Hasil pencarian
9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Tiga Menteri Keuangan Terbaik Indonesia di Dunia
UNTUK ketiga kalinya World Government Summit di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA), mendaulat satu menteri sebagai Best Minister in the World Award atau Penghargaan Menteri Terbaik Dunia. Indonesia patut berbangga karena tahun ini penghargaan itu jatuh kepada Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati. Sebelumnya, penghargaan itu diberikan kepada Menteri Lingkungan Australia Greg Hunt pada 2016 dan Menteri Kesehatan dan Sosial Senegal Awa Marie Coll-Seck pada 2017. Emir UEA merangkap Wakil Presiden dan Perdana Menteri UEA, Sheikh Mohammed bin Rashid al-Maktoum, menyerahkan penghargaan itu kepada Sri Mulyani pada Minggu, 11 Februari 2018. Presiden Joko Widodo turut berbangga dan menyalami langsung Sri Mulyani pada rapat kabinet di Istana Negara, Senin, 12 Februari 2018. World Government Summit menilai Sri Mulyani mampu mengurangi 40 persen angka kemiskinan di Indonesia dalam lima tahun terakhir, memangkas ketimpangan pendapatan masyarakat, menciptakan lapangan kerja yang luas, peningkatan tiga persen perekonomian secara transparan, mengurangi 50 persen utang Indonesia, serta peningkatan cadangan devisa tertinggi dalam sejarah Indonesia senilai 50 juta dolar Amerika. Dilansir situs resmi Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, setkab.go.id , Minggu, 11 Februari 2018, Sri Mulyani menyatakan penghargaan itu merupakan pengakuan kerja kolektif pemerintah di bawah Presiden Jokowi, khususnya bidang ekonomi. “Menkeu juga mendedikasikan penghargaan tersebut kepada 257 juta rakyat Indonesia dan 78.164 jajaran Kemenkeu dalam pengelolaan keuangan negara dengan integritas dan komitmen untuk menyejahterakan rakyat yang merata dan berkeadilan,” demikian keterangan Setkab. Mantan Managing Director World Bank itu bukan menkeu pertama yang diakui dunia. Johannes Baptista (JB) Sumarlin, menkeu periode 1988-1993 juga pernah diakui sebagai menkeu terbaik dunia tahun 1989. Ketika dihelat Annual Meetings of World Bank-IMF (Pertemuan Tahunan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional) di Washington DC, Amerika Serikat, 25 September 1989, Sumarlin menerima penghargaan Finance Minister of the Year dari majalah tersohor Euromoney. Penghargaan yang diberikan di sela-sela pertemuan Bank Dunia-IMF itu, diserahkan langsung oleh pendiri Euromoney , Sir Patrick Sergeant. Sumarlin dianggap berperan besar meracik perombakan besar dalam perekonomian Indonesia yang sebelumnya sangat bergantung dari sektor minyak dan gas (migas) ke arah diversifikasi ekonomi non-migas, serta membalikkan orientasi substitusi impor ke orientasi ekspor. Sebagaimana Sri Mulyani, Sumarlin juga menyatakan bahwa penghargaan itu hasil kerja kolektif di Kabinet Pembangunan V di bawah Presiden Soeharto. “Hanya dari kepemimpinan yang tepat dari Presiden Soeharto serta kerjasama dari teman sekerja dan dukungan masyarakat terhadap kebijaksanaan ekonomi nasional yang membuat ekonomi Indonesia, memasuki pintu kemakmuran yang mulai dinikmati sekarang ini,” kata Sumarlin, dikutip harian Sinar Indonesia Baru , 28 September 1989. Mar’ie Muhammad yang menjadi suksesor Sumarlin juga tak kalah membanggakan. Dia menjabat Menkeu periode 1993-1998 dalam Kabinet Pembangunan VI. Menkeu berjuluk “Mr. Clean” itu diakui majalah Asiamoney sebagai Menkeu Terbaik pada Mei 1995. “Mar’ie Muhammad mendapat gelar Finance Minister of the Year dari majalah terkemuka Asiamoney yang berpusat di Hong Kong. Dia dipandang sukses menangani skandal Bapindo,” tulis mingguan Warta Ekonomi, Mei 1995. Dalam skandal megakredit Bapindo (Bank Pembangunan Indonesia) senilai Rp1,3 Triliun pada 1994 itu, awalnya Mar’ie mengambil tindakan likuidasi yang sialnya, tak direstui Soeharto. Meski begitu, Mar’ie “ditantang” Soeharto untuk menyelesaikan kasusnya. “Presiden Soeharto memerintahkan (Mar’ie) Muhammad untuk menyelesaikan Skandal Bapindo, di mana dia diperintahkan untuk bisa ‘menangkap ikannya, namun jangan memperkeruh airnya’,” tulis Andrew Rosser dalam The Politics of Economic Liberalization in Indonesia: State, Market and Power. Pada akhirnya, Mar’ie mampu membawa skandal itu ke meja hijau. Pengusaha Eddy Tansil dan empat direktur eksekutif Bapindo disidang ke pengadilan. Sementara sejumlah pejabat dekat Soeharto, termasuk Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Laksamana (Purn.) Sudomo, akhirnya tak tersentuh. Setidaknya dalam penyelesaian kasus itu, Sudomo bersama pendahulu Mar’ie, Sumarlin, turut “diseret” sebagai saksi peradilan Eddy Tansil. Pada putusannya, Eddy Tansil divonis 17 tahun bui, namun kemudian melarikan diri hingga kini belum tertangkap. Sedangkan empat petinggi Bapindo lainnya dihukum antara empat sampai sembilan tahun
- Kisah Kiri Melawan Kanan
WALUJO Martosugito masih ingat kejadian setengah abad lalu itu. Suatu siang saat dirinya dan Wakil Perdana Menteri Roeslan Abdulgani tengah berbincang dengan Presiden Sukarno di bagian belakang Istana Negara, seorang perwira tiba-tiba datang menghadap. Ia melaporkan bahwa Istana Negara sudah dikepung oleh para demonstran dari KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). “Dilapori itu, Bung Karno sama sekali tidak panik. Ia malah bilang supaya dinamika anak-anak muda jangan dimatikan,” ujar lelaki kelahiran Klaten 82 tahun lalu tersebut. Pulang dari Istana, Walujo tak tinggal diam. Sebagai anggota Presidium GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), ia langsung mengordinasi anak-anak muda sesama “marhanenis” untuk melakukan reaksi atas demonstrasi-demonstrasi itu. Caranya, tentu saja dengan mengadakan demonstrasi tandingan mendukung kepemimpinan Bung Karno. “Bung Karno itu kan ibarat bapak kami sendiri, wajar dong jika kami saat itu melakukan pembelaan terhadap beliau …” katanya kepada Historia . Memasuki tahun 1966, desakan kelompok kanan untuk mengeliminasi Presiden Sukarno dan kekuatan-kekuatan kiri semakin besar. Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang didominasi aktivis-aktivis HMI dan PMKRI (Pergerakan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia) hampir tiap waktu turun ke jalan. “Demonstrasi tersebut kerap diringi juga aksi penempelan poster dan pamflet yang isinya menggugat pemerintahan Sukarno dan PKI,” ujar John R. Maxwell dalam Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani . Aliansi kelompok mahasiswa kiri yang terdiri dari GMNI Ali-Surachman, Germindo (Gerakan Mahasiswa Indonesia) dan Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), tentu tak diam saja. Mereka pun membuat demonstrasi tandingan dan balik merobek poster-poster yang ditempelkan massa KAMI lalu menggantinya dengan poster-poster yang diantaranya berbunyi : “Hidup Bung Karno!” atau “KAMI kanan dan Ditunggangi Nekolim!” Menurut Soe Hok Gie, beberapa hari sebelum turun ke jalan, perwakilan GMNI-Germindo telah datang menemui Presiden Sukarno. Di hadapan sang presiden, mereka berjanji untuk membela Bung Karno sampai mati. Hok Gie juga juga melansir sebuah kabar yang ia dapat dari Soeripto, kawannya yang bekerja di KOTI (Komando Operasi Tertinggi) bahwa telah disediakan sejumlah dana untuk menandingi demonstrasi KAMI dan mendirikan Barisan Sukarno. “Jumlahnya 100 juta rupiah…” tulis Soe Hok Gie dalam Catatan Seorang Demonstran . Bentrok antara massa akhirnya tak terelakan. Bukan saja di jalanan, di kampus-kampus pun terjadi adu aksi berujung perkelahian. Suasana semakin kritis karena kedua pihak sama-sama didukung oleh kesatuan-kesatuan tentara. Itu terbukti saat chaos berlangsung di Salemba, suatu peleton pasukan Cakrabirawa sempat membuat pos di suatu sudut kampus UI. “Sementara pasukan-pasukan Kostrad dan RPKAD berpakaian preman selalu siap melindungi demonstrasi-demonstrasi mahasiswa anti Sukarno,” tulis John Maxwell. Perkembangan politik pada akhirnya tidak berpihak ke kubu kelompok sayap kiri. Pada Maret 1967, Presiden Sukarno dilengserkan lewat sidang MPRS. Jenderal Soeharto naik sebagai pejabat Presiden.Begitu berkuasa, Soeharto langsung memberangus kekuatan-kekuatan kiri termasuk Germindo dan CGMI. GMNI sendiri tentu saja langsung terkena imbas angin politik yang tengah bertiup kencang. Unsur-unsur kanan kaum yang bercokol di PNI (Partai Nasional Indonesia) pimpinan Osa Maliki dan Usep Ranawidjaja kembali menemukan momentumnya. Tanpa perlu waktu lama mereka pun membersihkan GMNI dari unsur-unsur kiri dan lewat kongres-nya yang kelima mengganti pimpinannya dengan orang-orang pro Orde Baru.
- Dari Rangkasbitung untuk Dunia
RUMAH era kolonial di Alun alun timur Rangkasbitung, Lebak, Banten itu terlihat cantik. Mulai Minggu (11/2/2018), rumah cagar budaya eks tempat tinggal Wedana Rangkasbitung itu resmi menjadi Museum Multatuli, nama pena dari pengarang Max Havelaar . Di dalamnya terdapat sejumlah koleksi unik milik Eduard Douwes Dekker. Suasana "kolonial" di Museum Multatuli begitu sangat terasa. Nampak di beberapa bagian museum, ditampilkan peta dan sejumlah memorabilia terkait kebijakan cultuurstelsel alias tanam paksa di masa kolonialisme Belanda. Lainnya, turut dipamerkan sejumlah karya-karya asli Multatuli, hingga testimoni berbagai tokoh dunia terhadap Multatuli. Mulai dari Presiden Sukarno, hingga Jose Rizal, pemimpin revolusi Filipina. Juga ubin asli yang tersisa dari rumah Multatuli di Rangkasbitung turut menjadi koleksi museum anyar ini. Dalam peresmian tersebut, hadir beberapa tokoh. Salah satunya adalah sejarawan asal Inggris Peter Carey. Dalam kata sambutannya, Carey menyatakan turut senang dan mengapresiasi berdirinya Museum Multatuli. Dia berharap Museum Multatuli bisa menjadi pusat pencerah terkait sejarah kolonalisme, tidak hanya di Banten, tapi juga untuk segenap masyarakat Indonesia. "Museum adalah salah satu sumber cerita tentang feodalisme dan kolonialisme. Cerita yang tentunya berkelindan dengan etika dalam pemerintahan. Ini menjadi masalah yang kemudian diangkat Eduard Douwes Dekker. Oleh karenanya, diharapkan museum ini menjadi sumbangan sebagai pusat pendidikan, pusat pencerahan untuk mengangkat sejarah Lebak," ujar Carey. Hal senada disampaikan sejarawan sekaligus periset utama konten Museum Multatuli, Bonnie Triyana. Menurutnya, dengan didirikannya Museum Multatuli diharapkan bisa lebih membuka diskursus tentang sejarah kolonialisme yang ternyata tak sesederhana dipahami masyarakat awam. "Ini tidak hanya penting bagi Lebak, tapi juga Indonesia untuk lebih mengenal Multatuli. Karena ternyata sejarah kolonialisme ini lebih rumit dari yang kita pahami. Kehadiran museum ini bukan untuk mengkultuskan Multatuli. Tapi suatu cara baru menafsirkan sejarah Indonesia dengan lebih terbuka, lebih manusiawi dan lebih luas lagi, sehingga kita mendapat gambaran utuh tentang apa yang terjadi di masa lalu," ungkap Bonnie, pemimpin redaksi Historia . Secara resmi, peluncuran Museum Multatuli dilakukan oleh Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya. Usai melakukan penandatanganan prasasti dan gunting pita, Iti menyatakan harapan besarnya agar museum yang bertema antikolonial pertama ini, tidak hanya bisa mengangkat nama Rangkasbitung di Indonesia, namun juga di dunia. "Kami persembahkan museum ini untuk masyarakat Lebak dan juga untuk Indonesia. Kami juga berharap ini bisa menjadi milik dunia," kata Iti. Selain Museum Multatuli, Iti juga menekankan pentingnya fungsi Perpustakaan Saidjah-Adinda yang berdiri di sebelah Museum Multatuli. Perpustakaan itu diharapkan bisa menjadi mercusuar ilmu pengetahuan di Lebak, sebagaimana novel Multatuli di masanya.
