Hasil pencarian
9590 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Persekutuan Tuan Rondahaim dan Sisingamangaraja
DARI basis kekuasannya di Bakkara, Sisingamangaraja suatu kali melawat ke daerah Simalungun. Turut mendampinginya beberapa pengikut orang dari Aceh dan Toba. Namun, mendekati Pematang Raya, Tuan Rondahaim Saragih, penguasa Kerajaan Raya, enggan menyambut rombongan Sisingamangaraja. Tuan Rondahaim hanya bersedia menerima Sisingamangaraja di Dalig Raya, berjarak 5 km dari Pematang Raya, sebagai gerbang depan kerajaannya. “Dalig Raya adalah juga kampung saya, kesana saja Oppung (Kakek), biar nanti saya yang menghadap kesana,” kata Rondahaim, sebagaimana dituturkan Pdt. Wismar Saragih dalam Barita Ni Tuan Rondahaim atau Riwayat Hidup Tuan Rondahaim . Dinasti Sisingamangaraja kesohor sebagai raja-imam yang berkuasa di Tanah Batak. Pengaruhnya cukup diakui sampai ke wilayah kerajaan tetangga seperti Simalungun maupun Aceh. Tuan Rondahaim sendiri, dalam catatan Wismar Saragih, menaruh hormat pada Sisingamangaraja yang dipanggilnya “ Oppung ”. Namun, menurut hemat Rondahaim, jika Sisingamangaraja berkunjung ke Raya, tentulah banyak orang gentar, karena mengangapnya sebagai imam atau datu agung yang diutus Allah. Penyambutan terhadap Sisingamangaraja dapat berakibat habisnya harta rakyat untuk dipersembahkan kepadanya. Itu sebabnya, Rondahaim lebih memilih untuk menyambutnya di Dalig Raya dan dia sendiri yang langsung memberikan persembahan bagi Sisingamangaraja. “Kemudian diperintahkanlah agar semua rakyat mengantarkan persembahan masing-masing kepada Sisingamangaraja. Tuan Rondahaim mempersembahkan ringgit sebanyak $120. Masyarakat Raya berikut penghulu masing-masing berbondong-bondong mengantarkan persembahan syukurnya karena negeri disinggahi Sisingamangaraja,” tutur Wismar. Setelah memberikan persembahan kepada Sisingamangaraja, Tuan Rondahaim meminta kepada Sisingamangaraja agar perkaranya dengan Tuan Dolok Kahean didamaikan. Menurut pengaduan Rondahaim, Tuan Dolok Kahean suka menyamun ke wilayah Raya. Selain itu, pengantar mesiu Tuan Rondahaim yang melintasi Dolok Kahean, kerap kali dihadang dan disita bawaannya. Mendengar masalah tersebut, Sisingamangaraja menyuruh orang menjemput Tuan Dolok Kahean. Tuan Rondahaim pun kembali ke Pematang Raya. Seperti dijelaskan dalam Barita Ni Tuan Rondahaim , Tuan Rondahaim sejatinya telah menyiapkan siasat agar “balik modal” dan tak kalah wibawa dengan Sisingamangaraja. Kepada salah satu panglimanya, Tuan Bulu Raya Jombit diperintahkan untuk mengepung dan mengacungkan bedil begitu Tuan Dolok Kahean datang. Untuk menebus kebebasannya, Tuan Dolok Kahean harus membayar $1000. Begitulah yang terjadi setibanya Tuan Dolok Kahean di Dalig Raya. Demi memadamkan huru-hara dan pertumpahan darah, Sisingamangaraja bersedia menebusnya. Sisingamangaraja pasang badan karena harus menjamin keselamatan Tuan Dolok Kahean yang diundang datang atas permintaannya. Sisingamangaraja pun tampaknya menyadari perbuatan orang Raya yang terkesan menjebak dirinya. Uang tebusan itu konon diserahkan dalam sepiring besar uang ringgit dan setelah dihitung berjumlah $700. Setelah perkara beres, uang tersebut diantarkan kepada Tuan Rondahaim. Tuan Dolok Kahean dibebaskan. Sementara itu, Sisingamangaraja kembali ke Toba melewati Dolok Saribu. Rombongan Sisingamangaraja membawa serta beberapa orang Dolok Kahean, karena sudah membayar hutang mereka. Rencananya mereka hendak dijual sebagai budak