Hasil pencarian
9572 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Bataviase Nouvelles, Pertama Terbit Pertama Diberedel
JAN Pieterszoon Coen memerintahkan anak buahnya membuat lembaran berita internal. Empat halaman kertas folio ditulis tangan. Isinya berita ringkas kegiatan perdagangan serta kedatangan dan keberangkatan kapal-kapal niaga, baik di Batavia maupun di berbagai factorijen , pos-pos perdagangan Belanda. Gubernur Jenderal keempat Serikat Dagang Hindia Timur atau VOC (1617-1623) tersebut menamai lembaran berita itu Memorie der Nouvelles . “ Memorie diedarkan di kalangan pejabat dan pegawai kompeni setelah melalui proses pemeriksaan,” ungkap F. de Haan, sejarawan kolonial penulis buku Oud Batavia . Karena prosesnya manual, oplah “surat kabar” yang coba-coba dirintis Coen itu tentu sangat terbatas. Andai saja saat itu sudah ada mesin mungkin akan lain ceritanya, mengingat sejarah pers berpaut dengan keberadaan mesin cetak. Mesin cetak baru masuk ke Hindia Timur pada 1668, ada juga yang menyebut 1659. Yang terakhir merujuk laporan Niehoff dalam Zae en Lantreise, dilansir dari Seabad Pers Kebangsaan 1907-2007 karya Agung Dwi Hartanto. Mulanya mesin cetak hanya untuk menggandakan laporan-laporan VOC terkait negeri jajahan. Istilahnya bookbinder . Pada masa mesin cetak inilah Jan Erdman Jordens punya gagasan menerbitkan koran yang jauh lebih modern dibanding Memorie . Pegawai VOC yang punya bisnis kecil-kecilan itu pun menyampaikan idenya ke Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff. Gayung bersambut. Pendek kisah, 7 Agustus 1744, edisi perdana Bataviase Nouvelles terbit empat halaman. Dicetak dalam layout dua kolom. Ukurannya sedikit lebih besar daripada folio. Bataviase merujuk pada sebutan untuk orang-orang Batavia, mereka yang hidup di Batavia dan mereka yang berselera Batavia. Istilah Bataviase ini, mengingatkan kita pada istilah Parisian untuk orang-orang Paris, New Yorker untuk orang-orang New York atau Berliner untuk orang-orang Berlin. Sedangkan Nouvelles serupa dengan news . Kurang lebih artinya berita baru. Koran pertama di negeri yang hari ini bernama Indonesia itu, “terbit seminggu sekali. Tapi Jordens punya angan menjadikannya harian,” tulis Kasijanto Sastrodinomo dalam “Media dan Monopoli Dagang, Percetakan dan Penerbitan di Indonesia Pada Masa VOC,” jurnal Wacana, Vol. 10 No. 2, Oktober 2008. Mula-mula beritanya hanya seputar perdagangan dan tetek bengek VOC. Mulai dari berbagai ketentuan administrasi, kedatangan kapal, pengangkatan dan pemberhentian pejabat hingga pemecatan dan kematian pegawai kantor dagang itu. Sebagai koran dagang, Batavise Nouvelles memenuhi sebagian besar halamannnya dengan iklan dan berita lelang. Kemudian tentang pesta-pesta, jamuan, obituari dan doa-doa keselamatan bagi kapal yang akan berlayar jauh menyeberang ke negeri induk. “Dalam beberapa edisi, koran itu juga menerbitkan karangan tentang sejarah awal koloni, dan sejarah gereja secara singkat. Semacam feature yang banyak ditulis dalam media sekarang,” tulis Kasijanto. Karena mendapat sambutan hangat dari masyarakat Batavia, pada 9 Februari 1745 surat izin usaha Bataviase Nouvelles diperpanjang hingga tiga tahun ke depan. Namun, lain lubuk memang lain pula ikannya. De Heeren Zeventien (Tuan-tuan XVII, yakni 17 anggota Dewan Direktur VOC) di Amsterdam, Belanda, khawatir koran itu akan membuka informasi yang sifatnya “rahasia.” Maka, melalui sepucuk surat bertanggal 20 November 1745, De Heeren Zeventien meminta van Imhoff memberedel Bataviase Nouvelles . Gubernur Jenderal VOC ke-27 itu pun terkejut. Jordens tak kalah kaget, mengingat selama ini berita-berita di koran itu tak pernah mengkritisi VOC. Akan tetapi, van Imhoff tak kuasa melawan perintah atasan. Sejak 20 Juni 1746, Bataviase Nouvelles tidak lagi menjadi bagian dari sarapan pagi masyarakat Batavia.
- Menyapa Fans Sepak Bola di Negeri Seberang
PULUHAN ribu pendukung tim sepak bola Juventus memadati stadion Gelora Bung Karno, 6 Agustus 2014. Mereka menyaksikan pertandingan tim kesayangannya melawan Indonesian Super League All-Star, tim gabungan dari liga sepak bola tertinggi di Indonesia. Juventus menang telak 8-1. Sejak kompetisi amatir bergulir, klub-klub Eropa telah melakukan tur antarbenua. Tercatat Corinthians FC, klub sepak bola amatir dari Inggris melakukan tur ke Afrika Selatan pada 1897. Corinthians melaksanakan 23 pertandingan. Sekira 5000 penonton menyaksikan langsung pertandingan pertama di stadion Wanderers Ground, Johannessburg. Semua biaya tur ditanggung Asosiasi Sepak Bola Afrika Selatan (SAFA). “Tur tersebut merupakan keberhasilan besar dan dicatat sebagai saat pertama kalinya tim Inggris bermain di luar Eropa. Corinthians memenangkan 23 pertandingan mereka, melesakkan 113 gol dan hanya kemasukan 15,” tulis J.A. Margan, “Missing men: schoolmasters and the early years of Association Football,” tercantum dalam Football: From England to the World karya Dolores P. Martinez dan Projit B. Mukharji. Kepopuleran Football League, liga sepak bola profesional di Inggris, pada awal abad ke-20 berbuah untung. Asosiasi Sepak bola Inggris (FA) menerima tawaran dari Argentina dan Uruguay untuk mengirimkan klub terbaiknya dalam serangkaian tur uji coba melawan klub-klub lokal. Everton dari Divisi Pertama dan Tottenham Hotspur dari Divisi Kedua dipilih untuk berangkat ke Amerika Selatan. Saat itu, tur lintas benua adalah perjalanan berat. Dibutuhkan waktu enam minggu di perjalanan pulang-pergi dan 20 hari menjalani serangkaian pertandingan. Dana perjalanan ditanggung asosiasi sepak bola Argentina dan Uruguay, berupa tiket kapal kelas satu dan hotel tempat pemain menginap. Kedua tim berangkat menumpang kapal RMS Aruguaya jurusan Southampton-Buenos Aires pada 14 Mei 1909. Pada 5 Juni 1909, tak lama setelah kedua tim mendarat di Buenos Aires, Everton dan Tottenham saling beruji coba, yang akhirnya tercatat sebagai pertandingan sepakbola profesional pertama di Amerika Selatan. Pertandingan yang dihadiri oleh 10.000 penonton tersebut berakhir dengan skor imbang 2-2. Di pertandingan selanjutnya, kedua tim memenangkan hampir semua pertandingan dengan menghibur. Namun ada juga luapan kemarahan dari suporter lokal ketika timnya, Alumni, dibantai Tottenham 5-0. “Mereka (pemain Tottenham) dilempari batu, bahkan seorang fans menyerang pemain dengan sebuah payung,” tulis Bill Murray dalam The World’s Game: A History of Soccer . Di Indonesia, pangsa sepakbola tidak kalah ramainya. Klub asing pertama yang datang ke Indonesia adalah Sino Malay asal Singapura pada 1951, yang disambut dengan debut timnas Indonesia dalam pertandingan yang berakhir 6-0. Tahun-tahun berikutnya tim-tim lain dari Asia dan Eropa pun berdatangan, di antaranya Aryan Gymkhana India (1952), Manila Interport Filipina (1953). G.A.K. Graz Austria (1954), dan masih banyak lagi. Bahkan timnas Indonesia juga sempat melakukan tur Eropa Timur untuk pemanasan menghadapi Olimpiade Melbourne 1956 dengan rute Rusia, Yugoslavia, Jerman Timur, dan Cekoslovakia. Banyak cerita dari kunjungan klub-klub asing ke Indonesia. Mulai dari euforia, suka cita sampai benturan antarbudaya sepakbola. Contohnya pada kunjungan AC Milan pada 1994. Ketika kali pertama melihat stadion Tambaksari, Surabaya yang akan menjadi tempat bertanding, Fabio Capello sang pelatih sempat terheran-heran dengan tumbuhnya pohon-pohon besar yang menutupi tribun. AC Milan menang atas Surabaya Selection 4-1, meski pemainnya kepayahan karena bermain di siang hari dengan cuaca panas; masalah yang dihadapi oleh setiap pemain tim-tim Eropa saat melawat ke Indonesia.
