top of page

Hasil pencarian

9588 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Utami, Srikandi Bulutangkis Putri

    SETIDAKNYA ada lima wakil Indonesia yang masuk nominasi BWF Player of the Year 2018, sebuah penghargaan yang diberikan kepada para pebulutangkis jempolan dunia saban akhir tahun. Tiga di antaranya pebulutangkis putri. Ini menandakan Indonesia belum kehabisan talenta di nomor putri kendati harus diakui belakangan sulit menyandingkan diri dengan China, Korea, India, Jepang, bahkan Denmark. Tiga nama itu adalah Gregoria Mariska Tunjung dan Apriani Rahayu di kategori Eddy Choong Most Promising Player of the Year, dan Leani Ratri Oktila di kategori Female Para-badminton Player of the Year. Tentu ada harapan nama-nama itu akan menyambung kelegendaan putri-putri Indonesia di panggung bulutangkis dunia. Pebulutangkis putri Indonesia sudah lama absen “bicara” di pentas dunia. Terakhir, era Susi Susanti dan Mia Audina yang sudah lebih dari 20 tahun. Keduanya merupakan pemegang tongkat estafet yang sudah dimulai sejak akhir 1960-an oleh Minarni Soedarjanto, Imelda Wiguno, Theresia Widiastuti, Regina Masli, dan Utami Dewi Kurniawan. Nama terakhir tak lain adalah adik maestro bulutangkis Rudy Hartono. “Utami dulu sama-sama main dengan saya memperkuat tim Uber Cup 1975,” ujar Regina Masli mengenang keberhasilan tim putri Indonesia merebut Uber Cup pertama, kepada Historia. Lahir dari Keluarga Besar Pendiri Suryanaga Utami merupakan satu dari delapan saudara kandung Rudy Hartono. Sam Setyautama dalam Tokoh-Tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia mencatat, sosok bernama Tionghoa Nio Pik Wan itu lahir di Surabaya pada 16 Juni 1951. Sebagai anak dari pendiri PB Suryanaga Zulkarnain Kurniawan (Nio Siek In), Utami ketularan doyan bulutangkis sejak kecil. Seperti Rudy, Utami, Eliza Laksmi Dewi, Freddy Harsono, Diana Veronica, Tjosi Hartanto dan Hauwtje Hariadi dilatih bulutangkis oleh ayahnya sendiri di perkumpulan bulutangkis yang sebelum 1966 bernama Naga Kuning. Seiring perjalanan waktu, hanya Rudy, Eliza, dan Utami yang mampu mengukir nama di pentas bulutangkis nasional, bahkan internasional. Utami, sebagaimana diungkap Dhahana Adi Pungkas dalam Surabaya Punya Cerita: Vol 2 ½ , sudah mampu mencicipi gelar kejuaraan nasional yunior pada 1967. Prestasinya bertambah dengan juara Kejurnas 1971-1975. Utami juga menyumbang medali emas untuk Kontingen Jawa Timur di Pekan Olahraga Nasional (PON) 1969 (tunggal dan ganda putri), 1973 (tunggal putri), dan 1977 (beregu putri). Pada Olimpiade 1972 di Munich, Jerman, kala bulutangkis masih jadi olahraga demonstrasi (belum masuk cabang resmi), Utami turut ambil bagian di nomor tunggal putri. Utami melaju hingga partai puncak sampai dihentikan wakil Jepang Noriko Nakayama dalam dua set (11-5, 11-3). Meski hanya runner up , pencapaian di tingkat internasional itu menambah deretan gelar yang disabet Utami. Sebelumnya, dia merengkuh gelar Kejuaraan Asia 1971 dan medali emas Asian Games 1970. Prestasi tersebut membuat Utami kembali diikutkan pada tim Uber Cup 1975. Sebelumnya, Utami menjadi bagian tim Uber Cup 1969 dan 1972. Prestasi itu merupakan buah kerja keras Utami, yang menurut Regina, “Orangnya serius. Gaya mainnya seperti Taty Sumirah.” Di Negeri Paman Sam Seperti Minarni dan Regina Masli, prestasi paling prestisius Utami dicapai ketika memenangi Uber Cup 1975. Selebihnya, Utami beberapa kali juara, seperti di Australian Open 1975, Mexican Open 1979, South African Open 1980 dan US Championship 1981. US Championship 1981 alias Kejurnas-nya Amerika merupakan kejuaraan terakhir Utami. Itu jadi puncak kariernya hingga membuatnya masuk majalah olahraga ternama Sports Illustrated . Saat mengikutinya, Utami sudah menjadi warga negara Amerika. Setelah dipinang pebulutangkis Amerika Chris Kinard, Utami pindah kewarganegaraan pada 1978. Sejak itu, dia hampir tak pernah komunikasi dengan mantan rekan-rekannya. Regina, yang bekerja di Loma Linda University Behavioral Medicine Center, Redlands dan juga tinggal di California, mengakui hal itu. “Dia tidak suka media sosial untuk berkontak. Dia tinggal di Pasadena. Sekarang sibuk mendampingi anak-anaknya main tenis,” kata Regina.

