top of page

Hasil pencarian

9590 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Gus Dur Hanya Pulang

    LAMAT-lamat terdengar shalawat narriyah , yang dilantunkan sekelompok penyanyi di halaman Taman Ismail Marzuki, 28 September lalu. “Shalawat ini adalah kesukaan Gus Dur,” ujar salah satu vokalis grup An-Nabawi dalam pagelaran seni budaya mengenang 1000 hari meninggalnya Abdurrahman Wahid atau yang kerap dipanggil Gus Dur. Salah satu putri Gus Dur, Alissa Wahid, disela-sela acara tersebut menerangkan, “di acara malam ini, akan kita lihat bagaimana pluralitas yang identik dengan sosok Gus Dur sebagai seorang anak bangsa.” Acara dengan tajuk “Ziarah Budaya” untuk mengenang nyewu -nya Gus Dur tersebut bernafas Nusantara dan kebhinekaan. Pengisi acaranya berasal dari Aceh hingga Papua. Di awal acara, terlihat aksi menawan barongsay dari kelompok Naga Merah Putih dari Bogor. “Kami tampil di acara ini karena ingin menyumbang saja, sebagai wujud terima kasih kami, karena Gus Dur pula kesenian barongsay menemukan kebebasannya,” ujar Ade, pelatih kelompok ini.

  • Mengembalikan Sejarah ke Publik

    TIGA bersaudara dari Salina, Italia, tiba di Sydney, Australia pada musim dingin tahun 1880. Iklim di sana sangat berbeda dari Italia. Lebih dingin dan berangin. Tapi mereka tetap berusaha membangun mimpinya: hidup lebih baik. Jeli melihat peluang, mereka berjualan bebuahan dengan mendirikan toko di sebuah tepi jalan di Sydney. Meski ramai pengunjung, toko itu hanya bertahan tiga tahun. Mereka memilih kembali ke Italia. Menyerah lantaran iklim yang tak bersahabat. Beberapa tahun kemudian, orang Italia lainnya kembali membuka toko bebuahan. Bertahan lebih lama dari pendahulunya. Selama puluhan tahun, toko itu memengaruhi cara makan, hidup, dan berpikir orang Australia. Hingga kini, warga Sydney merawat dan membanggakan toko itu. “Ini semua karena peran sejarah publik,” tutur Paul Ashton, profesor pada University of Technology Sydney, dalam seminar internasional tentang sejarah publik di Universitas Indonesia, 26-27 September 2012.