- Tomegoro Yoshizumi, Intel Negeri Sakura
SUKARNO menghormati dua tentara Jepang yang berjuang untuk Indonesia. Selain Ichiki Tatsuo, seorang lainnya adalah Tomegoro Yoshizumi. Yoshizumi lahir di Oizumi-Mura Nishitagawa pada 1911. Ketika berusia 21 tahun, dia menjadi satu dari sekian banyak spion militer Jepang yang dikirim ke Selatan (Hindia Belanda). Kala itu, Jepang mengirim banyak spionnya ke berbagai negeri untuk berbagai tujuan, yang tak melulu politik dan militer. “Sejak membuka diri, Jepang memaksimalkan kerja-kerja spionase untuk memakmurkan bangsanya,” tulis Wenri Wanhar, wartawan Historia , dalam bukunya, Jejak Intel Jepang: Kisah Pembelotan Tomegoro Yoshizumi . Para spion Jepang itu menyamar dengan menjalankan beragam profesi, dari pengusaha warung kelontong hingga rumah bordil. Yoshizumi menyamar sebagai pekerja di Toko San’yo, toko milik salah seorang familinya. Setelah itu, dia terjun berbisnis dan berhasil menjadi saudagar. Dia membangun relasi dengan banyak orang, baik di Jawa maupun luar Jawa seperti di Sulawesi. Pada 1935, Yoshizumi melakoni peran sebagai wartawan di Nichiran Shogyo Shinbun . Selain memberitakan kemenangan Jepang atas Rusia pada 1905, koran ini gencar mengkampanyekan jargon “Asia untuk Asia” dan “Jepang saudara tua”, sehingga menuai respons keras dari pemerintah Hindia Belanda. Melalui tulisannya di Tohindo Nippo, koran hasil fusi Nichiran Shogyo Shinbun dan Jawa Nippo , Yoshizumi menggalang persatuan orang-orang Jepang di Hindia Belanda. Awal 1941, Yoshizumi, redaktur Tohindo Nippo , dideportasi Pemerintah Hindia Belanda karena aktivitas jurnalismenya. Di Jepang, dia menjalin koordinasi dengan Kaigun atau Angkatan Laut Jepang. Dia lalu dipekerjakan untuk mengamati dan ikut operasi di Selatan, termasuk Indonesia. Yoshizumi ditangkap pemerintah Hindia Belanda sehari setelah Jepang menyerbu Pearl Harbor di Hawaii, 8 Desember 1941. Dia menjalani penahanan yang berat di Australia. Namun, penahanan tersebut membuatnya berubah 180 derajat. Hal itu dikatakan sendiri oleh Nishijima, sahabat Yoshizumi. “Yoshizumi yang sebelumnya seorang sayap kanan nasionalis Jepang yang antikomunis menjadi seorang Marxis,” tulis Wenri. Idealisme kiri itulah yang kemudian membuatnya bersimpati terhadap gerakan kemerdekaan Indonesia dan membawanya menjadi satu dari beberapa tokoh kunci Jepang yang membantu mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Yoshizumi, ketika mengepalai bagian intelijen Kaigun Bukanfu (kantor penghubung AL Jepang), aktif membangun jaringan dan merancang gerakan bawah tanah. Pertemuan Yoshizumi –dan Nishijima– dengan Tan Malaka di rumah Ahmad Subardjo tak lama setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus membuatnya melangkah lebih besar dalam berjuang. “Pendek kisah, dua orang Jepang itu minta dibaiat menjadi Indonesia,” tulis Wenri. Tan Malaka memberi nama Indonesia “Hakim” untuk Nishijima dan “Arif” untuk Yoshizumi. Yoshizumi melibatkan diri dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Mula-mula dia mencuri barang-barang di gudang Markas Besar Kaigun Bukanfu lalu menjualnya di pasar gelap. Uang hasil penjualan diberikan kepada Tan Malaka untuk dana perang gerilya. Yoshizumi juga menemani Tan Malaka ke Banten. Dari Banten, dia pergi ke Surabaya. Dia menjalin kontak dengan Affandi, pemimpin serikat buruh PAL, galangan kapal di daerah Ujung, Surabaya. Kepada Affandi, dia memberi masukan soal pendirian pabrik senjata di Mojopanggung, Blitar, dan Kediri. Tomegoro Yoshizumi gugur pada 10 Agustus 1948 di Blitar, Jawa Timur ketika bergerilya mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kini, makamnya bisa dijumpai di Taman Makam Pahlawan, Blitar, Jawa Timur.