belian. Namun, ditengah jalan, orang-orang Dolok Kahean ini melarikan diri setelah “dikompori” utusan Tuan Rondahaim. “Mereka pun lari ke Sinondang. Ada 50 orang banyaknya. Sebagian mereka itu dijadikan menantu oleh Tuan Rondahaim dan tinggal di Sinondang,” catat Wismar Saragih, “Demikianlah usaha Tuan Rondahaim agar dimuntahkan kembali apa yang sempat dimakan Sisingamangaraja dari Simalungun.” Namun, Wismar Saragih tak menyebut titimangsa maupun Sisingamangaraja ke berapa yang bertemu dengan Tuan Rondahaim. Menurut Augustin Sibarani, pertemuan Sisingamangaraja dengan Tuan Rondahaim, terjadi pada 1871 sehingga dapat disimpulkan itu adalah Sisingamangaraja XI atau bernama asli Raja Ompu Sohahuaon. Penerusnya, Patuan Bosar yang kemudian bergelar Sisingamangaraja XII baru berkuasa pada 1875. “Pada 1871 Raja Sisingamangaraja XI telah mengadakan suatu pertemuan tingkat tinggi dengan Teuku Nangta Sati dari Aceh untuk menggariskan suatu dasar pertahanan antara Aceh dan Tanah Batak. Pada tahun itu juga Raja dari Bakkara ini telah berkunjung ke Pematang Raya di Simalungun untuk menemui Raja Rondahaim Saragih guna membicarakan suatu perjanjian pertahanan bersama,” sebut Sibarani dalam Perjuangan Pahlawan Nasional Sisingamangaraja XII . Sementara itu, Walter Bonar Sidjabat, sejarawan penulis biografi Sisingamangaraja XII , mengatakan Sisingamangaraja XI dan Sisingamangaraja XII berkenalan baik dengan Tuan Rondahaim. Sisingamangaraja XII juga pernah berkunjung ke Raya. Bersama Tuan Rondahaim, keduanya mengadakan kerja sama dalam mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Efeknya secara historis terjadi di daerah Deli dan Serdang. “Setelah kunjungan Sisingamangaraja XII ke Raya, maka para pendukung Tuan Rondahaim pun, segera membakari banyak gudang-gudang tembakau di daerah Deli Serdang. Pembakaran ini dilakukan dengan memberikan uang bagi kuli gintrokan (kontrak) sebanyak 20 ringgit seorang, asalkan orang bersangkutan berhasil membakar bangsal atau gudang pengeringan daun tembakau di perkebunan di daerah Deli Serdang itu,” ungkap Sidjabat dalam Ahu Si Singamangaraja . Semasa Rondahaim berkuasa, Kerajaan Raya tak dapat ditaklukkan Belanda. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya perkebunan yang dikuasai Belanda di daerah Kerajaan Raya. Sebaliknya, Rondahaim bersama pasukannya kerap menebar ancaman terhadap basis-basis ekonomi Belanda di kawasan Sumatra Timur. Perlawanan Rondahaim terhadap Belanda mulai berlangsung sejak 1871 hingga 1890. Surat-surat kabar sezaman berbahasa Belanda kerap memberitakan aksi-aksi yang dilancarkan Rondahaim yang menyebabkan pemerintah kolonial kerepotan. “Tuan Rondahaim pada akhirnya berlebihan. Ia menyerbu Padang dan Bedagei, dan rakyatnya menderita akibatnya. Semua upaya damai untuk membujuknya agar mengakui supremasi Belanda gagal. Ia memproklamirkan kemerdekaannya ketika penguasa Batak lainnya telah menyerah,” demikian diwartakan Deli Courant , 27 Februari 1935. Perlawanan Rondahaim terhenti menyusul wafatnya pada 1892. Sementara itu, Sisingamangaraja XII terus menyalakan perlawanan lebih lama lagi terhadap Belanda. Sisingamangara XII berjuang hingga gugur di tangan anak buah Kapten Hans Christoffel pada 1907. Baik Sisingamangaraja XII maupun Tuan Rondahaim telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.*
- Call Me Mbak
