top of page

Hasil pencarian

9580 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Perempuan Pertama di Parlemen Hindia Belanda

    Cornelia Hendrika Razoux Schultz-Metzer menjadi perempuan pertama yang duduk di Dewan Rakyat Hindia-Belanda (Volksraad). Ia mengisi kekosongan wakil perempuan yang tak pernah ada sejak parlemen Hindia Belanda itu didirikan tahun 1918. Sebelumnya, lembaga legislatif (meski wewenangnya terbatas) itu hanya diisi laki-laki. Cornelia berhasil menduduki kursi Dewan Rakyat pada 1935 melalui penunjukan dan memperoleh hak pilih pasif, yakni bisa dipilih tapi tak bisa memilih. Sepak terjang Cornelia dalam gerakan perempuan di Hindia-Belanda bermula dari pertemuannya dengan EGGR. Ellendt pendiri Perhimpunan Indo-Eropa (Indo-Europeesche Verbond, IEV) yang juga dicalonkan sebagai anggota Volksraad dari organisasinya. Ellendt juga salah satu pendiri Organisasi Perempuan Indo-Eropa (Indo-Europeesche Vrouwen-Organisatie, IEVO). Mereka bertemu dalam perjamuan di kediaman keluarga Razoux Schultz, suami Cornelia, beberapa saat setelah Cornelia pindah ke Hindia-Belanda dan tinggal di Meester Cornelis (sekarang Jatinegara). Ellendt menceritakan rencananya untuk membentuk organisasi wanita yang sehaluan dengan perjuangan IEV dan khusus mewadahi perempuan Indo-Eropa. Rencana ini disambut baik oleh Cornelia. Selanjutnya, menurut artikel “De Eerste Vrouw in den Volksraad”di harian Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie tanggal 15 Mei 1935, Cornelia memenuhi syarat yang dicari Ellendt. Ia menginginkan perempuan yang dekat dengan lingkaran IEV, memiliki keberanian untuk memimpin organisasi perempuan, dan bersimpati pada program IEV. Kebetulan, suami Cornelia merupakan orang cukup penting. Razoux Schultz bekerja sebagai insinyur bidang perawatan kesehatan di kantor Pusat Dinas Kesehatan Rakyat (Dienst van Volksgezondheid, DGV), Batavia. Cornelia juga tertarik dengan tujuan IEV untuk mengupayakan perjanjian Indo-Eropa dan siap menerima tugas baru untuk memimpin organisasi perempuan. Artikel “De Eerste Vrouw in den Volksraad” juga menggambarkan Cornelia sebagai pribadi yang energik, berani, cekatan, dan teguh pada pendirian. Akhirnya Ellendt menyerahkan rencananya pada Cornelia. Dari sinilah awal mula Cornelia terjun dalam aktivisme perempuan di Hindia-Belanda. Ia terpilih sebagai Presiden IEVO. Sebuah komite kepala kemudian dibentuk di bawah kepemimpinan Cornelia tahun 1931. Cornelia bersama IEVO fokus pada peningkatan kesejahteraan dan pendidikan. Ia membangun sekolah-sekolah yang mengajarkan keahlian mengasuh, memasak, dan membuat pakaian. Di daerah Kramat dibangun sebuah sekolah negeri kelas dua ( tweede klasse , ongkoloro ) yang melayani lebih banyak murid setiap tahunnya. Sekolah ini ditujukan untuk memberikan pelatihan kilat pada anak perempuan untuk menjadi pengasuh atau pengurus rumah. Pendirian sekolah-sekolah itu dibarengi dengan pembuatan perpustakaan yang dilakukan di berbagai tempat di Jawa, termasuk Bandung dan Mojokerto. Fokus perjuangan Cornelia pada pendidikan dan pendirian sekolah tidak lepas dari aktivitasnya di Eropa. Cornelia yang lahir 27 Oktober 1898 di Duisburg, Jerman menghabiskan sebagian besar masa kecilnya di Arnhem. Dia mengenyam pendidikan di Kweekschool untuk menjadi guru. Ketika berusia 19-20an tahun dia meminta ditempatkan di sekolah rakyat yang mengajar anak-anak usia 14-15 tahun. Sebagai guru muda, Cornelia kerap membantu orang-orang yang kesusahan. Ia menyakini bahwa pemerataan kesejahteraan hidup sesama manusia adalah hal yang penting. Pemikiran ini membuatnya menjadi sosok berpengaruh di kalangan anak muda. Atas kepedulian Cornelia dalam bidang pendidikan, Kerajaan Belanda memberinya penghargaan Ksatria Ordo Oranje-Nassau. Sebuah penghargaan yang diberikan pada orang yang dianggap berjasa pada masyarakat. Tidak hanya soal pendidikan, Cornelia juga aktif memperjuangkan hak pilih perempuan ketika menjadi anggota Dewan Rakyat. Pada 1937 Cornelia mengajukan mosi di Dewan Rakyat yang mendesak Pemerintah Kolonial untuk memberi hak pilih perempuan bagi semua ras. Cornelia tetap setia pada keinginannya untuk mendukung hak pilih perempuan dari semua ras ketika Asosiasi Hak Pilih Perempuan (Vereeniging voor Vrouwenkiesrecht, VVV), organisasi yang juga dia ikuti selain IEVO, memutuskan untuk menghentikan pejuangan mereka. VVV yang sebelumnya aktif mendesak pemerintah untuk memberikan hak pilih pada perempuan dari semua ras, mengganti tuntutannya dengan meminta hak pilih hanya bagi perempuan Belanda. Protes Para Perempuan Indonesia Keputusan Pemerintah Kolonial untuk mengangkat Cornelia sebagai anggota Dewan Rakyat memancing protes para perempuan Indonesia. Cora Vreede de Stuers dalam Sejarah Perempuan Indonesia menulis, para perempuan menginginkan seorang wakil perempuan Indonesia di Volksraad. Tapi alih-alih memilih perempuan Indonesia, pemerintah Belanda menunjuk seorang perempuan Belanda yang aktif di organisasi perempuan sayap IEV. Sudah begitu, Cornelia hanya memperoleh hak pilih pasif, yakni boleh dipilih tapi tak boleh memilih. Sementara di Negeri Belanda sendiri hak perempuan untuk dipilih (hak pilih pasif) disetujui pada 1917. Dikutip dari Atria.nl , dua tahun setelah penetapan hak pilih pasif tersebut, pada 1919 perempuan Belanda baru memperoleh hak untuk memilih dan dipilih. Padahal, perjuangan mereka untuk mendapatkan hak pilih sudah dimulai sejak akhir abad ke-19 dengan Aletta Jacobs sebagai sebagai salah satu pemimpin pergerakannya. Di negeri jajahan, hal ini terjadi jauh setelahnya. Masalah hak pilih baru dibahas perempuan Indonesia pada Kongres ke III di Bandung tahun 1938. Hasil kongres mengamanatkan untuk melakukan penyelidikan tentang hak pilih perempuan Indonesia. Selain itu, 18 organisasi perempuan juga mengatur pertemuan pada 8 Agustus 1938 di Jakarta untuk membahas lebih lanjut tentang hak pilih mereka. Menjelang pemilihan kembali anggota Dewan Rakyat tahun 1939, para perempuan kembali berkumpul. Mereka kembali meminta agar dipilih wakil dari perempuan Indonesia. Sarikat Kaum Ibu Sumatera bahkan mengirimkan telegram hasil keputusan pertemuan mereka ke Pemerintah Kolonial pada 20 Januari 1939. Isinya menyatakan Maria Ullfah sebagai kandidat yang paling pantas untuk mewakili perempuan Indonesia. Tidak hanya Maria Ullfah, ada calon lain yang diajukan organisasi perempuan, yakni Rangkayo Chailan Syamsu Datu Tumenggung yang aktif di VVV. “Seorang perempuan Belanda, bukan Indonesia, sekali lagi yang dipilih menjadi anggota Volksraad. Hasil ini lebih mengecewakan karena Maria Ullfah, seorang lulusan Hukum Universitas Leiden, telah dicalonkan oleh para perempuan Indonesia,” tulis Cora. Meski sudah berusaha semaksimal mungkin, suara para perempuan Indonesia tak didengar. Pemerintah Kolonial kembali memilih Cornelia menjadi anggota Dewan Rakyat pada 1939. Tak ada wakil perempuan Indonesia di sana.

