Hasil pencarian
9594 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Jenderal AD dalam Dokumen Rahasia AS
DOKUMEN rahasia AS yang baru saja dideklasifikasi dan dibuka untuk publik pada 17 Oktober 2017 menyebut beberapa nama perwira tinggi yang dianggap melindungi Sukarno pasca peristiwa 1965. Pesan telegram bernomor A-503 itu bertajuk “Prospects for a Putsch in Djakarta” (prospek untuk perebutan kekuasaan di Djakarta) dan diberi label: rahasia. Dokumen itu dikirim dari Kedubes AS di Jakarta kepada sekretaris negara di Washington, DC, tanggal 7 Februari 1966, sebulan sebelum peralihan kekuasaan dari Sukarno kepada Letjen TNI Soeharto. Pengirim telegram bernama Edward E. Masters, konselor (penasihat) Kedubes AS untuk urusan politik. “Prospek untuk melawan Istana (Sukarno, red ), bergantung pada sikap militer,” tulis laporan itu. Laporan itu menyebut dua jenderal yang bertentangan dengan haluan kebijakan AS: Brigjen TNI Achmad Sukendro dan Mayjen TNI Ibrahim Adjie. Sukendro dikenal sebagai perwira intelijen Angkatan Darat, orang dekat Nasution, yang menjabat menteri negara merangkap menteri transmigrasi dan koperasi. Sementara Adjie menjabat Panglima Kodam Siliwangi, Jawa Barat. Mereka berdua dikhawatirkan lebih condong terhadap Sukarno. “Sukendro, bagaimanapun, tidak mengendalikan pasukan dan hanya aktif sebagai ahli strategi politik,” tulis laporan itu mengenai Sukendro. Laporan itu juga menyoroti pelarangan “Barisan Sukarno” di Jawa Barat oleh Ibrahim Adjie. Pelarangan itu dapat membangunkan harapan di antara para penentang Istana. Lebih lanjut, pasukan Adjie di Jawa Barat bisa memainkan peran yang menentukan dalam permainan kekuasaan di Jakarta. Keunggulan (pasukan) Adjie mungkin akan diikuti oleh komandan daerah lainnya, seperti Brigjen TNI Solichin, panglima Kodam Hasanuddin di Sulawesi Selatan, Letjen TNI A.J. Mokoginta, panglima Komando Wilayah Sumatera, dan Mayjen TNI Sobirin Mochtar, komandan Batalion 530 Brawijaya. “Namun pelarangan Barisan Sukarno sama sekali tidak menjadi cukup bukti bahwa kesetiaan yang ditunjukkan oleh Adjie terhadap Sukarno memudar,” demikian penilaian terhadap Adjie. Analisis Masters tersebut masukan bagi Duta Besar Marshall Green dan perumus kebijakan politik di Washington untuk Indonesia. Bagaimana nasib kedua jenderal tadi ketika rezim berganti? Keduanya mengalami nasib nahas. Sukendro sejatinya adalah perwira antikomunis garis keras. Pada Juli-September 1960, Sukendro pernah memimpin penindasan terhadap PKI. Sukarno kemudian mengajak Angkatan Darat mencapai sebuah kompromi yang berujung pada pengiriman Sukendro ke pengasingan selama tiga tahun. Dalam masa pengasingan, menurut sejarawan Universitas British Columbia, John Roosa, Sukendro belajar di University of Pitsburgh dan menjalin kontak lebih dekat dengan para pejabat AS dan CIA. Pada akhir 1965, Sukendro menjadi penghubung penting antara Kedubes AS dengan pimpinan Angkatan Darat di bawah Soeharto dan Nasution. “Sukendro segera tersingkir dari lingkaran Soeharto, barangkali karena dia terlalu mandiri,” tulis Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal : Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Pada 1967, Sukendro ditangkap atas perintah Panglima Komando Pemulihan dan Keamanan (Pangkopkamtib), Jenderal TNI Soemitro. Selama sembilan bulan, dia ditahan di penjara Nirbaya, Pondok Gede, Jakarta Timur. “Satu laporan intelijen menyebutkan, pada waktu Jenderal Sukendro sekolah di Seskoad, dia pernah mengemukakan di depan salah satu forum, bahwa Dewan Jenderal itu ada,” ujar Soemitro dalam memoarnya Dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib karya Ramadhan K.H. Kepada Soemitro, Sukendro mengakui telah mengatakan seperti itu. Soemitro sempat bingung karena Sukendro teman dekatnya, sama-sama lulusan angkatan pertama SSKAD (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat). “Namun bagaimanapun juga saya harus menahannya dan akhirnya saya masukan dia di Nirbaya,” kata Soemitro. Sementara itu, Ibrahim Adjie mengalami hal yang tidak jauh berbeda namun agak lebih baik. Adjie memang dikenal sebagai perwira tinggi loyalis Sukarno. Sebagaimana lazimnya politik pembuangan di era Orde Baru, Adjie menempati pos baru di London sebagai duta besar pada 1966. Setelah itu namanya tak bergaung lagi. Dia memilih menjauhkan diri dari hiruk-pikuk politik dan kekuasan.
- Ken Angrok di Layar Perak
PEMUDA itu tampil gagah. Penampilannya yang selalu bertelanjang dada menonjolkan tubuh bagian atasnya yang bidang dan lengannya yang kekar. Rambutnya dibiarkan tergerai hingga bahu. Wajahnya ditumbuhi kumis lebat. Kulitnya kuning langsat. Begitulah kira-kira penggambaran tokoh Ken Angrok (diperankan George Rudy) dalam film Ken Arok dan Ken Dedes (1983) garapan sutradara Djun Saptohadi. Tokoh Ken Dedes diperankan oleh Eva Arnaz. Rambutnya bergelombang memanjang hingga ke pinggang, memakai jarik kemben yang menjuntai hingga betis. Setelah menjadi permaisuri akuwu Tumapel, Tunggul Ametung, penampilannya dibalut penutup dada yang sepertinya terbuat dari sutra. Perutnya dibiarkan terbuka. Lantas tubuh bagian bawahnya juga dibalut dengan kain sutra. Rambutnya sesekali tampil dengan hiasan sederhana. Terkadang rambutnya digerai, kali lain terlihat digelung. Selain dua tokoh sentral itu, film ini juga menampilkan Tunggul Ametung yang dimainkan oleh Advent Bangun. Ada juga Ali Albar yang muncul sebagai Lohgawe. Yang menarik dari film berdurasi 1,45 jam ini adalah alur ceritanya. Widjojono dan Djoko S. Koesdiman sebagai penulis skrip memilih untuk mengikuti kisah dalam Pararaton tanpa tambahan yang berarti. Meski begitu, film ini tetap punya tafsiran sendiri di beberapa bagian. Mungkin untuk memperpendek durasi, beberapa lokasi pelarian Ken Angrok tidak disebutkan, seperti Rabut Jalu, Kapundungan, Rabut Katu, bahkan Dusun Sanja yang sengaja dibangun oleh Ken Angrok dan kawannya, Tita. Alih-alih belajar kepada Tuan Tita di Sangenggeng sebagaimana dalam Pararaton, film ini justru menjadikan padepokan itu sebagai tempat pertemuan Ken Angrok dengan Ken Umang, murid dari pendeta di Sagenggeng. Ken Angrok dan Ken Umang jatuh cinta sejak perkenalan mereka. Namun, Ken Angrok diusir karena mencuri jambu milik pendeta. Ken Umang juga diusir karena membiarkan Ken Angrok masuk kamarnya malam-malam. Perbuatan itu dianggap mempermalukan padepokan. Kisah seperti ini tak ada dalam Pararaton. Hal penting lainnya dalam etape petualangan Ken Angrok versi Pararaton adalah dia pernah belajar merajin emas pada Mpu Palot. Itu setelah Ken Angrok mengantarnya pulang dari Kabalon ke rumahnya di Turyantapada. Sementara dalam film, kedua tokoh itu bertemu begitu saja di jalan tanpa hubungan yang lebih dalam. Akhirnya, Ken Angrok pun tak punya kemampuan merajin emas. Film