top of page

Hasil pencarian

9587 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Kudeta Paman Sam di Vietnam

    HARI ini, 2 November, 56 tahun lalu. Presiden Vietnam Selatan Ngo Dinh Diem dan saudaranya Ngo Dinh Nhu tewas dibunuh sekelompok Tentara Republik Vietnam Selatan (Army of the Republic of Vietnam/ARVN). Pembunuhan itu merupakan kelanjutan dari kudeta yang dilakukan sehari sebelumnya di bawah pimpinan Jenderal Duong Van Minh yang populer disapa Big Minh, penasehat militer Presiden Ngo Dinh Diem. Kudeta di Vietnam Selatan semasa Perang Vietnam tengah berkecamuk itu membuka rangkaian kudeta militer yang kemudian datang silih berganti. Kudeta November itu sendiri dilatari kekecewaan banyak pihak, temasuk Amerika Serikat (AS) yang awalnya merupakan penyokong utama Diem. Sejumlah jenderal teras di ARVN, termasuk Minh, sudah lama kecewa terhadap diktator Diem yang sarat KKN dan diskriminatif terhadap mayoritas umat Budha. Dua upaya penggulingan Diem pun dilakukan militer pada 1960 dan 1962. Namun semua upaya itu gagal dan berujung pada penghukuman terhadap otak pemberontakan-pemberontakan itu. Minh yang sudah kecewa terhadap Diem, membiarkan kedua upaya penggulingan itu meski dia tak terlibat di dalamnya. Akibatnya, dia dicopot dari jabatannya sebagai panglima komando ARVN dan didudukkan Diem sebagai jenderal tanpa komando dengan menjadi penasehat militer presiden. Kekecewaan militer menemukan “jalan” ke arah gerakan setelah memburuknya ketidakpuasan di kalangan mayoritas umat Budha akibat diksriminasi oleh Diem. Sudah bukan rahasia bila Diem menganakemaskan penganut Katolik. Kenaikan pangkat sipil maupun militer dilakukan berdasarkan preferensi agama, di mana Katolik lebih diutamakan dari Buddha. Pemerintah juga memprioritaskan kontrak-kontrak bisnis dengan pemerintahan, bantuan bisnis, keringangan pajak kepada para pemeluk Katolik. Yang paling kentara, prioritas itu membuat gereja Katolik selaku pemilik tanah terbesar di Vietnam Selatan bisa terbesas dari reforma agraria. Pada awal Mei 1963, pemerintah kota Hue, ibukota Vietnam semasa kerajaan, mengizinkan pengibaran bendera agama di gereja-gereja Katolik dalam perayaan ulangtahun Uskup Agung Ngo Dinh Thuc yang juga kakak dari Presiden Diem. Sebaliknya, pemerintah melarang pengibaran bendera tradisional Budha di Pagoda Tu-Dam saat perayaan kelahiran Budha, 8 Mei. Para pemuka Budha setempat pun protes. “Pada 8 Mei, perselisihan yang berlangsung lama meletus menjadi demonstrasi jalanan di Hue ketika umat Buddha menuntut untuk mengibarkan bendera agama mereka. Pemerintah merespons dengan pentungan, gas air mata, dan tembakan, yang menewaskan beberapa demonstran dan penonton, termasuk anak-anak. Beberapa kematian disebabkan oleh tembakan pemerintah; yang lain dari bom, granat yang dilemparkan ke kerumunan, dan kepanikan umum setelah tentara menembak ke kerumunan,” tulis Robert D. Schulzinger dalam A Time for War: United States and Vietnam, 1941-1975 . Kerusuhan dengan sembilan korban jiwa di Hue itu segera menjalar ke Saigon (kini Ho Chi Minh City). “Puncaknya terjadi pada 11 Juni, ketika seorang biksu Buddha berusia 73 tahun, Thich Quang Due, mengubah pemberontakan Budha setempat menjadi krisis internasional dengan menyiramkan bensin ke dirinya sendiri dan membakar dirinya hingga mati di tengah persimpangan Saigon yang sibuk. Dia telah mengingatkan awak pers internasional sebelum mengambil nyawanya agar foto-foto bunuh dirinya direkam dalam film dan disiarkan ke seluruh dunia,” sambung Schulzinger. Saat Minh dan Kepala Staf ARVN Mayjen Tran Van Don menghadiri latihan militer SEATO di Thailand, keduanya diinformasikan tentang besarnya keresehan di tingkat regional terhadap perlakuan diskriminatif Diem kepada umat Buddha. Kabar kerusuhan itupun akhirnya sampai ke Washington. Roger Hilsman, asisten Sekretaris Negara, sampai marah. “Di sini Anda punya negeri berpenduduk 95 persen penganut Budha, dipimpin seorang Vietnam berbahasa Prancis yang menyerang pagoda, membunuh para biarawati, dan membunuh para pemimpin Budha,” ujarnya, dikutip Van Nguyen Duong, mantan perwira AU Vietnam Selatan yang melarikan diri ke AS, dalam The Tragedy of the Vietnam War: A South Vietnamese Officer’s Analysis. Pemerintahan Kennedy yang berada dalam posisi zig-zwang pun mulai mempertimbangkan penggulingan Diem. Sudah sejak September Kennedy memang mulai meninjau ulang dukungannya terhadap diem. Namun, upaya itu belum sampai pada pikiran penggulingan. Retaknya hubungan pemerintahan Kennedy dan Diem itu bermula dari penyerangan pers Saigon terhadap Sekretaris Negara Dean Rusk dan kebijakan AS di Vietnam. Dengan adanya kerusuhan berdarah sejak akhir Oktober, Kennedy mengambil kebijakan lain. “Kerusuhan Buddha atas dugaan penganiayaan agama dan peristiwa-peristiwa yang terjadi selama musim panas 1963 memberi AS motif ‘perlu dan cukup’ untuk melenyapkan Diem dan Nhu. Nhu, terutama, dituduh menggerakkan kepolisian rahasia dan mengarahkan ARVN untuk membunuhi demonstran Budha dan menangkap biksu, biksuni, dan mahasiswa Budha, setelah percikan pertama oposisi Budha yang diadakan di Hue,” sambung Nguyen. Kebijakan baru itu diwujudkan salah satunya dengan menempatkan Henry Cabot Lodge sebagai Duta besar AS untuk Vietnam Selatan, menggantikan Frederic Nolting yang amat dekat dengan Diem. Dengan wewenang amat besar yang diberikan padanya, Lodge terus mengupayakan kebijakan Washington dengan bantuan Letkol Lucien Conein, veteran AD Prancis yang malang-melintang di Vietnam dan pernah bekerja pada Ho Chi Minh. Lewat Lucien, kebijakan baru AS itu bertemu dengan kepentingan para petinggi militer Vietnam Selatan penentang Diem seperti “Big” Minh dan Kepala Staf ARVN Jenderal Tran Van Don. Di bawah arahan Lodge, rapat-rapat rahasia diadakan dengan para jenderal pengomplot. Kesepakatan akhirnya: Diem harus digulingkan. Lodge menujuk “Big” Minh memimpin kudeta itu. Pada 1 November, Istana Gia Long, Saigon dikepung prajurit-prajurit yang setia pada para jenderal pengomplot. Begitu mereka memasuki istana, Diem dan saudaranya tidak ada di sana lantaran sudah melarikan diri ke Cholon. Melalui hubungan telepon, Minh akhirnya membujuk Diem agar kembali ke Saigon dengan imbalan Lodge memberinya penerbangan keluar negeri untuk menyingkir. Pada akhirnya, bujukan Minh itu berwujud lain, yakni perintah terhadap ajudannya untuk menghabisi Diem. “Di jam-jam awal pagi 2 November 1963, presiden Vietnam Selatan Nho Dinh Diem dan saudara lelakinya Ngo Dinh Nhu dibunuh sebagai bagian dari kudeta yang diatur pada hari sebelumnya oleh sejumlah jenderal ARVN. Tiga minggu kemudian, 23 November, Presiden AS John F Kennedy dibunuh di Dallas,” tulis Nguyen.

