedagang toko. Untuk memperjelas asal-usul leluhurnya, Grace mengikuti tes DNA garapan historia.id dalam Proyek DNA Asal Usul Orang Indonesia. Hasilnya mengejutkan. Asal-usul leluhur Grace ternyata tak tunggal. Dalam dirinya bukan hanya mengalir darah Tionghoa, melainkan juga Asia Timur secara lebih luas, diaspora Asia (orang-orang Asia yang menyebar ke Amerika Utara), Asia Selatan, dan Afghanistan. Migrasi Afghanistan “GakNyangka. Yang penampakannya kayak saya begini ternyata dulu-dulunya banget ada leluhur Afghanistan,” kata Grace. Persentase kandungan Afghanistan dalam DNA Grace 0,01 persen. Sangat kecil dibandingkan dengan persentase kandungan Asia Timur sebesar 76,92 persen. Tapi kandungan DNA sekecil itu sudah cukup mengukuhkan bahwa asal-usul dan identitas tidak pernah terbentuk secara tunggal dan berdiri sendiri. Afghanistan adalah sebuah negeri dengan sejarah panjang pendudukan aneka bangsa. Mulai pasukan Iskandar Zulkarnain dari Makedonia (sekarang wilayah utara Yunani) pada 330 SM, gerombolan Jenghis Khan asal Mongol pada abad ke-13, tentara Inggris pada abad ke-19, serdadu Uni Soviet pada 1979, dan prajurit Koalisi pimpinan Amerika Serikat pada 2001. Pendudukan orang-orang dari luar Afghanistan itu kerapkali tak berlangsung lama. Suku-suku setempat menggelorakan perlawanan terhadap para penyerang. Beberapa dinasti sempat berdiri di Afghanistan dan mengukuhkan penyebaran agama Islam di wilayah ini sejak abad ke-8. Agama Islam menyebar ke Afghanistan melalui ekspansi orang-orang Arab ke antero negeri di sekitarnya. Suku-suku setempat memiliki tanggapan berbeda terhadap penetrasi Islam di wilayah ini. Sebagian besar menerima, lainnya tetap menolak. Penerimaan suku setempat terhadap kedatangan orang-orang Islam dari negeri Arab diikuti oleh pernikahan silang. Muncul generasi-generasi baru suku-suku setempat. Generasi yang memiliki darah campuran. Pada kesempatan berikutnya, generasi campuran ini keluar dari Afghanistan menuju Asia yang lebih luas, termasuk ke Nusantara, untuk menyebarkan Islam di bawah perintah dinasti setempat. Dan di tempat-tempat baru inilah mereka menikah silang dengan orang-orang tempatan. Arti DNA Migrasi orang-orang dari banyak tempat dan pernikahan silang pada masa lalu dalam rentang waktu yang lama menjelaskan mengapa seseorang memiliki DNA dari beragam ras dan wilayah. Ini pula yang terjadi pada leluhur Grace. Herawati Supolo-Sudoyo, ahli genetika yang meneliti DNA sejumlah orang Indonesia, mengatakan bahwa Grace memiliki DNA orang Brahmin dari India. “Brahmin itu sebenarnya satu suku yang menggunakan kasta ya. Saya kira kita tahu kasta Brahma.” Pengkastaan dalam masyarakat India berlangsung sejak peleburan kebudayaan bangsa Arya dan Dravida di lembah sungai Hindus dan Gangga 3000 tahun lalu. Ini berarti leluhur Grace bisa ditarik ke masa lebih jauh. Termasuk menghubungkannya dengan penyebaran agama Hindu ke Kepulauan Nusantara sejak abad ke-5 M. Melihat keseluruhan hasil tes DNA, Grace kian menyadari tentang keberagaman asal-usul orang Indonesia. Keberagaman itu menguatkan kebanggaannya menjadi bangsa Indonesia. Dia sadar bangsa ini tidak terbentuk atas ikatan darah atau keturunan. “Yang menyatukan kita adalah kesamaan nilai, kesamaan visi, kesamaan cita-cita,” kata Grace. Bersama itu pula, tes DNA menghantam telak stereotip seseorang terhadap suku bangsa tertentu. Jika DNA seseorang memiliki keberagaman asal-usul, bagaimana mungkin seseorang bisa dilabeli secara sederhana dengan identitas tunggal sebagai pedagang ataupun penjaga toko?