ini juga memilih untuk menyatukan tokoh Ken Angrok dan Ken Dedes dengan lebih intens. Keduanya kerap digambarkan saling lempar pandangan. Bahkan dalam satu adegan keduanya diam-diam bertemu dan bermesraan di belakang Tunggul Ametung, suami Ken Dedes. Ganjalan ketika menonton film ini justru pada bagian yang seharusnya bisa menjadi klimaks. Pergerakan Ken Angrok ketika akan menjatuhkan Tunggul Ametung tanpa perhitungan. Dia seakan pemuda pemimpi yang ingin menjadi penguasa Tumapel bahkan Daha. Begitu pula pada bagian akhir. Naiknya Ken Angrok menggantikan Tunggul Ametung yang dia bunuh dengan mengkambinghitamkan Kebo Ijo seperti terjadi begitu saja. Tanpa sebab. Setelah dia membunuh Kebo Ijo dihadapan rakyat Tumapel, tiba-tiba dia mendeklarasikan diri menjadi akuwu . Lohgawe kemudian maju berdiri di sampingnya tanpa berkata apapun. Begitu juga Ken Dedes berdiri di sisi lainnya. Film ini seakan memilih jalan tercepat dengan menampilkan simbol naiknya Ken Angrok ke takhta Tumapel mendapat dukungan dari semua pihak. Meski begitu, film ini dengan jujur menampilkan watak Ken Angrok apa adanya sesuai Pararaton : pemuda brandalan, pembegal, perampok, pemerkosa, dan penjudi ulung. Lebih dari itu, film ini banyak memunculkan kekuatan supranatural, terutama ketika Ken Angrok bertempur dengan Tunggul Ametung. Agaknya film ini lebih magis dibanding versi Pararaton .*
- Adnan Buyung Nasution dalam Dokumen Rahasia AS
Adnan Buyung Nasution disebut dalam dokumen rahasia yang telah dideklasifikasi oleh Pusat Deklasifikasi National (NDC) Amerika Serikat dan dibuka untuk publik pada 17 Oktober 2017. Dokumen enam halaman itu merangkum situasi Indonesia pasca Gerakan 30 September 1965 dan upaya kalangan moderat membantu Angkatan Darat menghancurkan PKI. Dokumen tersebut menunjukkan betapa luasnya dukungan pembunuhan massal yang dipimpin Angkatan Darat bahkan di antara kekuatan politik moderat di Indonesia. Dalam amatan pemerintah AS, Buyung dianggap perwakilan kaum moderat yang berguna menyediakan informasi penting bagi Kedubes AS. Memorandum yang dikeluarkan Kedubes AS di Jakarta merekam pembicaraan Buyung dengan Robert Rich, sekretaris kedua Kedubes AS. Buyung yang saat itu berusia 31 tahun dan menjabat asisten Jaksa Agung, mengusulkan untuk terus mengejar komunis guna melemahkan kekuatan PKI. “Ini adalah momen kritis bagi orang-orang moderat Indonesia, seperti anggota PNI dan Masyumi, untuk membubarkan komunis dan menghilangkan kekuatan PKI,” kata Buyung kepada Rich. Buyung disebutkan dua kali mendatangi Kedubes AS pada 15 dan 19 Oktober 1965. Dia mengatakan bahwa Angkatan Darat telah mengeksekusi ribuan orang komunis. Dia berpesan agar sebisa mungkin fakta ini dipegang erat-erat dan disembunyikan dari Presiden Sukarno. Informasi lain yang disampaikannya adalah rencana Angkatan Darat untuk membebaskan pimpinan Masyumi dan PSI yang dipenjara sejak pemberontakan PRRI. Buyung memiliki akses ke pihak AS karena pernah bertugas di intelijen Kejaksaan Agung. Dia juga menjadi asisten yang diperbantukan ( liaison officer ) Kejaksaan Agung untuk mendampingi tamu kehormatan Jaksa Agung AS Robert F. Kennedy yang berkunjung ke Indonesia pada 1962. Anti-PKI Sejak duduk di SMA, Buyung sudah tegas anti-PKI. Ayahnya, Rahmad Nasution menanamkan pelajaran tentang demokrasi, dan setelah agak besar, dia membaca buku-buku ayahnya mengenai bahaya komunisme, otoriterisme, totaliterisme, bahkan militerisme dan fasisme. “Sehingga saya sudah terbentuk menjadi sangat alert terhadap paham komunis. Waktu di IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia) saya sudah sadar betul bersikap anti-PKI. Saya menentang IPPI Edi Abdurachman yang cenderung mau mengkomuniskan IPPI,” kata Buyung dalam otobiografinya ,Pergulatan Tanpa Henti: Dirumahkan Soekarno, Dipecat Soeharto . Sikap itu konsisten terus hingga pada Juli 1964, Buyung bersama rekan-rekannya mendirikan Gerakan Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat). Dalam organisasi ini bergabung aktivis pemuda, cendekiawan, hingga tentara yang berpaham sama: anti-PKI. Mereka antara lain para jaksa seperti Adi Muwardi yang menjadi ketua Gerakan Ampera, beberapa tokoh HMI, dan beberapa tentara pelajar maupun kelompok intelijen Angkatan Darat. Gerakan Ampera juga menggandeng tokoh-tokoh militer dari Divisi Siliwangi. Sebagai wakil ketua Gerakan Ampera, Buyung membangun sel-sel Pemuda Ampera di berbagai wilayah: Menteng, Senen, hingga Bogor. Mereka menggalang berbagai elemen masyarakat, mulai dari tukang becak, pedagang asongan, hingga gelandangan dalam program-program kerakyatan yang disebut Program Karya. “Kami berpendapat bahwa salah satu cara melawan PKI adalah dengan merebut hati rakyat, yaitu melakukan kerja nyata, membangun irigasi, penggilingan padi, membuat jembatan, dan sebagainya, di kampung-kampung. Proyek Karya itu sudah sempat kami kerjakan di berbagai tempat di Jawa Barat dan Solo, Jawa Tengah,” kata Buyung. Setelah G30S dan PKI dilibas habis, Gerakan Ampera melebur dalam KASI (Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia). Buyung menjadi ketua KASI Jakarta. Dalam rapat-rapat KASI, Buyung mendukung Soeharto sebagai presiden. “Saya adalah orang yang paling gencar mencalonkan Soeharto menjadi presiden daripada Nasution yang saya anggap orang Orde Lama dan terkontaminasi Peristiwa 17 Oktober 1952,” kata Buyung. Namun, dalam rapat KASI kemudian muncul kekhawatiran melihat tentara semakin dominan. “Wah, kalau begini kita jadi alat tentara saja. Kalau dibiarkan, tentara akan berkuasa di negeri ini. Hal ini tidak boleh terjadi. Kita harus bangun kekuatan sipil,” kata Buyung. Upaya Buyung meminta Chaerul Saleh untuk memimpin pemuda dalam mengimbangi tentara tidak berhasil. Wakil Perdana Menteri III itu tidak mau meninggalkan Sukarno. Kekhawatiran Buyung terbukti ketika melihat tentara berkuasa. Dalam suatu pertemuan dengan Presiden Soeharto, Buyung menyampaikan bahwa tentara berkuasa mana-mana dalam ekonomi dan politik: berdagang dengan berbagai cara dan korupsi seperti kasus Pertamina dan kasus Timah Bangka, bahkan penyelundupan senjata ke Biafra. “Waktu saya bilang seret jenderal-jenderal yang korup itu ke pengadilan, Soeharto langsung berdiri meninggalkan ruangan, masuk ke dalam dan tidak balik lagi,” kata Buyung. Setelah kejadian itu, Buyung yang menjabat kepala humas Kejaksaan Agung dibuang ke Medan. Dia menolak dan memilih mengundurkan diri dari Kejaksaan Agung. Dia membuka praktik hukum sendiri dan yang penting dia mendirikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Sebagai tokoh yang kritis, Buyung pernah dipenjara rezim Orde Baru karena dituduh berada di balik kerusuhan Malapetaka 15 Januari (Malari) tahun 1974. Buyung meninggal dunia di Jakarta di usia 81 tahun pada 23 September 2015.