  • PSM Makassar dalam Anging Sejarah

    IBARAT kapal phinisi yang mengarungi lautan, PSM Makassar ikut terombang-ambing kala kondisi persepakbolaan bangsa sejak era kolonial hingga milenial bergolak. Namun, tempaan gelombang dalam lintasan sejarah panjangnya membuat tim berjuluk “Juku Eja” itu “dewasa” hingga bertahan di jajaran tim-tim elit di tanah air. CEO PSM Makassar Munafri Arifuddin alias Appi tahu betul seperti apa eksistensi PSM bagi masyarakat di Kota Makassar maupun seantero Sulawesi Selatan. Sejak kecil dan bertumbuh di Makassar, menantu bos Bosowa Corp Aksa Mahmud itu sudah gandrung dengan PSM. “Seperti anak-anak Makassar di usia saya, akan sangat bangga mengenal PSM. Enggak ada kebanggaan lain yang kita bawa di kota ini selain PSM,” cetus Appi yang berbincang dengan Historia di ruang VIP Stadion Andi Mattalatta usai menyaksikan timnya menggilas Arema FC, 6-2, dalam laga tunda pekan ke-23 Liga 1, Rabu 16 Oktober 2019 malam. Sejak menakhodai PSM pada 2016, Appi menggulirkan sejumlah gebrakan. Salah satunya, mengganti logo klub. Sejak 1959 atau delapan tahun pasca-pergantian nama dari Makassarsche Voetbalbond (MVB) menjadi Persatuan Sepakbola Makassar (PSM), logo tim itu serupa dengan logo Pemkot Makassar: kapal Phinisi di tengah perisai yang dihiasi motif benteng. Munafri Arifuddin, CEO PSM Makassar (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Pada 15 April 2017, PSM menggunakan logo baru berupa perisai merah warna kebanggaan klub dan kota Makassar dan kapal phinisi dengan background bola sepak. Logo itu penyempurnaan dari 10 karya terbaik sayembara yang dipilih jajaran PT Persaudaraan Sepakbola Makassar (PT PSM), manajemen yang menaungi PSM. “Di tahun kedua saya pegang manajemen, saya beranikan diri mengganti logo. Saya mencoba keluar dari pakem bahwa PSM adalah klub perserikatan,” lanjutnya. Di bagian bawah perisai logo itu dicantumkan tahun berdirinya klub: 1915. Dalam sejarah klub yang dimuat situs resmi PSM, dicantumkan tahun kelahiran PSM adalah 1915. Namun, sejatinya tahun lahirnya PSM masih jadi perdebatan, yakni apakah 1915 atau 1916. Lahir 1915 atau 1916? MVB bukanlah klub tertua di “Kota Anging Mamiri”. Koran Soerabaijasch Handelsblad edisi 17 Juni 1939 memberitakan, tim tertua di Makassar adalah Prosit. Perkumpulan amatir milik orang Belanda itu berdiri sejak 1909. “Kemudian Excelsior usianya 25 tahun dan Vios pada 23 Juni nanti akan merayakan hari jadinya yang ke-23. Bekas klub ‘Jong Ambon’ sudah beruban nama jadi Zwaluwen pada 1932. Tetapi hanya Excelsior dan Vios yang punya lapangan sendiri. Lainnya kemudian menumpang di lapangan Makassarschen Voetbalbond,” demikian berita koran tersebut. Orang-orang Belanda punya banyak klub amatir, seperti Osvia dan PSV. Total ada 15 tim di bawah naungan MVB yang diberitakan koran itu. Namun, tidak hanya orang-orang Indo, Belanda, dan Ambon yang punya klub di sana. Sepakbola di sana juga menyebar di komunitas Arab, Tionghoa, dan bumiputera. Komunitas Arab punya klub Annasar, masyarakat Tionghoa punya Excelsior dan Nam Hwa, dan bumiputera punya Mangoeni, MOS (Maen Oentoek Sport), Celebes Voetbalbond, dan Bintang Prijaji. Versi lain dari suratkabar Makassarsche Courant , 1 Maret 1916 menyebut, MVB lahir tahun 1916, bukan 1915 sebagaimana yang dirujuk klub PSM . “Memang disebutkan klub tertua di Liga Indonesia. Tapi kan masih didebatkan sebenarnya apakah benar 1915?” tutur Sulaeman, media officer PSM. Skuad PSM Makassar tengah berlatih di Stadion Andi Mattalatta/Mattoanging (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Dalam berita suratkabar itu, MVB berdiri pada 27 Februari 1916. Kisahnya berawal dari digelarnya kompetisi lokal berisi belasan klub amatir di atas dari 2 November 1915 sampai Februari 1916. Selepas kompetisi, 12 klub yang berlaga itu duduk bersama dalam sebuah forum yang dipimpin seorang kontrolir, M.L. Hartwig. Mereka sepakat membentuk satu tim besar, MVB, untuk menaungi bond-bond amatir itu, 27 Februari 1916. “Secara aklamasi terpilih M.L. Hartwig (ketua), E. Bouvy (wakil ketua), F. van Bommel (sekretaris/bendahara), J.W.G. Boukers, W.R. Groskamp, O. Thiele, Sagi dan Mangkalan (direksi). Anggota wajib membayar iuran f 2,50 (2,50 gulden) per bulan,” sebut koran itu. Di jajaran petinggi MVB, menariknya terdapat dua nama dari golongan bumiputera: Sagi dan Mangkalan. Sementara Mangkalan sampai kini masih misterius, Sagi tercatat sebagai kapten Bintang Prijaji, tim bumiputera yang turut mendirikan MVB. Situs data RSSSF mencantumkan keterangan serupa. Selepas lempar jangkar, MVB berlayar dengan arah sedikit berbeda dari klub-klub di Pulau Jawa. Di Jawa, lazim terjadi persaingan berbau politik antara klub-klub Belanda, bumiputera, dan Tionghoa. Sementra, MVB justru jadi wadah bagi orang Indo, Belanda, dan bumiputra di Makassar. Meski pada 1929 menginduk ke NIVB sebagai federasi sepakbola bentukan Belanda dan bukan ke PSSI, MVB tetap menggulirkan kompetisi sendiri tanpa gesekan kelas masyarakat. MVB sendiri lebih sering berlaga dalam tur yang lazimnya ke Jawa atau acapkali menjamu klub-klub mancanegara dari Hong Kong hingga Australia. Timnas AFA (Australia) bahkan pernah menjajal MVB kala melawat ke Hindia Belanda pada 2 Juli 1928. Kala itu tim “Negeri Kanguru” itu tengah mencari sparing partner untuk persiapan Olimpiade 1928. MVB kalah 1-2. Andi Ramang (kiri) dan Maulwi Saelan (berkaos putih) dua legenda PSM Makassar (Foto: FIFA/De Preangerbode, 22 Juli 1957) Sebagai klub bentukan Belanda, MVB terpaksa vakum di masa pendudukan Jepang hingga Indonesia merdeka (1942-1945). Pada 1949, MVB muncul lagi di kompetisi Voorwedstrijden di bawah VUVSI/ISNIS, induk sepakbola Belanda yang mulanya NIVB. MVB finis di urutan empat dari lima peserta. Ketika sepakbola Indonesia direorganisasi pada awal 1950, VUVSI/ISNIS bubar. Klub-klub bentukan Belanda otomatis bubar dan sebagian meleburkan diri ke klub bumiputera. Tapi MVB sebagai entitas yang majemuk sejak awal, tetap bertahan. Hanya namanya saja yang berubah pada 1951 menjadi Persatoean Sepakbola Makassar (PSM) demi bisa ikut kompetisi Perserikatan yang operasionalnya bergantung dari APBD. Atribut PSM dari Masa ke Masa Warna merah tak pernah berganti sebagai warna klub sejak dari MVB hingga menjadi PSM. Perubahan signifikan hanya terjadi pada logo klub. Kala baru lahir, MVB berlaga tanpa logo di kostum. Logo bertuliskan MVB baru dibubuhi pada 1926 dan pada 1959 logo dibuat selaras dengan logo Kota Makassar, sebagaimana klub-klub Perserikatan lain. Lalu, di mana homebase MVB? Di masa kolonial, hanya sedikit lapangan sepakbola di Makassar. Lapangan Koningsplein (kini Lapangan Karebosi) dimiliki Excelsior. “Sebelum stadion (Andi Mattalatta) dibangun 1957, PSM mainnya di lapangan dekat sini juga. Itu yang sekarang jadi kantor TVRI Makassar (kini TVRI Sulsel),” terang Ketua Yayasan Olahraga Sulawesi Selatan (YOSS) Andi Karim Beso Manggabarani menunjuk arah sebuah lahan di timur komplek olahraga Gelora Andi Mattalatta-Mattoanging. Ketua YOSS Andi Karim Beso Manggabarani (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Andi Karim juga mengaku tahu di mana lapangan pertama MVB. Ia mendapati kisahnya dari kakek, paman, dan ayahnya yang berkecimpung dalam sepakbola di Makassar sebelum Jepang datang hingga 1945. “Kalau mau bicara PSM, lapangan pertamanya itu di Masjid Raya (Makassar). Itu yang belum pernah orang tahu. Kenapa di sana? Karena di sana ada stasiun keretaapi. Di tempat itu ada lapangan yang berdekatan dengan stasiun yang (keretaapinya) menghubungkan Gowa-Pasar Butung-pelabuhan,” sambungnya. Masjid Raya Makassar berada di Jalan Bulusaurung. Masjid yang baru diresmikan pada 1949 itu rupanya bekas lapangan sepakbola. Kondisinya mirip seperti salah satu stadion di Jakarta. “Seperti Gambir (di Jakarta) saja di masa Belanda. Ada stasiun, di sebelahnya ada lapangan. Tapi orang main bola di situ dibuat juga ajang judi (taruhan). Makanya kemudian setelah merdeka, lapangan itu diubah jadi masjid,” tambahnya. PSM tumbuh jadi klub yang dibanggakan kota Makassar di pentas perdana Perserikatan pascamerdeka itu juga, musim 1951. PSM jadi runner-up di bawah Persibaja Soerabaja (Persebaya) di klasemen akhir. Enam tahun kemudian barulah masyarakat “Kota Daeng” merebut gelar Juara Perserikatan, yang diulangi pada 1959. Stadion Andi Mattalatta-Mattoanging, homebase PSM Makassar (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Di musim 1964-1965 dan 1965-1967, PSM kembali berjaya. Meski tetap jadi salah satu favorit juara di tiap musimnya, PSM butuh waktu lama untuk bisa juara lagi. Gelar ketiga baru mereka gondol di musim 1991-1992 dan gelar keempat, saat sudah berubah format kompetisi menjadi Liga Indonesia di musim 1999-2000 . Lagi-lagi, PSM butuh hampir dua dekade sebelum akhirnya bisa merebut trofi bergengsi trofi bergengsi lagi, yakni Piala Indonesia yang dipetik pada 6 Agustus 2019. Seiring perjalanan panjang itu pula tumbuh basis-basis suporter yang terorganisir mulai 1990. Setelah kelompok Suporter Mappanyukki, menyusul Ikatan Suporter Makassar (ISM) pada 1995 dan yang terbesar adalah kelompok suporter kreatif The Macz Man yang lahir pada 2000. “Inilah tim PSM Makassar. Inilah tim tertua dengan segudang prestasi dan begitu banyak perjalanan yang menorehkan sejarah persepakbolaan Indonesia,” tandas Appi.

