top of page

Hasil pencarian

9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Kupu-Kupu Malam dalam Revolusi

    Bupati Kendal, Widya Kandi Susanti, membuat pernyataan kontroversial. Dia menganggap "Pekerja Seks Komersial (PSK) adalah pahlawan keluarga, karena mereka umumnya bekerja untuk menghidupi keluarga. Dalam kondisi itu, tidak manusiawi kalau tempat pelacuran ditutup," demikian dikutip tribunnews.com. Seberapa besar dan penting peran PSK –yang dulu kerap disebut wanita tuna susila atau "Kupu-Kupu Malam" kata penyanyi Titiek Puspa– dalam sejarah Indonesia? Dalam otobiografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams, Sukarno membuktikan pentingnya peran wanita tuna susila. "Pelacur adalah mata-mata yang paling baik di dunia. Dalam keanggotaan PNI (Partai Nasional Indonesia) di Bandung terdapat 670 orang perempuan yang berprofesi demikian dan mereka adalah anggota yang paling setia dan patuh," kata Sukarno. Wanita tuna susila anggota PNI itu memberi Sukarno informasi berharga dari polisi-polisi kolonial yang memakai jasa mereka. "Tak satupun laki-laki anggota partai yang terhormat dan sopan itu dapat mengerjakan tugas ini untukku," ujar Sukarno. Bahkan, selain memberikan informasi, wanita tuna susila itu menyumbang uang untuk kegiatan partai. "Dan mereka bukan saja penyumbang yang menyenangkan," ucap Sukarno, "tapi juga penyumbang yang besar." Ali Sastroamidjojo, tokoh PNI, menentang tindakan Sukarno melibatkan wanita tuna susila dalam partai. "Sangat memalukan," tegas Ali. "Ini sangat tidak bermoral." Gatot Mangunpraja, sekretaris PNI, membantah keterangan Sukarno bahwa PNI menggunakan wanita tuna susila sebagai daya tarik bagi anggota untuk menghadiri kursus politik, dan tidak benar 670 anggota PNI Bandung adalah wanita tuna susila. Faktanya adalah bahwa ada satu atau dua wanita tuna susila yang telah memperbaiki diri dari prostitusi dan menikah, menjadi anggota PNI bersama suami mereka. "Kami sangat berhati-hati memasukkan para wanita tuna susila dan penjudi, yang mungkin membahayakan dengan memberi nama buruk bagi organisasi," kata Gatot, "The Peta and My Relations with the Japanese: A Correction of Sukarno’s Autobiography," dimuat jurnal Indonesia , Vol. 5 tahun 1968. Sukarno mungkin berlebihan dalam hal anggota PNI, namun kemudian dia pernah menggunakan 120 wanita tuna susila di Minangkabau untuk melayani tentara Jepang. Tujuannya, "semata-mata sebagai tindakan darurat dan demi menjaga para gadis kita," kata Sukarno. Seperti halnya para wanita tuna susila yang mendapatkan informasi dari polisi kolonial untuk Sukarno, pada masa revolusi (1945-1949), mereka juga mendapatkan senjata dari tentara Hindia. Robert Cribb dalam Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta, menyebutkan para wanita tuna susila Senen menyelundupkan senjata kepada Laskar Rakyat Jakarta Raya (LRJR) terdiri dari tujuh pasukan inti dengan tingkat kekuatan beragam dan tersebar di Kota Karawang. Tujuan jangka pendek LRJR adalah menyerang Jakarta dan mengirim Inggris dan Belanda ke laut. Senjata dan amunisi merupakan elemen penting dalam perdagangan antara Jakarta dan Karawang. Walaupun tidak bisa ditembus secara militer, garis demarkasi sangat mudah ditembus bagi perdagangan gelap. "Di sinilah koneksi LRJR dengan dunia bawah tanah sebelum perang menjadi sangat penting, karena senjata-senjata tersebut merupakan hasil pencurian yang diselundupkan lewat Singapura dan dengan bantuan pelacur-pelacur Senen yang mendapatkannya dari tentara Hindia," catat Cribb. Masih pada masa revolusi, Moestopo, seorang dokter gigi dan perwira eksentrik. Ketika ditunjuk sebagai perwira pendidikan politik di Subang pada 1946, dia tiba di sana dengan unit bersenjata yang tidak biasa, disebut Pasukan Terate. Selain merujuk bunga teratai, nama itu juga akronim dari Tentara Rahasia Tertinggi. "Unit ini sebagian terdiri dari mahasiswa Akademi Militer Yogyakarta yang telah menerima pelatihan lapangan," tulis Cribb, "selain juga pelacur dan pencopet dari Surabaya dan Yogyakarta yang dikirim ke sejumlah garis pertempuran Belanda di wilayah Bandung untuk mencuri senjata, pakaian, dan barang-barang lain." Jejak wanita susila juga terdapat pada poster propaganda karya pelukis Affandi. Idenya berasal dari Sukarno yang menginginkan sebuah poster sederhana namun kuat sebagai alat propaganda untuk membangkitkan semangat pemuda. Peluksi Dullah sebagai modelnya sedang memegang bendera merah putih dan memutuskan rantai yang mengikat kedua tangannya. Pada poster itu, penyair Chairil Anwar memberinya kata-kata: "Boeng, Ajo Boeng!" Poster propaganda itu tersebar kemana-mana. Siapa nyana, Chairil memperoleh kata-kata itu dari para wanita tuna susila di Senen ketika mereka menawarkan jasa: "Boeng, ajo boeng…"