- Bung Hatta yang Sulit Ditembus
SEJAK kecil, Muhammad Hatta suka dengan sepakbola. Suatu hari, dia terlambat pulang karena bermain sepakbola. Dia pun dihukum neneknya, disuruh berdiri di bawah pohon jambu. Dia tidak boleh keluar dari garis lingkaran di sekitar pohon itu. “Neneknya tidak mengizinkan dia sering bermain karena dia satu-satunya anak lelaki di kalangan keluarga, sehingga neneknya takut kalau Hatta main dengan teman-temannya. Kepada Hatta inilah tertumpah harapan seluruh keluarga,” tulis Solichin Salam dalam Bung Hatta: Profil Seorang Demokrat. Hatta akhirnya bisa bebas bermain bola ketika sekolah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau sekolah menengah pertama) di Padang. Tidak seperti ketika masih di Bukittinggi, neneknya melarang Hatta bermain bola karena cemas cucu kesayangannya cedera. “Aku tidak boleh bermain bola, dia (neneknya, red ) takut kakiku patah. Sekarang aku bebas. Aku bermain di tanah lapang dengan bola yang agak kecil, bola kulit yang dipompa. Saban sore pukul 17.00, aku sudah di tanah lapang. Kalau tidak bertanding, kami berlatih menyepak bola dengan tepat ke gawang,” kata Hatta dalam otobiografinya, Untuk Negeriku. Hatta masuk perkumpulan sepakbola Swallow. Keahlian olah bolanya mulai terasah lantaran sering berlatih dan bermain di Plein van Rome (kini Lapangan Imam Bonjol, Kota Padang). Teman-temannya mengenal Hatta sebagai pemain bertahan yang tangguh. Sukar dilewati pemain lawan sehingga dijuluki Onpas Serbaar (sulit ditembus). Di perkumpulan Swallow, Hatta tidak hanya menjadi pemain. Dia juga diminta kawan-kawannya sesama penghuni voorklas (kelas pendahuluan MULO) untuk menjadi bendahara. Dia dianggap cakap mengelola keuangan. Apalagi untuk bisa bermain, bolanya harus beli sendiri dari uang iuran perbulan. “Bola harus dibeli dan uang pembeliannya harus dikumpulkan berangsur-angsur dengan jalan membayar kontribusi tiap-tiap bulan,” ujar Hatta. Hatta masih sering bermain bola meski sudah menjadi anggota Jong Sumatranen Bond (JSB). Bersama tim sepakbola asuhan JSB, Hatta berubah posisi menjadi penyerang tengah. Kendati tidak ada catatan berapa gol yang disarangkan, Hatta berhasil mempersembahkan juara Piala Sumatra Selatan tiga tahun beruntun. Kegemarannya terhadap sepakbola tak pernah hilang meski diasingkan pemerintah Hindia Belanda ke Boven Digul, Papua. Bersama Sutan Sjahrir, Mohamad Bondan dan beberapa tahanan politik lainnya, Hatta menggelar friendly match antara pendatang baru dan penghuni lama Boven Digul pada 1935. Penghuni lama menang dengan skor 3-1. Dalam Memoar Seorang Eks-Digulis: Totalitas Sebuah Perjuangan, Mohamad Bondan masih ingat posisi pemain pendatang baru: Marwoto sebagai penjaga gawang, di depannya berjaga dua pemain bertahan Bung Hatta dan Burhanuddin. Tiga pemain gelandang Datuk Singo di kiri, Maskun di tengah, serta Sabilal Rasad di kanan. Di depan berjejer lima penyerang yakni Suka, Bondan, Sjahrir, Lubis dan Muhidin. Setahun berikutnya jelang Hatta dan Sjahrir dipindahkan ke Banda Neira, mereka menggelar laga perpisahan pada 1 Februari 1936. Entah ketika itu berapa skornya dan siapa yang menang. Seiring waktu berjalan, Hatta yang telah menjadi dwitunggal dengan Sukarno, masih terus menyukai sepakbola. Meski tidak lagi bermain, dia masih sering mengikuti beberapa pertandingan klub-klub lokal maupun tim nasional PSSI. Pada medio Mei 1952 di Lapangan Ikada (kini Kompleks Monas) digelar pertandingan persahabatan antara PSSI melawan tim dari India, Aryan Gymkhana. Dalam laga itu, PSSI kalah dan Hatta nyaris tiada habisnya beradu argumen dengan Sukarno yang ketika itu juga nonton di tribun kehormatan. “Begitu pertandingan usai dengan 1-0, Bung Hatta jadi agresif dan antusias membahas kekalahan PSSI yang diutarakan dengan amat sistematik dan mendetail kepada Bung Karno seperti membicarakan politik yang urgent dan rumit. Bung Karno tampak terpojok dan keteter menjawab argumentasi Bung Hatta,” kenang Guntur Sukarnoputra dalam “Nonton Bola, Apa Tafakur?” termuat dalam Pribadi Manusia Hatta .
- Ali dalam Ekspedisi Wallace
ALFRED Russel Wallace terkenal sebagai penjelajah Kepulauan Nusantara yang menghasilkan karya monumental, The Malay Archipelago. Selama delapan tahun petualangannya (1854-1862), dia berhasil mengumpulkan 125.660 spesimen serangga, burung, dan mamalia. Pencapaian dan koleksi ekstensif itu tidak mungkin diperoleh tanpa bantuan warga lokal. “Bagaimanapun kontribusi warga lokal dalam eksplorasi Wallace tidak bisa dikesampingkan. Di setiap tempat yang disinggahinya, di setiap kota, Wallace mendapat bantuan dari warga lokal. Bahkan, sebagian besar spesimen yang dikumpulkannya diperoleh berkat bantuan warga lokal,” ujar John van Wyhe, sejarawan sains National University of Singapore. Di antara banyak warga lokal yang membantu Wallace ada seorang pemuda Melayu yang istimewa. Dia menjadi pemimpin tim lokal ekspedisi Wallace. Usai mengeksplorasi Sarawak selama tiga bulan (November 1855- Januari 1856), Wallace meneruskan ekspedisinya menuju Singapura. Namun, Charles Martin Allen, asisten yang dibawanya dari Inggris, hanya membantu mengumpulkan spesimen burung dan serangga di Pulau Ubin, Malaka, dan Sarawak. Dia memilih tetap tinggal di Sarawak dan bekerja sebagai guru di sekolah misi Kristen. Wallace tidak mencegahnya. Apalagi dia tak cocok dengan Allen karena tabiatnya. “Sebagaimana diketahui secara eksplisit dalam surat-surat Wallace, dia dibikin jengkel oleh kesembronoan, ketidaktahuan, dan kegagalan Allen mengembangkan dirinya,” tulis John van Wyhe dan Gerrell M. Drawhorn dalam “I am Ali Wallace: The Malay Assistant of Alfred Russel Wallace”, Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society , vol. 88 (2015). Ketiadaan Allen berdampak pada kelancaran ekspedisi Wallace. Dia kembali harus mencari asisten terampil yang bisa membantunya mengumpulkan dan menyusun spesimen serangga. Sempat menyewa seorang Tionghoa setempat, dia kemudian menemukan seorang pemuda Melayu yang cekatan dan berbakat. Tak heran jika Ali, nama pemuda Melayu itu, sering disebut-sebut dalam catatan dan publikasi Wallace. Wallace bertemu dengan Ali di Sarawak ketika Allen masih menjadi asisten utamanya. Sepeninggal Allen, Ali menemani Wallace sejak Desember 1855 di Serawak hingga Februari 1862 ketika Wallace kembali ke Inggris. Wallace mengenang Ali sebagai pemuda yang penuh minat dan berpenampilan rapi. Melalui Ali pula dia belajar bahasa Melayu agar lebih mudah berkomunikasi. Ali juga pandai memasak dan andal mengemudikan perahu. Awalnya dia lebih sering dapat tugas memasak. Seiring mengikuti Wallace menjelajah, Ali juga belajar menembak burung. Tak hanya itu, dia juga mulai belajar mengulitinya hingga mahir. Dia cepat belajar dan berani. Dalam beberapa perjalanan dia bahkan bisa mengajari orang sewaan Wallace melakukan tugasnya. Pendeknya, Ali adalah asisten yang cocok dengan gaya petualangan Wallace. “Dia menemani seluruh perjalananku, terkadang sendirian juga, tetapi seringnya bersama beberapa orang lain, dan dia sangat berguna untuk mengajari mereka tentang tugas-tugasnya, dengan cepat dia juga paham apa kebiasaan dan keinginan-keinginanku,” kata Wallace dalam otobiografinya, My Life: A Record of Events and Opinions . Dari Sarawak, Ali mengikuti Wallace ke Lombok dan Makassar. Di sini masih lebih sering menjadi juru masak. Tetapi, ketika di Lombok Ali juga mulai ditugasi Wallace membantunya menguliti burung tangkapannya. “Jadi, sepertinya kontribusi pertama Ali dalam merangkai spesimen adalah di Lombok itu,” tulis Van Wyhe dan Drawhorn. Saat di Makassar, Ali telah cukup mahir melakukan pekerjaan-pekerjaan spesimen. Dia juga cukup terampil menggunakan senapan berburu. Wallace tentu punya pembantu-pembantu lain, tetapi Ali jelas punya tempat istimewa. Karena kepandaian dan kemampuannya, dia segera menjadi tangan kanan Wallace. Karena itu pula ketika Ali dan Wallace beberapa kali terserang