- Inilah Daftar Kekejaman Raja-raja di Nusantara
SEJARAH kerajaan di Nusantara tidak hanya berisi catatan soal kebesaran dan jatuh bangunnya raja-raja mereka. Tidak semua raja-raja tersebut mampu berlaku adil dan bijaksana. Kekuasaan absolut menjadi ajang mempertunjukkan kelaliman. Berikut ini raja-raja dan kekejamannya yang pernah tercatat dalam sejarah Nusantara. Kertajaya Memaksa Brahmana untuk Menyembahnya Raja Kediri Kertajaya alias Dangdang Gendis (memerintah 1194-1222) menyatakan diri sebagai dewa dan memerintahkan rakyat dan para pemuka agama menyembahnya. Kelakuannya tak seperti leluhurnya, Airlangga, pendiri kerajaan Kahuripan, yang terkenal karena toleransi beragama antara Budha dan Hindu. Tak terima kelaliman Kertajaya, banyak kaum brahmana melarikan diri. “Para brahmana yang berpengaruh lari ke timur untuk beraliansi dengan Ken Arok, perebut tahta dari Janggala,” tulis Ann R. Kinney dalam Worshipping Siva and Buddha: The Temple Art of East Java . Perang besar terjadi pada 1222, pasukan Kertajaya kalah. Ken Arok lalu mendirikan Kerajaan Singasari sembari meneruskan tradisi toleransi beragama Kediri. Kertanegara Mengiris Telinga Duta Mongol Tahun 1289, datanglah rombongan utusan Kubilai Khan dari Tiongkok ke tanah Jawa untuk menemui raja Singasari, Kertanegara (memerintah 1268-1292). Utusan itu meminta upeti dari Jawa sebagai bukti tunduk. Salah satu dari mereka, Meng Khi, menghadap raja. Sebagai jawabannya kepada Kubilai Khan, Kertanegara memotong telinga dan hidung Meng Khi dan mengusir rombongan itu pulang. Tak terima, pada 1292 Kubilai Khan mengirim ekspedisi ke Jawa dengan seribu kapal dan 20.000 prajurit untuk menghukum Singasari. Namun Kertanegara keburu dibunuh oleh bawahannya dari Kediri, Jayakatwang. La Pateddungi Memperkosa Rakyatnya Kerajaan Wajo adalah kerajaan orang-orang Bugis yang berdiri pada pertengahan abad ke-15 di Sulawesi Selatan. Tiga kelompok besar di Wajo, Battempola, Talo’tenreng, dan Tua’ mengadakan pertemuan untuk memilih raja mereka, yang kemudian diberi gelar Batara Wajo. Batara Wajo I (La Tenribali) dan Batara Wajo II (La Mataesso) memerintah kerajaan dengan baik, tetapi tidak dengan Batara Wajo III, La Pateddungi (1466-1469). La Pateddungi terkenal suka melakukan perbuatan biadab. Dia senang berkeliling kerajaan dan mengambil istri dan anak perempuan rakyatnya untuk diperkosa. “La Pateddungi to Samallangik, dilukiskan sebagai raja yang kejam, gemar memperkosa istri dan anak gadis rakyatnya, tidak mau mendengar nasihat, dan oleh karena itu dia dipecat, diusir keluar Wajo lalu kemudian dibunuh,” tulis Edi Sedyawati dalam Sejarah Indonesia: Penilaian Kembali Karya Utama Sejarawan Asing . Iskandar Muda dan Hukuman Kerasnya Augustin de Beaulieu, pelaut Prancis yang sempat menetap di Aceh pada masa Iskandar Muda (memerintah 1607-1636), mengungkapkan kekejaman Sultan Iskandar Muda. “Sang penguasa ini memang amat kejam karena saya berani bilang bahwa sejak saya berada di sana tak sehari pun lewat tanpa dia membunuh seseorang dan terkadang beberapa orang, dan dia tidak memberitahu siapa pun mengenai rencananya dan juga tidak minta saran orang lain,” kata Augustin de Beaulieu, dalam Orang Indonesia dan Orang Prancis: Dari Abad XVI Sampai Dengan Abad XX karya Bernard Dorleans. Sultan Iskandar Muda menerapkan hukuman yang keras kepada para penjahat di Aceh untuk menegakkan wibawa dan kuasa raja yang di masa-masa sebelumnya kerap dikendalikan oleh kaum uleebalang (bangsawan). Mulai dari pemotongan anggota tubuh seperti telinga, bibir, hidung, kaki dan tangan; diinjak gajah sampai mati; menjepit dengan dua batang kayu yang dibelah; menumbuk kepala orang, dan lain-lain. Beberapa dokumen dari sumber-sumber asing seperti yang tercantum di Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) karya Denys Lombard bahkan menyebutkan Iskandar Muda pernah membunuh bayi dengan cara menghantamnya ke dinding karena bayi itu tak berhenti menangis. Dan bagaimana dia senang mandi darah para terhukum mati untuk melindungi diri dari penyakit. Meski begitu, watak kejamnya ini diimbangi dengan sistem pemerintahannya yang efektif. Aceh menjadi kekuatan dominan di Sumatera dan warisan kekuatan militer besar yang dihimpunnya menjadi penantang utama laju dominasi Portugis di Semenanjung Malaya selama abad ke-17. Sultan Agung Memenggal Prajuritnya Raja Mataram, Sultan Agung (memerintah 1613-1645) memutuskan untuk menyerang Batavia pada 1628 sebagai bagian dari rencana politik ekspansionisnya di Jawa. Pasukan Jawa berkali-kali menyerang benteng dan berulang kali juga mereka gagal. Selama 30 hari ribuan prajurit Jawa juga mencoba membendung sungai Ciliwung untuk membuat pasukan Belanda kehausan, usaha ini juga gagal. Dalam sebuah pertempuran besar di dekat benteng, pasukan Belanda berhasil mengalahkan pasukan Mataram. Pasukan Mataram akhirnya dipukul mundur, namun hanya setelah Sultan Agung mengirimkan sepasukan algojonya untuk memenggal kepala kedua panglima pemimpin penyerbuan, Tumenggung Bahureksa dan Pangeran Mandurareja, beserta prajuritnya karena telah gagal merebut Batavia. “VOC menemukan 744 mayat prajurit Jawa yang tidak dikuburkan, beberapa di antaranya tanpa kepala,” tulis M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 . Serangan kedua terjadi pada 1629, kali ini dipimpin Dipati Ukur. Sekali lagi, pasukan Mataram dipukul mundur. Belajar dari pengalaman kegagalan panglima sebelumnya, Dipati Ukur akhirnya memutuskan untuk memberontak karena tahu hukuman penggal dari sang sultan tengah menantinya. Amangkurat I Membantai Ulama Tahta Mataram kembali mengalirkan darah pada masa Amangkurat I (1646-1676). Dia memindahkan pusat pemerintahan Mataram ke Plered dari Karta. Dia kerap terlibat perselisihan tahta, dimulai dengan saudaranya sendiri, Pangeran Alit, yang akhirnya dia bunuh untuk memuluskan jalan menaiki tahta Mataram. Namun tindakannya yang paling kejam adalah ketika dia membantai kaum ulama karena dianggap berkonspirasi dengan mendiang saudaranya untuk merebut tahta. Dia membuat daftar para ulama beserta keluarga mereka untuk dikumpulkan, lalu dibantai di alun-alun Plered. Pembantaian ini terjadi tahun 1647. “Dan dalam waktu setengah jam, tidak kurang dari lima sampai enam ribu orang dibantai. Van Goens (utusan VOC untuk Mataram) yang waktu itu berada di Plered, melihat dengan mata sendiri mayat-mayat yang bergeletakan di jalanan,” tulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya Jilid II . Masa pemerintahan Amangkurat I memang penuh huru-hara. Pada 1677, Plered diduduki oleh pasukan Trunojoyo dari Madura yang memberontak, yang akhirnya memberikan celah masuk bagi VOC ke dalam politik istana Mataram. Berkat VOC, pemberontakan berhasil ditumpas namun kedaulatan Mataram kian lama jadi kian terkikis.