  • Langkah Gila Belanda di Yogyakarta

    HARI Minggu itu adalah saat kelabu bagi Yogyakarta dan penghuninya. Sejak pagi, pesawat-pesawat pembom Belanda jenis P51 dan Spitfires terus menghujani ibu kota Republik Indonesia (RI) tersebut dengan ratusan bom dan rentetan tembakan senapan otomatis. "Kami saja yang tentara sudah merasa tegang menghadapi situasi tersebut, apalagi rakyat sipil," kenang almarhum Mayor Jenderal (Purn) Sukotjo Tjokroatmodjo. Sukotjo adalah anggota pasukan Corps Polisi Militer (CPM) yang mengawal Istana Negara. Pada saat militer Belanda menginvasi Yogyakarta, dia seorang letnan muda yang bersama pasukannya tengah bersiap untuk menjaga keselamatan Presiden Sukarno. Tidak hanya bom dan tembakan, roket-roket pun diluncurkan ke berbagai gedung yang berfungsi sebagai instalasi militer milik Republik. Tak jarang, amunisi-amunisi berat itu mengenai sasaran yang salah dan jatuh di lingkungan pemukiman penduduk hingga menimbulkan korban. Sejatinya pihak RI sudah menduga bahwa Belanda akan keluar dari kesepakatan Perjanjian Renville dan melakukan penyerbuan ke wilayah Republik. Namun pihak RI tidak mengira jika hari H-nya adalah 19 Desember 1948. Alasannya, selain di Yogyakarta saat itu sedang ada para pengawas dari Komisi Tiga Negara (KTN), para pemimpin Republik juga percaya bahwa Belanda baru berani menyerang setelah mereka mendirikan pemerintah federal sementara yang terdiri atas negara-negara bagian Indonesia yang sudah dibangun dan dikuasai Belanda. Demikian diungkapkan oleh George McTurnan Kahin dalam  Nasionalisme dan Revolusi Indonesia . Wakil Presiden RI Mohammad Hatta termasuk yang kecele dengan serangan itu. Satu hari sebelum invasi tersebut terjadi, Hatta menyatakan kepada Kolonel T.B. Simatupang bahwa tak mungkin militer Belanda akan menyerang Yogyakarta pada 19 Desember 1949. "Itu langkah gila jika Belanda berani melakukannya," ujar Hatta seperti dikisahkan Simatupang dalam Laporan dari Banaran: Kisah Pengalaman Seorang Prajurit dalam Perang Kemerdekaan. Hatta percaya bahwa Belanda akan menyerang Yogyakarta. Tapi dia sangsi jika mereka akan melakukanya pada 19 Desember 1948. Hatta memperkirakan Belanda harus berpikir panjang, karena pagi itu Ketua KTN H. Merle Cochran, diplomat Amerika Serikat, tengah berangkat ke Jakarta, membawa surat jawaban Belanda atas pertanyaan dari pemerintah RI. "Tidakkah akan merupakan penghinaan besar terhadap Amerika Serikat, bila Belanda melancarkan serangannya sementara surat menyurat RI-Belanda dengan perantara Amerika Serikat belum diputuskan?" kata Hatta kepada Simatupang. Namun, ternyata Belanda memang mengambil langkah gila itu keesokan harinya. Sementara itu, pada waktu yang sama ketika Hatta dan Simatupang bertemu, di Jakarta Merle Cochran dan Yusuf Ronodiporo, anggota delegasi RI dalam perundingan dengan Belanda, baru saja tiba di Jakarta. Mereka keesokan harinya ada rencana menyampaikan surat dari Wakil Presiden RI untuk Dr. L.J.M. Beel, Wakil Tinggi Mahkota Kerajaan Belanda. Sekitar jam 21.00, Yusuf menerima telepon dari Istana Rijswijk (sekarang Istana Merdeka) untuk secepatnya mengambil surat yang ditujukan kepada delegasi Indonesia. Jam 21.15, surat tersebut sudah ada di tangan Yusuf. Ketika surat yang dialamatkan kepada The Chairman of the Delegation of the Republic (tanpa menyebut Indonesia) itu dibuka, alangkah terkejutnya Yusuf Ronodipuro. Ternyata isi surat tembusan yang sejatinya ditujukan kepada KTN itu adalah keputusan sepihak dari Belanda untuk membatalkan kesepakatan Perjanjian Renville. "…dan mulai hari Minggu, 19 Desember 1948 jam 00.00 (kami) tidak lagi terikat oleh persetujuan tersebut," demikian salah satu bunyi surat yang saat ini ada di dokumen Kementerian Luar Negeri Belanda bertajuk Indonesie in de veligheidsraad de Verenidge Naties (November 1948-Januarie 1949) . Dikisahkan oleh Himawan Soetanto dalam Yogyakarta 19 Desember 1948: Jenderal Spoor vs Jenderal Soedirman , Yusup lalu berinisiatif mengirimkan kabar penting itu ke Yogyakarta melalui Kantor Pos Umum di Jakarta, namun tidak berhasil. Operator telegram tidak dapat mengirimkan berita, karena semua kontak dengan Yogyakarta tetiba diblok. Tidak ada cara lain, Yusuf lalu mendatangi kamar Cochran di Hotel Des Indes. Begitu selesai membaca surat tersebut, merah padamlah wajah diplomat Amerika Serikat itu, hingga keluar ucapan kasar dari mulutnya: "Damn it! We have to go to Jogja now! (Sialan! Kita harus pergi ke Yogya sekarang juga)," teriaknya. Namun, dalam kenyataannya kepergian ke Yogyakarta pun tidak bisa dilakukan malam itu juga. Itu terjadi karena U.S. Airforce yang digunakan untuk kepentingan KTN tidak mendapatkan izin terbang dari Belanda. Upaya Cochran untuk meminta tolong kepada Elink Schuurman, Pejabat Sementara Ketua Delegasi Belanda, ditolak. Keesokan harinya, aksi ofensif terhadap Yogyakarta pun dilakukan. Pagi sekali Panglima KNIL Jenderal S.H. Spoor sudah memimpin penyerbuan ke Yogyakarta melalui pesawat Mitchell B-25 buatan Amerika Serikat. Ketika situasi sudah sepenuhnya terkendali, dari Maguwo, Spoor ke Semarang untuk mengamati gerak maju pasukan darat ke Yogyakarta dan Solo. Sekitar jam 9 siang, dia kembali ke Jakarta untuk melaporkan kesuksesan Operasi Gagak kepada Dr. Beel. Saat menuju rumah Dr. Bell, menurut  sejarawan J.A. de Moor dalam Jenderal Spoor: Kajayaan dan Tragedi Panglima Tentara Belanda Terakhir di Indonesia , dia sempat bertemu dengan seorang pemantau militer dari Amerika Serikat. "What a lovely day to start a war!  (Hari yang sangat menyenangkan untuk memulai sebuah perang)," kata sang perwira itu menyindir.*