demam malaria secara bersamaan, Wallace kebingungan. “Pembantu saya, Ali, juga terserang penyakit (malaria) yang sama. Karena dia bertugas menguliti burung, maka perkembangan koleksi saya pun menjadi terhambat,” kenang Wallace dalam The Malay Archipelago . Sejak dari Makassar, Ali menghabiskan waktu setahun membantu Wallace. Ketika dia melanjutkan ekspedisinya ke Kepulauan Aru untuk mencari cenderawasih, Ali telah menjadi “kepala pembantu”. Dan kepercayaannya kepada Ali tidak sia-sia. Dialah yang berhasil menangkap cenderawasih besar bagi Wallace. Lain waktu Wallace menugaskan Ali untuk menjelajah sendiri ke Wanumbai dan dia pulang membawa “harta karun” yang membuat semringah tuannya. “Saya menyuruhnya ke sana sendirian untuk membeli cenderawasih dan mengulitinya. Dia pulang membawa 16 ekor spesimen yang luar biasa dan sebenarnya bisa dua kali lipat lebih banyak kalau saja dia tidak terserang flu,” kata Wallace. Jasa terbesar Ali bagi Wallace adalah ketika di Pulau Bacan dia membawa seekor burung aneh. Wallace belum pernah melihatnya sebelumnya dan membuatnya heran. Itu adalah seekor burung berbulu lebat dengan variasi warna hijau di dadanya. Bulu hijau itu mamanjang menjadi dua tajuk yang berkilau. Paruhnya berwarna kuning gading dengan mata hijau pucat. Fitur lain yang mengagumkan Wallace adalah sepasang bulu putih yang mencuat di tiap bahu barung itu. Wallace segera menyadari bahwa Ali membawa cenderawasih jenis baru yang belum pernah dikenal. Kelak, oleh ornitholog British Museum George Robert Gray cenderawasih jenis baru itu dinamai Semioptera Wallacei . Burung itu kemudian juga dianggap penemuan terbesar Wallace. Van Wyhe dan Drawhorn mencatat bahwa petualangan-petualangan Ali dengan Wallace telah mengubah hidupnya. Sepeninggal Wallace, Ali yang kemungkinan tinggal di Ternate menjadi konsultan fauna lokal tepercaya bagi naturalis dan ilmuwan yang datang ke Hindia Belanda. Adalah zoologis Amerika Thomas Barbour yang pada 1907 mengunjungi Ternate dan sempat bertemu Ali. Van Wyhe dan Drawhorn mengutip dalam artikelnya sebuah catatan Barbour bertarikh 1921 yang menyebut Ali dengan simpatik. “Pada hari saya berkunjung ke Danau Ternate, seorang Melayu tua berbicara kepada saya. Katanya dia telah lama melupakan bahasa Inggrisnya, tetapi dia menepuk dadanya dan mengatakan bahwa dia adalah Ali Wallace. Tak ada pembaca setia The Malay Archipelago yang melewatkan Ali si teman muda Wallace dalam banyak petualangan berbahaya. Setelahnya saya mendapat balasan surat dari Tuan Wallace yang menulis bahwa dia iri saya baru saja bertemu dengan kawan lamanya itu.”
- Pengabdi Setan Tanpa Klenik
BUNYI lonceng memenuhi seisi rumah. Itulah cara Mawarni Suwono (Ayu Laksmi) memanggil anak-anaknya. Meski mendengar dengan jelas, anak ketiga, Bondi (Nasar Anus) enggan beranjak. Ia takut pada ibunya sendiri. Akhirnya, anak pertama, Rini (Tara Basro) yang bergegas menemui ibunya di kamar. Ibu mereka sakit parah, ia hanya bisa berbaring di tempat tidur. Dari awal film, sosok ibu sudah digambarkan begitu suram. Tergeletak di kamar dengan gaun tidur usang berwarna putih, rambut kusut panjang terurai, dan wajah pucat. Setelah Mawarni meninggal, sosoknya menjadi teror bagi keluarga, ia menghantui seisi rumah. Suara lonceng dan lagu “Malam Kelam” yang ia nyanyikan menjadi penanda kehadiran tokoh ibu dalam film Pengabdi Setan arahan Joko Anwar. Film horor tidak akan berhasil tanpa suara latar yang mendukung. Joko memilih ikon yang pas untuk menandai kehadiran sosok ibu. Bukan tanpa sebab sosok Mawarni bisa menjadi hantu. Semasa hidup Mawarni pernah mengikuti sekte kesuburan agar bisa memiliki anak. Nasib Mawarni dalam film ini seakan menjadi gambaran tekanan sosial terhadap perempuan untuk bisa memiliki anak setelah menikah. Tekanan ini juga yang mendorong Mawarni ikut sekte kesuburan. Sayangnya, Joko hanya membahas keikutsertaan Mawarni dalam sekte kesuburan melalui penjelasan para pemain dan tidak memperdalam isu kesuburan lebih lanjut. Sekte kesuburan yang diikuti Mawarni memohon pada setan agar pengikutnya bisa memperoleh keturunan. Singkat kata, setan inilah yang menyerupai Mawarni dan meneror seluruh rumah. Ada beberapa perbedaan antara PengabdiSetan arahan Joko Anwar dengan Sisworo Gautama Putra. Kondisi keluarga misalnya, di film Sisworo keluarga digambarkan kaya dengan ayah, ibu, dan dua orang anak, Rita dan Tomy. Mereka selalu sibuk sendiri-sendiri. Tokoh lain dalam film Sisworo adalah Karto, pembantu rumah tangga dan Herman, pacar Rita. Di film Sisworo, Pak Kartolah yang sakit asma dan berkali-kali suara napasnya menjadi latar. Gangguan justru datang dari luar, yakni lewat dukun bernama Darmina. Di film Joko, keluarga terdiri atas ayah, ibu, nenek yang sakit asma, dan empat orang anak: Rini, Toni, Bondi, dan Ian. Mereka kehabisan uang. Bahkan Rini sudah berhenti kuliah karena prioritas keuangan keluarga untuk pengobatan si ibu. Di film ini, sosok Herman bisa disejajarkan dengan Hendra, anak laki-laki Pak Ustaz yang mati kecelakaan. Sosok pengabdi setan yang digambarkan judul film juga berbeda. Film Sisworo menjadikan Darmina (Ruth Pelupessy) sebagai sosok dukun pengabdi setan. Sedangkan dalam film Joko pengabdi setan yang dimaksud adalah Mawarni yang ikut sekte kesuburan. Seperti film-film horor garapan Sisworo yang lain, PengabdiSetan menampilkan klenik dan mistik khas Indonesia. Ketika keluarga Rita memanggil dukun misalnya. Ia membakar kemenyan dengan seperangkat sesaji, memegang keris, sambil berdoa. “Jagad Dewa Batara penguasa tujuh nafsu angkara hindarkan rumah ini dari cengkraman Batara Kala.” Sebaliknya, film Joko tidak memuat unsur klenik sama sekali. Sekte kesuburan yang dijelaskan tokoh Budiman Syailendra dalam film juga tidak memasukkan unsur klenik. Budiman sendiri bukan seorang dukun tapi penulis majalah misteri. Pengabdi Setan yang pertama, berkali-kali membuat penonton menahan napas dan tidak membiarkan mereka merasa lega barang sebentar. Hantu-hantu ditampilkan secara utuh dan mengejar para tokoh sementara ruangan terkunci. Penonton diajak merasakan keputusasaan para tokoh yang terancam. Ending -nya pun seperti film-film horor tahun 1980-1990an, ilmu hitam akan kalah oleh agama. Hal semacam ini, tidak ada dalam film Joko. Secara umum, Joko tidak benar-benar membuat ulang film PengabdiSetan karya Sisworo. Joko membuat versinya sendiri. Ada beberapa kekurangan film karya Joko, yakni artikulasi Bront Palarae yang memerankan tokoh ayah. Tidak jelas apa yang diucapkan Bront ketika berteriak pada sekumpulan orang berpayung di depan rumahnya. Dialog yang diucapkan tokoh Bondi juga terasa tidak natural bila diucapkan anak usia Sekolah Dasar, “Dari kamar ini terlihat areal pemakaman.” Beberapa adegan juga tidak dijelaskan hingga tuntas. Misalnya, penyebab kematian nenek. Penonton hanya tahu dari asumsi warga bahwa nenek mati terpeleset di kamar mandi tapi tidak benar-benar tahu bagaimana si nenek meninggal. Adegan sebelumnya menampilkan nenek terburu-buru melaju dengan kursi rodanya. Pembicaraan ayah ke ibu sebelum meninggal juga tidak terjawab di film ini dan siapa yang menarik tangan Rini dari jendela ketika ia menginap di rumah Pak Ustaz? Meski begitu, Pengabdi Setan arahan Joko Anwar berhasil membuat standar baru film horor Indonesia. Joko menampilkan hantu yang tak melulu menyeramkan, dengan gambaran hantu ibu yang masih terlihat cantik tapi tetap membuat penonton ngeri. Busana yang dikenakan pemain juga sesuai dengan latar waktu 1980-an. Beberapa adegan di filmnya berhasil menggoda penonton dengan ketegangan dan diakhiri dengan komedi. Ketika Rini dan Hendra berada di rumah Budiman misalnya. Penonton sudah deg-degan ketika pintu diketuk yang ternyata tukang pijat. Film Joko barang kali tidak akan cukup menakutkan bagi para pencinta film horor karena tidak banyak adegan mengagetkan di sana. Joko mengejutkan dengan cara yang lain, yakni alur ceritanya.