- Empat Karya Seni Terinspirasi Peristiwa Bandung Lautan Api
Bandung Lautan Api pada 24 Maret 1946 menjadi peristiwa penting dalam sejarah revolusi kemerdekaan Indonesia. Ia menginspirasi para seniman dalam karya-karyanya. Berikut ini empat karya mereka: Lagu Ismail Marzuki yang ikut mengungsi menciptakan beberapa lagu: Saputangan dari Bandung Selatan , Karangan Bunga dari Selatan , O, Angin Sampaikan Salamku , dan Gugur Bunga. Lagunya yang terkenal dan kontroversial adalah Halo-halo Bandung . Menurut J.A Dungga dan L. Manik dalam Musik di Indonesia dan Beberrapa Persoalannja, Halo-halo Bandung merupakan lagi mars yang melodi dan harmoni bagian pertamanya hampir sama dengan melodi dan harmoni dari kalimat-kalimat lagu When It’s Springtime in the Rockies karya Robert Sauer dan Mary Haley Woolsey. Kritikus musik, Remy Sylado, bahkan menuding lagu itu bukan ciptaan Ismail Marzuki, tetapi ciptaan L. Tobing, prajurit Divisi Siliwangi yang dinyanyikannya dalam long march pada 19 Desember 1948. Film Bapak Film Nasional, Usmar Ismail membuat film dokudrama Toha Pahlawan Bandung Selatan (1962). Toha diperankan oleh Ismed M. Noor dengan kekasihnya dimainkan Mieke Widjaya. Film ini berkisah mengenai kepahlawanan Mohammad Toha, yang memimpin regu untuk menyabotase gudang mesiu Belanda di seberang Sungai Citarum. Toha yang diduga terkena tembakan bertekad memasuki dan meledakkan gudang mesiu Belanda. 20 tentara Belanda tewas. Toha sendiri, menurut Her Suganda dalam Wisata Parijs van Java , yang tersisa hanya sepotong tubuh mulai dari pinggang hingga kaki dalam keadaan terbakar. Film lainnya adalah Perawan di Sektor Selatan (1972) dan Bandung Lautan Api (1975) besutan sutradara Alam Rengga Surawijaja. Perawan di Sektor Selatan berkisah tentang perempuan Indo, Laura (Farida Sjuman Djaya), menjadi spion Belanda untuk balas dendam kematian orangtuanya oleh kaum Republiken. Dia diselundupkan ke dalam pasukan Kapten Wira (Kusno Sudjarwadi) di Sektor Selatan. Dengan kelihaiannya dia berhasil mengacaubalaukan para gerilyawan, meskipun akhirnya penyamarannya sebagai Patimah, kakak perempuan seorang anggota gerilya, terbongkar. Menurut Salim Said dalam Pantulan Layar Putih , dengan tidak melupakan dialog-dialognya yang sebagian besar sloganistis serta adegan kematian Laura yang agak diromantisir, “harus diakui bahwa cerita yang sederhana itu telah dituangkan ke dalam skenario yang cukup memikat oleh Alam.” Bandung Lautan Api diproduksi oleh Kodam Siliwangi untuk mengungkapkan kembali apa yang sebenarnya terjadi masa revolusi di Bandung. Film ini setengah dokumenter, sisanya khayalan. Hasilnya, menurut Salim Said, Alam terpaksa tidak sanggup mengimbangi film Perawan di Sektor Selatan . Untungnya, Misbach Jusa Biran menulis skenarionya dengan rapi, sehingga pemunculan pelaku sejarah seperti A.H. Nasution, Aruji Kartawinata, Sutoko, dan lain-lain, berjalan paralel dengan tokoh-tokoh fiktif: Hidayat (Dicky Zulkarnaen), Nani (Christine Hakim), Priyatna (Arman Effendy), dan Jarot (Rofie Prabanca). Film ini tetap menarik untuk ditonton, terutama bagi mereka yang masih berminat mengintip sejarah Bandung dan Siliwangi di masa revolusi. Lukisan Maestro perupa Indonesia, Hendra Gunawan, dikenal karena penggambarannya yang kuat tentang kehidupan sehari-hari rakyat Indonesia. Dia melukis wanita mandi, digigit kepiting, masak bekicot, ngamen ular, pedagang buah, pedagang ikan, dan lain-lain. Lukisan yang menggambarkan peristiwa sejarah adalah “Bandung Lautan Api” yang dilukisnya pada 1972. Pria kelahiran Bandung, 11 Juni 1918 ini, menggambarkan orang-orang berlari mendaki, sembari membopong anak, untuk menyelamatkan diri. Warna merah bermakna api yang berkobar dan darah yang menggenangi orang yang menjadi korban. Puisi Bagaimana mungkin kita bernegara/Bila tidak mampu mempertahankan wilayahnya/Bagaimana mungkin kita berbangsa/Bila tidak mampu mempertahankan kepastian hidup/bersama?/Itulah sebabnya/Kami tidak ikhlas/menyerahkan Bandung kepada tentara Inggris/dan akhirnya kami bumi hanguskan kota tercinta itu/sehingga menjadi lautan api… Demikian petikan awal puisi Sajak Seorang Tua Tentang Bandung Lautan Api karya penyair W.S. Rendra. Puisi yang cukup panjang ini dibuat oleh Si Burung Merak pada 1987. Orangtua dalam sajak ini yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, mendapati zaman telah berubah. Dia tersentak dan bertanya-tanya: “Kini aku sudah tua/Aku terjaga dari tidurku/di tengah malam di pegunungan/Bau apakah yang tercium olehku?/Apakah ini bau asam medan laga tempo dulu/yang dibawa oleh mimpi kepadaku?/Ataukah ini bau limbah pencemaran?/Gemuruh apakah yang aku dengar ini?/Apakah ini deru perjuangan masa silam/di tanah periangan?/Ataukah gaduh hidup yang rusuh/karena dikhianati dewa keadilan.