- Pukulan Telak Bagi Gerakan Perempuan
DECA Park, taman hiburan di utara Lapangan Merdeka, dipenuhi perempuan pada 17 Desember 1953. Mereka berasal dari bermacam organisasi perempuan seperti Partai Wanita Rakyat, Ikatan Bidan Indonesia, Pemuda Putri Indonesia, Bhayangkari, Gerwani, Wanita Katolik dan masih banyak lagi. Tak hanya hendak menghadiri perayaan sewindu Perwari, mereka sekaligus mengadakan rapat umum untuk memprotes Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 Tahun 1952. PP yang mengatur tunjangan pensiun janda pegawai negeri itu menjadi pukulan telak bagi gerakan perempuan yang tengah getol memperjuangkan keadilan dalam pernikahan –pukulan telak berikutnya terjadi pada 1954 saat Sukarno melakukan poligini. PP itu mengatur pembagian pensiun seluruh janda pegawai negeri secara merata. Bila si almarhum pegawai negeri melakukan poligini, janda-jandanya semua mendapat uang pensiunannya. Negara memberi sejumlah uang yang nilainya dua kali pokok pensiun biasanya untuk dibagi rata sesuai jumlah janda yang ditinggalkan. Keputusan pemerintah itu menuai protes para aktivis perempuan dan kalangan yang memperjuangkan kepentingan gender. “Saya tidak mengerti mengapa soal ini bisa lolos dari perhatian saya, ketika saya bertugas sebagai direktur kabinet dan Abdul Wahab SH sebagai sekretaris Dewan Menteri. Mungkin waktu itu saya sedang sibuk dengan soal-soal lain sehingga tidak sempat membaca usul yang akan dibicarakan dalam sidang kabinet yang dipersiapkan oleh Abdul Wahab SH,” kata Maria Ulfah dalam biografinya yang disusun Gadis Rasyid, Maria Ulfah Subadio, Pembela Kaumnya . PP tersebut, menurut Ulfah, berarti pemerintah tak hanya mengakui bahwa seseorang pegawai diperbolehkan mengambil isteri kedua. Lebih dari itu, pemerintah seakan-akan memberi dorongan pada pegawai negeri untuk mengambil lebih dari seorang istri. Para perempuan yang mengikuti pertemuan di Deca Park juga sependapat dengannya. Mereka tidak memprotes tunjangannya, tetapi pengakuan secara tidak langsung negara pada praktik poligini. “Padahal dalam Angkatan Bersenjata gerakan wanita telah berhasil mencapai kemenangan kecil, yaitu bahwa seseorang anggota angkatan bersenjata tidak boleh mengambil istri kedua tanpa izin komandannya. Dan izin ini dalam praktik jarang diberikan,” kata Maria Ulfah. Di parlemen, para perempuan sedang memperjuangkan Undang-Undang Perkawinan yang adil. Pada 1950 dibentuk Panitia Penyelidik Peraturan Hukum Perkawinan, Talak, dan Rujuk atau lebih dikenal dengan Panitia NTR (Nikah, Talak, dan Rujuk). Anggotanya terdiri dari Maria Ulfah, Nani Suwondo, Sujatin Kartowijono, Kwari Sosrosumarto dari Wanita Katolik, dan Mahmudal Mawardi yang mewakili perempuan Muslim. Oleh karena itu, kemunculan PP tersebut di tengah pembahasan UU Perkawinan yang adil oleh Komisi NTR tentu menjadi pukulan bagi gerakan perempuan. Alhasil, mereka menempuh sejumlah upaya untuk menolak PP tersebut. Dalam dengar pendapat tentang PP No. 19 Tahun 1952 pada Agustus 1952, Perwari lantang menyuarakan penentangannya. Perlawanan berlanjut pada November 1952 ketika 19 organisasi perempuan menyatakan penolakan terhadap PP tersebut. Mereka menilai PP itu sebagai wujud pemborosan uang negara untuk membiayai poligini. PP itu, lanjut mereka, juga mendorong merajalelanya perkawinan poligini. Puncak protes terjadi pada 17 Desember 1953. Usai mengadakan pertemuan di Deca Park, para perempuan berdemonstrasi. Berjalan dalam barisan, mereka menuju ke Istana Kepresidenan yang jaraknya hanya beberapa puluh meter. Demonstrasi ini, tulis Saskia Eleonora Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia , menjadi demonstrasi pertama yang dilakukan para perempuan pasca-kemerdekaan. Meski banyak anggota Kongres Wanita Indonesia (KWI) yang ikut dalam demo secara perseorangan, KWI sebagai organisasi tidak mendukung protes tersebut. KWI tak banyak meributkan soal PP No. 19 tahun 1952 itu lantaran beberapa organisasi yang tergabung dalam kongres mempunyai pandangan berbeda-beda tentang permen tersebut. Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) dan Muslimat NU, misalnya, menyatakan persetujuan pada PP tersebut sebagaimana pandangan partai Masyumi. Demo berjalan dengan tertib. Satuan polisi berjaga di sepanjang jalan dan mengatur lalu lintas. “Kami mengajak semua anggota Perwari di Jakarta dan wanita umumnya untuk berdemo,” kata Sujatin Kartowijono dalam biografinya yang disusun Hana Rambe, Mancari Makna Hidupku . Selain dihadiri aktivis perempuan, demo diramaikan oleh murid-murid dari Sekolah Kepandaian Putri di Jalan Sabang. Mereka datang membawa kertas besar yang bertuliskan protes terhadap PP. Sampai di Istana Kepresidenan, mereka disambut Sukarno. Perwari memberi mosi agar pemerintah meninjau kembali PP No. 19 Tahun 1952. Para perempuan juga mendesak agar pemerintah segera membuat Undang-Undang Perkawinan yang menjamin kedudukan istri sesuai UUD 1945. Dari istana, demostrasi berlanjut ke kantor Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo di Pejambon. Para demonstran menyerahkan petisi lalu bergerak ke kantor DPRS di pojok Lapangan Banteng. Meski publikasi terhadap demonstrasi itu baik, pemerintah tetap tak paham maksud para perempuan. Serangkaian pembahasan memang dilakukan di parlemen usai demonstasi itu, tapi pada Februari 1954 parlemen memutuskan ketetapan tentang pensiuan pada janda-janda pegawai negeri masih tetap berlaku.