  • Tes DNA Buktikan Keragaman Manusia Indonesia

    Pameran Asal Usul Orang Indonesia (ASOI) yang diselenggarakan oleh Historia bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, resmi dibuka oleh Dirjen Kebudayaan, Hilmar Farid, di Museum Nasional, 15 Oktober 2019. Pameran yang hendak memberikan perspektif baru tentang siapa leluhur orang Indonesia ini akan berlangsung hingga 10 November 2019. Pameran ini menampilkan hasil tes DNA sukarelawan seperti Najwa Shihab, Hasto Kristiyanto, Grace Natalie, Budiman Sudjatmiko, Mira Lesmana, Ayu Utami, Riri Riza, dan Ariel Noah, serta hasil tes DNA dari peserta umum terpilih yang mendaftar di microsite Historia yaitu Sultan Syahrir, Esthi Swastika, Irfan Nugraha, Farida Yuniar, Aryatama Nurhasyim, Solikhin, dan Zaenin Natib. Pameran ASOI ini, juga menampilkan peta penyebaran manusia di dunia dan Indonesia, serta sejarah manusia dari sudut pandang arkeologis dan antropologis. Gelombang Migrasi Homo Sapiens telah mengembara selama ratusan ribu tahun dari benua Afrika. Kemudian sekitar 50.000 tahun yang lalu, sampailah gelombang migrasi pertama di kepulauan Nusantara. “Jadi dari 150.000 tahun, 100.000 tahun berjalan mengembara melewati lingkungan yang berbeda. Ada hutan yang lebat sekali, orangnya pasti akan mengecil. Karena untuk mencegah penguapan. Rambut juga mungkin lebih keriting. Jadi semua itu yang menyebabkan kita menjadi berbeda dalam perjalanannya. Beragam, bukan berbeda,” ungkap Prof. Dr. Herawati Supolo Sudoyo, Deputi Penelitian Fundamental Eijkman Institute dalam pembukaan pameran ini. Kepulauan Nusantara menjadi menarik bagi para peneliti genetika karena keberagaman genetika. Lokasi Kepulauan Nusantara yang strategis mengalami empat gelombang migrasi manusia modern. Gelombang pertama yang datang ke Nusantara, berasal dari Afrika secara langsung melewati pantai selatan. “Dekat laut, dekat daratan juga. Jalan aja. Waktu mereka datang ke Nusantara, Kalimantan, Sumatera, dan Jawa masih jadi satu. Lautnya pendek,” kata Herawati. Menurut Herawati, sebagian manusia pada gelombang pertama itu pergi lagi ke satu daratan besar bernama Sahul. Sahul pada zaman itu, atau 50.000 tahun yang lalu, merupakan Papua dan Australia yang sekarang. Gelombang kedua, datang dari mereka yang sebelumnya telah sampai ke Asia daratan. “Ini biasanya pertanyaan. Oh kalau yang gelombang kedua itu mengahabiskan yang pertama ya? Karena perang, kompetisi lahan dan sebagainya. Jawabannya tidak. Karena kita melihat semua DNA yang kita periksa ada campurannya. Jadi itu berarti ada kawin-mawin,” kata Herawati. Gelombang ketiga datang dari Taiwan atau Pulau Formosa. Orang dari Taiwan ini awalnya juga datang dari Asia daratan. Mereka menyebar ke Filipina, Sulawesi, Kalimantan, membawa Bahasa Austronesia. Diaspora Austronesia ini juga sampai ke Madagaskar hingga Pulau Paskah. Sementara itu, gelombang keempat datang melalui jalur perdagangan dan pengenalan keagamaan sekitar tahun 700-1300. Orang-orang dari Eropa, India hingga Timur Tengah masuk melalui pelabuhan-pelabuhan di Nusantara. “Jadi kalau diperiksa itu, teman-teman yang lahir dan besar di Jepara, Rembang, Semarang, Tuban dan