top of page

Hasil pencarian

9580 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Menonton Indonesia dalam Film Berita

    Pada awal kemerdekaan, ketika belum banyak media massa, pemerintah Indonesia menggunakan film berita sebagai salah satu media komunikasi. Karena dominan akan muatan agitatif dan politis, film berita sering dikatakan sebagai film propaganda. Sebelumnya, film berita juga telah diproduksi oleh pemerintah Jepang di Indonesia dan digunakan untuk propaganda militer yang diputar melalui layar tancap di desa-desa. Kemudian pasca Proklamasi 1945, kelompok Berita Film Indonesia mulai mengambil alih produksi film-film berita. Periode revolusi (1945-1949) menjadi tema utama film-film berita masa itu. Kelompok ini membuat tiga film berjudul Berita Film Indonesia No. 1-3. Produksi film berita berlanjut pasca penyerahan kedaulatan pada 1949. Perusahaan Film Negara (PFN) mulai memproduksi film berita bertajuk Gelora Indonesia , mulai 5 Januari 1951 hingga tahun 1976. Rekaman-rekaman Gelora Indonesia saat ini tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Berangkat dari hal itu, ARKIPEL Bromocorah – 7 th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival mengadakan pameran film berita bertajuk Kultursinema #6: Gelora Indonesia di Museum Nasional yang digelar selama tujuh hari, 18-25 Agustus 2019. Acara ini bekerja sama dengan Pusat Pengembangan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ANRI, Perum Produksi Film Negara, dan Museum Nasional. Pameran ini menyajikan 61 edisi film berita Gelora Indonesia yang bertujuan untuk menunjukan salah satu media pemerintah pada era tersebut serta apa dan bagaimana informasinya disampaikan. Pengunjung dapat menyaksikan kembali narasi-narasi film berita yang buat sejak era Sukarno hingga Soeharto melalui enam layar proyektor serta beberapa layar LCD. "Karena keluaran pemerintah, mereka menyiarkan kira-kira, satu mungkin mereka bikin semacam laporan sebagai negara baru, apa-apa saja yang dilakukan di negara ini sekarang. Kemudian juga ada gambaran citra yang diberikan untuk membangkitkan semangat supaya punya cita-cita kolektif dan bersatu buat revolusi," kata Dini Adanurani, salah satu kurator pameran, kepada Historia . Pameran ini juga dibuat sebagai alternatif media pembelajaran sejarah yang selama ini didominasi oleh buku-buku pelajaran di sekolah. “Saya kira bakal sangat menarik dan edukatif buat masyarakat terutama anak-anak yang masih sekolah. Itu untuk bisa melihat secara langsung negara punya pesan apa dan medianya bagaimana serta bagaimana cara mereka menyampaikannya,” kata Dini. Pameran ini dikuratori oleh Mahardika Yudha, Afrian Purnama, Dini Adanurani, Luthfan Nur Rochman, Prashati Wilujeng Putri, Robby Ocktavian, dan Wahyu Budiman Dasta. Dini menyoroti konten Dunia Wanita dalam Gelora Indonesia. Melalui tajuk tersebut, Gelora Indonesia telah memberi ruang representasi khusus bagi perempuan. Hal ini berbeda dengan narasi sejarah Indonesia secara umum, terutama pada awal-awal pendiriannya, yang secara politis didominasi tokoh-tokoh laki-laki. Meski demikian, representasi perempuan dalam film berita, masih perlu dikaji lagi. Pasalnya, terutama pada Gelora Indonesia, meski orang di belakang layar adalah anonim, pada suara narator misalnya, hampir semua laki-laki. Dini hanya mendapati satu segmen dengan suara narator perempuan. Di mana dan bagaimana perempuan direpresentasikan kemudian menjadi penting untuk ditinjau. “Para perempuan di masa kebangkitan hanya diceritakan melalui mata dan mulut yang maskulin. Mereka tidak mendapat kesempatan untuk menjelaskan dirinya sendiri,” kata Dini. Berangkat dari hal itu, Dini membuat kompilasi fragmen-fragmen edisi Gelora Indonesia untuk menampilkan bias-bias narasi terhadap perempuan tersebut. Sementara itu, Afrian Purnama, membingkai ulang transisi-transisi visual yang digunakan sebagai jembatan antar rekaman peristiwa. Menurutnya, transisi membawa penonton Gelora Indonesia masuk dalam ruang di mana politik tidak tampak, tempat yang hanya berisi bentuk visual yang paling dasar; tanpa tokoh juga narasi propaganda sehingga keberadaannya mungkin bias juga dilihat untuk menempatkan penonton dalam kondisi default selama sementara waktu (kurang dari satu detik), menyelamatkan penonton dari kepungan visual dan narasi politik Gelora Indonesia . Kurator Prahasti Wilujeng Putri, menyajikan bagaimana Gelora Indonesia membingkai dan mengkoreografi massa. Dia juga menghilangkan suara narator untuk menunjukan bagaimana visual bekerja. Kurator Wahyu Budiman Dasta membahas bagaimana film berita Gelora Indonesia menampilkan narasi sepakbola dalam konten Olahraga, serta bagaimana sang narator bekerja untuk membawa pemirsa seperti menonton pertandingan aslinya. Produksi film berita Gelora Indonesia melewati dua periode pemerintahaan yakni era Sukarno dan Soeharto. Hal itu kemudian ditilik oleh Luthfan Nur Rochman melalui segmen pembangunan. Dia membandingakan bagaimana, baik Sukarno maupun Soeharto, menarasikan pembangunan. Propaganda film berita Gelora Indonesia juga dapat dilihat dari banyaknya pemberitaan mengenai kapal perang, pesawat tempur serta teknologi mutakhir pada masa itu. Hal ini menjadi perhatian Robby Ocktavian. Dia juga menunjukan bagaimana Gelora Indonesia , dengan alat rekamnya menampilkan hal-hal yang tidak dapat dilihat penonton pada satu waktu maupun kejadian yang tidak bisa diulang, seperti balap motor atau gedung runtuh.