  • Pidato Kebudayaan Karlina Supelli: Menuturkan Kisah Korban 1965-66 Lewat Sastra

    DERU truk dan jip memecah kebisuan malam. Kilatan lampu menyelinap ke rumah-rumah yang tanpa penerangan. Kala itu listrik dipadamkan pemerintah sejak pukul enam petang dan baru menyala lagi pukul enam pagi seiring pemberlakuan jam malam. Lepas pukul 6 petang, tak ada lagi anak kecil bermain di halaman. “Seperti kebanyakan anak-anak yang mengalami tahun 1965-66, saya tumbuh dengan bertanya-tanya. Mulai suatu malam, orang tua saya hanya berani berbicara dengan berbisik,” kata Karlina Supelli, dosen STF Driyarkara dan astronom perempuan pertama, dalam pidato kebudayaannya di acara 80 Tahun Putu Oka Sukanta, Rabu (30/10/2019). Karlina menceritakan masa kecilnya yang tumbuh ketika terjadi masa peralihan pasca-Peristiwa 1965. Di masa itu, ia tidak diperbolehkan main di luar setelah jam malam tiba. Sebagai anak kecil, ia jelas tak memahami arti jam malam. “Apakah jam yang hanya berdentang ketika malam?” katanya. Ingatan Karlina pun terbatas pada orang di sekelilingnya. Ia mengingat salah seorang tetangganya yang biasa membeli beras tak pernah tampak lagi. Ingatan-ingatan Karlina semacam ini terpantik ketika membaca karya-karya Putu Oka Sukanta. Putu Oka Sukanta merupakan eks-tahanan politik yang ditangkap tanpa pernah diadili. Pria kelahiran Singaraja, Bali pada 29 Juli 1939 itu ditangkap pada Oktober 1966. Lewat karya sastra ia menuangkan pikiran serta pengalamannya selama 10 tahun ditahan. Setelah bebas, ia mendirikan Lembaga Kreativitas Kemanusiaan (LKK) dan bergabung dengan Koalisi untuk Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK). Karya-karya Putu Oka yang telah diterbitkan ialah Tahun yang Tak Pernah Berakhir (2004) , Memecah Pembisuan (2011) , Sulawesi Bersaksi (2013) , Cahaya Mata Sang Pewaris (2016) , Debur Zaman (2019), dan Taksu Puisi (2019) yang diluncurkan dalam acara tersebut. Dalam Merajut Harkat, ingatan tentang penyiksaan dalam penjara dihadirkannya. Kisah semacam ini, menurut Karlina, mengajak orang untuk menolak dalih kekerasan sebagai efek samping situasi sosial-politik. Lewat karya sastra kesejarahan pula, menurut Karlina, kisah-kisah korban tragedi 1965-66 bisa dituturkan dengan bebas tanpa perlu mengklaim kebenarannya. Ketika sejarah mengalami perumusan terus-menerus hingga mencapai proyeksi yang paling dekat dengan masa lalu, sastra hadir sebagai jalan tengah yang menjalin ingatan dan imajinasi. Sejarawan Bonnie Triyana yang juga menjadi pembicara dalam diskusi buku Debur Zaman pun menyampaikan hal senada dengan Karlina.“Penulisan sastra jadi cara alternatif yang efektif untuk menyampailan informasi sejarah tentang 65,” kata Bonnie. Karlina Supelli. (Fernando Randy/Historia). Sebagai saksi kejahatan negara di masa lalu, pengalaman Putu Oka yang dikisahkan dalam karyanya, bisa dijadikan bahan belajar untuk menerapkan nilai-nilai baru dalam hidup bersama. Dengan menempatkan ingatan ke ruang publik, sastra menjadi langkah pencarian keadilan. Pengalaman pribadi Putu Oka menjadi pengalaman bersama dan menjadi bagian dari sejarah. Penerimaan masayarakat akan ingatan korban sebagai pengalaman bersama, menurut Karlina, berpengaruh pada pemahaman HAM bangsa. Sebelum penerimaan itu terjadi, korban belum diakui sebagai korban. Pemerintah pun sampai hari ini belum mengajukan pengakuan tentang pelanggaran HAM yang terjadi pada 1965-66. “Siapapun yang berhasil mengontrol ingatan, dia yang memutuskan siapa yang layak untuk diingat. Ketika ingatan masuk ke ruang publik, ia menjadi sejarah,” kata Karlina. Politik ingatan inilah yang memungkinkan sejarah menjadi memoria passionis (ingatan dan penderitaan). Kekejaman masa lalu direfleksikan menjadi jalan bagi kemanusiaan. Dengan begitu, sejarah mewariskan pemahaman pada generasi mendatang bahwa kehidupan bangsa memerlukan keberanian warganya untuk mengungkap sejarah yang menyembunyikan cacat. Dari situlah mereka belajar mencegah peristiwa serupa berulang. Hal semacam ini pernah dilakukan walikota dan pemimpin perguruan tinggi di Amerika Serikat. Mereka menyingkirkan patung tokoh-tokoh nasional yang sebelumnya dianggap pahlawan namun kepahlawanannya didapat dari mengepalai perang dan melanggengkan perbudakan. Contohnya, penyingkiran patung Confederate General Robert E Lee di Universitas Texas karena dianggap melambangkan supremasi kulit putih dan neo-Nazi. “Sejarah yang tidak pernah diajarkan kepada kita adalah sejarah yang jujur. Kita pernah perang saudara, berkonflik dengan sesamanya, namun itu sering kali dikaburkan,” kata Bonnie.