  • Mengatasi Tawuran dengan Operasi Khusus dan Pesantren Kilat

    Tawuran pelajar kembali merenggut korban jiwa. Alawy Yusianto Putra (15), siswa SMAN 6 Jakarta, tewas setelah dia dan teman-temannya diserang siswa SMAN 70. Kabarnya, permusuhan kedua SMA yang bertetangga itu telah bebuyutan. Menurut sejarawan Universitas Leiden, Belanda, Kees van Dijk, perkelahian antarpelajar dapat berlangsung bertahun-tahun karena saat memulai tahun pertama bersekolah, para pelajar baru diberi tahu oleh anak-anak yang lebih senior mana saja sekolah yang merupakan musuh mereka.

  • Antara Jawa dan Luar Jawa

    DALAM debat calon gubernur DKI Jakarta putaran kedua, yang ditayangkan stasiun televisi nasional, Fauzi Bowo melontarkan pertanyaan kepada Joko Widodo: “Saat anda terpilih sebagai walikota, anda mengatakan, kepentingan warga Solo yang utama. Saat kita bertemu di Polda Metro Jaya anda bilang, kepentingan Jakarta dan warganya juga yang paling utama. Konflik batin apa yang ada, karena meski saya bukan orang Jawa, saya tahu roso  itu sangat penting?” Joko Widodo menyayangkan pertanyaan terkait perasaan dan kesukuaan (Jawa). Dia pun enggan menjawabnya, dan menyatakan dirinya maju dalam Pilkada DKI Jakarta karena peraturan undang-undang memperbolehkannya. “Kalau undang-undang tidak boleh ya saya tidak ke sini,” kata Jokowi.