  • Abu Bakar, Gerilyawan Indonesia dari Jepang

    GARUT, 13 Agustus 2019. Lelaki tua itu memandang tajam selembar foto berisi dua orang Jepang yang tengah ditawan tentara Belanda. Dahinya mengernyit. Tetiba matanya berubah sendu. Lama sekali dilihatnya kembali foto tersebut. “Ya ini dia Pak Abu Bakar, saya kenal dia sewaktu saya masih anak-anak di Desa Parentas,” ujar lelaki yang kerap dipanggil sebagai Haji Udin itu. Masih segar dalam ingatan Udin , bagaimana suatu siang Abu Bakar datang bersama sejumlah eks tentara Jepang lainnya ke Parentas (masuk dalam wilayah pegununungan di kaki Gunung Galunggung dan Gunung Dora di Kecamatan Cigalontang, Kabupaten Tasikmalaya). Mereka kemudian menempati sebidang tanah tinggi yang bernama Doragede lalu mendirikan 4 gubuk besar sebagai markas. “Saya ingat mereka kemudian bercocok tanam dan memelihara hewan ternak juga di sana,” kenang lelaki kelahiran Parentas 83 tahun lalu tersebut. Nyaris tiap senja datang, Abu Bakar turun gunung. Dengan menyandang senjata dan berselendang sarung Tjap Padi, dia memimpin anak buahnya menyusuri jalanan desa, menembus hutan lalu menyebrangi sungai-sungai untuk kemudian melakukan stelling di pinggir jalan raya Wanaraja-Garut. “Hai anak-anak! Doakan saya ya... Pokoknya kalau nanti terdengar ledakan, itu tandanya saya berhasil menghajar Belanda,” begitu Abu Bakar berkata tiap berpapasan dengan anak-anak seusia Udin di jalan. Beberapa jam usai kepergian mereka dari Parentas, selalu bunyi ledakan terdengar dari bawah. Itulah bunyi ledakan bom batok (sejenis ranjau darat berbentuk seperti batok kelapa) yang berhasil menghancurkan salah satu kendaraan militer Belanda: truk yang sedang mengangkut pasukan atau pun kendaraan lapis baja seperti tank, brancarrier dan panser. “Mereka biasanya pulang menjelang tengah malam, sambil membawa banyak rampasan senjata, peluru, pakaian atau makanan,” kenang Udin. Nama Abu Bakar tercatat dalam berbagai dokumen sejarah Perang Kemerdekaan di Indonesia (1945-1949). A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: Agresi MIliter Belanda II Jilid ke-9 menyebut Abu Bakar sebagai pemimpin gerilyawan Indonesia yang cukup piawai di wilayah Garut-Tasikmalaya. Demikian pula, nama lelaki bernama asli Masharo Aoki itu pun diabadikan dalam buku Siliwangi dari Masa ke Masa terbitan Sejarah Kodam Siliwangi. Aoki disebut-sebut bergabung dengan gerakan pembebasan Indonesia sekira 1946. Menurut Basroni, putra dari Mayor S.M. Kosasih (atasan langsung dari Aoki), lelaki Jepang itu awalnya adalah tawanan perang yang didapat oleh Pasoekan Pangeran Papak (PPP) dari sebuah pertempuran di Majalaya usai Peristiwa Bandung Lautan Api pada Maret 1946. “PPP pimpinan ayah saya, waktu itu menawan Aoki bersama sekitar 40 anak buahnya,” ungkap Basroni. Eks tentara Jepang yang di dalamnya juga terdapat orang-orang Korea itu kemudian dibawa ke Wanaraja dan diperlakukan sangat baik sebagai para tawanan perang. Merasa terkesan, Aoki kemudian menyatakan kepada Mayor Kosasih untuk masuk Islam sekaligus bergabung dengan PPP. Permintaan itu diamini oleh Kosasih dengan membawa Aoki ke hadapan guru spiritualnya Raden Djajadiwangsa, untuk diislamkan. “Kakek saya lalu memberi nama baru buat Aoki yakni Abu Bakar, sahabat utama dari Nabi Muhammad Saw,” ujar Raden Ojo Soepardjo (92), salah seorang cucu dari Raden Djajadiwangsa. Maka resmilah Aoki bersama sekitar 40 anak buahnya menjadi anggota PPP. Sesuai keahlian masing-masing, Kosasih lantas menempatkan mereka sebagai instruktur militer sekaligus komandan-komandan seksi. Ada pula yang ditempatkan sebagai tenaga medis karena memiliki latarbelakang sebagai dokter tentara, seperti Senya alias Ali. “Tapi mereka menolak untuk diberi pangkat,” ungkap Letnan Dua Raden Djoeana Sasmita (Wakil Komandan PPP) dalam selembar catatan hariannya. Sejak bergabungnya eks tentara Jepang, PPP seolah menjadi hantu yang menakutkan bagi militer Belanda. Berbagai operasi penyerangan, sabotase, dan penghadangan di sekitar Wanaraja  dan kota Garut kerap mereka lakukan secara sporadis dan militan. Dua orang Korea, Guk Jae- man alias Soebardjo dan Yang Chil Sung alias Komarudin menjadi tulang punggung pasukan. Jika Jae-man mengkoordinasi operasi-operasi intelijen, maka Chil Sung bergiat sebagai koordinator Kelompok Putih, sebuah grup khusus sabotase dan penghadangan. Chil Sung kerap membuat gerah militer Belanda dengan aksi-aksi jebakannya. Misalnya, dia sering terlihat sendirian menggembala kambing lalu mengarahkan salah satu ternaknya yang sudah dipasang bom ke arah kendaraan tempur Belanda. “Tak jarang jebakan bom kambing Komarudin itu menimbulkan korban yang tak sedikit di pihak Belanda,” ungkap Odjo. Namun tak ada aksi PPP yang paling monumental selain penghancuran Jembatan Cinunuk, yang menghubungkan Wanaraja-Garut pada sekitar 1947. Suatu hari tim telik sandi yang dipimpin Soebardjo memberikan informasi bahwa dalam waktu dekat militer Belanda akan menyerang Wanaraja dan menguasainya. Berdasarkan laporan itu, suatu pagi Komarudin dan tim-nya bergerak ke Jembatan Cinunuk yang menjadi penghubung Wanaraja-Garut. Mereka kemudian meledakan jembatan tersebut sehingga tidak bisa dilewati. Maka gagallah upaya militer Belanda menguasai Wanaraja . Akibat kejadian itu, militer Belanda semakin berang. Mereka berpikir keberadaan eks tentara Jepang pimpinan Abu Bakar sebagai penghalang aksi mereka menghancurkan sistem gerilya kaum Republik di Garut. Maka dibuatlah rencana operasi perburuan dengan melibatkan satu tim elite buru sergap dari Yon 3-14-RI (Regiment Infanterie), sebuah batalion Angkatan Darat Belanda yang dipimpin Letnan Kolonel P.W. van Duin.*