  • Menghirup Sejarah Ngelem Aibon

    Suku Dinas Pendidikan Jakarta Barat merencanakan pengadaan lem Aibon untuk 37.500 siswa. Nilainya mencapai Rp82 miliar. Rencana ini termuat dalam laman apbd.jakarta.go.id. Tapi sekarang rencana anggaran itu telah menghilang. Karuan khalayak jadi gaduh. Pejabat dinas pendidikan berupaya menjelaskan pangkal perkaranya. Khalayak bertanya untuk apa lem sebanyak itu. Ada juga meme menyindir Pemerintah Provinsi Jakarta sedang mabok lem Aibon. Lem ini mengandung Lysergic Acid Diethilamide (LSD). Fungsinya sebagai penguat daya rekat dengan bahan-bahan seperti kayu, plastik, tembaga, kulit, dan besi. LSD berbau menyengat. Jika seseorang menghirupnya, dia akan lekas berhalusinasi selama beberapa jam. Efeknya bikin ketagihan. Mirip dengan efek menggunakan narkoba. Tapi harga lem Aibon lebih murah daripada narkoba. Ini penyebab sejumlah orang menyalahgunakan lem Aibon dengan cara menghirupnya dalam-dalam ( volatile substance misuse ). Jejak penyalahgunaan ini bermula sejak 1980-an dan muncul dari kalangan anak-anak jalanan. “Penyalahgunaan zat hirup ( volatile substance misuse ) dapat dikatakan sebagai salah satu acara rekreasional sejak 1980-an,” catat artikel “Anak Jalanan, Seks, dan Ngelem”, termuat di Kompas , 2 September 1998. Kelompok anak jalanan sebenarnya telah terbentuk dari masa resesi ekonomi di Hindia Belanda pada 1930-an. Resesi menyebabkan orang-orang di kota kehilangan pekerjaan. Kebanyakan kaum miskin. Mereka tak punya tabungan untuk masa sulit. Untuk melanjutkan hidup, mereka menggelandang bersama keluarga, termasuk anaknya. Anak-anak itu menghabiskan lebih banyak waktu di jalanan bersama keluarganya. Baik membantu bekerja sebagai pengemis ataupun sekadar mengikuti pergerakan orangtuanya. Ekonomi Hindia berangsur pulih dan resesi berakhir. Tapi anak-anak jalanan terus tersua di kota pada dekade-dekade setelahnya. Sebuah foto koleksi Scott Merrillees, kolektor kartu pos, menangkap momen seorang anak lelaki berusia sekira 6 tahunan tertidur di pinggir Jalan Juanda. Pakaiannya rombeng dan lusuh. “Suatu pemandangan tragis dan mengoyak hati,” komentar Scott dalam Greetings From Jakarta: Postcatrds of a Capital 1900—1950. Memasuki 1960-an, anak-anak jalanan tak mesti selalu bekerja di jalanan bersama orangtuanya. Sebilangan mereka sengaja hidup meninggalkan sekolah dan orangtuanya di desa. Mereka datang ke kota atas ajakan kawan atau saudaranya. “Mulanya untuk berjualan kecil-kecilan, tapi karena mereka tidak tahu caranya berdagang, lebih suka membelanjakan uang tak menentu, akhirnya rugi, dan menjadilah penggosok sepatu,” ungkap Selecta , No 39 Tahun 1960. Kehidupan di jalanan serba tak pasti dan berbeda dari kehidupan normal di rumah. Anak-anak itu membentuk norma dan kebudayaannya sendiri. Mereka telah mengenal dan mencobai banyak hal di luar jangkauan usianya. Ada perkenalan dengan rokok, minuman keras, kata-kata cabul, dan hubungan seksual. “Melihat pergaulan dan pertumbuhan mereka ini kami khawatirkan akan menuju ke arah perkembangan rohani yang tidak baik yang akibatnya nanti bukan hanya mereka yang rugi tapi juga masyarakatnya akan dibuat rugi,” tulis Selecta .   Kekhawatiran itu menjelma kenyataan. Nasib anak-anak jalanan kian kelam pada 1980-an. Mereka menjajal obat-obatan terlarang. Beberapa di antaranya tewas setelah kelebihan dosis. Sebilangan lainnya terjerumus ke dunia kejahatan demi memperoleh obat-obatan terlarang. Anak-anak jalanan begitu kepincut dengan obat-obatan terlarang lantaran bisa melupakan keras dan perihnya hidup di jalanan. Tapi harga obat-obatan terlarang cukup mahal. Anak jalanan membelinya secara patungan. Satu butir seringkali dibagi berempat. Cara memperoleh obat-obatan terlarang juga tak mudah. Harus melalui perantara dan jaringan khusus. Hingga akhirnya mereka menemukan cara lebih murah dan mudah untuk melupakan sejenak penatnya hidup. Mereka ngelem alias menghirup uap lem Aibon. Lem Aibon mulai beredar di Indonesia pada 1974. Jenama ini lesat menjadi lem tertangguh di Indonesia. Para kuli bangunan, produsen sepatu, tas, dan mainan anak-anak menggunakan lem ini untuk membuat produknya. Semua anak-anak jalanan berpendidikan rendah. Tapi sebagian besar tidak buta huruf. Justru mereka mempunyai minat membaca. Banyak dari mereka membaca koran dan majalah di waktu luangnya. Hal ini diungkap oleh Dhevy Setya Wibawa, dalam Anak Jalanan Pun Punya Waktu Luang , tesis pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia, tahun 2000. Koran dan majalah memuat informasi tentang penyalahgunaan bahan-bahan adiktif dalam produk rumah tangga di Inggris. Produknya antara lain bensin, thinner , lem perekat, semir, pewangi, dan pembersih karpet. Semua produk tersebut mengandung bahan solven organik (bahan kimia cair untuk melarutkan bahan kimia lainnya). Ciri khasnya beraroma menusuk dan bisa mempengaruhi kesadaran si penghirupnya. Para remaja di Inggris menggunakan produk itu untuk mabuk-mabukan. “Penelitian ini dilakukan di Inggris tahun 1980,” catat Kompas , 7 Juni 1997. Anak jalanan di Indonesia mengeksplorasi informasi secuil itu. Mereka kemudian bereksperimen dengan produk-produk rumah tangga. Dari sekian banyak produk termaksud, lem Aibon paling memuaskan mereka untuk lari sementara waktu dari stres. Ketangguhan lem Aibon untuk mabuk pun tersebar di kelompok anak jalanan. Penyalahgunaannya meluas dan menembus masa. Perhatian orang tentang anak-anak jalanan di kota-kota besar Indonesia meningkat pada akhir dekade 1980-an. Mereka menjadi bahasan sendiri. Sebelumya mereka selalu disinggung bertalian dengan perilaku menggelandang. Tolok ukur peningkatan perhatian masyarakat terhadap anak-anak jalanan terlihat dari maraknya penelitian buku dan jurnal. Contohnya Penelitian tentang Anak Jalanan: Kondisi, Masalah, dan Penanggulangannya, karya bersama Fakultas Psikologi UI dan Kegiatan Kesejahteraan Sosial DKI Jakarta tahun 1989. Menyusul penelitian tadi, terbit pula tugas akhir mahasiswa tentang anak jalanan. Kisah kehidupan mereka terekam pula dalam ulasan populer di media massa. Tak ketinggalan sutradara Garin Nugroho turut mengangkat kehidupan anak jalanan di Yogyakarta ke layar lebar. Film bioskop itu berjudul Daun di Atas Bantal. Semua terbitan dan karya itu terang menjabarkan aktivitas anak-anak jalanan. Mereka kerja dari pagi sampai malam, lalu menghadapi kekerasan fisik, verbal, dan seksual (sodomi) dari orang dewasa, petugas keamanan, atau sesama anak jalanan. Kasus pembunuhan dan sodomi oleh Robot Gedek terhadap anak-anak jalanan sepanjang 1994-1996 menandakan masalah pelik anak-anak jalanan.  “Ngelem adalah mekanisme mengatasi persoalan bagi anak jalanan. Mereka bisa tetap terjaga, waspada terhadap kekerasan, dan tidur untuk melupakan sakit tubuh dan batin,” catat Kompas , 2 September 1998. Pengakuan langsung dari anak jalanan tak jauh berbeda. “ Ngaibon menghibur hati, bisa ngimpi. Duit gopek (Rp500) dikira goceng (Rp5000)… Pohon kita masukin, kita raba-raba,” kata seorang anak jalanan dalam Anak Jalanan Pun Punya Waktu Luang .   Tapi anak jalanan juga sadar bahwa ngelem merusak tubuh mereka. Bahkan mengancam pula nyawa mereka. “Ngelem enak juga sih dulu. Saya udah nggak doyan lagi. Sakit keluar busa dari mulut. Itu kebanyakan Aibon, jadi saya enggak mau lagi. Sekarang nggak kuat nyium baunya,” ungkap Rudi, seorang anak jalanan, dalam Anak Jalanan Pun Punya Waktu Luang . Penelitian menyimpulkan bahwa zat dalam lem Aibon menyebabkan kerusakan hati, ginjal, otak, dan tulang sum-sum. Peruntukan lem ini sedari awal bukanlah untuk dihirup. Sampai sekarang pun begitu. Peruntukannya hanya untuk merekatkan bahan-bahan tertentu.