  • Merah Putih di Lembah Merdeka

    BERITA proklamasi kemerdekaan Indonesia sampai juga ke Bali. Karena punya sejarah berperang melawan Belanda pada Puputan 1906, delapan raja Bali bersimpati pada Republik Indonesia. Namun, situasi cepat berubah. Setelah gagal melucuti Jepang pada 13 Desember 1945, yang dipimpin I Gusti Ngurah Rai, sebagian besar raja Bali balik arah menentang Republik. Hanya Raja Badung yang tetap berpihak ke Indonesia. Situasi ini dimanfaatkan Pasukan Gajah Merah Belanda yang mendarat di Pantai Sanur pada 2 Maret 1946. Van Beuge, mantan Residen Bali dan Lombok, menjanjikan akan mengembalikan kekuasaan raja seperti sebelum Jepang datang jika berpihak kepada Belanda. Usahanya menuai hasil. Di Gianyar, Pemuda Pembela Negara (PPN) yang tadinya mendukung Republik putar haluan menyerang pejuang kemerdekaan. Di Jembrana, Belanda membentuk Badan Pemberantasan Pengacau (BPP) untuk menghancurkan kekuatan anti-Belanda. Hal yang sama terjadi di Klungkung dengan dibentuknya Badan Keamanan Negara (BKN). Keadaan ini membuat pejuang prokemerdekaan Indonesia terdesak mundur. Ngurah Rai pun pergi ke Jawa untuk minta bantuan. Pada April 1946, pasukan dari Jawa yang dipimpin Kapten Laut Markadi datang dan menyerang konvoi-konvoi Belanda. Bersama pejuang Bali, Pasukan Markadi lalu mendirikan markas di Peh Manistutu, Jembrana. Karena tercium Belanda, mereka memindahkan markas ke desa Gelar di utara Palungan Batu pada 17 April 1946. Secara geografis, Gelar laksana cerukan panci; lembah dikitari bukit. Di beberapa bukit ada goa-goa perlindungan. Gelar ideal untuk taktik perang gerilya. Menurut I Gusti Putu Dwinda, ketua Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI) Jembrana, daerah ini bagus. Udaranya sejuk dan dikelilingi aliran sungai dengan air yang jernih. “Setelah ditinjau oleh Markadi, desa Gelar akhirnya dijadikan markas dengan membangun beberapa barak, dengan bantuan penduduk setempat,” kata Dwinda dalam Orang-orang di Sekitar Pak Rai karya I Wayan Windia. Ida Bagus Doster, wakil ketua BPRI yang kelak menjabat bupati Jembrana pertama, memerintahkan pasukannya untuk meratakan tanah di depan barak. “Setelah rata, di tengah-tengah dipancang sebuah tiang dari bambu,” kenang Doster, 85 tahun, kepada Historia . Esok harinya, 18 April, semua pasukan berkumpul dan mengelilingi tiang bambu. Pagi itu, upacara pengibaran bendera Merah-Putih untuk kali pertama dilaksanakan di Bali. Dua pemuda menggeret bendera Merah-Putih diiringi lagu Indonesia Raya . “Saya terharu dan mencucurkan air mata saat itu. Saya kira kawan-kawan yang lain juga begitu. Usai upacara, Kapten Laut Markadi menamakan Gelar sebagai Lembah Merdeka,” ujar Doster. Hal yang sama dialami Dwinda. “Di sini pula Kapten Markadi mengadakan rasionalisasi pasukan, memilih anggota pasukan yang bersenjata lengkap,” ujar Dwinda. “Dalam pertemuan dengan para pemuda pejuang disepakati membentuk DPRI (Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia), dan dipilih sebagai ketua saya sendiri dengan wakil Kapten Makardi.” Untuk mengenang peristiwa upacara pengibaran Merah-Putih pertama di Bali itu, di desa Gelar didirikan monumen Lembah Merdeka.

  • Senandung Lenso ala Bung Karno

    BERSAMA Orkes Irama, kelompok musik yang dipimpin Jack Lesmana, Sukarno mengarang sebuah lagu. Kemudian Jack menggubah musiknya. Lahirlah lagu: Bersuka Ria . Iramanya lenso, sebagai pengiring tarian kegemaran Bung Karno yang juga bernama sama dengan irama lagunya: lenso. Konon, itulah satu-satunya lagu karya pemimpin besar revolusi Indonesia. Lagu tersebut kemudian dipopulerkan oleh Suara Bersama,kelompok musik yang digawangi Jack Lesmana dan bersama Bing Slamet. Jack Lesmana adalah ayah sineas Mira Lesmana dan musisi Indra Lesmana. Bersuka Ria dirilis bersama lagu Euis (Bing Slamet dan Rita Zahara), Bengawan Solo (Bing Slamet dan Titiek Puspa), Malam Bainai (Rita Zahara dan Nien Lesmana), Gendjer Gendjer (Bing Slamet), Soleram (Suara Bersama), Burung Kakatua (Suara Bersama), Gelang Sipaku Gelang (Suara Bersama) di album bertajuk “Mari Bersuka Ria Dengan Irama Lenso”. Album ini diproduksi dan diedarkan pada 1965 oleh The Indonesian Music Company Irama LTD, perusahaan rekaman milik pengusaha Soejoso alias Mas Yos, kakak kandung Nien –istri Jack Lesmana. Di sampul belakang piringan hitam album itu terdapat tulisan berwarna merah: Dipersembahkan oleh para seniman Indonesia dan karyawan IRAMA bertalian dengan DASA-WARSA KONFERENSI AFRIKA-ASIA . Pada bagian atas tulisan tersebut tertera kalimat persetujuan dan tanda tangan Sukarno yang berbunyi: “Saja restui. Setudju diedarkan, Soekarno 14/4 ’65”. Seluruh lagu di album itu sangat populer pada masanya. Bahkan beberapa di antaranya masih melekat dalam ingatan banyak orang hingga hari ini. Saking populernya, berdasarkan data tertulis koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), dua kali lagu Bersuka Ria bergumuruh dinyanyikan di Istora Senayan –kini Gelora Bung Karno, Jakarta. Pertama , pada Kongres Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) di Istora Senayan, 29 September 1965. Kedua , pada saat Musyawarah Nasional Teknik (Munastek), juga di Istora Senayan, 30 September 1965. Di kedua perhelatan tersebut, Sukarno memulai pidatonya dengan menyanyikan Bersuka Ria, yang digubah sesuai tema musyawarah tersebut. Seluruh hadirin turut serta menyanyi bersama. Siapa bilang saya tidak suka opor bebek/kan bebek sama saja dengan itik/Siapa bilang saya tidak senang kepada Munastek/karena saya seorang orang teknik. Siapa bilang sukarelawati ini tidak berani bertempur/meskipun dia memakai kain batik/Siapa bilang masyarakat kita tidak akan jadi adil dan makmur/Revolusi kita kan didukung oleh kaum teknik. Menurut Solichin Salam dalam Bung Karno Putra Fajar, lagu ciptaan Bung Karno itu kata-katanya sederhana, gampang dipahami dan mudah dimengerti. Dengan menyanyikan lagu itu, tidak saja rakyat dididik untuk memiliki kesadaran politik, akan tetapi juga rakyat dididik untuk menjadi bangsa yang periang, gembira dalam hidup, tidak kecut menghadapi hidup. Coba saja dengarkan lagunya berikut ini:

  • Kisah Cinta Margonda

    Setelah Margonda gugur, Maemunah membesarkan buah hatinya yang bernama Jopiatini. Nama Jop diambil dari JOP (Jajasan Obor Pasoendan), salah satu anak organisasi Pagoejoeban Pasoendan yang berdiri pada 1914, di mana Margonda dan Maemunah kali pertama bertemu.   “Kata ibu, nama Jopiatini diambil dari nama organisasi JOP, tempat ayah dan ibu pacaran dulu,” ujar Jopiatini kepada Historia . “Ibu sering bercerita kalau ayah saya itu orangnya periang dan pemberani. Karena itulah ibu jatuh cinta.” Pada masa Hindia Belanda, Maemunah pernah belajar di Sekolah Kepandaian Putri di Kebon Sirih Jakarta. Setelah lulus, dia mengajar di sekolah yang diselenggarakan oleh JOP di Kuningan Jawa Barat. Sedangkan Margonda pernah mengikuti pendidikan analysten cursus, yang diselenggarakan Indonesiche Chemische Vereniging . Kini, tempat kursus itu menjadi Balai Besar Industri Agro Bogor. Dia juga pernah ikut pelatihan penerbang cadangan di Luchtvaart Afdeeling, salah satu unit kemiliteran Belanda. Margonda dan Maemunah menikah di Bogor pada 24 Juni 1943. Semenjak menikah mereka tinggal di rumah keluarga Maemunah di Bogor. Rumah itu selalu ramai oleh anak-anak JOP dan para pemuda Bogor. “Dari cerita yang sering saya dengar, kawan-kawan ayah yang sering berkumpul di rumah antara lain Ahmad Tirtosudiro, Pak Adam, Ibrahim Adjie, Mintaredja, dan banyak lagi,” kenang Jopiatini. Untuk menafkahi keluarga, Margonda bekerja di Departemen Jawatan Penyelidikan Pertanian Jepang. Setelah setahun menikah, mereka dikaruniai seorang anak perempuan, Jopiatini. Sepeninggal Margonda, Maemunah membesarkan Jopiatini sendiri dengan membuka tempat jahit “Modiste Tini.” Nama ini diambil dari panggilan Jopiatini: Tini. “Waktu saya masih kecil, di zaman Bung Karno, ibu mendapat order menjahit pakaian orang-orang di Istana Bogor,” tutur Jopiatini. “Yang saya ingat, orang Istana Bogor yang sering menjahit baju di tempat ibu saya, Ibu Hartini istri Bung Karno dan istrinya Pak Sabur (komandan) Tjakrabirawa.” Selain itu, menurut Jopiatini, Jaka Bimbo yang kelak menjadi penyanyi terkenal juga menjahit baju di tempat ibunya. Dengan usaha itu, Maemunah dapat menyekolahkan Jopiatini hingga perguruan tinggi.

  • Riwayat Jalan Margonda

    PADA 1973, kawan-kawan seperjuangan Margonda sering datang ke rumah menemui Maemunah. Mereka berencana mengusulkan Margonda sebagai nama jalan. “Dalam perbincangan itu, samar-samar saya dengar, kawan-kawan ayah sedang mengusulkan kepada Departemen Sosial beberapa nama kawan seperjuangan yang telah gugur agar diabadikan menjadi nama jalan. Termasuk nama Margonda,” kata Jopiatini kepada Historia .  Usul itu disetujui. Nama Margonda diabadikan menjadi nama jalan di Depok, yang saat itu masih menjadi bagian dari wilayah Bogor. Kala itu, Margonda hanyalah jalan kecil, belum sebesar sekarang. Sebelum bernama Margonda, jalan itu lebih dikenal sebagai Jalan Pintu Air. Jalan setapak itu kemudian menjadi jalan raya besar. Lulus dari Universitas Indonesia, Jopiatini menikah dengan Abu Hanifah, seorang tentara Angkatan Laut. Mereka dikarunia seorang anak laki-laki bernama Teguh Hassanudin. Suatu hari, sekira tahun 2000-an, mereka melancong ke Depok. Mereka makan di restoran Bakmi Margonda. “Waktu kami makan di Bakmi Margonda, ibu bertanya kepada pelayan restoran; ini restoran kok pakai nama suami saya?” kata Jopiatini, “Seloroh ibu sambil tertawa. Pelayan itu bisa jadi menganggap itu hanya guyonan saja.” Sehabis dari restoran, sebelum kembali ke rumah, Abu Hanifah mengusulkan agar ibu mertuanya berpose di plang Jalan Margonda. Usul itu sebenarnya sering dilontarkan. Namun baru kali itu Maemunah bersedia. Beberapa waktu kemudian Maemunah berpulang menyusul Margonda. Dalam buku Yasin mengenang ibunya, Jopiatini menulis puisi berjudul “Bundaku.” Syairnya menggambarkan penantian ibunya yang penuh harap akan kedatangan Margonda dari medan juang: Teringat dan tersayat hatiku/Berpuluh tahun lalu ketika ku masih balita/Tertatih-tatih di pegang erat tanganku/Barisan tentara berbaju hijau/Melintas terus berlalu/Siapa tahu ada ayahku Lubuk hati bunda risau tak terjawab/Bayangpun tak tertinggal di situ/Ayahku tertembak penjajah ibu pertiwi/Terkubur di belantara Kalibata/Tak ketemu/Tak ada satupun nisan nama ayahku/Tapi bunda setia menunggu/Sampai maut menyapa.