  • Majapahit dalam Catatan Ma Huan dan Sejarah Dinasti Ming

    BILA berlayar dari Tuban, bergerak setengah hari ke timur, akan sampai di Xincun (desa baru), atau apa yang disebut oleh penduduk barbar setempat sebagai Gresik. Pada awalnya tempat itu hanyalah wilayah pantai berpasir yang kosong. Orang Tionghoa lalu datang. Mereka menetap di sana dan menamakannya Xincun. Mereka yang tinggal di tempat itu kebanyakan adalah orang Guangdong. Kira-kira jumlahnya ada 1000 keluarga lebih. Kemudian, bila berlayar ke selatan lebih dari 20 li (12 km), akan tiba di Su-lu-ma-yi. Tempat itu diberi nama oleh penduduk setempat Su-er-ba-ya (Surabaya). Di sana terdapat seorang kepala desa. Dia mengatur penduduk yang jumlahnya 1000 keluarga. Di antaranya, juga ada orang-orang Tiongkok. Dari Surabaya, dengan perahu kecil sejauh 70-80 li (42 km), kita akan menemukan sebuah pasar bernama Zhang-gu. Setelah turun dari perahu dan berjalan kaki ke arah selatan selama satu setengah hari, sampailah di Majapahit. Di sini raja tinggal. Sebanyak 200-300 keluaga penduduk pribumi bermukim di sana. Tujuh atau delapan orang tetua membantu raja. Demikianlah catatan Ma Huan dalam Yingya Shenglan. Ma Huan merupakan penerjemah resmi yang mendampingi Cheng Ho. Pada 1412, dia menerima tugas pertama dari Kerajaan Ming untuk menemani sang laksamana berlayar ke banyak negeri. Yingya Shenglan merupakan satu dari dua sumber penting Tiongkok yang banyak bercerita tentang Majapahit. Karya ini bukan termasuk sejarah resmi kerajaan tapi tulisan pribadi Ma Huan. “Saat mencatat tentang Jawa, dia sangat teliti memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan budaya, kehidupan orang Jawa, termasuk upacara perkawinan, dan sistem penguburannya,” kata Nurni Wahyu Wuryandari, peneliti dari Pusat Studi Cina Universitas Indonesia. Dia menyebutkan kota-kota penting di Jawa yang berada di daerah peisisir sebagai tempat-tempat berlabuh pertama. “Selain Majapahit, Ma Huan menyebut Tuban, Gresik, dan Surabaya, dan memang inilah kota penting masa itu,” ujar Nurni. Tiga Golongan Penduduk Jawa Ma Huan juga membagi penduduk Jawa ke dalam tiga golongan. Pertama, orang Arab atau penganut ajaran Muhammad. Dia menyebut mereka berasal dari daerah barbar bagian barat. Kegiatannya berdagang dan menetap di Jawa. “Pakaian dan makanan mereka bersih dan bagus,” catat Ma Huan. Kedua, golongan Tangren atau Tenglang . Ini merujuk pada orang Tionghoa yang umumnya berasal dari Guangdong, Zhangzhou, dan Quanzhou. Mereka melarikan diri dari daerah asalnya dan tinggal di Jawa. Golongan ini mengkonsumsi makanan yang bersih. Pun menggunakan peralatan yang bagus. “Yang menarik, banyak dari golongan kedua ini belajar Islam dari orang Arab. Jadi, meski Majapahit konon Hindu Buddha, tapi unsur Islam sudah masuk,” kata Nurni. Nurni juga mengatakan bahwa Ma Huan adalah orang pertama yang menyebut penduduk Jawa yang berasal dari Tiongkok. Meski kedatangan orang Tiongkok di tanah Jawa sudah berlangsung sejak abad ke-6 M. Ketiga, masyarakat pribumi. Tak seperti sebelumnya, masyarakat dalam golongan ini tercatat sebagai penduduk yang kotor, jelek, bepergian dengan kepala yang tak pernah disisir, bertelanjang kaki, juga sangat percaya pada ajaran setan. Mereka juga memelihara anjing di dalam rumah. Bersama anjingnya, mereka tidur dan makan tanpa risih. “Buku ajaran Buddha pernah menyebutkan adanya negeri-negeri setan, inilah salah satu wilayahnya,” catat Ma Huan. Belum lagi soal makanan. Ma Huan menilai makanan penduduk pribumi sangat kotor dan jorok. Contohnya, semut, berbagai jenis serangga, dan ulat. Makanan itu pun hanya dipanaskan sebentar di atas api untuk kemudian ditelan. “Kurang lebih seperti ini yang dilihat Ma Huan. Jadi selain kota juga kehidupan penduduknya,” lanjut Nurni. Berbeda dengan karya Ma Huan, sumber lainnya, yaitu Ming Shi lebih memuat soal hubungan bilateral Tiongkok dan Jawa. Ming Shi merupakan catatan sejarah resmi Dinasti Ming. Dalam catatan ini Majapahit disebut dalam bab tentang “Jawa”. “Inilah naskah pertama yang memperlihatkan bahwa hubungan bilateral merupakan hal yang sangat penting,” kata Nurni. Dibandingkan penjabaran dalam naskah Sejarah Dinasti Yuan misalnya, isinya sebagian besar soal perseteruan dengan Jawa, khususnya dengan Singhasari. Menurut Nurni, pada masa Dinasti Ming berbeda. Sudah ada pengertian soal pentingnya hubungan dagang. Pun soal bagaimana menjaga hubungan walaupun Jawa dianggap pernah bersalah pada penguasa Tiongkok. “Kenapa sampai begitu, karena pertalian dagang kalau sampai putus rugi. Itukan masalah uang dalam jumlah besar,” jelas Nurni. Narasi tentang Majapahit cukup panjang bila dibandingkan catatan sejarah resmi pada dinasti sebelumnya. “Ada di tiga per lima bagian dari seluruh naskah. Baru terakhirnya sedikit tentang kondisi umum Jawa,” kata Nurni.  Dari naskah itu terlihat pula kalau Jawa lebih dari 30 kali mengunjungi Tiongkok. Penyebabnya ada dua pendapat berbeda. Tiongkok dianggap memiliki kekuatan politik dan ekonomi. Jawa, demi mendapatkan keuntungan yang besar darinya, membangun hubungan resmi dengan cara mengirim upeti. “Karena orang Jawa katanya kasih cuma sedikit, bisa bawa pulangnya banyak. Jawa membawa hasil bumi ke Cina, sementara saat meninggalkan Cina digambarkan membawa barang-barang bagus, hadiah dari kaisar,” kata Nurni. Namun, beberapa sejarawan, kata Nurni, berpendapat lain. Baik Jawa dan Tiongkok sebenarnya sama-sama diuntungkan. “Kenapa? Jangan lupa hasil bumi Jawa itu luar biasa kaya. Kalau dijual di sana harganya bisa lima kali lipat,” jelasnya. Misalnya, lada. Lada kerap menjadi komoditas selundupan ke Tiongkok. Garam sudah menarik perhatian pedagang Tiongkok sejak abad ke-6 M. Terlepas dari itu, meski Jawa muncul dalam catatannya, Dinasti Ming hanya merujuk pada Jawa Timur. “Hubungan sangat pragmatis antarnegara kaitannya hanya dengan Majaphit,” ujar Nurni.*