  • Membentuk Sekutu Politik

    Pernikahan bisa jadi jalan membentuk persekutuan. Tujuannya untuk mengukuhkan kedudukan, baik sebagai raja maupun penguasa daerah.Perkawinan politis antarkeluarga penguasa tercatat dalam banyak prasasti Jawa Kuno,seperti beberapa prasasti masa Mataram Kuno. Prasasti Mungu Antan (887) menyebut Sang Hadyan Palutungan, selir Sang Dewata ing Pastika atau Rakai Pikatan, raja Mataram Kuno. Ia adalah adik dari Sang Pamgat Munggu. Prasasti Taji (901) menyebut Sri Bharu Dyah Dheta, anak Rakryan I Wungkaltihang Pu Sanggramadhurandhara, menjadi istri Sang Pamgat Dmung Pu Cintya Pu Sanggramadhurandhara yang mempunyai kedudukan rakarayan i wungkaltihang .  “Itu bersinonim dengan rakarayan I halu adalah anak raja yang mempunyai urutan kedua atas takhta setelah putra mahkota atau rakarayan mapatih I hino ,” tulis Titi Surti Nastiti, ahli epigrafi Pusat Penlitian Arkeologi Nasional, dalam  Perempuan Jawa. Lewat Prasasti Cungran II dan Prasasti Geweg diketahui bahwa Mpu Sindok, penguasa Mataram Kuno di Jawa Timur menikahi putri dari Rakryan Bawang. Ia dijadikannya permaisuri bergelar Sri Parameswari Dyah Warddhani Pu Kbi. “Perkawinan politis antara raja atau kerabat dekatnya dengan putri atau kerabat dekat bangsawan yang berada di bawah kekuasaannya bertujuan untuk memperkokoh kedudukannya,” kata Titi. Bahkan untuk tujuan yang sama, kalau memungkinkan perkawinan antar sepupu pun dilakukan. Lumrah terjadi di Jawa. Padahal dalam aturan hukum India tak diperkenankan. Kitab  Manawadharmasastra melarang seorang lelaki menikah dengan perempuan yang masih  sapinda atau ada hubungan tujuh generasi dari pihak ayah dan lima generasi dari pihak ibu dengan si laki-laki. Namun, dalam prasasti maupun naskah Jawa Kuno, sering disebut pernikahan antarsaudara sepupu. Terutama mereka yang berasal dari kalangan kerajaan.“Mungkin ini dilakukan untuk menjaga harta mereka supaya tak jatuh ke tangan orang lain,” jelas Titi. Perkawinan semacam itu disebut dalam prasasti paling tidak sejak masa Dharmawangsa Tguh, penguasa Medang pada periode Jawa Timur. Misalnya, Prasasti Pucangan (1037)mengisahkan perkawinan Airlangga dengan putri Tguh. Dalam naskah  Nagarakrtagama  atau  Desawarnana  disebutkan, Kertarajasa atau Raden Wijaya menikahi empat putri Krtanegara. Mereka adalah sepupu, kendati sepupu derajat ketiga. “Ayah Kertarajasa, Dyah Lembu Tal, masih saudara sepupu Kertanegara,” jelas Titi. Perkawinan lainnya terjadi lagi pada masa Majapahit. Raja Hayam Wurukmenikah dengan anak suami bibinya.Wikramawarddhana menikah dengan Kusumawarddhani, putri kakak laki-laki ibunya. Sedangkan Dewi Suhita menikah dengan Ratnapangkaja, anak dari adik perempuan ayahnya.  Wijayaparakramawarddhana manikah dengan Jayawarddhani, putri adik perempuan ayahnya. Sementara Rajasawarddhana menikah dengan Bhre Tanjungpura, putri dari adik laki-laki ayahnya. Girisawarddhana menikah dengan Bhre Kabalan. Penguasa wilayah Kabalan itu adalah cucu perempuan adik kakeknya. Terakhir, Singhawikramawarddhana menikah dengan Bhre Singhapura, putri dari anak sepupunya. Penguasa-penguasa daerah Majapahit pun banyak yang diikat dengan perkawinan. Mereka biasanya kerabat dekat raja. Banyak juga yang masih saudara sepupu.  Seperti tertulis dalam Prasasti Trowulan II dan  Pararaton,  Bhre Tumapel Dyah Suraprabhawa Sri Singhawikramawarddhana mempunyai istri Bhre Singhapura Dyah Sripura Rajasawarddhanadewi. Pararaton  mencatat, mereka masih saudara sepupu. Ayah Dyah Suprabhawa yang bernama Girisawarddhana adalah kakak laki-laki ibunya Rajasawarddhanadewi. “Perkawinan antarsaudara sepupu juga adalah perkawinan politis yang sudah dilakukan sejak masa Mataram Kuno,” jelas Titi. “Dimaksudkan untuk menghindarkan kekuasaan mereka jatuh ke kekeluarga lain.” Kebiasaan itu berlanjut hingga masa kerajaan-kerajaan Islam. Misalnya, pada abad ke-18, Sunan Surakarta menjadikan sejumlah perempuan dari Pulau Madura sebagai permaisuri. Pernikahan ini dilaksanakan untuk memastikan hubungan baik dengan para penguasa lokal Madura.  Menurut sejarawan Peter Carey dalam  Perempuan-Perempuan Jawa  relasi semacam itu disebut sebagai politik penyambung dengan daerah bawahan. Fungsi utama putri raja dan bangsawan keraton dalam tahun-tahun menjelang Perang Jawa, adalah sebagai pemelihara dinasti atau wangsa dan sebagai wadah untuk berprokreasi. Kendati demikian, perkawinan politis tak menjamin hubungan yang langgeng. Seperti terjadi pada masa Singhasari. Kertanegara adalah penguasa yang memakai jalan pernikahan untuk membentuk sekutu politik. Ia mengirimkan putrinya, Dewi Tapasi untuk di nikahi raja Champa. Champa merupakan benteng pertama untuk membendung pengaruh kekuasaan Khubilai Khan. Pun dengan maksud agar jangan timbul kekeruhan dalam negeri selama tentara Singhasari bertugas di negeri Melayu, Ardaraja, putra penguasa Glang Glang yang menjadi bawahan Singhasari, diambil mantu. Sementara Wijaya, panglima perang Singhasari, dinikahkan dengan keempat putri Kertanegara. Dalam Prasasti Kudadu, Ardaraja disebut putra Raja Jayakatwang. Kertanegara memerintahkannya bersama Wijaya untuk menjumpai musuh yang datang dari utara, yaitu tentara Jayakatwang.Ardaraja bimbang dan memutuskan menyeberang ke pihak musuh. Akibatnya Wijaya mengalami kekalahan. Menjamin persekutuan politik dengan pernikahan pun rupanya tak sekuat yang diduga. Apa daya, gempuran Jayakatwang, yang telah berhubungan besan pun tak disangka-sangka malah yang mengakibatkan kejatuhan Singhasari.