sebagainya, campur seperti gado-gado,” ujar Herawati. Gelombang-gelombang migrasi manusia ke Kepulauan Nusantara, kemudian menyebabkan terjadinya pencampuran gen orang Indonesia. Berangkat dari hal itu, menurut Herawati, toleransi bisa dibuktikan dari hasil penelitian genetika. Menolak Intoleransi Melalui tes DNA dalam proyek ini, yang hasilnya menunjukan keberagaman gen, dapat menjadi pengetahuan yang mencerahkan terkait permasalahan‘pribumi’ dan ‘non pribumi’maupun sentimen ras, etnis, serta agama yang belakangan muncul lagi. Perihal itu, Hamid Basyaib, dari Balai Pustaka, yang juga menjadi pembicara, menyebut bahwa etnisitas, yang seringkali memicu intoleransi hanyalah konstruksi sosial. “Etnisitas ini kan yang dipandang paling core . Itu konstruksi sosial. Maka konsekuensinya sikap rasisme misalnya, tidak punya dasar ilmiah sama sekali,” sebutnya. Menurutnya, sumber-sumber konflik terkait etnis merupakan politik belaka dan bahkan bukan agama. Ia mencontohkan sentimen anti-Semit yang semakin massif pasca didirikannya negara Israel. “Sebelum Israel berdiri itu tidak pernah jadi isu besar. Baru setelah Israel berdiri, baru kemudian dikait-kaitkan dengan hal-hal teologis yang lebih mendasar, yang lebih sakral dan sebagainya,” ungkapnya. Di Indonesia, yang menurutnya merupakan melting pot berbagai ras maupun etnis, sebenarnya telah memiliki sikap toleran sejak dulu. “Sekarang masalahnya, apakah benar bangsa ini juga seperti yang tercermin dipermukaan bahwa intoleran. Saya nggak yakin. Saya kira anda sangat terlalu terpengaruh oleh medsos, pada ujaran-ujaran kebencian pada orang yang kebetulan sangat menonjol,” sebutnya. Hamid menekankan agar masyarakat tidak membenarkan atau kesan-kesan intoleransi tersebut. “Kita nggak perlu memperteguh image bahwa terjadi atau muncul sikap intoleransi yang luar biasa akhir-akhir ini, 10 tahun terakhir, 5 tahun terakhir, atau terkait pilpres. Saya kira itu bukan gejala yang permanen,” katanya. Hasto Kristiyanto, Sekjen DPP PDI Perjuangan yang juga merupakan sukarelawan proyek DNA ini menyebut bahwa hasil penelitian DNA dapat membuktikan bahwa manusia Indonesia terbentuk dari pembauran multietnis dan tidak ada yang bisa mengklaim paling asli Indonesia. “Realitas uji coba DNA tersebut semakin mengukuhkan prinsip kebangsaan dan moto Bhinneka Tunggal Ika sebagai realitas yang hidup, menjadi nilai, dan kesadaran bahwa Indonesia adalah satu kesatuan bangsa yang berkesadaran dan berkehendak menyatukan diri dalam satu kesatuan wilayah Nusantara. Heterogenitas inilah yang menjadi alasan mengapa sila persatuan Indonesia begitu relevan,” sebutnya.

  • Membaca Ulang Abduh Aziz

    Pada 30 Juni 2019 lalu, dunia perfilman Indonesia kehilangan sosok Muhammad Abduh Aziz, Direktur Utama Perum Produksi Film Negara (PFN). Pria kelahiran Jakarta, 10 Oktober 1967 itu meninggal dunia karena serangan jantung, meninggalkan istri dan tiga anak. Bertepatan dengan hari ulang tahunnya yang ke-52, buku Film dan Kebudayaan: Esai-Esai M. Abduh Aziz diluncurkan 10 Oktober 2019, bersama rangkaian Pekan Kebudayaan Nasional 2019 di Istora Senayan, Jakarta. Buku ini merupakan kumpulan tulisan Abduh, yang