  • OPM Hampir Membunuh Sarwo Edhie Wibowo

    KRISTIANI Herrawati cemas dan was-was. Ayahnya, Brigjen TNI Sarwo Edhie Wibowo, akan menempati pos baru di Irian Barat sebagai Panglima Kodam Cenderawasih. Sarwo memang dipersiapkan untuk misi khusus. Dia harus menjamin penyelenggaraan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Papua berjalan aman dan berakhir dengan kemenangan di pihak Indonesia. “Orang-orang melukiskan Irian pada saat itu sebagai sebuah tempat yang mengerikan. Alamnya masih perawan dan berbagai pemberontakan sering terjadi,” tutur Kristiani kepada Alberthiene Endah dalam Kepak Sayap Putri Prajurit . Yang dikhawatirkan benar terjadi. Pada awal Mei 1969, Sarwo menumpang pesawat kecil Twin Otter milik maskapai Merpati Nusantara Airlines menuju Enarotali, Kabupaten Paniai. Kepergian Sarwo ke Enarotali sehubungan dengan sosialisasi dan kampanye Pepera. Selain Sarwo, AKP Sukanto (Komandan Resort Kepolisian Nabire) dan Mayor Tb. Hasanudin (Komandan Kodim 1705 Nabire) juga berada dalam pesawat yang sama. Siapa nyana, dalam penerbangan itu, Sarwo hampir kehilangan nyawa. Ketika hendak mendarat, tiba-tiba pesawat digempur tembakan bertubi-tubi dari bawah. Rentetan tembakan menyebabkan tangki bahan bakar bocor. Dari daratan tampak bendera Bintang Kejora milik Organisasi Papua Merdeka (OPM) berkibar. Pesawat akhirnya mendarat darurat di Nabire setelah terbang terseok-seok karena bahan bakar yang menipis. Sarwo Edhie berhasil menyelamatkan diri. Sementara AKP Sukanto menderita luka-luka akibat terkena tembakan di kakinya. “Peristiwa penembakan terhadap pesawat Twin Otter MNA oleh anggota Kepolisian putra daerah yang dihasut oleh OPM itu, di kemudian hari dikenal sebagai Peristiwa Enarotali,” tulis jurnalis Hendro Subroto dalam Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando . Peristiwa Enarotali berawal dari rasa kecewa penduduk terhadap pemindahan ibu kota Paniai ke Nabire diikuti dengan pergantian aparat birokrat lokal oleh pendatang. Mereka menghendaki ibu kota kabupaten berada di Enarotali. Mereka juga menolak kehadiran pendatang, termasuk para guru, sukarelawan, dan ABRI yang kemudian menjurus menjadi gerakan antipemerintah. Menurut Hendro yang saat itu meliput operasi militer di Irian Barat, kekecewaan rakyat Enarotali dimanfaatkan oknum separatis untuk memasukkan ideologi OPM kepada penduduk dan anggota polisi putra daerah. Landasan terbang Wagete dan Enarotali dirusak. ABRI setempat terisolasi. Mereka mengancam agar para petugas dan pendatang meninggalkan Wagete sampai akhir April 1969. Aksi ini kemudian memuncak dengan penembakan terhadap pesawat yang ditumpangi Panglima Kodam Sarwo Edhie Wibowo. Dalam keterangannya yang dilansir Kompas 13 Mei, 1969, Sarwo mengatakan tak akan membalas aksi kelompok bersenjata itu. “Pradjurit Indonesia adalah pradjurit Pantjasila, bukan pradjurit pembunuh,” kata Sarwo. Pernyataan Sarwo itu merupakan bantahan terhadap siaran oleh radio dan pers luar negeri yang memberitakan operasi militer TNI. Namun nyatanya, TNI memang menindak tegas para pemberontak di Paniai. Sarwo mengeluarkan perintah tempur kepada anak buahnya dengan melancarkan operasi militer lintas udara. Sebanyak 634 penduduk sipil diindikasikan terbunuh dalam operasi ini. Kebijakan tangan besi sang panglima tampaknya menjadikan Sarwo sebagai sasaran OPM. Menjelang Pepera, pada 24 Juni aparat keamanan menangkap basah seorang warga Belanda anggota Fund for West Irian (FUNDWI) bernama Hans Reiff. Berdasarkan laporan intelijen, Reiff disinyalir ikut berkomplot dengan kelompok OPM yang kerap menggelar rapat gelap di Jayapura. Sebuah dokumen yang ikut disita bersama Reif menguak rencana menyabotase Pepera. Nama Sarwo Edhie ikut terseret. Dokumen yang termuat dalam risalah terbitan Departemen Luar Negeri berjudul “Fakta dan Data Perkembangan Gerakan Separatis OPM sampai akhir 1975” itu menyebutkan Sarwo Edhie sebagai salah satu target penculikan dan pembunuhan bersama Fernando Ortis Sanz, delegasi PBB di Papua (UNTEA).  Tak hanya memburu Sarwo, istrinya Sunarti Sri Hardiyah juga ikut ketiban teror. Sebagaimana dikisahkan Kristiani, semasa Sri mendampingi Sarwo bertugas di Irian Barat, pemandangan laki-laki setempat membawa senjata tajam sering terlihat. Sebagian warga Irian yang enggan bersatu dalam NKRI terus-menerus melancarkan serangan pada pasukan TNI dan keluarganya.  “Alhamdulilah Papi dan Ibu bisa menjaga keselamatan diri,” ujar Kristiani yang kelak dipersunting istri oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Presiden RI ke-6. Barangkali karena pengalaman itu pula, SBY cukup tegas terhadap aspirasi rakyat Papua. Selama dua periode pemerintahannya (2004-14), SBY tak pernah mengizinkan rakyat Papua mengibarkan bendera Bintang Kejora.*