- Penobatan Raja pada Masa Hindu-Buddha
Sama halnya dengan masa kini, penobatan seorang penguasa pada masa kerajaan-kerajaan di Nusantara menjadi suatu hal yang penting bahkan bukan sekadar seremonial. Pada dasarnya, sulit menemukan data tekstual, baik prasasti maupun karya sastra yang secara khusus memberitakan penobatan seorang raja atau pejabat. “Beda dengan proses penetapan sima, banyak sekali mendapatkan infonya,” ujar Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang kepada Historia . Padahal, tradisi notulensi sudah ada sejak masa Hindu-Buddha. Salah satunya dikenal dengan sebutan citralekha, yaitu orang yang bertugas mencatat perintah raja. Dalam relief Candi Panataran pun diabadikan gambar murid yang mencatat ajaran dari seorang guru. “Pencatatan mungkin dalam bentuk lontar. Ini kenapa tidak sampai ke kita, bahannya tidak awet,” kata Dwi. Namun, perihal penobatan penguasa pada masa Hindu-Buddha tetap dapat diperoleh gambarannya. Dalam sebuah penobatan raja, simbol-simbol kebesaran hadir. Yang paling utama adalah mahkota sebagai simbol alih kekuasaan. “Ada simbol lain yang diserahkan antarpenguasa. Prasasti-prasasti Majapahit akhir menyebut terompah, tombak, dan payung,” ujar Dwi. Terompah, Dwi menjelaskan, adalah alas kaki atau wujud telapak kaki seorang raja. Dalam beberapa cerita klasik, seperti Ramayana , digambarkan ketika Rama menitipkan kekuasaan pada adiknya hanya meninggalkan alas kakinya. Itulah mengapa dalam prasasti Tarumanegara terdapat cap kaki raja. Tapak ini simbol kekuasaan. Lancana juga termasuk benda yang diserahterimakan ketika penobatan penguasa. Dalam prasasti terdapat tanda khusus dari penguasa tertentu. Misalnya Surya Majapahit, Crnggalancana milik Kertajaya, atau Garudamukha milik Airlangga. “Di era kesultanan biasanya berbentuk cincin stempel, kalau kerajaan (Hindu-Buddha, red ) namanya lancana, ini sama saja, semacam ada stempel di prasasti. Pada masa Kadiri, masing-masing penguasa punya lancana berbeda,” jelas Dwi. Penguasa baru juga biasanya akan mengirimkan kabar ke wilayah luar kekuasaannya, sebagai bagian dari diplomasi. Misalnya kepada kerajaan adidaya di Tiongkok. “Memberitakan sudah ada perubahan penguasa, dengan kirim utusan misalnya. Apalagi kalau ada perebutan kekuasaan, perlu banget pengakuan dari luar,” jelas Dwi. Penobatan penguasa baru bukan hanya soal seremonial. Pengangkatan raja baru merupakan wujud komitmen dari raja pengganti, termasuk kesinambungan program terdahulu, rencana ke depan, dan legitimasi kekuasaan. Kesinambungan kebijakan biasanya berupa pengembangan dari program yang lalu. Misalnya, doktrin Hamukti Palapa yang dideklarasaikan Gajah Mada, patih Kerajaan Majapahit. Awalnya ini merupakan doktrin politik Ratu Majapahit, Tribhuwana Wijayattungadewi. Oleh Raja Hayam Wuruk, sebagai pengganti ibunya, doktrin politik ini diteruskan. “Jadi, tidak kemudian penguasa baru semuanya baru,” kata Dwi. Contoh lain dilakukan Kertanagara, raja Singhasari. Dia mengembangkan program raja terdahulu, Jaya Wisnuwardhana yang berniat mengintegrasi seluruh Jawa dalam Cakrawala Mandala Jawa. Krtanagara kemudian memperluasnya menjadi Cakrawala Mandala Dwipantara, yang mencakup wilayah lebih luas. “Untuk mencapai itu ada reformasi, ada penataan ulang dalam internal kepemerintahan,” ujar Dwi. Doktrin itu sudah disampaikan ketika penobatan raja dilakukan. Menurut Dwi, ini bisa disamakan dengan penyampaian visi dan misi pejabat pada masa kini. “Penguasa berikutnya menyampaikan programnya ke khalayak. Kalau sekarang kan ini masuknya pada saat pilkada, untuk kompetisi yang menarik yang mana,” jelasnya. Yang lebih penting, untuk menjadi seorang penguasa, raja-raja dulu harus melalui proses magang. Biasanya putra atau putri mahkota akan ditempatkan terlebih dahulu di daerah vassal. Mereka akan menjabat sebagai raja muda atau yang biasa disebut rajakumari, yuwaraja atau kumararaja. “Pada masa lalu, penguasa itu tidak instan. Dia juga butuh restu dari raja terdahulu dan juga dari Dewan Penasihat atau puruhita,” pungkas Dwi.
- Sebelas Pesepakbola yang Meninggal di Lapangan
SEPAKBOLA, olahraga keras. Cedera dapat membuat pemain meninggalkan lapangan dan absen dalam waktu cukup lama. Bahkan, tak jarang pemain yang meninggal di rumput hijau karena serangan jantung atau benturan keras. Seperti yang dialami kiper senior Persela Lamongan, Choirul Huda, kala melawan Semen Padang di Liga Indonesia, Minggu (15/10/2017). Choirul Huda bukan satu-satunya pesepakbola Indonesia yang meninggal di lapangan. Berikut ini sebelas pesepakbola yang tutup usia di lapangan: empat pesepakbola Liga Indonesia dan tujuh pesepakbola yang bermain di klub elite Eropa. Eri Irianto Sepakbola nasional berduka untuk kematian Eri Irianto pada 3 April 2000. Gelandang Persebaya Surabaya dan mantan pilar timnas Indonesia itu tutup usia gara-gara penyakit jantung di usia 26 tahun. Pemain yang terkenal dengan tendangan geledeknya itu sebelumnya terlibat kontak fisik cukup hebat dengan pemain lawan, Samson Kinga dari PSIM Yogyakarta. Eri yang dalam keadaan pingsan segera dilarikan ke Rumah Sakit dr. Soetomo, namun dinyatakan meninggal karena serangan jantung. Jumadi Abdi Jumadi Abdi mengawali karier profesionalnya bersama Persiba Balikpapan pada 2001. Delapan tahun setelah debut, dia kembali ke Kalimantan memperkuat PKT Bontang. Dia tutup usia setelah insiden dengan pemain lawan, pada 7 Maret 2009. Menurut Desi Saraswati dan Jho Juanda dalam 365++ Fakta Sepakbola , pemain gelandang berusia 26 tahun itu kena tendangan pemain Persela Lamongan, Denny Tarkas di bagian perut. Denny didamprat wasit dengan kartu kuning, sementara Jumadi digotong keluar lapangan. ESPN, 15 Maret 2009, melaporkan setelah insiden itu Jumadi tak bisa mencerna makanan selama dua hari. Dokter mendiagnosis terdapat luka dan infeksi organ dalam. Di tengah-tengah operasi, dia koma dan meninggal pada 15 Maret 2009, sebulan sebelum pernikahannya pada 5 April 2009. Sekou Camara Abdoulaye Sekou Camara yang dijuluki “McCarthy” menambah daftar pesepakbola