top of page

Hasil pencarian

9572 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Kontes Kuasa Alam Kalimantan

    PULAU Kalimantan, lebih dikenal dunia dengan Borneo, memiliki sumberdaya alam melimpah. Sepanjang abad ke-19, tanah Kalimantan terkenal subur untuk tanaman pertanian komoditas, terutama lada. Ditambah penemuan tambang batubara dan minyak bumi pada awal abad ke-20. Hal ini membawa berkah bagi rakyat Kalimantan sekaligus bencana karena pedagang-pedagang Belanda ingin memonopolinya. Demikian diungkap sejarawan Mohammad Iskandar dalam diskusi “Perebutan Penguasaan Sumber Alam dari Borneo” di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 9 Desember 2013. Sejak abad ke-17, dua kerajaan lokal memiliki pengaruh kuat di Kalimantan, yakni Kerajaan Kutai dan Kerajaan Banjarmasin. Lada menjadi komoditas utama keduanya. Persentuhan pertama orang-orang Belanda dengan kerajaan di Kalimantan terjadi pada 1635, ketika armada dagang VOC menjalin perjanjian perdagangan lada dengan Kutai dan Banjarmasin. Isinya, kedua kerajaan itu hanya boleh menjual lada-ladanya kepada Belanda. Berawal dari perjanjian ini, pedagang-pedagang Belanda memonopoli perdagangan lada Kalimantan. “Pihak istana tidak siap, VOC lebih jeli melihat kesempatan. Mereka menawarkan kontrak dagang kepada pihak istana dengan janji untuk mempertahankan kekuasaan mereka dari kerajaan-kerajaan lain yang mencoba menyerang,” tutur Iskandar. Ketika VOC runtuh dan pemerintahan kolonial Hindia Belanda berkuasa pada awal abad ke-19, Kutai dan Banjarmasin semakin melemah. Belanda semakin menancapkan pengaruhnya untuk menahan laju Inggris yang telah bercokol di Kalimantan bagian utara. Samarinda, pintu gerbang Kutai, dikendalikan Belanda untuk mengamankan eksplorasi batubara yang mereka temukan sejak 1827. “Di bawah pengawasan asisten residen Kutai dan Pantai Timur Kalimantan, pada tahun 1860 digali tempat batubara di dekat Samarinda. Hasilnya, antara Januari-Agustus, dihasilkan batubara sejumlah 3.558,31 ton,” tulis Ita Syamtasiyah Ahyat dalam bukunya Kesultanan Kutai 1825-1910: Perubahan Politik dan Ekonomi Akibat Penetrasi Kekuasaan Belanda, yang menjadi sumber diskusi tersebut. Raja-raja Kutai mendapatkan banyak keistimewaan dan kekayaan selama berada di bawah kendali Belanda, meski kedaulatan politiknya nyaris habis. Sedangkan di Banjarmasin, Belanda semakin lama semakin dibenci. Pangeran Antasari, yang tak puas dengan campur tangan Belanda dalam politik istana ditambah laporan rakyat Martapura terhadap kesewenangan Belanda dalam mengelola tambang batubara, menyerang pos-pos Belanda di Banjarmasin pada 1859. Perlawanan Pangeran Antasari yang awalnya menjanjikan berakhir dengan kekalahan. Karena huru-hara dan kekacauan yang ditimbulkannya, Belanda memutuskan mengambil-alih Kerajaan Banjarmasin dan menyatakannya berakhir. “Wilayahnya lalu menjadi hak milik Belanda serta dimasukkan di dalam wilayah Zuid-en Oosterafdeeling van Borneo berdasarkan surat keputusan komisaris FN Niewenhuyzen pada 17 Desember 1859,” tulis Ita. Hilangnya kekuasaan dua kerajaan tersebut membuat Belanda semakin memantapkan kekuasaannya. Kalimantan pun terbagi dua: bagian utara didominasi Inggris dan selatan dikendalikan Belanda. Sumberdaya alam kembali menjadi alasan datangnya kekuatan asing di Kalimantan. Jepang menyerbu untuk mendapatkan sumberdaya batubara dan minyak yang melimpah di Kalimantan. Pada masa modern ini, Pulau Kalimantan dikuasai tiga negara berbeda: Indonesia, Brunei Darussalam, dan Malaysia. Kontras dengan wilayahnya yang luas dan sumberdaya alamnya yang kaya, kajian penelitian tentang sejarah Kalimantan masih minim, terutama oleh orang-orang Indonesia. Hal ini mendesak untuk memperkuat legitimasi Indonesia dalam kontes kuasa alam di Kalimantan pada masa modern ini.

  • Dari Gojira sampai Godzilla

    60 tahun Gojira meneror penonton sejak kemunculan perdananya dalam film Gojira (1954), produksi studio Toho yang disutradarai Ishiro Honda. Ia dianggap mempopulerkan genre film monster, baik di Jepang namun di Barat. Nama Gojira merupakan gabungan kata gurira (gorilla) dan kujira (paus) dalam bahasa Jepang, untuk mendeskripsikan kekuatan liarnya dan habitatnya dari lautan. Publik internasional menyebutnya Godzilla. Film Gojira terbaru, Godzilla , dirilis studio Legendary Pictures dan Warner Bros pada Mei 2014 dengan sutradara Gareth Edwards. Film ini mengangkat isu hubungan manusia yang buruk dengan alam dan lingkungan. Bencana reaktor nuklir Fukushima tahun 2011 sebagai inspirasinya. Secara umum, Godzilla adalah film hiburan sekaligus bentuk apresiasi terhadap Gojira karya Ishiro Honda. “ Gojira (1954) menjadi manifestasi dari ketakutan terhadap radiasi nuklir, namun juga mengingatkan akan trauma penggunaan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki,” tulis Toni A. Perrine dalam Film and The Nuclear Age: Representing Cultural Anxiety . Menjelang kemunculan perdana Gojira , rakyat Jepang sedang menghadapi isu nasional terkait radiasi nuklir. Pemicunya adalah Amerika yang mengadakan tes peledakan bom nuklir di Pulau Bikini, Pasifik, pada 1 Maret 1954. Kapal nelayan Jepang Daigo Fukuryu Maru yang berada di zona aman terkena hempasan ledakan nuklir. Salah satu awaknya tewas akibat radiasi. Perairan Jepang terkontaminasi. Pemerintah Jepang pun protes kepada Amerika. “Saat kapal itu kembali ke Jepang, cerita efek dari nuklir ini menyebar ke seluruh Jepang (dan melahirkan inspirasi untuk membuat film Gojira ). Pasar-pasar ikan di seluruh negeri menyediakan alat pemeriksa radiasi, dan gerakan antinuklir di Jepang kian mendapat dukungan,” seperti tercantum dalam In Godzilla Footsteps: Japanese Pop Culture Icons on the Global Stage suntingan William M. Tsutsui dan Michiko Ito. Dari situlah, Gojira didesain sebagai monster yang lahir akibat radiasi nuklir. Dalam film Gojira , dengan semburan asap radioaktif dari mulutnya, sang monster meluluhlantakkan Tokyo dan penduduknya yang tak berdaya, kemudian ia kembali ke laut. Adegan tersebut menggambarkan kekhawatiran orang-orang Jepang akan dampak dari penggunaan senjata nuklir; ia datang hanya untuk meninggalkan kehancuran. “ Gojira karya Ishiro Honda tahun 1954 penuh dengan referensi tentang perang, pemboman massal, bom atom, percobaan peledakan bom hidrogen pada 1950-an, kehidupan laut yang terkena radiasi, dan pertentangan etis terhadap sains,” tulis Yoke-Sum Wong, “A Presence of a Constant End: Contemporary Art and Popular Culture in Japan,” termuat dalam The Ends of History: Questioning the Stakes of Historical Reason suntingan Amy Swiffen dan Joshua Nichols. Gojira lalu diubah menjadi sosok yang lebih bersahabat. Dalam film-film buatan studio Toho selanjutnya, ia tampil sebagai penolong umat manusia dari serangan monster-monster lain. Adegan pertarungan Gojira melawan musuh-musuhnya selalu ditunggu para penggemar di seluruh dunia. Sampai saat ini sudah ada 33 film yang diproduksi tentang Gojira; 28 film produksi Jepang dan sisanya Amerika. Gojira juga tampil dalam adaptasi komik, serial televisi, novel, dan video games. Ini membuat sang raja monster menjadi ikon budaya pop dalam sejarah perfilman dunia.

