top of page

Hasil pencarian

9593 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Repatriasi Harga Mati

    Repatriasi orang-orang Belanda dari Indonesia, 1957. HARI masih pagi ketika Kapal Waterman tiba di Rotterdam, Belanda pada 6 September 1958. Kapal terakhir itu mengangkut ribuan orang Belanda dari Indonesia. Pemerintah Indonesia memulangkan (repatriasi) mereka sebagai buntut dari sengketa Irian Barat. Pada 29 November 1957, PBB gagal menyetujui resolusi yang menyerukan kepada Belanda supaya berunding dengan Indonesia soal Irian Barat. Irian Barat pun tetap di bawah kekuasaan Belanda. Sukarno menyatakan, jika mosi yang diajukan Indonesia di Sidang Umum PBB ditolak, pemerintah Indonesia akan mengambil “jalan lain yang akan mengejutkan dunia.” Pada 1 Desember 1957, pemerintah melarang terbitan-terbitan berbahasa Belanda, maskapai penerbangan Belanda KLM mendarat di Indonesia, dan warga negara Belanda memasuki Indonesia. Pada 2 Desember 1957, Menteri Penerangan Sudibyo selaku ketua Aksi Pembebasan Irian Barat memerintahkan kepada semua buruh perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia untuk mogok total selama 24 jam, yang berujung pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda. Pada 5 Desember 1957, tepat di hari pesta Sinterklaas, Sukarno mengultimatum semua orang Belanda secepatnya meninggalkan Indonesia. Sukarno juga melarang siapa pun di hari itu mengadakan pesta Sinterklaas yang dianggap budaya Belanda. Pelarangan tersebut dikenang sebagai Sinterklaas Hitam. Setelah itu, sentimen anti-Belanda menjalar di mana-mana. (Baca: Sinterklas Hitam ) “Kampanye dilakukan dengan melakukan demo-demo dan aksi corat-coret dengan cat di tembok-tembok atau poster-poster berisi kebencian terhadap orang Belanda dan hasutan untuk mengusir mereka,” tulis Firman Lubis dalam Jakarta 1950-an: Kenangan Semasa Remaja . Harian Indonesia Raja  6 Desember 1957 memberitakan, berdasarkan kebijakan yang dikeluarkan Menteri Kehakiman GA Maengkom, pemulangan orang-orang Belanda dibagi dalam tiga tahap: steuntrekkers (golongan tidak memiliki pekerjaan), middenstanders (kalangan menengah), dan vakspecialisten (kalangan tenaga ahli). “Sesuai dengan putusan sidang Kabinet tanggal 5 Desember terhadap 9.000 orang warga negara Belanda yang umumnya pada waktu itu tidak mempunyai pekerjaan tetap, akan didahulukan pemulangannya,” tulis Merdeka, 10 Desember 1957. Pemulangan orang-orang Belanda dimulai pada 10 Desember 1957 menggunakan Garuda Indonesia Airways dan maskapai asing. Pemulangan juga dilakukan melalui jalur laut. Pemulangan ini bisa dikatakan klimaks, sejak repatriasi pertama setelah proklamasi kemerdekaan pada 1945 dan setelah pengakuan kedaulatan pada 1949. Menurut Firman Lubis, sensus penduduk pada 1940 mendata 120.000 orang Belanda di Indonesia; mayoritas Indo, sisanya Belanda totok. Pada permulaan 1950-an, jumlahnya tinggal 80.000, sekira 50.000 menetap di Jakarta. Jumlah ini menurun karena pemulangan pada 1957-1958, menyisakan 40.000-50.000 di seluruh Indonesia. Di Jakarta sendiri tinggal 14.000 orang, sebagian besar Indo. “Di Belanda sekarang ini ditaksir ada 200-300 ribu orang yang tergolong Indo. Satu di antara tujuh orang Belanda atau sekitar 15 persen dari seluruh penduduk Belanda mempunyai ikatan dengan Indonesia. Baik mempunyai darah keturunan, atau nenek moyang mereka pernah tinggal di Indonesia,” tulis Firman Lubis. Mereka yang tidak pulang dan memilih jadi warga negara Indonesia bergabung dalam Gabungan Indo untuk Kesatuan Indonesia (GIKI) yang didirikan pada 1951, sebagai perubahan dari Indo Europeesch Verbond (IEV). GIKI dibubarkan pada 14 Mei 1961.

  • Di Balik Gelar Pahlawan Nasional untuk Tan Malaka dan Alimin

    PADA 23 Maret 1963, Sukarno menetapkan Tan Malaka sebagai pahlawan nasional berdasarkan Keputusan Presiden No. 53 Tahun 1963. Usulannya datang dari Partai Murba yang didirikan Tan Malaka tahun 1948, dalam peringatan ke-16 menghilangnya Tan Malaka pada Februari 1963. Menurut sejarawan Klaus H. Schreiner dalam “Penciptaan Pahlawan-pahlawan Nasional,” termuat di Outward Appearances , dokumen resmi telah dikeluarkan satu bulan setelah permohonan itu dan langsung mendapat dukungan dari Sukarno, yang menggambarkan betapa cepatnya dia menanggapi permintaan itu dan mengabaikan prosedur-prosedur formal. Setahun kemudian, Sukarno kembali mengangkat tokoh komunis, Alimin Prawirodirdjo menjadi pahlawan nasional, sehari setelah kematiannya pada 24 Juni 1964. “Mereka adalah komunis di antara para pahlawan nasional, yang menjadi alasan mengapa mereka dibungkam sesudah tahun 1965,” tulis Schreiner . Menurut Schreiner, Sukarno mengangkat dua tokoh komunis di antara 33 pahlawan nasional yang ditetapkannya, berdasarkan kepentingan strategis jangka pendek. Yaitu sebagai wakil dari ideologi yang sedang disatukannya: Nasakom (nasionalis, agama, dan komunis). Oleh karena itu, lanjut Schreiner, “mengikuti pengangkatan Alimin pada tahun 1964, dua tokoh utama Muhammadiyah, Kiai Fachruddin dan Kiai Mas Mansyur, secara serentak diangkat sebagai pahlawan nasional sehingga menjamin keseimbangan ideologis antara komunis dan Muslim.” Pengangkatan Tan Malaka dan Alimin dapat dianggap sebagai “suatu simbol nonkontroversial dari gerakan komunis.” Tan Malaka keluar dari PKI karena tak setuju pemberontakan PKI 1926-1927. Oleh karena itu, menurut sejarawan Asvi Warman Adam, adalah kebodohan rezim Orde Baru menganggap Tan Malaka sebagai tokoh partai yang dituduh terlibat pemberontakan beberapa kali. “Tan Malaka justru menolak pemberontakan PKI tahun 1926/1927,” tulis Asvi dalam pengantar buku Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia, dan Singapura karya Zulhasril Nasir. Sebaliknya, menurut Schreiner, kendati setuju dengan pemberontakan itu, Alimin kemudian kehilangan sebagian besar kedudukannya dalam PKI. Meskipun Harian Rakyat , organ PKI, dalam berita kematian Alimin memuji jasa-jasanya dalam mendirikan PKI pasca Perang Dunia II dan perannya selama tahun 1950-an, di akhir hayatnya dia adalah tokoh yang terpinggirkan. Rezim Orde Baru yang antikomunis jelas terganggu dengan keberadaan dua pentolan komunis dalam daftar pahlawan nasional. Menurut Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil “petite histoire” Indonesia Volume 4 , Departemen Sosial sebagai lembaga yang menyelenggarakan seleksi pahlawan nasional, pernah mengajukan kepada Presiden Soeharto agar mencabut gelar pahlawan nasional Tan Malaka dan Alimin. Soeharto menyatakan bahwa pemberian gelar itu telah dilakukan oleh Presiden Sukarno dan tidak bisa dibatalkan. Gelar pahlawan nasional itu tidak pernah dicabut, tetapi menurut Asvi, nama Tan Malaka dihapuskan dalam pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah. Dalam buku teks sejarah dia tidak boleh disebut. Atau menurut istilah seorang peneliti Departemen Sosial, Tan Malaka menjadi off the record dalam sejarah Orde Baru. Baru setelah reformasi namanya ditampilkan kembali. Muncullah karya baru atau buku-buku lama tentang atau oleh Tan Malaka yang pada masa Orde Baru sempat dilarang.*

