top of page

Sejarah Indonesia

Pesona Wisata Pulau Dewata

Pesona Wisata Pulau Dewata

Sejak era kolonial, Bali tetap menjadi tujuan wisata favorit orang Eropa. Seniman dan selebritas menikmati sekaligus mempopulerkannya.

20 Juni 2013

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Walter Spies, pelukis Jerman, bersama penduduk Bali.

Walter Spies, pelukis Jerman, bersama penduduk Bali.


KRISIS ekonomi di Eropa saat ini berdampak pada perekonomian Indonesia. Sektor pariwisata ikut terpukul, “karena kunjungan didominasi turis dari kawasan itu,” tulis Kompas (19/6). Pariwisata menyumbang devisa dalam negeri di atas lima persen per tahun terhadap pendapatan negara. Tahun ini, meski belum bisa menetapkan target kunjungan, pendapatan dari pariwisata tidak kurang dari 8,6 miliar dollar AS. Destinasi wisata ke Bali hingga kini masih tetap yang tertinggi.


Sejak dulu Bali memikat banyak orang Eropa. Keindahan alam, keunikan budaya, dan agamanya jadi magnet yang menarik pengunjung. Bali kerap disebut sebagai “surga terakhir” di bumi. Karenanya penguasa kolonial berusaha menjadikan Bali sebagai museum hidup.


“Pulau ini akan menjadi panggung terbuka yang memamerkan kuil yang direstorasi dengan biaya mahal dan ‘sekolah Hindu-Bali’ khusus, yang akan mengajarkan tari Bali, musik gamelan, seni lukis, serta agama dan filsafat Hindu kepada anak-anak,” tulis Frances Gouda dalam Dutch Cultures Overseas.


Balinisasi itu pula yang muncul dalam imajinasi para seniman, yang berdatangan ke Bali. Banyak seniman Eropa menetap di Pulau Dewata. Adrien Jean Le Mayeur de Merpes salah satunya. Pelukis Belgia itu menjadikan Bali sebagai rumah terakhirnya pada 1932. Dia menikahi Ni Polok –penari legong tenar berusia 15 tahun yang kerap jadi model lukisannya. Ada juga Walter Spies, pelukis Jerman yang bermukim, berkarya, dan menghidupkan kembali Museum Etnografi yang didirikan arsitek Jerman Curt Grundler namun hancur akibat letusan Gunung Batur.


Banyaknya seniman turut mempopulerkan Bali ke dunia Barat. Biro-biro wisata terdorong menjual paket wisata ke Bali pada akhir 1920-an. Penginapan-penginapan sederhana dibangun. Pada kurun waktu yang sama, perusahaan pelayaran Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) punya rute pelayaran ke Bali. KPM membangun hotel pertamanya, Hotel Bali. Mereka juga mempromosikan Bali via poster, brosur, hingga perangko. Jumlah turis Eropa ke Bali terus meningkat: 50-100 orang per bulan pada 1930 meningkat lebih dari 100 persen pada 1939.


Horst Henry Geerken, yang kali pertama ke Bali pada 1964 dalam kapasitas membangun Bandara Internasional Tuban (kini Ngurah Rai) dan mewakili perusahaan Telefunken, masih merasakan kesan indah tentang Bali. Baginya, Bali adalah tempat nyata bagi perpaduan antara keindahan dan kebahagiaan. Kekayaan itu tak didapatkan di tempat lain, termasuk di daerah lain di Indonesia. “Bagi orang luar, Bali dengan pura, warna-warni, tarian, dan musiknya seperti museum,” tulis Horst Henry Geerken dalam A Magic Gecko.


Kekayaan budaya dan keindahan alam tetap jadi modal pengembangan pariwisata Bali oleh pemerintah Indonesia tatkala negeri ini sudah berdiri. Presiden Sukarno lalu membuat bandara Internasional Tuban (kini Ngurah Rai) dan membangun Bali Beach Hotel, yang dibangun dengan dana pampasan perang Jepang.


“Presiden Soekarno saat itu telah menyadari bahwa Bali akan menjadi daya tarik turis sehingga memerintahkan dibangunnya sebuah hotel mewah,” tulis Geerken. 


Namun, pemerintahan Sukarno yang singkat dan tersita urusan politik tak bisa berbuat banyak mengembangkan pariwisata Bali. Baru pada masa Orde Baru, yang berorientasi pembangunan ekonomi, pemerintah gencar membangun pariwisata Bali dan mempromosikannya ke berbagai tempat. Pembangunan infrastruktur pariwisata, seperti hotel dan restauran, makin digalakkan. Bali makin terkenal ke seantero jagat. Sejumlah seniman Barat masih tergerak datang.


Ketenaran Bali bahkan jauh melebihi ketenaran Indonesia. Banyak orang luar negeri menyangka Bali bukan bagian Indonesia. Meski begitu, menurut Robert Pringle dalam A Short History of Bali: Indonesia′s Hindu Realm, tak ada aspek sejarah Bali yang dapat sepenuhnya dipahami secara terpisah dari konteks Indonesia.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Film perdana Reza Rahadian, “Pangku”, tak sekadar merekam kehidupan remang-remang lewat fenomena kopi pangku. Sarat pesan humanis di dalamnya.
Yang Tercecer dari Pencurian Galeri Perhiasan Louvre

Yang Tercecer dari Pencurian Galeri Perhiasan Louvre

Sejumlah perhiasan para ratu dicuri dari Museum Louvre ketika Prancis masih didera krisis politik. Bermacam batu perhiasannya berasal dari negeri jajahan.
Omar Sharif Aktor Arab Penghias Film-film Barat

Omar Sharif Aktor Arab Penghias Film-film Barat

Anak juragan kayu Mesir ini berkibar di perfilman Barat pada dekade 1960-an dan 1970-an.
Njoto Sang Maestro

Njoto Sang Maestro

Petinggi PKI yang memiliki kepekaan seni yang tinggi. Njoto bergaul karib dengan musisi nasional Jack Lesmana.
Cerita di Balik Labu Kuning Ikon Halloween

Cerita di Balik Labu Kuning Ikon Halloween

Labu kuning yang diukir seperti wajah tersenyum dan dikenal sebagai Jack O’ Lantern menjadi ikon populer Halloween. Cerita asal-usulnya berkaitan dengan dongeng rakyat Irlandia.
bottom of page