  • Malapetaka Politik Pertama

    PENGULANGAN sejarah merupakan lelucon pada kali pertama dan akan menjadi tragedi pada pengulangan yang kedua. Demikian disampaikan oleh Dhaniel Dhakidae, mengutip Karl Marx, dalam sambutannya di acara mengenang 40 tahun peristiwa Malari pagi tadi (15/01) di Jakarta. Turut pula hadir dalam acara itu Rahman Tolleng, Adnan Buyung Nasution dan sahibul hajat Hariman Siregar. "Indonesia dijajah oleh Belanda, kemudian oleh Jepang. Dulu yang datang Jan Pieter Coen, kemudian datang Jan Pronk, seorang new left tapi datang sebagai Ketua IGGI (Inter-Governmental Group on Indonesia) untuk melihat pembangunan di Indonesia. Kemudian Tanaka seorang shogun , datang menemui Soeharto,” ujar Dhakidae. Kedatangan Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka memicu demonstrasi mahasiswa karena dianggap sebagai penjajahan ulang Jepang terhadap Indonesia. Namun pada kenyataannya demonstrasi itu berakar jauh kepada beragam persoalan. Mulai dari kritik atas dominannya Aspri (Asisten Presiden) dalam pemerintahan sampai friksi rivalitas Jenderal Soemitro-Ali Moertopo untuk merebut pengaruh sebagai orang terdekat Soeharto. Kalangan cendekiawan dan mahasiswa menjadi corong penyalur rasa tidak puas tersebut. “Mahasiswa mulai tidak puas terhadap kebijaksanaan pejabat pemerintah. Berbagai masalah yang disorot mahasiswa waktu itu adalah Pertamina, Proyek TMII yang dianggap mirip proyek mercusuar, hingga peranan modal asing khususnya Jepang,” tulis Muhammad Umar Syadat Hasibuan dan Yohanes S. Widada dalam Revolusi Politik Kaum Muda. Puncak aksi protes itu akhirnya terjadi pada 15 Januari 1974. Kedatangan Perdana Menteri Jepang, Tanaka Kakuei, di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma disambut dengan aksi demonstrasi yang berujung rusuh. Masa bulan madu antara mahasiswa dengan pemerintah, juga antara investor asing dengan masyarakat Indonesia umumnya, yang telah terjalin sejak jatuhnya Sukarno tahun 1966 pun berakhir. “Mahasiswa dan lainnya mengambil alih jalan selama masa kunjungan Perdana Menteri Tanaka, dan aksi protes mereka adalah antiasing, terutama Jepang; antibirokrasi, terutama ditujukan kepada teknokrat berpendidikan Barat yang mendorong pemerintah untuk lebih percaya pada investasi asing; dan antimiliter, terutama terhadap jenderal-jenderal yang dicurigai banyak diuntungkan dari perjanjian bisnis dengan orang-orang Tionghoa dan asing,” tulis Michael H. Anderson dalam Madison Avenue in Asia: Politics and Transnational Advertising. Jakarta berasap, penghancuran dan penjarahan terjadi di mana-mana. Tidak hanya menyasar produk-produk Jepang, massa juga melampiaskan kekesalannya kepada perusahaan-perusahaan Tionghoa. Salah satunya adalah Astra yang menjadi distributor barang-barang otomotif dari Jepang. “Mobil-mobil dan sepeda motor buatan Jepang dan buatan asing lainnya dibakar, diceburkan ke sungai, atau, jika pemiliknya beruntung, hanya dikempeskan rodanya,” tulis Kees van Dijk, “Ketertiban dan Kekacauan di dalam Kehidupan di Indonesia,” termuat dalam Orde Zonder Order; Kekerasan dan Demokrasi di Indonesia 1965-1998 . Pada Peristiwa Malari ini, setidaknya sebelas orang tewas dan 300 lainnya luka-luka. Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor dirusak/dibakar, 144 bangunan ikut rusak. Toko-toko perhiasan pun tidak ketinggalan dijarah, sekitar 160 kg emas raib. Sekitar 775 orang ditahan menyusul aksi pemerintah memadamkan kerusuhan tersebut, beberapa terdiri dari anak di bawah umur. “Komandan Kopkamtib ketika itu, Jenderal Sumitro, bahkan mengenang bagaimana para demonstran yang bertemu di dekan Monumen Nasional di pusat Jakarta adalah ′anak-anak′, pelajar-pelajar dari sekolah dasar dan menengah, paling tidak berasal dari sekolah menengah atas. Di antara 472 orang yang ditahan pada tanggal 15 dan 16 Januari, terdapat 250 buruh dan anak sekolah,” tulis Kees van Dijk. Sejumlah tokoh mahasiswa, seperti Hariman Siregar, Aini Chalid dan Judilhery Justam ditahan. Beberapa media massa besar dicabut izin terbitnya karena memuat pemberitaan yang dianggap mengganggu stabilitas negara, termasuk Nusantara , Abadi , Pedoman , dan Indonesia Raya . Soeharto juga melakukan perombakan di lingkaran kekuasaannya. Soemitro diberhentikan dari jabatan Panglima Kopkamtib. Jabatan Aspri dibubarkan. Aksi represi pemerintah terhadap masyarakat diperketat, juga lebih sistematis. “Dengan Peristiwa Malari, Soeharto tampaknya mengambil sikap tegas: Go to hell with civil society. Dia sepertinya mengingatkan para cendekiawan/mahasiswa who is the boss,” tulis Arief Budiman dalam Kebebasan, Negara, Pembangunan: Kumpulan Tulisan 1965-2005 . “Pada titik ini tampaknya ′perkawinan′ antara Soeharto dan masyarakat madani bubar jalan.”