  • Medan Prijaji, Medan Laga Tirto Adhi Soerjo

    PLANG nama bangunan itu terbaca jelas. “Yayasan Pusat Kebudayaan”. Hurufnya keperakan, timbul di atas kayu cokelat. Pintu dan jendela besarnya tertutup rapat. Bangunan di Jalan Naripan No 7—9, Bandung, Jawa Barat, ini peninggalan kolonial. Langgamnya arsitektur modern 1930-an. Sekarang menjadi tempat pertunjukan seni tari, lukis, dan teater. “Bangunan ini sempat mengalami perubahan bentuk. Awalnya tidak seperti ini. Tapi saya tidak tahu bahwa bangunan ini dulunya berfungsi sebagai percetakan Medan Prijaji ,” kata Lenny Muliawati, salahsatu pengurus Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK). Buku informasi terbitan YPK berjudul Yayasan Pusat Kebudayaan Dari Masa ke Masa juga tidak memuat keterangan penggunaan bangunan ini sebagai percetakan Medan Prijaji . Buku ini langsung menginjak masa 1930-an saat bangunan ini digunakan untuk kongkow oleh kelompok Indo (anak hasil nikah orang Eropa dan orang tempatan). Bagian Medan Prijaji (MP )terlupakan. Begitu pula dengan sosok penggeraknya, Tirto Adhi Soerjo (TAS). Mungkin karena TAS sempat hilang dalam semesta sejarah Indonesia. Bahkan keturunan TAS pun mengenalnya melalui buku lebih dulu. “Baru kemudian diceritakan oleh orangtua,” kata R.M. Joko Prawoto Mulyadi alias Okky Tirto, cicit TAS dari garis istri pertama. MP merupakan pers buah karya TAS. Dalam novel Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer dan film Bumi Manusia garapan Hanung Brahmantyo, TAS menjelma sebagai Minke. Seorang putus sekolah dari STOVIA atau Sekolah Pendidikan Dokter Hindia di Batavia. Dia lebih senang dengan dunia pers dan dagang. MP terbit kali pertama pada 1 Januari 1907 dalam format mingguan. Banyak orang yakin bahwa tempat terbit awalnya di Bandung. Keterangan ini diperoleh dari Parada Harahap, pewarta tenar 1930-an. “Seorang journalist toean R.M. Tirtohadisoerjo mengemudikan s.k. Medan Prijaji di Bandoeng,” kata Parada Harahap dikutip oleh Soebagio I.N. dalam Sebelas Perintis Pers Indonesia . Pramoedya Ananta Toer, sastrawan sekaligus sosok paling berjasa dalam mengembalikan TAS ke semesta sejarah Indonesia, tidak menyebut secara gamblang tempat terbit awal MP . Baik dalam novel Jejak Langkah (bagian ketiga dari Tetralogi Buru yang mengisahkan Minke mengembangkan bisnis dan gagasan medianya) maupun Sang Pemula (biografi TAS). Mendekati Priyayi Tapi apa yang jelas dari MP jauh lebih banyak. Antara lain peran, visi, pengaruh MP selama terbit, dan warisannya setelah kandas . Muhidin M. Dahlan, penulis sekaligus arsiparis, dan Iswara Raditya, sejarawan merangkap jurnalis, menyebut peran MP berbeda dari Soenda Berita ( SB ), pers lain buatan TAS di Cianjur pada 7 Februari 1903. “Lebih dari Soenda Berita yang cenderung berperan sebagai luapan otak dan pemikiran Tirto dengan sesekali memberikan cubitan kepada aparat kolonial, Medan Prijaji lebih meresapi lakonnya sebagai medan bertarung Tirto untuk membela rakyatnya dari penindasan, dan tujuan ini tidak main-main,” tulis Muhidin dan Iswara dalam Karya-Karya Lengkap Tirto Adhi Soerjo : Pers Pergerakan dan Kebangsaan . Ada juga kesamaan SB dengan MP . Keduanya bertumpu sekuatnya pada keyakinan bahwa kemajuan bangsa dapat tercapai melalui paduan pers dan dagang. TAS mengibaratkan pers sebagai matahari dunia dan memaklumatkan dagang menjadi laku kemandirian. Keduanya saling menyokong. Dia ikhtiarkan keduanya pada tiap pers bikinannya. Gagasan TAS tentang paduan pers dan dagang kian matang seiring tempo. Ini tampak dalam pembiayaan dan pemilihan isi MP . TAS mencari modal dari kantong anak negeri. Maka dia kunjungi sejumlah priyayi dan bangsawan di pelosok negeri. Hingga terpikirlah ide membentuk Sarikat Prijaji pada 1906. Lenny Muliawati, salah satu pengurus gedung YPK Bandung Sarikat Prijaji bertujuan memperbaiki pengajaran di kalangan anak negeri. Caranya dengan menghimpun dana dari priyayi dan bangsawan. Dana itu juga untuk penerbitan media berkala milik organisasi. TAS menyeleksi priyayi dan bangsawan. Mana yang sejalan dengan gagasannya, mana yang tidak. Banyak priyayi dan bangsawan terpikat dengan gagasan, kepribadian, dan tulisan TAS di pers sebelum SB dan MP . Mereka memutuskan ikut mendukung Sarikat Prijaji dan penerbitannya. Dari pembentukan Sarikat Prijaji, TAS menerima bantuan dua orang besar untuk memodali MP . Mereka adalah R.A.A Prawiradiredja, Bupati Cianjur dan Oesman Sjah, Sultan Bacan, sebuah negeri di wilayah timur Hindia.   Selain dari priyayi dan bangsawan, TAS memperoleh dana dari calon pelanggan MP . Target pasar MP jelas : kalangan terdidik, priyayi, dan bangsawan. Mereka berpenghasilan lebih dari cukup untuk hidup enak selama satu bulan. Jika mereka ingin berlangganan MP , TAS mensyaratkan pembayaran di muka untuk masa per kwartal, semester, atau tahun. Kebijakan TAS tadi tak lazim dalam segi niaga pers sezaman di Hindia Belanda. “Pada masanya, dalam kehidupan perniagaan Pribumi, langkah yang diambilnya dengan berani itu merupakan sesuatu yang sama sekali baru,” ungkap Pramoedya dalam Sang Pemula . Dengan begitu, selesailah urusan pembiayaan. Berikutnya mengenai isi MP . TAS telah punya gambarannya sebelum MP terbit. “Memberi informasi, menjadi penyuluh keadilan, memberikan bantuan hukum, tempat orang tersia-sia mengadukan halnya, mencari pekerjaan bagi mereka yang membutuhkan pekerjaan di Betawi, menggerakkan bangsanya untuk berorganisasi atau mengorganisasi diri, membangunkan bangsanya, dan memperkuat bangsanya dengan usaha perdagangan,” catat Pram dalam Sang Pemula . Gambaran itu benar-benar diejawantahkan oleh TAS dalam tiap terbitan MP . Karena itu, MP telah menarik garis pemisah dari pers semasa. Ia tak hanya pers niaga, melainkan juga pers kebangsaan. Bangsa Terprentah Melalui MP, TAS mengajukan konsep kebangsaan. Itu terpampang jelas dalam jargon halaman muka MP terbitan tahun-tahun awal. “Swara oentoeq sekalian radja-radja, bangsawan asali, bangsawan fikiran, prijaji-prijaji, dan kaoem moeda dari bangsa priboemi serta bangsa jang dipersamahken dengannja di seloeroeh Hindia Olanda”. Jargon ini bersulih bunyi kala MP mulai terbit harian sejak 1910. Masa itu pula percetakannya mengambil lokasi di Jalan Naripan, Bandung. TAS menambahkan konsep ‘bangsa jang terprentah’ dalam jargon MP . Maksudnya, “Bahwa suatu bangsa tidak didasarkan pada status sosial, kasta, terlebih ras,” terang Okky Tirto. Bangsa harus didasarkan pada satu simpul bersama yang melampaui hal-hal termaksud. TAS melihat ikatan tersebut berupa keadaan terperintah oleh kolonialisme asing dan feodalisme lokal. ‘Terprentah’, inilah simpul pertemuan beragam golongan di Hindia. Tidak peduli dia Bumiputera, Indo, Tionghoa, Arab, saudagar, priyayi, atau jelata. “Selama dia memiliki perhatian dan keterlibatan bersama dengan orang-orang ‘terprentah’, selama itulah dia termasuk bangsa kami,” lanjut Okky. Dari kredo itulah  MP bergerak membela golongan ‘Terprentah’. Mulai penjual ikan pindang dan kering di pasar, bupati, sultan-sultan di luar Jawa dan Madura, sampai pejuang Aceh terbuang di Bandung. TAS sangat menikmati masa-masa ini. Dia begitu leluasa menggebuk kuasa kolonial dan feodal tersebab punya cukup pengaruh di pucuk pemerintahan dan massa arus bawah. TAS membangun hubungan baik dengan Gubernur Jenderal J.B. van Heutsz (1904—1909). Dia angkat topi untuk kebijakan van Heutsz. “Karena ketegasannya dalam melakukan perombakan besar dalam kebijaksanaan pemerintahan, pembukaan mata pencarian baru bagi penduduk, kekerasan dan ketanganbesiannya dalam mempersatukan seluruh Hindia,” catat Pramoedya. Sri Baginda Ratu Belanda mengetahui perubahan kebijakan di negeri koloni. Dia mempercayakan semua halnya kepada van Heutsz. Berbekal kepercayaan inilah van Heutsz juga merombak cara menyensor pers. Dari sensor preventif ke sensor represif. Ini membuat hidup pers lebih bebas. Halaman muka Medan Prijaji. Terpampang slogan bangsa jang terprentah. Foto: Wikipedia TAS pernah lolos dari sengketa dengan pejabat pemerintah Hindia Belanda semasa van Heutsz berkuasa. Kasus itu berpangkal dari tulisan TAS tentang penyelewengan wewenang pejabat Eropa dan anak negeri. Pejabat termaksud merasa terhina dan mengadukan TAS ke pengadilan atas delik umpatan. Untuk kasus ini, warga desa pun turut menjadi pembela TAS dan MP. Mereka semua sebarisan, melawan laku lancung pejabat pemerintah. Dalam masa pemerintahan van Heutsz pula MP bisa tumbuh dan menyebar luas dengan kritik tajamnya terhadap ketidakberesan pemerintahan. Badan hukum, kantor cabang, dan percetakan MP berdiri di sejumlah wilayah : Buitenzorg (Bogor), Batavia, Bandung, Jawa Tengah, dan Negeri Belanda. Tirasnya sempat mencapai 2.000 eksemplar. Cukup besar untuk pers semasa. Sebagai bentuk terimakasih kepada sikap longgar Sri Baginda Ratu dan van Heutsz, TAS menulis seperti berikut di MP Tahun III, 1909. “Saya akan memanah hingga mati pengrusak-pengrusak kepercayaan Sri Baginda Ratu.” Pailit dan Dibuang ke Ambon Tapi kekuasaan tidak pernah abadi. Masa van Heutzs berakhir. Dan TAS ternyata tak pernah menyadari ikhtiarnya menuai dua hal berlawanan : buah simpati sekaligus benih permusuhan. Pada masa setelah van Heutsz, benih-benih dendam dan perlawanan balik pejabat kolonial dan feodal tumbuh lebih cepat dan besar daripada MP . Pertumbuhannya turut dipupuk oleh Gubernur Jenderal A.W.F Idenburgh (1909—1916). Dia lebih keras kepada pers. Kloplah formasi ini. Pertama-tama, mereka melepaskan anak panah balasan ke arah TAS. TAS mengalami pembuangan selama dua bulan ke Teluk Betung, Lampung, pada 18 Maret  1910. “Saya telah dibuang karena mengusik kelakuan seorang aspirant controleur (calon pengawas atau pejabat Hindia Belanda-Red.)dengan menggunakan kalimat menghinakan,” kata Tirto, seperti dikutip oleh Muhidin dan Iswara. Kasus ini pada masa van Heutsz sebenarnya sudah masuk peti es, tetapi dibuka lagi pada masa Gubernur Jenderal Idenburgh. Anak panah berikutnya melesat ke MP pada 1911. Tertancap tepat sasaran ke jantung MP,  yaitu organ finansialnya. Mereka kelimpungan setelah banyak perusahaan besar batal pasang iklan di MP . Beberapa priyayi dan bangsawan sengaja menunggak pembayaran uang langganan MP. Sirkulasi uang perusahaan penaung MP pun terhambat. Bagian dalam percetakan Medan Prijaji sudah berubah. Pers ini tutup buku pada 22 Agustus 1912. (Foto: Fernando Randy/Historia) Keuangan perusahaanmenipis sehingga terpaksa berutang. Sedikit-sedikit, lalu menjadi bukit. MP tak sanggup membayarnya. Terbitan MP pun terhenti sejak Januari 1912. Pengadilan lalu memutus perusahaan penaung MP telah pailit. Kantor cabang MP di beberapa wilayah dan percetakannya disita. MP habis riwayat pada 22 Agustus 1912. Bagaimana nasib TAS? Dia turut terseret gugatan pengadilan lantaran perkara tunggakan utang. Hukumannya lagi-lagi pembuangan. Dia berangkat ke pembuangannya di Ambon pada akhir 1913. “Semua yang telah dibangunnya runtuh. Juga nama baiknya,” tulis Pram. Bahkan percetakan MP di Jalan Naripan, Bandung, pun tak kelihatan lagi. Berganti bangunan baru. Tapi Pram mengingatkan bahwa sejatinya TAS dan MP masih bersemayam. “Yang tinggal hidup adalah amal dan semangatnya.”

