Hasil pencarian
9572 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Gaji Tiga Presiden
Tiga presiden: Soeharto, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Sukarno. BUKAN cuma jelata, gaji presiden pun lama tak naik. “Bahkan ini tahun keenam atau ketujuh gaji Presiden belum naik,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di depan jajaran petinggi Mabes TNI dan Mabes Polri, di Gedung Balai Samudra Indonesia, Jakarta, 21 Januari lalu. Alih-alih membesarkan hati para anggota TNI dan Polri karena pemerintah berkomitmen meningkatkan gaji dan remunerasi setiap tahun, pernyataan SBY soal gajinya berbuntut panjang. Kritik pun berdatangan. Bahkan di DPR RI ditemukan kotak “Koin untuk Presiden” terinspirasi gerakan Koin Peduli Prita. Heboh kenaikan gaji Presiden SBY ini sebetulnya bukan berita baru. Pada periode pertama kepresidenan SBY, tiga media massa nasional memberitakan kenaikan gaji dan dana taktis Presiden SBY. Menanggapi pemberitaan Rakyat Merdeka (31/12/2005 dan 1/1/2006), Kompas (31/12/2005), dan Jakarta Post (31/12/2005) itu Juru Bicara Presiden Andi A. Mallarangeng membantahnya. “Sungguh merupakan fitnah yang keji, jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dituduh telah melakukan kebohongan publik sebagaimana ditulis oleh salah satu media yang terbit tanggal 1 Januari 2006. Selama ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selalu konsisten dengan pernyataannya bahwa tidak ada kenaikan gaji dan tunjangan Presiden dan Wakil Presiden serta dana khusus operasional/taktis Presiden dan Wakil Presiden untuk tahun 2006,” kata Andi dalam siaran pers seperti dimuat situs resmi Presiden SBY, presidenri.go.id , 1 Januari 2006. Andi yang sekarang menjabat Menteri Pemuda dan Olahraga itu mengatakan kalau Presiden SBY tetap menerima gaji dan tunjangan sebagaimana yang diterima presiden sebelumnya, yakni Rp62.497.800. Besaran gaji Presiden itu sama dengan besaran gaji Presiden sejak 2000, semasa Presiden K.H. Abdurrahman Wahid dan Presiden Megawati Sukarnoputri, sebagaimana diatur UU No. 7/1978 dan PP No. 75/2000 serta Keppres No. 68/2001. Adapun dana taktis Presiden sebesar Rp2 miliar tetap sama besarannya sejak masa kepresidenan Megawati Sukarnoputri. Sementara itu, menurut rilis majalah The Economist edisi 5 Juli 2010, gaji Presiden SBY masuk jajaran penerima gaji terbesar ketiga di dunia bila dibandingkan dengan pendapatan per kapita penduduknya. Indonesia berada di bawah Kenya dan Singapura, yakni sebesar $124.171 atau sekira Rp1,128 miliar per tahun. Artinya dalam sebulan Presiden SBY menerima gaji sekira $10 ribu atau Rp94 juta per bulan atau 28 kali pendapatan per kapita rakyat Indonesia. Lantas bagaimana dengan gaji Presiden Sukarno dan Soeharto? Keputusan jumlah gaji presiden baru ditetapkan tiga bulan sejak pengangkatan Sukarno sebagai presiden pada 18 Agustus 1945. Sementara Peraturan Pemerintah khusus mengenai gaji pegawai negeri belum ada, pemerintah saat itu mengacu pada Penetapan Pemerintah No. 1/O.P yang ditandatangani oleh Sekretaris Negara A.G. Pringgodigdo tanggal 26 Oktober 1945. Dalam pengumumannya di Berita Repoeblik Indonesia edisi 17 November 1945, Pemerintah menyebutkan gaji Presiden dan Wakil Presiden sebesar f.1.000 dengan ongkos representasi (tunjangan- Red ) sebulan tidak disebutkan nilainya hanya keterangan “semua dipikul oleh negara”. Menurut Pringgodigdo gaji tersebut bersifat sementara. Walaupun begitu, angka itu menunjukkan sikap pemerintah terhadap politik gaji, yang jauh berbeda dari politik gaji Pemerintah Hindia Belanda dulu. “Sepanjang pengetahuan kami, di seluruh dunia tidak ada negara yang Kepala Negaranya menerima gaji hanya f.1.000 sebulan. Tentang gaji para menteri dan lain-lain pegawai tinggi itu, jika dibandingkan dengan gajinya menteri dan pegawai tinggi di negara-negara merdeka lain, boleh dikatakan biasa, tidak rendah,” kata Pringgodigdo dikutip Berita Repoeblik Indonesia, 17 November 1945. Dalam memoarnya, Catatan Kecil Bersama Bung Karno , Fatmawati berkisah, “Setiap bulannya aku mendapat amplop dari gajinya Bung Karno yang jumlahnya tidak seberapa. Dari gaji itu aku cukupkan untuk keperluan makan dan lain-lainnya. Aku sendiri tak mencari uang untuk dapat membantu mencukupi kebutuhan.” Di memoar tersebut dimuat foto kertas pengantar gaji Presiden Sukarno sebesar f.1.150, Februari 1952 –setelah dipotong pinjaman f.300, dari pinjaman f.1.800 yang dibayar dengan mengangsur (sedang sisa pinjaman bulan itu dikatakan masih f.1.500), dan iuran Palang Merah Indonesia sebesar f.50. Di bawah foto itu tertulis keterangan gambar: “Amplop gaji Presiden RI di sekitar tahun 1950-an yang sebulan-bulannya aku terima. Sangat sederhana bukan?” Mengenai gajinya, Sukarno sempat menceritakan dalam otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. “Dan adakah seorang Kepala Negara lain yang melarat seperti aku dan sering meminjam-minjam dari ajudannya? Gajiku $200 sebulan dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluargaku. Dari