  • Wayang Perang Idola di Gelanggang

    BEGITU mendapat perintah untuk mencari tirtapawitra (air kehidupan) dari Begawan Drona, Werkudara langsung berkelana. Dia akhirnya berhasil menemukan sumur tua Jolotundo di Gunung Argokiloso. Namun, dia tak bisa langsung mendapatkan tirta pawitra karena harus bertapa terlebih dulu.  Untuk memuluskan jalannya, Werkudoro memanggil para pengawalnya, yakni Anoman, Setyaki, dan putranya Gatotkaca untuk menjaga pertapaan. Upaya tersebut tak sia-sia. Di tengah pertapaannya, Sudirgapati, prajurit Prabu Karungkala yang diperintahkan Begawan Drona untuk mengganggu pertapaan Werkudoro, datang. Gangguan itu membuat Anoman dan rekan-rekannya langsung bertarung melawan Sudirgapati. Pertempuran Itulah salah satu bagian paling ditunggu para penonton. Saking pentignya pertempuran, ada gurauan populer di antara penonton: Nek wis perang, gugah yo! (Kalau sudah perang, tolong dibangunkan!). Pasalnya, di sinilah kelihaian dalang memainkan wayangnya ditunjukkan. Aksi dalang muda Aan Bagus Saputro yang dengan lincah menampilkan pertarungan Anoman-Sudirgapati dengan memutar, melempar, dan menggerakkan tangan wayang memukau penonton pada Minggu (9/12) dini hari. Beberapa dagelan yang disuarakan lakon Setyaki sebelum tanding pun makin meramaikan suasana. “ Saben dino kumpul neng jero kotak kok lali (Tiap hari kumpul di dalam kotak wayang kok lupa),” kata dalang Aan, menyuarakan lakon Setyaki. Pagelaran wayang yang dipimpin dalang Ki Anom Suroto itu menjadi satu rangkaian acara dalam Kongres Kebudayaan 2018 yang dihelat 5-9 Desember. Cerita wayang menampilkan lakon Dewa Ruci-Bima Sekti. “Lakon ini dulu carangan (gubahan yang keluar dari pakem cerita Mahabharata atau Ramayana , red .) para wali untuk sarana dakwah,” kata Ki Anom. Lakon Dewa Ruci-Bima Sekti menceritakan tentang pencarian air kehidupan oleh Werkudara. Setelah selesai bersemedi di Jolotundo, dia terus mencari air kehidupan sampai ke dasar samudra. Di sana dia bertemu dengan Dewa Ruci yang perawakannya jauh lebih kecil. Ketika masuk ke tubuh Dewa Ruci, Werkudara menemukan alam semesta dan cahaya ilahi yang menjadi pesan moral cerita wayang Jawa akan pencarian ketuhanan. Masuknya Werkudara ke dalam tubuh Dewa Ruci menjadi gambaran falsafah manunggaling kawula gusti . Pertunjukan wayang tak pernah kehilangan penggemar. Meski zaman sudah berubah, wayang tetap diserbu penonton. Penyelenggaraannya pun menyesuaikan zaman karena orang tak lagi mampu begadang semalam suntuk. “Penonton wayang sekarang kan nggak telaten , ada yang nunggu perangnya saja, kadang jam 12 juga sudah pulang karena lelah. Jadi beberapa pagelaran dipersingkat,” kata Aan pada Historia . Ki Anom lebih jauh mengatakan, para dalang di Surakarta bersepakat pertunjukan wayang dipersingkat karena pola hidup orang yang berubah. Pertunjukan Dewa Ruci-Bima Sekti yang semula memakan waktu 10 jam menjadi lima jam, dari pukul 9 malam sampai pukul 2 dini hari. “Karena kalau pas tidak libur, orang-orang yang bekerja kantoran bisa lihat dan anak muda juga masih ada waktu istirahat,” tambahnya. Namun, pementasan wayang tujuh hari tujuh malam tak hilang begitu saja. Pementasan panjang ini masih diselenggarakan, salah satunya di Boyolali. Meski tak semua adegan ditampilkan, adegan perang yang paling ditunggu masih ada dan tetap seru. “Lakon Bima Sekti zaman simbah dulu dimainkan dari jam 8 malam sampai jam 6 pagi. Tapi sekarang dipersingkat,” kata Ki Anom .

  • Penghargaan Pertama Bagi Pegiat Sejarah

    ADA yang beda dari penyelenggaraan Seminar Sejarah Nasional (SSN) tahun ini. Para pegiat kesejarahan diberi penghargaan Sartono Kartodirdjo Award. Mereka mewakili empat kategori: buku sejarah, disertasi dari universitas dalam negeri, guru sejarah, dan komunitas sejarah. Ide penganugerahan award ini sebetulnya sudah dicetuskan Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid tahun 2017. Namun mepetnya waktu membuat ide itu baru bisa dilaksanakan tahun ini. “Kami punya tiga nama yang memungkinkan untuk dijadikan award. Pertama , Husein Djajadiningrat, namun dipikir-pikir beliau lebih terkenal sebagai filolog. Kemudian Mohammad Ali, dan Sartono Kartodirdjo,” kata Sri Margana, Ketua Penyelenggara SSN 2018, Selasa (4/11). Namun para penggagas akhirnya memilih nama Sartono mengingat sumbangsih dan karya-karyanya paling banyak dan berpengaruh dalam sejarah Indonesia. Para juri yang terlibat dalam pemberian penghargaan berasal dari Direktorat Sejarah, Masyarakat Sejarawan Indonesia, dan Perkumpulan Prodi Sejarah Indonesia, dan perwakilan beberapa universitas seperti UGM, UI, Undip, UIN Syarif Hidayatullah, dan UNJ. Untuk mengantisipasi award tersebut tidak dilanjutkan tahun depan karena tahun politik, panitia berusaha membuatnya sebaik mungkin agar menjadi agenda regular. Namun karena baru pertama digelar, kategori buku sejarah dan disertasi dari universitas dalam negeri belum bisa diberi penghargaan lantaran peserta kurang banyak. Kategori guru sejarah terbaik dimenangkan Abdul Somad, guru sejarah SMAN 1 Ciruas, Serang. Dia mengalahkan sekira 70 nama calon yang diajukan Musyawarah Guru Mata Pelajaran dari masing-masing kabupaten/kota. “Abdul Somad terpilih karena dia sangat aktif juga punya banyak karya tulis,” kata Margana. Abdul aktif menulis dan menjadi narasumber tentang pengajaran sejarah di sekolah. Karya-karyanya seperti “Gerakan Pan Islamisme di Indonesia” dimuat Jurnal Candrasangkala, dan “Menggali Minat Belajar Seajrah” dimuat di Radar Banten. Bagi Abdul, pengajaran sejarah di sekolah harus kontekstual dengan kehidupan siswa. Dalam pembelajaran, buku teks hanya digunakan sebagai sumber. Siswa diajak untuk aktif mencari narasi sejarahnya lebih jauh. “Siswa diajak untuk berdialog tentang satu peristiwa sejarah bersama teman sekelasnya, menelusuri sejarah lokal, dan mengadakan lawatan sejarah dibarengi reportase kecil dan pembuatan laporan dengan vlog, bukan paper,” kata Abdul. Dengan begitu, sambungnya, sejarah bisa lebih dinikmati dan dipelajari. Sementara, kategori Komunitas Sejarah dimenangkan Komunitas Jelajah Budaya (KJB). Komunitas yang berdiri pada 2003 itu berhasil mengalahkan sekira 30 komunitas lain yang masuk dalam daftar juri. KJB yang kini memiliki 7500-an anggota dengan 40-an anggota aktif, tiap bulan mengadakan penelusuran sejarah atau sesekali pelatihan eksklavasi. “Ketika acara televisi menampilkan acara jalan-jalan ke museum dengan tema horor, kami berusaha meng- counter -nya dengan mengadakan jelajah malam. Museum tak melulu seram,” kata Kartum Setiawan mewakili komunitasnya di SSN. “Jelajah budaya mendapat Sartono Kartodirdjo Award karena keberagaman tema, keaktifan, pengakuan dari masyarakat, serta luasnya jaringan dan merangkul semua kalangan,” tutup Margana.