  • Kisah Tengkorak Bersin

    KETIKA berpangkat kapten, Soegih Arto ditugaskan untuk memimpin Batalyon 22 Brigade XIII Divisi Siliwangi. Wilayah wewenangnya meliputi Cililin, Gunung Halu dan sebagian Cianjur (Ciranjang). Di Cililin, Yon 22 berhadapan langsung dengan KST (Kors Pasukan Khusus) yang bermarkas di Batujajar (sekarang menjadi pusat pendidikan latihan Kopassus). Begitu militer Belanda melancarkan aksi polisional ke-1 (dalam sejarah Indonesia dikenal sebagai aksi Agresi Militer Belanda I) pada Juli-Agustus 1947, Yon 22 terdesak sampai ke pedalaman.  Tentu saja situasi tersebut memutlakan mereka untuk melakukan perang gerilya terhadap kedudukan pasukan Belanda. “Kami jadinya sering melakukan patroli dan berbagai penghadangan terhadap konvoi mereka di sepanjang jalan raya,” ujar Soegih Arto dalam Saya Menulis Anda Membaca (Sanul Daca), Pengalaman Pribadi Letjen (Purn) Soegih Arto . Suatu hari sepulang dari patroli, satu seksi pasukan Yon 22 kemalaman di jalan. Terpaksalah mereka harus menginap di satu lapangan kosong bekas kuburan. Pasukan yang kelelahan itu, setelah mengatur giliran jaga sebagian besar langsung "terkapar". Saat mau tidur inilah, seorang prajurit bernama Holil menemukan tengkorak manusia di salah satu sudut lapangan. Pagi-pagi sekali, seluruh seksi telah dibuat panik karena mendengar suara orang berteriak-teriak histeris. Ketika disambangi nampak Holil sedang memegang tengkorak tersebut sambil menjerit-jerit. Setelah ditenangkan, dia baru bisa menceritakan mengapa dia begitu ketakutan. “Secara iseng, begitu bangun dia menggelitiki hidung tengkorak itu,” tulis Soegih Arto. Tanpa diduganya, tetiba tengkorak itu langsung “bersin”: Hachiiiiisss!!! Mendengar cerita itu, alih-alih menjadi takut seluruh seksi malah menyambutnya dengan tawa terbahak-bahak. Hanya Holil yang berwajah serius dan berkali-kali meyakinkan kawan-kawannya bahwa dia sedang tidak bercanda. Menanggapi cerita Holil, Soegih sendiri hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Di lain kesempatan, prajurit Holil lagi-lagi membuat cerita. Namun kali ini kendati kisah itu lucu namun menjadi musibah bagi dirinya. Ceritanya saat pulang patroli rutin, pasukan Yon 22 beristirahat di bawah sebatang pohon besar. Guna mengantisipasi kedatangan musuh secara mendadak, Soegih memerintahkan Holil untuk mengawasi keadaan sekitar dari atas pohon tersebut. Entah karena lelah atau memang bawaan suasana sejuk dengan angin sepoi-sepoi,  di atas pohon Holil tertidur dan dilupakan kawan-kawannnya yang begitu merasa cukup beristirahat langsung bergerak lagi menuju markas mereka di wilayah Gunung Halu. Tak terasa waktu pun berlalu. Menjelang sore, sepasukan tentara Belanda yang juga baru pulang berpatroli tiba di bawah pohon tersebut dan memutuskan untuk istirahat. Saat itulah Holil yang sedang terlelap di atas pohon tetiba terbangun dan langsung kaget begitu melihat pasukan Belanda ada di bawahnya. Begitu kagetnya, Holil lantas meluncur dan jatuh tepat di tengah-tengah pasukan Belanda tersebut. Kontan seluruh pasukan Belanda yang sedang berleha-leha itu buyar dan kabur ke segala arah. Bisa jadi mereka mengira Holil adalah hantu penunggu pohon yang marah karena mereka menempati wilayahnya tanpa permisi. Namun setelah mengetahui yang terjatuh itu adalah anggota TNI, pasukan Belanda langsung mengepung Holil dan menangkapnya. Jadilah Holil sebagai tawanan pertama dari pihak Yon 22. Lantas dari mana Soegih mendapatkan kisah lucu namun sial itu? “Saya mengetahui cerita ini dari Holil secara langsung waktu kami sama-sama menjadi penghuni Penjara Banceuy di Bandung,” kenang Soegih. Memang beberapa bulan setelah kejadian yang dialami Holil, Soegih Arto bersama beberapa anak buahnya berhasil dijebak oleh pasukan Belanda. Seperti biasa, penangkapan itu melibatkan pula mata-mata dari kalangan bumiputera sendiri yang menurut Soegih tak lain adalah orang terdekatnya sendiri. Soegih mendekam di Penjara Banceuy hingga akhir 1949, usai Belanda mengakui kedaulatan pemerintah Republik Indonesia.

  • Berkunjung Lagi ke Masa Lalu

    SEJUMLAH orang bergerombol, sebagian membentuk antrean di pelataran Hall B3 Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat pada Sabtu 17 Agustus 2019. Di antara antrian itu ada seorang perempuan yang terlihat sangat antusias. Terasa cukup kontras dengan orang-orang di sekitarnya. Adalah Meka Triani (29), karyawati di salah satu perusahaan swasta di Jakarta, yang mengaku telah berada di sana sejak pukul 14.00. “Agak lama sih, panas juga, tapi enggak apa-apa yang penting nanti happy ,” ucap ibu dua anak tersebut kepada Historia . Menurut Meka, sedari siang puluhan bahkan mungkin ratusan orang telah memadati area itu, menunggu gerbang hitam yang membentang di hadapan mereka terbuka. Apa gerangan yang ditunggu Meka dan orang-orang hingga mereka rela berdiri di bawah matahari yang cukup terik siang itu? Rupanya Ismaya Live bersama Generasi 90an kembali menggelar acara nostalgia untuk anak generasi tahun 90an, yakni Festival Mesin Waktu. Gelaran yang pertama kali diselenggarakan pada 2017 itu menyajikan penampilan musik, film, makanan, hingga berbagai jenis permainan yang lazim ditemukan pada era 1990 hingga 2000. Masih mengusung tema dekade 90-an, Festival Mesin Waktu 2019 memberikan konsep baru yang tentunya tidak kalah meriah dengan edisi pertamanya. Berbeda dengan sebelumnya, Festival Mesin Waktu 2019 ini terselenggara dalam suasana yang spesial karena bertepatan dengan HUT ke-74 Republik Indonesia. Panitia penyenggara pun meracik nuansa nostalgia di acara tersebut dalam balutan khas hari kemerdekaan, di antaranya upacara bendera dan perlombaan-perlombaan yang semakin meramaikan acara Festival Mesin Waktu 2019. Dalam rilisnya, pihak penyelenggara menyebut jika mereka memang telah melakukan persiapan untuk acara di Festival Mesin Waktu 2019 dengan menyediakan tiang bendera di samping kiri panggung utama dan mengundang anggota Paskibra Jakarta Selatan 2018 sebagai pasukan upacara bendera. Selain upacara bendera, pihak panitia juga mempersiapkan lomba-lomba sebagai bagian dari rangkaian HUT RI. Ada lomba makan kerupuk, lomba balap karung, lomba memindahkan kelereng, hingga lomba memasukkan pensil ke dalam botol. Para pengunjung yang hadir sangat antusias menikmati aneka lomba tersebut, utamanya anak-anak. Area Festival Mesin Waktu sendiri dibagi menjadi 5 zona, yaitu Zona Musik, Zona Nonton, Zona Museum, Zona main, dan Zona Jajan. Namun tahun ini pihak penyelenggara kembali melakukan inovasi dengan menambah dua zona baru, yakni Zona Nyaman dan Zona Karaoke. Tren Hiburan Tahun 90-an Zona Nonton disajikan dalam suasana yang sangat nyaman. Para pengunjung bisa menikmati film tanpa batasan. Mereka boleh duduk bersila, berdiri, bahkan rebahan di bean bag sekalipun. Film-film yang diputar pun merupakan tontonan yang ramai pada era 90an. Pada Festival Mesin Waktu 2019 ada empat film yang diputar, yaitu Lupus , Olga Sepatu Roda , Saras 008 , dan Keluarga Cemara . Lupus menjadi film pembuka di Zona Nonton. Karakter fiksi yang pertama kali diperkenalkan tahun 1986 dalam novel Lupus: Tangkaplah Daku Kau Kujitak ini menjadi pujaan bagi anak 90-an. Dengan permen karet yang selalu terkunyah di mulutnya, gaya hidup Lupus menjadi tren di kalangan siswa SMA kala itu. Setelah menonton Lupus , para pengunjung di Zona Nonton diajak mengenang masa-masa tahun 90-an bersama Irfan Ramli, Ruben Adrian, dan Marchella FP, penulis buku best seller “Generasi 90an”. Setelah menonton Olga Sepatu Roda (diproduksi tahun 1991), dan Saras 008 (diproduksi tahun 1998), acara utama di Zona Nonton ditutup dengan film Keluarga Cemara (produksi tahun 2019). Salah satu sinetron yang begitu laris pada era 90an ini dibuat berdasarkan cerita bersambung karya Arswendo Atmowiloto. Keluarga Cemara menjadi sinetron yang waktu penayangannya sangat panjang, terhitung sejak 6 Oktober 1996 sampai 28 Februari 2005. Hanyut dalam Kenangan Zona musik menjadi area terbesar, sekaligus tempat berdirinya panggung utama acara Festival Mesin Waktu 2019. Seluruh agenda inti dilangsungkan di Zona Musik ini. Mulai dari kuis Family 100, senam SKJ, upacara bendera, hingga puncaknya konser musik. Kuis Family 100 diadaptasi dari acara kuis asal Amerika Serikat, Family Feud dan Family Fortunes. Family 100 menjadi salah satu program kuis tersukses di Indonesia karena berhasil tayang sebanyak lebih dari 2.500 episode. Acara yang pertama kali mengudara pada 1996 itu telah diproduksi oleh banyak stasiun tv, termasuk ANTV dan Indosiar sebagai yang pertama memproduksi acara ini. Setelah acara Family 100, agenda disambung dengan Senam Kesegaran Jasmani (SKJ). Senam yang sempat diwajibkan pada era Orde Baru selama tahun 80-an dan 90-an itu biasa dilakukan hanya satu hari dalam seminggu, yakni Jumat pagi. SKJ diperkenalkan pada awal 1984, perubahan dari Senam Pagi Indonesia (SPI) pada akhir 70-an. Senam ini biasanya diiringi lagu berirama dengan gerakan yang cukup mudah diikuti. Sekira pukul 18.30, Rida Sita Dewi (RSD) naik ke atas panggung. Trio asal Bandung yang memulai karir kemusikan sejak 1994 itu membawakan 11 lagu dari 4 album yang telah mereka lahirkan. Lagu-lagu seperti ‘Masih Ada’, ‘Datanglah’, dan ‘Ketika Kau Jauh’ berhasil membawa para penonton hanyut dalam kenangan masa lalu. Setelah RSD, aksi panggung P-Project yang jenaka membawa minggu malam itu semakin meriah. Kelompok komedi asal Bandung yang dibentuk oleh sejumlah mahasiswa pada 1982 ini menampilkan musik parodi sebagai sajian panggung utama mereka. Penampilan Joe dan kawan-kawan mampu mengajak penonton untuk ikut berdendang, sambil diselingi candaan yang membawa gelak tawa di ruangan yang besar itu. Glenn Fredly membuka penampilannya dalam balutan kemerdekaan yang sangat kental. Ia masuk dengan membawa bendera Merah Putih sambil diiringi lagu ‘Zamrud Khatulistiwa’ karya Chrisye. Memulai karir musik tahun 1995, Glenn pernah dikenal sebagai penyanyi R&B Soul dengan lagu hitsnya ‘Kau’ dan ‘Cukup Sudah’. Dengan penampilan dan suaranya yang khas, lagi-lagi Glenn selalu dapat menghanyutkan para penonton dalam suasana sendu. Penampilan malam itu ditutup Glenn dengan salah satu hits andalannya, ‘Kasih Putih’. Permainan Masa Lalu Selain penampilan musik, para pengunjung Festival Mesin Waktu 2019 juga dimanjakan dengan permainan-permainan yang ada di Zona Main. Console Game menjadi sajian utama di zona permainan digital ini. Para pengunjung dibuat anteng memainkan permainan dari kaset-kaset yang disediakan. Beberapa buah Console Game merek SEGA dan PlayStation disiapkan untuk membunuh kebosanan para pengunjung di sana. SEGA pertama kali diperkenalkan di Indonesia sekitar tahun 1995. Consolegame ini dengan cepat digandrungi oleh remaja-remaja kala itu. Walau harganya terbilang mahal, tetapi keberadaannya mampu menjadi opsi baru bagi permainan anak-anak tahun 90-an. Setelah SEGA, muncul PlayStation generasi 1 tahun 2000-an, yang semakin memberi keragaman bagi permainan digital di Indonesia.*