segi keuangan tidak banyak kemajuanku semenjak dari Bandung,” kata Sukarno kepada Cindy Adam. Bagaimana dengan gaji Presiden Soeharto? Menurut UU No 7 Tahun 1978 tentang Hak Keuangan/Administratif Presiden dan Wakil Presiden serta bekas Presiden dan bekas Wakil Presiden RI, gaji pokok Presiden Soeharto adalah enam kali gaji pokok tertinggi pejabat negara RI sedangkan Wakil Presiden empat kali. “Dasarnya ialah perbandingan dengan pendapatan Kepala Negara di negara lain. Selain itu perbandingan gaji pokok tidaklah menggambarkan perbandingan kekuasaan atau kedudukan, tapi terutama berdasarkan luasnya bidang kerja dan beratnya tanggungjawab,” kata Menteri PAN JB Sumarlin dikutip Tempo, 9 Desember 1978. Saat itu, gaji pokok tertinggi pejabat negara seperti menteri sebesar Rp250.000. Ini berarti gaji pokok Presiden Soeharto Rp1,5 juta. Ditambah tunjangan jabatan sebesar 100 persen gaji pokok, tunjangan isteri 5 persen, dan tunjangan anak (maksimum tiga orang dan di bawah 18 tahun) masing-masing 2 persen. Total gaji Presiden Soeharto sekira Rp3 juta. Dan gaji itu setiap periodenya terus mengalami kenaikan. “Sejak awal 1993, gaji pokok presiden adalah Rp15 juta, sedangkan sebelumnya Rp4,9 juta sebulan,” tulis Tempo, 24 November 1998. Namun gaji Soeharto tidak berbanding sejajar dengan kekayaannya. Dalam otobiografinya, Ucapan, Pikiran dan Tindakan Saya Soeharto mengaku kalau hidupnya sebagaimana layaknya pegawai negeri. Ternyata pendapatannya di luar gaji resmi membuat kekayaan Soeharto terus meningkat. Menurut data Kejaksaan Agung RI dalam kurun waktu 28 Oktober 1985 sampai 15 Agustus 1999, Soeharto menanamkan pundi-pundi uangnya di berbagai perusahaan milik anak dan kroninya. Sedangkan versi majalah Time , 24 Mei 1999 yang menerbitkan “Soeharto Inc”, tebaran kekayaan keluarga Cendana di berbagai belahan dunia sebesar lebih $15 miliar dari Rp135 triliun. Kekayaan itu dalam bentuk uang tunai, properti, barang seni, berlian, dan pesawat terbang. Dua bulan setelah Soeharto jatuh, $9 miliar (sekira Rp81 triliun) yang disimpan di sebuah bank di Swiss dialirkan ke bank lain di Austria. Benar SBY tak meminta gajinya dinaikkan, namun pernyataan itu direspon cepat oleh Menteri Keuangan Agus Martowardojo. Mantan petinggi Bank Mandiri itu mengatakan kenaikan gaji dan remunerasi Presiden pada 2011 sangat dimungkinkan untuk memberikan kesempatan penyesuaian gaji dan remunerasi kepada 8 ribu pejabat negara dalam lingkungan pemerintah pusat dan daerah.
- Mengorupsi Kitab Suci
Ilustrasi: Micha Rainer Pali KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah menyelidiki dugaan korupsi pengadaan Alquran di Direktorat Jenderal Pendidikan Agama Islam Kementerian Agama. Diakui Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar, Direktorat Bimbingan Masyarakat Islam yang dulu dipimpinnya juga melakukan pengadaan Alquran, tapi dia tidak mengurusinya. Pengadaan Alquran tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan dua juta mushaf setiap tahun untuk dibagikan ke Kantor Urusan Agama di seluruh Indonesia. “Nilai pengadaan saat itu ditaksir Rp5,6 miliar yang dikucurkan Inspektorat Jenderal Kementerian Agama,” kata Nasaruddin Umar, seperti dikutip republika.co.id (21/6). Pengadaan Alquran dalam jumlah besar kali pertama pada masa pendudukan Jepang. Pada 11 Juni 1945, pemuka-pemuka Shumubu (Kantor Urusan Agama) dan Masyumi, menghadiri percetakan 100 ribu Alquran di Cirebon. Pada 1960-an Departemen Agama mendapatkan alokasi dana pampasan perang dari Jepang untuk pengadaan Alquran, yang menimbulkan kontroversi. Karena Menteri Agama KH Muhammad Wahib Wahab menunjuk Jepang sebagai tempat pelaksanaan proyek itu. Alquran yang dicetak sebanyak 5 juta eksemplar –6 juta eksemplar menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Departemen Agama– dengan biaya US$1.800. Baca juga: Alquran Cetakan Jepang Menurut Moch Nur Ichwan, “Negara, Kitab Suci, dan Politik,” dimuat dalam Sadur karya Henri Chambert-Loir, Alquran dan Terjemahnya adalah satu-satunya Alquran resmi yang diterbitkan pemerintah –meskipun kemudian swasta diberi hak menerbitkannya. Alquran dan Terjemahnya dikerjakan oleh Lembaga Penyelenggara Penterjemah Kitab Suci Alquran dibentuk Departemen Agama pada 1962, kemudian berubah jadi yayasan pada 1967. Alquran dan Terjemahnya, tulis Ichwan, terdiri dari tiga edisi. Edisi pertama (edisi asli), terbit dalam tiga volume pada 1965, 1967, dan 1969; disebut Edisi Yamunu karena diterbitkan oleh Yamunu (Yayasan Mu’awanah Nahdlatul Ulama). Edisi kedua (edisi revisi pertama), terbit pada 1974; disebut Edisi Mukti Ali –merujuk nama Menteri Agama saat itu. Edisi ketiga (edisi revisi kedua) terbit pada 1990; disebut Edisi Saudi, karena diterbitkan atas kerjasama Departemen Agama dan Pemerintah Arab Saudi dan dicetak oleh percetakan resmi pemerintah Arab Saudi di Madinah. Seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk, kebutuhan Alquran terus meningkat dari tahun ke tahun. “Pemerintah memfasilitasi kebutuhan