  • Ingin Kembali ke Pulau Buru

    Lukas Tumiso telah meninggalkan kamp tahanan Pulau Buru 40 tahun yang lalu.Sejak sebuah kapal membawanya menjauh dari dermaga Pelabuhan Namlea pada Desember 1979, ia merasa kembali menjadi manusia bebas. Tumiso ditangkap pasca peristiwa 1965 karena bergabung dalam Resimen Mahasurya yang dianggap pro-Sukarno. Dengan kapal ADRI 10, ia diangkut ke Pulau Buru pada April 1969. Selama sepuluh tahun, ia hidup dipengasingan hingga dibebaskan pada 1979. Sejak 2004, Tumiso menjalani hidup di Panti Jompo Waluya Sejati Abadi, Jalan Kramat V, Jakarta Pusat. Di Panti yang dari tahun ke tahun mulai sepi penghuni itu, Tumiso seringkali teringat kawan-kawannya di Pulau Buru. Hingga pada 2016, ia kembali menginjakkan kaki ke Pulau Buru. Pada kunjungan pertama, ia menyempatkan diri mencari makam teman-temannya. Ia merasa miris karena makam teman-temannya ditemukan dalam kondisi tidak terawat. Bahkan beberapa sempat tidak ditemukan. “Makam teman-teman saya itu terletak di tengah-tengah hutan jati, di tengah-tengah padang rumput,” terang lelaki berusia 79 tahun itu. Dari kunjungan pertama itu, Tumiso berkeinginan untuk memperbaiki pusara kawan-kawan. Baginya, itu salah satu hal berguna yang bisa ia lakukan di sisa hidupnya. Tumiso pun berangkat ke Pulau Buru untuk kedua kalinya. Kali ini, Tumiso sangat terkejut karena mendapati makam teman-temannya telah berubah menjadi kubangan celeng (babi hutan). Hal ini membuat Tumiso berbulat tekad untuk mengeksekusi rencananya. Ia pun mengumpulkan teman-temannya di Jakarta dan meminta bantuan dana. Dana terkumpul sekitar 30 juta dan ia pun berangkat ke Pulau Buru untuk ketiga kalinya. Di Buru, ia bertemu dengan beberapa transmigran untuk meminta izin memperbaiki makam. “Pak ini kuburan mau saya perbaiki, pendapat bapak bagaimana?” tanya Tumiso kepada Kabul, seorang transmigran Buru. “ Lho jangan tanya saya, tanya sama penghuni,” jawab Kabul. “Penghuninya siapa?” tanya Tumiso lagi. “Tanya saja yang di dalam kubur. Coba sampean tanya besok dia sudah njawab ,” ujar Kabul. Tumiso pun mengikuti usulan Kabul. Keesokan harinya, Kabul berkabar, “ wonge klecang-kleceng, ngguya ngguyu, seneng (orangnya senyum-senyum, tertawa-tertawa, senang). Eksekusi!” Tumiso pun langsung bergegas memperbaiki makam-makam itu. Pertama-tama, ia membuat saluran air supaya air yang menggenangi areal makam bisa surut. “Besok sudah ada informasi dari kubur, penghuni lepas baju kipas-kipas ngguya-ngguyu . Jadi bajunya dilepas dia tertawa-tawa,” kata Tumiso. Selama sepuluh hari memperbaiki pemakaman, “informasi” dari dalam kubur itu keluar. Tumiso tidak mempermasalahkan benar tidaknya informasi itu. Baginya, hal itu adalah tanda bahwa apa yang dilakukannya itu memiliki arti. “Tapi apa yang dia ceritakan, satu persatu persona yang ada di sana itu adalah temen-temen saya yang satu, disruduk sapi, mati kena tanduk sapi, ada yang tenggelam, ada yang minum racun, itu muncul semua,” jelasnya. Pasca perbaikan makam teman-temannya  itu, Tumiso berpikir untuk memperbaiki makam dari unit lain. “Kalau hanya teman saya yang saya perbaiki makamnya betapa jeleknya nama saya,” kata laki-laki yang dulu menghuni unit 3 bersama Pramoedya Ananta Toer itu. Kali ini, untuk menjalankan keinginannya, Tumiso berharap bisa sekaligus tinggal di Pulau Buru. “Akan lebih baik kan kalau kuburan teman-teman saya perbaiki semua dengan catatan saya tinggal di sana. Secara fisik saya masih mampu,” ujarnya. Menurut Tumiso, terdapat 23 titik lokasi pemakaman tapol di Pulau Buru. Beberapa lokasi yang dekat dengan penduduk transmigran masih terawat, sedangkan pemakaman yang berada jauh di padang rumput dan hutan kondisinya sangat memprihatinkan. Kini, ia tengah mempersiapkan proposal pembiayaan beternak sapi di Pulau Buru yang hasilnya akan digunakan untuk memperbaiki makam dan hidup sehari-hari di sana. Di Panti Jompo yang diresmikan Presiden Abdurrahman Wahid itu, ia bersemangat menjelaskan tentang jenis sapi apa yang akan ia ternak, tentang menanam rumput untuk pakan di tebing sungai sekaligus untuk mencegah erosi, serta tentang memanfaatkan jerami yang melimpah pasca panen. Bahkan ia sudah menghitung kebutuhan asupan garam sapi-sapinya nanti. Tumiso lalu juga bercerita tentang menanam cabai, tomat, terong, mentimun hingga soal mengolah pohon-pohon kelapa yang sudah tua. “Ambisius ya?” ujarnya tak butuh jawaban. Lukas Tumiso benar-benar ingin kembali ke Pulau Buru.

  • Sukarno, Kopi, dan Peuyeum

    BANDUNG 1920-an, menjadi masa-masa tersulit bagi Sukarno dan keluarga kecilnya. Meski banyak yang telah mengakui Bung Karno sebagai pemimpin, kehidupannya tidak otomatis menjadi lebih baik. Sangat sedikit pekerjaan yang bisa diambilnya kala itu. Praktis hidup Sukarno serba pas-pasan. Untuk menyambung hidup, Sukarno mendirikan jasa biro arsitek bersama kawannya, Ir Anwari. Namun pekerjaannya itu sama sekali tidak dapat diandalkan. Diceritakan Cindy Adams, dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia , demi memenuhi berbagai kebutuhan, Sukarno terpaksa menyewakan beberapa kamar rumahnya di Jalan Dewi Sartika No.22. Sekalipun rumah itu kecil, tetapi tiga ruangan di dalamnya telah cukup memberi penghidupan bagi Sukarno dan istrinya, Inggit Garnasih. Dalam sebulan, Sukarno dapat mengumpulkan kira-kira 110 rupiah dari hasil sewa satu rumah. Itu sudah termasuk beranda rumah yang dijadikan kantor akuntan oleh Dr. Samsi. Tetapi rupanya pemasukan itu masih belum bisa menutupi keperluan mereka. Inggit pun mau tidak mau harus membantu suaminya dengan berjualan bedak dan alat-alat kecantikan lain yang dibuat sendiri di dapur rumahnya. Bahkan ketika penjualan kosmetik sedang sepi, Sukarno harus memberanikan diri meminjam beberapa rupiah kepada salah seorang penyewa bernama Suhardi. “Benar-benar suatu rahmat dari Tuhan Yang Maha Pengasih, bahwa selalu saja tersedia jalan untuk menjalani kehidupan yang berat ini,” ujar Sukarno. Meski hidup serba pas-pasan, Sukarno merasa memiliki banyak orang yang selalu siap membantunya. Setiap kali kawan-kawannya di PNI (Partai Nasional Indonesia) maupun THS (Technische Hoogeschool) memiliki uang lebih, mereka pasti selalu datang bertamu ke rumah Sukarno. Sambil membawa kopi dan peuyeum –makanan hasil fermentasi khas Jawa Barat berbahan dasar singkong– mereka akan bercengkrama hingga larut. Pernah Sukarno berjanji untuk mentraktir salah seorang kawannya, Sutoto. Ia merasa malu karena setiap kali bertemu, selalu kawannya itu yang membayar minum. Sutoto memang sering datang untuk merundingkan berbagai soal dengan Sukarno. Suatu sore ia janji untuk berkunjung. Setiba di Jalan Dewi Sartika No. 22, bukannya segelas kopi dan peuyeum yang menyambutnya, tapi lagi-lagi ucapan maaf dari Si Bung. “Maaf, Sutoto, sebagai tuan rumah aku tidak dapat menjamumu. Aku tidak punya uang,” ucap Sukarno lirih. Seperti sudah terbiasa, Suroto hanya berkata “Ah, Bung selalu tidak punya uang.” Selagi keduanya duduk-duduk dengan muka muram di beranda rumah, seorang wartawan melintas sambil mengayuh sepedanya. “Heee, mau ke mana?” panggil Sukarno. “Cari tulisan untuk koranku,” teriak Si Wartawan. “Aku akan bikinkan buat kamu,” ucap Sukarno. “Berapa?” tanya wartawan itu sambil memperlambat jalan sepedanya. “Sepuluh rupiah!” tanpa membalas penawaran Sukarno, Si Wartawan seperti hendak mempercepat laju sepedanya. “Oke, lima rupiah,” Sukarno menawar. Masih belum menerima jawaban, Sukarno menurunkan tawarannya. “Dua rupiah bagaimana? Asal cukuplah untuk bisa mentraktir kopi dan peuyeum . Setuju?” “Setuju!” Si Wartawan langsung mengiyakan.  Sang wartawan itu lalu turun dan segera memarkirkan sepedanya ke dinding rumah. Sementara dia dan Sutoto berbincang, Sukarno mulai memainkan jari jemarinya di atas sebuah kertas kosong. Bagi Sukarno menulis bukanlah sesuatu yang sulit. Begitu banyak persoalan politik yang tersimpan di pikirannya. Sukarno seakan tidak pernah kehabisan bahan tulisan apapun tema yang diajukan. Tanpa satupun coretan, kertas yang tadinya kosong telah terisi oleh kurang lebih 1.000 perkataan. Tidak sampai 15 menit, satu tulisan lengkap telah diterima Si Wartawan. Ia lalu pamit pulang. Wajahnya girang, begitu juga dengan Si Bung. Tanpa disangka-sangka Sore itu Sukarno kesampaian menraktir kawannya. Uang hasil menumpahkan unek-uneknya itu pun langsung dibelanjakan. Sutoto, Sukarno, serta Inggit duduk di beranda rumah. Mereka melewati sore itu dengan segelas kopi dan sepiring peuyeum hangat. “Bagi kami kemiskinan bukanlah sesuatu yang perlu membuat malu. Kami semua orang yang berpikiran idealis,” ungkap Sukarno.

