top of page

Sejarah Indonesia

Membebaskan Sultan Yogya

Membebaskan Sultan Yogya

Para perwira dan tentara Belanda meyakini serangannya ke Yogyakarta untuk membebaskan Sultan. Ternyata, mereka keliru.

7 Januari 2014

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Pasukan Belanda di lapangan udara Maguwo, Yogyakarta, dalam agresi militer Belanda kedua, Desember 1948. (KITLV).

Setiap 4 Januari diperingati Yogyakarta Kota Republik untuk mengenang pemindahan ibu kota Republik Indonesia pada 4 Januari 1946 karena keadaan Jakarta tak aman dan keselamatan para pemimpin terancam oleh tentara NICA (Pemerintahan Sipil Hindia Belanda).


Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan sekaligus perjuangan. Namun, ancaman datang ketika Belanda melanggar gencatan senjata Perjanjian Renville dan melancarkan agresi militer kedua pada 19 Desember 1948. Belanda memulai serangan dengan pesawat-pesawat pengebom ke berbagai tempat terutama pangkalan militer, diikuti penerjunan 500 tentara, dan segera setelah itu pasukan Belanda memasuki kota. Selama seminggu berikutnya pasukan Belanda berhasil merebut kota-kota penting baik di Jawa mupun Sumatra.


Menurut sejarawan George McTurnan Kahin dalam Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, Belanda mengabarkan kepada dunia bahwa perlawanan Republik hanya sedikit dan penduduk menyambut mereka sebagai penyelamat. Banyak tentara Belanda juga menyebarkan kampanye ini karena yakin bahwa mereka sedang membebaskan penduduk dari penguasa yang tidak disukai.


“Slogan dari mereka yang dibawa-bawa di Yogyakarta adalah ‘Ke Jogja untuk membebaskan Sultan’,” tulis Kahin.


Karena itu, sementara para pemimpin Republik diasingkan, Sultan Hamengkubuwono IX tetap berada di Yogyakarta tetapi ruang geraknya dibatasi atau menjadi tahanan rumah.


Kendati demikian, menurut Kustiniyati Mochtar dalam “Pak Sultan dari Masa ke Masa” termuat dalam Tahta untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX, Sultan tetap dapat berkomunikasi dengan rakyatnya dengan cara fluistercampagne (dari mulut ke mulut), sehingga berbagai instruksi bisa sampai kepada rakyat. Misalnya, instruksi agar rakyat tetap setia dan hanya patuh kepada Ngarsa Dalem (sebutan untuk Sultan), yang dipatuhi seluruh rakyat.


Terkesan dengan wibawa Sultan, Belanda berusaha merangkul dan mengajaknya bekerja sama. Belanda meyakinkan Sultan bahwa tak ada gunanya mengandalkan nasibnya kepada suatu Republik yang masih demikian lemah. Belanda mengirim utusan, yaitu Residen E.M. Stok, Dr. Berkhuis, penguasa militer Belanda di Yogyakarta Kolonel van Langan, Husein Djajadiningrat, dan Sultan Hamid II, untuk mendekati Sultan.


Setelah usaha mereka tak membuahkan hasil, berikutnya dikirim seorang direktur bank Belanda yang mengumbar janji akan memberikan dana tak terbatas untuk Keraton Yogyakarta, saham di Perusahaan Pelayaran Belanda (KPM) dan Perusahaan Kereta Api Hindia Belanda. Jika mau bekerja sama, Belanda juga akan menjadikan Sultan sebagai penguasa seluruh Jawa dan Madura.


Utusan-utusan itu tak pernah bertemu langsung dengan Sultan, yang mewakilkan kepada saudaranya seperti Pangeran Prabuningrat, Pangeran Murdaningrat, atau Pangeran Bintoro. Mereka melaporkan kapada Sultan tentang tawaran-tawaran itu.


“Reaksi Hamengkubuwono IX hanya senyum sinis,” tulis Kustiniyati. “Pada waktu itu Hamengkubuwono IX tampaknya benar-benar sedang gandrung kemerdekaan dan keinginannya hanya satu: agar Belanda segera enyah dari bumi Indonesia.”


Menurut Kahin dalam “Sultan dan Belanda” termuat dalam Tahta untuk Rakyat, dengan Sultan menolak semua tawaran itu, Belanda akhirnya terpaksa mengakui bahwa mereka telah salah menilai Sultan Hamengkubuwono IX. Dengan demikian, Belanda telah melakukan kekeliruan dalam usaha menguasai Republik Indonesia karena salah perhitungan yang fundamental mengenai watak Sultan Hemangkubuwono IX.


"Para perwira dan tentara Belanda, yang mempercayai serangannya untuk membebaskan Sultan dari tiga tahun penahanan oleh para penguasa Republik, tak menyadari bahwa sejak permulaan revolusi Sultan sudah merupakan seorang pemimpin Republik yang terkemuka,” tulis Kahin.


Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Film perdana Reza Rahadian, “Pangku”, tak sekadar merekam kehidupan remang-remang lewat fenomena kopi pangku. Sarat pesan humanis di dalamnya.
Soebandrio Tidak Menyesal Masuk Penjara Orde Baru

Soebandrio Tidak Menyesal Masuk Penjara Orde Baru

Soebandrio dikenal memiliki selera humor yang tinggi. Selama menjadi tahanan politik Orde Baru, dia mendalami agama Islam, sehingga merasa tidak rugi masuk penjara.
Khotbah dari Menteng Raya

Khotbah dari Menteng Raya

Tak hanya mendatangkan suara, Duta Masjarakat juga menjadi jembatan Islam dan nasionalis sekuler. Harian Nahdlatul Ulama ini tertatih-tatih karena minim penulis dan dana.
Lagi, Seruan Menolak Gelar Pahlawan Nasional Bagi Soeharto

Lagi, Seruan Menolak Gelar Pahlawan Nasional Bagi Soeharto

Wacana penganugerahan gelar pahlawan nasional bagi Soeharto kian santer. Dinilai sebagai upaya pengaburan sejarah dan pemutihan jejak kelam sang diktator.
Cerita dari Pengasingan Bung Karno di Rumah Batu Tulis

Cerita dari Pengasingan Bung Karno di Rumah Batu Tulis

Setelah terusir dari paviliun di Istana Bogor, Bung Karno melipir ke Hing Puri Bima Sakti alias Rumah Batu Tulis sebagai tahanan rumah.
bottom of page