umat tersebut melalui proyek pengadaan kitab suci Alquran hampir setiap tahun,” kata mantan Menteri Agama Muhammad M. Basyuni, saat meresmikan gedung Lembaga Percetakan Alquran di Ciawi, Bogor, 15 November 2008. Percetakan ini kapasitas 1,5 juta eksemplar per tahun. Menurut Lex Rieffel dan Karaniya Dharmasaputra dalam Di Balik Korupsi Yayasan Pemerintah , dalam laporan keuangan Yayasan Pembangunan Islam (YPI) tentang Proyek Pembangunan Percetakan Alquran per 31 Desember 2007 tertera sumbangan dari Departemen Agama sebesar Rp28 milyar sebagai pendapatan YPI. “Patut dicatat, pendapatan YPI lainnya hanya berasal dari jasa giro senilai Rp825 juta lebih,” tulis Lex dan Karaniya. YPI adalah yayasan di lingkungan Departemen Agama yang didirikan pada 27 Mei 1966. Tujuannya membantu pembangunan masjid, surau, madrasah, atau tempat ibadah lainnya, termasuk bergerak di bidang percetakan dan penerbitan buku, kitab, majalah keagamaan dan menyalurkan bantuan kepada misi-misi Islam. Kita masih harus menunggu perkembangan penyidikan dugaan korupsi pengadaan Alquran. Tapi, yang jelas korupsi di Kementerian Agama bukan hal baru. Menteri Agama Said Agil Husen Al-Munawar, divonis lima tahun penjara karena kasus korupsi Dana Abadi Umat, juga bukan yang pertama. Pada masa “negara dalam keadaan bahaya” (SOB) tahun 1957, mantan Menteri Agama dan anggota DPR KH Masykur ditahan di Hotel Talagasari Bandung, atas perintah KSAD sekaligus Penguasa Perang Pusat (Peperpu) Jenderal AH Nasution. Di Hotel Talagasari, terdapat lima mantan menteri, anggota konstituante, anggota parlemen, kepala jawatan, komisaris polisi, jaksa, pengusaha, dan lain-lain. Ditaksir, jumlah orang yang diperiksa berjumlah 60 orang. (Baca: Hotel “Prodeo” Talagasari di Majalah Historia nomor 2 ). Dalam memoarnya, Dari Gontor ke Pulau Buru , H. Achmadi Moestahal menyebut penangkapan para pemimpin partai politik terutama para anggota DPR sebagai bentuk “pembalasan” terhadap ulah mereka ketika terjadi peristiwa 17 Oktober 1952. “Tuduhan yang dilontarkan kepada KH Masykur,” kata Achmadi, “adalah penyalahgunaan dana nonbudgeter Kas Masjid, yaitu pengepoolan hasil retribusi biaya nikah, talak dan rujuk oleh para pegawai pencatat nikah (Depag) dan ketidakberesan pengelolaan keuangan dari penyaluran tekstil kain kafan yang merupakan bagian dari rampasan perang dari Jepang ke Indonesia.” “Setelah pemeriksaan permulaan dianggap selesai, beberapa tahanan dilepaskan yaitu KH Masykur, AK Gani, KH Ahmad Dahlan, Zainul Arifin, dan seorang komisaris polisi,” kata Jusuf Wibisono, yang juga ditahan di Hotel Talagasari, dalam biografinya, Karang di Tengah Gelombang karya Soebaginjo IN. Mantan Menteri Agama lain yang didakwa korupsi adalah KH Muhammad Wahib Wahab. Pada 30 Oktober 1962, jaksa menuntut Wahib sepuluh tahun penjara dan membayar denda Rp15 juta. Menurut jaksa, tulis Rosihan Anwar dalam Sukarno, Tentara, PKI , terdakwa terbukti melakukan transaksi gelap Rp2,9 juta dan ditukar dengan dolar Malaya 11.600 dengan kurs gelap 1.250. Di Singapura terdakwa juga mempunyai: 3 buah mobil sedan Prince, 1 sedan Pontiac, 1 sedan Mercedez Benz, dan sebuah skuter; 1 buah sedan Mazda dihadiahkan kepada kenalannya Miss Melly Kho. Ada rumah sewa sebagai tempat penginapan jika terdakwa bepergian ke Singapura. Selain itu, terdakwa juga akan membangun dua buah bangunan di Opera Estate Singapura untuk cabang perusahaan batik Ponorogo dengan biaya 39.000 dolar Malaya. Wahib menyanggah tuduhan itu. Dia menyatakan, ketika mengurus semua hal terkait pembukaan cabang perusahaan, kedudukannya bukan sebagai Menteri, melainkan dalam cuti 40 hari di Singapura. Menurut Abdul Azis, penulis profil Wahib Wahab dalam Menteri-Menteri Agama RI, H. Machdan menceritakan bahwa kekayaan Wahib di Singapura bukan miliknya, tapi punya seorang Tionghoa bernama Maliko, anak advokat di Mojokerto, yang telah lama tinggal di Singapura dan memiliki perusahaan biro perjalanan. “Maliko kenal baik dengan KH Wahib sejak kecil dan Maliko inilah yang memberi uang Wahib untuk modal berdagang,” kata Machdan. Hakim menjatuhkan vonis enam tahun penjara kepada Wahib. “Terdakwa menerima keputusan hakim dan akan memajukan grasi kepada Presiden,” tulis Rosihan. Presiden Sukarno memberikan grasi. Wahib hanya menjalani tahanan kurang dari sebulan di Salemba. H. Shobih Ubaid, kerabat dekat Wahib yang menangani pembayaran denda sampai lunas, menduga kebencian Wahib terhadap manuver Partai Komunis Indonesia (PKI) mengakibatkan Sukarno merasa risih dan tidak suka. “Sehingga, orang-orang PKI berusaha mencari celah untuk menjatuhkan KH Wahib karena khawatir posisinya sebagai Menteri Agama akan mudah menggalang opini publik yang dapat mengancam kelangsungan hidup PKI,” kata Shobih. “Oleh karena itu, kasus di atas diyakini Shobih sebagai hasil rekayasa PKI disertai dukungan politis secara tidak langsung dari Presiden,” tulis Abdul Azis. Selanjutnya, laporan utama pemberantasan korupsi di era rezim Sukarno dimuat Majalah Historia nomor 2 .