  • Selayang Pandang Kisah Mampang

    RENCANA pergantian nama Jalan Mampang Prapatan Raya dan Jalan Warung Buncit Raya menjadi Jalan Jenderal Besar Dr. A.H. Nasution dihentikan karena mendapat penolakan dari komunitas warga Betawi. Sebagaimana Warung Buncit, asal usul Mampang Prapatan juga ada tiga versi. Versi pertama dalam buku 212 Asal Usul Djakarta Tempo Doeloe karya Zaenuddin MH. Mampang Prapatan berakar dari kata “Mampang” yang artinya terpampang atau terlihat jelas dan “Prapatan” yang artinya simpang atau pertemuan empat jalur. Jadi, Mampang Prapatan adalah persimpangan empat jalur yang terpampang jelas oleh para pengendara. Lain lagi dengan versi Rachmat Ruchiat, budayawan dan penulis buku Asal-Usul Nama Tempat di Jakarta . Menurutnya, kata “Mampang” berasal dari nama sebuah kali atau sungai yang berhulu di kawasan Ragunan (kini Kebun Binatang Ragunan) hingga bermuara di Kali (Sungai) Krukut, sebagai tanda batas kekuasaan tuan tanah Belanda. “Dari hulu sampai muara Mampang tersebut tercatat tanggal 2 Desember 1695, sebagai milik tuan tanah Belanda bernama asli Hendrik Lucasz Cardeel alias Pangeran Wiraguna,” kata Rachmat kepada Historia . Setelah sang tuan tanah tiada, tanah di sekitar aliran Kali Mampang dipecah-pecah jadi tanah-tanah partikelir. Sementara Mampang dan Ragunan, pada akhir abad ke-19, dimiliki dua tuan tanah bumiputra. “Berdasarkan Regeerings Almanak tahun 1881, Mampang tercatat sebagai tanah partikelir yang dikuasai tuan tanah bernama Said Aidit dan Said Hoesin,” kata Rachmat. Yahya Andi Saputra punya versi lain. Menurut budayawan dan ketua Asosiasi Tradisi Lisan Jakarta tersebut, Mampang asal katanya dari nama sebuah pohon. “Mampang asalnya nama pohon. Dulu sudah cukup lama ada, walau kita belum riset mendalam tentang sejak kapan adanya. Intinya, keberadaan pohon-pohon Mampang itu sebagai penanda pemeliharaan lingkungan hijau,” kata Yahya kepada Historia. Selama beberapa waktu belakangan ini, kawasan Mampang Prapatan menjadi satu dari sekian simpul kemacetan di Jakarta Selatan. Tak hanya karena tingginya volume kendaraan di jam-jam sibuk, namun juga karena adanya proyek underpass . Belum lagi kawasan itu turut disesaki sejumlah bangunan pertokoan. Padahal sampai tahun 1975, menurut sejarawan-cum-wartawan senior Alwi Shahab, kawasan itu masih sangat sepi meski sudah ada jalan beraspal. Namun, di kedua sisi jalan, masih berupa hutan. Dalam tulisannya di Republika , 24 Juli 2005, Alwi menguraikan kawasan Mampang hingga Warung Buncit, masih sekadar “diramaikan” kebun-kebun belimbing, empang dan sejumlah peternakan sapi.

  • Kekecewaan Didi kepada Nasution

    JAUH sebelum adanya rencana Pemerintah DKI Jakarta menggantikan nama Jalan Warung Buncit Raya dengan Jalan Jenderal Besar Dr. A.H. Nasution, nama sang jenderal legendaris itu sudah ditabalkan sebagai nama jalan yang membentang antara Cicaheum-Cibiru, Bandung, Jawa Barat. “Itu sudah pasti, walau dia orang Mandailing tapi sejak awal pembentukan Divisi Siliwangi namanya sudah berkibar di Jawa Barat,” ujar sejarawan Rushdy Hoesein. Divisi Siliwangi dan A.H. Nasution memang dua nama yang tak bisa dipisahkan. Ketika Komandemen Jawa Barat dibubarkan, namanya langsung tercantum sebagai panglima di Divisi I Siliwangi (nama pengganti Komandemen Jawa Barat). Padahal di Jawa Barat saat itu masih banyak senior-senior Nasution semasa di KNIL. Sebuat saja di antaranya adalah Mayor Jenderal Didi Kartasasmita dan Kolonel Hidajat Martaatmadja, dua perwira Sunda alumni KMA Breda. Didi menyebut Presiden Sukarno dan Perdana Menteri Amir Sjarifuddin lebih munyukai para juniornya. Itu disebabkan para senior eks KNIL seperti dirinya dan Hidayat dianggap “kurang revolusioner”. Dia juga tak menafikan bahwa di antara eks KNIL sendiri terdapat friksi antara kelompok tua (sebagian besar alumni KMA Breda) dengan kelompok muda (lulusan KMA Bandung dan CORO, sekolah perwira cadangan KNIL). “Situasi tersebut dimanfaatkan oleh pemerintah pusat,” ujar Didi seperti disampaikan kepada Tatang Soemarsono dalam Didi Kartasasmita: Pengabdian bagi Kemerdekaan . Merasa Dilompati Usai menjadi Panglima Divisi Siliwangi, karier Nasution kian meroket. Ketika pemerintahan Amir Sjarifuddin jatuh lantas digantikan oleh Mohammad Hatta, Nasution didapuk sebagai Kepala Staf TNI, menggantikan Suryadi Suryadarma. Menurut Didi, langkah para tokoh sipil itu sudah sangat keterlaluan dan membuatnya kecewa. Secara gamblang, dia menyebut pencopotan Letnan Jenderal TNI Oerip Soemohardjo dari jabatan Kepala Staf TNI sebagai upaya membunuh karier militer seniornya tersebut. “Tindakan itu betul-betul melukai hati saya,” ungkapnya. Didi bisa menerima jika pengganti Oerip adalah Suryadarma, teman seangkatannya di KNIL. Namun, jika pemerintah mengangkat Nasution sebagai Kepala Staf TNI, itu menyalahi prosedur ketentaraan. Kata Didi, seorang opsir yang “dilompati” juniornya otomatis dia harus mengundurkan diri, karena dianggap sebagai opsir yang tidak becus melaksanakan tugas. “Itulah yang menyebabkan saya mundur dari TNI,” ujar mantan Panglima Komandemen Jawa Barat tersebut. Presiden Sukarno sendiri tak pernah mengizinkan Didi untuk keluar dari TNI. Usai melayangkan surat pengunduran dirinya yang kesekian kali, Sukarno pernah mengutus Kolonel T.B. Simatupang untuk mengurungkan niatnya dengan alasan dia akan dijadikan salah satu delegasi khusus ke Amerika Serikat. Alih-alih merasa tersanjung dengan ajakan itu, Didi malah sudah terlanjur mutung. “Ketika dulu saya membentuk tentara, saya lakukan demi pengabdian. Karena itu kalau pun hari ini saya akan mundur, tak ada seorang pun yang bisa menghalangi saya,” jawabnya kepada Simatupang. Dikeluarkan dari KNIL Usai mundur dari TNI, Didi ditangkap oleh tentara Belanda di wilayah sekitar Purwokerto. Setelah beberapa bulan ditahan, dia dilepaskan atas jaminan langsung dari mantan instrukturnya di KMA Breda, Jenderal S.H. Spoor. Didi lantas hidup sebagai seorang sipil di Bandung dan sempat mengabdi sebagai pegawai biasa di lingkungan Kementerian Kesehatan Negara Pasundan. “Itu saya lakukan untuk sekadar bertahan hidup,” ujar Didi. Pemerintah Republik Indonesia berang dengan keputusan Didi. Secara terbuka, Nasution sendiri pernah menyebut Didi sebagai “tukang menyebrang” dan orang-orang yang pro federalisme. “Penyebrangan-penyebrangan terakhir seperti dilakukan Didi Kartasasmita cs. tidak mempunyai pengaruh yang berarti terhadap pemerintahan RI,” ungkap Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 9 . Didi menampik bahwa dia telah melakukan pengkhianatan. Jika mau, selepas dari tahanan Belanda dia bisa saja bergabung kembali dengan KNIL atau menerima tawaran menjadi Komandan Batalion Pertahanan Negara Pasundan. Tapi itu tak pernah dia lakukan karena masih ada mencintai Republik Indonesia. Usai menolak masuk kembali KNIL, Didi diberi surat pemecatan dari KNIL terhitung tanggal 17 Agustus 1945. Namun, surat itu baru diberikan pada awal 1949. Bisa jadi jika Didi menerima tawaran itu, surat pemecatan tak akan pernah sampai kepadanya. Anehnya, Nasution sendiri tak termasuk dalam daftar anggota KNIL yang dipecat karena keberpihakannya kepada Republik Indonesia. Menurut Manai Sophian dalam Apa yang Masih Teringat , hanya Didi, Oerip, Suryadarma dan beberapa eks perwira tinggi Republik lainnya yang dinyatakan dikeluarkan secara tidak hormat dari KNIL.