  • Pejuang yang Terlupakan

    RM Djajeng Pratomo di usia tua (kiri) dan mengenakan kostum tari Jawa (kanan). (Aboeprijadi Santoso/Historia.ID). RADEN Mas Djajeng Pratomo genap seabad pada 22 Februari 2014. Hidup mandiri di apartemen di desa ‘t Zand di ujung utara Belanda, Djajeng lama tersisih dari perhatian media di Belanda maupun Indonesia. Dia lahir di Bagan Siapi-api, kota pasar ikan di pantai timur Sumatra, putra sulung Dr. Djajengpratomo dari Pakualaman Yogyakarta. Ayahnya, Djajengpratomo, mengenyam sekolah kedokteran yang diperuntukkan bagi kaum ningrat, STOVIA, di Batavia. Dia salah satu alumnus pertamanya. Asal-usulnya yang memberinya privilese pendidikan itulah yang justru membuat dirinya insyaf akan status diri dan patrianya sebagai bagian dari sistem negeri jajahan. Ini melahirkan aspirasi kebangsaan dan mendorongnya ikut gerakan nasionalis pimpinan Dr. Soetomo. Djajengpratomo mempelopori pelayanan kesehatan di klinik di Bagan Siapi-api. Berkat perannya –dia mahir berbahasa Tionghoa untuk melayani mayoritas penduduk yang asal Tionghoa– namanya diabadikan pada rumahsakit lokal: RSUD Dr. Pratomo. Djajeng Pratomo –semula namanya Amirool Koesno, kemudian digantinya dengan nama ayahnya– bernasib hampir serupa. Seperti ayahnya, privilese yang memungkinkannya masuk sekolah menengah Koning Willem II School di Batavia membuat dirinya sadar sebagai anak jajahan. Menyusul adiknya, Gondho Pratomo, Djajeng pada 1935 bertolak ke Belanda untuk melanjutkan studi kedokteran di Leiden. Justru di Belanda Djajeng menemukan budaya aslinya. Dia menggemari, mempelajari, dan mementaskan tari Jawa melalui kelompok seni tari De Insulinde. Tahun 1930-an adalah tahun krisis. Naziisme-Hitler berkuasa di Jerman dan mengguncang Eropa. Djajeng menjadi anggota Perhimpunan Indonesia (PI), sebuah klub sosial mahasiswa Indonesia di Belanda yang didirikan pada 1922 dan kemudian berkembang jadi organ politik kebangsaan yang gigih melawan kekuatan fasis.  Nama Djajeng tak terpisahkan dari Stijntje ‘Stennie’ Gret, gadis Schiedam yang dijumpainya di sebuah toko buku pada 1937. Stennie meminati perkembangan di Hindia dan tertarik pada seni tari Jawa. Bersama Djajeng, yang kemudian jadi suaminya, keduanya menjadi mitra di bidang budaya sekaligus sekutu politik. Dasawarsa 1930-an merupakan hari-hari bahagia mereka. Dua sejoli ini sering menikmati pergelaran jazz di teater prestisius Pschorr di Coolsingel, Rotterdam, dan De Insulinde mementaskan tarian Jawa oleh Djajeng di Koloniaal Instituut van de Tropen di Amsterdam. Di mana ada Djajeng, di situ ada Stennie. Juga ketika De Insulinde mementaskan tari di London untuk menghimpun dana guna membantu Tiongkok yang kala itu diduduki tentara Jepang. Tahun 1940-an menjadi masa bergolak yang penuh tragik. Di bawah pendudukan Nazi, PI jadi ilegal. Polisi Jerman memburu para aktivisnya. Pada 1943 Djajeng dan Stennie ditahan di kamp Vught. Tahun berikutnya mereka dikirim ke kamp maut Nazi di Ravenbruck dan Dachau di Jerman. “Di Dachau,” Djajeng berkisah, “saya melihat tumpukan mayat setiap hari.” Sebagai tenaga kerja paksa untuk pabrik pesawat terbang Messerschmitt, setiap hari dia menyaksikan orang digantung mati. Jika ada peluang, Djajeng mencoba menyelamatkan tawanan, tutur salah seorang yang diselamatkannya. Sementara di kamp Ravenbruck, Stennie mencat-hitam rambut para tawanan perempuan agar tampak muda ketika penguasa kamp memerintahkan untuk membinasakan para tawanan jompo. Selamat dari derita kamp, Djajeng dan Stennie dibebaskan tentara Sekutu namun baru bertemu kembali pada September 1945, sebulan setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Mereka lalu menikah sebagai warga negara Indonesia pada Februari 1946 dan melanjutkan pekerjaan politik untuk membela kemerdekaan Indonesia. Ketika Belanda melancarkan agresi militer I pada Juli 1947, PI menggelar protes massal di Concertgebouw, Amsterdam. Kampanye membela kemerdekaan Indonesia membawa mereka ke Eropa Timur. Di Praha, Djajeng dan kawan-kawannya turun ke jalan dan dengan bangga mengibarkan bendera Merah-Putih ketika dia memimpin delegasi Indonesia di World Federation of Democratic Youth. Kampanye itu bahkan berlanjut sampai Serajewo dan kota kota lain di Yugoslavia. Kembali ke Belanda, mereka bergerak di bawah tanah selagi pecah perang kemerdekaan di Indonesia. Djajeng dan Stennie dua kali berencana pulang ke Indonesia, namun membatalkannya. Kali pertama karena agresi militer I dan kali kedua karena terjadi pembantaian 1965-1966. Lalu, dengan alasan pragmatis, mereka beralih ke kewarganegaraan Belanda pada 1975. Akhirnya, setelah kurun enam dasawarsa, Djajeng dan Stennie sempat menginjakkan kaki di Indonesia. Kembali di Belanda, Djajeng tetap aktif politik di front internasional, dan baru berhenti ketika Stennie jatuh sakit dan meninggal pada 2010. Djajeng, Stennie, dan kamerad-kameradnya tergolong generasi yang meyakini bahwa sejarah selalu bergerak maju. Dengan begitu mereka merumuskan idealisme dan kekuatan politiknya berdasarkan solidaritas internasional. Kini mereka hidup di dunia yang telah berubah radikal. Namun perubahan itu tidaklah seperti yang mereka bayangkan dan proyeksikan. Meski begitu, Djajeng tak merasa kecewa. Dia masih mencintai Indonesia, dengan seni tari, musik gamelan, serta kulinernya. Djajeng kini tak mampu lagi berbahasa Indonesia. Namun, dengan semangat internasionalnya, idealisme kepatriotan dan aksi-aksi perjuangannya, Djajeng Pratomo adalah salah satu patriot istimewa Indonesia.* *) Dengan terima kasih atas perantaraan Ny. Marjati Pratomo.