  • Ketika None Jakarta Bercerita

    SEJUMLAH mantan None (Nona) Jakarta lintas zaman berkumpul. Mereka menuturkan kisahnya masing-masing ihwal mula mengikuti ajang “Abang None” Jakarta. Berbagai memori digali kembali dalam suasana saling cengkrama.  Ada haru, lucu, bangga, dan jenaka yang tersua pada tiap tuturan mereka.      “Menjadi None Jakarta pasti akan mengubah hidup semua orang, tidak terkecuali saya. Pengalaman yang begitu luas membuka banyak pintu dalam kehidupan saya,” kenang Lula Kamal, None Jakarta 1990 dalam acara peluncuran buku Cerita, Cinta, dan Cita-cita: Kumpulan Kisah None Jakarta (1981--2016) di auditorium Perpustakaan Nasional, 30 Oktober 2019. None adalah bagian dari kontes “Abang None Jakarta” yang diselenggarakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sejak 1968 era kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin. Para Abang dan None dibina dan ditempa sebagai duta ibu kota. Setelah terpilih, mereka akan bertugas mendampingi gubernur dalam acara resmi, termasuk membantu sosialisasi program pemerintah daerah. Selain itu, Abang dan None juga menjadi ikon dalam mempromosikan Jakarta di dalam maupun luar negeri.   “Saya banyak belajar, belajar berpakaian, pakai rok, cepol, dan pasang konde,” ujar Lula berkelakar. Lula Kamal yang kini berprofesi sebagai dokter tidak sendirian. Dalam buku setebal 192 halaman itu ada 20 None yang membagikan kisah dan pengalamannya. Mulai dari Sylviana Murni (None Jakarta 1981) hingga Yasmine Kurnia (None Jakarta 2016); mulai dari kepemimpinan Gubernur Tjokropranolo (Bang Nolly) sampai Basuki Tjahaja Purnama (Koh Ahok). Para None Jakarta lintas angkatan bersama mantan Gubernur DKI Jakarta (2007-2012) Fauzi Bowo. Foto: Martin Sitompul/Historia. Tidak cuma cantik, cerdas juga menjadi kualitas mutlak bagi para None. Selama digembleng, para None memperoleh banyak pengalaman dan cerita unik. Fifi Aleyda Yahya misalnya. None Jakarta 1995 ini awalnya merasa kurang yakin karena berpostur mungil, jauh dari semampai. Namun pada akhirnya, dia terpilih sebagai None dan mempromosikan pariwisata Jakarta hingga ke berbagai negara. Fifi kemudian dikenal sebagai pembawa acara berita di sebuah stasiun televisi swasta. Ada lagi kisah dari Santi Darmaputra, None Jakarta 1997. Ketika bertugas di Berlin selama tiga hari, dia lupa membawa kerudung. Beruntung tidak ada yang tahu. Para None memang diharuskan mengenakan pakaian adat Betawi lengkap dengan kerudung. Karena tetap percaya diri, Santi menjalankan tugasnya dengan baik. Tidak semua None Jakarta asli dari Betawi. Ada yang turunan campuran, seperti Lula Kamal yang bedarah Arab dan Devi Zuliyanti Nasution, None Jakarta 1994 yang berdarah Mandailing.  Begitu pula dengan Sussy Kusumawardhani, None Jakarta 2006. Sussy berasal dari Lampung, berkuliah di UI Depok, namun tinggal di Jakarta sehingga memiliki KTP Jakarta. Sebagai “None Pendatang”, Sussy mengatakan bahwa siapa saja punya kesempatan yang sama berkontribusi buat Jakarta. “Saya ingin membuktikan bahwa Jakarta bukan hanya kota seribu mimpi tapi juga seribu kesempatan,” ujar Sussy. Dari semua Gubernur Jakarta, barangkali Fauzi Bowo-lah yang paling intens berhubungan dengan para None. Bang Foke – panggilan Fauzi Bowo – sejak pertengahan 1970-an, menjabat biro kepala daerah yang berurusan dengan protokoler. Tugasnya pula memberdayakan Abang dan None untuk berbagai program pemerintah DKI Jakarta.    “Saya pendamping Abang None yang paling lama,” kata Bang Foke. “Cerita, cinta, dan cita-cita mereka itu saya banyak tahu, termasuk yang asli dan yang palsu,” ujar Bang Foke bergurau. Barulah ketika menjabat gubernur periode 2007—2012, Bang Foke didampingi Abang dan None. Setelah tuntas mengabdi, banyak dari None Jakarta yang berkecimpung di berbagai bidang. Ada yang meniti karier sebagai jurnalis, seniman, pengusaha, hingga dokter. Ada pula yang memilih sebagai ibu rumah tangga. Menurut Valerina Daniel, penyunting buku ini, menjadi None Jakarta tidak akan berhenti atau hanya pada saat bertugas saja.     “Setelah bertugas pun kita masih ada kedekatan, masih merasa bertanggung jawab untuk menjaga Jakarta. Walaupun kita saat ini profesinya berbeda-beda tapi tetap punya kontribusi untuk membantu Kota Jakarta,” ujar Val yang juga None Jakarta 1999.    Hingga saat ini, tradisi Abang None Jakarta masih berlangsung. Para jebolannya mengaku mendapat banyak pengalaman berharga. Ajang ini juga merupakan kesempatan berkarya sekaligus membaktikan diri bagi warga Jakarta.   “ Enggak nyesal ikutan Abang None, kalah menang menyenangkan,” ujar Lula Kamal.