DI twitter tengah terjadi perbincangan soal panggilan “mbak”. Gara-garanya seorang penumpang ojek online yang memberi rating bintang satu hanya karena dipanggil “mbak”. Penumpang itu menulis komentar: “ Don’t call me ‘mbak’. You are in Jkt ! Say it ‘non’ or ‘kak’.” Perempuan itu tidak suka dipanggil “mbak” kemungkinan karena menganggap panggilan itu biasa digunakan untuk asisten rumah tangga atau karena sekarang sapaan yang biasa digunakan, umumnya diucapkan oleh pramuniaga kepada konsumen adalah “kakak”. KBBI Daring mengetri “mbak” sebagai “kata sapaan yang lebih tua di daerah Jawa; mbakyu; dan kata sapaan untuk perempuan muda”. Panggilan “mbak” yang awalnya di lingkungan keluarga atau masyarakat, kemudian menjadi sapaan yang menunjukkan keakraban, diterapkan di lingkungan pendidikan Taman Siswa . “Ciri Taman Siswa yang khas adalah hubungan yang sangat erat antara pamong (guru) dan siswa maupun antara siswa. Siswa laki-laki selalu memanggil ‘mbak’ (kakak perempuan) kepada sesama siswa wanita. Panggilan ‘bapak’ dan ‘ibu’ kepada para guru pada saat itu telah meresap di kalangan Taman Siswa di samping panggilan ‘ juffrouw ’ dan ‘ meneer ’ pada sekolah-sekolah lain,” demikian disebut dalam Bunga Rampai Soempah Pemoeda . Menurut Saya S. Shiraishi dalam Pahlawan-Pahlawan Belia, Keluarga Indonesia dalam Politik , Ki Hadjar Dewantara , pendiri Taman Siswa, menyebut tentang asal dari sebutan “bapak” dan “ibu” dalam sejarah Taman Siswa : “Kami menggunakan istilah ‘bapak’ dan ‘ibu’, sebab kami menganggap istilah panggilan yang digunakan sekarang ini, seperti ‘tuan’, ‘nyonyah’, ‘nonah’, atau istilah sejenis dalam bahasa Belanda, ‘ meneer ’, mevrouw ’, dan ‘ juffrouw ’, dan juga sebutan Jawa macam ‘mas behi’, ‘den behi’, dan ‘ndoro’ yang menyiratkan superioritas dan inferioritas status, harus dihapus dari Taman Siswa. Kami memperkenalkan sebutan ‘bapak’ dan ‘ibu’, tidak saja untuk murid yang berbicara dengan guru, tapi juga untuk guru muda yang berbicara dengan yang lebih tua. Kami tidak pernah sekalipun menyebut hal ini sebagai ‘peraturan’, tapi ini hanya semacam imbauan yang nantinya akan digunakan di seluruh lembaga pendidikan di Indonesia. Bukan itu saja, setelah Republik Indonesia merdeka nanti, sebutan itu disarankan untuk digunakan secara formal oleh pejabat muda untuk memanggil mereka yang lebih tua.” Setelah Indonesia merdeka, rakyat Indonesia memasuki masa revolusi mempertahankan kemerdekaan dari upaya penjajahan kembali oleh Belanda. Di medan juang, para pejuang bertemu dan saling menyapa dengan sapaan yang bermakna persaudaraan: “bung” untuk laki-laki dan “mbak” atau “ zus ” (dari bahasa Belanda, zuster ) untuk perempuan. Prof. Sardanto Cokrowinoto, guru besar Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, menyebut bahwa panggilan “bung” dan “mbak” sudah populer sejak zaman revolusi. Dia yang juga mengalami zaman revolusi sebagai anggota Tentara Pelajar (TP) merasakan kehangatan dengan panggilan seperti itu, sehingga semua pejuang pada waktu itu dianggap kawan. Menurut Sardanto, panggilan itu menunjukkan tak ada perbedaan kelas, sehingga tak ada klasifikasi jabatan atau pangkat, yang kadang-kadang bisa menimbulkan semacam jarak antara satu orang dengan yang lainnya. Akibatnya bisa membedakan dalam pergaulan. Harmoko dan Siti Hardijanti Rukmana, anak Presiden Seoharto, yang akrab dan populer dipanggil Mbak Tutut. ( kompasiana.com ). Demikian pula menurut Harmoko , menteri penerangan (1983–1997), bahwa panggilan “bung” dan “mbak” memang telah populer sejak lama. Terutama zaman revolusi. Panggilan seperti itu untuk keakraban dalam rangka mengembangkan