  • Sukarno: Wartawan Pekerjaan Gawat

    ATAS permintaan Mahbub Djunaidi, Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia, Sukarno bersedia mengadakan ramah-tamah dengan para wartawan di Istana Bogor, 20 November 1965. Sukarno mendorong para wartawan agar meningkatkan kemampuannya dengan pengetahuan. “Wartawan-wartawan Indonesia ini perlu upgrading ,” kata Sukarno dalam Revolusi Belum Selesai . “Saya minta kepada semua wartawan-wartawan Indonesia. Banyaklah membaca.” Selain itu, Sukarno meminta para wartawan agar jangan membuat tulisan yang mendorong bangsa kepada self destruction (kehancuran), “sebagaimana perkataan Toynbee dan Gibbon, a great civilization never goes down unless it destroys itself from within. Satu peradaban besar tidak akan bisa turun, tidak akan bisa tenggelam, kecuali jikalau peradaban itu merusak dirinya sendiri dari dalam, merobek-robek dadanya sendiri dari dalam.” Sukarno prihatin dengan tulisan-tulisan wartawan belakangan ini yang mengarah ke “ self destruction dan berjiwa gontok-gontokan, gebug-gebugan, bakar-bakar semangat…” “Nah,” kata Sukarno, “saudara sebagai wartawan saudara punya pekerjaan itu sebetulnya gawat sekali. Oleh karena sampai sekarang ini apa yang ditulis di surat kabar dipercaya. Het volk gelooft het (rakyat percaya).” Sukarno mencontohkan sebuah berita mengenai perempuan hamil oleh ular. “Saya bilang nonsense !” Namun, pembaca yang mempercayainya menyatakan, “ Kapanparantos diserat, di serat kabar, kansudah ditulis di surat kabar.” “Nah, saudara-saudara, inilah kegawatan pekerjaan saudara-saudara,” Sukarno mengingatkan para wartawan: “Jangan sampai saudara-saudara mengeluarkan satu perkataan pun dari tetesan pena sudara yang tidak berisi satu kebenaran. Oleh karena tiap-tiap tetesan pena saudara dipercayai oleh pembaca.” “Jangan saudara dalam memegang pena itu lebih mengutamakan partai saudara daripada bangsa,” kata Sukarno. Waktu itu, setiap partai besar memiliki corong media. “Saudara sebagai wartawan itu sebetulnya bukan wakil partai, tetapi ialah wartawan daripada bangsa Indonesia. Wartawan daripada Revolusi Indonesia.” Lebih dari itu, Sukarno sangat mengkhawatirkan dan mengecam wartawan yang menulis berita fitnah. “Tanggungjawab saudara adalah tinggi sekali. Karena itu jangan sampai tulisan saudara itu sebetulnya adalah fitnah.” Menurut Sukarno, dari segala macam kejahatan, fitnah yang terjahat. Agama apapun tidak membenarkan fitnah. “Moral agama harus kita pegang tinggi, moral agama antara lain melarang, menjaga jangan sampai kita menjalankan fitnah,” kata Sukarno.*

  • Meluruskan Sejarah Bendera Pusaka

    DI internet beredar luas informasi mengenai kain Bendera Pusaka Merah Putih yang dikibarkan pada Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Disebutkan bahwa bendera itu berasal dari kain seprai warna putih dan kain tenda warung soto warna merah. Benarkah? Fatmawati, istri Sukarno yang menjahit Bendera Pusaka Merah Putih, menceritakan dari mana dia mendapatkan kain untuk bendera Merah Putih dalam bukunya, Catatan Kecil Bersama Bung Karno, Volume 1, yang terbit tahun 1978. Menurut Fatmawati, suatu hari, Oktober 1944, tatkala kandungannya berumur sembilan bulan (Guntur lahir pada 3 November 1944), datanglah seorang perwira Jepang membawa kain dua blok. “Yang satu blok berwarna merah sedangkan yang lain berwarna putih. Mungkin dari kantor Jawa Hokokai ,” kata Fatmawati . Dengan kain itulah, Fatmawati menjahitkan sehelai bendera Merah Putih dengan menggunakan mesin jahit tangan,“sebab tidak boleh lagi mempergunakan mesin jahit kaki.” Pemberian kain sebagai bahan bendera itu agaknya berkaitan dengan pengumuman Perdana Menteri Koiso pada 7 September 1944 bahwa Jepang berjanji akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia “kelak di kemudian hari.” Menurut Sukmawati Sukarnoputri, dikutip oase.kompas.com , 24 Juli 2011, Fatmawati menjahit sambil sesekali terisak dalam tangis karena dia tidak percaya Indonesia akhirnya merdeka dan mempunyai bendera serta kedaulatan sendiri. Siapa perwira Jepang yang mengantarkan kain merah putih kepada Fatmawati? Perwira tersebut adalah seorang pemuda bernama Chairul Basri. Dia mendapatkannya dari Hitoshi Shimizu, kepala Sendenbu (Departemen Propaganda). Pada 1978, Hitoshi Shimizu diundang Presiden Soeharto untuk menerima penghargaan dari pemerintah Indonesia karena dianggap berjasa meningkatkan hubungan Indonesia-Jepang. Usai menerima penghargaan, Shimizu bertemu dengan kawan-kawannya semasa pendudukan Jepang. “Pada kesempatan itulah ibu Fatmawati bercerita kepada Shimizu bahwa bendera pusaka kainnya dari Shimizu,” kata Chairul Basri dalam memoarnya, Apa yang Saya Ingat . Pada kesempatan lain, waktu berkunjung lagi ke Indonesia, Shimizu menceritakan kepada Chairul Basri bahwa dia pernah memberikan kain merah putih kepadanya untuk diserahkan kepada Fatmawati. Kain itu diperoleh dari sebuah gudang Jepang di daerah Pintu Air, Jakarta Pusat, di depan bekas bioskop Capitol. “Saya diminta oleh Shimizu untuk mengambil kain itu dan mengantarkannya kepada ibu Fatma,” kenang Chairul. Tiba saatnya Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Ketika Fatmawati akan melangkahkan kaki keluar dari pintu rumahnya terdengarlah teriakan bahwa bendera belum ada. “Kemudian aku berbalik mengambil bendera yang aku buat tatkala Guntur masih dalam kandungan, satu setengah tahun yang lalu. Bendera itu aku berikan pada salah satu yang hadir di tempat depan kamar tidur. Nampak olehku di antara mereka adalah Mas Diro (Sudiro eks wali kota DKI), Suhud, Kolonel Latif Hendraningrat. Segera kami menuju ke tempat upacara, paling depan Bung Karno disusul oleh Bung Hatta, kemudian aku,” kata Fatmawati . Setelah Sukarno membacakan Proklamasi, Latif Hendraningrat dan Suhud kemudian mengerek Bendera Pusaka Merah Mutih.