  • Membebaskan Sultan Yogya

    Setiap 4 Januari diperingati Yogyakarta Kota Republik untuk mengenang pemindahan ibu kota Republik Indonesia pada 4 Januari 1946 karena keadaan Jakarta tak aman dan keselamatan para pemimpin terancam oleh tentara NICA (Pemerintahan Sipil Hindia Belanda). Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan sekaligus perjuangan. Namun, ancaman datang ketika Belanda melanggar gencatan senjata Perjanjian Renville dan melancarkan agresi militer kedua pada 19 Desember 1948. Belanda memulai serangan dengan pesawat-pesawat pengebom ke berbagai tempat terutama pangkalan militer, diikuti penerjunan 500 tentara, dan segera setelah itu pasukan Belanda memasuki kota. Selama seminggu berikutnya pasukan Belanda berhasil merebut kota-kota penting baik di Jawa mupun Sumatra. Menurut sejarawan George McTurnan Kahin dalam Nasionalisme dan Revolusi Indonesia , Belanda mengabarkan kepada dunia bahwa perlawanan Republik hanya sedikit dan penduduk menyambut mereka sebagai penyelamat. Banyak tentara Belanda juga menyebarkan kampanye ini karena yakin bahwa mereka sedang membebaskan penduduk dari penguasa yang tidak disukai. “Slogan dari mereka yang dibawa-bawa di Yogyakarta adalah ‘Ke Jogja untuk membebaskan Sultan’,” tulis Kahin. Karena itu, sementara para pemimpin Republik diasingkan, Sultan Hamengkubuwono IX tetap berada di Yogyakarta tetapi ruang geraknya dibatasi atau menjadi tahanan rumah. Kendati demikian, menurut Kustiniyati Mochtar dalam “Pak Sultan dari Masa ke Masa” termuat dalam Tahta untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX, Sultan tetap dapat berkomunikasi dengan rakyatnya dengan cara fluistercampagne (dari mulut ke mulut), sehingga berbagai instruksi bisa sampai kepada rakyat. Misalnya, instruksi agar rakyat tetap setia dan hanya patuh kepada Ngarsa Dalem (sebutan untuk Sultan), yang dipatuhi seluruh rakyat. Terkesan dengan wibawa Sultan, Belanda berusaha merangkul dan mengajaknya bekerja sama. Belanda meyakinkan Sultan bahwa tak ada gunanya mengandalkan nasibnya kepada suatu Republik yang masih demikian lemah. Belanda mengirim utusan, yaitu Residen E.M. Stok, Dr. Berkhuis, penguasa militer Belanda di Yogyakarta Kolonel van Langan, Husein Djajadiningrat, dan Sultan Hamid II, untuk mendekati Sultan. Setelah usaha mereka tak membuahkan hasil, berikutnya dikirim seorang direktur bank Belanda yang mengumbar janji akan memberikan dana tak terbatas untuk Keraton Yogyakarta, saham di Perusahaan Pelayaran Belanda (KPM) dan Perusahaan Kereta Api Hindia Belanda. Jika mau bekerja sama, Belanda juga akan menjadikan Sultan sebagai penguasa seluruh Jawa dan Madura. Utusan-utusan itu tak pernah bertemu langsung dengan Sultan, yang mewakilkan kepada saudaranya seperti Pangeran Prabuningrat, Pangeran Murdaningrat, atau Pangeran Bintoro. Mereka melaporkan kapada Sultan tentang tawaran-tawaran itu. “Reaksi Hamengkubuwono IX hanya senyum sinis,” tulis Kustiniyati. “Pada waktu itu Hamengkubuwono IX tampaknya benar-benar sedang gandrung kemerdekaan dan keinginannya hanya satu: agar Belanda segera enyah dari bumi Indonesia.” Menurut Kahin dalam “Sultan dan Belanda” termuat dalam Tahta untuk Rakyat , dengan Sultan menolak semua tawaran itu, Belanda akhirnya terpaksa mengakui bahwa mereka telah salah menilai Sultan Hamengkubuwono IX. Dengan demikian, Belanda telah melakukan kekeliruan dalam usaha menguasai Republik Indonesia karena salah perhitungan yang fundamental mengenai watak Sultan Hemangkubuwono IX. "Para perwira dan tentara Belanda, yang mempercayai serangannya untuk membebaskan Sultan dari tiga tahun penahanan oleh para penguasa Republik, tak menyadari bahwa sejak permulaan revolusi Sultan sudah merupakan seorang pemimpin Republik yang terkemuka,” tulis Kahin.

  • Sarinah Toko Murah, Bukan Toko Mewah

    17 Agustus 1962. Ada keramaian di Jalan Thamrin Jakarta Pusat. Presiden Sukarno meletakkan batu pertama pembangunan department store pertama di Indonesia: Sarinah –diambil dari nama pengasuh Sukarno ketika kecil. Dalam Sidang Paripurna Kabinet Dwikora di Bogor pada 15 Januari 1966, Sukarno menegaskan bahwa Sarinah mutlak perlu untuk sosialistische economie (ekonomi sosialis). “Tidak ada satu negara sosialis tidak mempunyai satu distrubusi legal, tidak mempunyai department store . Datanglah ke Hanoi, ada. Datanglah ke Peking, ada. Datanglah ke Nanking, ada. Datanglah ke Shanghai, ada. Datanglah ke Moskow, ada. Datanglah ke Budapest, ada. Datanglah ke Praha, ada,” tandas Sukarno. Selain sebagai alat distribusi legal, sebagaimana dijelaskan Sukarno, fungsi dari department store untuk menurunkan dan menekan harga. Sebagai “ prijs stabilisator, ” katanya . Sehingga orang di luar departemen store tersebut tidak berani menjual harga lebih tinggi. “Kalau di department store harganya cuma lima puluh rupiah, di luar departement store , orang tidak berani menjual seratus rupiah.” Sukarno juga mengingatkan bahwa barang yang dijual department store tersebut harus barang berdikari. Barang bikinan Indonesia. “Yang boleh impor hanya 40%. Tidak boleh lebih. 60% mesti barang kita sendiri. Jual-lah di situ kerupuk udang bikinan sendiri. Jual-lah di situ potlot kita sendiri,” kata dia mewanti-wanti. Sukarno menugaskan R. Soeharto, Menteri Muda Perindustrian Rakyat sekaligus dokter pribadinya mewujudkan pembangunan Sarinah. Soeharto menjadi presiden direktur PT Department Store Sarinah. Menurut Soeharto dalam memoarnya, Saksi Sejarah, pembangunan Sarinah tidak luput dari tentangan karena dianggap sebagai proyek mercusuar. “Jangan terlalu menghiraukan kecaman itu,” kata Sukarno. “Sarinah harus merupakan pusat sales promotion barang-barang produksi dalam negeri, terutama hasil pertanian dan perindustrian rakyat. Pembangunan department store itu perlu dikaitkan dengan pendidikan tenaga trampil dan ahli konstruksi gedung bertingkat tinggi. Mengenai bidang manajemennya sejalan dengan apa yang kita lakukan mengenai pembangunan Hotel Indonesia. Bangunannya dirancang dengan bantuan arsitek Abel Sorensen dari Denmark, dibangun oleh kontraktor Jepang, dan pembiayaannya dari pampasan perang Jepang.” “Kalau Sarinah di Thamrin itu sukses, untuk Jakarta saya perintahkan buat tiga lagi. Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Jakarta Timur. Another there, my dear friends, another three. Department Store Sarinah itu,” kata Sukarno. Pada 15 Agustus 1966, Sukarno meresmikan Sarinah yang berlantai 14, sekaligus menandai lahirnya toko serba ada pertama di Asia Tenggara. “Ketika Singapura belum dibangun dan Kuala Lumpur masih rawa-rawa, Jakarta mulai berbenah membangun department store pertama: Sarinah,” tulis Eka Budianta dalam biografi Cakrawala Roosseno . Roosseno adalah arsitek yang terlibat dalam pembangunan Sarinah. Kini, Sarinah telah membuka cabang di Pejaten Village Jakarta Selatan, Basuki Rachmat Malang, dan Kraton di Yogyakarta. Unit bisnis BUMN ini juga merambah bisnis ekspor (furnitur, singkong), impor (beras, minuman beralkohol, cengkeh, saccharine ataupemanis buatan), serta menjadi distributor terigu dan gula. Pasca lengsernya Sukarno menyusul huru-hara 1965, strategi pembangunan ekonomi Indonesia bergeser dari sosialisme ke kapitalisme. Dan ini, bisa dilihat dari perkembangan Sarinah. Asa Sukarno tinggal kenangan. Jangan berharap berbelanja murah di Sarinah.