Liga Indonesia yang tinggal nama di lapangan. Bedanya dengan Eri Irianto atau Jumadi Abdi, bomber berpaspor Mali itu tutup usia setelah latihan dengan rekan-rekan setimnya di Pelita Bandung Raya (PBR) pada 27 Juli 2013. Sekou Camara tiba-tiba tumbang. Ofisial PBR segera melarikannya ke rumah sakit terdekat. Nahas, nyawanya tak tertolong dan mengembuskan napas terakhirnya dalam perjalanan ke rumah sakit karena serangan jantung. Usianya saat itu baru menginjak 27 tahun. Akli Fairuz Kemelut berbuah maut. Gara-gara terjadi scrimmage di mulut gawang lawan, Akli Fairuz, pemain Persiraja Banda Aceh, dihantam kaki kiper PSAP Sigli. Sama halnya dengan Jumadi Abdi, Akli Fairuz lantas meninggal karena luka organ dalam. Tragedi ini sampai-sampai disoroti beberapa media asing. Salah satunya The Mirror yang menurunkan tulisan berjudul “Indonesian Premier League Footballer Dies Days After Suffering Horror Tackle” pada 19 Mei 2014. Media asal Inggris itu mengungkapkan kronologisnya, di mana saat terjadi kemelut di depan gawang PSAP Sigli, Fairuz melompat untuk merebut bola. Di saat bersamaan, kiper PSAP, Agus Rahman juga menerkam dan kakinya menghantam perut Fairuz. Meski sudah dibawa ke rumah sakit untuk dioperasi, Fairuz meninggal karena pendarahan organ dalam. Joe Powell Dalam sejarah Arsenal, yang di abad ke-19 masih bernama Woolwich Arsenal, Joseph “Joe” Powell salah satu kapten termuda berusia 23 tahun. Namun, apesnya pada 1896 tidak hanya karier yang berakhir, hidup mantan tentara Inggris dari South Staffordshire Regiment itu juga tamat ketika baru menginjak usia 26 tahun. Dalam Woolwich Arsenal FC 1893-1915: The Club That Changed Football karya Tony Atwood, Andy Kelly dan Mark Andrews, disebutkan pada 23 November 1896 Joe Powell terjatuh dalam suatu insiden dan mengalami cedera patah tulang lengan dalam laga United League kontra Kettering Town. Cederanya menyebabkan tetanus dan keracunan darah. Lengannya sempat diamputasi, namun kondisinya tetap menurun hingga meninggal dalam perawatan pada 29 November 1896. David “Di” Jones Pesepakbola Liga Inggris lainnya yang juga harus tutup usia setelah bermain adalah David “Di” Jones. Dia bermain sebagai bek sayap Manchester City berusia 35 tahun yang juga pemain timnas Wales. Infeksi tetanus juga menjadi penyebab kematiannya pada 27 Agustus 1902. Gary James dalam Manchester: A Football History menulis bahwa Di Jones terjatuh dan mengenai sebuah kaca dalam pertandingan pramusim pada 17 Agustus 1902. Lukanya menimbulkan infeksi dan tetanus hingga keracunan darah. Sepuluh hari setelah perawatan, Di Jones menghembuskan napas terakhirnya. Thomas Blackstock Kejadian aneh nan tragis dialami Thomas Blackstock, bek Manchester United pada 8 April 1907. Blackstock kolaps dan tersungkur tidak bergerak setelah menyundul bola dalam laga pramusim melawan St. Helens Recs. Tim medis segera menggotongnya ke ruang ganti. Tetapi alangkah terkejutnya para pilar Manchester United ketika masuk ruang ganti setelah laga dan mengetahui Blackstock sudah dibawa ke rumah mayat Mill Street. Mark Metcalf dalam Manchester United: 1907-1911 menguraikan, Blackstock dinyatakan meninggal secara alami. Pernyataan itu membuat keluarganya tak mendapat kompensasi apapun dari manaemen The Red Devils. Bob Benson Saat Perang Dunia I masih berkecamuk, Robert William “Bob” Benson sebenarnya memilih keluar dari dunia sepakbola untuk menjadi buruh di sebuah gudang peluru. Tapi pada 19 Februari 1916, pemain bek sayap itu tampil secara sukarela demi menggantikan sahabatnya, Joe Shaw yang tak bisa bermain untuk Woolwich Arsenal (kini Arsenal FC) melawan Reading dalam laga London Combination. Akibatnya fatal. Pasalnya hampir setahun Benson tak bersentuhan dengan bola dan fisiknya belum kembali terbiasa. Di babak kedua, Benson kolaps di lapangan dan kemudian tutup usia di ruang ganti dalam pelukan pelatih George Hardy. Dalam Arsenal Who’s Who, Jeff Harris dan Tony Hogg menyebut Benson dinyatakan meninggal karena pecah pembuluh darah. Benson dimakamkan dengan seragam The Gunners dan tiga bulan berselang diadakan laga Arsenal vs Rest of London XI untuk menghormati Benson. Pavao Angka keramat 13 memicu tragedi untuk gelandang FC Porto, Fernando Pascoal Neves atau biasa disapa Pavao. Pesepakbola kelahiran Chaves, Portugal itu meninggal karena serangan jantung di usia 26 tahun. Donn Risolo dalam Soccer Stories: Anecdotes, Oddities, Lore and Amazing Feats menyebut bahwa Pavao kena serangan jantung hingga tumbang di lapangan pada menit ke-13 dan pertandingan ke-13 di Liga Portugal musim 1973-1974. Ketika itu, Porto tengah melawan Setubal di Stadion Estadio das Antas pada 16 Desember 1973. Renato Curi Setelah meniti karier bersama Giulianova dan Como, Renato Curi mengalami masa jayanya bersama Perugia yang lantas jadi klub terakhirnya. Pasalnya ketika kariernya sedang di puncak pada usia 24 tahun, gelandang kelahiran Montefiore dell’Aso itu meninggal karena serangan jantung, ketika melakoni laga melawan Juventus pada 30 Oktober 1977. Curi terkena serangan jantung dan tumbang di lapangan ketika pertandingan babak kedua baru berjalan lima menit. “Stadion (milik Perugia) kemudian menggunakan namanya (Renato Curi) demi mengenang jasanya,” tulis Adam Digby dalam Juventus: A History in Black and White . Jose Antonio Gallardo Portero (kiper) Malaga yang mentas di Liga Spanyol itu sudah tutup usia di umur 25 tahun. Gallardo meninggal dalam perawatan setelah bertabrakan dengan ariete (penyerang) Celta Vigo, Baltazar Maria de Morais Junior, 21 Desember 1986. Surat kabar El Pais, 16 Januari 1987, mengabarkan Gallardo sempat pingsan hingga dibawa ke rumah sakit terdekat. Tiga jam kemudian siuman dan pulih dari kondisi kritis. Meskipun demikian dia tetap mengalami luka cukup serius di wajah dan menderita hilang ingatan. Setelah ditransfer ke Rumah Sakit Carlos Haya di Kota Malaga, Gallardo justru mengalami koma dan tidak lama kemudian mengalami pendarahan otak. Nyawanya tak tertolong dan dokter menyatakan kematiannya pada 15 Januari 1987.
