Hasil pencarian
9600 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Aquaman Sang Penguasa Tujuh Lautan
SUATU hari di pesisir Maine medio 1985, penjaga mercusuar Thomas Curry (Temuera Morrison) melihat dan menyelamatkan sesosok jelita yang pingsan. Si cantik ternyata seorang putri dari Kerajaan Atlantis, Putri Atlanna (Nicole Kidman). Seiring perjalanan waktu, dua sosok berbeda alam itu memadu kasih hingga melahirkan seorang anak yang kelak menjadi pahlawan penjaga lautan, Aquaman (Jason Momoa). Sutradara James Wan menyajikan adegan pembuka itu sebagai pengantar film superhero milik DC Extended Universe (DCEU), Aquaman . Wan ingin mengajak penonton terlebih dulu mengenal muasal pahlawan super yang pertamakali muncul di film Justice League (2017)-nya franchise DCEU-Warner Bros. Plot film lantas beringsut ke masa kekinian (2018) dengan sang Aquaman yang ber-alter ego Arthur Curry beranjak dewasa. Alur cerita naik-turun ketika Aquaman bersama Mera (Amber Heard) bertualang mencari trisula kuno milik mendiang Raja Atlan, kakek Aquaman. Trisula itu akan jadi senjata pamungkas untuk menumpas ambisi jahat adik tiri Aquaman yang menguasai Samudera Atlantik, Raja Orm (Patrick Wilson), yang berniat memerangi para manusia di daratan. Orm sudah kadung emosi lantaran para manusia tak pernah berhenti menciptakan polusi sampah di lautan. Bagaimana dinamika petualangan Aquaman menyelamatkan dunia dari adik tirinya? Jelas lebih sedap jika Anda pantengin sendiri di bioskop-bioskop, di mana film keenam DCEU-WB ini sudah rilis sejak 21 Desember 2018. Salah satu adegan Aquaman mencari Trisula Suci Raja Atlan (Foto: aquamanmovie.com) Selain mengandung pesan edukatif tentang polusi sampah di lautan, film ini diselingi sejumlah adegan comical yang mengocok perut. Kekaguman penonton juga bakal terdongkrak oleh efek visual ciamik yang lebih jempolan dari lima film DCEU sebelumnya: Man of Steel (2013), Batman v Superman: Dawn of Justice (2016), Suicide Squad (2016), Wonder Woman (2017) dan Justice League (2017). Muasal Aquaman Dalam semesta milik DC, figur Aquaman diakui masih kalah tenar ketimbang Batman, Superman, Wonder Woman atau The Flash. Kesuksesan film Aquaman (2018) ini tak lepas dari rasa penasaran para penggemar DC sejak kemunculan sosoknya dalam Justice League. Belum lagi, figurnya diperankan aktor macho Jason Momoa. Tak heran, baru sepekan rilis sudah tembus urutan satu Box Office, mengalahkan Bumblebee dan Mary Poppins Returns . Situs hiburan variety.com , Minggu (23/12/2018) mencatat, Aquaman bahkan sudah menembus keuntungan USD67 juta dari 4.125 lokasi penayangan di seluruh dunia hanya dalam tiga hari pasca-rilis. Menilik muasalnya, dikutip dari Aquaman: A Celebration of 75 Years garapan Geoff Johns, Jack Miller dan Steve Skeates, karakter superhero penguasa tujuh lautan itu diciptakan duet ilustrator Paul Norris dan editor Mort Weisinger pada medio 1941 dan dimunculkan pertamakali di delapan halaman More Fun Comics edisi ke-73 pada November 1941. Penciptaannya tak lepas dari permintaan DC Comics untuk menghadirkan seorang superhero baru dengan lautan sebagai alam kehidupannya. Berbeda dari Aquaman versi film 2018, sang pahlawan super dalam sketsa awal Norris lebih sederhana. Sosoknya berambut pirang namun tak gondrong laiknya versi yang diperankan Jason Momoa. Kostum ketatnya juga bukan emas seperti di film, melainkan merah dengan motif bersisik, plus celana ketat hijau dan sepatu boot bersirip. Karakternya dibuat Weisinger bisa hidup di air dan di darat, serta punya kekuatan bisa melihat dalam gelap dan menguasai elemen air. “Formula saya (menciptakan Aquaman) sederhana. Jadilah orisinil, jadilah pandai. Ide cerita yang menegangkan. Urutan gambar yang bagus di setiap cerita. Sebuah ending yang mengejutkan. Atau sebuah twist yang diletakkan saat memungkinkan,” cetus Weisinger, dikutip Geoff Johns dkk. Aquaman hasil sketsa Paul Norris (Foto: mysteryisland.net) Karakter Aquaman ibarat perpaduan Tarzan dan Superman. Kelemahannya, Aquaman tak bisa berlama-lama berada di daratan tanpa bersentuhan dengan air dalam kurun waktu tertentu. “Sebagaimana si raja hutan (Tarzan), sang raja tujuh lautan (Aquaman) bisa berkomunikasi dengan hewan tapi hewan laut. Juga seperti Superman, Aquaman mengenakan kostum berwarna, menumpas kejahatan dengan fisiknya yang kuat dan hidup sebagai manusia dengan identitas rahasia bernama Arthur Curry,” ungkap John Kenneth Muir dalam The Encyclopedia of Superheroes on Film and Television: Second Edition. Aneka Versi Aquaman Seiring perjalanan waktu, figur Aquaman muncul tak hanya dalam komik namun juga kartun hingga film seri. Beberapakali juga muncul versi lain asal-usulnya di tangan editor dan ilustrator berbeda. Khusus dalam film produksi DC dan Warner Bros yang baru ini, versi yang diambil adalah versi pertamanya ciptaan Paul Norris dan Mort Weisinger. Sosok Aquaman lahir dari seorang ayah manusia biasa dan seorang putri dari Kerajaan Atlantis alias keturunan setengah dewa laut. Versi itu terus digunakan DC dalam More Fun Comics sejak edisi 73 hingga 107, sebelum diteruskan dalam seri komik Superboy, Green Arrow hingga edisi 206 Adventure Comics pada 1959, dan tak ketinggalan seri komik Justice League of America pada 1960-an. Aquaman punya versi lain pada 1989, yang digubah penulis Rovert Loren Fleming dan Keith Giffen, serta ilustrator Curt Swan. Dalam versi yang hadir dalam seri komik Legend of Aquaman Special itu Aquaman punya nama asli Orin yang lahir dari Ratu Atlanna dan seorang penyihir bernama Atlan di kota bawah laut bernama Poseidonis. Aquaman dibuang di Karang Mercy lantaran lahir dengan kondisi yang ganjil – berambut emas. Aquaman lantas diambil dan dirawat Tom Curry, seorang penjaga mercusuar. Dalam versi ini, Aquaman digambarkan berkostum biru berpadu ungu dan hitam. Versi lainnya yang nyaris kembali ke bentuk awal adalah versi 1994 hasil karya Peter David. Aquaman ini pertamakali dimunculkan di seri komik Aquaman, Agustus 1994. Aquaman di versi ini mendekati versi film, nyaris tanpa penutup dada, bercelana ketat motif sisik hijau, berambut pirang gondrong dan brewokan . “Peter David meng- update karakternya menjadi lebih kontemporer. Tangan kirinya putus karena sebuah pertarungan dan digantikan dengan panah harpoon . Muasalnya dibuat mirip Tarzan, yakni dibuang ibunya, Ratu Atlanna, lantas dirawat oleh…hewan berupa lumba-lumba,” sambung Muir. Pada 2006, komik Aquaman: Sword of Atlantis muncul. Sosok Aquaman alias Arthur Curry digambarkan sebagai putra dari pakar biologi kelautan Dr. Phillip Curry. Mirip kisah Hulk, Aquaman disuntikkan serum mutan kala lahir prematur. Akibatnya, mayoritas masa kanak-kanak Arthur harus dihabiskan di sebuah tangki air, sebelum menjelma menjadi pahlawan di masa dewasa. Selain dalam komik dan kartun, Aquaman juga eksis sebagai tokoh pendamping dalam seri televisi superhero Superman, Smallville . Aquaman alias Arthur diperankan aktor tampan Alan Ritchson, muncul sejak episode “Aqua” pada 20 Oktober 2005.
- Soeharto di Tengah Dua Jenderal
JENDERAL Abdul Haris Nasution dan Ahmad Yani bersitegang. Mereka berbeda pandangan dalam berbagai soal. Mulai dari cara pendekatan terhadap Presiden Sukarno, korupsi di tubuh TNI, hingga gaya hidup. Hubungan keduanya merenggang sejak Yani menggantikan Nasution sebagai Kepala Staf AD pada pertengahan 1962.