  • Margonda Sang Legenda Revolusi

    FOTO hitam putih itu nyaris luntur. Terpampang lusuh di lantai dua Museum Perjoangan Bogor, Jalan Merdeka No. 56 Kota Bogor. Di bawah foto tertulis nama yang kini lebih dikenal sebagai jalan besar di kota Depok: Margonda. Foto Margonda dipajang berdampingan dengan foto Kapten Tb. Muslihat dan Letnan Jenderal Ibrahim Adjie. “Semasa hidupnya Margonda berkawan dekat dengan Ibrahim Adjie dan Tb. Muslihat,” kata Mahruf, juru rawat museum, kepada Historia . “Di sini (Museum Perjoangan Bogor) sering berkumpul para veteran pejuang. Saya dapat cerita tentang persahabatan Margonda, Ibrahim Adjie dan Kapten Muslihat dari kawan-kawannya yang masih hidup.” Ibrahim Adjie pernah menjadi komandan Batalion Ujung Tombak Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Jawa Barat, yang bermarkas di Depok. Belakangan dia menjabat Pangdam Siliwangi. Sedangkan Tb. Muslihat adalah pimpinan TKR Bogor yang gugur sewaktu perang mempertahankan kemerdekaan di Bogor. Untuk mengenangnya, pemerintah daerah Bogor membangun patung Kapten Muslihat di Taman Topi, sekitar stasiun Bogor. Dibanding Muslihat dan Ibrahim Adjie, sepak terjang Margonda tidak banyak diketahui. Padahal dia pimpinan Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI). “AMRI pimpinan Margonda lebih dahulu berdiri dibanding BKR (Badan Keamanan Rakyat),” tulis buku Sejarah Perjuangan Bogor . Buku yang terbit pada 1986 ini disusun oleh orang-orang yang terlibat dalam perang kemerdekaan di Bogor beserta beberapa wartawan. AMRI bermarkas di Jalan Merdeka, Bogor. Umur kelompok ini relatif singkat. Mereka pecah dan anggotanya bergabung dengan BKR, Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi), dan lain-lain.   Pada 11 Oktober 1945, Margonda dan pasukan AMRI beserta para pejuang berbagai laskar dari Bogor dan sekitarnya menyerbu Depok karena kota itu tidak mau bergabung dengan Republik Indonesia. Dilepas istrinya, Maemunah, Margonda berangkat naik kereta dari stasiun Bogor. Ribuan pemuda mengepung dan berhasil menguasai Depok. Namun, tidak lama kemudian, Sekutu datang dan merebut Depok. Para pejuang mundur untuk menyusun kekuatan. Mereka melakukan serangan balik pada 16 November 1945 dengan sandi perang Serangan Kilat. “Itulah pertempuran yang paling benar-benar sengit. Dari jam lima pagi sampai jam lima pagi besoknya lagi. Perang sehari semalam itu sandinya Serangan Kilat, kalau di Jogja ada Serangan Fajar. Saya ikut bertempur,” tandas Adung Sakam kepada Historia . Meski tak ingat pasti berapa umurnya sekarang, Adung masih mengingat kisah Serangan Kilat itu. “Serangan Kilat itu untuk merebut Depok yang telah dikuasai NICA, namun gagal. Banyak sekali pejuang yang gugur dalam peristiwa itu,” ungkap Adung. Dalam Serangan Kilat itu, Margonda gugur di Kalibata Depok dalam usia muda, 27 tahun –lahir di Baros Cimahi Bandung pada 1918. Namanya bersama para pejuang lainnya yang gugur dalam berbagai pertempuran terpampang di dinding Museum Perjoangan Bogor. Maemunah kerap ke stasiun Bogor untuk mencari Margonda. Anaknya, Jopiatini yang baru bisa berjalan dibawa serta. Margonda tak kunjung datang, bahkan sampai penghujung perang pada 1949. Suatu waktu, para sekondan Margonda menyambangi Maemunah. Mereka menceritakan bahwa Margonda bertempur gagah berani dan tertembak. Namun, Maemunah tak pernah mempercayai cerita itu. Dia tetap sabar menanti. Beredar sasus di kalangan para pejuang di Bogor bahwa Margonda dikubur dalam satu liang lahat dengan pejuang lainnya di Kalibata, Depok. Makam itu kemudian dibongkar dan jasad Margonda dimakamkan ulang di samping stasiun Bogor –kini jadi Taman Ade Irma Suryani, dekat Taman Topi– namun, tidak diketahui pusaranya.