  • Api di Jawa Merembet ke Papua

    MAHASISWA Papua di Surabaya diteriaki kata "monyet" karena dituding melecehkan bendera Merah Putih. Umpatan tersebut dilontarkan seorang oknum TNI di depan asrama mahasiswa Papua dan terekam dalam video yang kini menjadi viral. Buntutnya jadi panjang: Kantor DPRD Manokwari dibakar. Kerusuhan pun mulai menjalar ke Abepura, satu-satunya jalan menuju ke Kabupaten Jayapura. Belajar dari sejarah, kerusuhan serupa juga pernah terjadi, bahkan berujung jadi huru-hara. Pada 1996, kota Abepura mencekam. Peristiwa ini tidak dapat dilepaskan dari tokoh Papua bernama Thomas Wapai Wanggai. Siapa dia? Thomas Wanggai disebut-sebut sebagai Nelson Mandela-nya orang Papua. Lahir pada 5 Desember 1937, Thomas mendapat pendidikan tinggi bidang administrasi pemerintahan dari Okayama University dan Florida State University. Lantas dia berkidmat sebagai pengajar di Universitas Cenderawasih. Pada 18 Desember 1988, Thomas mendeklarasikan berdirinya Republik Melanesia Barat yang wilayahnya meliputi Papua. Upacara proklamasi itu dilakukan di Stadion Mandala – stadion sepakbola terbesar di Jayapura. Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam. Thomas ditahan oleh aparat keamanan. Pengadilan Negeri Jayapura memvonis Thomas hukuman penjara selama 20 tahun. Thomas sendiri sebagaimana diberitakan Forum Keadilan, 8 April 1996 merasa geram dengan putusan hakim. Dari Lembaga Pemasyarakat Jayapura, dia kemudian dipindahkan ke penjara Cipinang, Jakarta Timur. Pada 13 Maret 1996, Thomas meninggal di penjara Cipinang secara tidak wajar. Keluarga dan kerabat curiga kalau Thomas dibunuh. Mereka menuduh Kepala Lembaga Cipinang Jakarta terlambat mengirimkan Thomas Wanggai yang sedang sakit keras ke pihak Palang Merah Internasional (ICR). “Mereka juga menuduh soal hilangnya jenazah dari lemari kamar mayat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta tanpa sepengetahuan keluarga,” tulis Decki Natalis Pigay dalam Evolusi Nasionalisme dan Sejarah Konflik Politik di Papua . Sementara itu, laporan Dennis Blair dan David Philips dalam Peace and Progress in Papua menuliskan penyebab kematian Thomas karena keracunan makanan. Tapi dugaan itu masih belum terbukti secara pasti. Pemerintah Indonesia pun memberikan keterangan yang samar. Kabar meninggalnya Thomas menyebabkan pergolakan di Papua. Pengiriman jenazah Thomas ke Jayapura pada 18 Maret 1996 disambut dengan aksi kerusuhan massa. Menurut Saurip Kadi dalam TNI-AD Dahulu, Sekarang, dan Masa Depan , aparat menolak keinginan sekelompok warga yang ingin menyemayamkan jenazah Thomas di Kampus Universitas Cendrawasih. Penolakan ini memantik kemarahan masyarakat. Kerusuhan meletus di sepanjang jalan Sentani-Abebura. Sejumlah toko dan kios di pasar Abepura habis dilalap api. Massa melemparkan bom molotov. Ada yang menyobek bendera Merah Putih serta ada pula yang menaikan bendera Bintang Kejora. Decki Pigay mencatat, 4 orang tewas dalam kerusuhan Abepura dari pihak TNI (saat itu bernama ABRI) dan pendatang. Selain itu, sebanyak 25 mobil, 15 sepeda motor, dan  puluhan bangunan yang rusak. Untuk mengamankan Abepura, militer terpaksa turun tangan. Pasukan pemukul Kostrad yang beroperasi di wilayah eksplorasi Freeport didatangkan. ABRI mengerahkan kekuatan tambahan meliputi pasukan Batalion 751 Kodam Trikora, Kodam Siliwangi sebanyak 330 personel, Kopassus, dan kesatuan anti huru-hara yang didatangkan dari Makassar. Kodam Trikora yang dipimpin Kepala Staf Brigjen Joni Lumintang mengadakan pertemuan dengan 42 orang tokoh masyarakat dan pejabat setempat.  Sedikitnya, 100 orang ditahan, sebanyak 20 orang terbukti sebagai dalang kerusuhan. Sejak itu setiap malam berlaku perintah tembak di tempat bila ada yang keluar di atas pukul 22.00.    “Kematian misterius itu meninggalkan luka di hati bangsa Papua hingga kini,” tulis Tabloid Jubi , 27 Mei 2011.*

  • Sarina, Potret Keluarga Indo Setelah Keruntuhan Hindia Belanda

    SARINA hanya bisa pasrah. Pada 1942, suaminya ditahan di kamp Jepang. Sarina terpaksa berpisah dengan orang yang dicintainya itu. Bukan hanya itu, rumah mereka pun diambil paksa. Sarina lalu hidup menggelandang. Pendudukan Jepang dengan semboyan “Asia untuk Orang Asia” membuat orang-orang Eropa ditangkapi lalu dimasukkan ke kamp. Putihnya kulit tidak lagi jadi kebanggaan tapi justru membawa kesialan. Tak terkecuali bagi keluarga ras campur. Para perempuan pribumi yang tinggal bersama lelaki Eropa harus terpisah dengan keluarga mereka. Asal-usul keturunan memainkan peran besar bagi selamat-tidaknya seseorang karena politik rasial digunakan Jepang dengan orang Asia (Jepang) berada di strata tertinggi. Jepang menciptakan perbedaan besar antarkelompok masyarakat khususnya orang Eropa, campuran, dan Asia. Untuk bisa membedakan antara Belanda murni dan campuran, Jepang mengadakan wajib pencatatan. “Di sini status si ibu yang pribumi punya peran besar dalam keselamatan si anak yang tadinya berstatus Eropa,” kata Reggie Baay, penulis Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda , kepada Historia. Karena berdarah Asia, para nyai tidak diusik dan dibiarkan berada di luar kamp. Keberadaan nyai mendadak jadi sangat penting untuk anak-anak dari hubungan ras campur. Berkat ibu pribumi mereka, anak-anak indo mendapat asal-usul, yaitu bukti bagi keturunan Asia yang dikeluarkan melalui arsip negara. Dengan begitu anak Indo ini tidak dianggap sebagai golongan Eropa. Beberapa anak indo yang berhasil lolos dari penangkapan tetap tinggal di rumah atas perlindungan ibu pribuminya. Status pribumi inilah yang digunakan Nyai Saila, gundik seorang Belgia bernama Eduard, untuk menyelamatkan anak-anaknya yang berstatus Eropa. Kendati Eduard sudah meninggal semasa pendudukan Jepang, Saila tidak lepas hubungan dengan anak-anak indo-Eropanya. Berkat Saila-lah anak-anaknya memiliki asal-usul pribumi dan dibolehkan tinggal di luar kamp. Namun pada praktiknya, pencatatan ini menimbulkan kekacauan lantaran kriteria yang digunakan amat rancu dengan penerapan yang sembarangan. Anak-anak yang lahir dari pasangan campur yang sama, misalnya, bisa dimasukkan dalam kategori yang berbeda. Akibatnya, tak jarang seorang kakak masuk golongan Eropa dan tinggal di kamp sementara adiknya masuk golongan pribumi dan tetap tinggal bersama ibunya. Kemerdekaan juga membawa dampak bagi keluarga ras campur. Sukarno meminta semua orang Belanda secepatnya meninggalkan Indonesia. Bernard Dorleans dalam Orang Indonesia dan Orang Perancis menceritakan kebingungan warga sipil Belanda yang diusir dari bekas negeri jajahannya. Bekas pemilik perkebunan, importir yang izin usahanya dibekukan, mantan kepala kantor beserta anak buahnya, berkumpul di bar-bar yang masih buka di Jakarta. Ada yang berencana melanjutkan hidup di Australia, Amerika, dan sebagaian kembali ke kampungnya di Belanda. Gelombang repatriasi orang-orang Belanda dimulai sejak 1950-an. Pemulangan dibagi dalam tiga tahap sesuai prioritas: steuntrekkers (golongan tidak memiliki pekerjaan), middenstanders (kalangan menengah), dan vakspecialisten (kalangan tenaga ahli). Dalam pengiriman kembali itu, banyak lelaki Eropa membawa serta pasangan pribumi mereka meski ada juga yang ditinggalkan di Indonesia. Reggie Baay dalam bukunya Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda memperkirakan, pada 2008 ada 600 ribu orang indo di Belanda punya garis keluarga dengan perempuan pribumi. “Ada yang melanjutkan hidup di Belanda. Dari merekalah asal-usul Indo di Belanda,” kata Reggie Baay. Sarina salah satu yang ikut pindah ke Belanda pasca-pengakuan kedaulatan. Dia akhirnya berhasil kumpul kembali dengan sang suami setelah perang usai. Suaminya menemukan Sarina dalam keadaan serba kekurangan. Dengan segala upaya mereka membangun ulang hidup. Pada 1955, Sarina dan suaminya berangkat ke Belanda. Mereka tinggal di Desa Bilthoven, Provinsi Utrecht. Sepeninggal suaminya, Sarina hidup dalam kesunyian di dunia yang amat asing. Tak ada yang memahami Sarina karena hanya bisa berbahasa Sunda. Ia lebih sering bercengkrama dengan anjing dan burung parkit peliharaannya dibanding cucu-cucunya.*