  • Satu Episode Pertempuran Laut

    Pada 2 Maret 1946, pasukan Gadjah Merah Belanda dari Brigade X dan XI mendarat di Pantai Sanur. Tidak kurang dari 150 truk dan jip dengan peralatan militer yang lengkap dan modern bergerak menuju dan menduduki Denpasar. Dari Denpasar mereka menyebar ke seluruh Bali. Tujuh dari delapan raja Bali yang tadinya menyokong Republik berpaling. Untuk merebut kembali wilayah itu, pihak Republik mengirim sepasukan anak muda dari Jawa: Pasukan M, dipimpin Kapten Markadi. Anggota pasukan itu umumnya para pelajar dari Malang. Sebagian lagi anak-anak Bali. Umur mereka rata-rata belasan tahun. Markadi, sang komandan, berusia 19 tahun. Dia kelahiran 9 April 1927. Sebelum menyeberang ke Bali, Pasukan M mendapat kursus kilat dari TRI Laut. Malam hari, 4 April 1946, sekira 130 anggota Pasukan M melaut dengan 16 perahu dari Pelabuhan Boom, Banyuwangi, Jawa Timur. Empat perahu Madura, sisanya jukung. Satu perahu Madura bisa mengangkut 20 orang, sedangkan jukung maksimal lima orang. Pada saat bersamaan, sekian kilometer dari Pelabuhan Boom, perahu-perahu pasukan I Gusti Ngurah Rai juga bergerak dari Pelabuhan Muncar, Banyuwangi. Tujuan mereka sama: merebut Bali. Dua pasukan itu memang sudah berkoordinasi. Pasukan Ngurah Rai mendarat dengan baik di Pulau Dewata. Dua kapal Madura dan sejumlah jukung Pasukan M mendarat mulus di pantai Pebuahan, antara Candikesuma dan Cupel –kini bagian wilayah Jembrana, Bali Barat. Sementara dua perahu Madura lainnya, termasuk yang ditumpangi Kapten Markadi, masih terkatung-katung di tengah laut karena angin tiba-tiba mati. “Di balik kabut pagi, dari arah Cupel, tiba-tiba muncul kapal yang cukup besar. Ternyata, dua Landing Craft Mechanized (LCM) milik Belanda yang sedang patroli,” tulis I Nyoman Nirba, dalam Melacak Kisah Perjuangan. Nyoman Nirba ada di perahu Kapten Markadi. Dia saksi mata. Menurut Nirba, LCM dan perahu mereka nyaris menempel. Saking dekatnya, mereka saling mendengar percakapan. Waktu itulah seorang Belanda berteriak, “ God, ze hebben spuiten ! (mereka punya bedil!).” Seketika, Kapten Markadi yang mengerti bahasa Belanda memberi perintah, “tembak!” Belanda menyerang Pasukan M dengan mitraliur berat jenis browning kaliber 12,7 mm. Namun, karena terlalu dekat dan posisi LCM lebih tinggi dari perahu Madura, tembakan Belanda hanya mengenai tiang layar. Kapten Markadi lalu memerintahkan Pasukan M serempak melempar granat ke LCM Belanda. “Pertempuran hebat terjadi. Berkat ketangkasan anak buah perahu-perahu layar Indonesia, mereka berhasil mematahkan perlawanan Belanda,” tulis Antara , 17 April 1946. “Dari pihak Belanda, tewas juru mudi, penembak mitraliur, dan kapten kapalnya. Setelah itu kapal Belanda tersebut melarikan diri. Dari pihak Indonesia, satu orang luka, satu orang hilang.”