- Riwayat Al-Qur'an Bombay
Mushaf al-Qur'an Bombay terbitan PT Karya Toha Putra, 2000. (Dok. Ali Akbar/Blog Khazanah Mushaf al-Qur'an Nusantara). UMAT Muslim sedunia mengutuk aksi nekat Terry Jones yang akan membakar Al-Qur'an pada peringatan ke-9 tragedi 11 September 2010. Jika pendeta gereja kecil di Gainesville, Florida, Amerika Serikat, itu jadi membakar Al-Qur'an, kehidupan beragama pasti terancam. Namun, bagaimana jika pembakaran Al-Qur'an terjadi di Indonesia? Dua tahun sebelum pembentukan Lajnah Pentashih Al-Qur'an pada 1957, terjadi peristiwa yang diingat banyak orang: “Pembakaran beberapa ribu mushaf cetakan Bombay di Lapangan Banteng, persis pada hari Idulfitri, karena mengandung beberapa kesalahan,” tulis Tempo , 14 April 1984. Bisa jadi, peristiwa itu menjadi salah satu latar belakang pembentukan lembaga yang bertugas untuk mentashih (memeriksa atau mengoreksi) setiap mushaf Al-Qur'an yang akan dicetak dan diedarkan kepada masyarakat Indonesia. Tujuannya, “untuk menjaga berbagai kesalahan dan kekurangan dalam penulisan Al-Qur'an,” tulis lajnah.kemenag.go.id . Baca juga: Al-Qur'an dan Hadis dalam Perdukunan di Barus Al-Qur'an Bombay merupakan mushaf paling populer. Sejak pertengahan abad ke-19, Al-Qur'an Bombay beredar luas di kawasan Asia Tenggara. Peredarannya dapat dilihat dari peninggalan mushaf India di beberapa tempat: Palembang, Demak, Madura, Bima, Malaysia, hingga Filipina Selatan. Bahkan, menurut I. Proudfoot, kepala Asian History Centre Australian National University, Australia, percetakan litograf (cetakan batu) Al-Qur'an pertama di Nusantara oleh Haji Muhammad Azhari ibn Kemas Haji Abdullah Palembang pada 1854 terinspirasi oleh percetakan Al-Qur'an di India. Pada 1850-an, Palembang menjadi komunitas Arab terbesar di Asia Tenggara. Bersama Sumatra Barat, daerah ini menjadi partisipan tertinggi dalam ibadah haji. Azhari adalah generasi ketiga rombongan ibadah haji –ayah dan kakeknya telah menjalankannya. Setelah bertahun-tahun di Tanah Suci, dia melanjutkan studi di al-Azhar, Kairo, Mesir. Setelah itu, selama perjalanan pulang dengan kapal dari Timur Tengah ke Singapura, terutama sebelum Terusan Suez dibuka, “biasanya kapal singgah di sekitar pelabuhan India, dan sangat mungkin Azhari bekerja di Bombay” tulis Proudfoot dalam “Early Muslim Printing in Southeast Asia,” Libi, Vol. 45, 1995. Selama di Kairo dan India, Azhari mengenal dan mempelajari percetakan Al-Qur'an. Percetakan di India menggunakan teknik pencetakan baru, yaitu litograf yang populer di Eropa selama 1806-1817 terutama untuk karya seni, dan dibawa ke India oleh East India Company pada 1824. Pada 1850, pusat percetakan didirikan di Lucknow-Cawnpore, Agra, Delhi, Lahore, dan Hyderabad (Deccan). “Pada dekade terakhir abad ke-19, litograf Al-Qur'an […] tafsir dan sejenisnya dalam bahasa Melayu dan Jawa dicetak di Bombay (bersama banyak karya sastra populer), Lucknow-Cawnpore, Mekah, Kairo dan Istanbul,” tulis Proudfoot. Baca juga: Percetakan Al-Qur'an Era Kolonial Di Singapura, persinggahan terakhir sebelum menuju Palembang, Azhari membeli litograf untuk mencetak Al-Qur'an. Di sana, dia menemukan lima percetakan komersial yang dimiliki orang Eropa. Salah satunya Mission Press, yang dijalankan seorang misionaris Protestan, B. P. Keasberry. Pada 1849, dia menggunakan teknik ini untuk mempublikasikan autobiografi seorang pujangga dan perintis sastra Melayu modern Abdullah bin Abd al-Qadir Munsyi. Keasberry yang lahir di Hyderabad telah berhubungan dengan perkembangan percetakan di India. Tak diragukan lagi litograf India beredar di Singapura. “Mungkin atau tidak, Azhari membawa peralatan litografnya ke Mission Press,” tulis Proudfoot. Tapi, menurut Martin Van Bruinessen, Azhari belajar sendiri mengoperasikan litografnya. “Al-Qur'annya –di mana dia menulis 14 halaman berbahasa Melayu mengenai pengenalan cara pengucapan dan membaca– siap menemukan pembeli,” tulisnya dalam “Kitab Kuning: Books in Arabic Script Used in the Pesantren Milieu,” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde , Vol. 146, No. 2/3 1990. Azhari menjual Al-Qur'an dengan harga 25 gulden atau sekitar £2. “Penjualan 20 eksemplar dapat mengembalikan biaya peralatan percetakan dan memungkinkan untuk biaya kertas yang baik dan binding ,” tulis Proudfoot. Sementara itu, menurut dosen Departemen Susastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Titik Pudjiastuti, dalam Memandang Palembang dari Khazanah Naskahnya , dalam naskah Al-Qur'an koleksi pribadi Abdul Azim Amin terdapat catatan yang menyebutkan bahwa Azhari mengenal tradisi percetakan litograf dari gurunya di Singapura dan Malaka. “… dia selesai mencetak Al-Qur'an pada hari Senin tanggal 21 Ramadan 1264 Hijriyah bertepatan dengan 21 Agustus 1848. Yang dicetak sebanyak 105 Al-Qur'an selama 50 hari. Jadi, dalam satu hari sebanyak dua Al-Qur'an tiga juz. Tempat mengerjakan percetakannya di Kampung 3 Ulu, Palembang, dengan kepala kampung Demang Jayalaksana Muhammad Najib ibn Demang Wiralaksana Abdullah Alhalik…” Baca juga: Al-Qur'an Cetakan Jepang Menurut Kepala Seksi Koleksi dan Pameran Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an Ali Akbar, tak mengherankan jika tradisi cetak mushaf di kawasan Asia Tenggara dimulai dengan mereproduksi mushaf yang sebelumnya telah dicetak di India. Jenis mushaf lain yang beredar di Asia Tenggara adalah cetakan Turki dan Mesir. Selama bertahun-tahun ketika