  • Membedah Silsilah Tirto Adhi Soerjo

    SEBEGITU lamanya nama Tirto Adhi Soerjo terkubur, hingga tidak sedikit kepingan riwayatnya yang hilang. Ambil contoh, Tirto sebagai tokoh pahlawan nasional sejak 2006, tak seperti figur-figur lainnya, di mana sampai hari ini belum diketemukan dari rahim perempuan mana ia dilahirkan. Ada sedikit keserupaan antara tokoh Minke – diperankan oleh Iqbaal Ramadhan dalam film Bumi Manusia yang diangkat dari novel Pramoedya Ananta Toer dengan judul sama, dengan Tirto. Toh memang Pram menghadirkan Tirto dengan alter ego Minke dalam tetralogi Pulau Buru-nya. Dalam roman Pram yang difilmkan sineas Hanung Bramantyo itu, Minke merupakan putra seorang Bupati Bojonegoro yang diperankan Donny Damara. Hampir bisa dipastikan sosok yang diperankan Donny adalah Raden Ngabehi Hadji Moehammad Chan Tirtodhipuro. Namun di film juga dihadirkan sosok ibu Minke yang dimainkan aktris Ayu Laksmi yang tentunya entah merujuk pada wanita mana. Hingga kini nama ibu asli Tirto masih misterius. “Saya saja sebagai cicitnya, sampai saat ini belum tahu dan belum menemukan siapa ibunya Tirto Adhi Soerjo,” tutur RM Joko Prawoto Mulyadi alias Okky Tirto kepada Historia . Okky salah satu cicit dari garis silsilah istri pertama Tirto Adhi Soerjo. Yang dimaksud istri pertama Tirto bukan Siti Habibah, putri Bupati Cianjur R.A.A. Prawiradiredja. Melainkan seorang bangsawan Sunda lainnya, Raden Siti Suhaerah. Ia jadi yang pertama dinikahi Tirto sebelum ia memperistri Siti Habibah dan Fatima, putri Sultan Bacan (1862-1889) Muhammad Sadik Syah. “Di berbagai referensi kebanyakan hanya menyebutkan dua istri. Habibah anak bupati Cianjur yang kemudian ikut mendirikan (suratkabar) Soenda Berita dan Poetri Hindia , kemudian princess Fatima anak Sultan Bacan. Tapi ada istri pertama yang sebetulnya jarang mendapatkan sorotan yang kemudian kita tahu bernama Siti Suhaerah,” sambung Okky. Tidak seperti Siti Habibah ataupun Fatima yang turut aktif dalam pergerakan nasional lewat jurnalistik di suratkabar Poetri Hindia , Siti Suhaerah lebih kepada istri yang memainkan peran sebagai ibu rumah tangga. Dua Versi Kelahiran Tirto Jangankan soal misteri siapa ibunda Tirto, toh terkait tahun kelahiran Tirto saja masih mengundang tanya. Penyair Priatman dalam puisinya, “Di Indonesia 1875-1917” yang pernah dimuat buku Perdjoangan Indonesia dalam Sedjarah pada 1962, menyebut Tirto lahir pada 1872 dan wafat 1917. Pram turut menyantumkan keterangan ini dalam biografi Tirto, Sang Pemula dan menyebutnya kurang akurat . “Syair sederhana tersebut – dengan sejumlah kekurangannya, a.l. (antara lain, red) tahun lahir dan meninggalnya tidak akurat, mencerminkan pengetahuan umum tentang R.M. Tirto Adhi Soerjo mulai penggal kedua dasawarsa kedua sampai dasawarsa keenam, yaitu terbatas pada tahun lahir dan meninggal, pendidikan, keturunan, karier jurnalistik, pembuangannya ke Lampung dan kuburannya. Itupun sudah dapat dinilai lumayan,” sebut Pram. Pram menilai ketidakakuratan itu merupakan buah dari “suksesnya” para musuh Tirto yang acap menyudutkannya semasa hidup, untuk mengacaukan asal-usulnya sejak 1920-an. Sebut saja para pejabat Penasihat Urusan Pribumi Hindia Belanda: Snouck Hurgronje, G.A.Z. Hazeu hingga D.A. Rinkes. Namun Pram lebih mempercayai temuan sejumlah dokumen biasa dan sangat rahasia oleh S.L. van der Wal pada 1954, De Opkomst van de Nationalistische Beweging in Nederlandsch-Indië , di mana disebutkan Tirto lahir pada 1880 dan wafat pada 7 Desember 1918. Menariknya lagi, di batu nisan Tirto di TPU Blender, Bogor, terpahat tahun lahir 1875 namun wafat 1918. “(Diambil) titik tengahnya ya. Zaman itu, tradisi penanggalan memang belum cukup serapi sekarang ya,” papar Okky Tirto. Mangkunegara I alias Pangeran Sambernyawa yang dipercaya merupakan salah satu leluhur Tirto Adhi Soerjo (Foto: karatonsurakarta.com) Tirto lahir dengan nama Raden Mas Djokomono di Blora. Ia anak kesembilan dari 11 bersaudara. Ayahnya, Raden Ngabehi Hadji Moehammad Chan (EYD: Khan) Tirtodhipoero. Saat Tirto lahir ia masih berkarier sebagai pegawai kantor pajak, di mana kelak ia juga akan jadi bupati. Sebagaimana diuraikan di atas, sampai kini belum diketahui siapa nama ibunya. “Tak banyak yang dapat dihimpun tentang masa kecilnya. Seakan ia langsung menjadi dewasa. Semi-otobiografinya , Busono , juga tak pernah menggambarkan masa bocahnya. Samar-samar saja ia tampilkan dua orangtuanya. Timbul dugaan, ia tak pernah mengenal orangtuanya,” sebut Pram. Hanya diketahui kemudian ia berganti nama sejak masa muda, di mana lazim dilakukan priyayi zaman itu menjadi RM Tirto Adhi Soerjo. Sisanya, riwayatnya hanya diketahui ia merupakan cucu Raden Mas Tumenggung Tirtonoto, Bupati Rajegwesi, Karesidenan Rembang. Sebelum 1827, Rajegwesi merupakan sebutan Bojonegoro. Ia juga diketahui sangat dekat dengan neneknya, Raden Ayu Tirtonoto yang masih keturunan (cucu) Mangkunegara I alias Pangeran Sambernyawa. Masa belia dihabiskan Tirto bak nomaden. Mulanya ia diasuh neneknya semasa bersekolah di ELS (Europeesche Lagere School) di Bojonegoro. Lantas sepeninggal sang nenek, Tirto ikut sepupunya, RMA Brotodiningrat ke Madiun. Belum juga ia tamat ELS, sudah pindah lagi ke Rembang diasuh salah satu kakaknya, RM Tirto Adhi Koesoemo yang jadi kepala jaksa di sana. Baru pada usia 14 tahun selepas lulus ELS di Rembang, ia merantau ke Batavia untuk melanjutkan ke STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen). Meski tak sampai lulus di STOVIA, benih-benih gagasan Tirto soal perlawanan penindasan mulai merekah lewat media. Alhasil ia juga mesti menghadapi tuntutan jaksa di pengadilan. Namun berkat statusnya sebagai bangsawan yang ternyata masih ada hubungan kekerabatan dengan priyayi di Kasunanan Surakart dan Panembahan Madura, ia berlindung di balik Forum Privilegiatum , di mana setidaknya ia tak bisa divonis hukuman fisik. Sepahit-pahitnya ia diasingkan. Gedung STOVIA yang kini bernama Museum Kebangkitan Nasional. (Foto : Fernando Randy/Historia) “Dari situ dapat diketahui, ia berada di derajat keempat dari Kraton Solo, derajat keempat dari Panembahan Madura terakhir dan derajat keempat dari RMAA Tjokronegoro, Bupati Blora yang memerintah sampai 1912,” lanjut Pram. Tirto dan Ketiga Istrinya Sebagaimana juga disebutkan Okky, istri pertama Tirto Adhi Soerjo adalah Siti Suhaerah. Sayang, Okky belum sampai menemukan detail kapan Tirto pertamakali melepas masa lajang dengan Suhaerah. Hanya disebutkan ketika Tirto mulai berkiprah di dunia jurnalistik di Cianjur selepas keluar dari STOVIA. Okky juga lantas berbagi data para istri dan keturunannya, termasuk dari garisnya. “Yang disebutkan Pram di Sang Pemula sebagai penyair Priatman, itu sebenarnya kakek saya, RM Priatman yang juga putra Tirto dengan Siti Suhaerah. Saya sendiri garisnya dari anak ke-12, RM Dicky Permadi, dari pasangan RM Priatman dengan Siti Halimah,” sambung Okky yang merujuk Tirto punya 16 cucu dari RM Priatman. Artis lawas Dewi Yull alias RA Dewi Pujiati juga cicit Tirto dari garis yang sama dengan Okky. “Mbak Dewi dari putra tertua, RM Soendarjo. Jadi termasuk cicitnya TAS juga dari garis RM Priatman,” tambahnya. Okky Tirto diambil dengan foto multiexposure saat berbincang dengan Historia (Foto: Fernando Randy/Historia) Kemungkinan besar Tirto menikahi Siti Suhaerah setelah mendirikan suratkabar mingguan Soenda Berita di Cianjur, 1903, di mana pers pribumi yang berkantor di sebuah desa itu terbit perdana 7 Februari 1903. Suratkabar itu beredar hingga ditutupnya pada 1906. Di antara tahun-tahun itu, Tirto menikah lagi dengan Siti Habibah, putri Bupati Cianjur RAA Prawiradiredja, bangsawan yang urun dana dalam operasional Soenda Berita. Dari garis istri Siti Habibah, Tirto tercatat punya dua anak: RA Julia dan RM Hasan Busono, serta sembilan cucu. Pram juga mencatat bahwa dalam kurun 1905-1906, Tirto berkelana sampai ke timur Nusantara, tepatnya Pulau Bacan di Kepulauan Maluku. Di pulau ini dan sekiranya dalam kurun itupula ia mempersunting Fatima. Ia adik dari Sultan Oesman Sjah, Sultan Bacan yang baru dinobatkan pada 1900 menggantikan ayahnya, Sultan Mohammad Sadik Sjah. Dari Fatima, ia punya satu anak, RM Sadaralam dan lima cucu. Tirto Berdarah Arab? Dari yang coba digali Okky, sedikitnya ia menarik kesimpulan bahwa ada kemungkinan dalam diri Tirto turut mengalir darah Arab. Okky pun lahir dari ibu seorang keturunan Hadrami. “Makanya saya juga punya nama lain, Muhammad Fikry. Ibu saya keturunan Hadrami, Fathiya Shahab,” imbuh Okky. Ia pernah mencoba ingin menggali lebih dalam ke Kawedanan Satrio di Mangkunegara. Sayangnya saat itu ia menjelang kembali ke Jakarta dan sudah terlampau petang hingga akhirnya batal mengulik arsip-arsip di Mangkunegaran. “Sampai sekarang masih jadi pertanyaan siapa ibu Tirto Adhi Soerjo? Terus kenapa nama ayahnya itu Raden Ngabehi Hadji Moehammad Chan Tirtodhipoero. Istri ketiga, Putri Fatimah anak Sultan Sadik Sjah juga konon keturunan Arab,” katanya lagi. Kedekatan Tirto dengan peranakan Arab juga berkaitan dengan kegiatan pergerakannya, di mana ia turut mendirikan Syarikat Dagang Islamiyah dengan sejumlah tokoh berdarah Arab. Tirto juga dekat dengan tokoh-tokoh Jamiat Kheir Tanah Abang semasa di Batavia. Di sisi lain, Tirto tak kalah dekat dengan golongan terpelajar Tionghoa kala aktif di bidang jurnalistik di Batavia sebelum mendirikan Soenda Berita di Cianjur. “Makanya kenapa hari ini banyak sentimen anti-Arab yang berlebihan? Di sisi lain juga ada sentimen berlebihan yang anti-Cina. Padahal orang-orang Indonesia ya banyak yang setengah Arab, setengah Cina. Ini kan seperti mundur jauh ke belakang. Padahal dulu Tirto sudah menarik garis tegas antara yang ‘Terprentah dan Memerentah’. Golongan yang ‘Terprentah’ ya semua etnis yang ditindas sistem kolonial, termasuk Arab dan Tionghoa,” tandas Okky.