  • Mephistopheles

    LELAKI kecil itu tertelungkup di tepi pantai Bodrum, Turki. Ia berkaos merah, lambang keberanian. Bercelana biru, simbol keteduhan. Pagi itu, di saat polisi Turki menemukannya, ombak datang silih berganti membasuh wajah mungilnya yang terbenam di hamparan pasir dari tanah harapan yang tak pernah berhasil digapainya. Aylan, tiga tahun, tak pernah mengerti apa yang terjadi pada hidupnya lantas tibatiba saja gelombang ganas Laut Aegea datang menjemput maut, menewaskan dia beserta ibu dan kakaknya, Rabu pagi, 2 September yang lalu. Abdullah Kurdi, lelaki malang yang kehilangan istri dan dua anaknya, hanya bisa meratapi kepergian orang-orang yang dicintainya. “Aku tak menginginkan apa-apa lagi di dunia ini. Semua mimpiku sudah sirna. Satu-satunya yang aku inginkan hanyalah menguburkan mereka di Suriah dan duduk di samping kuburan mereka sampai aku mati,” ujar Abdullah dengan sorot mata nanar. Abdullah Kurdi membawa serta keluarga kecilnya keluar dari Suriah yang dilanda perang sejak tiga tahun lalu. Tak ada yang mereka inginkan kecuali kehidupan yang jauh dari perang, yang telah menghancurkan segala yang mereka miliki, termasuk harapan. Di Kobani, tempat kelahiran Aylan, orang-orang berperang atas nama Tuhan. Mereka saling bunuh, silih berganti menghancurkan musuh yang mereka anggap berbeda. Mereka sama-sama punya alasan: bahwa keadilan harus ditegakkan di bawah kuasa Tuhan dan mereka menganggap diri mereka yang paling pantas mewakili kehendak Tuhan di muka bumi. Lantas Aylan kecil mati terbenam di tepi pantai. Mungkin dunia yang kita huni ini lebih membutuhkan makhluk bertabiat seperti Mephisthopheles ketimbang manusia yang selalu beriktikad baik namun mendatangkan kehancuran. Mephistopheles, makhluk yang dalam cerita rakyat Jerman digambarkan sebagai sosok penuh angkara murka, selalu menghendaki kehancuran namun ketika iktikad buruknya dijalankan justru menghasilkan kebaikan. Dengan menampilkan Mephistopheles dalam lakon Faust , Goethe seperti menggugat kemanusiaan kita. Mephistopheles, sosok iblis bersayap, terbang menebar ketakutan, berpikiran picik dan bernafsu menciptakan kerusakan. Sementara mereka yang berperang di Kobani, manusia-manusia menepuk dada ingin menciptakan keadilan atas nama Tuhan, menegakkan kebajikan di bawah hukum Tuhan, malah mendatangkan bencana tiada berkesudahan. Maka perahu yang ditumpangi keluarga kecil itu terbalik di Laut Aegea, menyeret Aylan kecil ke tepi pantai meregang nyawa. Aylan adalan korban “tujuan suci” manusia yang dilakonkan lewat perang. Tak hanya Aylan, ratusan ribu atau barangkali jutaan bocah telah jadi korban dalam perang sepanjang sejarah peradaban manusia. Mereka tidak layak mati untuk sebuah perang yang juga tak menghasilkan apapun kecuali bencana kematian. Seperti perang yang juga menghancurkan hidup Anne Frank, seorang gadis kecil yang tak pernah bisa memilih untuk dilahirkan sebagai seorang Yahudi atau yang lain. Sebelum tewas dibunuh Nazi, Anne meratapi perang yang mendatangkan kehancuran buat manusia melalui catatan hariannya. “Tak satu pun orang yang bisa menghindari pertikaian, seluruh dunia sekarang sedang dilanda perang, walaupun Sekutu sedang melakukan hal terbaik, akhir perang belum jua terlihat. Kami sedikit beruntung. Lebih beruntung dari jutaan manusia lain. Di sini cukup tenang dan nyaman, dan kami menggunakan uang untuk membeli makanan,” tulis Anne Frank dalam catatan harian yang ditulis pada sebuah kamar persembunyian di Amsterdam, di tengah kecamuk Perang Dunia Kedua. Buku harian Anne Frank dan foto Aylan adalah memorabilia tentang kekejaman perang yang meluluhlantakan kemanusiaan. Anak-anak tak berdosa adalah korban manusia-manusia yang berlaku seperti malaikat dengan rencana iblis di dalamnya. Mungkin benar: kita butuh Mephistopheles untuk hadir di Suriah, Palestina, Afganistan, dan berbagai belahan dunia lainnya. Karena iktikad baik saja belum cukup jika hanya mendatangkan kehancuran.* Majalah Historia Nomor 25, Tahun III, 2015

  • Badan Ekonomi "Sama Rata Sama Rasa"

    JOENOES Nasution, tokoh komunis Sumatera Timur, bergerak cepat untuk mengisi revolusi di Sumatera. Pada 11 Desember 1945, dia mendirikan Badan Pusat Perekonomian Rakyat Sumatera (BAPPER). Tujuannya memegang kendali ekonomi di seluruh Sumatera. Kala itu, sumber utama perekonomian di Sumatera Timur adalah perkebunan dan pertambangan. Revolusi membuat berbagai pihak, tak terkecuali tentara, saling memperebutkannya. Dengan mengendalikan perkebunan, unit-unit militer memiliki kekuatan politik yang otonom. “Melalui pedagang-pedagang Tionghoa, komandan militer mulai mengekspor sejumlah besar produk perkebunan (terutama karet dan kelapa sawit) ke Penang dan Singapura,” tulis Audrey Kahin dalam Regional Dynamics of the Indonesian Revolution . Gagal dengan BAPPER, Joenoes bersama Amir Joesoef dan Bustami, lalu mendirikan Ekonomi Rakyat Republik Indonesia (ERRI) pada Februari 1946. Badan ini memperjuangkan ekonomi kerakyatan dengan slogan “sama rata sama rasa”. Upaya tersebut segera mendapat dukungan dari banyak kalangan, terutama kaum kiri dengan laskar-laskarnya dan rakyat bawah. Amir dan Bustami meminta Gubernur Sumatra Tengku Muhammad Hasan untuk menjadikan ERRI sebagai otoritas resmi, kepanjangan tangan pemerintah yang mengatur perekonomian Sumatra. Penolakan gubernur membuat ERRI makin agresif bergerak. ERRI mengatur dan mewadahi pedagang asongan, kain, obat-obatan, dan lain-lain, ke dalam asosiasi dan koperasi. Para pemimpin ERRI kembali mencari pengakuan resmi kepada Wakil Gubernur Dr. Mohamad Amir. “Mereka mendapatkan pengakuan resmi yang diinginkan. Ini merupakan mandat untuk memperluas kegiatannya dalam mengontrol total ekonomi Sumatra,” tulis Anthony Reid dalam The Blood of the People Revolution and the end of Traditional Rule in Northern Sumatra. ERRI mendapat dukungan dari laskar-laskar kiri, terutama Pesindo dan Barisan Merah. Paralel dengan kekuatan bersenjata pendukungnya, cabang-cabang ERRI segera berdiri di berbagai tempat. Di Aceh, kantor pusat ERRI berdiri di Banda Aceh pada 16 Maret 1946. ERRI segera mengeluarkan berbagai aturan. “Semua produksi perkebunan harus diserahkan kepada ERRI,” lanjut Reid. ERRI juga mengambilalih kepemilikan banyak toko milik Tionghoa atau India di Medan dengan alasan untuk memblokade logistik Sekutu. Semua bahan makanan yang memasuki kota mereka sita. Untuk mendukung pelaksanaan itu, seorang inspektur ditempatkan di tiap sektor wilayah kekuasaan ERRI. ERRI juga mengekspor komoditas perdagangkan terutama ke Penang dan Singapura. Untuk itu, tulis Reid, “Ada upaya untuk mengambilalih semua fasilitas transportasi baik di darat maupun laut.” Di Aceh, ERRI menarik bea atas tiap barang ekspor dari Sigli dan Meulaboh, juga mengambilalih tambang emas milik Prancis. Terakhir, skema medis komprehensif seluruh Sumatra Timur menjadi program yang diluncurkan ERRI. Dalam program ini, semua dokter akan didaftar dan obat-obatan akan diberikan oleh ERRI. Menurut teori, semua sumber ekonomi yang dikuasai ERRI akan dibagikan kepada rakyat sesuai semboyan “sama rata sama rasa.” Namun, hal itu tak masuk akal bagi para penentang ERRI. Kritik makin gencar dan keras menghampiri ERRI. Melalui tulisan-tulisannya di Soeloeh Merdeka, Arif Lubis menjadi salah satu penyerang paling vokal. Penyalahgunaan kekuasaan dan praktik korupsi para pemimpin ERRI menjadi sorotan utamanya. “Super komunis” dan “hiper ekstrimis” menjadi cap yang diberikan lawan-lawan politik ERRI dan laskar-laskar pendukungnya. ERRI kian tersingkir. Mereka lalu memusatkan diri ke Siantar. Di sana, ERRI bersandar kepada laskar paling setia, Cap Rante di bawah pimpinan Waldemar Marpaoeng. Para pemimpin ERRI di Siantar lalu membentuk Dewan Nasional berisi lima orang. Menurut Reid, upaya tersebut sebagai tandingan kepada Persatuan Perjuangan pimpinan Tan Malaka. Menyadari bahaya ekses peran ERRI, Wakil Gubernur Amir balik badan. Di depan badan-badan perjuangan, dia berpidato yang menguatkan hati kalangan penentang ERRI dan komunis. Penangkapan Joenoes Nasution –yang sempat menjadi Residen Sumatra Timur selama sepuluh hari– dan pelarangan ERRI yang menjadi dua poin penting dari pidato Amir memicu gerakan perlawanan terhadap ERRI. Pada 4 Mei 1946, Residen Luat Siregar membubarkan ERRI. Persatuan Perjuangan memerintahkan cabang-cabangnya melikuidasi semua operasional ERRI dan mengambilalih kegiatan ekonominya untuk sementara waktu. Riwayat ERRI pun berakhir. “Satu ciri penting dari revolusi di Sumatra Timur dan Residensi Tapanuli adalah kekuasaan yang dilakukan para pemimpin unit bersenjata dalam mengendalikan wilayah dan sumberdaya ekonomi yang signifikan,” tulis Audrey Kahin.

