top of page

Sejarah Indonesia

Ho Im Iklan Dukacita Tionghoa

Ho Im, Iklan Dukacita Tionghoa

Iklan dukacita identik dengan kalangan Tionghoa. Tak sekadar mengabarkan kematian.

8 Mei 2014

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Ho Im sebutan untuk iklan dukacita kalangan Tionghoa.

Ho Im sebutan untuk iklan dukacita kalangan Tionghoa.


CALON presiden Joko Widodo tak ambil pusing dengan kampanye hitam yang menyebut dirinya keturunan Tionghoa dan bernama Oey Hong Liong. Namun Jokowi angkat bicara ketika kempanye hitam itu sudah keterlaluan berupa berita dukacita “RIP Ir. Herbertus Joko Widodo (Oey Hong Liong)” yang beredar di jejaring sosial. Jokowi menyebut kampanye hitam itu “brutal”. 


Menurut Iwan Awaluddin Yusuf, dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, dalam Media, Kematian, dan Identitas Budaya Minoritas, iklan dukacita erat kaitannya dengan upaya penyebarluasan kabar meninggalnya seorang etnis Tionghoa kepada keluarga dan sanak famili sesama Tionghoa. Mereka menyebut iklan dukacita sebagai Ho Im.


“Iklan berita keluarga tentang kematian dan perkawinan bagi pembaca Tionghoa peranakan lebih penting daripada editorial yang hebat,” tulis Benny G. Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik.


Selain pesan kematian, iklan dukacita menyampaikan pesan lain. Bagi keluarga dari orang Tionghoa yang semasa hidupnya menjalin bisnis dan perdagangan, pemasangan iklan dukacita diharapkan memberi tahu relasi bisnis almarhum. Ditinjau dari aspek ekonomi media, iklan dukacita relatif stabil dalam menyumbang pemasukan.


Media di masa lampau maupun sekarang mengandalkan iklan berita keluarga, baik iklan dukacita maupun sukacita. Benny mencontohkan, Sin Po memperoleh banyak pelanggan karena memuat iklan berita keluarga. Begitu pula dengan Pewarta Soerabaia yang dikenal sebagai harian yang memuat iklan berita keluarga terlengkap.


Saking pentingnya iklan dukacita, menurut Iwan, sering terjadi percekcokkan hanya karena nama seseorang famili lupa dicantumkan atau salah tulis. Karenanya, biasanya ada “ahli” yang membantu pihak yang berduka. Begitu ada anggota keluarga yang meninggal dunia, seorang anggota keluarga, biasanya anak mendiang, segera mengajak bermusyawarah untuk menentukan waktu penguburan.


“Setelah disepakati dan memperoleh hari dan tanggal baik, mereka segera menghubungi biro iklan atau yayasan pelayanan kematian untuk mempersiapkan iklan dukacita,” tulis Iwan.


Ketika rezim Orde Baru berkuasa, semua yang berbau Tionghoa dilarang. Soeharto menutup semua suratkabar Tionghoa, kecuali Harian Indonesia yang dikelola pemerintah dan dikuasai militer. Dalam Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia, Leo Suryadinata menjelaskan Harian Indonesia adalah harian dwibahasa Tionghoa dan Indonesia, “yang menjadi populer di antara etnis Tionghoa untuk memasang pemberitahuan mengenai kematian, perkawinan, iklan, dan sebagainya.”


Harian Indonesia juga menjadi satu-satunya suratkabar berbahasa Tionghoa sampai tahun 1998. Menurut Aimee Dawis dalam Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas, harian ini jarang memuat gambar tokoh Tionghoa dalam kolom-kolomnya. “Satu-satunya gambar orang Tionghoa yang selalu dimuat surat kabar ini adalah foto dalam iklan dukacita,” tulis Aimee Dawis.


Iklan dukacita atau Ho Im bagi sebagian masyarakat Tionghoa dianggap tradisi. “Walaupun demikian,” tulis Iwan, “tidak semua etnik Tionghoa mengekspresikan kematian lewat iklan dukacita.”*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
Anak Tawanan Itu Bernyanyi “Nina Bobo”

Anak Tawanan Itu Bernyanyi “Nina Bobo”

Sukses sebagai penyanyi di Belanda, Anneke Gronloh tak melupakan Indonesia sebagai tempatnya dilahirkan.
Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Film perdana Reza Rahadian, “Pangku”, tak sekadar merekam kehidupan remang-remang lewat fenomena kopi pangku. Sarat pesan humanis di dalamnya.
bottom of page