  • Enam Korban Keris Mpu Gandring

    SIAPA yang tak kenal dengan kisah keris Mpu Gandring? Keris ini dikutuk pembuatnya, Mpu Gandring, akan membawa malapetaka. Keris pencabut maut ini dikisahkan dalam kitab Pararaton atau Katuturanira Ken Anrok (gubahan tahun 1478 dan 1486 tanpa disebutkan penggubahnya). Di luar mitos soal magis keris Mpu Gandring, kisah ini menggambarkan suksesi berdarah yang mengiringi perjalanan kerajaan Singasari, yang didirikan Ken Angrok. Berikut ini para korban kutukan keris Mpu Gandring. Mpu Gandring Ken Angrok terpesona oleh Ken Dedes, istri Tunggul Ametung. Menurut pendeta Lohgawe, siapa yang berhasil memperistri Ken Dedes akan menjadi raja besar. Ken Angrok pun bertekad membunuh Tunggul Ametung. Ayah angkatnya, Bango Samparan, menyarankan agar Ken Angrok memesan keris kepada kawan karibnya, Mpu Gandring, pembuat keris yang ampuh di Lulumbang. Maka, datanglah Ken Angrok menemui Mpu Gandring. Ken Angrok meminta kerisnya selesai dalam lima bulan, sedangkan Mpu Gandring minta waktu setahun. Lima bulan kemudian, Ken Angrok kembali ke Lulumbang dan mendapati Mpu Gandring sedang menggurinda keris pesanannya. Karena belum selesai, Mpu Gandring menolak memberikan keris itu. Ken Angrok pun merebut keris itu dan menikam Mpu Gandring. Sebelum mati Mpu Gandring mengutuk bahwa Ken Angrok dan tujuh turunannya akan mati oleh keris itu. Merasa bersalah, Ken Angrok berjanji kalau cita-citanya menjadi raja terwujud, dia akan menunjukkan rasa terimakasihnya kepada keturunan Mpu Gandring. Tunggul Ametung Di Tumapel, Ken Angrok berkawan dengan Kebo Ijo, yang dikasihi Tunggul Ametung. Dengan cerdik, Ken Angrok membuat Kebo Ijo tertarik dengan keris berukiran kayu cangkring yang dibawanya. Ken Angrok meminjamkannya. Kebo Ijo suka memamerkan keris itu sehingga setiap orang Tumapel tahu Kebo Ijo memiliki keris itu. Pada suatu malam, Ken Angrok mengambil keris itu tanpa sepengetahuan Kebo Ijo. Ken Angrok menikam Tunggul Ametung yang tertidur dan meninggalkan keris itu tertancap di dadanya. Kebo Ijo Warga Tumapel, yang pernah melihat Kebo Ijo memamerkan keris itu, sertamerta menuduhnya sebagai pembunuh Tunggul Ametung. Mereka mengeroyok dan membunuh Kebo Ijo dengan keris itu. Ken Angrok bebas dari tuduhan, tetapi tidak terbebas dari kutukan Mpu Gandring. Kebo Randi yang masih kecil menangisi kematian ayahnya, Kebo Ijo. Merasa terharu, Ken Angrok menjadikan Kebo Randi sebagai pekatik (abdi). Ken Angrok akhirnya berhasil memperistri Ken Dedes. Tidak ada orang Tumapel yang berani menggangu gugat. Bahkan keluarga Tunggul Ametung pun diam, tidak berani berkata apa-apa. Ramalan pendeta Lohgawe terbukti. Ken Angrok berhasil mengalahkan Raja Kediri, Dandang gendis alias Kertajaya. Dia mendirikan Kerajaan Singasari pada 1222. Ken Angrok Waktu dinikahi Ken Angrok, Ken Dedes sedang hamil tiga bulan, mengadung anak dari Tunggu Ametung. Ketika lahir, anak itu diberi nama Anusapati. Sedangkan Ken Angrok dan Ken Dedes memperoleh tiga putra dan satu putri: Mahisa Wunga Teleng, Panji Saprang, Agni Bhaya, dan Dewi Rimbu. Dari pernikahannya dengan Ken Umang, Ken Angrok mempunyai tiga putra dan seorang putri: Panji Tohjaya, Panji Sudatu, Tuan Wregola, dan Dewi Rambi. Ken Dedes merahasiakan kematian suaminya, Tunggul Ametung. Namun, ketika Anusapati sudah agak besar, dia menanyakan kepada ibunya, mengapa Sang Amurwabhumi (Ken Angrok) memperlakukannya berbeda dibanding saudara-saudaranya yang lain. Dia juga mempertanyakan kenapa bukan dirinya yang lebih tua tapi Mahisa Wunga Teleng yang dinobatkan sebagai raja Kediri. Ken Dedes akhirnya menyingkap rahasia bahwa Anusapati hanyalah anak tiri dan ayahnya (Tunggul Ametung) mati dibunuh Ken Angrok. Anusapati pun meminta keris Mpu Gandring yang dipegang Ken Dedes. Anusapati menyuruh Ki Pengalasan dari desa Batil untuk menghabisi Ken Angrok. Suruhannya itu berhasil membunuh Ken Angrok yang sedang makan di waktu senja, pada 1247 –versi Negarakertagama menyebut tahun 1227. Ki Pengalasan Setelah menyelesaikan misinya, Ki Pengalasan segera melapor. Anusapati memberinya hadiah. Namun karena takut Ki Pengalasan menceritakan siapa yang menyuruhnya membunuh Ken Angrok, Anusapati kemudian menghabisinya. Anusapati Sepeninggal Ken Angrok, Anusapati dinobatkan sebagai raja Singasari. Namun dia selalu waspada. Bilik tempat tidurnya dikelilingi selokan, halamannya dijaga ketat orang-orang kepercayaannya. Panji Tohjaya, anak Ken Angrok dari Ken Umang, mengetahui bahwa Ki Pengalasan hanyalah suruhan Anusapati untuk membunuh ayahnya. Dia bersiasat dengan cara mengajak Anusapati meyabung ayam. Tohjaya berhasil meminjam keris Mpu Gandring dari Anusapati dan menukarnya dengan keris lain. Anusapati terlalu asyik menikmati sabung ayam. Tohjaya tak menyia-nyiakan kesempatan dan menancapkan keris Mpu Gandring ke dada Anusapati. Seketika Anusapati tewas pada 1249 –versi berbeda ditulis Negarakertagama yang menyebut Anusapati mati wajar. Tohjaya kemudian naik takhta. Tohjaya Kendati bukan mati karena keris Mpu Gandring, kematian Tohjaya patut dicatat sebagai rangkaian dari kisah ini. Tohjaya berkuasa dengan diselimuti ketakutan. Kecurigaan terutama ditunjukkan kepada Rangga Wuni, anak Anusapati. Rangga Wuni memendam dendam atas kematian ayahnya. Bersekutu dengan Mahisa Campaka, anak Mahisa Wunga Teleng yang tak terima tahta kerajaan Kediri diambil Tohjaya, Rangga Wuni melakukan pemberontakan. Mereka menyerang istana. Tohjaya melarikan diri. Namun karena luka-luka dalam pertempuran, dalam pelarian itu Tohjaya meninggal dunia. Rangga Wuni menaiki takhta kerajaan Singasari dengan gelar Sri Jaya Wisnuwardhana. Mahisa Cempaka turut pula memerintah dengan gelar Narasimhamurti. Mereka mengadakan pemerintahan bersama dengan menyatukan kerajaan Singasari dan Kediri. Negarakertagama mengibaratkan Wisnu dan Indra. Kutukan keris Mpu Gandring pun lenyap. Suksesi berdarah antara keturunan Ken Angrok dan Tunggul Ametung pun berakhir.*