  • "The Flying Dutchman" Pertama

    PADA 18 Februari 1913, pesawat Fokker yang dikemudikan Jan Hilgers lepas landas dengan mulus, disambut gegap-gempita ribuan penonton. Pesawat terbang setinggi 600 meter dan berputar-putar di langit Surabaya selama 23 menit. Untuk kali pertama sebuah pesawat mengudara di langit Hindia Belanda. “Untuk pertama kalinya saya melihat bentang alam Hindia yang ternyata sangat berbeda dengan Eropa. Sampai-sampai saya khawatir apa yang akan terjadi jika mesin saya rusak dan terjatuh di sini,” ujar Hilgers dalam wawancara dengan koran Het Nieuws van Den Dag voor Nederlandsch-Indie , 5 Agutus 1920. Johan Willem Emile Louis Hilgers pria berdarah campuran (Indo). Lahir di Probolinggo, Jawa Timur, pada 19 Desember 1886. Pada usia 11 tahun, dia menempuh pendidikan teknik di Amsterdam, Belanda, sampai 1908. Dua tahun kemudian, dia bekerja di Verwey & Lugard, salah satu perusahaan penerbangan pertama di Belanda. Persaingan antarperusahaan penerbangan di Belanda sangat ketat. Mereka berlomba menerbangkan pesawat yang pertama di Belanda. Hilgers kemudian dikirim ke Prancis untuk belajar menerbangkan pesawat, meski dia belum mempunyai lisensi pilot. Akhirnya pada 29 Juli 1910, Hilgers menjadi orang pertama yang menerbangkan pesawat di langit Belanda. Penerbangan bersejarah itu terjadi di kota Ede, disaksikan ratusan penonton. Sebenarnya Hilgers belum begitu terlatih mengemudikan pesawatnya, Bleriot XI. Setelah lepas landas, dia terbang lurus, mendarat, memutar arah pesawat, lalu terbang lurus kembali ke tempat dia lepas landas. Demonstrasi tersebut merupakan sukses besar. Hilgers mendapatkan lisensi pilot pada 12 Agustus 1912 dari Eerste Nederlandse Vliegvereniging (ENV), organisasi penerbangan Belanda pertama. Ketika Verwey & Lugard bangkrut, Hilgers pergi ke Jerman untuk bekerja dengan Anthony Fokker, penerbang Indo kelahiran Kediri. Hilgers kemudian menjadi pilot tes perusahaan Fokker. Dia sempat delapan bulan di Rusia untuk melakukan demonstrasi. Sepulang dari Rusia, dia berpikir untuk pergi ke tempat lain untuk mendemonstrasikan pesawatnya. “Hilgers ingin pulang ke Hindia, dan perusahaannya memutuskan untuk mendemonstrasikan produknya di sana juga. Akhirnya pada 28 Desember 1912, dia pergi ke Hindia dengan membawa-serta dua pesawat Fokker,” tulis Wim Schoenmaker dan Thijs Postma dalam Aviateurs van Het Eerste Uur . Lalu tibalah saat bersejarah di Surabaya. Meski akhirnya pesawat yang dikemudikannya jatuh, toh dia selamat tanpa terluka. Hilgers memecahkan dua rekor sekaligus: penerbang pertama sekaligus pilot pertama yang selamat dari kecelakaan pesawat di Hindia. “Di penerbangan pertama ini, saya langsung jatuh ke areal hutan bambu dan merusakkan pesawat saya,” tutur Hilgers. Hilgers tidak kapok. Setelah memperbaiki pesawatnya yang ringsek, dia melakukan demonstrasi di beberapa kota seperti Batavia, Semarang, Yogyakarta, dan Bandung. Hilgers tidak kembali ke Belanda. Dia menikah dengan Anna Sophia Biljenburh di Bangil, Jawa Timur, pada 27 September 1913. Pada 1914, dia menjalin kontak dengan militer dan akhirnya bersama Hein ter Poorten, komandan Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) masa Perang Dunia II, merintis pembentukan Angkatan Udara Tentara Kerajaan Hindia Belanda (ML-KNIL). Di Hindia, Hilgers telah lepas landas sekitar 3.000 kali, 20 di antaranya kecelakaan. Ajaibnya, dia tidak pernah terluka serius. Dia menghabiskan sisa hidupnya dengan bekerja sebagai instruktur dan teknisi pesawat KNIL, hingga invasi Jepang membuatnya mendekam di kamp interniran. Hilgers meninggal dunia dalam tawanan pada 21 Juli 1945 di Ngawi. Di Indonesia, nama Hilgers seakan terlupakan. Sedangkan di kota Ede, namanya tersemat dalam tugu peringatan pada 1955 dan diabadikan sebagai nama jalan, Jan Helgerswag , pada 1970. Pada 2010 sebuah parade atraksi udara dilakukan di Belanda dengan nama Jan Hilgers Memorial Airshow, yang menunjukkan betapa besar peranannya dalam dunia penerbangan Belanda. Maka tidak salah jika Jan Hilgers dijuluki The First Flying Dutchman , penerbang Belanda pertama dalam sejarah.