memulai usaha pada 1930-an, Penerbit Sulaiman Mar’i yang berpusat di Singapura dan Penang, Malaysia, hanya mereproduksi mushaf cetakan Bombay. Itu terlihat dari ciri hurufnya yang tebal. “Mushaf yang paling banyak dicetak adalah mushaf dengan gaya tulisan dan harakat tebal, yang kemudian sering disebut sebagai Al-Qur'an Bombay,” tulis Ali dalam “Mushaf Lama Indonesia,” lajnah.kemenag.go.id , 6 Juni 2011. Beberapa jenis mushaf berhuruf tebal itu selama puluhan tahun digunakan oleh masyarakat Asia Tenggara, terutama hingga 1970-an. Sebagian kecil penerbit masih mencetak mushaf jenis ini hingga sekarang, selain mencetak mushaf dengan jenis huruf lain karena semakin banyak pilihan jenis huruf yang bisa digunakan. Para penerbit biasanya menggunakan teks mushaf India sebagai teks pokok, sementara untuk teks tambahan di bagian depan dan belakang mushaf bervariasi, tergantung pada pilihan penerbit. Teks tambahan berupa keutamaan membaca Al-Qur'an, makharij al-huruf (tempat keluarnya huruf), tajwid, doa khatam Al-Qur'an, daftar surah dan juz, dan lain-lain, biasanya ditulis oleh para khattat (kaligrafer) Indonesia. Sejak 1984, Departemen Agama menetapkan mushaf standar, baik untuk pedoman Lajnah maupun kiblat para penerbit percetakan Al-Qur'an. Pada Februari 1983, dari hasil Musyawarah Kerja Alim Ulama Ahli Al-Qur'an IX, Menteri Agama Alamsjah menerima tiga kopi induk Al-Qur'an standar, yang penulisan bakunya dikerjakan oleh kaligrafer Ustad Ahmad Syadli selama empat tahun. Naskah Al-Qur'an standar itu baru diedarkan setelah Musyawarah Kerja Alim Ulama Ahli Al-Qur'an X pada akhir Maret 1984. “Yang diselesaikan para ulama itu sebenarnya tiga macam mushaf, yaitu mushaf Usmani (bersandar pada huruf naskah Usman dulu) yaitu naskah Al-Qur'an biasa; mushaf Bahriyah, khusus untuk para hafizh, penghafal Al-Qur'an; dan mushaf Braille, untuk para tunanetra,” tulis Tempo , 14 April 1984. Mushaf Braille menggunakan huruf Braille Arab, al-Kitabah al-Arabiyyah an-Nafirah , sebagaimana diputuskan oleh konferensi internasional Unesco pada 1951. Baca juga: Penerjemahan al-Qur’an di Cina Menurut Ali, penetapan mushaf Al-Qur'an Rasm Usmani berdasarkan mushaf cetakan Bombay, “karena model tanda baca dan hurufnya telah dikenal luas oleh umat Islam di Indonesia sejak puluhan tahun –bahkan mungkin hampir satu abad,” tulisnya, “Pentashihan dan Lahirnya Mushaf Standar Indonesia,” lajnah.kemenag.go.id , 6 Juni 2011. Sedangkan, mushaf Al-Qur'an Bahriyah modelnya diambil dari mushaf cetakan Turki yang kaligrafinya sangat indah. Jenis mushaf ini juga digunakan secara luas oleh umat Islam di Indonesia, khususnya di kalangan para penghafal Al-Qur'an, dengan ciri setiap halaman diakhiri dengan akhir ayat –dikenal sebagai “ayat pojok”. Al-Qur'an Bombay kian terpojok oleh Al-Qur'an ayat pojok. Menurut Asosiasi Penerbit Mushaf Al-Qur'an Indonesia (APMI), Al-Qur'an Bombay yang beredar sebelum tahun 2000 dicetak di atas kertas koran kualitas rendah yang mudah robek dan tak tahan lama. Tulisannya berbentuk bulat dan pendek-pendek, serta sulit dibaca karena huruf hijaiyahnya banyak yang ditumpuk atau tidak linier. Paling mencolok dari Al-Qur'an Bombay, ayat penutup suatu surat tak terletak di posisi paling bawah halaman, kadang pada seperempat atau di tengah-tengah halaman. Akibatnya permulaan ayat sebuah surat tak bisa berada di posisi paling atas halaman tersebut. Sehingga terkesan tidak rapi, membacanya juga sulit, apalagi yang matanya silinder. Masyarakat pun lebih menggemari Al-Qur'an ayat pojok. Setiap ayat terakhir sebuah surah selalu di pojok bawah sisi kiri halaman. Sehingga surat selanjutnya bisa di halaman baru mulai dari atas. Selain itu, cetakan huruf-huruf tertata rapi, linier.*
- Kiai Kasan Besari, Guru Bagi Para Ulama dan Bangsawan
BERKAT peran seorang santri bernama Kasan Besari, Pesantren Tegalsari, Ponorogo kemudian dikenal sebagai salah satu pemasok pemikir dan pemimpin negeri ini. Menurut Abdurrahman Wahid, sebagaimana dikutip Abdul Munir Mulkhan dalam Reinventing Indonesia, ada dua muara kepemimpinan nasional: kalau bukan dari raja-raja Jawa, ya dari Kiai Kasan Besari. Pesantren Tegalsari sendiri dibangun kakeknya, Mohamad Besari. Menurut penelusuran Claude Guillot dalam “Le rôle historique des perdikan ou villages francs: le cas de Tegalsari , ” Archipel, Vol. 30, 1985, Mohamad Besari adalah santri sekaligus menantu Kiai Danapura di Setana, Ponorogo. Setelah Kiai Danapura wafat, perjuangan dakwah Islam diteruskan Mohammad Besari dengan membuka daerah yang kemudian dinamai Tegalsari. Mohamad Besari memberikan pengajian untuk santri dan keturunannya di rumahnya. Tapi, pengaruhnya masih terbatas di desa-desa sekitar. Baru pada masa Kiai Kasan Besari, Pesanten Tegalsari semakin luas pengaruhnya. Dia tenar sebagai ulama yang cerdas. Murid-muridnya datang dari berbagai daerah di Jawa. “Di sinilah anak-anak dari pesisir utara Jawa pergi untuk melanjutkan pelajarannya,” tulis Martin van Bruinessen dalam Kitab Kuning dan Pesantren dan Tarikat . Survei Belanda tentang pendidikan yang diadakan pada 1819 menyimpulkan bahwa Tegalsari merupakan salah satu tempat penting penyebaran Islam. Selain mumpuni dalam pengetahuan agama, Kiai Kasan Besari juga memiliki kemampuan politik. Ia pernah menghelat acara maulid Nabi Muhammad di Masjid Agung, Surakarta, pusat Kerajaan Mataram. Kiai Kasan Besari dan lima ratus santrinya melantunkan pujian kepada Nabi Muhammad