kebersamaan, keharmonisan, dan kekeluargaan. “Dia memberi contoh, dulu untuk memanggil Trimurti umpamanya, maka cukup dengan panggilan Mbak Tri. Begitu pula untuk Lasmijah, juga dipanggil Mbak Las. Sedangkan untuk 'bung' pada waktu itu populer dengan sebutan Bung Tomo, Bung Hatta, Bung Karno dan sebagainya,” tulis Amal Kusnadi dalam Bung Harmoko, Golkar & Mayoritas Tunggal . S.K. Trimurti dan Lasmijah adalah dua tokoh perempuan pergerakan kemerdekaan. Bahkan, Trimurti sempat menjabat menteri perburuhan pertama. Oleh karena itulah, Harmoko sebagai ketua umum Partai Golkar (1993–1998), mengusulkan agar di antara kader Golkar saling menyapa dengan sapaan “bung” dan “mbak”. Tujuannya untuk mengikis budaya feodal menuju kesetaraan sebagaisesama kader Golkar . Selain itu, mungkin saja Harmoko memberlakukan panggilan “mbak” karena terinspirasi panggilan akrab dan populer Siti Hardijanti Rukmana, anak Presiden Seoharto, yaitu Mbak Tutut. “Sebutan ‘bung’ dan ‘mbak’ selalu dikumandangkan Bung Harmoko di setiap temu kader yang meriah denganwarna-warna kuning. Ini memang kesepakatan rapat pleno pertama seusai Munas V tahun 1993,” tulis Motinggo Busye dalam Golkar dan Harmoko . Awalnya, lanjut Motinggo, para kader Golkar merasa sungkan apabila harus menyebut “bung” atau “mbak” kepada kader yang kebetulan mempunyi kedudukan terpandang. Tentu saja, secara guyon Harmoko mengingatkan, kalau kebetulan kader Golkar itu seorang bupati yang tengah memakai seragamdinasnya, sapalah “pak” atau “bu”. “Kalau nggak nyebut begitu, bisa-bisa kalian dipecat,” kata Harmoko. Menurut Motinggo, Harmoko memberlakukan sapaan “bung” atau “mbak” sebagai upaya untuk merebut kembali suara Golkar yang turun (68,10 persen) pada Pemilu 1992 dari 73,11 persen pada Pemilu 1987. Pada Pemilu 1997, Golkar meraih suara 74,51 persen. Apakah kader Golkar pasca Reformasi masih saling menyapa dengan “bung” dan “mbak”? Saat ini justru partai baru, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang memberlakukan sapaan antarkader, yaitu “bro” dan “sis”. Bagaimana dengan partai-partai lain, apakah juga punya sapaan antarkader?*
- Sjafruddin Prawiranegara: Sebenarnya Saya Seorang Presiden
PADA 22 Desember 1948 Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dibentuk di Halaban, Sumatra Barat, yang dipimpin oleh Mr. Sjafruddin Prawiranegara. Banyak orang yang menyesalkan mengapa Sjafruddin dan Mr. Assaat tidak dihitung presiden. Mereka pun kerap disebut sebagai presiden yang dilupakan. Ketika Sukarno, Mohammad Hatta, dan pimpinan negara lain ditangkap Belanda pada Agresi Militer kedua, Sjafruddin dan tokoh-tokoh Sumatra membentuk PDRI. PDRI berdiri dari 19 Desember 1948 hingga 13 Juli 1949. Sedangkan Assaat ditunjuk sebagai penjabat ( acting ) presiden Republik Indonesia (27 Desember 1949-15 Agustus 1950) ketika Sukarno menjadi presiden Republik Indonesia Serikat pada 16 Desember 1949. Jika Assaat disebut sebagai acting (penjabat), mengapa Sjafruddin menyebut dirinya "ketua" PDRI? Menurut Ajip Rosidi dalam biografi Sjafruddin Prawiranegara, Lebih Takut Kepada Allah Swt. , istilah yang dipakai adalah “ketua”, padahal tanggung jawabnya adalah sebagai presiden merangkap perdana menteri. Dia tidak mau memakai istilah yang secara hukum harus disandangnya itu, walaupun dia tahu bahwa kedudukan “ketua” tidak dikenal dalam UUD Republik Indonesia. Rupanya, alasan Sjafruddin memakai istilah "ketua" karena telegram yang dikirim oleh Sukarno-Hatta tidak sampai