- Drama Malam Natalan: Kisah Penangkapan Kolonel Maludin Simbolon
MEDAN 62 tahun yang lalu. Malam itu, Kolonel Maludin Simbolon menggelar hajatan di kediamannya. Para perwira penting Teritorium I/Bukit Barisan beramai-ramai menyambangi rumah sang panglima yang terletak di Jalan Walikota No. 2 tersebut. Simbolon mengundang mereka semua dalam jamuan makan malam. Aneka makanan lezat disajikan, mulai dari yang umum sampai penganan khas Batak. “Bagi saya makanan enak terasa hambar, hati tidak tenang. Takut kalau gerakan bocor dan saya ditawan disitu juga,” kata Soegih Arto dalam memoarnya Sanul Daca: Pengalaman Pribadi Letjen (Pur) Soegih Arto . Soegih Arto ketika itu masih letnan kolonel yang menjabat komandan Komando Militer Kota Besar (KMKB) Medan. Pada jamuan hari natal yang seharusnya bersukacita itu, Soegih Arto berencana untuk menangkap Simbolon. Pikirannya begitu kacau karena harus meringkus panglimanya sendiri. “Sampai-sampai makan pun kesasar ke tempat khusus yang disediakan untuk perwira Batak, karena disitu disajikan sayur (dengan daging) anjing!” kenang Soegih Arto. Panglima Pembangkang Simbolon adalah perwira dari Batak Toba beragama Kristen. Selepas pengakuan kedaulatan, dia menjadi panglima Teritorium I/Bukit Barisan (BB) pertama dengan wilayah komando Sumatera Utara. Pada pertengahan 1950, kepemimpinan Simbolon mengalami gejolak akibat kesenjangan antara daerah dengan pusat. Namanya sempat mencuat tatkala melakukan praktik penyelundupan di Teluk Nibung guna membiaya pembangunan asrama militer dan kesejahteraan para prajuritnya. Ketidakmerataan pembangunan yang dialami wilayah luar Jawa menyebabkan beberapa panglima daerah mau tidak mau menuntut perbaikan. Pada 16 Desember 1956, Simbolon merumuskan ikrar bersama para perwira Bukit Barisan. Ikrar itu ditandatangani oleh 48 perwira yang menempati jabatan kunci. Inti dari ikrar itu menuntut adanya otonomi daerah yang lebih luas. Simbolon semakin berani melancarkan kritiknya dengan mendeklarasikan berdirinya Dewan Gajah. Pada 22 Desember 1956, dia berbicara di depan corong RRI Medan dan mengumumkan pemutusan hubungan sementara dengan pusat. Melalui dewan yang dibentuknya, Simbolon mengambil alih pemerintahan di Teritorium I. Meski tidak mengakui pemerintahan Kabinet Ali II, Simbolon masih menyatakan setia kepada Presiden Sukarno. Dia juga menginginkan pemulihan dwitunggal, Sukarno-Hatta. Alasan Simbolon membentuk Dewan Gajah beririsan dengan kekecewaan pribadi. Simbolon gagal terpilih sebagai KSAD. Saat proses penggodokan calon KSAD, Simbolon bersanding dengan Gatot Subroto dan Zulkifli Lubis. Namun pada akhirnya, pemerintah malah memilih Abdul Haris Nasution. “Kelebihan Simbolon adalah bahwa dialah yang paling senior di antara ketiga orang itu. Dia seorang komandan lapangan yang baik sekali dengan pengalaman staf yang cukup lama dalam Komando seluruh Sumatera di masa perang kemerdekaan,” ungkap Ulf Sundhaussen dalam Politik Militer Indonesia 1945—1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI . Selain itu, menurut Sundhaussen, karier militer Simbolon menuju puncak paripurna terkendala sejumlah celah selayaknya kaum minoritas. Sebagai seorang Batak, Simbolon kurang begitu diterima oleh banyak perwira Jawa. Sebagai seorang Kristen, Simbolon kurang dapat diterima oleh perwira-perwira santri dan banyak politisi Islam dalam koalisi pemerintahan. “Persoalan yang dihadapi Kolonel Maludin Simbolon bagi pribadinya adalah persoalan kehidupan ber-Pancasila dan ber-Bhineka Tunggal Ika,” tulis Robert Sitinjak dalam tesisnya di Universitas Indonesia “Keterlibatan Orang-orang Batak Toba dalam Pemberontakan PRRI di Sumatera Utara 1958-1961”. Meski bertindak atas dasar koreksi, Simbolon tetap saja dianggap insubordinasi. Tindakannya memisahkan diri dari pemerintah telah melanggar profesionalitas sebagai seorang tentara. Manuver ini membawa karier militernya berada di ujung tanduk. Perintah Jakarta Apa lacur, pemerintah kadung memberi cap pembangkang kepada Simbolon. Kedudukan Simbolon sebagai panglima diberhentikan secara tidak hormat. Dari Jakarta, Presiden Sukarno mengeluarkan perintah harian. Dia menyerukan bahwa tindakan Simbolon telah menyimpang dari Amanat Panglima Tertinggi, Sumpah Prajurit, dan Sapta Marga. Pemerintah menunjuk Letkol Djamin Gintings yang semula Kepala Staf Bukit Barisan sebagai alternatif pertama pengganti Simbolon. Sementara Abdul Wahab Makmur, komandan Resimen II yang berkedudukan di Pematang Siantar ditunjuk sebagai alternatif kedua. Namun secara sepihak, Abdul Wahab Makmur mengangkat dirinya sebagai panglima dan menggerakkan pasukannya untuk menangkap Simbolon. Di Medan, sekelompok perwira juga bermufakat untuk menindaklanjuti perintah Jakarta. Komandan KMKB Letkol Soegih Arto bersama kepala stafnya Mayor Ulung Sitepu menyusun rencana menangkap Simbolon dini hari seusai acara jamuan makan pada malam natalan di kediaman Simbolon. Kelompok ini mengerahkan sekompi prajurit-prajurit pendatang dari kavaleri, artileri, dan zeni. “Batalion yang akan ikut serta adalah Batalion Maliki dari Binjai dan Batalion dari Brastagi pimpinan Kapten Slamet Ginting dan Kompi pengawal KMKB di bawah pimpinan Letnan Dua Sempa Sitepu,” ujar Soegih Arto dalam memoarnya. Ironisnya, perwira-perwira yang hendak meringkus Simbolon adalah mereka yang ikut menandatangani ikrar bersama. Simbolon beruntung. Saat berlangsung acara makan, telepon berdering. Mayor C. Rajagukguk, kepala staf Resimen II yang loyal pada Simbolon, mengabarkan jika pasukan Resimen II sedang dalam perjalanan menuju Medan. Mengetahui ada yang tidak beres, pesta jamuan diakhiri begitu saja. Para perwira diminta siaga kembali ke pos nya masing-masing. Simbolon sendiri mempersiapkan diri meninggalkan rumah. Pagi buta, Simbolon membangunkan anak dan istrinya; memberitahu apa yang terjadi. Sebelum melarikan diri, mereka berdoa. Markas Batalion 132 pimpinan Kapten Sinta Pohan di Kampung Durian menjadi tujuan pelarian. “Kolonel Maludin Simbolon lalu menyuruh padamkan semua lampu di rumahnya dan berangkat dengan membawa regu pengawal kediamannya menuju Markas Batalion 132 pada pukul 4 pagi tanggal 27 Desember 1956,” tulis Payung Bangun dalam Kolonel Maludin Simbolon: Liku-liku Perjuangannya dalam Pembangunan Bangsa Drama penangkapan Panglima Simbolon berakhir dengan kegagalan. Dari Kampung Durian, Simbolon meneruskan pelariannya ke Tapanuli dan membentuk basis perjuangan di sana. Simbolon bersama para panglima pembangkang lainnya kemudian bergabung dalam gerakan pemberontakan Pemerintahan Revolusiner Republik Indonesia (PRRI) dan Permesta yang kelak akan merepotkan pemerintah pusat.
- Setan Merah Berharap Tuah
SETELAH dibesut Ole Gunnar Solskjær, Setan Merah bertaji lagi. Babyface yang dipercaya menjadi caretaker pelatih berhasil membuat raksasa Premier League Manchester United (MU) bergairah kembali. “Kedatangan Ole tentu memberi harapan adanya perubahan. Latar belakang sebagai mantan bintang MU juga memberi poin yang bisa memudahkan tugasnya,” tutur pengamat sepakbola Irfan Sudrajat kepada Historia. Kelebihan-kelebihan itu menjadi alasan Chief Executive MU Ed Woodward menunjuk Solskjær. “Ole adalah legenda klub dengan pengalaman baik di lapangan maupun di kepelatihan. Dia punya sejarah di Manchester United dan itu artinya dia hidup dan bernapas dengan kultur klub dan orang-orang di sini sangat senang menerimanya kembali. Kami percaya dia akan menyatukan pemain dan fans seiring menjalani paruh kedua musim ini,” tuturnya dikutip CNN , Kamis 20 Desember 2018. Solskjær yang sempat menjadi pelatih klub Norwegia, Molde FK, tak sendiri mengasuh Paul Pogba dkk.. Dia bersama Mike Phelan, eks asisten pelatih MU Sir Alex Ferguson, yang juga comeback ke Old Trafford. Keduanya diharapkan manajemen mendongkrak lagi posisi MU yang terengah-engah di posisi enam klasemen Premier League pasca pemecatan pelatih flamboyan José Mourinho. “Kami (MU) tak terbiasa di posisi enam, kami terbiasa di posisi memperebutkan gelar liga. Itu yang harus kami tatap dan kami tuju sekarang,” cetus Solskjær di situs resmi klub, manutd.com , Jumat 21 Desember 2018. Perubahan MU begitu jelas di tangan Solskjær. Pada debutnya di laga tandang kontra Cardiff City pada matchday ke-18, 23 Desember 2018, MU langsung mengamuk dan pulang dengan kemenangan 5-1. Hasil dahsyat itu sangat langka di era Mourinho. “Dia punya modal dari aspek kepelatihan selain latar belakangnya sebagai mantan pemain MU. Lalu tentu ada motivasi dalam diri Solskjær terkait tantangan ini. Dari semua aspek tersebut, jelas dia punya potensi untuk sekadar menstabilkan atmosfer (internal tim) dan hasil MU ke depannya,” sambung Irfan yang juga Wapemred Top Skor tersebut. Pembawa