  • Guru Buddha Terkemuka Belajar di Sriwijaya

    DI kota Foshi yang berbenteng, terdapat biksu Buddhis berjumlah ribuan. Hati mereka bertekad untuk belajar dan menjalankan tindakan bajik. Mereka menganalisis dan mempelajari semua mata pelajaran persis seperti yang ada di Kerajaan Tengah (Madhyadesa, India). Tata cara dan upacaranya sama sekali tak berbeda. Begitulah catatan I-Tsing atau Yi Jing, seorang biksu Tiongkok, dalam Mulasarvativadaejasatakarman. Kota berbenteng yang dimaksud kemungkinan besar merujuk pada kawasan Candi Muara Jambi. Di tempat itu, banyak dari guru Buddha terkenal mendapatkan pengajaran. Shinta Lee, penerjemah catatan perjalanan Yi Jing menjelaskan, menurut catatan Yi Jing, semua biksu di Fo-shi mempelajari mata pelajaran yang sama dengan yang dipelajari di Nalanda. Misalnya,  Pancavidya  yang mencakup pelajaran tata bahasa, pengobatan, logika, seni, keterampilan kerajinan, dan ilmu mengelola batin. “Beliau bahkan merekomendasikan jika biksu ingin ke Nalanda, yang konon susah sekali, baiknya belajar dulu di Sriwijaya,” kata dia. Dalam karyanya yang lain,  Da Tang,  Yi Jing menyebut 57 mahabiksu dan guru-guru besar. Dia menemuinya selama perjalanan terutama di India, di pulau-pulau Lautan Selatan (Nusantara), dan negeri-negeri tetangga. Adapun dalam Nanhai, Yi Jing mencatat, Sakyakirti merupakan salah satu yang tinggal di Shili Foshi ketika itu. Dia merupakan salah satu di antara lima guru terkemuka pada masanya. Empat abad setelah kunjungan Yi Jing, Dipamkara Srijinana pada abad ke-11, juga datang ke Suvarnadwipa. Biksu dari Benggala itu belajar di sana selama 12 tahun. “Sumber lain mengatakan biksu penerjemah, Danapala atau Shihu dari Swat (sekarang Pakistan Barat) pada 1018 menguasai bahasa Sriwijaya dan tinggal di sana selama beberapa waktu,” jelas Shinta. Selain itu, ada pula Atiśa Dipankara Sri Jnana, guru Buddha yang berasal dari Kekaisaran Pala. Pada 1013, Atisha memulai perjalanan ke Sriwijaya dengan menumpang kapal pedagang. Di dalam rombongan ini, terdapat juga guru lain beserta muridnya. Mereka berangkat ke Sumatra untuk menerima instruksi ajaran secara langsung dari Swarnadwipa Dharmakirti, salah satu guru Buddhis paling tersohor pada masa itu. “Ke Swarnadwipa itu demi mencari ajaran yang paling tinggi. Minta diajar guru di Swarnadwipa, karena guru Swarnadwipa itu pemegang silsilah,” jelas Biksu Bhardra Ruci dalam makalahnya “Hayat dan Karya Atisha: Bagaimana Sriwijaya Menitipkan Ajaran ke Tibet”, yang diterbitkan dalam acara Borobudur Writers Cultural Festival ke-7 2008. Dia menjelaskan dalam tradisi Sanskerta semua ajaran diturunkan lisan kepada murid. Begitu pula guru yang ditemui Atisha di Swarnadwipa. Sang guru belajar di Vikramashila, India, menerima warisan ilmu dan berhak meneruskan ajaran itu. Apa yang dipelajari Atisha selama di Swarnadwipa adalah filosofi Buddha, yaitu Prajnaparamitha. Ajaran ini melatih seseorang untuk mencapai kebuddhaan dengan cepat. “Guru Atisha ini belajar prajnaparamitha , yaitu kebijakan yang paling tinggi. Ibu ilmu semua buddha. Mau aliran Pali atau Sanskerta dia butuh kebijaksanaan supaya hidupnya berguna semua makhluk,” kata Biksu Bhardra Ruci. Dari Sriwijaya, selanjutnya Atisha diberi pesan untuk meneruskan ajaran itu ke utara, yaitu ke Tibet. Inilah yang membuat hubungan Buddha di Indonesia dan Tibet begitu dekat. “Studi Atisha selama 12 tahun di Sriwijaya kelak terbukti menjadi bekal pengalaman dalam mereformasi Buddhisme di Tibet,” jelasnya. Dengan begitu, Shinta menjelaskan, paling tidak selama 400 tahun lebih, Sriwijaya sudah merupakan pusat pembelajaran terkenal. Itu sejak abad ke-7, yaitu ketika Yi Jing tiba hingga abad ke-11, yaitu tahun 1025 ketika Dipamkara Srijnana meninggalkan Nusantara.  “Di Nusantara sudah berdiri pusat pembelajaran atau universitas tertua dan terlanggeng di Nusantara,” kata Shinta.