  • Sejarah Lem Aibon

    Lem Aibon jadi trending topik. Sebabnya, anggota DPRD DKI Jakarta dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI), William Aditya, menemukan anggaran janggal dalam APBD DKI Jakarta. Dia mempertanyakan anggaran Rp82 miliar yang diajukan oleh Dinas Pendidikan DKI Jakarta untuk membeli lem Aibon yang akan dibagikan kepada 37.500 siswa. Entah untuk apa lem Aibon itu? Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Syaefuloh Hidayat menjelaskan bahwa tidak ada anggaran Rp82,8 miliar untuk pembelian lem Aibon dalam program belanja alat tulis kantor 2020.Anggaran Rp82,8 miliar itu merupakan anggaran sementara yang dimasukkan ke dalam sistem e-budgeting DKI Jakarta. Anggaran itu adalah anggaran alat tulis kantor seluruh sekolah di Suku Dinas Pendidikan Wilayah 1 Jakarta Barat. Namun, anggaran tersebut kemudian disisir kembali oleh Suku Dinas Pendidikan Wilayah 1 Jakarta Barat dan Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Anggaran tersebut kemudian direvisi dari Rp82,8 miliar menjadi Rp22,7 miliar untuk alat tulis kantor di seluruh sekolah di Suku Dinas Pendidikan Wilayah 1 Jakarta Barat. “Belanja alat tulis kantor yang di situ ada komponen Aibon disampaikan Rp82 miliar, sebenarnya alat tulis kantor seluruh sekolah itu hanya Rp22 miliar,” kata Syaefuloh di Gedung DPRD DKI Jakarta, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Rabu (30/10/2019), dikutip Kompas.com . Lem Aibon yang berwarna kuning telah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Bahkan, namanya telah menjadi brand image untuk produk lem. Lem Aibon telah hadir di pasaran Indonesia sejak tahun 1974. Perusahaan yang memproduksinya adalah PT Aica Indonesia. Menurut Ohiao Halawa dalam biografi Soerjadi, Membangun Citra Partai , PT Aica Indonesia didirikan tahun 1974, dengan pemilik saham Pakarti Yoga Group (milik Sofjan Wanandi), Metropolitan Group (milik Ciputra), Aica Kogyo Co. Ltd. dari Jepang, dan Mitsui Group. Perusahaan ini menghasilkan lem dan formika,yaitu bahan tipis berkilat yang terutama dipakai untuk pelapis furnitur. “Dewasa ini (1993), PT Aica Indonesia memiliki sekitar 190 karyawan. Asetnya sekitar 20 miliar rupiah. Pangsapasarnya 60% untuk ekspor. Soerjadi sendiri adalah presiden direkturnya sejak tahun 1982,” tulis Ohiao . Soerjadi menjadi presiden direktur (presdir) PT Aica Indonesia setelah beberapa tahun tidak memiliki presdir . “ Karena kata sementara orang tidak ada yang mau menjadi presdir, katanya sudah ada dua orang presdirnya yang meninggal dunia semasa memegang jabatan sebagai presdir,” tulis Ohiao. Dalam testimoninya di buku Sofjan Wanandi: Aktivis Sejati , Soerjadi mengungkapkan bahwa setelah tak lagi menjadi anggota DPR, dia menganggur karena tak memiliki pekerjaan lain selain berpolitik. Dia kemudian mendatangi Sofjan Wanandi. “Lalu saya ditawari untuk memimpin salah satu perusahaannya (produsen Aica Aibon) yang tidak memiliki presiden direktur (dua kali presiden direkturnya meninggal dunia ) ,” kata Soerjadi. Empat tahun setelah menjabat presdir PT Aica Indonesia, pada 1986 Soerjadi terpilih menjadi Ketua Umum PDI (Partai Demokrasi Indonesia) dalam Kongres III PDI di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta. Dia juga kemudian menjadi anggota DPR. “Tugas saya sebagai Wakil Ketua DPR, saya jalankan sebaik-baiknya. Demikian juga di PT Aica ini. Meskipun di sini saya dapat duit cukup menurut ukuran saya, tetapi prioritas saya tetap di PDI,” kata Soerjadi. Soerjadi mengklaim PT Aica Indonesia tidak merasa dirugikan karena dia sibuk mengurus partai.“Perusahaan ini bukan punya saya, yang menilai dan menentukan adalah pemilik saham. Pemilik perusahaan yang menentukan,siapa yang akan menjadi presdir dan digajinya, kalau dirugikan tentu tidak mungkin mau mentolerirnya,” kata Soerjadiyang pensiun dari PT Aica Indonesia tahun 2004. Sementara itu, untuk memasakan hasil produksi PT Aica Indonesia, Metropolitan Group dan Pakarti Yoga Group mendirikan PT Marga Bhatara pada 1974. “Perusahaan ini memasarkan Aica Aibon, pelopor lem serba guna, dan Aica Melamine pelapis dekoratif untukmemperindah furnitur,” demikian disebut dalam buku Profil Top Indonesia , terbitan Pusat Profil dan Biografi Indonesia (PPBI). Menurut Yanri Sali, Direktur Utama PT Marga Bhatara, kedua produk tersebut telah memperoleh sertifikat ISO 9002. “Tidak mudah mempertahankan market share dari suatu produk yang sudah berumur lebih dari 25 tahun (dari 1974 hingga awal tahun 2000-an, red. ). Apalagi nyaris tanpa diversifikasi, harganya paling tinggi di antara produk sejenis, dan tiap tahun selalu bermunculan merek-merek baru. Namun berkat keuletan, dengan kiat-kiat jitu, maka produk Aica Aibon dan Aica Melamine tetap profitable setiap tahun,termasuk pada tahun-tahun krisis,” kata Yanri.

  • Penculikan Tokoh Bandung di Awal Revolusi

    MASIH lekat dalam ingatan Amarawati Poeradiredja ketika sekelompok pemuda mendatangi rumah Residen Priangan Kardata Poeradiredja, kakeknya, pada 24 Oktober 1945. Mereka menggedor pintu dan memaksa masuk. Begitu pintu dibuka, mereka mendorong istri Kardata dan langsung mencari sang residen. “Nenek saya didorong, hampir dicekik. Kakek saya ditangkap,” kata Amarawati pada Historia . Kardata saat itu berusia 65 tahun. Ia ayah dari perempuan pejuang Bandung Emma Poerdiredja dan Perdana Menteri Pasundan Adil Poeradiredja. Kardata mengundurkan diri karena tidak berhasil mempertahankan otoritasnya sebagai residen. Dalam pengumuman publiknya tanggal 12 oktober 1945, ia menyatakan bahwa dirinya tidak lagi bertanggung jawab pada pemeliharaan ketertiban umum. Secara resmi ia mengundundurkan diri pada 24 Oktober dan absen pada hari yang sama. Tepat setelahnya, ia diculik. Selain Kardata, dua tokoh di Bandung lain juga ditangkap, yakni Niti Sumantri dan Ukar Bratakusumah. Mereka kemungkinan besar ditangkap antara 25 dan 26 oktober 1945. Ketiga orang itu diculik oleh kelompok pemuda yang sama dengan penculik Kardata. Para pemuda itu, kata Amarawati, bukan orang Sunda. Mereka berbaju putih, celana hitam, dan berdasi kupu-kupu. Menurut John RW Smail dalam Bandung Awal Revolusi, para pemuda itu merupakan pemuda dari badan perjuangan Bandung yang hampir semua pemimpinnya adalah orang non-Sunda. Penculikan Kardata, Niti, dan Ukar jadi buntut diplomasi yang ditempuh para pemimpin politik di Bandung. Para pemuda itu kecewa terhadap langkah diplomatif Poeradiredja dan KNI Karesidenan Priangan yang pada 10 Oktober 1945 membuat kesepakatan dengan Komandan RAPWI (Recovery of Allied Prisoners of War and Internees) di Bandung, Mayor Gray bahwa unit pasukan Jepang telah diperintahkan untuk mundur ke pos masing-masing dan mengimbau agar rakyat tidak melakukan serangan dan kembali ke rumah masing-masing. Mayor Gray memberi jaminan bahwa tidak ada organisasi NICA di Kawedanan Preanger selama ia memegang kendali. Kenyataannya, pihak Jepang tetap melakukan penembakan, penahanan, dan penggeledahan. Setelah 10 Oktober 1945, atas perintah Inggris, Jepang kembali mengontrol kota Bandung hingga pertengahan November. Sekira 1500 serdadu Jepang yang diperkuat tentara Inggris diturunkan ke kota itu. Sebuah laporan menyebutkan bahwa orang-orang Kenpeitai mencegat dan menganiaya pedagang pribumi yang berangkat ke pasar. Mereka memaksa para pedagang untuk menjual barang dagangan hanya kepada Belanda. Usut punya usut, tindakan ini didukung oleh Gray yang memerintahkan Jepang untuk melanjutkan kontrol penuh. Kontrol Inggris-Jepang mengakibatkan semacam kebuntuan semangat di kalangan pemuda Bandung. Gerakan pro-kemerdekaan melemah. Suara teriakan “Siap!” yang biasa digaungkan para pejuang tidak terdengar untuk sementara. Atmosfer revolusi meredup. Kondisi itu makin diperparah dengan adanya pertemuan 22 Oktober 1945 yang menghasilkan pembentukan Badan Perhubungan, yang tugasnya mengurusi hubungan dengan staf Brigadir Jenderal N Mac Donalnd, komandan Brigade Infanteri India ke-37 yang menjadi penguasa tertinggi di Bandung. Melalui Badan Perhubungan, Inggris meminta Indonesia sepakat mengumpulkan seluruh persenjataan untuk diserahkan padanya. Indonesia menolak permintaan itu karena hal semacam ini terlalu berat dilakukan masyarakat yang masih berada dalam atmosfer revolusi. Untuk membujuk pihak Indonesia, pada 23 Oktober Inggris mengatakan orang Belanda, Eropa, dan pegawai RAPWI sudah dilucuti sehingga rakyat Indonesia juga harus meyerahkan senjatanya dalam 48 jam. Rakyat Indonesia mengajukan protes, “Jika inggris berniat melucuti rakyat, maka terjadi perlawanan”. Frustasi karena terus ditekan dan tidak berdaya melawan pasukan kecil Jepang, mereka  jadi mudah terpancing. Para pemuda ini pun mencari pihak yang dianggap bertanggungjawab. Selain Kardata, Niti, dan Ukar, mereka juga menculik dan membunuh Otto Iskandardinata. Tokoh lain seperti Suhari (kepala BKR Kota Bandung) dan Sukanda Bratamanggala (bekas komandan kompi Peta) hampir diculik namun gagal lantaran dihalang-halangi bawahannya.   Penculikan yang dilakukan merupakan taktik penghukuman pada para tokoh Bandung setelah diangap terlalu lunak dalam berdiplomasi dan mengakibatkan tekanan penjajah pada rakyat. Namun, masih menurut Smail, taktik ini tidak efektif karena dilakukan di tengah hubungan baik Indonesia-Inggris. Pada akhirnya, para tawanan diangkut ke Surabaya, ditahan selama terjadi pertempuran dan dibebaskan setelahnya. “Kakek saya dibawa ke timur. Katanya di sana perlakuannya buruk,” kata Amarawati.

bottom of page