dalam Barzanji . Kiai Kasan Besari kemudian diambil mantu oleh Pakubuwana III, dinikahkan denga putrinya yang bernama Murtosiyah. Sejak saat itu Kiai Kasan Besari jadi bagian keluarga kerajaan dan, karena itu, mendapat julukan Kanjeng Kiai Kasan Besari. Pamornya meningkat pesat. Pesantrennya dijadikan tempat penggemblengan para pangeran dan keluarga raja. “Tidaklah aneh jika Pesantren Tegalsari menjadi tempat penting bagi pengajaran Islam untuk elite politik dan keluarga di Kerajaan Mataram,” tulis Jajat Burhanudin dalam Ulama dan Kekuasaan . Bahkan, pujangga Surakarta Yasadipura mengirimkan Bagus Burhan untuk mengaji kepada Kiai Kasan Besari. Selesai mengaji di Tegalsari, Bagus kembali ke Mataram dan menulis banyak karya sastra, seperti Serat Kalathida . Di kemudian hari dia dikenal sebagai Ranggawarsita, pujangga penghabisan Jawa.*
- Jalan Kartini Temukan Islam
SURAT bertarikh 6 Nopember 1899 dalam Habis Gelap Terbitlah Terang itu menandaskan betapa Kartini tak sreg benar dengan agamanya. Katanya, “Sebenarnya agamaku agama Islam, hanya karena nenek moyangku beragama Islam. Manakah boleh aku cinta akan agamaku, kalau aku tiada kenal, tiada boleh mengenalnya? Quran terlalu suci, tiada boleh diterjemahkan ke dalam bahasa mana juapun. Di sini tiada orang yang tahu bahasa Arab. Orang diajar di sini membaca Quran, tetapi yang dibacanya itu tiada ia mengerti. Pikiranku, pekerjaan gilakah pekerjaan semacam itu, orang diajar di sini membaca, tetap tidak diajarkan makna yang dibacanya itu.” Ia, dengan jujur, juga menyatakan malas membaca Al-Quran. Dilahirkan dalam keluarga priyai, sebenarnya Kartini tak mendapatkan pengetahuan agama yang memadai. Namun, dasar orang haus pengetahuan, ia senantiasa ngangsu kaweruh , belajar. Sekitar tiga tahun kemudian setelah suratnya kepada Stella Zeehandelaar, pegiat feminis Belanda, di atas pandangannya terhadap Islam berubah. Selama ini, akunya, ternyata ia bebal dan angkuh. Namun, ia bersyukur bahwa dalam perjalanan hidupnya ia bisa menemukan Tuhan. “Betapa aman sentosanya di dalam diri kami sekarang ini, betapa terima kasihnya dan bahagianya, karena sekarang ini telah mendapat Dia; karena kini ini kami tahu, kami rasa, bahwa senantiasa ada Tuhan dekat kami, dan menjagai kami,” tulisnya pada 15 Agustus 1902. Perubahan itu terjadi berkat pertemuannya dengan Kyai Saleh Darat. Tak ada yang bisa memastikan waktu mereka bertemu. Namun, menurut penelusuran Saiful Umam, dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta, dalam “God’s Mercy is Not Limited to Arabic Speakers” dimuat Studia Islamika vol. 20, 2, 2013, pertemuan itu terjadi di rumah Bupati Demak, Pangeran Ario Hadiningrat. Yang disebut terakhir ini adalah paman Kartini. Kartini kerap beranjangsana ke rumah pamannya itu. Mereka bertemu saat Kyai Saleh Darat memberikan pengajian di Pendopo Sang Bupati. Dalam menyatakan bahwa bisa jadi Kartini mengikuti pengajian Kyai Saleh Darat sesering ia mengunjungi pamannya itu. Pertemuan-pertemuan inilah yang menjadi titik balik pandangan Kartini tentang Islam. Kyai Saleh Darat bernama lengkap Muhammad Salih ibn Umar Al-Samarani. Disebut Saleh Darat karena mengelola pesantren di daerah Darat, Semarang; sekarang masuk Kelurahan Dadapsari, Kecamatan Semarang Utara, Jawa Tengah. Saat remaja, Saleh rajin mengaji kepada ulama-ulama di Jawa, kemudian belajar ke Mekkah. Setelah menimba ilmu bertahun-tahun di tanah suci, ia kembali ke Jawa dan mensyiarkan Islam ke banyak daerah. Banyak ulama besar yang pernah nyantrik kepadanya, antara lain K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan K.H. Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama). Kyai Saleh Darat pendakwah intelektual yang menulis hampir semua kitabnya dalam Arab berbahasa Jawa atau biasa disebut pegon . Kitab-kitabnya terdiri dari fiqih, akidah, tafsir, sampai tasawuf. Ialah mufasir (ahli tafsir Alquran) pertama yang menulis dalam bahasa Jawa. Kitab anggitannya, Faidhul Rahman , adalah kitab tafsir Al-Quran pertama yang ditulis dengan bahasa pegon. Ingin menjangkau pembaca lebih luas, ia tak menulis dalam bahasa Jawa kromo yang biasanya digunakan untuk buku-buku puisi bahasa Jawa dan digunakan untuk komunikasi antarpetinggi. Ia menulisnya dalam bahasa Jawa ngoko atau bahasa Jawa untuk kelas rakyat biasa. Contohnya, dalam pendahuluan Kitab Al-Hikam , ia menyatakan bahwa ia meringkas dan menerjemahkan ke bahasa Jawa Matn Al-Hikam karya Syaikh Ahmad ibn Athaillah itu agar lebih mudah dicernah orang awam dan mereka yang sedang mencari ilmu. Dalam Ulama dan Kekuasaan , Jajat Burhanudin, dosen UIN Jakarta, menyatakan bahwa Kyai Saleh Darat diakui sebagai ulama terkemuka yang dihormati para ulama pesantren Jawa. Dalam salah satu pertemuan dengan Kartini, Kyai Saleh Darat memberikan semua kitab-kitabnya yang berbahasa Jawa. Kata Kartini, “Seorang tua di sini karena girangnya, menyerahkan kepada kami semua kitab-kitabnya naskah bahasa Jawa, banyak pula yang ditulis dengan huruf Arab. Kami pelajarilah kembali membaca dan menulisnya.” Berkat pertemuan dengan Kyai Saleh Darat inilah Kartini semakin kukuh dengan agamanya. Kita bisa simak, misalnya, pada surat bertanggal 21 Juli 1902 kepada Nyonya Abendanon Kartini menulis: “Yakinlah nyonya, kami akan tetap memeluk agama kami yang sekarang ini. Serta dengan nyonya kami berharap dengan senangnya, moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama kami patut disukai.”