  • Kala Jawa Memesona Eropa

    GUNA menarik lebih banyak wisatawan Prancis ke Indonesia, Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Marseille membuat promosi pariwisata dan kebudayaan Indonesia. Promosi itu dilakukan dengan membuka paviliun Indonesia di pameran tahunan Salon du Tourisme et des Activities Nature yang akan berlangsung pada 9-11 Februari 2018 di Kota Touluse. Bekerjasama dengan berbagai pihak seperti Visit Indonesia Tourism Office France, KJRI akan mengisi paviliun Indonesia dengan sajian video, brosur, games, suguhan kue tradisional, pertunjukan tari dan musik tradisional oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Toulouse, dan presentasi selama tiga hari. Lewat pameran itu, kata acting Konjen RI di Marseille Elisabeth Heri Budiastuti sebagaimana dimuat kompas.com 30 Januari 2018, masyarakat Prancis bisa semakin mengenal Indonesia. Melalui pameran ini, mereka akan ditunjukkan lebih banyak kekayaan alam dan budaya Indonesia lewat pengenalan destinasi-destinasi wisata baru seperti Labuan Bajo, Danau Toba, dan Candi Borobudur di Jawa Tengah. Meski tak sama, apa yang dilakukan KJRI punya tujuan sama dengan pemerintah Hindia Belanda saat mengikuti Exposition Universelle de 1889, pameran untuk memperingati 100 tahun Revolusi Prancis sekaligus peresmian Menara Eiffel. “Exposition Universelle, yang berlangsung dalam enam bulan antara 6 Mei dan 6 November 1889 di Paris, merupakan salah satu peristiwa politik, ekonomi, dan budaya utama di akhir abad ke-19 di Prancis. Pameran ini menarik lebih dari 30 juta pengunjung, dan 61.722 peserta pameran, karena pemerintah Prancis mengundang dunia untuk datang ke Paris guna menunjukkan contoh produk industri, sumber daya alam, dan pencapaian budaya,” tulis Annegret Fauser dalam Musical Encounters at the 1889 Paris World's Fair . Benda-benda penemuan mutakhir seperti telepon, toilet publik, televisi, atau mesin sinar X untuk pertamakalinya dipertunjukkan dalam pameran yang berlangsung di Champ de Mars dan Alun-alun Des Invalides itu. Pun lukisan maupun seni pertunjukan dan musik tradisional dari berbagai bangsa koloni. Pemerintah Hindia-Belanda, yang berpartisipasi terpisah dari pemerintah Kerajaan Belanda, ikut serta dengan membuat anjungan bernama Perkampungan Hindia. Anjungan yang terletak di sudut tenggara des Invalides itu punya beberapa perkampungan yang terbagi-bagi atas dasar etnis. Kampung Jawa menjadi tempat paling menarik pengunjung. Panitia menghadirkan tiga gubuk khas Jawa yang dibuat seukuran bangunan aslinya di tanah Jawa: rumah panggung, lumbung padi, dan kedai (warung). Ketiga bangunan bambu itu merupakan bagian keseharian kehidupan orang Jawa. Untuk membuatnya, panitia membawa serta keluarga dan tukang kayu dari Jawa. “Sebuah karavan berisi 40 pria dan 20 wanita baru saja tiba untukmulai bekerja membangun tempat bermalam dan kampung mereka tanpa alat lain kecuali sebilah pisau yang disebut bendo dan pisau raut,” tulis Frantz Jourdain, arsitek cum penulis asal Belgia yang ikut berpartisipasi di pameran itu, dalam catatannya yang dikutip buku Orang Indonesia dan Orang Prancis, Dari Abad XVI Sampai dengan Abad XX . Panitia tak menyuguhkan tontonan mati alias bangunan semata. Aktivitas keseharian dalam bangunan-bangunan itu sebagaimana keseharian orang Jawa yang jadi suguhan utama. Selain tukang masak yang sibuk membuat makanan khas Jawa, ada Mbok Predi yang dengan tekun membatik beragam saputangan. “Wanita paroh baya itu mendapat imbalan kurang lebih 40 franc per hari, hasil pemberian para pengunjung. Dia duduk bersimpuh di dekat tungku pemanas lilin malam,” lanjut Jourdain. Tak jauh darinya, di gubuk pertama seorang penganyam topi terus membuat kerajinan yang akan dijual, pun perajin lain yang tak jauh darinya. Mereka mampu menjual topi buatan sendiri itu secara banyak. “Seperti topi terkenal ‘Panama’ yang dianyam dari kulit kaya Quillaja Peru, topi jerami dari Jawa yang mutu serta orisinalitasnya sama banyak digemari nyonya-nyonya Eropa.” Namun, tari Jawa menjadi suguhan paling menarik mata para pengunjung Eropa. Daya tariknya sudah memancar sejak tari itu belum dipentaskan. Panitia mendesain serius venue maupun pertunjukannya. Sejak di pintu masuk, alunan suara angklung sudah membangkitkan rasa penasaran penonton. “Begitu penonton duduk di meja dengan minuman mereka, suara gamelan menggantikan suara angklung dan menjadi pengumuman awal pertunjukan,” tulis Fauser. Suara gamelan, termasuk yang mengiringi tarian setelah itu, menjadi pesona tersendiri. Pemuda 27 tahun bernama Claude Debussy di antara yang terpesona. Di kemudian hari, komponis besar Prancis itu membuat “Pagodes” dan beberapa gubahan lain dengan mengambil inspirasi dari gamelan Jawa. “Debussy tidak hanya terpesona oleh kualitas suara namun juga oleh kompleksitas komposisi gamelan gending Jawa yang selalu mematuhi alur panjang,” tulis Jourdain. Sementara itu, di hadapan mereka gadis-gadis belasan tahun duduk di panggung bambu kecil. Empat di antaranya (Sarikem, Tuminah, Sukiyah, Wakiyem) merupakan kakak-beradik dari sebuah keluarga tandak Mangkunegara. Mereka datang atas upaya wakil Komite Belanda Cores de Vries yang berhasil melobi raja Mangkunegara VII. Bersama penari lain, keempat gadis memakai kostum mewah untuk ukuran orang Eropa kala itu: kemben sutera, mahkota suci berjambul bulu dengan hiasan bertatah halus, dan selop. Hanya selendang di pundak mereka yang merusak tampilan. “Selendang itu tampak tidak cocok disandingkan dengan kostum eksotis yang mewah,” tulis Jourdain. Mereka naik ke panggung bersamaan dengan bunyi gamelan pembuka. Mereka mementaskan tari tandak bergaya langendrian – hiburan modis keraton Jawa abad ke-19 – dua babak berjudul Damarwulan . Lenggak-lenggok tubuh mereka membuat kagum banyak mata. “Kostum dan perhiasan indah, riasan yang cermat, pose yang terkendali baik sebelum maupun selama tarian, bersama dengan usia muda dan eksotisme kecantikan para penari, menciptakan tontonan yang membuat penonton terpesona,” tulis Fauser. “Tak satupun pertunjukan yang terlihat luar biasa dan lebih aneh. Mata Eropa kami yang sudah jemu seakan terhipnotis oleh rangkaian mengejutkan yang memabukkan dan memesona seperti parfum yang menebarkan aroma bunga mancenillier ...” kata Jourdain.