  • Kisah Menegangkan Kala Yogyakarta Diserang Belanda

    YOGYAKARTA, 19 Desember 1948. Letnan Dua Sukotjo Tjokroatmodjo baru saja selesai mengurus tawanan-tawanan komunis di Benteng Fort Vredeburg, saat beberapa pesawat pemburu militer Belanda menembaki Istana Negara subuh itu. Dalam keremangan pagi, Sukotjo masih sempat melihat parasut-parasut  pasukan lintas udara militer Belanda bergelayutan di langit Maguwo. Sadar Belanda telah menyerang, dia lantas melepas kembali puluhan tawanan yang baru saja ditangkap. “Tawanan-tawanan itu kami suruh pulang,” ujar anggota Kompi II Yon Mobil B Corps Polisi Militer (CPM) tersebut kepada Historia . Usai melakukan koordinasi secara cepat dengan rekan-rekannya, Sukotjo bergerak ke Istana Negara. Mereka bersiap menghadapi datangnya serbuan militer Belanda. Memasuki senja, sepasukan prajurit  lintas udara Belanda sudah mengambil posisi di depan Kantor Pos. Terjadilah tembak menembak antara pasukan Belanda dengan satu kompi CPM pimpinan Letnan Satu Susetio yang bertahan di halaman Istana Negara. “Harus diakui, saat itu kekuatan kita tidak seimbang dibanding pasukan lawan,” kenang lelaki kelahiran Jawa Timur 88 tahun lalu itu. Tak ingin Presiden tertangkap, Sukotjo lantas  mengusulkan agar Susetio menyelamatkan Presiden dan jajarannya sedangkan ia sendiri akan memimpin 30 prajurit CPM untuk menghadang serbuan militer Belanda. Namun sebagai komandan kompi, Susetio sendiri tak bisa membuat keputusan. Ia kemudian membawa Sukotjo menghadap Mayor Gandi, yang tak lain adalah ajudan pribadi Presiden Sukarno. Alih-alih mendapat instruksi, Mayor Gandi malah membawa Sukotjo ke hadapan Presiden Sukarno di serambi belakang Istana Negara. Melihat ajudannya datang bersama Sukotjo, Presiden Sukarno yang saat itu tengah berdiskusi dengan Haji Agus Salim, Komodor Suryadarma dan Sekretaris Negara Mochamad Ichsan, langsung melontarkan pertanyaan: “Ada apa, Co?” Sukotjo dengan bersemangat menyampaikan rencananya kepada Presiden Sukarno: mulai dari A sampai Z. Usai mendengar usulan Sukotjo, presiden terdiam sejenak. Sambil memandang Sukotjo, ia lalu berkata. Pelan namun terdengar tegas. “Begini ya Co, Merah Putih, tidak akan menyerah (seraya mengacungkan tangan kanan nya ke atas), tetapi kita harus menyerahkan tempat ini kepada Belanda (dalam nada datar),” ujar Presiden Sukarno. Mendengar kata-kata itu, Sukotjo merasa tubuhnya lemah lunglai. Dalam posisi tegak, diam-diam air matanya meleleh. Susana pun menjadi tak karuan. Di tengah situasi tersebut, tiba-tiba Sukotjo melepas pistol dan klewang yang ada di pinggang lalu menjatuhkannya tepat di depan Sukarno. “Sudah empat tahun berperang kok kita menyerah?!” katanya sambil berlalu. Sejarah kemudian mencatat, tentara Belanda menawan Presiden Sukarno beserta jajarannya dan membawa mereka ke tanah pengasingan di Sumatra. Menurut Himawan Soetanto, proses  penangkapan ini dinilai pihak Belanda merupakan bagian yang paling mendebarkan dalam Operasi Gagak. “Itu merupakan saat yang paling dramatis dari pertikaian Indonesia-Belanda,” tulis Himawan dalam buku Yogyakarta, 19 Desember 1948. Tetapi penangkapan dan pengasingan Sukarno beserta jajarannya disambut dingin oleh Komandan Tertinggi Tentara Belanda di Indonesia, Jenderal Spoor. Alih-alih merasa senang, saat dilapori soal itu oleh Komandan Operasi Jawa Tengah, Jenderal Meier, Spoor justru menyambutnya dengan teriakan: “Kita kalah!”. Mengapa demikian? Rupanya, dalam skenario besar Spoor, dia berharap Sukarno justru melawan dan terbunuh. Atau setidaknya ikut pergi ke hutan untuk memimpin gerilya. “Langkah membiarkan diri tertawan itu merupakan langkah politik yang berakibat baik bagi perjuangan kemerdekaan kita,” demikian menurut buku Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan yang diterbitkan oleh Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) itu. Sukutjo sendiri bernasib baik dalam peristiwa tersebut. Setelah sempat ditawan beberapa jam oleh KST (Korps Pasukan Khusus militer Belanda), dia berhasil melarikan diri dan bergabung kembali dengan induk pasukannya. “Ternyata saya masih ditakdirkan untuk ikut terus bertempur dengan militer Belanda sampai perang selesai,” ungkap tentara yang mengakhiri karirnya sebagai Mayor Jenderal itu.*

  • Fiksi Menggugat Fakta Resmi

    DALAM diskusi bertajuk “G30S dalam Sastra Indonesia” di Salihara, Jakarta Selatan, 12 September 2012,  kritikus sastra Wicaksono Adi membahas novel-novel berlatar peristiwa tragedi 30 September 1965. Sedangkan sastrawan Eka Kurniawan khusus membedah novel Ronggeng   Dukuh Paruk  karya Ahmad Tohari, yang telah diadaptasi ke layar lebar berjudul Sang Penari  (2011). Wicaksono memulai dengan novel Kalathida  (2007) karya Seno Gumira Ajidarma. Dalam novel tersebut dijumpai deskripsi yang didukung oleh kolase kliping berita, kebanyakan dari suratkabar Angkatan Bersenjata  dan Berita Yudha  perihal “fakta-fakta” peristiwa G30S. Kolase tersebut adalah sumber rujukan rezim Orde Baru untuk membuat sejarah resmi yang monoversi mengenai peristiwa G30S.

  • Apa yang Salah dengan Lambang Palang Merah?