- Ketika Siaran Azan Diprotes
NIROM (Nederlandsch-Indische Radio Omroep Maatschappij) stasiun radio Hindia Belanda. DESEMBER 1936, sepucuk surat tiba di kantor radio NIROM (Nederlandsch-Indische Radio Omroep Maatschappij) , stasiun radio Hindia Belanda. Seorang pendengar protes atas siaran azan yang tak tepat pada waktunya. Tak lama berselang, surat-surat pendengar lain mulai berdatangan, memprotes hal yang sama. NIROM didirikan di Amsterdam pada 1928, direncanakan jadi stasiun radio yang menangani siaran ke seluruh Jawa, dan dalam tiga tahun ke seluruh Hindia Belanda. Namun, karena beberapa kendala teknis, baru pada 1 April 1934 NIROM resmi mengudara. NIROM sebenarnya stasiun radio swasta yang diberikan lisensi oleh pemerintah Hindia Belanda untuk mengimbangi stasiun-stasiun radio yang didirikan bumiputera. NIROM memiliki lima studio cabang lengkap dengan stasiun transmisinya: Batavia, Bandung, Medan, Semarang, dan Surabaya. Awalnya, dengan alasan eksklusitivitas, NIROM hanya menyiarkan siaran-siaran berbahasa Belanda. Namun pada 1935, diperluas dengan program-program “ketimuran” yang ditujukan untuk pendengar berbahasa Melayu. “Walaupun dikontrol pemerintah Hindia Belanda dan didesain untuk melayani orang-orang Eropa di Hindia Belanda, NIROM juga bermaksud merangkul pendengar non-Eropa, dari bumiputera hingga Tionghoa Peranakan dengan program-program ketimurannya,” tulis Peter Keppy, “Keroncong, Concours and Cooners; Home-grown Entertainment in Early Twentieth-century Batavia” dalam Linking Destinies: Trade, Towns, and Kin in Asian History yang disunting Peter Boomgaard, Dick Kooiman, dan Henk Schulte Nordholt . Untuk menarik simpati bumiputera, mulai April 1936 NIROM menyiarkan kumandang azan setiap waktu salat magrib tiba. Awalnya, azan hanya terdengar di wilayah Jawa Timur, yang masuk dalam jangkauan stasiun radio NIROM Surabaya. Pada akhir 1936, setelah dilakukan beberapa perbaikan teknis, NIROM Surabaya meluaskan jangkauan siarannya hingga Jawa Tengah. Sementara itu, NIROM Bandung juga mulai menyiarkan kumandang azan magrib. Di sinilah awal mula berbagai keluhan dan protes muncul. Karena mendengar kumandang azan yang berbeda waktunya dengan masjid setempat, para pendengar di Jawa Tengah mengirim surat keluhan ke NIROM. Menurut Philip Bradford Yampolsky dalam “Music and Media in the Dutch East Indies: Gramophone Records and Radio in the Late Colonial Era, 1903-1942” , disertasi untuk meraih gelar doktor di Universitas Washington, para pendengar mulai menulis surat keluhan atas kumandang azan magrib yang disiarkan pada waktu yang salah. Hal ini terjadi akibat masuknya waktu salat magrib di Jawa Tengah terjadi setelah waktu salat magrib di Jawa Timur, dan lebih cepat daripada di Bandung. Karena mustahil bagi NIROM untuk menyiarkan azan tepat waktu di semua wilayah, akhirnya pada Mei 1937 mereka memutuskan hanya mengumandangkan azan seminggu sekali. Azan disiarkan Kamis sore, sebagai pengingat kaum bumiputera untuk melakukan salat Jumat keesokan harinya. Di tengah berbagai protes dan keluhan yang dilayangkan pendengar, NIROM berkilah. Mereka memberikan alasan atas perubahan itu. “Siaran azan hanya digunakan sebagai bentuk simbolik, untuk mengingatkan masyarakat atas kewajiban agamanya,” tulis Philip. Dua tahun berselang, pada 1938, surat-surat keluhan tetap berdatangan ke kantor NIROM. Mereka menuntut NIROM menghentikan siaran azannya. “Beberapa surat itu menyatakan, apabila kamu (NIROM) tidak bisa menyiarkan azan tepat waktu, kalau begitu jangan siarkan saja sama sekali,” tulis Philip.