  • Kisah Baju Seksi You Can See

    YOU can see busana tanpa lengan untuk perempuan. Biasanya berupa dress atau gaun terusan sebatas lutut, di atas lutut, atau di bawah lutut. Di negeri Barat, orang menyebutnya sleeveless dress . Di Indonesia, khalayak menamainya you can see . Istilah you can see sangat sohor dalam dekade 1950-an. Beroleh istilah demikian tersebab khalayak bisa melihat ketiak (you can see ket) , sebagian payudara (you can see dad ), dan lengan si perempuan pemakai. “Meskipun kadang-kadang kita lihat juga nampak panunya atau penyakit kulitnya,” tulis Sunday Courier , 13 Februari 1955. Kehadiran you can see menimbulkan polemik sengit dan luas. Ia menjadi buah bibir kaum perempuan, laki, kalangan terdidik, politisi, dan polisi. Ia membelah khalayak di Surakarta, Yogyakarta, Kediri, dan Jakarta. Sekelompok orang menentang, selingkar lainnya menerima you can see . Penentang you can see berdalil busana ini kreasi negeri Barat. Tak laras dengan wanita Indonesia. “Mengenai jurk (gaun, red .) you can see yang menjadi persoalan ramai sekarang ini, sejak ia menjadi mode, kita sudah menyatakan bahwa mode ini tidak tepat bagi kaum wanita kita. Pakaian ini adalah tepat bagi wanita Barat...,” tulis Dunia Wanita , 4 Februari 1955. Keberatan terhadap you can see berkisar pula pada kesusilaan. Dunia Wanita menilai busana ini melanggar kesusilaan timur. Kalau khalayak menerima you can see , kesusilaan timur bakal rusak. Laki-laki akan kehilangan akal sehat. Mereka memandang perempuan secara bernafsu. Perempuan pun terancam. “… jurk ini juga memancing kemarahan berahi kaum laki-laki… akibatnya kita kaum wanita yang memakai pakaian demikian menjadi stimulan bagi kaum pria untuk mengganggu kita.” Penentang you can see bersuara kian keras. Mereka menyeru, “Kaum ibu dan organisasi wanita harus ikut memberantasnya,” tulis Dunia Wanita No. 6 , Maret 1955. Mereka mengajak para pendidik, pemuda, kaum tua, dan agamawan turut membantu gerakan memberantas you can see . Salah satunya dengan usulan razia oleh pemerintah terhadap pemakai you can see . Pemerintah agak berpihak pada penentang you can see. Mereka berjanji akan segera melarang penggunaan you can see . Tapi sejumlah orang tak bertanggungjawab bergerak mendahului rencana pemerintah. Seorang gadis pemakai you can see di Yogyakarta menjadi korban pengguntingan busana you can see oleh orang tak bertanggung jawab. “Setelah pulang dari nonton bioskop mengetahui bahwa rok yang dipakai untuk menarik perhatian para lelaki itu digunting waktu pertunjukan film sedang berlangsung,” tulis Sunday Courier No. 13, 1955. Karuan perempuan pemakai you can see ketar-ketir. “Aku kini sudah agak risih memakai baju you can see . Sudah deg-degan, jangan-jangan aku kelak tercegat oleh tukang gunting baju,” keluh seorang gadis di Jakarta kepada Minggu Pagi , 20 Februari 1955. Jengah dengan tindakan semena-mena, pendukung you can see bersuara. Seorang polisi terang mengaku tak setuju dengan razia pemakai you can see . “Menurut sepanjang pengetahuanku hingga kini belum ada pemerintah menentukan lengan baju wanita harus sekian panjangnya, bentuk dada harus sebegini, dan sebagainya,” kata seorang polisi kepada Minggu Pagi , 23 Januari 1955. Ketimbang merazia pemakai you can see, pendukung you can see justru meminta pemerintah lebih dulu memperhatikan model busana terbuka lain. “Misalnya pakaian serimpi, bedoyo, tandak harus diubah,” tulis Sunday Courier No. 13, 1955. Pendukung you can see juga mempertanyakan mengapa khalayak tak bertindak terhadap pemandangan tepi kali Ciliwung, Jakarta. Mereka bilang banyak perempuan ber- you can see all di sana. Lebih menggoda ketimbang perempuan pemakai you can see . “Dan biasanya kalau orang lihat sedikit tentu ingin lihat lebih banyak. Tapi kalau sudah lihat semua, dianggapnya… biasa! Terserahlah!” tulis Sunday Courier No. 13, 1955. Razia sepihak terhadap you can see tak menghentikan perempuan untuk memakainya. Kini sebagian besar orang mulai mafhum dengan pemakai you can see . Dan segelintir lagi masih terjebak pada perdebatan lama.*

  • Bung Tomo Menikah Saat Perjuangan Kemerdekaan

    DI masa revolusi, para pemuda menempatkan perjuangan mempertahankan kemerdekaan (1945-1949) di atas kepentingan diri sendiri. Revolusi menuntut pengorbanan segala-galanya, termasuk perkawinan sebagai “kenikmatan” pribadi. Tak heran jika mereka kerap jengkel melihat iklan-iklan perkawinan dan pertunangan di suratkabar. “Mereka berpendapat bahwa perkawinan dan pertunangan bertentangan dengan sifat revolusi yang menjadi-jadi,” tulis Soe Hok Gie dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan. Sorotan pun dialamatkan kepada Bung Tomo, tokoh pemuda dan penyulut semangat pertempuran Surabaya, ketika hendak menikah di masa revolusi. Muncul pro dan kontra. Ada yang menyayangkan mengapa Bung Tomo tidak konsekuen dengan janjinya untuk tidak menikah sebelum perjuangan selesai. “Kami dapat menerima kekecewaan ini,” kata Sulistina dalam Bung Tomo Suamiku , “tetapi tak dapat menjelaskan secara pribadi apa yang menjadi pertimbangan pernikahan kami.”  Sejatinya, Bung Tomo juga memiliki perasaan bersalah. Untuk itu, dia meminta izin dan persetujuan dari kelompok pemuda yang dipimpinnya, Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI). Dalam iklan perkawinan Bung Tomo dengan Sulistina di harian Boeroeh , 16 Juli 1947, pucuk pimpinan BPRI menyetujui perkawinan itu pada 19 Juni 1947, dengan perjanjian: “Setelah ikatan persahabatan mereka diresmikan, mereka akan lebih memperhebat perjuangan untuk rakyat dan revolusi; meskipun perkawinan telah dilangsungkan, mereka tidak menjalankan kewajiban dan hak sebagai suami-istri sebelum ancaman terhadap kedaulatan negara dan rakyat dapat dihalaukan.” Iklan tersebut, menurut Soe Hok Gie, memperlihatkan Bung Tomo merasa berdosa karena perkawinannya dilangsungkan di tengah suasana revolusi. Seolah-olah dia hanya mencari kenikmatan pribadi. Mereka kemudian berjanji tidak akan menjalankan hak dan kewajiban sebagai suami-istri sampai ancaman terhadap kedaulatan berakhir. “Kami harus berjanji melaksanakan dengan patuh, syarat ini demi keselamatan negara,” kata Sulistina. Menurut kepercayaan orang-orang tua, bila pemimpin pasukan atau negara menikah di masa perang, pantang baginya melakukan hubungan suami-istri selama 40 hari. Jika dilanggar akan ada medan perang yang dibobol musuh. “Entah dari mana tradisi itu, namun demi keselamatan negara kami berjanji akan mematuhi,” kata Sulistina. Bung Tomo pun meyakini kepercayaan tersebut dan meminta kepada istrinya, “kita jalani puasa 40 hari ini ya. Demi keberhasilan perjuangan.” Sulistina mengangguk. Akhirnya, masa puasa 40 hari itu berlalu. Sehari sebelumnya, Bung Tomo memberikan sebuah buku kepada istrinya: Kamasutra .