  • Cita Rasa Kuliner Nusantara

    KHAZANAH kuliner Nusantara memiliki rentang waktu dan proses yang panjang. Ia berkenaan dengan sentuh budaya (asimilasi dan akulturasi). Ragam bahan, piranti masak, teknik pengolahan, dan cita rasa memberi kekayaan tersendiri terhadap kuliner Nusantara. Aji Bromokusumo, peneliti kuliner peranakan Tionghoa, mengutarakan bahwa kuliner Nusantara banyak dipengaruhi unsur-unsur dari ragam budaya dan tradisi yang hadir di Nusantara. “Seperti teknik memasak, peralatan memasak, dan proses pengawetan dengan teknik tertentu diperkenalkan para perantau Tiongkok yang datang ke Nusantara,” kata Aji dalam diskusi “Kuliner Nusantara di Masa Lampau,” hasil kerja bareng majalah Historia , Historia Advertising, Birdcage Cafe, dan ACMI, pada 14 Desember 2013 di Jakarta. Teknik atau cara pengolahan masakan yang ada di Nusantara dapat ditelusur melalui catatan perjalanan orang asing atau dari sumber tertulis seperti manuskrip. Catatan Rijklof van Goens, seorang duta VOC, sebagaimana dimuat Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid I: Tanah di Bawah Angin , memberi informasi bahwa teknik mengolah makanan, terutama daging (domba, kambing, dan kerbau), pada suatu perayaan besar di Jawa dengan cara dipanggang, dirempahi, dan digoreng, tetapi hanya menggunakan minyak sebagai pengganti mentega. Informasi mengenai teknik memasak pun terekam dalam beberapa manuskrip kuna. Dalam kitab Ramayana , pada saat Trijata menawarkan beberapa makanan (pupuhXVII.101), tertera makanan enak yang dimasak dengan minyak (landuga tatla-tila) dan makanan yang dibubu i gula (modakanda sagula). Sementara informasi mengenai teknik merebus diproleh dari data arkeologis pada Prasasti Panggumulan A dan B (824 çaka ) di Desa Kembang Arum, Sleman, Yogyakarta. Prasasti Kembang Arum, sebutan lain Prasasti Panggumulan, menerangkan bahwa pada upacara penetapan sima pada tanggal 10 Krsnapaksa (paro gelap), bulan Posya , tahun 824 sebagai anugrah Desa Panggumulan, disajikan berbagai hidangan, beberapa di antaranya sayuran berupa rumwarumwah (lalap), kuluban (lalap yang direbus), dudutan (lalap mentah), dan tetis .  Di sisi lain, salah satu teknik memasak yang dibawa oleh perantau dari Tiongkok adalah teknik menumis. Cara memasak dengan memberi sedikit minyak tetapi dengan api besar, memasukan bahan beserta bumbu yang diaduk cepat (berulang-ulang), dan diangkat, tidak pernah dikenal sebelumnya di Nusantara. Menurut chef dan ahli kuliner Nusantara, William Wongso, menelusuri kuliner sebagai sebuah tradisi dan warisan yang orisinal sukar dilakukan karena pengaruh dan sentuh budaya dari luar. Mengenai cara atau teknik pengolahan makanan, setiap daerah memiliki kekhasan yang pada akhirnya memunculkan “cita rasa”. “Cara mengolah masakan di berbagai daerah diajarkan melalui praktik langsung, tidak didokumentasikan melalui resep yang ditulis dan terpola,” kata William Wongso. “Kelemahannya ada pada sulitnya mencari ‘cita rasa’ yang otentik.”

  • Sejarah Tahu, Tahu Sejarah

    Orang-orang Tionghoa datang ke Nusantara dengan membawa keterampilan kulinernya. Salah satu makanan yang paling awal diperkenalkan adalah tahu. Sejarawan JJ Rizal mengungkapkan bahwa pada abad ke-10 orang-orang Tionghoa telah menyajikan tahu di Nusantara, meskipun terbatas di kalangan elite. “Jadi tahu lebih tua daripada tempe dilihat dari masa mulai produksinya,” kata Rizal.  Menurut Suryatini N. Ganie dalam Dapur Naga di Indonesia , tahu mempunyai sejarah panjang di Tiongkok, tempat asalnya sejak 3.000 tahun lalu. Teknologi pembuatan tahu secara cepat menyebar ke Jepang, Korea, dan Asia Tenggara. Tetapi, kapan tahu mulai hadir di Nusantara tidak dapat ditentukan waktunya dengan tepat. Namun, orang Kediri mengklaim sebagai kota pertama di Nusantara yang mengenal tahu, yang dibawa tentara Kubilai Khan pada tahun 1292. “Saat mengunjungi Kediri,” tulis Suryatini , “kami mendapati tempat berlabuhnya jung-jung Mongol di kota itu sampai hari ini masih disebut dengan Jung Biru. Armada ini mempunyai jung-jung khusus untuk mengurus makanan tentara, termasuk satu yang khusus untuk menyimpan kacang kedelai dan membuat tahu.” Kata tahu sendiri, menurut Hieronymus Budi Santoso, berasal dari bahasa Tionghoa, yakni: tao-hu atau teu-hu . Suku kata tao/teu berarti kacang kedelai, sedangkan hu berarti hancur menjadi bubur. “Dengan demikian secara harfiah, tahu adalah makanan yang bahan bakunya kedelai yang dihancurkan menjadi bubur,” tulis Hieronymus dalam Teknologi Tepat Guna Pembuatan Tempe dan Tahu Kedelai . Pada abad ke-19, orang-orang Jawa dilanda krisis gizi yang luar biasa akibat penerapan sistem cultuurstelsel (Tanam Paksa). Hasil bumi dikuras untuk kepentingan kolonial sampai mereka sendiri kesulitan untuk makan. Saat itulah tahu muncul sebagai pangan alternatif. “Menurut sejarawan Onghokham,” ungkap Rizal, “tahu bersama tempe, menjadi penyelamat orang-orang Jawa dari masa krisis asupan gizi.”  Sampai sekarang, tahu menjadi makanan penting bagi orang Indonesia. Cara penyajiannya di tiap wilayah pun bervariasi. Meski begitu, ia tetap menjadi pangan yang populer dan dapat dinikmati kapan saja.