- Sang Demonstran dan Politikus Berkartu Mahasiswa
SEBAGAI pejabat presiden, Soeharto berkepentingan membersihkan parlemen dari unsur Orde Lama. Sang Jenderal menginginkan lembaga perwakilan rakyat direstrukturisasi dan mengisinya dengan wajah baru. Manuver ini semata untuk tujuan politik: menarik dukungan yang efektif dari dewan legislatif atas setiap kebijakan rezim Soeharto. Tak hanya orang partai dan tentara, beberapa mahasiswa ikut dilibatkan. Mereka yang “terjaring” adalah aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI) yang berperan menjatuhkan kekuasaan Presiden Sukarno lewat serangkaian aksi demonstrasi. “Ujian pertama dari KAMI datang pada saat penawaran menjadi anggota DPR-GR. Golongan moral forces menolaknya, karena melihat racun berbungkus madu diatas kursi empuk DPR-GR. Sebaliknya golongan politisi setuju karena suara mereka diperlukan untuk voting anti Soekarno (yang makin lemah) dan menyusun UU Pemilihan Umum,” tulis Soe Hok Gie dalam artikel “Menyambut Dua Tahun KAMI: Moga-Moga KAMI Tidak Mendjadi Neo PPMI”, Kompas , 26 Oktober 1967. Pada Januari 1967, sebanyak tiga belas mahasiswa ditunjuk menjadi perwakilan mahasiswa di DPR-GR. Semuanya berasal dari KAMI Pusat (Jakarta). Mereka yang disebut Gie sebagai golongan politik antara lain: Slamet Sukirnanto, T. Zulfadli, Fahmi Idris, Mar’ie Muhammad, Firdaus Wadjdi, Soegeng Sarjadi, Cosmas Batubara, Liem Bian Khoen, Djoni Simanjuntak, David Napitupulu, Zamroni, Yozar Anwar, dan Salam Sumangat. “Agar partai-partai Orla (Orde Lama, red. ) tak mendominasi di sana,” kata seorang Ketua Presidium KAMI kepada Gie ketika ditanya soal kesediaannya menjadi anggota DPR-GR. Sinis bercampur sedih mengisi benak Gie tatkala memandang laku para rekannya yang menurutnya sudah mulai silau dengan kekuasaan. Dalam artikel yang sama, Gie menyebut sebagian besar aktivis-aktivis KAMI adalah tokoh-tokoh yang hidup dengan menunggangi status kemahasiswaannya. Umurnya rata-rata mendekati 30 tahun dan telah berkali-kali tak naik kelas karena jarang kuliah. Mereka bukan lagi mahasiwa yang berpolitik, tetapi politikus yang punya kartu mahasiswa. “Akhirnya Soekarno jatuh tetapi mahasiswa yang di DPR-GR juga jatuh martabatnya di mata mahasiswa biasa,” tulis Gie. Mendandani Bopeng Mahasiswa Begitu para aktivis kampus ini duduk di kursi anggota dewan, perpecahan mulai meletup. Pasalnya, mereka yang telah ditunjuk dalam parlemen bersekutu dengan partai politik. Mereka tak lagi berbicara atas nama mahasiswa, melainkan sebagai wakil golongan Islam, Katolik, dan sebagainya. Perselisihan pun mencuat ditingkat akar rumput, yaitu diantara sesama anggota KAMI. Sebagai organisasi mahasiswa yang menanungi berbagai golongan, KAMI tak lagi satu suara untuk kepentingan bersama. “Dari sini kelihatan bahwa tokoh-tokoh KAMI mulai kembali ke induknya,” ujar Gie. Gie secara radikal menentang mantan rekannya sesama aktivis mahasiswa yang memilih terjun berpolitik praktis. Mengapa? Dalam disertasinya di Australian National University, John Maxwell menjelaskan gagasan Gie bahwa mahasiswa seharusnya hanya muncul sebagai aktor politik manakala krisis sedang mencapai puncaknya. Ketika krisis sudah berlalu, mereka seharusnya kembali ke kampus. Gie membayangkan semangat aktivisme yang wajar: mulai soal olahraga sampai soal kebebasan mimbar kampus. Namun, yang terjadi kemudian justru sebaliknya. “Segera terlihat bahwa aktivis-aktivis terkemuka KAMI tidak tertarik untuk atau cakap menangani masalah sehari-hari yang paling signifikan bagi mahasiswa biasa, seperti kualitas pendidikan yang mereka dapatkan, kondisi sumber daya universitas, misalnya perpustakaan dan laboratorium, dan penyediaan fasilitas olahraga yang lebih baik,” tulis Maxwell dalam Soe Hok-Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani . Prediksi Gie tentang “racun bercampur madu” yang menjerat di kursi di dewan legislatif terbukti. Kelakuan minus para aktivis mahasiswa-cum-anggota parlemen yang lupa diri ini terendus ke muka publik. Mulai dari wara-wiri keluar negeri dalam rangka “misi pencarian fakta” tanpa hasil, ketidakterbukaan soal gaji mahasiswa sebagai anggota DPR-GR, hingga berlomba-lomba kredit mobil mewah. Puncaknya ketika para anggota laskar menggemboskan mobil ban tokoh-tokoh mahasiswa di markas Laskar Arief Rachman Hakim. Mereka merasa tertipu melihat kemewahan para pemimpinnya. Maxwell mencatat beberapa pemimpin KAMI, yang ditunjuk untuk duduk di dewan legislatif ternyata terlibat dalam manipulasi penyediaan kendaraan bermotor untuk para anggota parlemen. Mereka mendapatkan jatah mobil Holden Spesial dengan pengaturan biaya khusus sehingga harga mobil-mobil ini bisa jauh di bawah harga pasar yang berlaku. Skandal ini ramai mengisi bagian muka berita media-media di Jakarta saat itu. Reaksi keras dan kritik juga berdatangan dari mahasiswa-mahasiswa lain, terutama dari Bandung. Gie tak ketinggalan. Dalam artikelnya “Menaklukkan Gunung Slamet” termuat di Kompas , 14 September 1967, Gie menyebut sebagian dari pemimpin-pemimpin KAMI adalah maling. “Mereka korupsi, mereka berebut kursi, ribut-ribut pesan mobil dan tukang kecap pula.” Tak cukup sampai di situ. Menyaksikan perangai cacat mantan kawan seperjuangannya, Gie tergerak memberikan apresiasi. Bersama beberapa rekannya, dia mencetuskan rencana untuk mengirimkan hadiah “Lebaran-Natal” kepada wakil-wakil mahasiswa di parlemen. Sebuah paket diantar pada 12 Desember 1969. Isinya antara lain: pemulas bibir, bedak pupur, cermin, jarum, dan benang. Sepucuk surat dan kumpulan tanda tangan mengiringi. Sebagaimana termuat dalam harian Nusantara , 15 Desember 1969, demikian pesan dalam paket tersebut. Bersama surat ini kami kirimkan kepada anda hadiah kecil kosemetik dan sebuah cermin kecil sehingga anda, saudara kami yang terhormat, dapat membuat diri kalian lebih menarik di mata penguasa dan rekan-rekan sejawat anda di DPR-GR. Bekerjalah dengan baik, hidup Orde Baru! Nikmatilah kursi anda –tidurlah nyeyak! Teman-teman mahasiswa anda di Jakarta dan ex-demonstran ’66.
- Hukuman bagi Jenderal Mongol
EKSPEDISI Mongol ke Jawa membuat tiga jenderalnya, Shi Bi, Gao Xing, dan Ike Mese, dihukum begitu kembali ke Tiongkok. Namun, petualangan mereka di Jawa tak benar-benar gagal.