  • Antara Bebek dan Kartu-Truf

    SUMPAH, tidak ada hubungannya antara ‘bebek’ dengan ‘kartu-truf’. Kendati begitu, apa boleh buat, sudah suratan rupanya, bahwa di Amerika sekarang, kedua kata yang berbeda ini kebetulan sama-sama menjadi nama ‘marga’ dari sosok-sosok selebritas, antara yang imaginatif dan yang riil kasatmata sekaligus kasatatma. Dalam bahasa sana, sebagaimana dicatat dalam semua kamusnya, ‘bebek’ adalah duck , dan ‘kartu-truf’ adalah trump . Dari masing-masing kata yang berbeda itu kebetulan lahir dua sosok terkenal yang sama-sama bernama Donald. Yang pertama adalah Donald Duck yang kedua adalah Donald Trump. Rasa-rasanya kita semua kenal kedua nama itu. Donald Duck adalah nama peran ciptaan Walt Disney dalam film animasi yang pertama dibuat pada 1935, yaitu sosok kartun bebek yang biasa meleter blepetan, kira-kira mewakili kodrat bebek yang memang biasa kwek-kwek-kwek gencar. Sedangkan Donald Trump adalah sungguh manusia dalam gambaran terpadu tubuh-roh-jiwa disertai akal-budi-nalar, lahir dari seorang ibu manusia pada 1946, dan berkembang menjadi seorang tokoh tajir, namun dilukiskan dalam karikatur yang merepresentasikan kepribadian paradoksal: punya telinga tapi tak sanggup mendengar, punya mata tapi tak sanggup melihat, punya hati tapi tak punya perasaan, kecuali mulut yang membuat seluruh dunia geger. Kesimpulan karikatur itu dihubungkan dengan kedudukan Donald Trump –yang menang mengejutkan sebagai presiden dari negara adiwisesa AS– lantas mentang-mentang sudah berkuasa ujug-ujug membikin kebijakan yang sama sekali tidak bijaksana, maunya menaruh kedutaan AS di Yerusalem –dan berarti itu memaksa dunia untuk menyetujui keputusannya menjadikan Yerusalem, kota tua yang telah berdiri 4000 tahun sebelum tarikh Masehi di sekitar tanah perbukitan 750 meter di atas permukaan laut itu– sebagai ibu negeri Israel. Dengan begitu Trump membabibuta menyeruduk peraturan PBB November 1947 yang menetapkan Yerusalem sebagai kota internasional. Sementara fakta sejarah hari ini adalah Yerusalem merupakan kota suci bagi tiga agama samawi dari garis satu pitarah Ibrahim yang sejarahnya dibawa berturut-turut oleh nabi-nabinya yang sudah ditentukan nama-namanya semua berawal dengan huruf /M/, yakni Musa, Al-Maseh, Muhammad. Maka, ketika Donald Duck yang tipikal bicaranya blepetan dan lucu sehingga membuat orang tersenyum girang, arkian sebaliknya Donald Trump bicaranya carut, membuat dunia mendidih, mencelanya dan menyerapahnya. Sebab, sebagai pemimpin negara adiwisesa yang diharapkan dapat menjadikan dunia ini tenang dan damai, malah membuatnya kacau, dan panas meningkatkan prasangka-prasangka sara yang kebetulan sudah berakar dalam sejarah sejak Perang Salib –kemudian berlanjut perang-perang lokal di Nusantara yang harus dilihat secara tersendiri sebagai realitas persaingan bisnis, dari simpai sejarah yang mengacu pada gelagat konkurensi ekonomi dalam ikhtiar mengais rezeki yang dipertajam oleh latar perbedaan agama. Khususnya di Indonesia episoda itu terekam dalam tradisi budaya moritsko . Lema moritsko atau moritsku , berasal dari bahasa Portugis moresca –yang diserap pada zaman penjajahan Portugis abad ke-16 di Nusantara, antara Malaka sampai Maluku– sebagai abad awal berlangsungnya (a) inkulturasi: yaitu upaya suatu komunitas agamawi dari Barat untuk masuk ke dalam masyarakat budaya lokal melalui kerja-kerja evangelikal; serta (b) akulturasi: yaitu proses campurbaur tradisi dan pengetahuan dari Barat ke dalam peta masyarakat budaya lokal menjadi sebuah kemempelaian budaya baru yang laras. Sekarang moritsko hanya dianggap sebagai judul musik keroncong. Padahal sebenarnya moritsko dulu merupakan bentuk pertunjukan musik teateral terpadu dengan pakem tarian adu pedang, antara dua orang hulubalang, masing-masing hulubalang Muslim dan hulubalang Nasrani, dalam rangka mempertaruhkan keyakinan tentang kebenaran yang berurusan dengan surga. Dan sebelum kedua hulubalang tersebut memenangkan adu anggarnya itu, tampil dua orang rohaniwan yang mewakili din Islam dan religi Kristen, melerai seraya menasehati mereka melalui mengutip kata-kata indah dari Quran dan Injil yaitu surah Al-Kafirun 6 dan Matius 5: 39. Agaknya Donald Trump tidak sempat belajar kearifan itu. Kalaupun ia pernah membaca itu, ia tidak menyimak. Soalnya kalau ia memberi waktu dengan kemauan yang didasarkan oleh nurani –dalam istilah Immanuel Kant adalah “mahkamah ilahi”– kiranya dengan itu ia bisa mengingat, bahwa Yerusalem yang telah ditulis dalam sastra ribuan tahun sebelum tarikh Masehi, yaitu menyebutkannya sebagai tempat banyak orang mencari dan menemukan pengharapan yang langgeng di hari esok. Tak heran, setiap orang yang percaya, akan mengingat pernyataan itu sebagai suatu sinyal yang menggaransi keputusan hatinya. Arkian, dalam Kitab Zabur pasal 137, kita bisa baca nazar Daud tentang Yerusalem yang sangat berarti dalam kehidupan insani berkait dengan kehidupan rohani. Tulisannya, “Kalau sampai aku melupakan kau, wahai Yerusalem/ biarlah tangan kananku hilang keterampilannya.” Terjemahan Inggrisnya, “ If I forget you, O Jerusalem/ let my right hand forget its skill.” Atau terjemahan Prancisnya, ‘Si je t’oublie, o J rusalem/ Que ma droite s’oublie.” Banyak teman saya yang mengaku Kristen, salah kaprah membaca tentang Yerusalem sebagai kota suci. Salah seorang yang akan saya sebut berikut ini dengan perasaan masygul –maaf, punten, nyuwun sewu– adalah Joshua Pandelaki, mantan anggota Teater Koma yang pernah diberi kepercayaan oleh Nano Riantiarno untuk menyutradarai sebuah naskah drama di Gedung Kesenian Jakarta. Pada suatu hari dia datang ke rumah saya, membawa laptop yang berisi foto-foto dirinya di Yerusalem. Yang mengejutkan bagi saya adalah pengakuannya, bahwa setelah pulang dari Yerusalem, maka ujug-ujug dia memiliki kekuatan rohkudus untuk hanya dengan menggosokkan minyak di telapak tangan lantas menyebut nama Yesus, sekonyong orang sakit yang disentuhnya bakal langsung sembuh. Waduh!? Dalam pikiran saya, teman orang Manado ini, agaknya telah meninggalkan hal-hal duniawi, berapi-api seperti golongan kongregasi kharismatik yang gandrung bersaksi-saksi. Tapi, astaga, saya terperanjat dan tenahak. Ketika saya diundang untuk menonton preview film, ternyata di film itu ada adegan ranjang dirinya bergenit-genit mesra dengan Lola Amaria. Beberapa bulan kemudian tidak sengaja saya menonton juga di televisi dia muncul dalam sinetron kelas comberan. Maksudnya, itu sinetron kelontong kejar tayang yang lazimnya tidak cendekia, dan karuan membuat penonton tidak pintar-pintar, sebaliknya jadi goblog bersama sutradaranya, produsernya, dan broadkasnya. Karenanya, kalau boleh saya menasehatinya untuk pergi kembali ke Yerusalem meminta hidayah kepada Tuhan supaya tidak lebay seperti begitu. Sekalian kalau berada di Yerusalem, baca puisi di depan Kedutaan Amerika, puisi yang dibuat oleh penyair Israel, Yirmiyahu, abad ke-6 SM –diterjemahkan pertama kali di Inggris oleh Miles Coverdale pada 1535 dan direvisi pada zaman pemerintahan James I, 1611 –yaitu “Zion shall be plowed like a field/ Jerusalem shall become heaps of ruins/ and the mountain of the temple/ like the bare hills of the forest.” Siapa tahu dutabesar AS menyampaikan puisi ini kepada Si Donald Kartu-truf supaya jangan pekok, jangan rasis.