  • Tentang Arsip dan Laporan untuk Tuan

    SALAH satu tujuan utama kedatangan saya ke Den Haag adalah mencari arsip-arsip yang berkaitan dengan Boedi Oetomo. Organisasi yang digagas oleh dr. Wahidin Soedirohoesodo dan didirikan oleh dr. Soetomo itu berdiri pada 20 Mei 1908. Hari berdirinya Boedi Oetomo lantas diberlakukan sebagai hari kebangkitan nasional, karena dianggap sebagai awal tersemainya benih-benih nasionalisme Indonesia sekaligus dianggap sebagai organisasi modern pertama di Indonesia. Banyak terjadi perdebatan ihwal penetapan tersebut. Ide awal berdirinya organisasi ini lebih kepada untuk membantu pendanaan mahasiswa kedokteran yang sekolah di Stovia. Namun pada kenyataannya organisasi ini bergerak lebih jauh. Sebagian anggotanya, yang datang dari generasi muda, mulai mendiskusikan ke arah mana nasib bangsa Hindia. Ada perdebatan di dalam, tentang akan kemana nasionalisme akan dituju: Nasionalisme Hindia atau Jawa. Hanya selang setahun setelah berdirinya, organisasi ini mengalami kemunduran. Pangkal perkaranya karena organisasi ini dikuasai oleh para kaum feodal. Ketua Boedi Oetomo, Raden Adipati Tirtokoesoemo, mantan Bupati Karanganyar, lebih terlihat sebagai seorang yang tunduk kepada pemerintah kolonial Belanda. Dia bukan seseorang yang datang dengan gagasan kemerdekaan di kepalanya. Tak lama kemudian kedudukan Tirtokoesomo digantikan oleh Pangeran Ario Noto Dirodjo dari Keraton Pakualaman. Boedi Oetomo semakin terlihat sebagai perkumpulan kaum ningrat ketimbang organisasi pembebasan yang progresif. Perpecahan pun mulai terjadi di dalam. Sebagian anggota muda menyatakan keluar dari organisasi. Tjipto Mangoenkosoemo salah satu yang memprotes keras arah kebijakan organisasi yang semakin konservatif.  Feodalisme memang tumbuh subur di bawah kolonialisme Belanda. Pemerintah kolonial merawat feodalisme untuk bisa kuat berkuasa mencengkeram Hindia Belanda. Persis apa kata Multatuli dalam roman Max Havelaar bahwa untuk menguasai orang Jawa, cukuplah dengan menguasai para kepalanya. Sehingga rakyat jajahan akan lebih mudah dikuasai dengan menggunakan perantara para kepalanya. Tak aneh jika zaman Belanda, hanya kaum priayi yang bisa dapat akses ke pendidikan terbaik, di Hindia Belanda maupun di Negeri Belanda. Salah satu orang yang mendapatkan sedikit dari keberuntungan itu adalah Hussein Djajadiningrat. Lulus dari HBS, Hussein melanjutkan kuliah di Universiteit Leiden. Pada 1913, dia lulus doktor dengan predikat cumlaude setelah berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul De Critische Bewchouwing van De Sedjarah Banten (Tinjauan Kritis atas Sejarah Banten). Disertasi itu ditulis di bawah bimbingan Snouck Hurgronje, pakar Islam yang disebut-sebut banyak memainkan peran penting dalam penaklukan Aceh. Sebagai orang Indonesia pertama yang meraih doktor di Leiden, Hussein banyak mendapat banyak sanjungan dari kolega Belandanya. Untuk mengenangnya, akhir Maret lalu Universiteit Leiden membuatkan patung sosok Hussein yang disimpan di ruang pamer kampus. Sejumlah barang pribadi milik Hussein juga dipamerkan di ruangan yang terletak di lantai dasar Academiegebouw itu. Wakil Presiden Boediono secara resmi membuka selubung patung Hussein sekaligus meresmikan patung tersebut di kampus Universiteit Leiden, akhir Maret lalu. Selain meresmikan patung Hussein, Wapres Boediono juga didaulat untuk menyampaikan pidatonya di hadapan para civitas akademika Universiteit Leiden. Setelah lulus dari Leiden, Hussein bekerja di Kantor Urusan Bumiputera (Kantoor voor Inlandsche Zaken). Salah satu kegiatan dia adalah membuat laporan tentang aktivitas orang-orang bumiputera. Salah satu dokumen yang saya temukan di kantor Arsip Nasional Belanda adalah laporan yang ditulis oleh Hussein mengenai jalannya sidang Boedi Oetomo di Surakarta, 24–26 Desember 1921. Laporan tersebut ditujukan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Dalam laporan disebutkan secara mendetail tentang bagaimana jalannya pertemuan tersebut. Hussein melaporkan tentang seorang pembicara yang mengemukakan pentingnya memiliki alasan politik dalam menjalankan aksi-aksi Boedi Oetomo. Dia juga mencatat apa-apa saja yang akan dilakukan oleh Boedi Oetomo, mulai dalam bidang sosial sampai dengan urusan pendidikan. Dari laporan yang dia buat, dan bukan hanya satu laporan saja, Hussein lebih tampak sebagai seorang mata-mata ketimbang ilmuwan kesohor lulusan Leiden. Ini jelas menimbulkan pertanyaan. Apakah laporan-laporan itu ditujukan untuk karya ilmiah? Apakah memang laporan tersebut sebagai bagian dari kewajiban pekerjaannya di Kantor Urusan Bumiputera? Untuk kepentingan apa dia mencatat dan melaporkan itu ke pemerintah kolonial Belanda? Karena penasaran, saya pun pergi mengunjungi kampus Universitas Leiden. Ditemani dua orang mahasiswa asal Indonesia, Jajang Nurjaman dan Ravando, kami ingin “menengok” di mana patung Hussein berada. Tapi ternyata, patung yang akhir Maret lalu diresmikan Wapres Boediono tak ada di ruang pamer. Kami mencoba untuk mencari ke seantero gedung, tapi tak jua menemukan di mana patung tersebut berada. Lantas kami berandai-andai, “jangan-jangan Hussein tak sedang menyamar jadi patung hari itu.” Ya mungkin. Atau, dia sedang membuat laporan tentang soal lainnya. Semoga patungnya bukan hilang diculik Tim Mawar.

bottom of page