Hoki MU tak sembarangan mencari pelatih. Figur Solskjær dipilih tak hanya karena melegenda tapi juga dianggap punya tuah buat MU saat masih berkarier. Sosok kelahiran Kristiansund, Norwegia, 26 Februari 1973 itu pertama kali digaet MU pada 29 Juli 1996 dari Molde. Awalnya, Solskjær hanya opsi alternatif transfer MU lantaran MU gagal membajak Alan Shearer dari Blackburn Rovers yang memilih Newcastle United. Alhasil, di MU Solskjær berada di bawah bayang-bayang duet Eric Cantona dan Andy Cole. Ian Macleay mencatat dalam biografi Solskjær, The Baby Face Assassin: The Biography of Manchester United’s Ole Gunnar Solskjaer , pemain berambut ikal itu menjalani debutnya dalam laga uji coba pramusim 1996-1997 kontra Inter Milan di Old Trafford, 13 Agustus 1996. “United (MU) kalah 0-1 dari Nerazzurri (julukan Inter) tapi si rambut kuning Solskjær tampil impresif,” tulis Macleay. Debut profesionalnya di Premier League terjadi 12 hari berselang di matchday ketiga kontra Blackburn Rovers. Solskjær yang masuk di menit ke-61 menggantikan David May, bikin gol perdananya tujuh menit setelah masuk ke lapangan. Gol Solskjær menyelamatkan MU dari kekalahan, laga berakhir 2-2. Dari sinilah julukan super-sub mulai melekat padanya. “Saya harus berpikir bagaimana saya bisa merusak pertahanan lawan jika dimainkan. Di bangku cadangan, saya mempelajari, menganalisa permainan mereka, terutama juga memperhatikan kesalahan-kesalahan bek-bek lawan,” kenangnya kepada majalah Josimar edisi Maret 2012. Dari 33 kali tampil di musim perdananya, performa Solskjær moncer lantaran berhasil mencetak 18 gol di liga kendati dia jarang dijadikan starter . Perlahan, media-media Inggris punya julukan baru buatnya, The Baby Face Assassin alias si “Pembunuh Berwajah Imut” lantaran paras polosnya yang seperti bocah berkebalikan dengan daya bunuhnya di lapangan. Musim 1998-1999 nyaris jadi momen perpisahan Solskjær dengan MU yang menerima tawaran empat juta poundsterling dari rival asal London Utara, Tottenham Hotspur. Namun, pada saat negosiasi antara Spurs dengan MU, Solskjær menolak. Dia memilih tetap ingin memperjuangkan tempatnya meski harus bersaing dari bangku cadangan. Ole Gunnar Solskjær mencetak gol penentu kemenangan Manchester United atas Bayern Munich di Final Liga Champions 1999 Di pengujung musim, MU baru insyaf akan keteguhan Solskjær. MU mendapat hoki kala bersua Bayern Munich di final Liga Champions di Camp Nou, Barcelona, 26 Mei 1999. Di menit ke-81, Solskjær masuk menggantikan Andy Cole dalam kondisi MU tertinggal 0-1. Babak kedua hampir berakhir 1-1 setelah Teddy Sheringham menyamakan kedudukan lewat gol di menit 90+1. Saat Bayern mengira akan memainkan extratime , The Baby Face Assassin menunjukkan tajinya dengan membunuh Bayern lewat gol di menit 90+3. Ribuan fans MU di berbagai tribun sontak bergemuruh. Solskjær mengubah skor 2-1 hingga akhir laga. Trofi “kuping besar” Liga Champions pun dibawa pulang ke Old Trafford setelah 31 tahun. “Momen gol last minute Solskjær itu memang jadi momentum dalam sepakbola, bahkan menjadi momen bahwa apapun bisa terjadi sebelum peluit akhir pertandingan. Ya mungkin saja ada aspek tersebut ketika manajemen MU memilih Solskjær. Mengapa tidak? Bagaimanapun Solskjær datang ke MU dengan membawa sejarah tersebut,” kata Irfan. Caretaker Hoki? Cedera lutut kambuhan membuat Solskjær memilih pensiun pada Agustus 2007. Setahun kemudian, Solskjær mengasuh tim cadangan MU hingga pada 2010 hijrah menangani Molde. Sempat kembali ke Inggris untuk menukangi Cardiff City pada Januari 2014, Solskjær gagal total dan Oktober 2015 Solskjær kembali melatih Molde. Molde mengizinkan Solskjær “disewa” MU. Solskjær diharapkan ikut membawa “hokinya” lagi seperti ketika jadi pemain. “Ada pesan yang ingin disampaikan manajemen MU bahwa jangan menyerah meski dalam situasi sesulit apapun. Seperti pengalaman Solskjær semasa jadi pemain. Kini Solskjær harus membangkitkan lagi keyakinan itu kepada semua bintang MU. Mentalitas inilah yang pertama harus dibangun. Setelah itu baru semua aspek taktik dan strategi,” tandas Irfan.
- Gunung Anak Krakatau dan Tsunami Selat Sunda
PADA suatu sore, 29 Juni 1927, hampir 44 tahun berlalu dari letusan dahsyat induknya, Gunung Krakatau. Nelayan yang tengah menarik jaring setelah seharian mengayuh perahu, menyaksikan sesuatu yang luar biasa dan tidak terduga. Dengan bergemuruh, gelombang-gelombang gas yang sangat besar mendadak menyembul ke permukaan laut. Gelembung-gelembung itu dengan kombinasi yang aneh dan acak, muncul di mana-mana, mengelilingi perahu. Nelayan itu kebingungan dan ketakutan. Gelembung-gelembung itu meledak, menyemburkan abu dan gas belerang yang berbau busuk. Gelembung-gelembung itu, menurut jurnalis Simon Winchester dalam Krakatau: Ketika Dunia Meledak, 27 Agustus 1883 , merupakan indikasi pertama di permukaan bahwa sebuah gunung berapi baru yang mengintai jauh di dasar laut tengah berusaha membangun dirinya. Pertumbuhannya begitu cepat dan aktivitasnya berubah. Selain gelembung-gelembung yang menjadi lebih ganas, bermunculan juga buih hitam, uap, batu, bahkan nyala api. Akhirnya, pada 26 Januari 1928, volume gelembung dan nyala api berubah menjadi abu dan batu solid, serta muncul ke permukaan: sebuah lapisan tipis daratan baru berbentuk kurva tampak untuk pertama kalinya di atas permukaan laut. Daratan baru itu tumbuh, hitam dan seperti sabit, sampai akhirnya membentuk sebuah pulau. Jumlah ledakannya semakin besar. Pada 3 Februari 1928 tak kurang dari 11.791 ledakan selama 24 jam. Bahkan angkanya bertambah pada 25 Juni 1928 mencapai 14.269 ledakan atau sekitar sepuluh ledakan per menit selama sehari semalam. Gunung Anak Krakatau berumur sekitar dua tahun pada Mei 1929. (W.G.N. van der Sleen/Tropenmuseum). Peneliti pertama yang mengamati kelahiran gunung baru itu adalah ahli geofisika asal Rusia, W.A. Petroeschevsky. Belakangan dia sampai membangun sebuah bunker dari beton cor dan besi di Pulau Panjang untuk mengamati aktivitas gunung baru itu. “Dia memberinya nama yang sampai sekarang masih terus melekat: Anak Krakatau,” tulis Simon. Menurut Simon pos pengamatan yang dibangun Petroeschevsky terbukti amat berharga untuk memantau perkembangan Anak Krakatau: tumbuh dari bayi setinggi 20 kaki dan sepanjang setengah mil, mulai hidup pada 1930, menjadi puncak setinggi 500 kaki dan sepanjang satu mil dan selebar satu mil pada 1950, dan sekarang menjadi pulau monster setinggi 1.500 kaki dan berkawah dua. Di peta-peta kawasan itu, lanjut Simon, para hidrografer dari berbagai angkatan laut mengubah tanda pulau itu dari titik-titik “biru” yang berarti “baru, sementara, dan tidak pasti” menjadi “hitam legam” yang berarti “mapan, permanen, dan sudah menetap.” “Dari dulu ia adalah gunung berapi yang luar biasa aktif, yang tumbuh dengan cepat dan tak terhentikan sejak kelahirannya,” tulis Simon. Erupsi setiap hari 91 tahun kemudian dari munculnya tanda-tanda kelahirannya, Anak Krakatau melakukan erupsi setiap hari sejak 29 Juni 2018. Aktivitas erupsi itu diduga menjadi penyebab tsunami di Selat Sunda pada Sabtu malam, 22 Desember 2018 pukul 21.27 WIB. Tsunami itu menerjang pesisir tiga wilayah: Pandeglang, Serang, dan Lampung Selatan. Melalui akun twitter -nya, @Sutopo_PN, Sutopo Purwo Nugroho, kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, menyampaikan bahwa tsunami di Selat Sunda termasuk langka. Letusan Gunung Anak Krakatau juga tidak besar. Tremor menerus namun tidak ada frekuensi tinggi yang mencurigakan. Tidak ada gempa yang memicu tsunami saat itu. Itulah sulitnya menentukan penyebab tsunami di awal kejadian. Meskipun demikian, Sutopo menyebut bahwa “penyebab tsunami di Pandeglang dan Lampung Selatan kemungkinan kombinasi dari longsor bawah laut akibat pengaruh erupsi Gunung Anak Krakatau dan gelombang pasang saat purnama.” Dalam konferensi pers pada 24 Desember 2018, Dwikorita Karnawati, kepala BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) menyampaikan bahwa tsunami Selat Sunda tak lazim dan kompleks. Pemicunya adalah erupsi Gunung Anak Krakatau yang mengakibatkan kepundan (kawah gunung berapi) kolaps sehingga terjadi longsor bawah laut di bagian barat daya. Penghitungan sementara longsoran itu seluas 64 hektar. Tremor vulkanik setara magnitudo 3,4 yang diperparah oleh curah hujan yang tinggi dan gelombang pasang. Dampak tsunami di Selat Sunda per 25 Desember 2018 tercatat 429 orang meninggal, 1.485 orang luka-luka, 154 orang hilang, dan 16.082 orang mengungsi. Kerusakan fisik sebanyak 882 rumah, 73 penginapan, 60 warung, 434 perahu dan kapal, 24 kendaraan roda empat, 41 kendaraan roda dua, satu dermaga, dan satu shelter rusak. Tulisan ini diperbarui pada 25 Desember 2018.