  • Belanda Kirim Kapal Perang, Sukarno Meradang

    PADA 25 Maret 1960, pemerintah Kerajaan Belanda mengumumkan akan mengirim kebangaan Angkatan Laut-nya: kapal induk Karel Doorman ke perairan Papua. Kebijakan ini diinisiasi oleh Menteri Luar Negeri Belanda, Joseph Luns. Pengiriman Karel Doorman bertujuan untuk memperkuat pertahanan Belanda di Papua. Mendatangkan Karel Doorman seolah menjadi jawaban dari pemerintah Belanda, setelah asetnya di Indonesia dinasionalisasikan antara 1957-1959. Hal ini sekaligus meneguhkan sikap Belanda untuk mempertahankan kekuasaannya di Papua. Karel Doorman yang berbobot 18.040 ton adalah satu-satunya kapal induk milik Kerajaan Belanda. Namanya diambil dari nama Laksamana Karel Doorman, panglima Angkatan Laut Belanda yang gugur saat melawan Jepang dalam pertempuran laut Jawa pada 1942. Saat itu, masih belum banyak negara di dunia yang mempunyai kapal induk, kapal super besar yang dapat mengangkut pesawat-pesawat tempur. Menurut Harian Umum, 29 April 1960, ekspedisi Karel Doorman ke Papua mengangkut pesawat-pesawat jet pemburu Hawker Hunter untuk ditempatkan di Pangkalan Udara Biak. Selain itu, serdadu-serdadu wajib militer Belanda yang akan dibentuk menjadi “Batalion Papua” turut dibawa. Baca juga:  Debat Pendiri Bangsa Soal Papua Presiden Sukarno meradang sekaligus cemas. Menurutnya, Karel Doorman dapat menyulut perang dan mengancam kedaulatan Indonesia. Kekhawatiran Sukarno bukan tanpa alasan. Angkatan Perang Indonesia dipastikan belum siap jika sewaktu-waktu Karel Doorman berniat melancarkan agresi ke Indonesia. Jenderal Abdul Haris Nasution selaku Menteri Keamanan Nasional dan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) dalam memornya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 5: Kenangan Masa Orde Lama , mengungkapkan, “kita belum mampu untuk itu (berperang) dan juga pangkalan-pangkalan serta kekuatan-kekuatan laut kita adalah rawan jika Karel Doorman datang dengan kapal-kapal pembantunya”. Desas-desus tentang Karel Doorman membuat publik Indonesia kian tegang. Berbagai cara ditempuh untuk menutup gerak Karel Doorman mendekati kawasan Nusantara. Sukarno  menginstruksikan agar pertahanan Indonesia di perbatasan Maluku diperkuat. “Cuti militer di Maluku dan Irian Barat dicabut. Seluruh rakyat dalam keadaan waspada,” tulis Harian Umum, 28 Mei 1960. Baca juga:  Ketika Bung Hatta Menolak Papua Untuk mengantisipasi laju Karel Doorman , Sukarno menemui pemimpin Mesir Gammal Abdul Nasser. Sukarno dan Nasser sepakat pengiriman kapal induk Belanda ke Papua bertentangan dengan prinsip Konferensi Asia Afrika. Harian Umum, 28 April 1960 mewartakan pernyataan bersama kedua pemimpin itu: mengutuk Belanda mengirimkan Karel Doorman. Pada 31 Mei 1960,  Karel Doorman bertolak dari pelabuhan Rotterdam menuju Papua diiringi dua kapal pemburu Groningen dan Limburg serta satu kapal tanker minyak Mijhdrecht. Demi menghindari masalah dengan pemerintah Mesir, Karel Doorman tidak melewati Terusan Suez yang merupakan rute terdekat. Akibatnya, jalur yang lebih jauh harus ditempuh yaitu melalui Tanjung Harapan, Afrika Selatan. Ketika Karel Doorman direncakan merapat di pelabuhan Yokohama, Jepang, untuk mengisi pasokan minyak dan air, Duta Besar Bambang Sugeng langsung bereaksi. “Indonesia memprotes Jepang tentang mampirnya Karel Doorman , ” tulis Sin Po, 12 Agustus 1960. Baca juga:  Menlu Belanda Sponsori Papua Merdeka, Sukarno: Dia Bajingan! Dalam pertemuannya dengan Menteri Luar Negeri Jepang, Zentaro Kosaka, Sugeng mengancam akan kembali ke Indonesia dan mengisyaratkan pemutusan hubungan ekonomi Indonesia dengan Jepang. “Kosaka mengubah keputusannya, dengan alasan bahwa dia tidak ingin menjual suatu persahabatan dengan negara Asia, hanya demi sebuah kapal induk,” tulis Masashi Nishihara dalam Sukarno Ratnasari Dewi & Pampasan Perang: Hubungan Indonesia-Jepang, 1951-1966 . Kendati negara sahabat Indonesia mempersulit pelayarannya,  Karel Doorman tak dapat dicegah menginjak Papua. Belanda juga punya sekutu. Untuk kebutuhan logistik dan bahan bakar, Karel Doorman memperolehnya dari Australia. Karel Dorman berlabuh di Papua pada 1 Agustus 1960.  Hollandia (Jayapura), Biak, dan Manokwari adalah kota-kota yang disinggahi Karel Doorman. Selama tiga minggu mengadakan pawai bendera, Karel Doorman dimanfaatkan sebatas pada kegiatan-kegiatan sosial, pelayaran kecil, dan demo-demo pesawat terbang untuk menarik simpati rakyat lokal.  “Kehadiran Karel Doorman mengangkat moral orang-orang Belanda di Papua. Unjuk kekuatan itu juga memperbesar kepercayaan orang-orang Papua terhadap Belanda,” tulis sejarawan Belanda, Pieter Drooglever dalam Tindakan Pilihan Bebas: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri. Baca juga:  Jenderal Nasution dan Senjata Uni Soviet Safari Karel Doorman di Papua, selain memakan biaya ekonomi yang tinggi, berdampak politis yang cukup besar. Di Indonesia, Belanda dicap sebagai musuh revolusi. Sukarno meresmikannya dengan pemutusan hubungan diplomatik dengan Belanda. Dia tak ingin kalah gertak. “Belanda malahan mengirimkan Karel Doorman -nya. Satu negara rentenir kecil yang sebenarnya sudah jatuh seperti Nederland itu, yang masih bernafsu kolonialisme. Sekarang dengarkan saudara-saudara! Dalam keadaan yang demikian itu, tidak ada gunanya lagi hubungan diplomatik dengan negeri Belanda. Saya perintahkan Departemen Luar Negeri memutuskan hubungan diplomatik dengan negeri Belanda!” seru Sukarno dalam pidato kenegaraan 17 Agustus 1960, “Jalannya Revolusi Kita” dikutip Mochamad Said dalam Pedoman Untuk Melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat . Meski tak menimbulkan kontak senjata, insiden Karel Doorman mendorong Indonesia untuk segera meningkatkan kemampuan Angkatan Perang-nya. Pada akhir tahun 1960, Sukarno mengutus Jenderal Nasution ke Moskow. Misi Nasution: memperoleh senjata berat tercanggih milik Uni Soviet. Hubungan Indonesia-Belanda memasuki era konfrontasi militer.