merekam gagasan dan pemikirannya terkait kebudayaan secara umum dan film secara khusus, yang mana masih relevan dengan dinamika kebudayaan hari ini. Dalam kumpulan ini, terlihat perhatian Abduh terhadap berbagai isu penting seputar kebudayaan, mulai dari RUU Kebudayaan, pers dan agenda kultural hingga persoalan film dokumenter dan film fiksi. Ia juga menyoroti masalah tata kelola pemerintahan di bidang kebudayaan, bayang-bayang Orde Baru dalam film Indonesia hari ini, serta persoalan industri film dan ekonomi. Abduh bukan hanya pemikir tapi juga praktisi yang aktif dalam produksi maupun kegiatan perfilman. Pada 1997, Abduh berkolaborasi dengan Garin Nugroho dalam pembuatan film Daun di Atas Bantal. Baik sebagai produser, penulis naskah, supervisor maupun sutradara, beberapa karyanya antara lain The Rainmaker /Impian Kemarau (2004), Pertaruhan /At Stake (2008), Working Girl (2009), Tjidurian 19 (2009), Atas Nama… (2010), K vs K / Kita Versus Korupsi (2011) dan Sebelum Pagi Terulang Kembali (2014). Abduh juga salah satu orang film yang memiliki perhatian besar terhadap sejarah. Baginya, salah satu hal penting dalam pemajuan kebudayaan ialah pendokumentasian. Dalam hal ini, menurutnya negara tidak memiliki visi yang jelas, terlihat dari kondisi Sinematek yang memprihatinkan. “Kita bisa melihat aliran dana untuk institusi penting ini sangat minim, sikap tidak acuh terhadap peningkatan keahlian pekerja arsip film apalagi mutu layanannya. Sikap terhadap kelalaian arsip film serta upaya konservasi materi sejarah film Indonesia menjadi bukti nyata yang tidak dapat dibantah,” sebut Abduh. Perhatian Abduh pada sejarah juga nampak ketika dia berkolaborasi dengan Lasja F. Susatyo membuat film Tjidurian 19  pada 2009. Film ini merekam testimoni pengalaman beberapa seniman Lekra, yaitu Putu Oka Sukanta, Amarzan Loebis, Amrus Natalsya, Martin Aleida, T. Iskandar AS, Hersri Setiawan, Oei Hay Djoen, S. Anantaguna, dan Jane Luyke.  Menurut Abduh, film ini tidak hendak membicarakan apakah Lekra adalah bagian PKI atau tidak. Bukan pula hendak menjelaskan tentang peristiwa G30S. “Karena menarik buat gue mengetahui pengalaman. Pengalaman person-person ini pada suatu masa dan pada suatu tempat. Dan ini gue pikir mudah-mudahan bisa membantu orang memahami masa itu dengan lebih jernih,” ungkap Abduh dalam wawancara dengan Jurnal Footage yang disertakan dalam buku ini. Sejak mahasiswa, Abduh telah menjadi koordinator periset penulisan sejarah bioskop di Indonesia (1990). Setelah lulus, ia memimpin rumah produksi Gemilang Enam Mitra (GEM), menjadi produser pelaksana film serial televisi Ali Topan Anak Jalanan , manager program SET Foundation & Komunitas TV Publik Indonesia (KTVPI) pada 2002-2003. Ia Menjadi Direktur Eksekutif Cangkir Kopi Mediavisual pada 2003 hingga 2019. Sejak 2016, ia menjadi Direktur Utama Perum PFN. Hilmar Farid, dalam pengantar buku ini, mengatakan bahwa tulisan-tulisan Abduh adalah cerminan kebudayaan yang begitu kompleks, penuh dinamika, dan ironi bagi mereka yang terlibat di dalamnya.  “Di sini Abduh sebagai pemikir dan praktisi adalah bagian dari gerakan sipil untuk memajukan kebudayaan,” sebutnya.