  • Jean Baptiste De Guilhen, Duta Prancis di Kesultanan Banten

    JEAN BAPTISTE DE GUILHEN, Pilavoine, dan Calmel lalu mendapat tugas mengurus loji Prancis di Banten yang baru didirikan. Sultan Banten Ageng Tirtayasa memberi izin pendirian loji Prancis sebagai balasan atas niat baik Prancis yang berjanji membantu Banten dalam usahanya mengalahkan Palembang. Sultan juga berjanji akan memberikan konsesi di Bangka Belitung, yang meminta perlindungan Banten, kepada Prancis kelak ketika kepulauan itu sudah lepas dari Palembang. Tugas pertama, mencari muatan untuk kapal Saint Francois , berhasil diselesaikan Guilhen dengan baik. Dia mendapatkan 2500 bahar lada hitam, di antaranya didapatkan langsung dari Syahbandar Kaytsu. Perniagaan kompeni Prancis di Banten kian lancar berkat tangan dingin Guilhen, meski tak selalu semulus seperti diperkirakan sebelumnya. Guilhen, misalnya, dengan mudah mendapatkan pinjaman 20 ribu real dari sultan saat sebuah kapal Prancis tiba dengan muatan terlalu sedikit, pada 28 Mei 1680. Pinjaman dari sultan itu dipergunakan Guilhen untuk menambah muatan kapal yang akan berlayar ke Tonkin (Vietnam). Banten sendiri makin kuat secara ekonomi dengan berdirinya loji Prancis –dan loji-loji negara lain. Posisi tawarnya terhadap VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur), pesaingnya yang berada di Batavia, menjadi lebih tinggi. Keberhasilan itu merupakan buah dari hubungan baik Guilhen dengan sultan dan perwakilan negeri-negeri Eropa di Banten. Hal itu terus terjaga hingga ketika Guilhen akhirnya menjadi ketua loji. Sultan, yang sangat percaya Guilhen, memintanya menjadi perwakilan orang Eropa yang menghadap kepadanya sewaktu kesultanan mengadakan Hari Keputraan Sultan (perayaan ulangtahun sultan). Guilhen pula perwakilan Prancis yang mendapatkan izin sultan untuk membangun rumah ibadah dan menempatkan seorang pastor di loji. Sifat filantropis Guilhen tetap terjaga selama di Banten. Dia tanpa segan langsung mendermakan uangnya kepada orang miskin atau orang yang sedang dalam kesulitan, namun dia sama sekali tak tergerak untuk memberi derma kepada pengemis; baginya sangat memalukan agama. “Ia sering berderma dan kadang-kadang di luar kemampuannya…sehingga ia menjual sehelai kain sulam yang berharga hanya untuk mengeluarkan seseorang yang berhutang dari penjara,” tulis Claude Guillot dalam Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII . Ketika seorang pegawai Kongsi Dagang Inggris (EIC), Constance Phaulkon, difitnah atasannya dan meminta perlindungan loji Prancis, Guilhen menerimanya dengan ramah. Dia berusaha memediasi Constance dengan Arnold White, ketua loji Inggris di Banten. Namun Arnold White menolak. Guilhen kemudian menolong Constance dengan memberi pinjaman untuk modal niaga. Namun, perang Belanda-Prancis di India merembet hingga Nusantara. Keberadaan Prancis di Banten ikut memanaskan Belanda di Batavia yang hubungannya dengan Banten tegang. Belanda sendiri memanfaatkan perpecahan di Banten dengan mendukung Sultan Haji, anak Sultan Ageng Tirtayasa, yang berambisi berkuasa. Loji Prancis beraliansi dengan loji Inggris dalam menghadapi Belanda. Akibat ketegangan itu, kapal-kapal perang Belanda melakukan blokade yang mengakibatkan beberapa kapal Prancis jadi korban penangkapan kapal-kapal Belanda. Di Batavia, banyak orang Prancis ditahan. “Pihak Belanda yang takut bahwa terbentuknya aliansi antara Prancis dan sultan ditujukan pada Batavia,” tulis Bernard Dorleans dalam Orang Indonesia dan Orang Prancis: Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX . Upaya Guilhen berdiplomasi dengan Batavia tak berhasil. Perseteruan Prancis-Belanda itu akhirnya selesai setelah Perjanjian Nijmegen ditandatangani kedua belah pihak pada 17 September 1678. Perniagaan Prancis di Banten, yang sempat surut, kembali berjalan tapi tak bertahan lama. Setelah Sultan Haji berkuasa atas dukungan VOC, perwakilan-perwakilan asing diusir. Loji Prancis bubar, Guilhen melarikan diri ke Batavia pada 27 Mei 1682. “Berakhirlah masa tinggalnya selama sepuluh tahun lebih di Banten,” tulis Guillot. Dari Batavia, Guilhen menumpang kapal Inggris dan mencapai Surat pada awal Januari 1683. Keinginannya membantu misi seminari di Siam kandas lantaran hepatitis menyerangnya. Dia akhirnya kembali ke Prancis. Di Paris, dia berjuang keras di meja hijau selama dua tahun untuk mendapatkan uangnya yang dipinjam kompeni. Meski harus merogoh kocek 18 ribu franc, dia akhirnya menang di pengadilan dan mendapatkan uangnya lebih dari 50 ribu livres. Guilhen akhirnya mendapatkan impiannya: mengabdi di Missions Etrangeres de Paris (MEP). Di sana dia menjalani hari-hari laiknya biarawan, dan aktif memberi bantuan kepada siapapun. Dia aktif menengahi konflik antara MEP dan Jesuit, sampai ikut mengawal perwakilan keduanya ke Vatikan. Namun, dia pulang lebih awal karena kesehatannya memburuk. Pada awal 1709, beberapa penyakit menyerangnya serentak. Setelah enam pekan berjuang melawan berbagai penyakit, pukul enam petang Guilhen berpulang.