  • Kisah Lain Pergantian Nama Kusno Jadi Sukarno

    SEMULA namanya Kusno, kemudian diganti menjadi Sukarno. Dalam otobiografinya, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia , Sukarno menceritakan alasan penggantian nama itu karena dia sakit-sakitan, seperti terkena malaria dan disentri. Ternyata, ada cerita berbeda di balik perubahan nama itu. Cerita itu terdapat dalam riwayat singkat ibu Sukarno, Ida Ayu Nyoman Rai, Bung Karno Anakku , karya Soebagijo I.N. Buku ini semula berjudul Pengukir Jiwa Soekarno, terbit tahun 1949. Ide mengganti nama datang dari kakak perempuan Sukarno, yaitu Karsinah. Pada suatu hari, Karsinah bertanya kepada adiknya, “Kus, Kus…Bagaimana Kus, pendapatmu, apabila nama kita ini diganti saja?” “Mengapa diganti yu? Apa salahnya kita memakai nama Karsinah dan Kusno?” “Saya rasa Kus, nama kita ini tidak begitu sedap didengar oleh telinga. Ayah kalau memanggil saya, Nah… Karsinah… Nah… Karsinah… Ah, tidak sedap nian di telinga. Dan apabila memanggil engkau: Kusss… Kus… Tikus atau bagaimana engkau itu?” Kusno diam sejenak. Memikirkan usul kakaknya itu, kemudian dia berkata, “Saya pikir-pikir benar juga engkau, yu. Sebenarnya bagi saya sendiri juga tidak senang dipanggil Kus itu. Kus itu singkatan dari Tikus atau bagaimana? Atau singkatan dari… kakus, barangkali. Ah, tidak… saya tidak mau lagi dipanggil Kus. Walau oleh ayah atau ibu sekalipun.” Mereka kemudian menyampaikan rencana mengganti nama kepada ayahnya, Raden Soekemi Sosrodiharjo. Ayahnya menyetujuinya dan menyerahkan kepada mereka untuk memilih sendiri nama yang diinginkan. Namun, ayahnya memberikan syarat: “Nah, hendaknya nama baru itu mulai dengan huruf Jawa KA, sedang permintaanku kepadamu Kus, supaya nama yang akan engkau pilih mulai dengan huruf Jawa SA dan akhirnya huruf NA.” “Tidak pernah ada orang menerangkan mengapa guru Sosro mengajukan syarat yang demikian itu,” tulis Soebagijo. Karsinah memilih nama Karmini, sedangkan Kusno memilih nama Sukarno. “Ayah, nama yang saya pilih Su-kar-no! Sukarno, Pak, seperti nama adipati Awonggo, perwira yang sakti tiada tandingan itu ayah.” “Jadi, mulai saat sekarang ini Kusno sudah tidak ada?” tanya ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai. “Tidak ada, Bu. Yang ada hanyalah Sukarno. Ini, Bu, Sukarno, anakmu laki-laki ini.”*

  • Presiden Sukarno: “Megawati Sukarnaputri bukan Soekarnoputri”

    KERIBUTAN soal tempat lahir Sukarno tampaknya sudah mereda. Tim komunikasi Presiden Joko Widodo telah bertanggung jawab dan meminta maaf atas kesalahan menyebut tempat lahir Sukarno di Blitar, padahal di Surabaya. Namun, bagaimana jika ternyata nama keluarga yang digunakan anak-anak Sukarno tidak sesuai dengan apa yang diberikan dan diinginkan Sukarno. Dalam amanatnya pada Musyawarah Nasional Teknik di Istora Olahraga Senayan Jakarta, 30 September 1965, Sukarno menegaskan: “Saudara-saudara, saya mendidik kepada Guntur, kepada Megawati: He Guntur, engkau harus membantu kepada pembangunan sosialisme. Megawati, engkau harus membantu kepada pembangunan sosialisme. Ayo, tentukan sendiri, engkau mengambil jurusan apa di dalam studimu? Guntur milih teknik! Megawati milih teknik,” kata Sukarno dalam Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Presiden Soekarno 30 September 1965-Pelengkap Nawaksara. Sukarno menegaskan nama keluarga yang diberikannya kepada anak-anaknya: “Guntur Sukarnaputra. He wartawan, kenapa wartawan itu selalu salah tulis. Guntur Soekarnoputra, salah! Sukarnaputra. Begitu pula Megawati Sukarnaputri. Bukan Soekarnoputri, meskipun namaku adalah Sukarno.” Beberapa buku menulis nama keluarga itu Sukarnaputra atau Sukarnaputri. Misalnya, buku Republik Indonesia Volume 5: Djakarta Raya , terbitan resmi Kementerian Penerangan tahun 1957, menyebut Megawati Sukarnaputri. “Di tengah-tengah suatu taman diadakan pelajaran untuk kanak-kanak keluarga Istana dimana tidak ada perbedaan bagi Megawati Sukarnaputri dengan anak si tukang kebun, mereka sama-sama mendapat didikan di suatu tempat yang disediakan.” Menariknya, buku-buku asing terbitan tahun 2000-an juga menulis Megawati Sukarnaputri . Begitu pula dengan Guntur. Buku Pedoman Pokok Pelaksanaan Deklarasi Marhaenis yang diterbitakan DPP Partai Nasional Indonesia tahun 1965, menyebutkan “kemudian pembacaan ikrar oleh Bung Guntur Sukarnaputra . Disusul dengan penyerahan jenis ‘padi Marhaen’ hasil karya saudara Martief Djemain anggota Petani Djawa-Timur kepada Bapak Marhaenisme Bung Karno.” Mengapa Sukarno memilih nama Karna? Karna merupakan pengganti Kusno, nama lahir Sukarno. Sakit-sakitan menjadi alasan bapaknya, Raden Sukemi Sosrodiharjo, mengganti nama Kusno menjadi Karna, anak Batara Surya atau Dewa Matahari dengan Dewi Kunti, yang lahir melalui telinga. Karenanya Karna juga berarti telinga. Karna, kata Raden Sukemi yang mengagumi kisah Mahabarata, adalah pahlawan terbesar dalam Mahabarata, setia pada kawan-kawannya, memiliki keyakinan tanpa mempedulikan akibatnya, dikenal karena keberanian dan kesetiaannya, seorang panglima perang dan pembela negara. “Aku selalu berdoa agar anaku menjadi seorang patriot dan pahlawan besar dari rakyatnya,” kata Raden Sukemi seraya berharap “semoga engkau menjadi Karna yang kedua.” “Nama Karna dan Karno sama saja. Dalam bahasa Jawa huruf A dibaca O. Awalan Su pada kebanyakan nama kami berarti baik, paling baik. Jadi Sukarno berarti pahlawan yang terbaik,” kata Sukarno dalam otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams. Sejak masa sekolah tandatangannya dieja Soekarno, namun setelah Indonesia merdeka Sukarno memerintahkan semua OE ditulis menjadi U. “Nama Soekarno sekarang ditulis menjadi Sukarno,” kata Sukarno. “Tidak mudah bagi seseorang untuk mengubah tandatangan seteah berumur 50 tahun, jadi dalam hal tandatangan aku masih menulis S-O-E .” Sukarno tidak menyebut alasan mengapa dia memberikan nama keluarga Sukarnaputra atau Sukarnaputri. Barangkali, dengan memberikan nama itu, Sukarno seperti halnya bapaknya, Raden Sukemi, mengharapkan anak-anaknya menjadi seorang Karna.*