  • Ary Sudarsono si Peluit Emas

    SESEKALI ia ambil jeda untuk menyalakan rokok, Ary Sudarsono bercerita banyak tentang kariernya sebagai pemain bola basket. Sambil diselingi menghembuskan asap dari mulutnya, ia juga mengisahkan olahraga tersebut sempat membawanya ke negeri tetangga sebelah utara Sulawesi: Filipina. Bola Basket sudah mendarah daging buatnya. Olahraga inilah yang dipilihnya sebagai jalan hidup sejak kecil. Meski tak selaras dengan cita-cita, ia enggan lempar handuk. Gagal sebagai pemain, ia cari jalan lain dengan meretas reputasi sebagai pengadil lapangan. Kisah perantauannya ke Filipina bermula dari pertemuannya dengan timnas Filipina di sela jadwal cabang basket putra di SEA Games 1979, Jakarta. “Filipina menjelang semifinal mau latihan enggak ada lapangan. Saya dipanggil sama Perbasi untuk bantu cari lapangan dan mendampingi mereka. Kebetulan saya lagi ngajar juga di Kanisius. Jadilah mereka latihan di Kanisius. Saya juga ikutan latihan bermain,” kata Ary kepada Historia. Melihat cara bermain Ary yang ciamik dan beda dari rata-rata pemain timnas basket Indonesia, pihak San Miguel yang jadi sponsor Filipina saat itu terpesona. Saat itu Ary masih aktif sebagai pemain meski sejak 1978 sudah tak lagi di timnas. Pihak San Miguel langsung menawari Ary untuk bermain di Negeri Pinoy itu. Alih-alih langsung menerima, Ary mendiskusikan tawaran itu dengan sang ayah, Sudarsono Brotomidjojo, terlebih dulu. “Saya bilang, kayaknya saya mau ke luar negeri. Papa enggak sanggup karena enggak punya uang. Tapi saya bilang, ada yang ongkosin. Ya sudah, Bismillah saja. Seminggu setelah penutupan SEA Games, ada telefon dari Kedutaan Filipina bahwa saya juga ditawarkan kuliah di sana,” sambungnya. Ary berangkat merantau ke Filipina pada Januari 1980. Ia diberi kesempatan masuk tim Masagana 99, tim semi-pro yang namanya selaras dengan Program Swadaya Beras Presiden Ferdinand Marcos sejak 1962. Sebagaimana dijanjikan San Miguel, Ary juga diongkosi kuliah di jurusan komunikasi massa University of Santo Tomas. Alhasil, sampai sekarang Ary masih fasih berbicara bahasa Tagalog. “Kalau ketemu orang Filipina, ya gue masih bisa bahasa Tagalog. Belajarnya biar cepat ya pacaran sama cewek Filipina. Mereka kan juga sebenarnya bahasanya ‘Taglish’, Tagalog-English, campur-campur,” ujarnya. Di tim Masagana 99, Ary lebih dulu diberi program latihan khusus sendiri selama tiga bulan. Maklum, masih pemain baru berstatus titipan sponsor. Namun setelah menjalani “orientasi” tiga bulan itu, Ary tak jua diberi kesempatan tampil oleh pelatihnya, Boy Afable. “Ini sudah enam bulan kompetisi, saya enggak pernah main. Saya hanya jadi pemain cadangan ke-12. Saya tanya pelatih bahwa saya mau main. Dikasihlah kesempatan jadi cadangan kesembilan di tim kedua. Tapi dikasih latihan tambahan untuk dilakukan di rumah,” tutur Ary. Ary Sudarsono, bercerita panjang lebar tentang kiprahnya di dunia bola basket Indonesia. (Foto : Fernando Randy/Historia) Sial buat Ary. Ia justru dihantam cedera akibat ulahnya sendiri. Berambisi untuk bisa dimainkan, Ary melakoni program latihan yang diberikan lebih dari porsinya. “Dasar saya geblek. Latihan beban saya hanya boleh 20kg sebenarnya. Saya nyolong-nyolong masuk gym latihan angkat beban 60kg dengan harapan kaki kuat dan makin bisa pegang ring lah. Cederalah saya. Apes banget. Kena penyempitan saraf,” ujarnya sambil menunjuk bagian punggungnya. Di rumahsakit, Ary kena omel sang pelatih. Beruntung biaya pemulihan di- cover  San Miguel. Butuh tiga bulan buat Ary memulihkan kondisi fisik. Tetapi setelah pulih, pihak sponsor melihat “bakat” lain Ary di basket selain jadi pemain, yakni jadi wasit. “Dipanggil sama pihak sponsor. Dibilang, ‘Elu kan punya cita-cita angkat (nama) Indonesia. Kalau jadi pemain sampai tua enggak bakal tim Indonesia juara. Masuk tiga besar Asia aja susah. Elo jadi pelatih juga dihadapkan kenyataan beratnya pembinaan. Satu-satunya