- Sang Aktor Laga Telah Tiada
KABUT duka menyelimuti dunia hiburan. Aktor laga legendaris Advent Bangun mengembuskan napas terakhir di RSUP Fatmawati, Jakarta Selatan, Sabtu (10/2/2018) dini hari. Sedari Jumat malam, aktor layar lebar era 1970 sampai 1990 itu, sudah dilarikan ke IGD RSUP Fatmawati akibat sesak napas. Kendati sudah diupayakan pertolongan medis, detak jantungnya tak lagi berdetak. Dia dinyatakan meninggal sekira pukul 02.30 dini hari dalam usia 65 tahun. Thomas Advent Perangin-angin Bangun lahir di Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara pada 12 Oktober 1952. Dia dikenal sebagai bintang film layar lebar dengan memulai debutnya di film Rajawali Sakti (1976). Dia mulai dikenal luas sebagai pemeran utama di film Satria Bambu Kuning (1985). Hampir segala genre film pernah dibintanginya. Tak hanya film laga, komedi dan asmara, dia juga sempat meramaikan film perjuangan, Komando Samber Nyawa (1985) bersama Barry Prima. Perlahan namanya disejajarkan dengan legenda film laga lainnya seperti Barry Prima, George Rudy, Ratno Timoer hingga Johan Saimima. Sebelum menjadi bintang film, dia pernah meniti karier sebagai atlet karate. Sejak muda, Advent mendalami karate, ilmu beladiri asal Jepang, dengan bergabung ke INKAI (Institut Karate-Do Indonesia). Dia mendalami karate karena pengalaman pahit yang menimpanya di Tanjung Priok pada 1968. Ketika itu, dia bersama kakak perempuannya diganggu sekira 20 preman. Tak terima kakaknya diganggu, Advent pasang badan. Dia dikeroyok dan wajahnya penuh luka memar dan lebam. “Untung badan saya tak cedera,” kata Advent, dikutip dari Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia: 1981-1982. Oleh karena itu, Advent kemudian mendalami karate dengan sungguh-sungguh hingga menjadi atlet. Selama 12 tahun sejak 1971, dia langganan juara di kejuaraan nasional maupun Pekan Olahraga Nasional (PON). Dia juga sering ikut dalam beragam turnamen tingkat ASEAN, Asia hingga dunia. Advent mengawali karier internasional dalam kejuaraan karate ASEAN 1978 di Istora, Jakarta. Dia juga ikut di beberapa ajang dunia lainnya. Mulai dari kejuaraan dunia karate di Paris, Prancis 1972; Bremen, Jerman 1980; hingga World Games 1981 di Santa Clara, Amerika Serikat. Sayangnya, Indonesia belum bisa berbicara banyak. Advent hanya sempat menempati peringkat lima besar. Dengan karate pula Advent lantas masuk ke dunia hiburan layar lebar. “Keahliannya (dalam karate) ini yang membawa profesinya di bidang film. Sebelum terjun ke dunia film, (Advent) sempat menjadi pegawai negeri Bea & Cukai Tanjung Balai Karimun,” demikian tertulis dalam Apa Siapa Orang Film Indonesia. Advent sendiri menganggap olahraga beladiri hanya untuk pertahanan diri. Namun, ketika olahraga itu mengantarkannya ke dunia film yang serba gemerlap, dia lupa diri dan terhempas ke dalam kehidupan glamor. “Syukurlah, di tengah kesuksesan duniawi itu dia tiba-tiba tersadar dan berusaha kembali ke jalan Tuhan. Sosok yang berjuang supaya Advent kembali ke jalan Tuhan yakni sang istri,” tulis tabloid Reformata , edisi 51 Januari 2007. Setelah mendekatkan diri kepada Tuhan, Advent seakan telah melupakan segala piala maupun catatan panjang perjalanannya di dunia hiburan. Secara bertahap, dia rajin beribadah ke gereja. Sejak tahun 2000, dia menjadi koordinator di Gereja Tiberias Indonesia di Cawang, Jakarta Timur. Dari seorang petarung di arena dan layar lebar, Advent beralih menjadi pendeta. Namanya menjadi Yohanes Thomas Advent Bangun. Hari ini, dia berpulang ke haribaan Tuhan. Selamat jalan Advent Bangun.
- Wushu dan Telepon Merah RI Satu
TEPAT di Hari Pahlawan 10 November 1992, Pengurus Besar Wushu Indonesia (PBWI) berdiri. I Gusti Kompyang (IGK) Manila yang sedari awal membidani dan membina wushu, punya pekerjaan rumah (PR) besar sebagai Ketua Umum pertama PBWI. Terlebih, target jangka pendek organisasi itu adalah pembinaan dan pengembangan para atlet untuk persiapan SEA Games 1993 di Singapura. Manila langsung mengagendakan beragam tur sosialisasi dan pengguliran kejuaraan di 27 provinsi. “Pak Manila ingin wushu lebih dikenal masyarakat,” kenang Ahmad Idris, praktisi dan salah satu atlet pertama wushu Indonesia yang sempat diminta ikut sosialisasi di berbagai kota selama tiga bulan, dikutip koran Tempo , 28 Januari 2004. Namun, kendala bermunculan. Dua hal paling urgent adalah dana untuk perlengkapan berstandar internasional dan kebutuhan akan pelatih-pelatih yang qualified. Manila lantas membawa persoalan ini ke Cendana, tempat kediaman Presiden Soeharto. Manila yang ketika itu masih berpangkat kolonel dari satuan intelijen Corps Polisi Militer (CPM), dikenal Soeharto sebagai komandan Operasi Ganesha dan manajer timnas PSSI di SEA Games 1991. Soeharto juga tahu gagasan dari KONI untuk mengembangkan Wushu yang dijalankan Manila. Dia menganggap Wushu bisa jadi sarana persahabatan yang lebih erat lagi dengan China setelah pemulihan hubungan RI-China, Agustus 1990. “Soeharto manggut-manggut waktu dilapori. Tidak banyak cakap, the smiling general itu langsung angkat telepon merah –yang hanya dipakai Soeharto menghubungi orang-orang untuk urusan yang sangat penting,” tulis Hardy R. Hermawan dan Edy Budiyarso di biografi IGK Manila: Panglima Gajah, Manajer Juara. Selesai mengontak seseorang lewat telepon merah, Soeharto memberi solusi singkat pada Manila. “Hubungi Gunung Sahari!” perintah Soeharto. “Siap,” jawab Manila. Gunung Sahari yang dimaksud Soeharto merupakan sebutan tempat tinggal konglomerat Tionghoa kenalan dekat Soeharto bernama Liem Sioe Liong alias Sudono Salim –yang beralamat di Jalan Gunung Sahari, Jakarta. Dari situ, Manila mendapat modal dana untuk memuluskan pengembangan wushu. Kendala Manila t inggal mencari pelatih wushu berkualitas. Perihal ini, Manila melakukan pendekatan ke Kedutaan Besar RRC. Dari situ, Manila mendapat rekomendasi mendatangkan dua pelatih: Wang Donglien dan Deng Changli. Kedua nama ini kemudian mengemban tugas penyeleksian terhadap 100 calon atlet yang tersaring dari berbagai daerah. Setelah tersaring 14 atlet, kedua pelatih itu lalu menebalkan skill para atlet di disiplin ilmu