- Perkawinan Anak yang Tak Kunjung Hilang
MARYATI pasrah. Di usianya yang masih 14 tahun, dia terpaksa meninggalkan bangku sekolah. Ayahnya terlilit utang. Dia hendak menikahkan Maryati dengan seorang lelaki yang jauh lebih tua. Maryati menolak. Dia kabur ke rumah neneknya, mencari perlindungan. Tak sampai di situ, Maryati bahkan sempat mengancam akan bunuh diri. Namun, ayahnya mengancam balik. Dia akan memenjarakan sang ibu jika Maryati menolak dinikahkan. “Dalam alam pikir anak SMP, dia tidak kepikiran kalau seseorang tidak bisa dipenjara tanpa alasan. Akhirnya, Kak Maryati menuruti keinginan ayahnya,” kata Lia Anggiasih, kuasa hukum Koalisi 18+, kepada Historia. Maryati merupakan salah satu penyintas perkawinan anak dari Bengkulu. Maryati tak sendiri. Data Badan Pusat Statistik tahun 2017 menunjukkan, 25,71% perempuan Indonesia usia 20-24 tahun menikah di usia kurang dari 18 tahun. Angka ini dijaring dari 34 provinsi. Kalimantan menempati angka tertinggi, yakni 39,53 %. Sementara, persentase pernikahan anak di seluruh Indonesia berada di atas 10% dan 23 provinsi di antaranya mencapai angka 25%. Dari data ini Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) menyimpulkan bahwa 67% wilayah di Indonesia mengalami darurat perkawinan anak. Maryati bersama dua peyintas lain dari Indramayu, Endang Wasrinah dan Rasminah, ikut mengajukan judicial review (JR) pada Mahkamah Konstitusi (MK). Ketiga perempuan penyintas itu bersama KPI, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA), dan beberapa organisasi lain yang tergabung dalam Koalisi 18+, mengajukan JR pada UU Perkawinan tahun 1974 tentang batas usia perkawinan. “Usaha JR pertama dimulai sejak tahun 2014, tapi waktu itu (sidang tahun 2015, red. ) ditolak. Tahun 2016 kami kembali mengadakan FGD dan penjaringan data untuk pengajuan JR kembali pada 2017,” kata Lia. Pada Kamis, 13 Dsember 2018, Ketua Majelis Hakim MK Anwar Usman memutuskan batas minimal usia perkawinan untuk perempuan harus dinaikkan dari sebelumnya 16 tahun. “Salah satu yang jadi pertimbangan hakim, UU Perkawinan seharusnya sinkron sengan UU Perlindungan Anak. Di sini anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun,” kata Lia. Sebelum putusan MK, berbagai usaha dilakukan seperti pengusulan Perpu ke presiden pada 2016. Usaha ini disambut baik dan diterima oleh Kepala Kantor Staf Kepresidenan Jenderal Purnawirawan Moeldoko dan Sylvana Apituley. Pada pertemuan April 2018, Lia menyaksikan sendiri janji Presiden Joko Widodo untuk mengesahkan Perpu Pencegahan dan Penghentian Perkawinan anak. Ditolak Sejak Lama Nursama, anak perempuan asal Aceh, masih berusia delapan tahun pada 1890 . Gadis belia ini dinikahkan dengan pamannya yang jauh lebih tua, Tanim. Kala itu, pernikahan anak menjadi hal yang jamak ditemui bahkan dianggap bagian dari adat. Nursama mengalami trauma hingga butuh waktu tiga bulan untuk pulih lantaran menikah saat belum siap secara seksual dan mental. Seorang pejabat Belanda yang merasa iba melaporkan Tanim ke pengadilan setempat ( Landraad ). Tanim lantas dijatuhi hukuman 15 tahun kerja paksa karena meniduri isterinya yang belum cukup umur. Kasus ini dimuat dalam buku Menikah Muda di Indonesia karya Sita van Bemmelen dan Mies Grijns. Pemerintah Belanda sudah memberi perhatian terhadap penghapusan perkawinan anak sejak 1900-an. Pemerintah memerintahkan tiap residen di Jawa dan Madura untuk membatasi perkawinan anak. Definisi perkawinan anak di masa itu pun mengalami tubrukan dengan adat istiadat. Dalam berbagai adat di Indonesia seorang perempuan masih dikategorikan sebagai anak bila belum mencapai pubertas. Namun definisi anak dalam hukum pernikahan adalah, anak perempuan hanya diperbolehkan menikah ketika usianya mencapai 15 tahun sementara anak laki-laki berusia 18 tahun. Jika keduanya belum mencapai usia 21 tahun, mereka perlu izin dari orang tua atau wali. “Saya rasa aturan pemerintah Belanda tentang batas usia perkawinan dipengaruhi oleh kebijakan dari Inggris yang kala itu menguasai India. Di India juga marak pernikahan anak, bahkan lebih parah dari Indonesia,” kata Sita van Bemmelen kepada Historia . Sebuah riset yang dilakukan pada 1905-1914 menyingkap, pernikahan anak jamak ditemukan di kalangan pribumi. Bahkan, anak yang belum mencapai pubertas pun sudah menjalani pernikahan. “Pemerintah kolonial punya persepsi, kalau dalam bahasa sekarang, pembangunan masyarakat di Jawa tidak bisa maju apabila perkawinan anak terus berlanjut. Karena anak-anak tergantung sama orang tuanya. Kalau orang tuanya juga masih anak-anak, pembangunan itu tidak bisa berjalan,” kata Sita. Penelitian itu memuat pula pandangan sembilan perempuan pribumi. Mayoritas menolak pernikahan anak. Para pejuang seperti Raden Ajoe Soegianto, bidan Djarisah, dan Dewi Sartika sangat mencela perkawinan anak. Mereka mengusulkan agar kebiasaan itu dihapuskan. Dewi Sartika bahkan menyebut perkawinan anak sebagai kanker sosial. “Pemikiran Siti Soendari tentang penghapusan perkawinan anak saya rasa yang paling tajam dan tegas. Ia mengusulkan agar penghapusan pernikahan anak bisa dilakukan lewat pendidikan,” kata Sita. Siti Soendari, lulusan hukum Universitas Leiden dan pemimpin redaksi Wanito Sworo, bahkan tidak hanya mencela perkawinan anak tapi memberikan usulan penananganan masalahnya. Menurut Soendari, langkah-langkah hukum untuk menangani perkawinan anak hanya membuat prosesnya makin sulit karena berbenturan dengan golongan agama. "Pada akhirnya, saya tidak tahu ada senjata lain melawan kebiasaan busuk ini selain pendidikan," kata Soendari. Perempuan Belanda pun khawatir terhadap kebiasaan pernikahan anak. Pada 1917, Kepala Sekolah Kartini di Semarang FA. Schippers menulis surat terbuka di koran kepada istri Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum lantaran prihatin melihat murid-muridnya yang masih belia harus keluar dari sekolah karena dinikahkan oleh orang tua mereka. Ia meminta perempuan nomor satu di Hindia Belanda itu menggunakan pengaruhnya untuk melawan pernikahan anak. Namun, surat Nyonya Schippers tidak mendapat jawaban. Protes terhadap praktik perkawinan anak juga dibahas dalam Kongres Perempuan Pertama, 1928. Nyonya Moega Roemah dari Puteri Indonesia membahasnya dalam pidatonya. Meski mayoritas masalah yang dibahas adalah poligami, urusan perkawinan anak tak dikesampingkan. Keprhatinan Moega Roemah, yang menolak keras praktik perkawinan anak, bermula ketika ia menyaksikan murid-murid perempuan harus berhenti sekolah di usia 11 atau 12 tahun lantaran akan dikawinkan. Anak-anak perempuan yang masih senang-senangnya bermain itu dengan berurai air mata harus menikah dengan laki-laki yang tak dikenal. Dalam pidatonya, Nyonya Moega menjelaskan bahwa dalam dunia anak-anak, konsep pernikahan belum tergambarkan. Ia juga memberi dampak-dampak buruk yang diterima perempuan dalam pernikahan dini, seperti putus sekolah, ketidaksiapan anak menghadapi dunia pernikahan, dan beban yang harus ditanggung anak ketika hamil atau punya anak. “Dapatkah ibu yang kurang umur itu melakukan kewajibannya yang penting dan sukar itu? Perkawinan anak-anak itu suatu masalah penting dan harus kita perhatikan dengan sebaik-baiknya,” kata Moega dalam pidatonya seperti dimuat Susan Blackburn dalam Kongres Perempuan Pertama, Tinjauan Ulang. Moega menyarankan, karena perkawinan anak bukan termasuk pembahasan utama, agar kongres memberi ruang tersendiri untuk membahas lebih jauh soal perkawinan anak. Ia juga mengusulkan agar gerakan perempuan bersama-sama mendesak majelis agama untuk melarang perkawinan anak. Namun, usul itu tak ditolak mentah-mentah. Hasil kongres pertama hanya mengamanatkan anggotanya untuk membuat propaganda tentang keburukan perkawinan dini dan mendesak pejabat setempat untuk memberikan penerangan tentang efek buruk perkawinan anak. Usaha menghentikan pernikahan dini berlanjut di Kongres Perempuan Indonesia II di Jakarta. Kongres menyepakati pembentukan Komite Perlindungan Kaum Perempuan dan Anak-anak Indonesia (KPKPAI) yang salah satu tugasnya mempelajari dan mengawasi kondisi anak-anak, termasuk pernikahan anak. KPKPAI pada Kongres III di Bandung diganti menjadi Badan Perlindungan Perempuan dalam Perkawinan (BPPIP). Masalah Batas Usia Pascakemerdekaan, usaha penghapusan pernikahan anak terus berjalan. Pada 1946, tulis Saskia Eleonora Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia , pemerintah mengeluarkan aturan tentang pencatatan pernikahan. Aturan turunannya berupa Instruksi Menteri Agama No. 4 tahun 1947 yang berisi anjuran pada pegawai pencatatan nikah untuk mencegah perkawinan paksa dan anak. “Sayang, dalam praktiknya baik perkawinan anak maupun perkawinan paksa tidak menurun,” tulis Saskia. Produk hukum itu sepaket dengan aturan pernikahan lain yang tidak memuat tentang larangan poligami. Alhasil, gerakan perempuan menolak UU tersebut. Mereka lalu mengusulkan perumusan UU pernikahan yang adil ke parlemen. Hasilnya, dibentuknya Komisi Nikah Talak dan Rujuk (NTR) pada 1950. Anggotanya, Nani Suwondo, Sujatin Kartowijono, Kwari Sosrosumarto, Maria Ullfah, Mahmudal Mawardi, dan tokoh agama dari kaum pria. Pada Desember 1952, Komisi NTR menyampaikan RUU yang di dalamnya mengatur batas usia perkawinan, perempuan 15 dan lelaki 18 tahun. Batas usia yang tidak berbeda dari hukum Belanda itu merupakan hasil kompromi berbagai pihak. Lantaran merasa kemajuan perumusan UU Perkawinan sangat lambat, Nyonya Sumari bersama para perempuan yang duduk di DPR, mengajukan RUU Perkawinan yang adil pada 1958. Dalam usulan Nyonya Sumari, batas usia pernikahan sama seperti Komisi NTR, yakni 15 untuk perempuan dan 18 untuk lelaki. Usulan batas usia pernikahan mengalami perubahan pada Februari 1973 seiring dengan penggalakan program Keluarga Berencana oleh pemerintah. Usulan ini didapat ketika pemerintah mengadakan public hearing dengan tokoh-tokoh Kowani lewat DPR. Maria Ullfah ikut dalam pertemuan itu. Hasil pertemuan mengusulkan agar batas usia pernikahan menjadi 18 untuk perempuan dan 21 untuk laki-laki. “Umur 21 dianggap sebagai umur ideal untuk pria karena sudah dapat menghidupi diri sendiri. Sementara usia paling dini bagi perempuan untuk menikah adalah 18 tahun,” kata Maria Ullfah dalam ceramahnya di Gedung Kebangkitan Nasional, 28 Februari 1981, yang dibukukan dengan judul Perjuangan untuk Mencapai Undang-Undang Perkawinan. Pengawalan terhadap batas usia nikah itu terus dilakukan Maria Ullfah dan rekan-rekannya. Mereka terus mengejar DPR agar segera menyelesaikan UU Perkawinan. Salah seorang yang mereka temui adalah Wakil Ketua DPR Sumiskun. Namun, ketika UU No. 1 tahun 1974 disahkan, usia minimal perkawinan adalah 16 untuk perempuan dan 19 untuk lelaki. Batas usia itu berlaku sejak masa kolonial dan bertahan hingga kini. Putusan MK untuk menaikkan batas usia perkawinan pada Kamis (13/12) lalu menjadi titik cerah meski tenggat yang diberikan cukup lama, tiga tahun. Putusan ini menjadi satu hal yang dinanti sejak seabad lalu. “Putusan MK ini menjadi hadiah bagi 90 tahun perjuangan gerakan perempuan sejak 22 Desember 1928. Namun kami tak puas begitu saja, tenggat tiga tahun itu masih sangat panjang. Padahal, Indonesia sudah mengalami darurat pernikahan anak,” kata Lia.