- Haji "Mahiwal" Hasan Mustapa
Haji Hasan Mustapa. HAJI Hasan Mustapa kerap disebut sebagai haji mahiwal atau kontroversial. Dia dianggap sebagai penganut ajaran wahdatul wujud lantaran karya-karyanya yang terkenal berkaitan dengan hubungan menyatunya manusia ( kawula ) dengan Tuhan ( Gusti ) . Sebagai ulama, dia menggunakan dangding atau guguritan untuk mengekspresikan pemikiran dan renungan tentang ajaran Islam, tasawuf, kebudayaan Sunda, dan kejadian yang dialami sehari-hari. Hasan Mustapa lahir pada 3 Juni 1852 di Cikajang, Garut, Jawa Barat. Ketika berusia sembilan tahun dia bersama ayahnya, Mas Sastramanggala, pergi ke Tanah Suci menunaikan ibadah haji. Hingga dewasa dia menghabiskan hari-harinya di pesantren di Tatar Sunda, Jawa, ataupun Madura. Hasan Mustapa kembali lagi ke Tanah Suci dan sekira delapan tahun belajar dan mengajar di sana. Ketika terjadi perselisihan paham antarulama di Garut, Hasan Mustapa dipanggil pulang untuk menyelesaikan persoalan. Pada 1882 Hasan Mustapa mulai memberikan pengajaran agama di mesjid agung Garut. Tujuh tahun setelahnya, dia berkeliling Jawa dan Madura membantu pekerjaan Snouck Hurgronje yang dia kenal semasa di Arab Saudi. Atas usul Hurgronje, Hasan Mustapa diangkat menjadi hoofd penghoeloe (kepala penghulu) Aceh, dan dua tahun kemudian pindah menjadi hoofd penghoeloe di Bandung sampai pensiun dari jabatannya pada 1910-an. Baca juga: Para Pembantu Snouck Hurgronje Hasan Mustapa yang meninggal pada 13 Januari 1930, tidak hanya dikenal sebagai ulama, tapi juga sebagai sastrawan yang termasyhur dengan dangding- nya. Dangding atau guguritan adalah jenis puisi klasik yang dikenal dalam kesustraan Sunda sebagai tulisan berpola dan melodis. Penggunaan istilah dangding pun dipilih karena pengucapannya yang terdengar melodis. Karya sastra ini biasanya juga disebut sebagai nyanyian puitis. Tak sekadar tulisan, naskah dangding pun ditembangkan. Susastra Sunda mengenal pupuh , yakni irama lelaguan yang memiliki ciri khas masing-masing jenisnya dan memiliki aturan. Lirik lelaguan inilah yang dikenal sebagai dangding. Ia terikat aturan baku. Guru wilangan adalah aturan jumlah suku kata setiap larik dan jumlah larik dalam setiap bait. Sedangkan guru lagu adalah aturan bunyi rima akhir yang harus sesuai dengan jenis pupuh -nya. Nyanyian puitis atau dangding ini terbagi ke dalam 17 jenis pupuh , yaitu asmarandana, balakbak, dangdanggula, durma, gambuh, gurisa, jurudemung, kinanti, ladrang, lambang, magatru, maskumambang, mijil, pangkur, pucung, sinom dan wirangrong. Setiap pupuh memiliki aturan dan karakteristik suasana masing-masing. Melalui dangding inilah Hasan Mustapa menyampaikan pemikirannya. Dia menulis dangding dengan menggunakan huruf pegon, yakni huruf Arab dengan bahasa Sunda atau Jawa. Pujangga sekelas Hasan Mustapa, yang mungkin sudah tidak memiliki kesulitan lagi dalam hal pembuatan puisi dengan keterikatan aturan, dalam tempo dua hingga tiga tahun mampu menghasilkan dangding lebih dari 10 ribu bait. Mistisime Islam kental terasa dalam dangding atau guguritan karyanya yang banyak memperlihatkan renungannya tentang tasawuf atau ketuhanan. Karena pandangannya tentang hubungan masnusia dengan Tuhan yang dia ibaratkan seperti rebung dengan bambu, dia dinilai sebagai Haji “mahiwal” atau kontroversial penganut wahdatul wujud . Baca juga: Tuan Holla dari Belanda Sahabat Orang Sunda "Setiap kali membaca dangding-dangding Haji Hasan Mustapa, saya merasa seperti mendekati arus sungai besar. Betapapun dalam diri saya ada dorongan untuk menyentuh arus yang deras itu, tapi pada saat yang sama saya merasa takut hanyut karena saya merasa belum mampu atau sanggup mengarunginya," kata Hawe Setiawan dalam kuliah umum “Islam dan Mistisisme Nusantara: Dangding Mistis Haji Hasan Mustapa,” di Salihara, Jakarta, 4 Agustus 2012. Dangding karya Haji Hasan Mustapa, diantaranya Puyuh Ngungkung dina Kurung, Hariring nu Hudang Gering, Dumuk Suluk Tilas Tepus, Sinom Pamaké Nonoman, Amis Tiis Pentil Majapait, Kinanti Kulu-kulu, Sinom Barangtaning Rasa, Sinom Wawarian, Asmarandana nu Kami, dan Dangdanggula Sirna Rasa . Karya-karyanya terkenal sampai sekarang. Pada 1994 mereka pernah melakukan perunjukan bertajuk Nembangkeun Karya Akbar Haji Hasan Mustapa atau "Melantunkan Karya Akbar Hasan Mustapa", yakni acara yang menyajikan pertunjukan tembang-tembang Sunda dengan lirik dangding dari Hasan Mustapa. Atas karya-karyanya, pada 1977 Haji Hasan Mustapa menerima Anugerah Seni dari Presiden Republik Indonesia sebagai Sastrawan Daerah Sunda.
- Menengok Kisah Masa Kecil Sukarno dan Soeharto
SELALU menarik untuk melihat bagaimana pengalaman masa kecil seorang tokoh, terutama ketika dia kelak menjelma menjadi seorang pemimpin bangsanya. Pada otobiografinya masing-masing, Sukarno dan Soeharto, pernah merefleksikan masa kecilnya dan memaknainya sendiri-sendiri.

