    PANITIA kerja RUU Palang Merah Indonesia (PMI) DPR RI studi banding ke Denmark dan Turki. Mereka berencana mengubah lambang PMI menjadi Bulan Sabit Merah. Entah atas dasar apa para anggota parlemen itu ingin mengganti lambang PMI. Palang Merah telah ada sejak masa Hindia Belanda. Pada 21 Oktober 1873 pemerintah kolonial Belanda mendirikan Nederlands Rode Kruis Afdeling Indie (Nerkai), yang dibubarkan pada masa pendudukan Jepang. Sekira tahun 1932, Dr. RCL Senduk dan Dr. Bahder Djohan mengusahakan untuk mendirikan palang merah nasional. Mereka berusaha membawa rancangan itu ke konferensi Nerkai pada 1940, tapi ditolak mentah-mentah. Saat pendudukan Jepang, mereka mencoba lagi, namun kembali gagal.

  • Ordonansi (Ulama) Guru

    DALAM diskusi bertajuk “Teror Tak Kunjung Usai,” di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat (8/9), Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris menyatakan negara Singapura dan Arab Saudi berhasil melakukan deradikalisasi dengan cara membuat sertifikasi ulama. Pernyataan tersebut menuai kontroversi karena BNPT dianggap mengusulkan sertifikasi ulama. BNPT membantah dan berdalih sekadar memberi contoh. Wacana sertifikasi ulama mengingatkan pada Ordonansi Guru yang dikeluarkan pemerintah kolonial Belanda pada 1905. Menurut peraturan yang diberlakukan di Jawa dan Madura ini, seorang guru agama harus memiliki keterangan mengajar atau izin tertulis sebelum dia mengajar, dan setiap guru agama harus mengetahui daftar mata pelajaran dan nama murid-muridnya agar dapat dikontrol.

  • Aturan Hak Cipta Lukisan

    AD Pirous, seniman lukis kaligrafi mendapati karya-karyanya dipalsukan dan dijual di sebuah toko karya seni rupa. “Saya terpana dan gagap menghadapi situasi yang tidak pernah saya bayangkan. Saya harus bertindak apa?” tulis Pirous dalam pengantar buku Sejarah Hak Cipta Lukisan (Komunitas Bambu, 2012) karya Inda Citraninda Noerhadi. Menurut Indah, pelanggaran hak cipta terjadi karena budaya mencontoh dan meniru sudah memprihatinkan yang disebabkan oleh mandeknya proses kreativitas. Dalam buku ini, Indah menyoroti perkembangan undang-undang hak cipta di Indonesia yang dikaji dari masa pemerintah kolonial Hindia Belanda hingga masa reformasi dan tantangan masalah ini di masa mendatang.

  • PBNU Tolak Beri Maaf PKI

    HAWA panas di luar kantor pusat PBNU, Jalan Kramat Raya 104, (15/87) merembet ke ruang pertemuan lantai lima gedung tersebut. Tak kurang dari 50 orang, hampir semua lelaki rata-rata berusia lebih dari setengah abad, berkumpul untuk mengikuti acara “deklarasi menentang hasil penyelidikan Komnas HAM tentang pemberontakan G30S/PKI tahun 1965.” Ada 23 orang yang menadatangani deklarasi itu. Mereka mewakili lembaga dan perorangan, di antaranya PPAD, PBNU, Barisan Nasional, Padmanagri, PPM, FPP 45, FKPPI, YKCB, DHN 45, Universitas Jaya Baya, Yayasan Jatidiri Bangsa, dan beberapa purnawirawan TNI. Dalam acara tersebut, hadir pula mantan Hakim Agung Benyamin Mangkudilaga dan penyair Taufik Ismail.

  • Pengakuan Sang Jagal Westerling

    DALAM wawancara pada 1969, yang ditayangkan dalam acara "Altijd Wat" (Ada Saja) di televisi NCRV  pada 14 Agustus 2012 pukul 21.10 waktu Belanda, Kapten Raymond Westerling mengakui tanpa ragu bertanggungjawab atas pembunuhan 3.500 –buku-buku sejarah di Indonesia menyebut sampai 40.000– rakyat Sulawesi Selatan dalam operasinya pada 1946-1947. “Saya bertanggungjawab dan bukannya prajurit yang ada di bawah saya. Perbuatan itu adalah tindakan saya pribadi. Jumlah persisnya korban bisa dibaca pada laporan patroliku,” kata Westerling.

bottom of page