  • Pembantaian di Perkebunan Karet

    RUMAH bergaya kolonial itu berada di tepi Kali Ciasadane. Tepatnya di atas tanah seluas kurang lebih 1 ha. Kendati cukup asri dan terawat, orang-orang di sekitarnya terlihat tidak begitu peduli. Alih-alih orang-orang yang lalu lalang, seorang petugas keamanan yang berjaga di situ pun tak tahu menahu tentang sejarah tempat tersebut. “Saya kurang paham, tapi dari penduduk asli sini saya dengar dulu kawasan ini merupakan lahan perkebun karet yang dipakai buat perang ya?”ujar sang petugas malah balik bertanya. Sejak era Hindia Belanda, Lengkong memang merupakan perkebunan karet produktif. Sekira tahun 1945, komplek perumahan para pegawai perkebunan karet tersebut lantas ditempati oleh satu kompi tentara Jepang yang baru saja pulang dari perang melawan tentara Amerika Serikat di palagan Pasifik. “Jadi wajar kalau para serdadu Jepang itu masih mencium hawa perang…”ungkap sejarawan Rushdy Hoesein. Dalam kondisi seperti itulah, pada 25 Januari 1946, pasukan TRI (Tentara Repoeblik Indonesia) pimpinan Mayor Daan Mogot mendatangi kompi tentara Jepang itu. Kepada Kapten Abbe (komandan kompi), Mayor Daan meminta agar persenjataan mereka diserahkan saja kepada pihak TRI (Tentara Repoeblik Indonesia). Niat tersebut awalnya diamini oleh para tentara Jepang. Namun entah bagaimana ceritanya, di tengah jalan semuanya berubah. Saat sibuk melucuti senjata dan mengumpulkannya, tetiba terdengar sebuah tembakan yang memantik para prajurit Jepang itu untuk balik melawan. Maka terjadilah pertempuran yang sangat tidak seimbang. “Malah saya berpikir itu bukan pertempuran, tapi suatu pembantaian, mengingat dengan mudahnya serdadu-serdadu Jepang itu menghabisi pasukan TRI…” ujar Rushdy kepada Historia . Anggapan Rushdy itu sejatinya masuk akal, mengingat situasi pasukan TRI yang datang ke Lengkong memang serba minim. Selain kurang pengalaman tempur (kecuali delapan eks tentara Inggris pembelot), anak-anak AMT (Akademi Militer Tangerang) yang menjadi inti pasukan, juga tidak dibekali persenjataan memadai. “Ya bayangkan saja oleh anda, karaben Mannlicher Carcano buatan Italia yang menjadi pegangan kami, selain sudah kuno juga enggak ada pelurunya. Terpaksa pelurunya kami ambil dari senjata jenis lain lalu kami bubut supaya pas, tapi ya nembaknya jadi enggak bisa banyak. Satu picu satu peluru…,” ungkap Marzoeki Soelaiman (eks kadet AMT). Kocar-Kacir Rupanya saat para kadet AMT dan sekelompok kecil eks tentara Inggris yang membelot ke kubu TRI tengah mengumpulkan senjata, diam-diam dua peleton pasukan Jepang lainnya yang masih bersenjata lengkap melakukan pergerakan cepat sambil melepaskan tembakan-tembakan gencar secara terkomando. “Mereka bergerak dari pos penjagaan arah barat laut dan dari pos sebelah selatan yang lolos dari pengawasan kami…” ujar Menot Syam (salah satu pelaku peristiwa tersebut) seperti diungkapkan kepada sejarawan Moehkardi dalam Pendidikan Perwira TNI AD di Masa Revolusi (Bagian I) . Akibat sergapan mendadak itu, situasi di pihak TRI menjadi kacau balau. Alih-alih menghadapi dengan persenjataan yang sangat minim, mereka malah kocar-kacir ke berbagai arah untuk menyelamatkan nyawa masing-masing dan bertempur secara sendiri-sendiri. Dalam situasi seperti itulah, tetiba Mayor Daan Mogot lari dari arah markas induk tentara Jepang. “Tiaraaappp! Semuanya tiaraappp!” teriaknya. Menurut Moehkardi, Mayor Daan sepertinya menyadari bahwa pertempuran tersebut terjadi karena adanya kesalahpahaman. Karena itu di tengah serangan gencar dan ramainya pertempuran, dia masih sempat berteriak ke arah pasukan Jepang untuk menghentikan tembakan. Tentunya teriakan Mayor Daan tidak digubris dan serangan malah semakin gencar. Sementara itu dengan gerakan teratur dan pasti, pasukan Jepang berhasil menguasai keadaan. Bahkan mereka berhasil kembali menguasai senjata-senjata yang sebelumnya dirampas dan menggunakannya. Pertempuran brutal jarak dekat pun terjadi. Sial bagi pasukan TRI yang senjatanya tidak dilengkapi bayonet, mereka tentu saja menjadi sasaran empuk para prajurit Jepang yang pandai memainkan bayonet. Darah mengucur, mayat bergelimpangan. Daan Mogot Gugur Begitu menguasai keadaan, para prajurit Jepang terus memburu anak-anak AMT hingga ke sudut-sudut hutan karet. Mayor Daan sendiri menghindar ke arah timur. Namun baru beberapa meter bergerak, dia bertemu dengan beberapa kadet AMT yang tengah bertahan di sebuah lubang pertahanan. Di antaranya adalah Soedharno, Menot Syam dan Tatang Kustandi. “Kami betul-betul ada dalam situasi kritis: Mayor Daan sudah tertembak bagian paha kanannya sedang peluru kami sudah habis semua…” tutur Menot Syam. Mereka lantas menghindar ke arah timur. Di tengah gerakan mundur itulah mereka menemukan sebuah pertahanan yang dilindungi tumpukan pasir. Di situlah mereka lantas berdiskusi sejenak mengatur strategi. Sebagai komandan, Mayor Daan memerintahkan kadet Menot dan kadet Sudharno untuk kembali ke Tangerang dan meminta bantuan ke markas Resimen IV. Perintah itu lantas diiyakan. Hari sudah memasuki waktu magrib. Situasi kebun karet mulai gelap sedang desing peluru dan teriakan para prajurit Jepang masih terdengar. Menot dan Sudharno secara perlahan mulai merayap ke arah timur untuk mencapai jalan raya. Baru saja mereka bergerak sekira 25 meter dari tempat pertahanan yang menyisakan Daan dan beberapa kadet lainnya, tetiba terdengar langkah-langkah terburu-buru dan teriakan dalam bahasa Jepang. “Chaaappppp!!!” “Dor! Dor!” Menot sangat yakin suara pistol itu berasal dari pistol Nambu Taisho Kaliber 14 yang menjadi pegangan Mayor Daan. Selanjutnya terdengar suara gedebag gedebuk, seperti sedang terjadi pertarungan satu lawan satu. Beberapa saat kemudian terdengar suara Mayor Daan mengaduh. Belakangan Menot dan Soedharno meyakini bahwa teriakan Mayor Daan itu merupakan tanda bahwa sang komandan terhantam bayonet Jepang yang langsung mengakhiri hidupnya. Sejarah mencatat Mayor Daan Mogot memang gugur di Lengkong. Bersamanya ikut gugur pula dua perwira dari kesatuan Polisi Tentara Resimen IV Tangerang yakni Letnan Satu Soebianto dan Letnan Satu Soetopo serta 34 kadet AMT, yang beberapa di antaranya masih sangat berusia muda. Sedangkan sisanya menjadi tawanan tentara Jepang. (Bersambung)

  • Herman Sarens, Perwira yang Nyaris Ditembak Soeharto

    Meski dikenal sebagai orang dekat Soeharto, namun langkah Herman Sarens tak selalu mulus. Kepalanya nyaris diterjang peluru oleh tangan Soeharto sendiri. Bagaimana mungkin? Herman Sarens menuturkannya dalam manuskrip otobiografi berjudul Cerita Seorang Tentara: Cuplikan Riwayat Kehidupan Herman Sarens Sudiro.