- Sarekat Djin Melawan Belanda
BULAN puasa 1926 orang-orang dari kalangan “dunia hitam” kota Padang mendirikan Sarekat Djin. Mula-mula jumlah anggotanya 40 orang. Kemudian terus meluas. Organisasi ini dipimpin oleh Si Patai, seorang bandit legendaris yang namanya menempati klasemen papan atas dalam daftar polisi sejak awal abad 20. Begitu pemberontakan Partai Komunis Indonesia (1926-1927) meletus di ranah Minang, Sarekat Djin melancarkan aksi-aksi sporadis. “Mereka banyak membunuh pejabat pemerintah Hindia Belanda,” kata Mestika Zed, guru besar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Padang, kepada Historia . Beberapa langkah penting yang dilakukan kaum komunis di Minangkabau menjelang pemberontakan 1926-1927 adalah mendirikan organisasi bawah tanah. Nama untuk organisasi bawah tanah itu diserahkan kepada masing-masing daerah. Maka lahirlah, Sarekat Djin, Sarekat Hantu, Sarekat Itam. Pembentukan organisasi bawah tanah tersebut merupakan “realisasi dari gagasan pembentukan DO (Double Organization) di Sumatera Barat berdasarkan instruksi dari CC PKI pada akhir Maret 1926,” tulis Mestika Zed dalam Pemberontakan Komunis Silungkang 1927 , mengutip Kolonial Verslag 1927 . Jauh sebelum peristiwa tersebut, pada 1908 Patai pernah melancarkan aksi melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang mengeluarkan peraturan belasting (pajak). Waktu itu gerombolan Si Patai membuat onar di Pauh. Beberapa pegawai pemerintah dibunuh. Namun ketika akan memasuki kota Padang, mereka berhasil dihalau tentara Belanda dekat Alai. “Belanda mengkategorikan Si Patai tidak sekadar penjahat biasa, tapi termasuk bandit yang merongrong pemerintahan. Perang belasting hanyalah momentum yang dimanfaatkannya saja dalam upaya menggulingkan pemerintahan,” tulis Rusli Amran dalam Padang Riwayatmu Dulu . Untuk meringkusnya, pemerintah kolonial mengandalkan dua orang Mantri Polisi Padang yang baru diangkat pada 1905, Bariun Sutan Batang Taris dan Abdullah Umar Marah Saleh Siregar. Suatu hari, Batang Taris mendapat laporan Si Patai dan Sampan sedang berada di lapau (kedai kopi) Ma Anjang di Air Pacah. Pukul 12 malam sebanyak 24 tentara bersenjata lengkap bergerak ke sana. Rombongan ditambah lagi dengan sejumlah pegawai setempat dan dari Alai. Semua berjumlah tidak kurang 35 orang. Pukul 4 pagi lapau Ma Anjang dikepung rapat. Batang Taris berteriak menyeru tantangan. Bukannya gentar, Si Patai melompat keluar seraya menyerang Batang Taris dengan kelewangnya. Seorang serdadu Belanda yang coba-coba ikut campur, kena sabetan kelewang Patai. Sejurus kemudian…door! Si Patai tersungkur. Mukanya kena peluru. Saat tergeletak di tanah, seorang tentara menembaknya dari jarak dekat. Sebutir peluru menembus dadanya. Si Patai tak berkutik. Dalam keadaan terluka parah, ia dipertontonkan kepada orang-orang. Beruntung di dalam penjara kesehatannya berlangsung pulih. “Tiga tahun lamanya dia mendekam di hotel prodeo,” tulis Rusli Amran. Hawa berontak tak kunjung surut dari diri Si Patai. Lepas dari penjara, dia pun kembali jadi bandit. Dalam peristiwa pemberontakan PKI 1926-1927, Si Patai kembali tertangkap. Tapi kali ini dia menemui ajalnya. Patai dipenggal. Kepalanya diarak keliling kota Padang. Hasjim Ning, saudagar terkemuka dari zaman Sukarno hingga Soeharto, mengaku melihat arak-arakan itu. Kata dia, hari itu kota Padang menjadi gempar. Tentara berseragam hijau bersama orang-orang bertelanjang dada berarak keliling kota dengan kelewang terhunus. Berteriak-sorak bagai orang mabuk. Mereka bergerak maju mengelilingi salah seorang di antaranya. Orang yang dikelilingi itu mengacung-acungkan tombaknya. Di ujung tombak itu terpancang kepala Si Patai. Di bagian lehernya yang terpenggal, kelihatan darah sudah menghitam. Matanya terbeliak. Mulutnya ternganga. Rambut Si Patai kusut masai. “Si Patai seorang pemberani dari Pauh, desa bagian utara Kota Padang. Si Patai adalah kepala pemberontak melawan Belanda. Ia telah banyak membunuh tentara dengan parangnya. Tentara akan gentar dan lari lintang pukang bila berhadapan dengannya,” kenang Hasjim sebagaimana ditulis A.A. Navis dalam Pasang Surut Pengusaha Pejuang—Otobiografi Hasjim Ning . Seiring arak-arakan tentara itu berlalu, Hasjim yang ketika itu masih remaja tanggung bergerombol bersama rakyat lainnya di tepi jalan. Orang-orang pun saling lempar cerita, bahwa Si Patai sebetulnya kebal. Dan peluru yang menembus tubuhnya telah dilumuri minyak babi. Hingga ini hari, nama Si Patai masih hidup di kalangan rakyat Padang. Sastrawan A.A Navis pernah mengangkat lakon Si Patai dalam cerpen Kabut Negeri Si Dali . Dalam kisah fiksi itu, Navis “menyelamatkan” Si Patai ke Malaysia. Sekaligus “mempermalukan” Belanda, bahwa yang diarak itu sebetulnya kepala Ujang Patai, yang hanya seorang banci.
- Kisah Persahabatan Haji Rasul dengan Kyai Ahmad Dahlan
KERETA api dari Surabaya tiba di Yogyakarta. Dari sekian banyak penumpang yang turun, muncul sesosok laki-laki yang penampilannya cukup menarik perhatian. Di dadanya tersemat empat huruf Arab: ha , ain , kaaf , dan hamzah . Kyai Haji Ahmad Dahlan yang sedari tadi menanti di stasiun Tugu langsung menyongsong laki-laki tersebut. Pimpinan Muhammadiyah itu mengetahui, bahwa HAKA –potongan-potongan huruf itu– merupakan inisial tulisan Haji Abdul Karim Amrullah di majalah Al-Munir . “Tidaklah huruf-huruf itu yang jadi perhatian K.H.A Dahlan ketika dia turun tangga kereta api. Melainkan terbusnya, celana pantalon dan baju setengah tiang (baltu) hitam, kaca mata dan tongkat. Berbeda dengan pakaian kebanyakan kyai di Jawa di masa itu,” kata Kyai Raden Haji Hajid, sebagaimana dikutip Hamka dalam Muhammadiyah di Minangkabau . Abdul Karim alias Inyiak Rasul atau Haji Rasul adalah ayah Buya Hamka. Dia kawan seperguruan Ahmad Dahlan. Meski tidak seangkatan, mereka pernah sama-sama berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, imam besar Masjidil Haram di Mekah. “Menurut keterangan yang penulis dapat terima dari Kyai Raden Haji Hajid, kedatangan Syaikh Abdul Karim menjadi tetamu K.H.A Dahlan di Yogya tahun 1917 itu diterima dengan gembira oleh kyai dan murid-muridnya,” tulis Hamka. Tiga hari tiga malam Haji Rasul jadi tamu di Kauman. Dia saksikan langsung bagaimana kawannya memimpin pengajian Muhammadiyah yang kala itu baru berumur lima tahun. Bahagia betul dia melihat semangat Dahlan. Peti-peti bekas dijadikan bangku untuk belajar. Sempat pula dia melihat Ahmad Dahlan mengajar agama Islam di sekolah modern Kweekschool Gouvernement, yang belakangan jadi inspirasi buatnya membuat sistem pendidikan yang sama. Masa itu Dahlan minta izin menyalin tulisan-tulisan Haji Rasul di majalah Al-Munir ke dalam bahasa Jawa untuk disebar-ajarkan kepada murid-muridnya. “Kyai Ahmad Dahlan di Yogyakarta adalah salah seorang langganan dan pembaca setia majalah Al-Munir yang terbit di Padang. Begitu cerita Raden Haji Hajid,” ungkap Hamka. Sementara itu Dahlan sudah pula banyak mendengar kisah baik tentang Sumatera Thawalib di Padang Panjang, sekolah Islam modern pertama di Hindia Belanda. Dalam perjumpaan itu, Dahlan mendengar langsung pengalaman Haji Rasul memimpin pengajian surau Jembatan Besi sejak 1901 hingga menjadi Sumatera Thawalib pada 1912. Pada 8 Desember 1921, empat tahun kemudian, Dahlan mengubah pengajian Muhammadiyah di Kauman menjadi sekolah Pondok Muhammadiyah. “Inilah untuk pertama kalinya Muhammadiyah membuka sekolah,” tulis Saleh Putuhena, mantan Rektor UIN Alauddin Makassar dalam Historiografi Haji Indonesia . “Untuk menjamin mutu pendidikan, pengajar pengetahuan umum dipercayakan kepada orang-orang yang ahli di bidangnya, ilmu pengetahuan agama diajar oleh Ahmad Dahlan dan Raden Haji Hajid.” Tak hanya Dahlan yang terinspirasi. Pada 1918, setahun pasca lawatannya ke Jawa, Sumatera Thawalib membangun gedung baru. Ruang-ruang kelas dilengkapi bangku dan meja, serupa dengan sekolah “modern” yang dikelola Belanda. Agaknya Haji Rasul terinspirasi ketika melihat Ahmad Dahlan mengajar agama Islam di Kweekschool Gouvernement di Yogyakarta. Semenjak itu, menurut sejarawan Taufik Abdullah dalam School and Politics, The Kaum Muda Movement in West Sumatera 1927-1933, meski sebelumnya sudah ada kurikulum berjenjang kelas, kegiatan belajar mengajar di Sumatera Thawalib tidak lagi halaqah (duduk bersila; murid melingkar guru).