- Pangeran Diponegoro Hulunya Gerakan Kemerdekaan
ANIES Baswedan resmi menjabat gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022. Anies punya perhatian khusus kepada beberapa tokoh sejarah di negeri ini. Alih-alih menyebut “idola” dia lebih senang menyebutnya dengan “orang-orang yang dia perhatikan dengan saksama.” Ada beberapa yang dia perhatikan betul segala tindak-tanduknya sejak kecil. Salah satu tokoh sejarah yang mencuri perhatiannya adalah Pangeran Diponegoro. Pangeran yang bernama asli Mustahar dan sejak kecil menyandang nama Raden Mas Antawirya itu terkenal karena mengobarkan Perang Jawa (1825-1830). Perang lima tahun itu telah menyebabkan Belanda kehabisan akal dan nyaris membuat Belanda jatuh bangkrut. Frustasi menghadapi gempuran-gempuran Pangeran Diponegoro, Belanda menyusun siasat licik: mengundang Diponegoro untuk berunding. Tanpa curiga Diponegoro datang memenuhi undangan Belanda ke Magelang. Namun Belanda mengkhianati Diponegoro, menangkapnya saat perundingan sedang berjalan. Penangkapan Diponegoro sekaligus menandai berakhirnya Perang Jawa. Berikut ini kutipan obrolan Historia dengan mantan menteri pendidikan dan kebudayaan itu tentang sosok tokoh sejarah yang diakrabinya. Kapan pertama kali bersentuhan dengan kisah Pangeran Diponegoro? Saat saya kecil, ada pengurus masjid di Kulon Progo datang ke rumah di Yogyakarta meminta bantuan untuk membangunkan sumur. Bapak (Rasyid Baswedan, alm.) dan ibu (Aliyah Ganis) menelpon ke Jakarta siapa yang mau menyumbang sumur. Ketika sumur sudah jadi, kami ke sana. Dan, di sebelah barat masjid itu ada makam yang tak pernah bertambah. Ternyata, itu makam laskar Sentot Prawirodirjo. Saya tak tahu siapa Sentot, sampai saya menonton film November 1928 . Lalu, saat SMA saya sering mampir ke Padepokan Diponegoro di Tegalrejo, kebetulan dekat dengan lokasi sekolah saya, SMAN 2 Yogyakarta. Sering mampir, apakah Anda juga pernah napak tilas jejak perjuangan Diponegoro? Ya. Saya juga ke beberapa tempat yang dulu menjadi tempat pertempuran, seperti di Kulon Progo dan Sentolo. Saya pernah pula naik motor ke Magelang, ke lokasi penangkapan Diponegoro. Bahkan ketika ke Makassar pun saya akan berhenti di Rotterdam. Saya perhatikan persis setiap cerita. Kebetulan pernah membaca juga Babad Diponegoro. Seberapa sering Anda memikirkan Diponegoro ini? Sering sekali, sampai-sampai saya pernah ingin menamai putra saya dengan Ahmad Diponegoro. Hampir. Tapi, setelah diskusi panjang dengan istri, nama itu berat sekali. Apa yang membuat Anda begitu memerhatikan Pangeran Diponegoro? Sederhana saja, bagaimana ada orang bisa melancarkan pergolakan melawan Belanda sampai Belanda bangkrut. Ya, sampai bangkrut. Gara-gara Diponegoro-lah muncul sistem tanam paksa. Akibat tanam paksa apa yang terjadi? Politik etis. Akibat politik etis apa? Orang pada sekolah. Akibat sekolah apa? Kemerdekaan. Selanjutnya sih tak perlu dijelaskan, karena sudah terang. Jadi, Diponegoro itu hulunya kemerdekaan bangsa kita. Dia membawa efek sangat luar biasa dalam perjalanan bangsa kita. Yang menarik, dia bisa mengajak banyak orang terlibat, meskipun mereka bukan prajurit Sultan.*
- Skandal Memalukan Chile demi Piala Dunia
CHILE boleh berbangga menjadi dua kali pemegang gelar Copa America dalam dua edisi terakhir. Mengangkangi beberapa tim besar Amerika Latin macam Brasil dan Argentina. Sayangnya, Chile justru nelangsa karena gagal lolos ke Piala Dunia 2018. Padahal La Roja (julukan timnas Chile) salah satu tim Amerika Latin yang punya tradisi baik di pentas Piala Dunia. Mereka mulai debutnya di Piala Dunia pertama pada 1930. Bahkan, ketika menjadi tuan rumah Piala Dunia 1962, Chile berhasil menjadi juara ketiga. Kekecewaan Alexis Sanchez Cs. saat ini mungkin hampir sama dengan kegagalan mereka tampil di Piala Dunia 1990 di Italia. Chile gagal melaju ke Piala Dunia gara-gara skandal memalukan portero (kiper) andalannya, Roberto Rojas. Pada laga kualifikasi, Chile mesti melakoni partai hidup mati melawan Brasil. Kans mereka tipis terlebih harus bertandang ke markas Selecao (julukan Brasil), Estadio do Maracana di Rio de Janeiro, pada 3 September 1989. Setelah interval pertama menghasilkan skor kacamata (0-0), Brasil memecah kebuntuan lewat gol pembuka Antonio “Careca” de Oliveira Filho saat babak kedua baru berjalan empat menit. Seiring Chile berusaha menyamakan skor, tiba-tiba laga memanas hingga pendukung tuan rumah melemparkan segala macam benda ke lapangan, termasuk ke belakang gawang Rojas. “Kembang api milik seorang pendukung Brasil bernama Rosemary de Mello meluncur ke gawang Chile. Tak seorang pun (sebenarnya) yang melihat kembang api itu mengenai penjaga gawang Chile,” ungkap Owen A. McBall dalam Football Villains . Kiper andalan berjuluk Condor itu tersungkur sambil meringis dan menutupi wajahnya. Rekan-rekan setim Rojas segera menggotong tubuhnya ke luar lapangan tanpa menunggu tim medis pembawa usungan. Pada sorotan kamera televisi, nampak wajah Rojas berlumuran darah. Kapten timnas Chile, Fernando Astengo, meluapkan protes dengan mengomando tim dan ofisial untuk mogok bermain. Bujukan wasit Juan Carlos Loustau asal Argentina gagal meyakinkan Chile untuk melanjutkan pertandingan. Laga pun terpaksa dihentikan. FIFA lantas menggulirkan investigasi. Di sisi lain, publik Chile ikut panas. “Bersamaan dengan diajukannya permohonan pihak Chile ke FIFA untuk menggelar pertandingan ulang dengan Brasil di tempat netral, Chile dilanda suasana anti-Brasil. Salah satu headline koran di (ibukota Chile) Santiago berjudul ‘Perang Telah Dimulai’. Sementara beberapa pendukung Chile melempari kantor Kedutaan Besar Brasil di Santiago,” lanjut Owen. Hasil investigasi FIFA mengejutkan banyak pihak. FIFA memutuskan Brasil menang dengan skor 2-0. Sedangkan Rojas didamprat sanksi larangan berkarier dalam sepakbola seumur hidup. Begitu pula dengan Astengo sebagai kapten tim, dokter tim serta entrenador (pelatih) Orlando Aravena. Keputusan ini diambil FIFA setelah memeriksa rekaman video dan mewawancarai para pemain lainnya. “Selama beberapa bulan, Rojas selalu membantah bahwa dia melukai diri sendiri. Namun lama kelamaan dia menyadari dan mengakui rekayasa itu pada Mei 1990,” tulis Fernando Fiore dalam World Cup: The Ultimate Guide to the Greatest Sports Spectacle in the World. Kostya Kennedy dalam artikelnya, “The Fall of the Condor: Chile’s National Disgrace,” The New York Times, 14 November 1993, menyingkap bahwa insiden itu merupakan rekayasa yang sudah disiapkan Rojas dan hanya diketahui Astengo dan Aravena. Sebelum pertandingan, Rojas sudah menyimpan sebilah mata pisau di balik sarung tangan kirinya. Kebetulan saat terjadi insiden pelemparan flare (kembang api) ke lapangan, Rojas sengaja menjatuhkan diri dan langsung didatangi Astengo. “Di mana siletnya?” tanya Astengo kepada Rojas dalam artikel tersebut. “Di (balik) sarung tangan kiri saya,” jawab Rojas. Segera Rojas diam-diam mengambil dan menyiletkannya ke pelipis kiri. Dikiranya dengan begitu tim Samba akan didiskualifikasi FIFA dan Chile otomatis melaju ke Piala Dunia 1990. Sayangnya, itu tak terjadi justru Rojas beserta Astengo dan Aravena disanksi seumur hidup. Chile juga dilarang ikut Piala Dunia berikutnya pada 1994 di Amerika Serikat. Sanksi terhadap Rojas dicabut pada 2001. “Rojas telah diberikan amnesti dan berlaku mulai sekarang,” tutur juru bicara FIFA saat itu, Andreas Herren, dikutip CBC Sports , 30 April 2001.