  • Persahabatan Indonesia-Afghanistan

    PRESIDEN Joko Widodo tetap melanjutkan lawatannya ke Afghanistan pada 29 Januari 2018 kendati terjadi bom bunuh diri di Kabul yang menewaskan 103 orang. Taliban menyatakan bertanggung jawab atas serangan itu. Jokowi menjadi presiden kedua setelah Sukarno yang mengunjungi Afghanistan pada Mei 1961. Tiba di negara yang terletak di Asia Selatan dan Asia Tengah itu, Jokowi disambut hujan salju. Kunjungan ini sebagai balasan atas kedatangan Presiden Afghanistan Mohammad Ashraf Ghani ke Indonesia pada 5 April 2017. Presiden Ashraf Ghani memberikan penghargaan Medal of Ghazi Amanullah kepada Jokowi sebagai penghormatan atas keberanian dan keteguhannya dalam memajukan hubungan bilateral Indonesia-Afghanistan, terutama dalam pembangunan perdamaian di Afghanistan. Sebagai bentuk dukungan perdamaian di Afghanistan, Indonesia membangun kompleks Indonesia Islamic Centre di Kabul yang akan dilengkapi fasilitas kesehatan. Sementara itu, di tanah air, politisi oposisi berkomentar miring. Mereka menuding kunjungan Jokowi untuk meraih simpati umat Islam yang berguna bagi pemilihan presiden 2019. Jokowi sebagai imam salat juga disebut sebagai pencitraan. Siapa pun yang menjadi presiden Indonesia sudah semestinya mengunjungi Afghanistan. Sebab, Afghanistan termasuk negara paling awal yang mengakui Republik Indonesia, yaitu pada 15 September 1947. Bahkan, Ahmad Subardjo, menteri luar negeri Indonesia pertama, menyebut “Mesir adalah negara pertama yang mengakui Republik Indonesia secara de jure . Setelah Mesir adalah Afghanistan.” Namun, menurut M. Zein Hassan, ketua Panitia Pusat Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia, semua negara Liga Arab yang telah merdeka, kecuali Yordania, telah mengakui de facto dan de jure Republik Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat penuh. Berbagai sumber menyebut urutan pengakuan dari negara-negara Liga Arab antara lain Mesir (1 Juni 1947), disusul Lebanon (Juni 1947), Suriah dan Irak (Juli 1947), dan Saudi Arabia (November 1947). Dalam Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri , Zein Hassan menyebut pengakuan Afghanistan dimuat dalam harian Al-Ahram , 19 September 1947, yang menyiarkan “Pemerintah Afghanistan telah mengakui Republik Indonesia dan telah mengawatkan kepada dutanya di Washington DC supaya menyampaikan kepada Dr. Sutan Sjahrir, Perdana Menteri Indonesia.” Pada 4 November 1947, Zein menjadi penerjemah Sutan Sjahrir, utusan khusus presiden Republik Indonesia, dalam pertemuan dengan Sadik El-Mujaddidi, duta besar Afghanistan di Kairo, Mesir. “Dalam suasana gembira, Bung Sjahrir menyampaikan terima kasih kepada Afghanistan atas pengakuannya terhadap Republik Indonesia,” kata Zein. “Dengan demikian, Afghanistan adalah satu-satunya negara di luar negara-negara Liga Arab yang mengakui de facto dan de jure kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia sampai Belanda mengakuinya pada Desember 1949.” Setelah mengakui Republik Indonesia, Afghanistan mengirimkan perwakilan resmi ke Indonesia dengan menembus blokade Belanda. “Abdul Mounem dari Mesir sebagai Konsul Jenderal dan Abdurrachman dari Afghanistan sebagai Kuasa Politik berhasil menembus pengurungan Belanda dan dengan menumpang pesawat udara selamat tiba di Yogyakarta, ibukota sementara Republik Indonesia,” kata Ahmad Subardjo dalam otobiografinya, Kesadaran Nasional . Pemerintah Afghanistan juga meminta kepada Sutan Sjahrir supaya mengirimkan wakil Republik Indonesia ke Afghanistan. Pemerintah Indonesia pun menempatkan Abdul Kadir di Afghanistan. Namun, Belanda protes menyebut Indonesia melanggar Perjanjian Renville. Menteri Penerangan M. Natsir menjelaskan bahwa penempatan Abdul Kadir di Afghanistan sebagai tindak lanjut dari hubungan Indonesia dan Afghanistan yang dimulai sejak Afghanistan mengakui de jure Republik Indonesia pada 15 September 1947. Abdul Kadir berangkat ke Afghanistan pada 28 Desember 1947 sebelum Perjanjian Renville ditandatangani dan pertempuran antara Indonesia dan Belanda masih terjadi di sana-sini.*

  • Gegara Sebuah Tembakan

    SELAMA menjalankan perjuangan diplomasi di Mesir pada 1947, Haji Agus Salim (HAS) terlihat sering menggunakan sebuah jaket militer usang. Menurut diplomat senior M. Zein Hassan, kendati anggota delegasi Indonesia lainnya agak penasaran dengan kebiasaan orang tua tersebut, namun tak ada yang berani menanyakannya langsung kepada yang bersangkutan. Hingga suatu hari, dalam suatu situasi yang sangat sentimentil, HAS memberitahukan kepada Zein cs bahwa: “Baju inilah yang dipakai anakku ketika dia jatuh sebagai syahid karena dadanya ditembus pelor tentara Jepang…” demikian menurut HAS seperti dikutip Zein dalam Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri . Menurut Siti Asia Salim (lebih akrab dipanggil Bibsy Soenharjo), “anakku” yang dimaksud HAS tak lain adalah Achmad Sjawket, kakaknya nomor lima. Sjawket merupakan kadet Akademi Militer Tangerang (AMT) yang gugur dalam suatu tragedi berdarah di Lengkong pada 25 Januari 1946. “Dia memang terbunuh oleh peluru tentara Jepang,”ungkap anak kedelapan dari HAS itu. Informasi Intelijen Tangerang, 23 Januari 1946. Informasi intelijen itu diterima Letnan Kolonel Singgih (Komandan Resimen IV TKR Tangerang) dengan perasaan waswas. Disebutkan dalam laporan itu bahwa tentara Belanda yang sudah menduduki Parung, Bogor akan bergerak ke Lengkong guna melucuti pasukan Jepang yang bermarkas di wilayah tersebut. “Pak Singgih berpikir jika Lengkong dikuasai Belanda maka jalan terbuka bagi mereka untuk menyerang kedudukan Resimen IV di Tangerang…”ujar Marzoeki Soelaiman, salah satu eks kadet AMT. Singgih sejatinya sudah beberapa kali meminta Kapten Abbe, komandan tentara Jepang di Lengkong, untuk menyerahkan seluruh senjata kompinya. Namun selalu saat diminta, Abbe berkelit bahwa mereka tidak akan menyerahkan senjata-senjata itu tanpa sepengetahuan pihak Sekutu. Maka ditugaskanlah Mayor Daan Mogot (Wakil Direktur AMT) untuk memimpin operasi pelucutan tersebut. “Dipilihnya Daan Mogot karena dia secara pribadi kenal dengan Kapten Abbe…” ujar sejarawan Rushdy Hoesein kepada Historia . Jumat, 25 Januari 1946, pukul 14.000.Tiga truk bermuatan puluhan kadet (termasuk Achmad Sjawket) bergerak dari halaman gedung AMT. Ketiga truk itu diiringi dua jip berisi delapan pembelot India eks tentara Inggris , Mayor Daan Mogot, Mayor Wibowo Moekiman (Kantor Penghubung TKR), Letnan Satu Soebianto (Polisi Tentara Resimen IV) dan Letnan Satu Soetopo (Polisi Tentara Resimen IV). Kehadiran eks tentara Inggris yang dilengkapi seragam resmi mereka merupakan bagian dari tipu muslihat pihak TKR agar pihak Jepang percaya bahwa upaya pelucutan tersebut dilakukan sepengetahuan pihak Sekutu. Senja Berdarah Dua jam lamanya mereka menempuh perjalanan dari pusat kota Tangerang. Senja baru saja jatuh, kala mereka tiba di Lengkong. Setelah memarkir kendaraan-kendaraan di simpang empat, sekira 400 meter dari markas tentara Jepang yang dikelilingi pohon-pohon karet, mereka semua turun lantas memasuki halaman markas dengan berjalan kaki tanpa memberlakukan formasi tempur. Mayor Daan Mogot didamping seorang penerjemah, Mayor Wibowo dan seorang serdadu India langsung masuk ke markas. Di sana mereka terlibat dalam suatu perundingan yang alot dan sedikit panas dengan Kapten Abbe beserta jajarannya. Sementara para pimpinan berunding, para kadet dengan dipimpin oleh Letnan Satu Soebianto dan Letnan Satu Soetopo, bergerak ke barak-barak para prajurit Jepang. Mereka melucuti sekaligus mengangkut senjata-senjata dan mengumpulkannya di tengah lapangan. “Ketika para kadet memasuki barak-barak, serdadu Jepang pada umumnya dijumpai sedang dalam keadaan santai: ada yang sedang tidur-tiduran atau bermain kartu…tidak ada perlawanan sama sekali,” ujar Bratawinata (salah seorang kadet AMT) seperti dikutip Moehkardi dalam Pendidikan Perwira TNI AD di Masa Revolusi (Bagian 1) . Setelah terkumpul dua tumpuk senjata, seorang kadet kemudian diperintahkan untuk memanggil masuk truk. Baru saja truk bergerak ke arah halaman markas, dor! Tetiba terdengar suara tembakan dari arah markas, disusul teriakan komando dari seorang perwira Jepang. “Gegara tembakan inilah, segala sesuatunya menjadi berbalik tidak menguntungkan buat rombongan para kadet dan tentara India…” ujar sejarawan Moehkardi kepada Historia . Para prajurit Jepang sontak balik menyerbu. Mereka yang tadinya sudah pasrah seolah menemukan kembali kekuatannya dan bergerak secara beringas. Para kadet yang hanya bersenjatakan senapan kuno buatan Italia Mannlicher Carcano kaliber 38, tentunya menjadi tak berdaya. Alih-alih bisa mengimbangi, mereka yang sebagian besar masih awam soal penggunaan senjata menjadi bulan-bulanan para prajurit Jepang yang disebut-sebut baru saja pulang dari palagan Pasifik. Menurut salah seorang pelaku sejarah eks kadet Ateng Yogasara, begitu komando pertama diteriakan oleh perwira Jepang, tanpa banyak bicara, prajurit-prajurit Jepang itu secara terkoordinasi menyerbu balik seraya melepaskan tembakan-tembakan gencar. Akibatnya, para kadet banyak yang langsung terkena tembakan: bergelimpangan di lapangan dan sela-sela pohon karet. Senja itu, Lengkong menjadi berdarah. “Kami bertempur betul-betul tanpa komando dan bergerak sendiri-sendiri…” ujar Ateng seperti dikutip sejarawan Moehkardi dalam bukunya. (Bersambung)