  • Depok, Tanah Warisan Saudagar VOC

    KENDATI sama-sama mendulang kekayaan di Hindia Belanda, Cornelis Chastelein bersilang jalan dengan VOC. Pada 1691, Chastelein memutuskan pensiun sebagai saudagar. Dia mengundurkan diri dari kongsi dagang Belanda itu karena menolak politik eksploitasi yang diterapkan Gubernur Jenderal Mr. Willem of Outhoorn. Chastelein menyadari bahwa sebuah koloni akan stabil dan makmur apabila penduduknya tidak ditindas. Pada 1695, Chastelein membeli beberapa lahan partikelir di selatan Batavia di antaranya adalah Serengseng (sekarang Lenteng Agung) dan Depok. Tanah di Serengseng dibangun menjadi rumah peristirahatan menikmati masa pensiunnya. Sementara itu, tanah Depok hendak dijadikannya sebagai lahan penghasil produk-produk pertanian.  “Sebagai penguasa tanah Depok, Chastelein ingin mewujudkan cita-cita memerintah dengan pendekatan soft-power dan penyebaran nilai Kristen” ujar Lilie Suratminto, dosen Sastra Belanda FIB UI. Cornelis Chastelein menjadi sosok penting dalam pembangunan tanah Depok. Dia lahir pada 10 Agustus 1657 di Rokin, Amsterdam dari pasangan keluarga Prancis-Belanda yang berada. Ayahnya, Anthony Chastelein adalah anggota De Heeren Zeventien (Dewan Tujuh Belas) dari kongsi dagang VOC. Ibunya, Maria Cruydenier putri walikota Dordrecht. Chastelein memulai kariernya pada usia 18 tahun sebagai pemegang tatabuku kongsi dagang VOC yang bertugas di Hindia Belanda. Dia kemudian sohor sebagai pedagang tajir. Di masa senjanya, Chastelein membangun tanah koloninya sendiri. Dalam Jejak-Jejak Masa Lalu Depok: Warisan Cornelis Chastelein (1657—1714) , Jan-Karel Kwisthout menguak sepak terjang Chastelein dalam mengelola tanah perawan yang kemudian dikenal dengan nama Depok. Untuk mengelola tanah Depok yang subur, Chastelein mendatangkan sejumlah budak yang berasal dari Bali, Makassar, Malaka, hingga Sri Lanka. Beberapa produk natura unggulan dihasilkan, seperti: indigo, coklat, sirsak, nangka, dan belimbing. Buah terakhir menjadi maskot kota Depok hingga saat ini. Nama Depok sendiri merujuk dari bahasa Belanda De Eerste Protestantse Organisatie van Kristenen yang berarti Organisasi Kristen yang Pertama. Menurut Kwisthout, negeri Depok merupakan eksperimen dari Chastelein yang ingin melanggengkan kekuasaan lewat pendekatan humanis dan agama. Namun, dalam perkembangannya, nama Depok memiliki cerita lain. “Ada istilah Padepokan, diambil dari bahasa Sunda yang berarti pertapaan, merujuk Depok sebagai tempat pertapaan. Depok ditafsirkan pula sebagai Daerah Pemukiman Orang Kota,” kata Lilie.  Menjelang mangkat, Chastelein mewariskan tanah Depok kepada para budaknya. Dalam surat wasiat bertanggal 13 Maret 1714, tanah warisan itu diamanatkan dalam bentuk kepemilikan bersama. Wasiat itu menerangkan pula, setelah Chastelein meninggal, 150 orang hambanya yang mengerjakan tanah pertanian Depok akan dimerdekakan. Baik Kristen atau Muslim mereka memperoleh kebebasan. Bacas, Iskah, Jacob, Jonathans, Josef, Laurens, Leander, Loen, Samuel, Soedira, Tholense, dan Zadok. Dua belas nama tersebut adalah nama marga keluarga yang menjadi penduduk asli tanah Depok. Bermula dari 150 budak yang dimerdekakan oleh tuan mereka, Cornelis Chastelein. Bagi yang telah memeluk Kristen, mereka diharuskan memilih salah satu dari 12 marga yang ditetapkan Chastelain, yang mengacu kepada 12 murid Yesus. Chastelein meninggal pada 28 Juni 1714 di Batavia akibat wabah epidemi. Sejak saat itu budak kuli pertanian yang mewarisi tanah Chastelein hidup sebagai orang merdeka. Mereka kemudian menjadi penduduk asli Depok yang lebih dikenal sebagai Belanda Depok. Komunitas ini hidup secara turun-temurun dengan sistem pemerintahan yang diwariskan Chastelein. Pemerintahan di Depok dipimpin oleh seorang kepala yang disebut presiden dan dibantu tujuh anggota dewan penasihat. Mereka dipilih lewat mekanisme pemilihan umum yang dilangsungkan tiga tahun sekali. Setelah dua abad lamanya hidup tentram dan makmur, petaka menerpa komunitas Belanda Depok. Mereka menjadi korban gejolak revolusi pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Mereka harus mengalami teror dan penjarahan yang dikenal dalam peristiwa “Gedoran Depok” karena dianggap sebagai sisa-sisa rezim kolonial. Beberapa keluarga keturunan Belanda Depok ini masih ada hingga sekarang. Setelah melebur ke dalam Republik Indonesia pada tahun 1952, mereka mendirikan Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC). Yayasan ini mengelola situs sejarah Depok tempo dulu seperti gereja, pemakaman, sekolah, dan kegiatan sosial. YLCC berbasis di kawasan yang kini dikenal sebagai Depok Lama.*

  • Benarkah Boedi Oetomo Anti-Islam?