- Setengah Abad Wujudkan Subway di Jakarta
Pembangunan Mass Rapid Transit (MRT) atau sistem kereta massal cepat di Jakarta memasuki tahap konstruksi skala besar di jalur Fatmawati-Blok M pada Maret 2015. MRT terdiri dari dua jenis jalur: melayang dan bawah tanah. Jika terwujud, jenis jalur terakhir bakal menjadi hal baru di Jakarta. Ia sebelumnya hanya berupa rencana sejak 1964. Soemarno, gubernur DKI Jakarta (periode 1960-1964 dan 1965-1966), pernah berencana membangun lintasan kereta api bawah tanah ( subway ) pada Februari 1964. Menurut dia, jalur kereta api bawah tanah sangat cocok berada di dalam kota, sedangkan jalur di permukaan hanya cocok berada di luar atau pinggiran kota. “Karena menimbulkan kemacetan lalu-lintas,” tulis Djaja, 15 Februari 1964. Soemarno juga mempertimbangkan peningkatan jumlah penduduk Jakarta. Kota ini hanya berpenghuni 800.000 jiwa pada 1944, tetapi naik drastis menjadi 3 juta jiwa pada 1964. Lalu-lintas pun bertambah ramai. “Kebutuhan pengangkutan karenanya dengan sendirinya menjadi bertambah besar,” kata Soemarno. Sarana jalan masih terbatas. “Jalan-jalan utama… belum diperlebar di tahun 1960-an,” tulis Firman Lubis dalam Jakarta 1960-an . Angkutan umum juga kurang memadai. Bus terbatas dan menaikinya pun tidak nyaman. Naik trem apalagi; selalu penuh. Kemacetan mulai membiasa di ibukota. Soemarno memilih mengembangkan moda kereta api untuk mengurangi kemacetan. Dia melihat pengguna kereta api sangat tinggi. “Menurut angka-angka terakhir jumlah penumpang kereta api pada lintas-lintas di Jakarta Raya adalah lebih kurang 80.000 orang sehari,” kata Soemarno. Ini setara dengan daya angkut 2.650 bus. Seiring pembaruan fungsi Stasiun Gambir dan Senen, Soemarno memandang perlu meremajakan jalur kereta api permukaan di sepanjang Manggarai-Gambir-Jakarta Kota (berjarak 9 kilometer) dan Jatinegara-Senen-Jakarta Kota (10 kilometer). Dia hendak mengganti jalur permukaan itu menjadi jalur bawah tanah. Untuk menghubungkan jalur kereta api di Jakarta dengan luar Jakarta, Soemarno menetapkan Jakarta Kota dan Manggarai sebagai stasiun pusat untuk kereta penumpang. “Yang pertama untuk penumpang dari Cirebon, Rangkasbitung, dan Tangerang; yang kedua untuk penumpang-penumpang dari Bandung dan Bogor,” kata Soemarno. Para penumpang dari luar kota bisa melanjutkan perjalanan ke dalam kota melalui jalur bawah tanah. Dengan demikian “kereta api sebagai alat pengangkutan massal dan murah dapat dipertahankan dengan tidak menimbulkan gangguan-gangguan pada lalu-lintas.” Namun dua periode masa jabatannya, Soemarno gagal mewujudkan rencananya. Ali Sadikin, gubernur DKI Jakarta periode 1966-1977, lebih menekankan perbaikan transportasi bus umum (Perusahaan Pengangkutan Djakarta/PPD) ketimbang mewujudkan jalur kereta api bawah tanah. Sempat hilang puluhan tahun, rencana pembangunan kereta api bawah tanah mengemuka lagi pada 1986. Soeprapto, gubernur DKI Jakarta periode 1982-1987, dan pemimpin Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka) berniat mengubah jalur kereta api permukaan. Pilihannya dua: melayang atau bawah tanah. Mereka memilih rel layang. “Rel layang dipilih karena biaya pembuatannya murah,” tulis Kompas, 13 Februari 1986. Saat rel layang resmi beroperasi pada 1992, Sealand International Group, perusahaan besar dari Hong Kong, berminat membangun jalur kereta api bawah tanah di Jakarta dan beberapa kota lainnya. Sejumlah gubernur menyambut gembira kabar itu. Tapi krisis ekonomi menerpa Indonesia pada 1997. Rencana pembangunan pun menguap lagi. Setelah kegagalan berulang-ulang, pembangunan jalur kereta api bawah tanah di Jakarta mulai terlaksana pada 10 Oktober 2013 saat pemerintah provinsi DKI Jakarta meresmikan pembangunan MRT.
- Sekolah Rakyat Padang Panjang
SETELAH penangkapan orang-orang radikal di Sumatera Thawalib pada 1924, aktivis PKI mendirikan Sekolah Rakyat (SR) di Padang Panjang. “Sekolah ini mengikuti pola sekolah yang didirikan Tan Malaka di Semarang,” tulis Audrey Kahin dalam Dari Pemberontakan ke Integrasi . Di SR Padang Panjang inilah organisasi kepemudaan PKI, mulai dari Sarekat Rakyat dan Barisan Muda berkantor pusat. Menurut Gubernur Sumatera Barat G.F.E Gonggrijp, organisasi ini berbasis di sekolah-sekolah. Baik milik pemerintah maupun swasta. “Selain Padang Panjang, seksi-seksi yang paling penting adalah seksi Koto Laweh, Gunung Bunga Tanjung, Silungkang, Solok dan Tiakar-Dangung Dangung, Payakumbuh,” dilansir dari memori serah terima jabatan Gubernur Gonggrijp. Di Dangung Dangung, tiga orang pelajar; Damanhuri Jamil, Suhaimi Rasjad, dan Leon Salim dipecat dari sekolah menengah pemerintah pada April 1925 karena berusaha mendirikan cabang Barisan Muda di sekolahnya. Ketiganya lalu pindah masuk SR Padang Panjang. Dan ditunjuk menjadi anggota dewan pusat Barisan Muda Sumatera Barat. “Anggota Barisan Muda di Padang Panjang sangat aktif,” kenang Leon Salim dalam Proyek Penulisan Riwayat Perjuangan Perintis Kemerdekaan . Leon menceritakan, setiap akhir pekan mereka berkunjung ke cabang-cabang yang ada di Sumatera Barat. Membawa serta sejumlah surat kabar Pemandangan Islam , Djago-Djago! yang diterbitkan para pemimpin mereka. Kongres PKI 1925 memutuskan bahwa Barisan Muda berganti nama jadi Internationale Padvinder Organisatie (IPO) atau Organisasi Pandu Internasional. “Organisasi ini serupa Pramuka. Berseragam dan berlatih secara teratur,” tulis M. Junus Kocek dan Leon Salim dalam Pergerakan Pemuda Minangkabau . IPO punya slogan “Pemuda sedunia bersatulah!”. Nyaris mirip slogan komunis internasional, “Kaum buruh sedunia bersatulah!”. IPO Padang Panjang menerbitkan koran Signaal . Damanhuri Jamil menjadi ketua wilayah dan Leon Salim yang berumur 13 tahun jadi sekretaris. Di samping Padang Panjang, komunis tumbuh subur di Silungkang yang berjarak sembilan mil dari kota tambang, Ombilin Sawahlunto. Maka pada September 1925, IPO menggelar rapat umum Pandu Internasional Silungkang. Di Silungkang ada tokoh seorang saudagar terkemuka bernama Sulaiman Labai. Pada 1915, dia mendirikan Sarekat Islam (SI) Silungkang. SI cabang Silungkang berubah jadi Sarekat Rakyat pada 1924. “Sebagian besar anggotanya ikut dengan para pemimpin mereka masuk menjadi anggota organisasi komunis ini,” tulis Abdul Muluk Nasution dalam Pemberontakan Sarekat Rakyat . Sarikat Rakyat menerbitkan koran Suara Tambang dan jurnal bulanan Panas . Pemerintah Hindia Belanda galau. Nawawi Arief, editor Suara Tambang ditangkap pada 1924 dan disusul penangkapan Idrus, editor Panas pada 1925. Keduanya dituduh melanggar undang-undang pers. Penangkapan ini justru memicu perlawanan. Anggota serikat buruh tambang naik jadi tiga ribu orang. Pembaca Suara Tambang naik jadi sepuluh ribu. “Gerakan komunis di Silungkang, tetap berpedoman kepada kepemimpinan di Padang Panjang,” tulis Kahin. Berdasarkan keputusan Prambanan, 25 Desember 1925, orang-orang komunis di Minangkabau melakukan kegiatan bawah tanah. Mendirikan bengkel-bengkel kecil di daerah-daerah terpencil. Membuat bom rakitan dan granat tangan serta senjata-senjata sederhana lain, dalam mempersiapkan pemberontakan yang akan datang.