Taolu selama enam bulan. “Kita sempat dibawa ke China, tepatnya ke Shanxi. Jadi kita lima bulan pelatnas di Jakarta. Lalu sebulan sebelum SEA Games, kita dikirim ke Shanxi,” kenang Fonny Kusumadewi, salah satu mantan atlet timnas Wushu di SEA Games 1993, kepada Historia. Di sana, mereka lebih mendalami Taolu atau kategori keindahan jurus. Taolu terbagi menjadi nomor tangan kosong dan senjata. Tangan kosong berisi antara lain changquan (pukulan panjang utara), nanquan (tinju selatan), taijiquan ( style taichi), xingyiquan (pukulan jarak dekat), dan duilian yang dilakukan dua atlet berpasangan. Sedangkan Taolu yang menggunakan senjata terdiri dari daoshu (jurus golok/pedang bermata satu), jianshu (jurus golok/pedang bermata dua), nandao (jurus golok/pedang selatan), taijijuan (jurus pedang Taiji), gunshu (jurus tongkat/toya), nangun (jurus tongkat/toya selatan), dan Qiangshu (jurus tombak). Kategori Sanda atau pertarungan/duel berkembang kemudian. Ia berisi kelas nomor 48 kilogram (kg), 52 kg, 56 kg, 60 kg, 70 kg, dan 75 kg. Keempat belas atlet Indonesia yang belajar di Tiongkok itu lalu memulai debut di SEA Games 1993 Singapura. Sayangnya, mereka pulang dengan tangan hampa. “Karena kita Indonesia peserta terbaru, persiapan juga hanya enam bulan. Dari nol semua. Sementara negara lain persiapannya sudah sekian tahun karena berdiri lebih dulu. Dari 14 yang dikirim, satupun tak ada dapat medali. Tapi kita menyadari waktu itu masih paling bawah,” lanjut Fonny. Prestasi pertama mereka datang dua tahun kemudian di ajang Kejuaraan Dunia 1995 di Baltimore, Amerika Serikat (AS). Sebagaimana dilansir Kompas 12 Desember 2017, atlet Wushu Jainab memetik medali perak di kategori Taolu nomor Taijiquan putri. Prestasi ini baru bisa dilewati oleh Gogi Nebulana di Kejuaraan Dunia Wushu 2007 di Beijing. Gogi meraih emas untuk kategori Taolu nomor Jianshu putra. Di era Reformasi, wushu kian menggema. Indonesia akhirnya dipercaya IWUF (Federasi Wushu Internasional) untuk menggelar Kejuaraan Dunia Wushu 2015 di Jakarta. Gelaran akbar itu turut mendatangkan praktisi wushu yang tersohor sebagai aktor laga, Li Lian Jie. Publik sejagat mengenalnya sebagai Jet Li. Panitia mengundangnya untuk lebih mempromosikan wushu dan menularkan inspirasi pada khalayak Indonesia. Meski gagal juara umum, di ajang ini Indonesia jadi runner-up dengan 7 emas, 3 perak dan 6 perunggu, di bawah China.
- Saat Bung Tomo Dilarang Bicara
JIKA dilihat rentang waktunya (8 Desember 1947-17 Januari 1948), Perundingan Renville bisa jadi merupakan perundingan terlama yang pernah dilakukan Indonesia dengan negara lain. Ajang perang diplomasi antara Indonesia dengan Belanda tersebut dilakukan di atas kapal USS Renville berbendera Amerika Serikat yang tiba di pelabuhan Tanjung Priok pada 2 Desember 1947. Delegasi Indonesia beranggotakan Amir Sjarifuddin, Ali Sastroamidjoyo, Tjoa Sik Ien, Mohamad Roem, Agus Salim, Nasrun dan Juanda. Sementara di kubu seberang, tim Belanda diperkuat oleh Abdulkadir Widjojoatmodjo, Jhr van Vredenburg, Soumokil, Pangeran Kartanegara dan Zulkarnain. Perundingan berjalan alot. Panas di dalam, begitu juga diluar. Rupanya, langkah pemerintah untuk turut dalam perundingan Renville banyak dicecar banyak pihak. Salahsatu yang vokal mengecam adalah Sutomo (lebih dikenal dengan sebutan Bung Tomo), mantan Ketua Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) yang kemudian diangkat menjadi salahsatu pucuk pimpinan tentara. “Tomo dari Barisan Pemberontak Republik Indonesia. Dalam pidatonya dia menguraikan keadaan politik waktu itu, dan menunjukkan bahwa kemerdekaan negara Indonesia terancam akan menjadi tanah jajahan kembali. Perundingan Renville, menurut pembicara membawa malapetaka. Waktu itu Bung Tomo pangkatnya jenderal mayor penuh,” tulis Subagiyo I.N dalam K.H. Masjkur: Sebuah Biografi . Pidato bung Tomo membuat delegasi Indonesia di perundingan kehilangan fokus. Akibatnya, Perdana Menteri Amir Sjarifuddin -yang juga ketua delegasi- memerlukan diri untuk menyampaikan kawat khusus ke wakil perdana menteri untuk diteruskan kepada Sukarno sebagai kepala negara. “Oleh pihak yang bersangkutan disampaikan bahwa pidato Tomo pada tangal 15 Desember 1947 sangat menyukarkan perundingan. Dikemukakan bahwa ada kemungkinan pidato itu akan dipakai Belanda di muka sidang Dewan Keamanan. Dengan demikian pekerjaan juga akan terancam sedangkan kita mencoba dengan segala usaha mempertahankan Republik. Pidato itu mesti dihilangkan pengaruhnya di kalangan internasional,” tulis Amir Sjarifudin dalam surat kawatnya yang dikirim dari geladak kapal Renville, pagi hari 17 Desember 1947. “Minta kepada PJM Presiden supaya diperintahkan Tomo jangan berpidato lagi dan merugikan perjuangan sekarang yang sudah begitu sukar,” sambung Amir dalam surat kawatnya yang tersua di arsip Sekretariat Negara 1946-1949 . Surat kawat atau telegram dari Amir pun segera ditindaklanjuti oleh sekretariat perdana menteri dan meneruskannya ke Sekretariat Negara untuk kemudian ditembuskan kepada presiden Sukarno. “Karena ternyata betapa besarnya dan menyukarkan perundingan Indonesia-Belanda maka dengan ini sudilah kiranya Paduka Tuan menyampaikan kepada Paduka Jang Mulia Presiden supaya selekas mungkin diadakan larangan dari P.J.M Presiden bagi anggota ketentaraan untuk mengadakan pidato,” tulis Maria Ulfah Santoso, dari sekretariat perdana menteri, kepada pihak Sekretariat Negara dengan nomor surat 3676/Pres/V dengan perihal mengenai larangan berpidato sebagai opsir atau perwira. Sore dihari yang sama, 17 Desember 1947, terbit surat perintah dari Sukarno -sebagai presiden sekaligus panglima tertinggi angkatan perang- kepada Soedirman. Isinya memerintahkan panglima besar untuk melarang Soetomo atau bung Tomo berpidato di muka umum. “Meneruskan dengan segera kepada jenderal mayor Soetomo (bung Tomo) perintah kami, supaya mulai hari ini tanggal 17 Desember 1947 menghentikan segala pembicaraan dan pidato di muka umum, baik dengan radio maupun dengan cara lain, sampai kami menarik kembali perintah ini,” seperti ditulis dalam surat perintah bernomor P.T/56 yang diteken Sukarno. Bicara