kepadanya. Telegram tertanggal 19 Desember 1948 itu menugaskan "Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Republik Indonesia, untuk membentuk Pemerintahan Republik Indonesia Darurat di Sumatera." Menurut Ajip, telegram tersebut tidak sampai ke Sjafruddin karena Belanda yang menyerbu Yogyakarta, memusnahkan stasiun radio dan kantor telekomunikasi. Oleh karena itu, Sjafruddin kepada harian Pelita , 6 Desember 1978, mengatakan: "Mengapa saya tidak menamakan diri Presiden Republik Indonesia tetapi Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia? Yang demikian itu disebabkan karena saya belum mengetahui adanya mandat Presiden Sukarno, dan karena didorong rasa keprihatinan dan kerendahan hati… Tetapi andai kata saya tahu tentang adanya mandat tadi, niscaya saya akan menggunakan istilah ‘Presiden Republik Indonesia’ untuk menunjukkan pangkat dan jabatan saya… Dengan istilah Ketua PDRI sebenarnya saya seorang Presiden Republik Indonesia dengan segala kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh UUD 1945 dan diperkuat oleh mandat Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta, yang pada waktu itu tidak dapat bertindak sebagai Presiden dan Wakil Presiden."*
- Dua Buku S.K. Trimurti Menguak Buruh
SELAMA menjadi menteri perburuhan, juga pengurus Partai Buruh Indonesia, S.K. Trimurti kerap mengunjungi kaum buruh. Melihat kurangnya pemahaman teori perjuangan buruh, dia menulis sebuah buku kecil berjudul A.B.C. Perdjuangan Buruh . Pada 11 Mei 1975, dia berceramah tentang sejarah buruh dalam acara yang dihelat Yayasan Idayu bekerja sama dengan Yayasan Gedung-gedung Bersejarah Jakarta dan Museum Kebangkitan Nasional.
- Babad Diponegoro Jadi Warisan Ingatan Dunia
PADA 21 Juni 2013, Organisasi PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Budaya (UNESCO) menetapkan Babad Diponegoro sebagai Warisan Ingatan Dunia (Memory of the World). Babad Diponegoro merupakan naskah klasik yang dibuat ketika Pangeran Diponegoro diasingkan di Manado, Sulawesi Utara, pada 1832-1833. Babad ini bercerita mengenai kisah hidup Pangeran Diponegoro yang memiliki nama asli Raden Mas Ontowiryo.
- Malam Muda-Mudi Jakarta
“SELAMAT ulang tahun, Jakarta! Malam ini kita bergoyang!” kata seorang biduanita di atas panggung di depan Hotel Mandarin Oriental, Jalan MH Thamrin, Jakarta. Panggung itu satu dari belasan panggung yang berdiri di sepanjang Jalan MH Thamrin. Malam itu (22/6) Jalan MH Thamrin jadi ajang pesta rakyat. Orang menyebutnya malam muda-mudi, sebuah perayaan untuk memeriahkan hari jadi kota Jakarta. Perayaan itu sempat mentradisi saban tiba hari jadi kota Jakarta. Ini bermula dari tahun 1968, tahun yang sama saat Jakarta Fair kali pertama digelar. Bang Ali, sapaan akrab Ali Sadikin, Gubernur Jakarta kala itu sedih melihat kondisi sebagian besar warga Jakarta.
- Enam Penghargaan Lagi untuk Jagal
Jagal/The Act of Killing, film karya sutradara Joshua Oppenheimer, tentang perjalanan kejiwaan pelaku kekerasan massal 1965, memenangi enam penghargaan baru-baru ini. Dua penghargaan yaitu Audience Award dan The Special Jury Prize didapatkan di Sheffield Documentary Festival, Inggris, 16 Juni lalu. Selain Sheffield Documentary Festival, Jagal juga mendapat penghargaan Grand Prize pada Biografilm Festival 2013 di Bologna, Italia; penghargaan Golden Chair dari Grimstad Short and Documentary Film Festival 2013 di Norwegia; dan Basil Wright Prize dari Royal Anthropological Institute Film Festival 2013 di Edinburgh, Skotlandia.