- Minang Kiri Sebelah Bofet Merah
KANTIN itu masih kantin yang dulu. Satu-satunya kantin di lingkungan Perguruan Thawalib Padang Panjang, Sumatera Barat. “Dulu, kantin ini namanya Bofet Merah,” kata A. Rahman Yusuf, Ketua Yayasan Perguruan Thawalib, saat berbincang dengan Historia di depan kantin tua yang kini berganti nama jadi Kantin Jujur. Bofet berasal dari bahasa Perancis, buffet . Artinya rak yang berdiri di ruangan makan, tempat menyimpan makanan untuk disajikan. Entah bagaimana pangkalnya, sampai hari ini, selain lapau, urang awak menyebut kedai atau warung makan dengan sebutan bofet. “Bofet Merah itu tak hanya nama kedai. Tapi juga nama organisasi. Semacam koperasinya anak-anak Thawalib. Menjual kopi, dan aneka kebutuhan harian,” kenang Rahman. Di kantin inilah persemaian bibit komunisme di ranah Minang bermula. Kantin tersebut pernah menjadi markas orang-orang kiri. Djamaludin Tamim dalam Sedjarah PKI menulis, organisasi Bofet Merah berdiri lima hingga enam bulan sebelum lahirnya Partai Komunis Indonesia (PKI) di Semarang pada 1920. Orang-orang Bofet Merah menerbitkan dua surat kabar, Djago-Djago! dipimpin Natar Zainuddin dan Pemandangan Islam yang pemimpin redaksinya Datuak Batuah. Donatur utama dua surat kabar tersebut Abdullah Basa Bandaro, seorang saudagar di Padang. Dia termasuk orang yang membawa Sarikat Islam ke Sumatera Barat. “Pada awal tahun 1923 Datuk Batuah melawat ke Jawa dan juga ke Sigli. Di Jawa ia bertemu dengan Haji Misbach, tokoh Islam-komunis yang menarik perhatiannya karena mengadopsi komunis ke dalam Islam,” tulis Mestika Zed dalam Pemberontakan Komunis Silungkang 1927: Studi Gerakan Sosial di Sumatera Barat . Tahun itu juga organisasi Bofet Merah menjelma jadi PKI cabang Padang Panjang. Posisi ketua dijabat Datuak Batuah. Sekretaris dan bendahara dijabat Djamaludin Tamim. Keduanya tokoh muda dan guru Sumatera Thawalib. “Maka mulailah pelajaran di Thawalib mendapat jiwa baru, jiwa Islam yang revolusioner,” tulis Hamka dalam Kenang-Kenangan HidupJilid I . Paham ini lekas menyebar. Menurut Hamka, masa itu di Padang Panjang sering dijumpai kelompok-kelompok pemuda menyanyikan lagu Internasinale , 1 Mei , Kerja 6 jam sehari dengan bersemangat. Termasuk dirinya. Bagi mereka, komunis sesuai dengan ajaran Islam. Sama-sama antipenindasan. Sama-sama membela kaum mustada’afin , kaum yang tertindas atau kaum proletar dalam terminologi Marxist. Sumatera Thawalib didirikan dan dipimpin Haji Rasul, ayah Buya Hamka pada 1912. Diakui sebagai sekolah modern Islam pertama di Indonesia. Perpustakaan di sekolah ini, selain mengoleksi kitab-kitab agama, juga buku-buku politik, ekonomi, sosial dari macam-macam negara. Dan juga, “berlangganan surat kabar dari berbagai negeri,” tulis Datuk Palimo Kajo dalam Sedjarah Perguruan Thawalib Padang Pandjang . Nah, berita-berita tentang revolusi Bolshevik 1917 di Rusia, yang ramai diulas suratkabar masa itu, menjadi bacaan dan buah bibir di Thawalib. Menurut guru besar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Padang, Mestika Zed, orang-orang di Sumatera Thawalib sudah mempelajari marxisme sejak awal abad 20. “Langsung dari buku berbahasa aslinya. Bukan terjemahan,” katanya kepada Historia di Padang Panjang, tempo hari.