- Catatan tentang Islamisasi di Sumatra
PERDEBATAN soal kapan pertama kali Islam masuk ke Nusantara belumlah khatam. Sebagian percaya Islamisasi dimulai abad ke-7. Lainnya tak yakin dan menilai Islam baru masuk ke Nusantara sekira akhir abad ke-12 M. Arkeolog Uka Tjandrasasmita salah satu yang percaya Islam masuk sejak abad ke-7 M. Sedangkan abad ke-13 M adalah pertumbuhannya menjadi kerajaan bercorak Islam. Namun menurutnya hingga abad ke-13 M tahapan masuknya agama Islam masih terbatas di daerah Selat Malaka. Sebenarnya ada isyarat kalau pada abad ke-7 sampai ke-8 M Islam sudah masuk Sumatra. S.Q. Fatimi pada 1963 lewat jurnalnya berjudul “Two letters from the Maharaja to the Khalifah” dalam Islamic Studies menyebutkan raja Sriwijaya pernah mengirim surat kepada dua raja Arab: Khalifah Muawiyah ibn Abi Sufyan, pendiri Dinasti Umaiyah (661-680 M), dan Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz (717-720 M). Kedua surat itu ditemukan sastrawan al-Jahiz di arsip Dinasti Umayyah. Isinya maharaja Sriwijaya meminta raja Arab mengirim guru untuk mengajar Islam di Sriwijaya. Namun, tak diketahui apakah masing-masing raja Arab itu memenuhi permintaan maharaja Sriwijaya. Yang jelas, kata guru besar sejarah UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra, kedua surat itu menunjukkan kalau para pelaut, pedagang muslim pendatang tidak memperkenalkan Islam kepada maharaja Sriwijaya. "Sehingga dia merasal perlu meminta guru yang mengajarkan Islam," kata Azra dalam acara Borobudur Writers Cultural Festival ke-7 2018. Azra menyebut periwayatan al-Ramhurmuzi dalam kitab Ajaib al-Hind yang ditulis sekira 390 H (1000 M), sumber Timur Tengah paling awal tentang Nusantara. Isinya tentang kunjungan para pedagang muslim di Kerajaan Zabaj (Sriwijaya). Penuturannya mengindikasikan Islam sudah ada di Nusantara pada abad ke-10 M dengan adanya orang muslim di Sriwijaya. "Tapi nampaknya muslim itu orang asing. Sebaliknya tak ada indikasi kalau penduduk lokal telah masuk Islam apakah dalam jumlah relatif kecil, apalagi massal," ujar Azra. Lebih lanjut dia menegaskan lebih yakin proses Islamisasi di Nusantara mulai terjadi pada akhir abad ke-12 M. Kesultanan Perlak Keberadaan Kesultanan Perlak yang dipercaya berdiri abad ke-9 M, Uka Tjandrasasmita meragukannya. Dalam makalahnya, “Pasai dalam Dunia Perdagangan” yang terbit di Pasai Kota Pelabuhan Jalan Sutra: Kumpulan Makalah Diskusi, Uka menulis keberadaan Perlak masih perlu diteliti. Apakah menjelang kedatangan Marco Polo ke sana atau jauh sebelumnya sudah berkembang. Sepulang dari Tiongkok, penjelajah asal Venesia itu singgah di pesisir Selat Malaka pada 1292 M. Dia menceritakan di Ferlec (Perlak), sekarang Aceh timur, sudah terdapat pedagang Saracen yang berdatangan dengan kapal-kapalnya secara teratur. Merekalah yang mengenalkan hukum Islam kepada penduduk Perlak. Dulunya, orang-orang di Perlak adalah penyembah berhala. “Jadi, paling tidak beberapa tahun sebelumnya Perlak sudah didatangi pedagang muslim,” kata Uka. Kendati begitu, menurut Marco Polo, yang berubah kepercayaan rupanya hanya penduduk kota. Mereka yang tinggal di pegunungan hidup seperti binatang dan menyembah berbagai hal. Apapun yang mereka lihat pertama kali ketika bangun tidur di pagi hari, maka itulah yang mereka sembah. Marco Polo menyaksikan kondisi tak berbeda di Samudera atau yang dia sebut dengan Sumatra. Tempat itu yang kemudian menjadi pelabuhan terkemuka bernama Pasai. Dia melewatkan lima bulan di sana. Katanya penduduk di sana adalah penyembah berhala. Orang-orangnya liar. Agaknya 53 tahun kemudian kondisi di Samudera sudah jauh berbeda. Ini disaksikan Ibn Battuta, pelawat Maroko yang mampir ke Samudera Pasai pada 1345. Dalam Rihla Ibnu Batutah , Ibnu Battuta berkisah tentang pertemuannya dengan sultan ketiga Samudera Pasai, Sultan Malik al-Zahir II. Sang sultan merupakan muslim yang saleh, menjalankan Islam dengan penuh semangat. Sementara itu dia tak menyebut Perlak. “Satu hal yang penting, mereka yang menjemput (Ibnu Battuta di pelabuhan, red. ) adalah ulama dari mancanegara, yang dilihat dari namanya berasal dari Persia,” kata Azra. Ketika itu Samudera Pasai merupakan kesultanan yang kosmopolitan. Kendati keislaman di kesultanan sudah kuat, wilayah Pasai masih belum sepenuhnya Islam. Di sana masih banyak warga yang belum Islam. “Dia (sultan, red. ) sering terlibat dalam perang agama melawan orang-orang kafir maupun dalam misi penyerangan. Mereka menguasai orang kafir yang tinggal di daerah sekitar, yang akan membayar pajak kepada mereka demi mempertahankan kedamaian,” tulis Ibnu Battuta. Kesultanan Samudera Pasai Sekira dua abad berikutnya, penjelajah asal Portugis, Tome Pires datang memberikan kesaksian yang lebih lengkap soal Sumatra terutama Samudera Pasai. Perlak tak lagi muncul dalam kesaksiannya. Padahal dia menyebutkan nama-nama kerajaan lainnya di Sumatra. Menariknya, kata Pires, Pasai dulunya diperintah oleh raja Pagan. Ketika dia datang, 160 tahun seudah berlalu sejak raja pagan itu digulingkan oleh pedagang Moor yang licik. Waktu itu, orang Moor sudah menguasai pesisir pantai. Mereka akhirnya mengangkat seorang raja Moor yang berasal dari kasta Bengal. Mulai saat itu, Pasai selalu dipimpin oleh orang Moor. “Semua penduduknya yang berada di pesisir pantai di sisi Terusan Malaka beragama Moor. Meski demikian, hingga kini mereka masih berlum berhasil mengubah kepercayaan masyarakat pedalaman,” lanjut Pires. Dalam Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-kota Muslim di Indonesia, Uka Tjandrasasmita menjelaskan munculnya kerajaan Samudera Pasai dapat dihubungkan dengan kondisi politik Kerajaan Sriwijaya yang mulai melemah. Kerajaan maritim itu tak lagi mampu menguasai daerah kekuasaannya. Situasi itu kemudian dipergunakan oleh orang muslim. Tak hanya untuk membentuk perkampungan perdagang yang ersifat ekonomis. Namun juga untuk membentuk struktur pemerintahan, yang menurut cerita tradisi Hikayat Raja Pasai , dengan mengangkat Marah Silu, kepala suku Gampong Samudera, menjadi Sultan Malik as-Salih. Dialah sultan pertama Samudera Pasai. Adapun Perlak sudah merupakan kerajaan bercorak Islam ketika Marco Polo datang dengan sultannya, Marhum Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah. Pada masa pemerintahan Raja Muhammad Amin Syah (1225-1263 M) terjadi pernikahan antara putri dari Perlak bernama Ganggang Sari dengan Marah Silu yang kemudian mendirikan Kerajaan Samudera Pasai. Tentunya versi cerita tradisi ini agak berbeda dengan penuturan Tome Pires yang menyebut raja Samudera Pasai adalah orang Moor. Namun pastinya bahkan pada masa Samudera Pasai pun mayoritas masyarakat Nusantara belum memeluk Islam. Apalagi di Jawa, Majapahit masih berkuasa. Di Nusantara, pada abad ke-13 M, proses Islamisasi itu masih berlangsung.