- Pesona Wisata Pulau Dewata
KRISIS ekonomi di Eropa saat ini berdampak pada perekonomian Indonesia. Sektor pariwisata ikut terpukul, “karena kunjungan didominasi turis dari kawasan itu,” tulis Kompas (19/6). Pariwisata menyumbang devisa dalam negeri di atas lima persen per tahun terhadap pendapatan negara. Tahun ini, meski belum bisa menetapkan target kunjungan, pendapatan dari pariwisata tidak kurang dari 8,6 miliar dollar AS. Destinasi wisata ke Bali hingga kini masih tetap yang tertinggi. Sejak dulu Bali memikat banyak orang Eropa. Keindahan alam, keunikan budaya, dan agamanya jadi magnet yang menarik pengunjung. Bali kerap disebut sebagai “surga terakhir” di bumi. Karenanya penguasa kolonial berusaha menjadikan Bali sebagai museum hidup.
- Propaganda Armada Perang Onze Vloot
Sebagian orang Belanda khawatir kecamuk Perang Dunia I menjalar ke Hindia Belanda. Jika benar terjadi, tanah jajahan yang berharga itu bisa lepas dari genggaman. Maka, perkumpulan Onze Vloot menebar propaganda supaya Kerajaan Belanda membuat kebijakan memperkuat armada perang guna membentengi Hindia Belanda. Sebagian pejabat Belanda merisaukan perkembangan militer Jepang yang agresif setelah menang perang melawan Rusia. Di sisi lain, armada perang Belanda, utamanya di Hindia Belanda, dalam kondisi lemah. Bahkan, pada 1913, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Alexander Willem Frederik Idenburg dengan jujur mengatakan armada Belanda di tanah jajahan “tidak lebih dari tumpukan barang karatan.”
- Sukarno dan Donor Darah Haram
DUNIA memperingati Hari Donor Darah setiap 14 Juni. Tahun ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengusung tema “New Blood for The World”, dengan sasaran pendonor berusia muda. Siapa nyana, dalam sejarah Indonesia donor darah sempat diharamkan. Sukarno pun tak tinggal diam. Di koran Pemandangan , 18 Juli 1941, Sukarno menulis bahwa “soal bloedtrasfusie telah menjadi soal haibat di kalangan orang-orang Islam di negara kita ini. Sama haibatnya dengan soal multpunctie beberapa tahun yang lalu, waktu tanah Priangan diamuk oleh penyakit pes.”
- Duka Italia di SantAnna
ENRICO Pieri takkan menyerah memperjuangkan keadilan. Meski keberhasilan belum kunjung tiba, bersama beberapa kawannya yang masih hidup, dia berusaha membuka kasus pembantaian massal di desa Sant’Anna di Stazzema, Tuscany, Italia, yang dilakukan pasukan SS Nazi-Jerman. “Saya tahu itu takkan mudah dilalui,” ujar Pieri, sebagaimana dilansir Inter Press Service , 10 Juni lalu. Pembantaian ini terjaid pada Perang Dunia II. Menyusul pembebasan Florence, ibukota Tuscany, dari Jerman pada 10 Agustus 1944, Sekutu terus mendesak rivalnya. Jerman merespons dengan membentuk garis perlawanan, yang salah satu titiknya berada di desa Sant’Anna.
- Jalan dan Ruang Hilang di Jakarta
OKTOBER 1904, Ratu Wilhelmina melantik Johannes Benedictus van Heutsz sebagai gubernur jenderal Hindia Belanda. Dia dianggap berjasa dalam Perang Aceh (1873-1904) sewaktu menjabat gubernur militer Aceh. Van Heutsz menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda hingga 1909. Bertahun kemudian, namanya diabadikan menjadi sebuah nama jalan di Batavia: van Heutsz Boulevaard . Pascakemerdekaan, namanya berubah menjadi Jalan Teuku Umar, kawasan Menteng sekarang.





