- Seteru Sang Guru
HAJI Rasul risau. Pemimpin Sumatera Thawalib Padang Panjang itu tidak sependapat dengan komunisme. Dia berpandangan, komunis sebenarnya hendak menghilangkan agama dengan cara menunggangi agama. “Suatu hari pada 1923, Haji Rasul berdebat sengit dengan Datuak Batuah dan murid-murid Thawalib yang pro komunis. Perdebatan itu menghilangkan wibawa Inyiak Rasul di depan murid Thawalib,” kata Ketua Alumni Thawalib Padang Panjang, Yan Hiksas kepada Historia . Selepas itu, entah dari mana ujung pangkalnya, tiba-tiba beredar desas-desus bahwa Datuk Batuah dan Natar Zainuddin bersekongkol dengan para penghulu adat untuk memberontak terhadap pemerintah dan membunuh orang-orang Eropa, termasuk asisten residen Padang Panjang. “November 1923, Belanda mengirim satu detasemen polisi bersenjata ke Koto Laweh untuk menangkap Datuk Batuah dan Natar Zainudin,” tulis Audrey Kahin dalam buku Dari Pemberontakan Ke Integrasi . “Setelah ditahan di Padang selama sekitar setahun, keduanya diasingkan ke Timor dan kemudian dipindahkan ke Boven Digul pada awal 1927.” Desember 1923, giliran Djamaludin Tamin yang ditangkap karena artikel-artikelnya di Pemandangan Islam memprotes penangkapan rekan-rekannya. Ia dijatuhi hukuman dua tahun penjara pada Mei 1924. Menjalani hukuman selama lima belas bulan di penjara Cipinang, Jakarta dan dibebaskan pada September 1925. “Para siswa Sumatera Thawalib menyalahkan Haji Rasul karena penangkapan guru-guru muda mereka,” tulis Kahin. Puncaknya, Haji Rasul undur diri dari Thawalib. Dia pulang kampung ke Maninjau. Awal 1925 Haji Rasul ke Jawa menemui menantunya, AR. Sutan Mansur yang telah menjadi pemuka Muhammadiyah di Pekalongan. Bulan Juni dia kembali ke Minang. Dan, langsung gencar mempropagandakan Muhammadiyah di setiap dakwahnya. Perkumpulan Sendi Aman yang didirikannya di Sungai Batang, Tanjung Sani, Maninjau, atas persetujuannya menjadi Muhammadiyah cabang Maninjau. Ketuanya Haji Yusuf Amrullah, adiknya. “Boleh dikatakan inilah cabang pertama Muhammadiyah di Sumatera dan di luar Jawa,” tulis Hamka dalam Ayahku: Riwayat Hidup DR. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera . Atas arahannya, pada 20 Juni 1925 murid-murid Sumatera Thawalib Padang Panjang asal Maninjau mendirikan kelompok Tabligh Muhammadiyah. Jamaluddin Sutan dan Makmur Salim bertindak sebagai ketua dan sekretarisnya. “Mereka menerbitkan Khatib al-Ummah . Inilah jurnal Muhammadiyah pertama di daerah ini,” tulis Burhanuddin Daya dalam Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam: Kasus Sumatera Thawalib . Meski menyokong Muhammadiyah, sepanjang hayatnya, Haji Rasul tidak pernah tercatat sebagai anggota, apalagi menjadi pengurus. Dia hanya lakon balik layar. “Haji Rasul melihat Muhammadiyah bagaikan sebuah kendaraan yang bisa ia tumpangi untuk lebih mempercepat gerakan pembaruannya,” tulis Tamrin Kamal dalam Purifikasi Ajaran Islam pada Masyarakat Minangkabau . Basis-basis Muhammadiyah kian meluas. Akan tetapi, komunisme tak kalah hebat. Dalam laporan untuk gubernur jenderal, 23 Juli 1924, penasehat pemerintahan, R. Kern mencatat, komunisme kian subur. “Walaupun Asisten Residen Whitklau telah mengemukakan bahwa pergerakan perlawanan akan padam setelah tertangkapnya Datuk Batuah dan Zainudin, ternyata enam bulan setelah penangkapan itu, orang komunis lebih banyak dari yang sudah-sudah,” tulis Kern dalam laporan berjudul Voorstel om Natar Zainuddin en Hadji Datoeq Batoewah te Interneren, Adviz aan G.G .
- Tinju Kiri Ali di Jakarta
Pertarungan Muhammad Ali yang paling diingat publik adalah ketika dia menghadapi Joe Frazier pada 8 Maret 1971 di New York, Amerika Serikat. Ali kalah dalam pertandingan bertajuk “Pertarungan Abad Ini” untuk kali pertama setelah menang 31 kali berturut-turut. Gelar juara dunia kelas berat pun lepas dari genggamannya. Publik menanti pertarungan Ali-Frazier selanjutnya. Sebagai pemanasan melawan Frazier, Ali menjalani satu pertandingan di Jakarta. Promotor Raden Sumantri berhasil menggelar pertandingan Ali melawan Rudi Lubbers, juara tinju kelas berat asal Belanda. Awalnya akan dilaksanakan di Surabaya pada 14 Oktober 1973, tapi pertandingan dialihkan ke Stadion Utama Gelora Bung Karno pada 20 Oktober 1973. Ali dielu-elukan bak pahlawan terutama karena dia seorang muslim. Dia juga dianggap representasi pahlawan bagi bangsa-bangsa Dunia Ketiga. “Lubbers jelas menjadi representasi kolonialisme Belanda, dan orang-orang Indonesia bersemangat melihat kemenangan politik mereka terulang di atas ring,” tulis Julio Rodriguez, “Documenting Myth” dalam Sports Matters: Race, Recreation, and Culture suntingan John Bloom dan Michael Nevin Villard. Secara teknis, Ali tidak dalam kondisi terbaik. Persiapannya hanya sepuluh hari. Ali tidak meremehkan reputasi Lubbers sebagai kuda hitam. Seperti kebiasaannya mengumbar omongan kepada pers sebelum bertanding, Ali sesumbar akan menumbangkan Lubbers di ronde kelima. Pertandingan disiarkan secara internasional. Pertandingan nongelar ini tetap menarik khalayak ramai. Tiket yang dibanderol Rp1.000 sampai Rp27.500 ludes terjual. “Salah satu hal yang paling diingat dari pertandingan ini adalah kapasitas Ali yang mampu menarik perhatian khalayak internasional. 35.000 orang Indonesia datang untuk menonton. Ditambah pameran tentang Ali yang ikut menarik 45.000 orang untuk datang melihat-lihat,” tulis David West dalam The Mammoth Book of Muhammad Ali . Panitia berharap acara terselenggara dengan lancar tanpa kendala. Salah satunya yang diantisipasi adalah hujan. Solusinya pawang hujan. Sudah menjadi tradisi di Indonesia, mulai dari acara kecil seperti hajatan sampai acara berskala internasional, sang pengendali air diminta menunjukkan kemampuannya menghalau hujan. "Penyelenggara sempat mengundang pawang hujan dari Aceh, Banten, Jawa Tengah, dan Maluku," tulis Julius Pour dalam Dari Gelora Bung Karno ke Gelora Bung Karno . Seperti telah diperkirakan, pertandingan berjalan berat sebelah. Ali mempermaikan Lubbers habis-habisan sampai hidungnya patah dan mata kanannya bengkak. Lubbers bertahan selama 12 ronde. Ali menang angka, bukan knock out seperti sesumbarnya. “Ali harus mengakui bahwa Lubbers lebih tangguh daripada yang dia pikirkan. Begitu pula Rudi yang merasa sudah memberikan yang terbaik yang dia bisa, dan percaya bahwa Ali juga melakukan hal yang sama di pertandingan itu. Pertarungan dengan Ali memberikan Lubbers 15 menit ketenaran. Dia akhirnya kembali ke jalur kejuaraan Eropa,” tulis Joe Ryan dalam Heavyweight Boxing in the 1970’s: The Great Fighters and Rivalries . Ali meraih kemenangan dengan mudah; mayoritas hanya dengan tinju kirinya. Ketika ditanya mengapa dia hanya mengandalkan tangan kiri, Ali menjawab sambil mengepalkan tangan kanan, “Saya harus menyimpan ini untuk Joe Frazier.” Ali kembali melawan Joe Frazier di New York pada 28 Januari 1974. Dia berhasil membalas kekalahan sebelumnya dengan menang angka. Pada 30 Oktober 1974, Ali kembali menjadi juara dunia kelas berat setelah menumbangkan George Foreman dalam pertarungan sengit di Kinshasa, Zaire. Setelah gantung sarung tinju, Ali masih sempat beberapa kali berkunjung ke Indonesia untuk menyapa penggemarnya.





