  • Berpulangnya Sang Penyair Kiri

    SABAR Anantaguna, mantan pimpinan pusat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organ kebudayaan yang kerap dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), mengembuskan nafas terakhir di RS Cipto Mangunkusumo Jumat (18/7), pukul 1.45 WIB. Setelah disalatkan usai salat Jumat di masjid yang berjarak 50 meter dari rumahnya, jasadnya dimakamkan di TPU Duren Sawit, Jakarta Timur. S. Anantaguna lahir di Klaten, Jawa Tengah, 9 Agustus 1930, dengan nama Santoso bin Sutopangarso. Setelah beranjak dewasa, tanpa diketahui alasannya, dia mengganti namanya menjadi Sabar Anantaguna. Dia pernah aktif dalam riuh-rendah masa revolusi Indonesia. Namanya tidak begitu terkenal karena dia memang orang bawah tanah. “Dia pekerja bawah tanah yang baik,” ujar Martin Aleida, mantan wartawan Harian Rakjat yang bertugas meliput di istana presiden periode 1960-an. Martin yang menghadiri prosesi pemakamannya tampak lebih banyak diam, tidak seperti biasanya. Martin bercerita, tahun 1960-an, dirinya pernah sebulan tinggal seatap dengan Anantaguna di ruang belakang perpustakaan PKI. “Dia pendiam,” kata Martin. “Selama tinggal bersama, kami hanya bicara yang penting-penting saja. Walau satu meja saat makan maupun sarapan, kami diam-diaman. Dia baca koran, saya baca koran.” Perpustakaan itu kini menjadi mess Aceh di Menteng, Jakarta. Pasca huru-hara 1965, Anantaguna dipenjara selama 13 tahun (1965-1978) tanpa pernah diadili. Lepas dari penjara Orde Baru, dia kerja serabutan untuk bertahan hidup. Jangankan pimpinan Lekra macam dia, anggota biasa saja dikucilkan dari masyarakat. Anantaguna juga kembali ke identitas kecilnya. Pada 1980, ketika Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengadakan sayembara menulis, dia mengirim naskah berjudul Mewarisi dan Memperbaharui Kebudayaan Nasional. “Naskah itu saya kirim atas nama Santoso,” katanya saat dijumpai di Tebet, 17 Januari 2011, di sela diskusi buku Njoto: Peniup Saksofon di Tengah Prahara. “Eh, menang. Juara satu. Hadiahnya diambil langsung ke P dan K dengan menunjukkan KTP.” Anantaguna berkawan dekat dengan Njoto, salah satu pimpinan tertinggi PKI dan penulis pidato Sukarno. Mereka berkawan sejak kanak-kanak. Hingga dewasa pun mereka masih berkawan. Ketika PKI ulang tahun saat masih berjaya, Anantaguna membuat puisi: Ulangtahun Partaiku / Perasaanku, djuga ulangtahunku . Puisi berjudul “Kepada Partai” ini sangat terkenal pada masanya. Puisi lainnya tentang komunis berjudul “Potret Seorang Komunis”: Adakah duka lebih duka yang kita punya / kawan meninggal dan darahnya kental di pipi / tapi kenangan kesayangan punya tempat dalam hati / Adakah tangis lebih tangis yang kita punya / badan lesu dan napas sendat di dada / tapi hasrat dan kerja berkejaran dalam waktu. Dalam Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia , Pramoedya Ananta Toer menyatakan bahwa sajak “Potret Seorang Komunis” karya Sabar Anantaguna dan “Demokrasi” karya Agam Wispi merupakan prestasi sastra realisme sosialis yang telah mendapatkan bentuk dan pengucapan yang tepat. Menurut penyair Asep Sambodja, Anantaguna adalah salah satu penyair Lekra yang kuat dalam menyampaikan pesan namun tidak kehilangan greget kepenyairannya. Puisi-puisinya merupakan ekspresi dari hasil penyelaman dan penghayatan yang masuk ke lubuk sanubari masyarakat. Dan selalu saja yang menjadi perhatian untuk dibelanya adalah rakyat kecil. “Tidak salah kalau seorang Pramoedya Ananta Toer terpikat dengan puisi-puisi Anantaguna,” tulis Asep dalam blognya (7 November 2009) Puisi Anantaguna kerap dimuat koran Harian Rakjat , organ PKI dengan oplah terbanyak pada 1960-an. Puisinya terangkumdalam kumpulan puisi Yang Bertanah Air Tidak Bertanah (1962), Kecapi Terali Besi (1999), dan Puisi-puisi dari Penjara (2010). Cerita pendeknya, bersama cerpenis A.A. Zubir, Agam Wispi, Sugiarti, dan T. Iskandar A.S. masuk dalam kumpulan cerita pendek Api 26 (1961). Beberapa tahun terakhir ini, Anantaguna yang tidak gampang ditemui menjalin hubungan baik dengan sejumlah anak muda. Terutama yang bergiat di ranah kebudayaan. Dia kerap berpesan, “Berhentilah meratapi masa lalu. Berpikirlah untuk hari ini dan masa depan.” Di pengujung usianya, Anantaguna masih berkarya. Dia menulis puisi dan esai. “Terakhir ke rumahnya baru-baru ini, saya dikasih tiga bundel kumpulan puisi dan kumpulan esai,” ujar Okky Tirto, pendiri komunitas Mata Budaya di pemakaman Anantaguna. “Waktu itu beliau bilang, ‘Bung, karena keterbatasan dana dan fisik, saya tak bisa keluar-masuk perpustakaan. Untungnya saya selalu ikuti berita. Ini jadinya’.” Jika tak ada aral melintang, kumpulan esai berjudul Kebudayaan dan Globalisasi akan terbit akhir tahun ini. Saat mengantar jenazah Anantaguna ke pusara, Okky yang merupakan cicit Tirto Adhi Soerjo, salah satu perintis pers Indonesia, mengirimi puisi berjudul “Kepada Anantaguna” via whatsApp . Begini cuplikannya: Penyair mati sisakan puisi / Apa guna sajak bicara sendiri.

  • Sukarno Meninggal Dunia

    PADA 21 Juni 1970, Presiden Sukarno mengebuskan napas terakhirnya. Di pengujung hidupnya, dia jalani dengan memilukan. Setelah dijatuhkan pada Maret 1967 dengan naiknya Jenderal Soeharto menjadi presiden, Sukarno menjadi tahanan rumah di Istana Bogor, kemudian dipindahkan ke Wisma Yaso di Jakarta (Sekarang Museum Satria Mandala). Jusuf Wanandi, mantan aktivis KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), menyebut bahwa beberapa oknum dari intelijen Kopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) yang ingin membuktikan keterlibatan Sukarno dalam gerakan makar PKI (mungkin tanpa perintah Soeharto) menetapkan Bung Karno berstatus tahanan rumah, sementara penyelidikan berlangsung. “Laporan resmi pemeriksaan ini tidak pernah dikeluarkan,” katanya dalam Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1998 . Sukarno dikucilkan dari rakyatnya di Wisma Yaso sejak pengujung Desember 1967. “Bahkan, keluarga dan kerabatnya pun sulit menemui Bung Karno. Untuk membesuk Bung Karno, mereka harus mendapat izin lebih dulu dari otoritas yang berwenang,” tulis sejarawan Bob Hering dalam Soekarno Arsitek Bangsa . Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta dua periode (1966-1977), pernah menengok Sukarno di Wisma Yaso, mengungkapkan “keadaan tempat tinggal itu kotor, kotor sekali. Kebunnya tidak diurus. Di dalam ruangan di rumah itu debu di mana-mana. Padahal Bung Karno sangat menyukai kebersihan, sangat tidak senang dengan kekotoran. Jangankan pada kekotoran yang begitu tampak dan bertumpuk, debu sedikit pun tidak beliau senangi. Beliau sangat teliti, mencintai keindahan dan kebersihan.” “Saya menjadi amat sedih. Pikiran saya, kok, mengapa tega-teganya orang terhadap beliau, sampai beliau –pemimpin bangsa itu– diperlakukan seperti itu. Saya yakin, beliau pasti menderita. Apakah itu disengaja? Masa’ ada yang sengaja berbuat begitu?” kata Ali dalam Membenahi Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi karya Ramadhan KH. Sesudah jatuh sakit selama waktu singkat dan tanpa perawatan yang baik, Sukarno meninggal pada pukul tujuh pagi, 21 Juni 1970. Dia dalam otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams, berwasiat agar dimakamkan “di bawah pohon yang rindang, dikelilingi oleh alam yang indah, di samping sebuah sungai dengan udara segar dan pemandangan bagus. Aku ingin beristirahat di antara bukit yang berombak-ombak dan di tengah ketenangan. Benar-benar keindahan dari tanah airku yang tercinta dan kesederhanaan darimana aku berasal. Dan aku ingin rumahku yang terakhir ini terletak di daerah Priangan yang sejuk, bergunung-gunung dan subur, di mana aku pertama kali bertemu dengan petani Marhaen.” Selain itu, menurut sejarawan Asvi Warman Adam, sahabat Sukarno, Masagung dalam buku Wasiat Bung Karno (yang baru tebit tahun 1998) mengungkapkan bahwa Sukarno telah menulis semacam wasiat, masing-masing dua kali, kepada istrinya Hartini (16 September 1964 dan 24 Mei 1965) dan Ratna Sari Dewi (20 Maret 1961 dan 6 Juni 1962). “Di dalam salah satu wasiat itu dicantumkan tempat makam Bung Karno, yakni di bawah kebun nan rindang di Kebun Raya Bogor,” tulis Asvi dalam Bung Karno Dibunuh Tiga Kali . Namun, Presiden Soeharto dalam otobiografinya menyatakan bahwa sebelum memutuskan tempat pemakaman Sukarno, dia mengundang para pemimpin partai dan pelbagai tokoh masyarakat. “Jelas, Soeharto menganggap ini masalah politik yang cukup pelik. Jadi, pemakaman tidak ditentukan oleh keluarga, tetapi melalui petimbangan elite politik,” tulis Asvi. Soeharto pun memutuskan untuk memakamkan Sukarno di Blitar, di samping makam ibunya, pada 22 Juni 1970. Pemakaman di Blitar itu dilaksanakan berdasarkan Keputusan Presiden No. 44 Tahun 1970 tertanggal 21 Juni 1970. Menurut Jusuf Wanandi, Soeharto mengingkari pesan akhir Sukarno yang ingin dikubur di bawah pohon yang rindang di Istana Bogor. Tapi itu akan menempatkan makamnya terlalu dekat dengan Jakarta dan dapat dipolitisasi oleh para pendukungnya. “Sekali lagi kita menyaksikan kehebatan Soeharto dengan nalurinya untuk tetap berjaya,” kata Jusuf Wanandi.*