  • Sejarah Ilmu Mengolah Suara Perut

    MASIH ingat Ria Enes dan Suzan? Ria, alias Wiwik Suryaningsih, seorang ventriloquis atau ahli suara perut. Ventriloquis mampu berbicara tanpa terlihat menggerakkan bibir. Sedangkan Suzan boneka perempuan. Ia bisa berbicara, seolah hidup. Ria menggunakan kemampuannya untuk menghidupkan Suzan demi menghibur dan mendidik anak-anak selama dekade 1990-an. Sebelum Ria Enes, Indonesia sempat memiliki sejumlah ventriloquis. Bagaimana mula kemunculan mereka? Ventriloquisme atau ilmu mengolah suara perut berkembang di masyarakat Semit, Yunani, Romawi, dan Mesir Kuno. Menurut Steven Connor dalam Dumbstruck: A Cultural History of Ventriloquism , masyarakat kuno menggunakan ventriloquisme sebagai penghubung orang hidup dengan orang mati. Ventriloquis menduduki posisi terhormat. Para pendeta dan biarawan pada abad pertengahan (abad ke-5 sampai 16) merombak pandangan tentang ventriloquisme. Ilmu ini terlarang. Pelakunya termasuk kaum pagan dan penyihir. Hukuman dan siksaan untuk mereka mulai berlaku. Para ilmuan masa Renaisans (abad ke-17) menghantam balik pandangan biarawan. Mereka berpendapat ventriloquisme tak ada hubungannya dengan keyakinan dan sihir. Ventriloquisme mendapat tempat lagi. Bahkan beralih ke arena hiburan. Melalui pesulap dalam rombongan sirkus, ventriloquisme menyebar ke pelbagai penjuru dunia. Di Indonesia, ventriloquisme berkembang berkat jasa pesulap bernama W. Duve. “Satu-satunya ventriloquis yang pada waktu itu terdapat di Indonesia,” kata Setiawan Tebiono alias Pak Seladri, dikutip Djaja, 1 Februari 1964. Pak Seladri pesulap asal Surabaya. Dia belajar sulap sejak umur 13 tahun pada 1940-an dan tertarik pada ventriloquisme saat bertemu W. Duve memainkan “boneka bicaranya”. Pak Seladri lalu pergi ke Pasar Baru, Jakarta. Dia membeli boneka kayu mungil seukuran 12 cm berwujud anak laki-laki seperti Charlie McCarthy, boneka ventriloquis terkenal Amerika Edgar Bergen. Di bagian tubuh boneka itu terdapat celah untuk memasukkan dua tangan. Dari celah ini, tangan Pak Seladri bisa menggerak-gerakkan bibir boneka seolah kelihatan berbicara. Dia menamakan boneka itu “si Didi”. Untuk mengisi suara boneka, Pak Seladri belajar dari W. Duve. Dia berlatih keras tiap hari. “Bicara dan bernyanyi sendiri di rumah, di kamar tidur, di kamar mandi, atau di manapun. Malah di mobil yang menjemputnya tiap hari ke kantor, ia berlatih terus,” tulis Djaja . Hasilnya, dia mulai mahir dan berani tampil di hadapan khalayak pada 1958. Bersama Didi, dia menghibur anak-anak. “Di manapun Pak Seladri dan si Didi muncul, suasana di antara para hadirin selalu riang gembira dan gelak tertawa memenuhi ruangan,” tulis Djaja . Dalam tiap pertunjukan, Pak Seladri mampu membuat penonton aktif. Dia terutama suka sekali meminta anak-anak turut serta. “Si Didi mengajak mereka berdialog, berkelakar, dan berjenaka.” Pak Seladri melakukan semuanya tanpa bayaran. “Tetapi amatir semacam Pak Seladri dengan kawan-kawan dan murid-muridnya memiliki taraf profesional yang bermutu tinggi.” Gatot Soenjoto, ventriloquis kelahiran 1940, mengikuti jejak Pak Seladri sebagai penghibur yang menekankan mutu penampilan. Sejak mengenal ventriloquisme dari seorang pastur di Surabaya pada 1950-an, Gatot menempa diri dengan latihan keras. Dia belajar ventriloquisme sampai ke Amerika pada 1974, membeli boneka kayu, dan berhasil memperoleh sertifikat dari Michael Tannen, ventriloquis sohor AS. “Saya tak akan menjadi lebih besar kalau saya sendiri menganggap main sulap atau ventriloquist sangat remeh,” kata Gatot, dikutip Kompas , 28 April 1985. Balik ke Indonesia, Gatot tampil bersama boneka bernama Tongki pada 1976. “Filosofinya jadi boneka itu ditemukan dari tong sampah. Saya memberi pengertian pada anak-anak kalau punya barang masih bagus jangan dibuang, nanti akan berguna di kemudian hari,” kata Gatot, dikutip Jakarta-Jakarta , 12 Oktober 1996. Kehadiran mereka di TVRI , pesta anak-anak, dan hajatan lain berhasil menarik perhatian masyarakat. Keterkenalan tak membuat Gatot lantas aji mumpung dan ngoyo . Tarif tampil terjangkau semua kalangan. Dan dia membatasi penampilannya. Banyak tampil bikin persiapan kurang. Sebaliknya, sedikit tampil memberinya waktu persiapan lebih banyak. Dia juga tak mau tampil lama-lama. “Baginya lebih baik sebentar tapi puas, daripada berlarat-larat tanpa mutu,” tulis Kompas , 8 Mei 1988. Kemudian zaman bergerak. Nama-nama ventriloquis itu tidak tampil lagi. Pertunjukan ventriloquis seakan menjadi asing. Baru belakangan melalui ajang pencarian bakat, muncul penampil ventriloquis seperti Jerry Gogapasha, bahkan komedian Iwel Sastra pun menekuninya. Padahal, ventriloquis dapat menjadi penghibur dan pendidik anak-anak.