    PADA 3 Desember 2018, Babeh Haikal Hassan mencuit: “Aksi 2018 ini mrpkn ultah seratus tahun dari aksi thn 1918, saat boedi oetomo sang penghina Nabi Muhammad (dinobatkan sbg pahlawan?) didemo besar2an oleh semua elemen. Ingat, boedi oetomo bilang Nabi Muhammad pemabuk & pezina dlm buletin Djawi Hisworo , 11 Jan 1918.” Banyak yang setuju dengan cuitan keliru itu. Padahal, penghina Nabi Muhammad bukan Boedi Oetomo (organisasi bukan orang) tapi Djojodikoro yang menulis “Pertjakapan antara Marto dan Djojo” di Djawi Hiswara , 9 dan 11 Januari 1918. Tulisan itu dimuat oleh redakturnya, Martodharsono. Tulisan itu menyulut kemarahan dan demonstrasi karena memuat kalimat “Gusti Kandjeng Nabi Rasoel minoem A.V.H. Gin, minoem opium dan kadang soeka mengisep opium.” Setelah viral dan banyak yang mengoreksi, Babe Haikal Hassan kembali mencuit: “1. Lagi baca-baca ulang ttg boedi oetomo... Confirm , 100% merupakan ‘kompetitor’ gerakan Islam dan menghina Nabi Muhammad....” dengan menyebut sumber: “(Api Sejarah - Ahmad mansur suryanegara), (Sang Pemula - Pramoedya ananta toer), (Rangkaian Mutu Manikam - Amir Hamzah Wirjosukarto).” Boedi Oetomo dan Islam Boedi Oetomo didirikan oleh para pelajar Stovia (Sekolah Kedokteran untuk Bumiputera) pada 20 Mei 1908. Namun kemudian kepemimpinannya diambil alih kalangan priayi. Dalam kongres pertamanya diputuskan bahwa Boedi Oetomo akan tampil sebagai sebuah organisasi sosial-budaya, tetapi apabila perlu akan menempuh cara-cara politik untuk mencapai cita-citanya. Namun, sebagian besar peserta menafsirkan bahwa Boedi Oetomo bukanlah organisasi politik. Kendati demikian, tanggal pendirian Boedi Oetomo kemudian ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional.  Boedi Oetomo juga tidak akan mencampuri urusan adat. Kendati netral terhadap agama, usulan untuk merebut simpati dari kalangan umat Islam pernah disampaikan Mohammad Tahir pada kongres kedua, Oktober 1909. Dia mengusulkan agar masjid-masjid di Batavia diberi bantuan keuangan. Menurut Akira Nagazumi, sejarawan asal Jepang, usul yang tidak pernah dilaksanakan oleh pimpinan organisasi itu delapan tahun kemudian dalam kongres (5-6 Juli 1917), bukan hanya didengungkan kembali melainkan diperluas. Sebab para pimpinan menyimpulkan salah satu alasan kegagalan Boedi Oetomo memperoleh dukungan massa adalah sikapnya yang netral terhadap agama. Untuk pertama kalinya para pemimpin Boedi Oetomo dengan terbuka mempersoalkan sikap netral terhadap agama karena dihadapkan dengan keberhasilan luar biasa Sarekat Islam yang dengan terang-terangan mendukung agama Islam. Kepada sidang kongres, Badan Pengurus mengajukan: “Boedi Oetomo bertujuan menyokong Islam tanpa mengganggu kebebasan beragama, membuat peraturan tentang anggaran masjid untuk membayar penghulu (pejabat pimpinan masjid) dan personel masjid lainnya, mengurus lebih baik pesantren (pusat-pusat pendidikan agama untuk mempelajari Islam tingkat lanjutan), dan mendirikan lembaga-lembaga yang memberikan pendidikan tingkat menengah dalam tradisi Islam dan mata pelajaran lain sehubungan dengannya.” “Dengan demikian, jelaslah usul untuk memasuki dunia pendidikan pesantren, dan pendidikan Islam tingkat lanjutan, menunjukkan tujuan pengurus yang hendak meningkatkan persaingannya terhadap Sarekat Islam,” tulis Akira Nagazumi dalam Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Boedi Oetomo 1908-1918 . Buku ini diangkat dari disertasinya di Universitas Cornell, Amerika Serikat, tahun 1967. Sayangnya, usulan Badan Pengurus itu tak diterima peserta kongres. Mereka ingin tetap mempertahankan sikap netral terhadap agama. Kongres pun memutuskan “mengenai masalah agama, organisasi berniat menghormati dipertahankannya kebebasan beragama.” Soetomo, Muhammadiyah, dan Nahdlatul Ulama Kendati secara organisasi netral dan mendukung kebebasan beragama, Boedi Oetomo berperan dalam mendorong pendirian organisasi Islam Muhammadiyah. “Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 oleh Kiai Ahmad Dahlan atas saran yang diajukan oleh murid-muridnya dan beberapa orang anggota Boedi Oetomo untuk mendirikan suatu lembaga pendidikan yang bersifat permanen,” tulis Deliar Noer dalam Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 . Buku ini berasal dari disertasinya di Universitas Cornell, Amerika Serikat, tahun 1963. Sementara itu, pendiri Boedi Oetomo yang dekat dengan Muhammadiyah adalah dr. Soetomo. Setelah keluar dari Boedi Oetomo, dia mendirikan Indonesische Studie Club (ISC) di Surabaya pada 11 Januari 1924. Dua tokoh organisasi Islam terkemuka yang bergabung dengan ISC adalah KH Mas Mansyur (ketua Muhammadiyah 1937-1943) dan KH Abdul Wahab Chasbullah (pendiri Nahdlatul Ulama). Menurut Darul Aqsha dalam biografi Kiai Haji Mas Mansur, 1896-1946: Perjuangan dan Pemikiran, Mas Mansyur bersahabat baik dengan Soetomo. Kedua tokoh ini kerap terlibat diskusi mengenai filsafat dan pergerakan. Selain ISC, Soetomo juga mendirikan Yayasan Kuliah Islam Surabaya. Ini menunjukkan perhatiannya terhadap pengembangan pemikiran Islam. Abdul Munir Mulkhan, guru besar UIN Sunan Kalijaga, menyebut Soetomo dan pengurus Boedi Oetomo lain, seperti Dwidjosewojo dan Sosrosugondo, terlibat aktif dalam berbagai kegiatan Muhammadiyah. “Dr. Soetomo-lah yang memelopori berdirinya Rumah Sakit Muhammadiyah yang pertama di Yogyakarta pada 1923 (kini dikenal sebagai RS PKU). Satu tahun kemudian, dr. Soetomo membuka lembaga yang sama di Surabaya,” tulis Abdul Munir Mulkhan dalam Moral Politik Santri: Agama dan Pembelaan Kaum Tertindas. Selain dengan Muhammadiyah, Soetomo juga dekat dengan kalangan Nahdlatul Ulama. Dia punya gagasan menarik tentang pesantren. “Apresiasi positif dr. Soetomo terhadap pesantren karena relasi sosial dengan individu-individu yang kemudian dikenal sebagai pemrakarsa NU, yaitu Kiai Abdul Wahab Chasbullah, yang pernah terlibat aktif di ISC,” tulis Choirotun Chisaan dalam Lesbumi: Strategi Politik Kebudayaan. Buku ini diangkat dari tesisnya di program magister religi dan budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Menurut Soetomo pesantren yang menggunakan sistem pondok membuahkan keuntungan ganda: memberi pengajaran yang murah sekaligus memelihara jiwa dan sukma anak didik. Dalam konteks inilah dia mendorong pengadaan sekolah-sekolah dengan menggunakan sistem pondok atau pesantren terutama di kota-kota besar. “Nilai lebih pesantren, demikian dr. Soetomo menekankan, terletak pada fungsinya sebagai penyebar kecerdasan batin,” tulis Choirotun Chisaan. “Bagi dr. Soetomo, pesantren yang dicitrakan ‘Timur’ sudah seharusnya hadir di kota-kota besar. Hal itu dimaksudkan untuk menjadi alternatif dan imbangan atas keberadaan sekolah-sekolah yang didominasi oleh sistem pengajaran yang dicitrakan ‘Barat’.”