- Ketika Poligami Jadi Soal Negara
SITI HARTINAH, istri Presiden Soeharto, punya pegangan hidup dalam membina biduk rumah tangga. Bagi Ibu Negara yang akrab di sapa Ibu Tien ini, prinsip pernikahan monogami adalah harga mati. “Hanya ada satu nyonya Soeharto, dan tidak ada lagi yang lainnya. Jika ada, akan timbullah satu pemberontakan yang terbuka dalam rumah tangga Soeharto,” kata Soeharto sambil tersenyum kepada jurnalis Jerman, O.G. Roeder dalam Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto. Baca juga: Soeharto-Hartinah, kisah romansa anak desa Prinsip ini pula yang dijunjung tinggi Soeharto sejak menyunting Tien sebagai pendamping hidupnya. Dalam suasana revolusi, Tien dan Soeharto memutuskan menikah pada 26 Desember 1947. Hingga akhir hayat masing-masing, keduanya tetap setia sebagai pasangan suami-istri. Suara dari Istana Menurut Roeder, Ibu Tien sangat menentang poligami. Soalnya, pria yang memperistri lebih dari satu perempuan seringkali menimbulkan ketidakadilan dalam perkawinan. Rentannya kedudukan perempuan akibat belenggu poligami memicu Tien ikut memperjuangkan hak perempuan. Itulah sebabnya, Tien berpadu dengan para pemimpin organisasi wanita yang getol memperjuangkan Undang-undang (UU) Perkawinan. Sejak pengujung 1960, Rancangan UU Perkawinan telah digulirkan. Namun prosesnya berjalan alot penuh aral. Di tingkat legislatif, wacana UU Perkawinan memantik perdebatan dan pertentangan yang ujung-ujungnya mentok. Baca juga: Hartini dan Jenderal AH Nasution yang antipoligami Penolakan terutama datang dari kelompok Islam karena praktik poligami dibenarkan dalam hukum syariat. Pasal-pasal dalam UU Perkawinan dianggap bertentangan dengan syariat Islam. Tak heran, demonstrasi kerap mewarnai perjalanan menggolkan UU Perkawinan baik dari mereka yang pro maupun kontra. Bila organisasi wanita saat itu memperjuangkan UU Perkawinan lewat serangkaian aksi unjuk rasa, maka Tien bergerak dari jalur istana. Tien mendorong suaminya agar memberikan ruang bagi perempuan melalui UU Perkawinan. Soeharto yang menerima RUU Perkawinan itu kemudian meneruskannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). “Dalam membina keluarga yang bahagia sangatlah perlu adanya usaha yang sungguh-sungguh untuk meletakkan perkawinan sebagai ikatan suami-istri dalam kedudukan yang semestinya dan suci,” kata Soeharto di hadapan DPR dikutip Abdul Gafur dalam Siti Hartinah: Ibu Utama Indonesia . "Karena itu sudah seharusnya negara memberikan perlindungan yang selayaknya kepada suami atau istri terhadap tujuan-tujuan yang menyimpang dari kerukunan perkawinan." Baca juga: Asal-usul batas usia minimal dalam UU Perkawinan No.1/1974 Pada 2 Januari 1974, RUU Perkawinan akhirnya diputuskan sebagai UU No. 1 tahun 1974. UU ini memang tak melarang poligami tetapi mengatur regulasinya sesuai peraturan perundang-undangan. Perjuangan kaum istri terjawab setelah UU ini menetapkan bahwa seorang pria hanya boleh memiliki seorang istri dan seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami. Presiden Soeharto membubuhkan tanda tangannya, mensahkan UU yang peka dan pelik itu. Menjewer Pejabat Negara Tien agaknya menyadari praktik poligami juga dilakukan oleh para pejabat tinggi negara. Di kalangan TNI, misalnya, beberapa jenderal teras punya reputasi sebagai “Don Juan”. Jenderal Soemitro dan Herman Sarens Sudiro hanyalah segelitir nama. Menyaksikan hal demikian, Tien pun jengah. “Memang Ibu Tien Soeharto sangat mengecam perwira yang poligami. Dan bisa jadi akhir buat karier perwira itu di TNI,” kata Sayidiman Suryohadiprodjo, wakil KSAD periode 1973-74, kepada Historia. Baca juga: Herman Sarens, perwira yang nyaris ditembak Soeharto Ikhtiar Tien untuk mencegah poligami dan perceraian pun tak berhenti sampai UU Perkawinan. Peraturan serupa diberlakukan kepada tentara pada 1980 dan polisi pada 1981. Puncaknya ketika dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 tentang izin pernikahan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada 21 April 1983. Menurut Cindya Esti Sumiwi, lahirnya PP tersebut lantaran berbagai tuntutan dari para anggota Dharma Wanita (istri-istri PNS) yang resah dengan kelakuan suami mereka. Kelakuan yang dimaksud seperti poligami secara diam-diam maupun perceraian yang sewenang-wenang. “Pada intinya, PP ini membahas mengenai peraturan pernikahan untuk PNS yang bersangkutan meminta izin kepada atasannya dan diizinkan secara tertulis, baik untuk percerain atau pernikahan yang kedua/ketiga/dan seterusnya,” tulis Cindya dalam skripsinya di Universitas Indonesia berjudul “Perjalanan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia 1974—1983”. Baca juga: Perempuan selalu menjadi korban dari praktik poligami Menurut Ny. T. Fuad Hasan dalam Dwiwindu Dharma Wanita: 5 Agustus 1974-5 Agustus 1990 , pengesahan rancangan PP No. 10 tak terlepas dari peranan Ibu Tien. Perannya secara gamblang terjejaki dalam buklet Dharma Wanita yang mengakui dukungan kuatnya dalam perjuangan Dhama Wanita untuk PP 10. Dalam artikelnya "Seksualitas dalam Pengaturan Negara", dimuat Prisma , 7 Juli 1991, sejarawan-cum-aktivis gender Julia Suryakusuma menyebut konon PP 10 merupakan cermin kecemasan dari seorang Tien Soeharto terhadap kebiasaan kawin-mawin pejabat elite bergaya priayi. Umum diketahui, Ibu Tien Soeharto dapat menentukan nasib pejabat tinggi pemerintahan yang melakukan “pelanggaran seksual”, seperti misalnya perceraian ataupun poligami. Bagi mereka yang berani membangkang, siap-siap saja kena ganjarannya. Baca juga: Widjojo Nitisastro, perancang ekonomi Orde Baru Widjojo Nitisastro yang menjabat menteri koordinator ekonomi merangkap ketua Bappenas hanyalah satu contoh yang harus menerima konsekuensi PP 10. Widjojo memutuskan menceraikan istrinya dan menikahi sekretarisnya. Dia akhirnya harus melepas jabatannya namun tetap dipertahankan sebagai penasihat ekonomi. “Sanksi pelanggaran berupa penundaan kenaikan pangkat atau gaji, dan paling buruk, dipecat dengan tidak hormat dari kepegawaian,” tulis Julia. Baca juga: Rahmah El Yunusiyah, ulama perempuan yang menolak keras dipoligami
- Tank Gaek Bertahan Hidup
SUARA mesinnya masih gahar. Manuver-manuvernya masih lincah. Tank tua M3A1 Stuart itu masih jadi momok buat pasukan TKR Resimen Magelang, Purwokerto, dan Banyumas bersama barisan rakyat. Namun, siang itu tank gaek yang dinamai “Alexander” itu tetap tak mampu melindungi serdadu Inggris yang telah terkepung pasukan republik. Fragmen klimaks Palagan Ambarawa (20 Oktober-15 Desember 1945) itu digambarkan secara kolosal dalam sebuah aksi teatrikal oleh TNI AD bekerjasama dengan komunitas Djokjakarta 45. Atraksi yang diikuti para reenactor dari Yogyakarta, Bekasi, Solo, Temanggung, hingga Palangkaraya itu diadakan di Lapangan Panglima Besar Jenderal Sudirman, Ambarawa, Sabtu siang, 15 Desember 1945 dalam rangka memperingati Hari Juang Kartika. Ribuan warga yang menyaksikannya dari pinggir lapangan kian merasakan sensasi pertempuran lewat beragam ledakan mercon sebagai efek pengeboman dari dua pesawat Grob G 120TP Skadron Pendidikan 101 TNI AU dari Lanud Adisucipto, Yogyakarta yang melakukan beberapa kali flypass di langit Ambarawa. Muasal Tank Stuart Light Tank M3A1 Stuart yang jadi “bintang” dalam aksi teatrikal itu merupakan koleksi Pusat Pendidikan Kavaleri (Pusdikav) yang berada di bawah naungan Pusat Kesenjataan Kavaleri Komando Pendidikan dan Pelatihan (Pussenkav Kodiklat) TNI AD. Tank bernomor lambung 40-32 itu buatan Amerika Serikat (AS) semasa Perang Dunia II. “Ini tinggal satu-satunya yang masih jalan dan masih hidup. Dulu sebenarnya masih ada dua di Pusdikav. Yang satu dibawa ke Palembang untuk dibuat cagar (Monumen Perjuangan Rakyat Palembang),” terang Lettu (Kav) Muhidin, kepala kru tank, kepada Historia. Lettu (Kav) Muhidin (kanan) bersama dua kru Tank Stuart yang berada di bawah naungan Pusdikav TNI AD Light Tank M3 Stuart dibuat oleh American Car and Foundry Company (kini ACF Industries LLC) sejak 1941. Mengutip Samuel Zaloga dalam M3 & M5 Stuart Light Tank , namanya diambil dari seorang jenderal ternama Pasukan Konfederasi di masa Perang Saudara AS James Ewell