jalan kalau mau lihat dunia mengangkat nama Indonesia, belajar jadi wasit’, katanya,” sambung Ary. Beralih jadi Pengadil Lapangan Ary akhirnya melepas asanya jadi pemain top di tahun 1982. Di tahun itu dia memilih ikut kursus wasit di Filipina, hingga mendapat sertifikat internasional (FIBA) atas nama Filipina. Mulai 1983, ia mulai melanglang-buana mewasiti laga-laga basket. Tahun 1985 ia baru pulang ke Tanah Air. “Semenjak itu karier saya bagus di perwasitan. Saya sempat pimpin 12 pertandingan final internasional kurun 1983-1985. Sampai sekarang belum pernah dipecahin (wasit Indonesia lainnya). Ada (final) Willam Jones Cup, ada Pesta Sukan, ada Kejuaraan Asia Putri, ada pra olimpiade,” katanya. Moncernya karier Ary utamanya sejak menerima anugerah “Golden Whistle” dari FIBA Asia pada November 1983, tak lama setelah Kejuaraan Asia di Hong Kong. Dari situlah ia mulai dijuluki “Si Peluit Emas” alias The Golden Whistle. “Akhir 1983 setelah Kejuaraan Asia saya dipanggil Sekjen Asia yang dari Korea (Presiden FIBA Asia Lee Byung-hee, red. ). Dia umumkan penerima ‘The Golden Whistle Award’ tahun ini, dipanggillah nama saya, Mr. Sudarsono Ary from Indonesia. Nangis gue di situ. ‘Indonesia Raya’ berkumandang. Kebayang tampang bapak gue yang setahun sebelumnya meninggal. Dalam hati, bapak saya mesti lihat nih, akhirnya dapat juga (penghargaan internasional),” kenang Ary. Ary Sudarsono, mengenang masa - masa dimana dirinya menjalani peran sebagai wasit basket. (Foto : Fernando Randy/Historia) Ary diakui sebagai wasit yang keputusannya tak pernah bisa ditentang pemain. Itu berlaku baik di Indonesia maupun di mancanegara. “Sampai pernah koran Bangkok Post menulis, ‘Peluit yang muncul dari wasit ini tak pernah diprotes. Punya ilmu apa?’ Saya enggak punya ilmu apa-apa. Hanya saya menyadari bahwa saya wasit top, harus kasih lihat pemain, siapa gue. Dan gue harus tiup tapi dengan senyum. Jadi setiap foul gue tiup tapi dibarengi senyum, jadi pemain enggak protes,” lanjutnya lagi. Dari profesinya itu, Ary mengingat gaji wasit di laga-laga internasional yang paling bikin kantongnya gendut. “Di Indonesia zaman saya kejuaraan resmi Perbasi, per game sekitar Rp100 ribu. Di internasional saya bisa terima USD250 dengan kurs masa itu (1984) Rp3000 per satu dolar. Paling tinggi di William Jones Cup. Saya per game USD400,” papar Ary. Namun, karier sebagai wasit dilakoninya hanya sampai 1985. Pasalnya, Ary pilih menerima awaran beasiswa dari Alabama Sport Academy, Amerika Serikat. Di Negeri Paman Sam itu ia mendalami studi olahraga terkait perwasitan, kepelatihan, dan promosi olahraga hingga 1986. “Kebetulan kontrak saya juga sudah habis sama San Miguel Beer itu akhir Desember 1986. Sempat ditawarkan jadi warga negara Filipina saja. Tapi setelah papa meninggal, rupanya kehidupan ibu harus didampingi karena saya anak tertua,” terangnya. Beruntung beberapa waktu sebelum pulang ke Tanah Air, ia bertemu pengusaha Aburizal Bakrie di sebuah hotel tempat Ary bekerja sambilan sebagai GLO (Guest Liaison Officer) di Manila. Ia ditawarkan pekerjaan hingga sepulangnya ke Indonesia ia tak menganggur. “Seminggu sebelum pulang, saya ketemu tamu-tamu dari Indonesia, termasuk Aburizal Bakrie. Dari obrolan, saya dikasih kartu nama. Sama dia, gue dikasih kerjaan di divisi pipa. Waduh, gue enggak ada background pipa, bingung. Biasa lihat bola, ini disuruh lihat pipa lagi,” cetus Ary. Ary lalu memutuskan untuk menjajal pekerjaan baru itu. Sebelum meninggalkan Filipina, Ary mendapat surprise dari para petinggi Gintong Alay, badan olahraga yang menggenjot program prestasi Filipina. “Waktu saya di Filipina ikut gabung sama yang namanya Gintong Alay. Macam Program Indonesia Emas gitu lah. Yang mimpin anaknya (Ferdinand) Marcos. Waktu saya mau pulang, dipestakan. Farewell party -nya dibikin sama Imee Marcos. Luar biasalah Filipina, punya kenangan banyak di sana,” kata Ary.

bottom of page