  • Lelaki Idaman Perempuan Jawa Kuno

    PANGERAN Aja resah ketika Putri Indumati mendekat. Kalut hatinya saat melihat sang putri. Namun, dia harus segera mengumumkan cintanya. Begitu banyak pesaing yang berebut perhatian adik Raja Bhoja dalam swayembara itu. “Engkau kabut dingin untuk dambaku yang membara, Guntur gemuruh untuk hasratku, kilat petir yang menerangi kegelapan hatiku,” rayunya. Pangeran Aja adalah dambaan perempuan dalam semesta  Kakawin Sumanasantaka  karya Mpu Monaguna. Dia tampan mempesona. Berdarah mulia pula. Belum lagi dia pandai bersyair dan mencipta puisi. Sayangnya, Pangeran Aja belum menjadi raja. Inilah yang membuatnya gentar. Pesaingnya dalam  swayambara adalah raja-raja besar dari negara-negara kenamaan. Namun, dia terus berusaha membujuk sang putri dengan syairnya. “Tak ada lainnya yang lebih mempesona daripada kau menatap dengan mata menerawang jauh, tenggelam dalam pikiran sambil memegang  pudak di pangkuan…Belum pernah dan takkan pernah ada yang sepertimu,” ujarnya. Sang putri tertenung ketika melihat betapa manis sang pangeran. Dia tak kuasa. Selain karena Pangeran Aja adalah penjelmaan kekasihnya pada kehidupannya yang lalu, dia juga lelaki yang menggetarkan hatinya di antara raja-raja yang datang ke  swayembara. Ketampanan lelaki itu sudah tak asing bagi khalayak  swayembara. Selain tampan, Mpu Monaguna juga mendeskripsikan Pangeran Aja sebagai pangeran muda yang perkasa dalam kitab puisi. Dia putra Raghu, penyair yang berani dan unik. Kebajikannya tak terhingga. Seluk beluk kitab suci mewujud dalam dirinya. Pakar kesusastraan Jawa Kuno, P.J. Zoetmulder dalam Kalangwan menerangkan, pejabat istana yang ideal, apalagi seorang raja, pangeran, atau bangsawan bukan hanya harus dapat menikmati keindahan puisi dan membawakannya. Mereka juga harus dapat menulis puisi sendiri dan mengekspresikan perasaannya tanpa kesukaran secara spontan. Kedudukan penyair dan puisinya dalam kebudayaan Jawa Kuno, khususnya dalam kehidupan keraton, begitu terpandang. “Tak mungkin membayangkan tokoh-tokoh utama dalam kisah-kisah fiksi epik yang justru dimaksudkan untuk menampilkan tokoh idaman, tidak sungguh terdidik dalam bidang puisi,” tulis Zoetmulder. Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang, menerangkan swayembara memberi kesempatan perempuan untuk memilih calon suaminya. Dalam kesempatan itu biasanya laki-laki akan saling menunjukkan kebolehannya di depan si perempuan. “ Swayambara diserap dari bahasa Sanskerta, yang berarti: pilihan sendiri, atau pemilihan suami oleh seorang putri dalam suatu pertemuan umum para peminang,” jelasnya. Dalam dunia penceritaan Kakawin Sumanasantaka, swayembara yang diadakan raja Bhoja bagi adiknya adalah yang pertama yang pernah dilakukan. Indumati sempat kebingungan dan merasa canggung karena harus memilih sendiri calon suaminya.   Perhelatan memperebutkan hati perempuan ini bisa dijumpai pula dalam kisah Ramayana.  Kendati ditulis dua abad sebelum kisah ini, Indumati dan Pangeran Aja merupakan nenek dan kakek yang kemudian menurunkan Rama, tokoh utama Ramayana. Di sana, pangeran, raja dan bangsawan bukannya harus lomba bersyair untuk memenangkan Sita. Ceritanya, kakak-adik, Rama dan Laksmana atas saran Wiswamitra, pergi menuju Mithila, tempat raja Janaka mengadakan s wayembara untuk putrinya, Sita. Siapapun yang bisa melenturkan busur muncul pada hari Sita dilahirkan akan dipilih menjadi suaminya. Raja-raja yang menjadi peserta swayembara tak ada yang mampu. Sementara ketika Rama mencoba melenturkannya, busur itu patah. Keperkasaan juga menjadi materi yang ditonjolkan para ksatria ketika mereka ingin menarik perhatian perempuan. Itu yang kemudian menjadi bahan pertimbangan Indumati dalam swayembara versi Kakawin Sumanasantaka. Masing-masing raja diumumkan sebagai raja yang andal di medan perang. Misalnya, Raja Magadha. “Dalam kepahlawanan dan kebajikan siapa yang lebih unggul daripada dia sebagai raja?” ujar Sunanda, dayang yang mengumumkan keunggulan sang raja kepada putri Indumati. Keterampilan berperang diuji pula dalam swayembara versi kitab Mahabarata. Ini seperti yang diikuti Bhisma, yang berlomba mewakili adik tirinya, Wichitrawirya. Tesnya berupa perang tanding antara putra-putra bangsawan. Pemenangnya dianggap pantas mendapatkan ketiga putri Raja Darmahumbara, yaitu Amba, Ambika , dan Ambalika. Dikisahkan nyali para peserta ciut ketika melihat kehadiran sang Resi. “Bhisma dikenal sakti dan pandai gunakan segala macam senjata. Selain itu, kesetiaan dan keteguhan hatinya membuat semua orang segan kepadanya,” jelas Dwi. Kebolehan bangsawan dalam bermain senjata juga menjadi tantangan ketika mereka berebut perhatian Drupadi, putri Kerajaan Pancala. Siapa yang berhasil memanah tepat sasaran, dia berhak mengawini Drupadi. “Karna berhasil memanah tepat sasaran, namun ditolak Drupadi karena dia tak mau menikah dengan putra seorang kusir,” jelas Dwi. Akhirnya, Arjuna-lah yang dipilih sang putri. Panahnya tepat sasaran, sekaligus dia merupakan keturunan langsung para raja.*