  • Sudirman Bukan Sembarang Piala

    KEJUARAAN bulutangkis Piala Sudirman yang akan digelar di Dongguan, Tiongkok, 10-17 Mei 2015, tidak akan dapat disaksikan melalui layar kaca. Pasalnya, tidak ada satupun televisi nasional yang membeli hak siarnya. Melalui twitter, netizen pun protes dengan tagar #RIPTVNasional pada Minggu (12/4). Padahal, perjuangan mewujudkan Piala Sudirman menempuh jalan yang panjang. Indonesia harus bangga karena putra terbaiknya, Dick Sudirman, diabadikan menjadi nama kejuaraan beregu campuran putra dan putri: Piala Sudirman. Sudirman, pendiri PBSI (Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia), didaulat sebagai Bapak Bulutangkis Indonesia. Dia menjabat ketua umum PBSI (1952-1963 dan 1967-1981) dan wakil presiden IBF (International Badminton Federation, kemudian jadi Badminton World Federation) pada 1975. Sebagai bentuk penghargaan atas dedikasinya dalam bulutangkis Indonesia, namanya diusukan sebagai Piala Sudirman untuk kompetisi beregu putra dan Piala Rameli Rikin untuk beregu putri. Usul itu kali pertama dikemukakan pada kongres PBSI tahun 1963 di Makassar. Namun, Sudirman selalu menolak usul itu, sampai dia meninggal pada 10 Juni 1986. Suharso Suhandinata, wakil ketua umum PBSI tahun 1968, sahabat Dick Sudirman, berusaha keras memperjuangkan Piala Sudirman agar disetujui IBF. “Suharso Suhandinata adalah orang pertama yang mengangkat kembali persoalan Piala Sudirman ini ke permukaan setelah satu setengah bulan Sudirman meninggal dunia,” tulis Justian Suhandinata dalam biografi bapaknya, Suharso Suhandinata, Diplomat Bulutangkis . Suharso memulai langkahnya secara diam-diam dengan mengirim surat ke beberapa tokoh IBF, seperti mantan Presiden IBF Poul Erik Nielsen, agar jasa-jasa Sudirman dalam mempersatukan IBF dan WBF selalu dikenang. Mulanya hanya mendapat sedikit tanggapan, namun kemudian jumlah anggota IBF yang mendukung semakin bertambah, sampai akhirnya mayoritas anggota setuju. Karena Suharso tidak lagi aktif di PBSI apalagi IBF, perjuangannya dilanjutkan anaknya, Justian Suhandinata, anggota dewan IBF dan Titus K. Kurniadi, salah seorang ketua komisi IBF. Hampir dalam setiap forum IBF, mereka mengangkat masalah Piala Sudirman. Langkah pertamanya, yaitu merebut tempat sebagai tuan rumah kejuaraan dunia. Dalam sidang IBF di Beijing, Indonesia menyatakan siap menjadi tuan rumah Kejuaraan Dunia 1989 dengan menyiapkan dana 375.000 dollar AS, dua kali lipat dari dana yang disiapkan Denmark. Setelah ini gol, langkah berikutnya adalah memperjuangkan Piala Sudirman. Namun, baik Justian maupun Titus belum tahu kira-kira untuk kejuaraan apa Piala Sudirman itu. “Untuk pemain terbaik dalam kontes Piala Thomas? Pemain terbaik Kejuaraan Dunia? Atau? Masih gelap,” tulis Justian. Akhirnya, dalam omongan lepas di luar sidang di Beijing itu, seorang pengurus Persatuan Bulu Tangkis Eropa, mengatakan bahwa di Eropa sejak 1972 diselenggarakan kejuaraan beregu campuran (putra dan putri) yang menarik dan banyak peminatnya. Justian dan Titus menangkap ide itu: Piala Sudirman untuk kejuaraan beregu campuran putra dan putri. Mulailah dikampanyekan adanya sebuah kejuaraan beregu campuran tingkat dunia di bawah IBF. Justian dan Titus mengangkat masalah itu ke pertemuan tahunan IBF di Seoul, Korea Selatan, dilanjutkan di Kuala Lumpur, Mei 1988. Keputusan final diambil dalam pertemuan IBF di Singapura, Oktober 1988. Tiga hari sebelum pertemuan dewan (council meeting) IBF diadakan, Titus datang memberitahu Suharso bahwa Piala Sudirman terancam digagalkan, karena anggota IBF dari belahan Eropa cenderung memutuskan memberi nama Herbert A.E. Scheele Trophy (sekretaris jenderal IBF). Dukungan dari daratan Eropa terhadap gagasan itu mengalir deras.

  • Jejak Orang Prancis di Kesultanan Banten

    AKUNTAN sekaligus ahli tekstil Prancis, Jean Baptiste de Guilhen, masih menyelesaikan pembukuan perusahaannya. Suara langkah terdengar memasuki rumahnya pada malam di tahun 1668. Dia mengambil senjata dan menembak dua orang yang dia anggap rampok itu. Seorang tewas, seorang lagi berhasil diselamatkan. Ternyata, kedua orang itu anak buahnya yang tinggal serumah di Beaucaire, Prancis. Guilhen tak pernah menduga peristiwa itu bakal mengubah jalan hidupnya. Lahir di Tarascon, Foix, Prancis pada 8 September 1634, Guilhen merupakan anak keluarga borjuis kaya yang menganut Katolik taat. Sejak kecil dia dititipkan ke neneknya, seorang Katolik puritan, agar mendapat pendidikan yang baik. Selain itu, dia mendapat pendidikan ilmu umum dari guru privat. Minat belajar besar dan dia berbakat. Setahun setelah neneknya meninggal, dia berangkat ke Lyon. Menurut Claude Guillot dalam Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII , pada 1649, ayahnya memutuskan untuk menghentikan pendidikannya dan mengirimnya ke Lyon untuk bekerja di sebuah perusahaan perdagangan tekstil ternama.  Ayahnya menyuruh dia bekerja di perusahaan tekstil ternama. Dia memulai kariernya dari penjaga gudang. Namun hasratnya untuk terus belajar membuatnya cepat maju. Pertemuan sehari-hari dengan tekstil membuatnya jadi ahli tekstil dengan spesialisasi sprei. Dia juga belajar akuntansi waktu menjadi penjaga gudang, ini yang membuatnya diminta perusahaan menangani pembukuan. Atasan Guilhen sangat terkesan oleh prestasinya. Selain menaikkan pangkat Guilhen, sang atasan juga meminta Guilhen menjadi mitra perusahaan. Dia diminta menangani pengiriman barang ke Italia, tempat yang sering dia kunjungi. Guilhen pula yang mendapat kepercayaan untuk membawa uang gaji prajurit yang bertugas di Pignerol dan Casal di Piemont, Italia utara. Guilhen sadar, risiko kerjanya sangat tinggi. Pernah beberapakali dia hampir dirampok di daerah antara Bologna dan Modena ketika mengantarkan uang perusahaan. Namun, peristiwa di Beaucaire tak bisa membuatnya tetap di perusahaan. Salah satu anak buah yang menjadi korban penembakan Guilhen, atas dorongan teman-temannya, bersaksi di pengadilan. Guilhen divonis hukuman mati. Setelah memutuskan keluar dari perusahaan, Guilhen melarikan diri. Tak lama kemudian dia mendapatkan pekerjaan di Royale Compagnie Francaise des Indes (Kongsi Dagang Prancis di Hindia Timur), yang sedang meluaskan jaringan ke Asia Timur dan membutuhkan tenaga kerja. Menggunakan kapal Vautour , Guilhen berangkat pada awal Mei 1670 dan tiba di Surat, India, awal tahun berikutnya. Namun di Surat, Francois Caron, pimpinan Kongsi Dagang Prancis di Asia sekaligus pemimpin armada pelayaran, mendapat ide untuk membuka kantor perwakilan di Banten. Hal itu berangkat dari pengalaman Caron yang pernah bekerja pada VOC dan berambisi membuat kongsi dagang Prancis sebesar VOC. “Perancis, atau lebih tepatnya personil Belanda yang direkrut oleh mereka, serta partisipan Belanda di East India Company Perancis, akrab dengan kondisi di kepulauan Indonesia, seperti yang ditunjukkan oleh pilihan mereka terhadap Banten sebagai pelabuhan impian,” tulis Thomas G. Watkin dalam Legal Record and Historical Reality: Proceedings of the Eighth British Legal. Guilhen ikut di dalam rombongan tersebut. Pada Maret 1671, tiga kapal niaga yang baru tiba dari Prancis itu pun berlayar menuju Banten.

bottom of page