Kembali Perundingan Renville pun selesai pada 17 Januari 1948. Hasilnya, tulis Iin Nur Insaniwati dalam Mohamad Roem: Karier Politik dan Perjuangannya, 1924-1968 , mengecewakan banyak pihak. Beberapa keputusan yang dipandang merugikan pihak Indonesia seperti wilayah RI yang menyempit dan kewajiban pengosongan daerah kantong dengan memindahkan tentara nasional RI ke wilayah Republik. Akibat politik lainya adalah penolakan sejumlah partai seperti Masyumi dan PNI terhadap hasil Renville, padahal keduanya masuk dalam kabinet Amir Sjarifuddin jilid II. Masyumi menolak keputusan Renville sehari sebelum perundingan selesai -16 Januari 1948-, sementara PNI menolak keputusan sehari paska penandatanganan, 18 Januari 1948. Seminggu setelah keputusan Renville, Amir Sjarifuddin menyerahkan mandat kembali kepada Sukarno. Pada 29 Januari 1948, terbentuk kabinet baru, dengan Perdana Menteri Mohamad Hatta. Bagaimana nasib Soetomo atau Bung Tomo yang dilarang bicara di muka umum? Seiring dengan bubarnya kabinet Amir Sjarifuddin, Soetomo pun mencoba menghadap Sukarno. Ia menyatakan dirinya siap menyokong kebijakan kabinet baru yang akan dibentuk. Atas sikapnya itu, Sukarno pun melunak. Ia mencabut pelarangan pidato bung Tomo. Pada pukul 9 pagi, tanggal 27 Januari 1948, Sukarno meneken surat perintah bernomor 1/P.T/48 kepada panglima besar Soedirman. “Memberi perintah kepada Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia untuk meneruskan kepada jenderal mayor Soetomo (bung Tomo) bahwa larangan tersebut dalam surat perintah tanggal 17 Desember 1947 nomot P.T/56 mulai hari ini ditarik kembali,” tulis Sukarno. Surat dari Sukarno pun direspon oleh Soedirman. Pada 2 Februari 1948, pukul 10 pagi, Soedirman meneken surat perintah harian bernomor 15/PB/48/I yang menerangkan pencabutan larangan berbicara dimuka umum yang dikenakan kepada Soetomo sejak akhir 1947. Akhirnya, Bung Tomo pun bebas berbicara kembali, setelah dilarang bicara di muka umum selama hampir dua bulan.
- Menang atau Mati! Ancaman Mussolini untuk Tim Azzurri
KEMENANGAN dan mempertahankan trofi Piala Dunia menjadi harga mati untuk Gli Azzurri (julukan timnas Italia). Pesan bernada ancaman dilayangkan Il Duce , pemimpin fasis Italia Benito Mussolini, kepada tim besutan allenatore Vittorio Pozzo di Piala Dunia 1938 yang digelar di Prancis. Pada Piala Dunia 1934 yang digulirkan di “rumah sendiri”, Mussolini bangga. Trofi Jules Rimet yang diraih tim Italia dijadikannya alat penegas propaganda doktrin fasisme, tidak hanya untuk menyatukan rakyatnya tapi juga kepada dunia. Pengaruh politik begitu kuat menyesaki masa di ambang pintu Perang Dunia II itu. Austria yang jadi salah satu kekuatan sepakbola Eropa 1920-1930-an batal ke Prancis lantaran negeri mereka dicaplok Adolf Hitler, diktator Nazi-Jerman rekan Mussolini, medio Maret 1938. Meski bersahabat dekat, Mussolini menyimpan persaingan pada Hitler. Mussolini yang lebih dulu merintis ideologi ekstrem kanan dari Hitler tak ingin trofi Jules Rimet direbut tim lain, apalagi Jerman. Rekan fasis mereka lainnya, Spanyol, urung tampil gara-gara Perang Saudara. “Italia sebagaimana rekan-rekan Jerman mereka, tak ingin gagal di lapangan sepakbola maupun medan perang,” ungkap Phil Ball dalam Morbo: The Story of Spanish Football. Italia berangkat ke Prancis tidak lagi mengandalkan pemain oriundi (keturunan Italia yang lahir di Amerika Selatan), yang beberapa di antaranya seperti Enrique Guaita memilih kabur ke Amerika Selatan demi menghindari wajib militer. Pelatih kepala Pozzo justru “berjudi” dengan membawa pemain-pemain muda. Hanya Giuseppe Meazza dan Giovanni Ferrari di tim itu yang merupakan veteran Piala Dunia 1934. “Tim Azzurri mesti menjawab keraguan terkait kemenangan mereka empat tahun sebelumnya, apakah mampu menang jika bukan tuan rumah dan bermain di tempat lain. Mereka juga harus membuktikan bahwa tim mereka punya kemampuan mumpuni, mengingat banyaknya tuduhan pengaturan skor atau suap dalam kemenangan mereka di 1934,” tulis Tim Harris dalam Sport: Almost Everything You Ever Wanted to Know . Di Prancis 1938, La Nazionale (julukan lain tim Italia) juga tampil beda. Mereka mengganti seragam biru langit-putih empat tahun sebelumnya dengan seragam hitam-hitam khas “Fascio”. Para pemain juga selalu melakukan hormat ala fasis jelang kickoff. Toh, Italia mulus melewati fase demi fase. Mereka menyingkirkan Norwegia 2-1, tuan rumah Prancis 3-1, serta Brasil 2-1 di semifinal. Pada partai puncak, mereka bersua Hungaria yang sedang menanjak jadi salah satu tim adiwisesa Eropa. Tahu bahwa para pemainnya akan meladeni lawan berat, Mussolini mengirim telegram berisi ancaman: “ Vincere o morire !” yang artinya “Menang atau mati!” Ancaman itulah yang mungkin membuat para pemain mati-matian di final hingga menang 4-2. Nyawa mereka pun masih utuh sepulangnya ke Italia. “Saya mungkin membiarkan terjadinya empat gol ke gawang saya, namun setidaknya saya menyelamatkan nyawa mereka,” kenang kiper Hungaria Antal Szabo, yang tak menyesal timnya kalah dari Italia di final Piala Dunia 1938, sebagaimana dikutip Diane Bailey dalam Great Moments in World Cup History . Tapi benarkah tim Italia tampil disertai ancaman pertaruhan nyawa pada laga final di Stade Olympique de Colombes, Paris, 19 Juni 1938 itu? “Beberapa orang menafsirkan bahwa pesan telegram itu tidak secara harfiah. Pesan ‘Menang atau Mati’ mungkin hanya sebagai ungkapan dengan cara ekstrem oleh Mussolini untuk menyatakan: ‘Lakukan yang terbaik!’,” lanjut Bailey. Bertahun-tahun kemudian, bantahan datang dari Pietro Rava, salah satu punggawa Italia di Piala Dunia 1938. Dia menyanggah timnya mendapat telegram ancaman mati itu dari Mussolini. “Tidak, tidak, tidak. Itu tidak benar. Dia (Mussolini) mengirim telegram hanya untuk mendoakan kami, bukan ancaman menang atau mati,” kata Rava kala diwawancara Simon Martin dari The Guardian pada 2001. Lepas dari benar-tidaknya telegram ancaman yang memunculkan beragam versi itu, Rava dkk diundang Mussolini ke Palazzo Venezia di Roma pasca-kemenangan mereka. Setiap pemain diguyur bonus 8000 lira dan masing-masing sekeping medali emas fasis.