  • Samaun Bakri, Utusan dan Kepercayaan Sukarno

    SETELAH bebas dari pengasingannya di Bengkulu, Sukarno bersama istrinya, Inggir Garnasih, tiba di Jakarta pada 9 Juli 1942. Dia meninggalkan kekasihnya: Fatmawati. Dia lalu mengirimkan pesan atau bingkisan untuk Fatmawati melalui utusannya: Samaun Bakri. Samaun bersama Abdul Karim Oey dan dr. Djamil mengurus pernikahan Fatmawati dengan Sukarno yang diwakilkan teman dekatnya, opseter (pengawas) Sarjono, pada 1 Juni 1943. Samaun kemudian membawa Fatmawati dan orangtuanya ke Jakarta. “Rombongan kami terdiri dari ayah, ibu, saudara Samaun Bakri (utusan Bung Karno), paman ibuku Moh. Kancil (penjahit pakaian Bung Karno waktu di Bengkulu) dan aku sendiri,” kata Fatmawati dalam Catatan Kecil Bersama Bung Karno Volume 1 . Siapa Samaun Bakri? Samaun lahir pada 28 April 1908 di Nagari Kurai Taji, Sumatra Barat, dari pasangan Bagindo Abu Bakar dan Siti Syarifah. Samaun mengenyam pendidikan Vervolgschool setara sekolah menengah pertama, Sumatra Thawalib di Padang Panjang, kursus-kursus politik, dan bahasa asing. Awal tahun 1926 dia bekerja di kantor residen Padang. Namun, baru beberapa bulan bekerja dia keluar karena tak terima dengan keangkuhan orang Belanda. Samaun memilih jalan pergerakan. Sedari muda, dia pernah menjadi anggota Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Persatuan Muslim Indonesia (Permi). Ketika partai-partai pergerakan dibubarkan pemerintah kolonial, dia bergabung dengan Muhammadiyah. Pada 1929, dia menjadi wartawan suratkabar Persamaan . Melalui harian ini, dia mengkritik pemerintah kolonial, seperti kontrolir Pariaman, Spits. Sehingga, Spits melalui kepala Nagari Kurai Taji, Moehammad Noer Majolelo, mengusir Samaun. Majolelo, yang masih keluarganya, membekali Samaun tujuh ringgit. “Samaun, sebenarnya kau terlalu besar, sedang daerah ini terlalu kecil untuk perkembangan bakatmu. Lebih baik kau pergi ke kota besar. Ini uang sekadar biaya. Pergilah! Saya aman dari semburan Spits dan kau bisa berkembang, mungkin nanti kau jadi orang besar,” kata Majolelo, seperti ditirukan Fuad S. Bakri, anak Samaun Bakri, kepada Historia . Baru-baru ini Fuad dan Teguh Wiyono menerbitkan biografi Samaun Bakri Sang Jurnalis & Misteri Jatuhnya RI-002. Samaun bersama Siti Maryam (istri ketiganya) dan Abdul Muis (anak dari istri pertama) pergi ke Medan. Tak lama kemudian dia pergi ke Bengkulu. Di sini dia aktif di Muhammadiyah dan sebagai wartawan suratkabar Sasaran . Karena dibredel pemerintah kolonial, dia mendirikan suratkabar Penabur . Samaun memimpin penyambutan Sukarno, yang dipindahkan dari tempat pengasingan Ende ke Bengkulu, pada 14 Februari 1938. Di Bengkulu, Samaun berteman akrab dengan Sukarno. “Dia pernah menjadi wakil majelis pemuda Muhammadiyah daerah Bengkulu. Dia jadi kurir Bung Karno. Di Jakarta dia dekat dengan Bung Karno dan menjadi orang kepercayaan Presiden,” kata Abdul Karim Oey dalam Mengabdi Agama, Nusa dan Bangsa, Sahabat Karib Bung Karno . Pada masa pendudukan Jepang, Samaun menjadi pembantu KH Mas Mansyur, salah seorang dari Empat Serangkai (bersama Sukarno, Mohammad Hatta, dan Ki Hajar Dewantara) yang memimpin Pusat Tenaga Rakyat (Putera), organisasi bentukan Jepang. Dia juga menjadi anggota Jawa Hokokai . Samaun bersama golongan muda seperti Sayuti Melik, BM Diah, Adam Malik, dan Sukarni menjadi saksi perumusan naskah proklamasi kemerdekaan. Pascakemerdekaan, Samaun menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mewakili Jawa Barat plus anggota Badan Pekerja KNIP. Dia juga sempat menjadi pembantu Walikota Jakarta Soewirjo. Ketika Sekutu datang, Samaun dan keluarga meninggalkan tempat tinggalnya sejak pendudukan Jepang di Jalan Maluku No 5 Menteng, Jakarta, dan pergi ke Jawa Barat. Dia menjadi sekretaris penjabat Gubernur Jawa Barat Mr Datuk Djamin merangkap anggota Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MP3) yang memutuskan membumihanguskan kota Bandung pada 23 Maret 1946. Untuk mengenang peristiwa yang dikenal sebagai Bandung Lautan Api itu, Samaun menulis buku Setahoen Peristiwa Bandoeng . Dari Jawa Barat, Samaun diangkat menjadi wakil residen Banten pada 1947. Dia ditugaskan pemerintah pusat di Yogyakarta mengangkut 20 kg emas dari tambang emas Cikotok untuk membeli pesawat. Emas tersebut diangkut dengan pesawat Dakota RI-002 milik Bobby Earl Freeberg. Pesawat lepas landas dari lapangan udara Gorda, Serang, menuju Tanjung Karang Lampung. Namun, dari Tanjung Karang menuju Bukittinggi, pesawat hilang kontak pada 1 Oktober 1948.  Reruntuhan pesawat baru ditemukan pada 14 April 1978 di bukit Punggur, Lampung. Kerangka Samaun bersama empat awak pesawat lainnya –anehnya kerangka Bob Freeberg tidak ada– dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Tanjung Karang pada 29 Juli 1978. Samaun menerima penghargaan Bintang Mahaputera Utama dari pemerintah Indonesia tahun 2002.*

bottom of page