  • Republic Day Mengukir Persaudaraan India-Indonesia

    UNTUK ke-68 kalinya India menggelar upacara peringatan Republic Day, Jumat (26/1/2018) lalu. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi salah satu tamu kehormatan dalam perayaan yang dilangsungkan di Rajpath, New Delhi itu. Momen itu juga pertamakali India mengundang lebih dari satu kepala negara jadi tamu kehormatan (10 kepala negara ASEAN) lantaran bersamaan dengan ASEAN-India Commemorative Summit 2018. Sebelumnya, India hanya mengundang satu kepala negara sahabat di setiap perayaan Republic Day. Perayaan ini dihelat untuk memperingati berlakunya Konstitusi India, 26 Januari 1950, sebagai penanda lahirnya India yang berbentuk republik berdasarkan demokrasi sekaligus pelantikan Presiden India pertama Rajendra Prasad. Menjadi kehormatan besar buat Indonesia, pasalnya tamu kehormatan pertama yang diundang pada 1950 adalah Presiden Sukarno beserta Ibu Negara Fatmawati. Terlepas dari tautan kedua bangsa yang sudah terjalin berabad-abad lampau, India menjadi satu dari sedikit negara yang mengakui serta mendukung kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945. Dipenuhinya undangan Republic Day, 26 Januari 1950, menjadi bab baru dalam persaudaraan India-Indonesia. Sukarno menjadi saksi perubahan India menjadi republik sekaligus pelantikan Prasad sebagai presiden. Sukarno dan Fatmawati duduk di kursi kehormatan di Rashtrapati Bhavan, kala Gubernur-Jenderal India yang terakhir, Chakravarti Rajagopalachari, membacakan teks proklamasi Republik Demokratik India pada pukul 10.18 pagi. “Seluruh dunia menyadari dalamnya makna kemerdekaan India. Namun saya kira tiada negara lain di dunia ini yang menyadari makna itu dengan lebih mendalam selain Indonesia,” cetus Sukarno dalam pidatonya di perayaan itu sebagaimana dikutip dari dokumen Kementerian Luar Negeri India, India’s Foreign Relations: Volume 2 . Atmosfer keakraban itu terus dilestarikan Sukarno sepulangnya dari India. Dalam surat-menyuratnya dengan Nehru, Sukarno menyatakan rasa terimakasihnya atas persaudaraan yang sangat terasa, tidak hanya dengan pemerintah, namun juga dengan rakyat India selama kunjungannya di India. “…Saya bisa lebih meyakini bahwa tiada kepalsuan terkait hubungan persaudaraan antara negara kita karena saya dan Padma (Fatmawati) selalu bertemu saudara di mana pun kami pergi saat di India…Kami dan seluruh rakyat Indonesia menantikan kunjungan balasan Anda . Jai Hind , Soekarno,” demikian bunyi potongan surat Sukarno kepada Nehru tanggal 14 Februari 1950 yang termuat dalam biografi Nehru Civilizing a Savage World karya Nayantara Sahgal. Sukarno sengaja menambahkan kosa kata “ Jai Hind ” atau “Jayalah India” –menjadi seruan populer dalam gerakan kemerdekaan India– sebagai pengingat pidatonya dan pidato Nehru kala menggelar pertemuan di Delhi University. Pertemuan itu bagian dari rangkaian lawatan Sukarno di India untuk menghadiri Republic Day. Nehru membalas surat itu pada 28 Februari dengan turut membubuhi kata, “ Merdeka ”. “…Sudah lama saya memikirkan bahwa sepanjang sejarah di masa lalu, telah menyatukan bangsa kita. Arah sejarah yang membantu bangsa kita untuk saling mengenal dan berhubungan. Duta besar kami, Dr Subbarayan akan segera ke Indonesia dan semoga saya bisa menitipkan sepasang field glasses pertama buatan India. Saya juga akan mencoba mencarikan (mainan) kereta api listrik untuk anak-anak Anda. Saya akan coba minta mencarikannya kepada Perwakilan Tinggiu kami di London. Merdeka . Jawaharlal Nehru,” demikian bunyi potongan surat balasan Nehru. Pada Maret 1952, kedua negara resmi menjalin hubungan diplomatik dengan saling mendirikan kedutaannya baik di Delhi maupun Jakarta. Empat tahun berselang, Nehru membalas kunjungan Sukarno dengan menghadiri Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung. Indonesia kembali mendapat kehormatan dalam perayaan Republic Day 2011. Mengikuti jejak Sukarno, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi tamu kehormatan dalam perayaan itu. Dalam pidatonya, Presiden India Pratibha Patil turut mengungkit kenangan Sukarno sebagai tamu kehormatan pertama. “Pada 26 Januari 1950 di momen proklamasi Republik India, kami merasa terhormat dengan kehadiran Presiden pertama Anda, Dr Sukarno dan Nyonya Fatmawati, sebagai tamu negara kehormatan. Hari ini, kami merasa bahagia dan terhormat pula bisa mengundang Anda sebagai tamu kehormatan pada Perayaan Republic Day ke-62. Kehadiran Anda di sini menjadi simbol semangat solidaritas bersama…,” kata Patil dalam petikan pidato itu, dikutip dari pratibhapatil.nic.in . Kini, tujuh tahun berselang, Presiden Jokowi menjadi kepala negara Indonesia ketiga yang hadir sekaligus jadi tamu kehormatan perayaan itu. Sembilan kepala negara ASEAN lain yang juga jadi tamu kehormatan: Raja Brunei Darussalam, Sultan Hassanal Bolkiah; PM Kamboja, Hun Sen; PM Laos, Thonglun Sisoulith; PM Malaysia, Najib Razak, Kanselir Myanmar, Aung San Suu Kyi; PM Singapura, Lee Hsien Loong; PM Thailand, Prayuth Chan-ocha; PM Vietnam, Nguyen Xuan Phuc; serta Presiden Filipina, Rodrigo Duterte.