- Hulagu Khan Menaklukkan Baghdad
PADA 1257, Hulagu Khan (1218-1265), cucu Genghis Khan, mengulang kebengisan kakeknya di Baghdad. Seperti biasa sebelum menyerang, penguasa Mongol itu mengirim utusan untuk mengultimatum Khalifah Abassiyah, Al-Mustasim Billah, untuk menyerah tanpa syarat. Namun, astronom Husim al-Din menyarankan agar Hulagu Khan membatalkan niat mengepung Baghdad karena berbagai pertanda dan planet-planet tidak mendukungnya. Apabila Hulagu Khan tidak membatalkan rencananya, kata Husim al-Din, enam petaka akan muncul di hadapannya: semua kuda akan mati dan seluruh tentaranya akan jatuh sakit, matahari tidak akan terbit, hujan tidak akan turun, badai akan menerjang dan dunia akan hancur oleh gempa bumi, rumput tidak akan tumbuh, dan Raja Agung (Hulagu Khan) akan wafat tahun ini juga. “Terjebak dalam dilema ini, Hulagu memanggil Nasir al-Din al-Tusi, ahli matematika (penemu trigonometri), mantan anggota sekte Hasyasyin. Hulagu mengangkatnya sebagai penasihat pasca penghancuran Alamut,” tulis Fernando Baez, pakar perbukuan dan perpustakaan asal Venezuela, dalam Penghancuran Buku dari Masa ke Masa. Menurut Antony Black, profesor emeritus di Universitas Dundee, Skotlandia, al-Tusi dikenal sebagai ahli matematika dan astronom yang cukup tenar. Kecakapan itu justru menimbulkan masalah baginya: dia dipaksa bekerja selama kurang lebih 20 tahun sebagai astrolog di benteng Alamut (selatan Laut Kaspia) milik kelompok Nizari-Ismailiyah (sekte Hasyasyin). Benteng pertahanan itu dilengkapi perpustakaan yang terkenal, sehingga dia tetap bisa melanjutkan aktivitasnya sebagai astronom. “Kaum Ismailiyah percaya bahwa dunia diatur oleh revolusi-revolusi ilahiah yang dapat dilacak di bintang-bintang, dan kelihatannya kaum Naziri Ismailiyah memercayai al-Tusi ketika dia mengatakan, sewaktu Mongol menyerang benteng mereka (1255-1256), bahwa saat ini adalah waktunya untuk menyerah. Al-Tusi kemudian menjadi astrolog dan penasihat Hulagu. Dia mendukung ekspedisi Hulagu melawan Baghdad,” tulis Antony Black dalam Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi hingga Masa Kini. Setelah mendengarkan pendapat dari seluruh penasihat Hulagu, al-Tusi mengatakan “perhitungan-perhitungan itu (Husim al-Din) salah semua. Tak akan terjadi apa-apa jika Anda menyerang Baghdad.” Kalimat tersebut, menurut Baez, menjadi penentu bagi Hulagu menyerang Baghdad. Dia segera memerintahkan pasukannya menyeberang Sungai Tigris. Setelah menghancurkan desa-desa di pinggir Baghdad, pasukan Mongol mengepung kota itu pada 15 November 1257. Sang Khalifah balik menyerang di Bashira. Dalam empat jam pertempuran, 12.000 tentara tewas. Pada 4 Februari 1258, Hulagu menerima kabar bahwa pasukannya telah memasuki Baghdad. Pertempuran sengit terjadi di dalam kota selama sepekan. Khalifah Al-Mustasim menyerah, namun pertumpahan darah terus terjadi. Lebih dari 500.000 mayat bergelimpangan di jalanan. Hulagu menangkap Sang Khalifah dan membawanya masuk Istana Rihainiyyin. Dalam istana, seluruh anggota kerajaan –kecuali satu putra dikirim kembali ke penjara– dihabisi tanpa ampun. “Tubuh Sang Khalifah dibungkus dengan karpet dan dipukuli sampai mati karena telah dinubuatkan apabila darah Sang Khalifah menetes ke tanah, bangsa Mongol bakal sengsara,” tulis Baez. Pasukan Mongol kemudian membawa naskah-naskah di perpustakaan ke muara Sungai Tigris dan dilempar ke sungai agar tintanya bercampur dengan darah. “Inilah penghancuran yang direncanakan matang dengan maksud menghancurkan kebanggaan intelektual rakyat Baghdad,” tulis Baez. Pada masa itu, Baghdad memiliki sekolah-sekolah terpenting di bidang hukum, matematika, dan sastra. Baghdad memiliki kekayaan bibliografis yang tak terperikan. “Khalifah Abassiyah, Abu Ahmad Abdullah ibn al-Mustasim, dikenal sebagai Al-Mustasim Billah, membawa buku-buku itu dari seluruh penjuru Persia,” tulis Baez. Keturunan Genghis Khan lainnya, Timurleng, menyerang Baghdad pada 1393 dan meluluhlantakkan apapun yang dia temukan. Tentaranya bergerak ke Suriah dan menghancurkan setiap buku yang dimiliki lawan mereka. Setelah penaklukan Baghdad, menurut Antony, al-Tusi diangkat sebagai wazir (menteri) dan pengawas lembaga-lembaga agama untuk Hulagu dan penerusnya. Hulagu mempunyai sebuah observatorium yang dibangun untuk al-Tusi yang memungkinkannya menyusun tabel-tabel astronomi baru. Dia menulis banyak karya, di antaranya Peraturan dan Kebiasaan Raja-raja Kuno (mungkin dipersembahkan untuk seorang raja Mongol), yang berisi nasihat-nasihat tentang keuangan negara.





