  • Saat Suara Bung Karno Berkumandang di Los Angeles

    ANGIN di Los Angeles State Historic Park, Amerika Serikat hari itu tengah bersahabat. Embusannya nan sepoi-sepoi mengibarkan tiga bendera dwiwarna, Merah-Putih yang tengah diusung 17 anak Indonesia di atas panggung. Lantas sayup-sayup lagu kebangsaan “Indonesia Raya” syahdu terdengar dinyanyikan Niki membuka penampilannya. Sekira 25 ribu penonton Head in The Clouds Festival di Los Angeles, Sabtu (17/8/2019) jadi saksi. Bagaimana Niki, salah satu performer 88 Rising asal Indonesia begitu bangga pada negerinya yang tengah berulangtahun ke-74 di hari itu. Memang Niki tak menyanyikannya lengkap, namun setidaknya 25 ribu fans di Negeri Paman Sam itu menjadi sangatsadarakan sebuah negeri di belahan bumi lain yang tengah berulang tahun. Penghayatannya lebih terasa saat nyanyian “Indonesia Raya” dari Niki itu dibarengi rekaman suara pembacaan teks proklamasi Sukarno. Niki juga tampil dengan busana stylish , seksi, namun sangat “Indonesia” dengan perpaduan warna merah dan putih. Tidak hanya Niki bintang asal Indonesia yang tampil di panggung utama festival, ada Rapper Rich Brian yang tak mau kalah unjuk identitas ke-Indonesia-annya. Rich Brian tampil menutup puncak acara dengan tembang-tembang andalannya. Di lagu terakhir, Rich Brian menampilkan sejumlah cuplikan kehidupan di Jakarta. Tak lupa sebelum berpamitan dengan penonton, ia menampilkan sang dwiwarna di videotron raksasa yang jadi latar panggung utama. Rich Brian di penutupan Head in the Clouds Festival Festival itu sendiri diprakarsai 88Rising yang selama ini juga menaungi sejumlah musisi Indonesia, seperti Niki dan Rich Brian. Selain keduanya, sedianya 88Rising juga memberi panggung pada empat musisi muda lainnya, meski tak di panggung utama: Devinta, Moneva, Arta dan Marcello. Tampilnya mereka tak lain buah kerjasama 88Rising dengan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) RI yang meluncurkan program akselerasi ICINC (Indonesia Creative Incorporated): Indonesia Rising. Melihat reaksi 25 ribu penonton yang “khusyuk” kala “Indonesia Raya” berkumandang dan heboh ketika dwiwarna nongol di videotron, nampak pengusungan indentitas kebangsaan cukup berhasil. Pasalnya selain para musisi Indonesia, Head in the Clouds Festival ini juga memberi panggung untuk tampilnya sejumlah musisi mancanegara lain: Jepang, China, Korea Selatan dan Malaysia. Memang hanya para penampil Korea (iKON) dan China (Higher Brothers) yang berani membawa musik dengan bahasa sendiri. Para musisi lain tampil membawakan musik dengan bahasa Inggris tanpa menampilkan visual identitas negeri mereka. Namun hanya para musisi Indonesia yang berani turut menampilkan visual dan bahkan lagu kebangsaannya sendiri di festival bertaraf internasional itu.

  • Superhero Indonesia dari Komik ke Jagat Sinema

    Jagat Sinema Bumilangit telah resmi diumumkan oleh Bumi Langit Studios, Minggu, 18 Agustus 2019. Tokoh-tokoh superhero dalam Jagat Sinema Bumilangit diadaptasi dari komik-komik Indonesia dari karya Ganes TH hingga Wid NS. Sutradara Joko Anwar, mengungkapkan bahwa film-film ini akan berbeda dengan garapan studio seperti Marvel maupun DC. “Ciri khasnya, latar belakang ceritanya sesuai dengan kondisi Indonesia saat ini; kegelisahan dan topik-topik yang sedang dihadapi rakyat Indonesia. Indonesia banget ,” kata Joko. Joko Anwar juga mengatakan bahwa dia tidak berperan sebagai sutradara untuk semua film tersebut. Tiap film akan mempunyai sutradara dan penulis skenario sendiri. Namun, dia akan tetap turut berperan sebagai creative producer . “Saya akan terus jadi creative producer di semua film tersebut. Akan tetap menjaga kesinambungan cerita, karakter dan plot,” jelas Joko. Beberapa film tersebut merupakan Jilid 1 dari Jagat Sinema Bumilangit yang terdiri dari dua era yakni era Jawara dan Patriot. Sri Asih diperankan Pevita Pearce . (Twitter Joko Anwar). Era Jawara berisi tiga judul yaitu Sri Asih, Mandala Golok Setan, dan Si Buta dari Gua Hantu . Sri Asih merupakan tokoh karya R.A. Kosasih yang terbit tahun 1954. Pahlawan perempuan yang bisa terbang iniakan diperankan oleh Pevita Pearce. Sedangkan Mandala Golok Setan berangkat dari komik karya Mansyur Daman dan pernah difilmkan dengan judul Golok Setan pada 1983. Dalam cerita perebutan pedang sakti kuno ini, Mandala akan diperankan oleh Joe Taslim . (Gambar 2 29780539870541119348) Mandala diperankan Joe Taslim. (Twitter Joko Anwar) Sementara itu, Si Buta dari Gua Hantu , pendekar silat karya komikus Ganes TH yang terbit pada 1967 masih dirahasiakan pemainnya. Era Patriot yang telah diawali Gundala, akan diramaikan oleh Godam & Tira yang akan diperankan oleh Chicco Jerikho dan Chelsea Islan. Godam merupakan karya komikus Wid NS dan pertama kali muncul pada 1969. Sedangkan Tira, karya Nono GM pertama muncul pada 1975. Godam diperankan Chicco Jerikho. (Twitter Joko Anwar) Aktor dan aktris lain yang tergabung dalam Jagat Sinema Bumilangit Jilid 1 antara lain, Tara Basro (Merpati), Bront Palarae (Pengkor), Lukman Sardi (Ridwan Bahri), Asmara Abigail (Desti Nikita), Hannah Al Rashid (Camar), Kelly Tandyono (Bidadari Mata Elang), Vanesha Prescilia (Cempaka), Della Dartyan (Nila Umaya), Nicholas Saputra (Aquanus), Dian Sastro Wardoyo (Dewi Api), Tatjana Saphira (Mustika Sang Kolektor), Zara JKT48 (Virgo), Daniel Adnan (Tanto Ginanjar) dan Aryo Bayu (Gani Zulfam). Beberapa superhero kemungkinan akan tergabung dalam dua film lain yakni Patriot Taruna dan Patriot . Sedangkan ke depan, Gundala mendapat satu judul lagi yakni Gundala Putra Petir. Soal film perdana, Abimana Aryasatya, pemeran Gundala, mengatakan bahwa tantangan film ini adalah soal bagaimana memenuhi ekspektasi beberapa generasi soal Gundala. Gundala diperankan Abimana Aryasatya. (Twitter Joko Anwar). “Gundala itu melewati beberapa generasi, mulai dari generasi komiknya, tahun 60-an, 69 ke 70, generasi film dari 81 ke 82 yang punya mazhab berbeda lagi soal Gundala, dan generasi milenial yang harus dijelaskan ulang soal Gundala. Jadi tanggung jawabnya gede ,” jelas Abimana. Abimana menambahkan, hal itu menjadi salah satu prioritas dan dia enggan membuat banyak pihak kecewa. “Jangan sampai mengecewakan mereka. Karena yang di tahun 60, 80, pasti punya memori soal Gundala. Yang sekarang, mereka pengen punya superhero sendiri yang punyanya mereka. Jagoan punya mereka,” kata Abimana.

bottom of page