  • Herman Sarens Sudiro, Nasib Mujur si Perwira Tempur

    Letnan Kolonel Herman Sarens Sudiro sudah mengenakan pakaian dinasnya meski hari masih cukup pagi. Dia memutuskan berpatroli menuju kediaman Brigjen D.I. Pandjaitan. Dengan berkendara panser Saracens, Kepala Biro Mabes TNI AD itu tiba. Turun dari panser, Herman marah bukan main menyaksikan keadaan. Darah berceceran di pelataran depan sementara Pandjaitan tak ada di tempat. Kepanikan melanda seisi rumah. Istri Pandjaitan, Mariekke yang trauma dan takut malah mengusir Herman. Sebagaimana dicatat dalam Kunang-kunang di Langit Kebenaran , pada subuh 1 Oktober 1965 itu, Herman sebetulnya sudah mendengar rentetan tembakan dari arah rumah Pandjaitan dan berusaha mencari asal tempat kejadian. Tetapi pasukannya kesulitan melacak karena hari masih gelap. “Herman sudah diinstuksikan oleh Pak Yani, kalau ada apa-apa, segera cari Soeharto,” ujar sejarawan Rushdy Hoesein kepada Historia . Bersama Wakil Asisten II Menpangad, Brigjen Muskita, Herman menuju markas Kostrad menjumpai Mayjen Soeharto. Namun Muskita yang pangkatnya lebih tinggi enggan melapor pada Soeharto. Mereka sudah tiga bulan tak saling bicara karena berselisih. Jadilah Herman –perwira menengah yang tak begitu dikenal– menghadap Soeharto. Di Kostrad, Herman memberitakan bahwa telah terjadi penculikan terhadap sejumlah jenderal teras AD. Dia juga melaporkan adanya keberadaan pasukan liar bersyal merah (Cakrabirawa,  red .) di sekitar lapangan Monas. Menurut Herman sebagaimana dituturkan Rushdy Hoesein, Soeharto menerimanya dalam kondisi kalut dan tertekan meski raut wajahya tetap tenang. Tanpa banyak bicara, Soeharto memerintahkan Herman menemui Komandan RPKAD, Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, sembari menitip sepucuk surat. Begitu membaca surat Soeharto, air muka Sarwo Edhie langsung berubah murka. “Keadaan sangat gawat, pasukan supaya dikonsinyir. Dan lekas temui saya di Kostrad,” demikian pesan Soeharto. Herman yang sempat dilucuti anak buah Sarwo ketika mengantar surat dilepaskan kembali. Sarwo Edhie kemudian memimpin RPKAD menuju Monas yang menjadi cikal bakal penumpasan PKI. Sementara itu, atas perannya mengantarai Soeharto dan Sarwo, berbuah mujur. Perlahan namun pasti karier Herman moncer menuju jenjang perwira tinggi. Pejuang Nekat Herman Sarens Sudiro yang lahir di Pandeglang, Banten, 24 Mei 1930 sejatinya adalah tentara lapangan. Nama Sarens diturunkan dari ayahnya Raden Soediro Wirio Soehardjo yang sempat diadopsi anak oleh orang Belanda campuran Prancis. Jiwa militer menitis dari sang ayah, yang di masa revolusi menjabat Kepala Perlengkapan Batalion IV, Resimen XI, Divisi Siliwangi. “Bapaknya Herman ditembak mati sama Belanda waktu agresi militer pertama,” ujar Rushdy. Sejak usia belasan, Herman sudah angkat bedil tatkala menjadi anggota Corps Pelajar Siliwangi di Banjar. Dia ikut rombongan hijrah Siliwangi menuju Jawa Tengah pasca Perjanjian Renville. Namun sebelum sampai Solo, kereta pengangkut tebu yang ditumpanginya diberondong tembakan tentara Belanda di tengah jalan. Herman yang terpisah dari kesatuannya bergabung dengan Markas Besar Komando Djawa (MBKD) di Cirebon. Komandan MBKD, Kolonel Sukanda Bratamenggala mengangkatnya sebagai letnan, pangkat yang lumayan tinggi untuk ukuran tentara pelajar. Atas perintah Sukanda, Herman pernah memimpin sebuah operasi militer skala kecil. Tanpa ragu, Herman menerima order komandannya. Dalam manuskrip berjudul Siliwangi Diantara Dua Agresi Militer Belanda, Herman mengurai penyerangan yang ditujukan terhadap basis tentara Belanda di Subang. Operasi penyerangan itu terbilang nekat karena dilakukan di sore hari dengan keyakinan pengawalan akan longgar. Benar saja. Ketika sedang lengah usai bermain bola, sekumpulan tentara Belanda digulung dengan bantuan rakyat setempat. Di alun-alun, puluhan tentara Belanda tergeletak. Senjata-senjata dijarah. Sebelum dipukul balik, pasukan Herman langsung mundur. Keesokan harinya, rumah-rumah di Subang dibakar tentara Belanda. Setelah pengakuan kedaulatan, Mayor Herman Sarens menjadi komandan salah satu batalion Siliwangi. Batalion pimpinannya turut menumpas gerombolan Darul Islam membantu Batalion Kujang pimpinan Mayor Himawan Sutanto. Meski bukan sebagai ujung tombak, pasukan Herman berperan dalam pengamanan rakyat. “Tapi kata Himawan, Herman berlagak seperti yang membunuh para gerilyawan DI/TII itu: sama dia (Herman) mayat-mayat dijejerin, dikasih liat ke rakyat, sementara dia mengawasi dari panser,” tutur Rushdy yang sempat akrab dengan kedua perwira Siliwangi tersebut. Herman Sarens Sudiro di samping Jenderal TNI Sumitro saat Peristiwa Malari 1974. (Youtube). Di Antara Para Jenderal Karena punya pengalaman para dan tempur, Herman ditarik dari Bandung ke Jakarta. Dia melatih para penerjun dalam operasi penyusupan ke Irian Barat dan persiapan Dwikora. Dalam rangka konfrontasi, operasi militer berada di bawah Komando Operasi Tertinggi (KOTI) pimpinan Letjen TNI Ahmad Yani. Herman yang sudah berpangkat letnan kolonel, menjabat sebagai wakil kepala staf G7 yang mengurusi bidang logistik. “Waktu itu kita sudah memiliki Hercules, dia belajar bagaimana menerjunkan pasukan bukan hanya barang-barang,” kata Rushdy. “Ada kabar kalau Herman sempat jadi ajudan Yani. Jadi dia cukup dekat dengan Yani.” Berada di lingkaran pucuk pimpinan, Herman mengetahui bagaimana relasi di antara para jenderal-jenderal petinggi. Kepada Eros Djarot , Herman menurutkan bila Mayjen Mursjid tak sejalan dengan Ahmad Yani. Padahal Mursjid adalah Deputi I bidang operasi. Panglima AU Omar Dani pun demikian, tak sejalan dengan Yani. “Pada masa Soeharto, situasinya berbeda sekali. Siapa yang tidak setuju pada Pak Harto, akan disingkirkan,” kata Hermans Sarens kepada Eros Djarot dalam Prabowo sang Kontroversi . Hal yang sama pun terjadi pada Herman. Dia termasuk orang dekat Soeharto yang mulai naik tampuk kekuasaan sebagai presiden. Bintang satu melekat di pundak Herman saat menjabat Komandan Korps Markas Hankam pada 1970. Namun hubungan itu mulai surut karena Herman berkarib dengan Jenderal Sumitro. Memasuki dekade 1970-an, Sumitro yang menjabat Pangkopkamtib dikenal vokal dan mulai menyaingi ketokohan Soeharto. “Herman salah pilih teman. Herman dekat sama Pak Mitro pas Peristiwa Malari. Akibatnya, Pak Mitro pensiun, mengundurkan diri, dan berhenti,” kata Rushdy Hoesein. Tak lama pasca Malari, Herman pun menjadi salah satu dari sekian jenderal Orde Baru yang “didubeskan”. Itupun tak tanggung-tanggung. Herman dikirim jauh-jauh ke Afrika, sebagai duta besar Indonesia untuk Madagaskar.

bottom of page