Brown “Jeb” Stuart. Tank ringan ini juga diproduksi sebagai tank berawak pertama AS di PD II. Berdimensi lebar 2,29 meter, panjang 4,84 meter plus berbobot 15,2 ton, serta dilindungi “baju zirah” setebal 63,5 milimeter, tank empat awak ini tenaganya disuplai mesin tujuh silinder Continental W-670 berbahan bakar bensin. Untuk daya gempur, Stuart dibekali meriam M6 (37 milimeter) plus tiga senapan mesin Browning M1919A4. Di eranya, Tank Stuart jadi salah satu yang tergesit dengan kecepatan maksimal 58km/jam. Inggris sebagai salah satu sekutu utama AS mengkloning tank serupa dengan beberapa varian khusus untuk misi pengintaian (Stuart Reece tanpa meriam), Stuart Command, dan Stuart Kangaroo untuk markas radio berjalan, serta Stuart Artilery Tractor untuk keperluan zeni. Di front Eropa Barat dan Afrika Utara, Tank Stuart M3 dan “saudaranya” M5 jarang beraksi lantaran Sekutu lebih memilih Tank Sherman untuk menembus pertahanan Jerman Nazi dengan tank-tank beratnya. Stuart lebih diandalkan AS di front Pasifik untuk meladeni Jepang yang mayoritas ranpurnya juga tank ringan macam Ha-Go dan Chi-Ha. Di Indonesia, Stuart masuk awalnya dibawa Inggris dan Belanda. Operasi-operasi militer keduanya acap memicu pertempuran besar, baik di Surabaya (Pertempuran 10 November), Bekasi (Pertempuran Sasak Kapuk 29 November dan Bekasi Lautan Api 13 Desember), Sukabumi (Pertempuran Bojongkokosan 9 Desember), maupun Ambarawa (Palagan Ambarawa 15 Desember). Dalam era revolusi itu pula sejumlah Stuart berpindahtangan ke pihak Indonesia. “Perebutan situasional (pertempuran) saja. Resminya semua hibah (Februari 1950),” kata pengamat alutsista Haryo Adjie Nogo Seno saat dihubungi Historia. Pemimpin Redaksi Indomiliter .com dan penulis Monster Tempur Kavaleri Indonesia itu juga mencatat, di bawah TNI AD, Tank Stuart warisan Belanda itu dijadikan kekuatan pengawal infantri dalam sejumlah operasi militer sejak hibah dari KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) pada Februari 1950. Seperti, operasi penumpasan RMS dan DI/TII (1950), PRRI dan Permesta (1958), dan penumpasan PKI 1965-1966. Pada 1970-an, Stuart tak lagi jadi kekuatan utama TNI AD seiring peremajaan alutsista. Langkanya beberapa spare parts membuat Stuart jadi alutsista usang yang kian jadi bangkai. Paling bagus dijadikan monumen seperti di beberapa kota seperti Bandung, Sukabumi, dan Palembang. Bertahan Hidup Setelah para “rekannya” menemui ajal, Stuart 40-32 kini sebatang kara. “Hanya untuk show saja di beberapa event dan film, seperti film Darah Garuda (2010). Kalau di negara asalnya jelas masih ada beberapa yang hidup. Tapi di Indonesia, itu (Tank 40-32) satu-satunya,” lanjut Haryo. Pun begitu, Pussenkav dan Pusdikav masih berkomitmen untuk menjaga tank legendaris ini tetap hidup kendati tak semudah membalikkan telapak tangan. “Lumayan susah. Dengan jenis mesin Continental tujuh silinder ini sudah enggak ada komponen dan spare part -nya di Indonesia. Contoh kecilnya saja, seperti platina. Kami sempat bingung cari yang sejenis dia ini seperti apa. Apalagi tipenya kan seperti mesin 2 tak. Tidak ada pendingin seperti air, hanya pendingin udara dan oli saja. Tapi memang dari jajaran petinggi di Pusdikav dan Pussenkav berpesan untuk dirawat, untuk mengenang sejarah,” kata Lettu (Kav) Muhidin lagi. Light Tank Stuart yang nyaris 100 persen masih orisinil dan dalam satu jam pengoperasian membutuhkan bahan bakar full tank 200 liter bensin (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Alhasil, Stuart yang dibawa ke Palembang untuk ditempatkan di Monpera, beberapa komponen pentingnya terlebih dulu dikanibal. “Karena memang awalnya yang satu lagi sudah rusak parah. Makanya kami kanibal untuk diambil suku cadangnya dipindahkan ke yang satu lagi ini. Kami cukup kerepotan merawat yang sudah rusak parah itu,” lanjutnya. Hampir semua komponen yang ada di Stuart yang masih bertahan hidup itu asli, kecuali starter -nya yang diganti dengan komponen dari Tank AMX. “Semua sistemnya masih berfungsi juga. Termasuk sistem tembaknya – kalau memang ada amunisinya. Kita ya sudah tidak ada,” imbuh Muhidin. Satu hal unik dari tank uzur ini, dalam beberapa kesempatan tank ini dinaungi beberapa hal mistis. “Ya ada saja sih, kejadian. Seperti di event peringatan Serangan Umum 1 Maret tahun 2016, pernah mesinnya menyala sendiri. Teman-teman dan anak buah juga di markas kadang-kadang melihat lampunya juga menyala sendiri. Padahal enggak ada orang di dalamnya. Ditambah malam sebelum acara Hari Juang Kartika ini, saat kami lakukan persiapan, kami mencium bau-bau wangi begitu,” tandasnya.
- Keistimewaan Wallacea
Kawasan Wallacea, meski mungkin tak dinilai penting bagi negara lain, tapi sebaliknya untuk Indonesia. Wilayah itu dinilai sebagai laboratorium alam yang tak ada duanya di dunia. Wallacea adalah kawasan biogeografis yang mencakup kepulauan di wilayah Indonesia bagian tengah. Letaknya terpisah dari paparan benua Asia dan Australia. Ini meliputi tiga komponen, Pulau Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku. "Garis Wallace, untuk Indonesia penting. Inggris mungkin peduli dia, tapi ini luar biasa sebenarnya," jelas Sangkot Marzuki, Presiden Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), dalam acara Borobudur Writers & Cultural Festival ke-7, di Hotel Manohara, Magelang, Jawa Tengah. Kawasan Wallacea. (Wikipedia). Nama Wallacea diambil dari Alfred Russel Wallace, naturalis asal Inggris. Dari perjalanan berkelana di KepulauanNusantara selama delapan tahun (1854-1862), ia lalu membagi batas-batas fauna secara geografis, yang dikenal sebagai Garis Wallace. "Jadi Wallace dalam perjalanannya menjelajah Kepulauan Nusantara, dia berdiri di Lombok melihat, lalu sadar ada dua fauna yang berbeda," lanjut Sangkot. Tak ada batas yang tegas. Namun perbedaannya sebesar antara fauna di Afrika dan Amerika Selatan dan lebih dari Eropa dan Amerika Utara. Garis batas itu, lanjut Sangkot, lewat di antara pulau-pulau yang lebih dekat daripada pulau-pulau yang termasuk dalam kelompok yang sama. "Maksudnya Bali dan Lombok itu kan lebih dekat dibanding pulau lain, tapi garisnya ada di situ," ujar peneliti yang menekuni bidang biogenesis dan kelainan genetik manusia itu. Melihat ini, kata Sangkot, Wallace menjadi yakin sebelah barat merupakan bagian yang terpisah daripada benua Asia. Sementara sebelah timur adalah perpanjangan fragmen dari bekas benua barat Pasifik. "Bayangkan Darwin dan Wallace sama-sama bercerita tentang evolusi makhluk hidup, Wallace sudah bercerita tentang evolusi bumi," lanjut Sangkot, yang pernah menjabat sebagai direktur Lembaga Eijkman pada 1992-2014. Lalu apakah ada bukti kalau teori Wallace benar? Sangkot bilang, baru 150 tahun kemudian, seorang geolog di London mencoba merekonstruksi reformasi geologi di Nusantara. Sekira 50 juta tahun lalu Sumatra, Jawa dan Kalimantan merupakan bagian dari Asia. Adapun Sulawesi terdiri dari potongan-potongan daratan yang datang dari banyak arah. Pun fauna, flora, dan bakteria yang ada di Nusantara. Bagian barat datang dari Asia. Bagian timur dari Australia. Sementara yang di tengah merupakan campuran. "Kita lihat bahwa Kepulauan Nusantara yang ada sekarang ini sebagian datang dari Asia, sebagian dari Papua Australia, yang ini (Sulawesi, red. ) gado-gado dia," jelas Sangkot. Selain ada yang memang datang menyebrangdari luar, di wilayah Wallacea, flora dan faunanya pun ada yang berevolusi, lahir dan tumbuh di sana. Untuk kasus ini contohnya adalah cengkeh. Sampai 600-700 tahun lalu, hingga Eropa datang, cengkeh hanya tumbuh di Ternate dan Tidore, juga Pulau Makian. "Unik sekali hanya ada di situ. Betul-betul khas untuk daerah yang sekarang dinamakan daerah Wallacea, bukan Asia, bukan Papua atau Australia, tapi Wallacea," jelas Sangkot lagi. Itulah sebabnya, menurut dia, daerah Wallacea begitu unik sekaligus penting. Di sanalah, di mana ada satu pulau yang terdiri atas potongan-potongan daratan dari berbagai arah, lalu membawa organisme hidup yang berasal dari tempat berjauhan. "Wallacea ini banyak dibicarakan periset di sana. Ini laboratorium alam yang tak ada duanya di dunia," tegas Sangkot.