- Cenderawasih, Si Burung Surga dalam Bahaya
ALFRED Russel Wallace, naturalis kebangsaan Inggris takjub saat kali pertama menyaksikan burung cenderawasih ( Paradisaeidae ). Pada 1860, Wallace mengadakan ekspedisi ke pulau Waigiou (Waigeo, red ), Papua untuk meneliti keadaan alam di sana. Dalam amatannya, burung ini memiliki bulu yang indah bila dibandingkan dengan kelompok burung lainnya. Keindahan bulu cenderawasih, terutama warna kekuningan dari sayap yang menjuntai, tidak dapat disamai oleh burung lain, kecuali barangkali oleh burung-burung pekicau. “Tapi tetap tidak ada yang melampaui keindahan cenderawasih. Saya adalah satu-satunya orang Inggris yang telah melihat keindahan burung ini di hutan asalnya,” kata Wallace dalam mahakaryanya Kepulauan Nusantara yang berjudul asli The Malay Archipelago . Paling tidak, menurut Wallace , ada 50 spesies cenderawasih yang telah diketahui. Sebanyak 40 spesies terdapat di Papua. Di wilayah ini pula jenis-jenis cenderawasih yang berbulu indah tersebar. Di era kurun niaga, para pedagang Eropa yang menyinggahi Maluku untuk mencari cengkeh dan pala, kerap menerima hadiah dari penduduk lokal berupa cenderawasih yang telah diawetkan. Wallace mencatat, saudagar-saudagar Melayu menamainya “Manuk Dewata” atau burung dewa. Orang-orang Portugis, karena cenderung melihat cenderawasih yang diawetkan tanpa kaki dan sayap, serta tak mempelajarinya secara langsung, menamakannya passaros de sol atau burung matahari. Karena keindahannya, ada mitos yang kian menambah daya pikat cenderawasih. Konon, cenderawasih jarang menjejak kaki ke bumi. Ia lebih sering terbang di udara atau hinggap di dahan pohon hingga mati berkalang tanah. Inilah yang membuat cenderawasih berjuluk si burung surga ( bird of paradise ). Sementara bagi beberapa sub suku Papua, burung cenderawasih melambangkan sifat suci yang kerap dijadikan sesembahan dalam ritus adat. Tak pelak, hewan ini menjadi sumber daya alam yang begitu berharga di Papua sekaligus mangsa buruan. Wanita Eropa mengenakan bulu burung cenderawasih sebagai bagian dari mode. Foto: Muller, 2008 Sebagai komoditas dagang, perburuan cenderawasih mulai marak di abad 19. Di Sungai Digul, Merauke, Papua bagian selatan, pemerintah kolonial sengaja membuka lahan hutan untuk perburuan cenderawasih. Kebijakan yang digagas asisten residen L.M.P. Plate sebagai ikhtiar meningkatkan kas daerah melalui pemungutan pajak. Sebagaimana dicatat sejarawan Rosmaida Sinaga dalam Jejak Kebangsaan: Kaum Nasionalis di Manokwari dan Boven Digul , para pemburu cenderawasih diizinkan memasuki wilayah itu. “Para pemburu burung cenderawasih diwajibkan membayar pajak kepada pemerintah,” tulis Rosmaida dalam artikelnya “Tanah Merah, Boven Digul: Kota Pemerintahan dan Kamp Interniran pada Masa Kolonial.” Pemburu cenderawasih kebanyakan berasal dari kaum pendatang. Di Papua kawasan selatan, pemerintah kolonial kerap kali dipusingkan dengan aksi perburuan liar tukang-tukang pasang. Tukang pasang adalah istilah yang dipakai pemerintah kolonial untuk orang etnis Tionghoa yang berprofesi sebagai pemburu cenderawasih. Sedangkan di tepi pantai utara Papua, pemburuan cenderawasih dilakoni oleh pendatang asal Buton, Sangir, Ternate, dan Tidore. Des Alwi dalam Sejarah Maluku mencatat, bulu burung cendrawasih yang dijajakan di pasar-pasar kota di Maluku adalah hiasan yang teramat mahal. Tubuh burung itu juga dikeringkan sebagai hiasan pajangan. Secara ekonomi, perdagangan cenderawasih dianggap sangat menguntungkan kawasan timur pemerintah Hindia Belanda. Misalnya pada 1912, sebanyak 30.000 ekor cenderawasih senilai sejuta gulden telah diekspor dari Manokwari dengan pajak ekspor sebesar 100.000 gulden. Produk olahan cenderawasih terutama bulunya laku keras di pasar Eropa dan digunakan untuk kebutuhan mode busana. Eksploitasi besar-besaran terhadap cenderawasih ternyata membawa masalah baru. Kerusakan alam adalah efek yang ditimbulkan di samping menyusutnya populasi cenderawasih di ambang kepunahan. Pemburu cenderawasih yang dengan senjata apinya telah membuat hutan-hutan tak aman. Dalam buku Sang Pelopor: Peranan Dr. S.H. Kooders dalam Sejarah Perlindungan Alam di Indonesia karya Panji Yudhistira, selama periode 1898-1908 terjadi pertarungan ide antara keinginan untuk melindungi satwa burung di satu sisi, dengan keinginan mempertahankan perdagangannya di sisi lain. Pada 1922, pemerintah kolonial mengeluarkan keputusan yang melarang perburuan burung cenderawasih. Pun demikian dengan burung lainnya seperti kasuari, mambruk, dan merpati mahkota. Meski demikian, perburuan dan perdagangan liar tetap mengancam cenderawasih. Ia kadung kesohor sebagai burung surga. Menurut World Wildlife Fund (WWF) Papua, antara 1900-1930-an penjualan cenderawasih mencapai 10.000-30.000 ekor per tahun. Dari 1820 Hingga 1938, total penjualan burung cenderawasih ke seluruh Eropa ditaksir kurang dari 3 juta ekor. Pada 1990, pemerintah Indonesia melalui UU No. 5 tahun 1990 menetapkan cenderawasih sebagai satwa yang dilindungi. Sementara itu, data terbaru Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) yang dikeluarkan tahun 2014, memasukan cenderawasih ke dalam daftar merah dengan kategori rentan yang berarti: menghadapi resiko punah di alam liar di waktu mendatang.
- Mencari Museum yang Mendidik
IRAMA lagu dangdut mengalun di sisi barat Museum Kereta Api Ambarawa, Kabupaten Semarang. Rupanya, pengelola museum membuat panggung kecil untuk memberi hiburan kepada para pengunjung selama dua hari ini, 14-15 Oktober 2017, dalam rangka menyemarakkan Hari Museum setiap 12 Oktober. Sebagian besar pengunjung tampak berkerumun, menikmati suguhan lagu, sembari menunggu giliran naik kereta api wisata dari stasiun Ambarawa ke stasiun Tuntang. Di sisi yang lain, sesela lokomotif-lokomotif tua, beberapa anak muda usia SMP berseragam kaos kuning, nampak bergerombol. Mereka menikmati paparan sejarah dari seorang ahli perkeretaapian Indonesia, Tjahjono Rahardjo. Lokasi museum Kereta Api Ambarawa merupakan titik pertemuan antara jalur dengan lebar kereta 1.435 mm ke arah Kedungjati dengan jalur lebar kereta 1.067 mm ke arah Yogyakarta via Magelang. Museum ini berdiri pada 6 Oktober 1976 untuk menyimpan lokomotif uap, ketika jalur rel 1.435 mm ditutup. “Dari kunjungan ini ada hal baru yang saya ketahui, seperti masih adanya kereta uap yang sampai sekarang masih beroperasi. Dari Ambarawa ke Jambu. Dan ada pula kereta wisata yang hanya melayani dari Ambarawa ke Tuntang. Dan gerbongnya lucu. Tua gitu,” ujar Hosea Adi Prasetyo, siswa kelas 7 SMP Masehi PSAK Ungaran. Hosea tak sendiri. Ia bersama sekira 30-an siswa dari beberapa SMP di Kabupaten Semarang sedang mengikuti Lomba Detektif Sejarah yang dihelat Paguyuban Citra Bawana Lestari, museum Kereta Api Ambarawa. “Membuat event seperti Lomba Detektif Sejarah ini bagus. Artinya ada animo kuat dari masyarakat untuk mengetahui museum-museum yang ada di sekitarnya. Nah sekarang tugas saya dan teman-teman di museum kereta api khususnya, untuk bisa memberikan yang lebih menarik, tidak membuat bosan,” ujar Tjahjono Rahardjo. Jika Hosea yang baru berkunjung ke museum kereta api baru pertama kalinya, hal berbeda diungkapkan pengunjung museum KA yang sudah beberapa kali kesana. “Ya membosankan. Gak ada hal baru. Ini karena mengajak anak saja kesini yang selalu pengen naik kereta wisata,” ujar Ratih Hapsari, pengunjung dari Semarang. Ujaran Ratih itu seperti diaminkan oleh Tjahjono Rahardjo. Ia melihat banyak musum kurang atraktif, sehingga sepi pengunjung. “Dalam suasana sekarang ini, yang biasa dengan gawai dan internet, agak susah jika mengajak atau meminta mereka datang ke museum. Apa sih museum itu, barang-barang tua, dengan sedikit teks keterangan. Ini tidak menarik. Tidak hidup,” ujar Tjahjono Rahardjo, pengajar di Universitas Katholik Soegijapranata kepada Historia . Menurutnya, pengelola museum sekarang harus dituntut kreatif, jika ingin menjaring pengunjung dari kalangan muda. “Ada satu pengalaman saya saat ke museum kereta api terbesar di dunia, di York, Inggris. Disana terdapat atraksi di salah satu koleksi museum itu. Jadi di depan satu koleksi, ada seorang dengan busana yang ada sejaman dengan koleksi tersebut. Nah dia mendongeng. Tidak kaku, tapi dengan bahasa populer. Bukan hanya anak muda yang tertarik, tapi saya pun yang sudah berumur ini, juga tertarik,” ujar anggota Indonesian Railway Preservation Society sejak 2006 ini. Tjahjono memberi apresiasi besar terhadap animo masyarakat untuk berkunjung ke museum. Namun ia menyayangkan, pihak museum seperti belum siap. “Di sini banyak koleksi yang bagus ya, namun seperti bisu. Jadi ya pengunjung yang datang hanya mendapatkan hiburan atau rekreasi semata, belum pada taraf edukatif,” pungkas Tjahjono.






