- Memahami Sejarah lewat Lukisan
SAMBIL menunggangi kuda hitamnya, Pengeran Diponegoro mengacungkan jari telunjuk. Tangannya yang lain memegangi tali untuk mengendalikan kuda. Penggambaran adegan itu terdapat dalam lukisan Diponegoro karya Basuki Abdullah yang dibuat tahun 1949. Tak ada satu pun potret wajahnya namun hal ini jadi kesempatan bagi para pelukis untuk mengabadikan profil dan kisah-kisahnya secara visual. Ada berbagai versi lukisan Diponegoro. Ada profilnya pakai blangkon dan surjan, atau potret setengah badan. “Lukisan Diponegoro yang paling populer yakni Diponegoro naik kuda karya Basuki Abdullah meniru gaya Napoleon Crossing the Alps (1801) karya Jacques Louis David,” kata Mikke Susanto ketika memaparkan makalahnya di Seminar Sejarah Nasional (3/12). Penggambaran Diponegoro lewat lukisan merupakan satu wujud dokumentasi sejarah ketika tokoh atau peristiwa sejarah tak sempat terekam dalam foto. Lukisan tentang potret pahlawan terus diproduksi pascakemerdekaan. Sukarno yang menggemari seni lukis, memajang lukisan potret para pahlawan di Istana Merdeka dan Bogor. Pada dekade 1980-an, potret pahlawan karya Basuki Abdullah menjadi paling populer. “Ratusan potret pahlawan direproduksi besar-besaran. Padahal Basuki Abdullah (ketika melukis Diponegoro, red. ) tidak bersumber dari foto, dia dari imajinasi,” kata Mikke. Selain sebagai wujud dokumentasi, lukisan juga bisa menjadi rujukan dalam penulisan sejarah. Keberadaan seni lukis, tulis Agus Burhan dalam artikel “Ikonografi dan Ikonologi Lukisan Djoko Pekik: ‘Tuan Tanah Kawin Muda’” yang dimuat dalam Jurnal Panggung, tidak bisa sekadar dilihat sebagai ungkapan artistik saja. Lebih dari itu, seni lukis bisa dipandang sebagai produk sosiokultural. Suatu karya yang diproduksi, dalam konteks sejarah, melibatkan kondisi sosiokultural yang membangunnya. Maka, Agus melanjutkan, seni lukis bisa menjadi rujukan yang memberi gambaran kondisi di masa tersebut. Ada lima aliran lukisan sejarah. Lukisan sejarah agama, mitologi, alegori, sastra, dan lukisan sejarah peradaban. Namun, tak semua lukisan bisa dijadikan rujukan dalam penulisan sejarah. “Kalau sebuah karya menganut konsep lukisan sejarah peradaban, lukisan itu bisa dipakai sebagai rujukan. Setidaknya memberikan gambaran tentang masyarakat di masa itu,” kata Mikke. Lukisan sejarah rata-rata beraliran realis, yang memudahkan orang mendapat gambaran atas hal yang ditampilkan. Pun sejak awal perkembangannya, lukisan sejarah diawali dengan gambaran yang paling mendekati wujud aslinya, baru kemudian berkembang lukisan sejarah dengan gaya non-realis. Di tangan Pablo Picasso, misalnya, lukisan sejarah disajikan dengan gaya kubistis yang berkembang di tahun 1930-an. Guernica (1937) karya Picasso punya konteks kesejarahan dengan peristiwa pengeboman di Kota Guernica pada April 1937 oleh tentara Nazi Jerman di tengah perang sipil Spanyol. Korban pengeboman yang mayoritas perempuan dan anak –karena para pria sedang pergi berperang– menggungah Picasso untuk membuat karya sebagai sikap protes. Lukisan itu selesai dibuat dua bulan setelah peristiwa. Guernica, seperti ditulis situs resmi pablopicasso . org, menjadi karya politis Picasso yang paling terkenal. Di Indonesia lukisan sejarah bisa dijumpai dalam karya Affandi Laskar Rakyat Mengatur Siasat (1946). Lukisan Affandi memberi gambaran para rakyat pejuang berkumpul dan mengatur strategi untuk melawan Belanda di masa revolusi. “Lukisan Affandi bisa dipakai sebagai sebuah rujukan untuk memberi gambaran bagaimana orang berkumpul di satu titik untuk membahas penyerangan,” kata Mikke. Karya lain yang bisa dijadikan rujukan, ialah Tuan Tanah Kawin Muda (1964) karya Djoko Pekik. Karya yang menampilkan seorang lelaki tua berbaring ditunggui seorang perempuan muda ini menjadi gambaran penindasan laki-laki pada perempuan lewat kekuasaan berupa modal ekonomi, sosial, dan kultural. Agus juga menilai Tuan Tanah Kawin Muda sebagai gembaran pertikaian kekuasaan laki-laki penguasa dengan perempuan rakyat jelata, dalam seting budaya feodal. Namun demikian, tak semua karya lukis bisa dijadikan sumber sejarah dan memerlukan kritik dengan membandingnya dengan fakta-fakta sejarah. Lukisan Raden Saleh berjudul Penangkapan Pangeran Diponegoro (1857) misalnya. Ada beberapa gambaran yang tidak sesuai dengan fakta sejarah seperti lokasi penangkapan. “Kalau dilihat pakaiannya benar, tapi tempatnya tidak seperti yang dilukisan. Jadi lukisan karya Raden Saleh pun perlu dikritik. Tidak semua lukisan sejarah benar adanya tapi bisa digunakan sebagai rujukan atau alat pembelajaran sejarah,” kata Mikke.
- Soe Hok Gie dan Tentara
RUDY BADIL masih ingat kata-kata sobatnya, Soe Hok Gie. Suatu hari, aktor intelektual gerakan mahasiswa 1966 itu bilang bahwa politik merupakan dunia yang sangat dihindarinya. Kalaupun pada akhirnya dia ada di dunia politik, Soe meyakinkan bahwa itu adalah jalan terakhir yang terpaksa harus diambilnya karena jalan yang lain sudah tertutup. “Orang lurus macam dia memang tak cocok ada di dunia politik,” ujar mantan jurnalis senior itu kepada . Soe memang pernah mengungkapkan hal tersebut dalam catatan hariannya yang dibukukan berjudul . Pada 16 Maret 1964, dia menulis bahwa politik adalah barang paling kotor, lumpur-lumpur kotor yang di dalamnya sama sekali tak mengenal moral. “Tetapi suatu saat di mana kita tak dapat menghindari lagi maka terjunlah … Dan jika sekiranya saatnya sudah sampai aku akan ke lumpur ini,” ungkapnya. Namun apa yang dihindari Soe ternyata harus terjadi juga. Ketika kekuatan politik Presiden Sukarno semakin menguat pada pertengahan 1960-an, dia tak menemukan cara lain untuk meruntuhkannya selain bekerja sama dengan tentara (Angkatan Darat). “Yang penting ialah mendapatkan kekuatan yang diperlukan, sebab jika kita tak memelihara kekuatan dan hanya studi terus, kita akan disapu bersih oleh grup lawan,” kata Soe Hok Gie. Aliansi Mahasiswa-Tentara Sejak meyakini gerakan mahasiswa tidak akan berhasil meruntuhkan kekuasaan Presiden Sukarno tanpa kekuatan politik lain, Soe mulai melihat tentara (baca: Angkatan Darat) sebagai mitra yang potensial. Menurut Daniel Dhakidae dalam "Soe Hok Gie Sang Demonstran", kata pengantar untuk Catatan Seorang Demonstran , hubungan Soe dengan tentara bisa terwujud karena jasa Nugroho Notosusanto, seniornya di Fakultas Sastra jurusan sejarah Universitas Indonesia. Lewat Nugroho yang juga kepala Pusjarah ABRI (Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), Soe membangun jaringan dengan Kolonel Suwarto, komandan SSKAD (Sekolah Staf Komando Angkatan Darat). Siapakah sebenarnya Suwarto? Menurut Anton Ngenget (eks agen CIA dan KGB di Indonesia), Suwarto adalah seorang tentara yang memiliki kecenderungan politik kepada Barat. “Saya tahu persis, dia pro-Amerika,” ungkap Anton dalam suntingan Eros Djarot dkk. Soe juga merintis hubungan ke beberapa perwira Kodam Siliwangi yang anti-Sukarno. Lewat Suripto (eks aktivis mahasiswa Bandung yang bekerja di Komando Operasi Tertinggi), Soe bisa mengenal Brigadir Jenderal TNI Kemal Idris, kepala staf Kostrad, dan Brigadir Jenderal TNI Yoga Sugama, perwira intelijen Komando Operasi Tertinggi. “Soe sering berunding dengan Suripto di kawasan Senayan,” ujar John Maxwell dalam disertasinya Soe Hok Gie: A Biography of A Young Indonesian Intellectual (diterjemahkan menjadi Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani). Hubungan baik dengan para perwira anti-Sukarno itu terbukti banyak gunanya bagi gerakan mahasiswa yang sedang berupaya meruntuhkan kekuasaan Sukarno. Bukan saja sumbangan materi, namun juga back up keamanan dalam setiap demonstrasi anti-Sukarno. “Di sekeliling mahasiswa sudah disediakan RPKAD preman. Merekalah yang akan menghadapi tukang-tukang pukul dan orang-orang bayaran dari kaum ASU-Soebandrio-Chairul Saleh,” tulis Soe dalam catatan hariannya. Menurut Maxwell, banyak aktivis mahasiswa yang sering berkumpul di Senayan (kediaman Suripto) mendapat akses dan diizinkan menumpang kendaraan militer sehingga mereka bisa menghindari jam malam. Bahkan ada beberapa aktivis mahasiswa yang dibekali senjata, termasuk Soe Hok Gie. “Dia pernah membawa pistol kaliber FN 9 mm di dalam ranselnya,” tulis Daniel Dhakidae dalam “Sekali Lagi Soe Hok Gie,” Sinar Harapan , 8 Januari 1970. Daniel mengutip pernyataan Boeli Londa, sahabat Soe. Sejarah mencatat, aliansi mahasiswa-tentara itu berbuah manis. Sukarno yang berkuasa selama 22 tahun sejak 1945, akhirnya berhasil ditumbangkan untuk menerbitkan rezim Orde Baru di bawah Jenderal TNI Soeharto. Mengatur Jarak Kemenangan grup tentara anti-Sukarno disambut hangat oleh sebagian besar tokoh KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Tetapi tidak oleh Soe Hok Gie. Alih-alih merasa lega, dia justru mewaspadai munculnya “tendensi militerisme dan fasistis” dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia. Soe lantas mengatur jarak dengan tentara. Jopie Lasut, rekan Soe sesama aktivis anti-Sukarno, memiliki cerita sendiri terkait gelagat tersebut. Alkisah pada 15 Maret 1966, Jopie dan Soe diminta oleh mahasiswa Jakarta untuk mengonfirmasi sebuah info intelijen penting dari telik sandi Kudjang (kesatuan khusus Kodam Siliwangi) kepada dua perwira Siliwangi anti-Sukarno: Mayor Jenderal TNI H.R. Dharsono dan Brigadir Jenderal TNI Suwarto di Bandung. Dalam pertemuan itu, sambil lalu Dharsono menanyakan tentang situasi Jakarta dan bagaimana kira-kira pendapat KAMI mengenai “kerja sama setara” antara ABRI-Mahasiswa. “Kami datang ke sini bukan sebagai wakil formil dari KAMI. Namun sepanjang sepengetahuan saya, para mahasiswa tidak akan mempertahankan kerja sama dengan ABRI kalau jenderal-jenderalnya masih hidup bermewah-mewahan,” ujar Soe seperti dikisahkan Jopie Lasut dalam Soe Hok Gie, Sekali Lagi suntingan Rudy Badil, dkk. Mendengar jawaban Soe, air muka Dharsono langsung berubah. Sebaliknya Suwarto malah tertawa. Sambil melirik ke arah Dharsono, dia kemudian bilang: “Ya..., tapi jangan dimasukan jenderal-jenderal seperti kami dong. Kami masing-masing hanya memiliki satu mobil pribadi yang kami bawa dari luar negeri. Itu pun untuk modal penyambung hidup,” ungkap perwira yang mendukung terbentuknya Radio Ampera UI tersebut. Selanjutnya sikap Soe semakin jelas terhadap tentara. Terlebih saat dia mulai melakukan kritik-kritik pedasnya terhadap pembantaian massal orang-orang PKI yang salah satunya melibatkan tentara. Sejak saat itulah langkah Sang Demonstran semakin jauh dari markas tentara.






