  • Wadah Lahirnya Kesadaran Berbangsa

    BEBERAPA penumpang keretaapi Commuter Line serius menatap layar televisi di langit-langit gerbong. Acara yang mereka tonton bukan film, siaran olahraga, atau infotainment. Mereka menonton sebuah iklan yang menampilkan beragam kesenian dan produk budaya di tanah air. Iklan itu makin intens tayang sejak beberapa pekan terakhir menjelang Desember. Pada bulan itulah Kongres Kebudayaan (KK) 2018, yang diiklankan di Commuter Line tadi, akan dihelat Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dari tanggal 5 sampai 9.   “Kongres Kebudayaan yang rencananya diselenggarakan nanti bertujuan membentuk strategi kebudayaan yang menjadi acuan 22 kementerian dalam menjalankan kebijakan terkait budaya,” kata Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid. Nasionalisme Jawa kontra nasionalisme Hindia Kongres Kebudayaan pertamakali diadakan pada 5-7 Juli 1918 di Surakarta dengan nama Kongres tentang Pengembangan Kebudayaan Jawa. Pemrakarsanya para anggota Boedi Oetomo cabang Surakarta dan sejumlah intelektual bumiputra lain dengan dukungan penuh Pangeran Prangwadono (kemudian menjadi Mangkunegoro VII). Panitia KK I, diketuai R. Sastrowidjono, menghelat acara tersebut di Kepatihan Keraton Surakarta. Lebih dari 50 asosiasi di Jawa dan 1200 peserta, termasuk dari luar Jawa, menghadiri KK I. Sembilan intelektual, lima intelektual Jawa dan empat intelektual Belanda, menjadi pemakalah dalam kongres tersebut. Sebagaimana saat dipersiapkan, KK I menghadirkan banyak perdebatan. Begitu selesai membacakan makalahnya, masing-masing pemakalah dalam KK I langsung mendapat sanggahan bahkan kritikan pedas dari para peserta. Perdebatan tersengit terjadi antara RM Soetatmo Soerjokoesoemo, pemimpin Komite Nasionalisme Jawa, dan dr. Tjipto Mangoengkoesoemo, tokoh nasionalisme Hindia. Soetatmo mengemukakan, sebuah bangsa semestinya dapat dan dibangun atas landasan bahasa dan kebudayaan. Oleh karena itu, katanya, yang bisa diperjuangkan adalah nasionalisme Jawa karena punya landasan kebudayaan, bahasa, dan sejarah yang sama dari etnis Jawa. Nasionalisme Jawa merupakan alat ekspresi diri bagi orang Jawa. Nasionalisme Hindia, katanya, tak pantas diperjuangkan karena tidak memiliki landasan kebudayaan. Ia merupakan produk pemerintah kolonial. “Nasionalisme Hindia pada Indische Partij atau Islamisme pada Sarekat Islam hanya merupakan reaksi terhadap penjajahan Belanda atas Hindia,” ujarnya sebagaimana dikutip Takashi Shiraishi dalam “Satria vs Pandita, Sebuah Debat dalam Mencari Identitas”, dimuat dalam buku Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang yang dieditori Akira Nagazumi.  Soetatmo menekankan pentingnya bimbingan dalam mengembangkan kebudayaan Jawa. Pendidikan Jawa, yang disampaikan antara lain lewat wayang, mesti menjadi dasar dalam pengembangan itu. “Pendidikan yang didirikan menurut dasar Barat perlu dilakukan penyesuaian dengan kondisi bangsa dan negeri kita. Jangan dilupakan bahwa tujuan pendidikan adalah mengambangkan intelek –daya pikir– akal budi manusia Jawa,” ujarnya sebagaimana ditulis Nunus Supardi dalam Bianglala Budaya: Rekam Jejak 95 Tahun Kongres Kebudayaan 1918-2013 . “Soetatmo menganjurkan pendidikan budi pekerti, namun ia tak bermaksud mempersoalkan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat. Pendapatnya ialah bahwa orang Jawa dapat mengungguli modernisasi dengan jalan memajukan diri lewat pendidikan budi pekerti dan dengan berbuat demikian modernisasi dapat dikaitkan dengan kebudayaan Jawa. Mengingat arti ideologis dari konsep pendidikan menurut pemikiran etis, makalah Soetatmo yang sebetulnya merupakan suatu usaha untuk membentuk atau merumuskan kembali konsep pendidikan dalam konteks kebudayaan Jawa tradisional, sangat provokatif,” tulis Shiraishi. Tjipto, yang berbicara tepat setelah Soetatmo, langsung mendebat argumen Soetatmo yang dinilai terlalu menjurus ke chauvinisme sehingga minim unsur perkembangan sejarah dunia. “Bangsa Jawa harus menyadari bahwa mereka tidak dapat hidup terpisah, menyendiri, melainkan merupakan bagian dari dunia yang lebih luas,” kata Tjipto, dikutip Nunus. Orang Jawa harus mengakui keunggulan bangsa Eropa. “Oleh sebab itu, orang Jawa dapat belajar dari pengalaman-pengalaman sejarah orang Eropa mengingat pembentukan bangsa di Hindia akan mengikuti arah itu,” tulis Shiraishi. Para pendukung nasionalisme Jawa juga dipandang Tjipto hanya memusatkan perhatian pada bidang humaniora tanpa mau memperhatikan ilmu eksakta dan teknik sehingga kehilangan kemandirian. Padahal, Jawa telah kehilangan kedaulatannya dan hanya merupakan bagian dari Hindia yang dijajah Belanda. Tanah air orang Jawa bukanlah Pulau Jawa semata lagi tetapi seluruh Hindia Belanda dan tugas yang dipikul oleh para pemimpin sekarang adalah bekerja untuk nasionalisme Hindia tersebut. Meski sarat perdebatan, KK I berajalan lancar. “Masalah yang timbul antara Soetatmo dan Tjipto bukanlah masalah tentang apakah modernisasi itu harus diutamakan atau apakah kecerdasan akal atau pendidikan budi pekerti yang harus didahulukan. Sesungguhnya, masalah yang mereka bahas dan pertengkarkan, walaupun tak pernah dibicarakan secara eksplisit dalam makalahnya, ialah bagaimana merumuskan tradisi itu dan bagaimana zaman serta dunia pergerakan itu seharusnya dipahami. Pada hakekatnya masalah yang sesungguhnya dihadapi ialah mencari apa arti zaman dan dunia pergerakan dalam kebudayaan dan sejarah Jawa dan selanjutnya bagaimana mereka harus hidup di zaman pergerakan sebagai cendekiawan Jawa yang ikut serta dalam pergerakan itu,” tulis Shiraishi. KK I juga menghasilkan keputusan pendirian sebuah lembaga penelitian kebudayaan, yang setahun kemudian bermaujud dalam Java Instituut. Harian De Locomotief , Majalah Djawa , dan Sri Pestaka memberitakan kongres bersejarah itu. “KK pertama tahun 1918 pantas disebut sebagai peristiwa budaya yang bersejarah karena merupakan peristiwa ‘lahirnya kesadaran tentang nasib budaya bangsa’, di samping ‘lahirnya kesadaran berbangsa’,” tulis Nunus.

  • Sang Pilot "Mengudara" untuk Selamanya

    NEGERI Paman Sam berduka. Jumat 30 November 2018 waktu setempat (Sabtu, 1 Desember WIB), Presiden ke-41 George Herbert Walker Bush tutup usia di umur 94 tahun. Bush Sr. meninggal setelah lama menderita parkinson yang memburuk pasca-meninggalnya sang istri, Barbara Bush, April 2018 lalu. Bush Sr. merupakan presiden yang juga pahlawan Perang Dunia II (PD II) terakhir. Sebagai bentuk penghormatan kepadanya, pemerintah menggelar upacara pemakamannya secara khidmat diiringi sejumlah gun salutes dari meriam berbagai kapal perang Amerika Serikat (AS) selama 30 menit. Ayah dari Presiden AS ke-43 George Walker Bush (Bush Jr.) itu terjun ke pentas politik lewat Partai Republik setelah mapan di dunia bisnis perminyakan di Texas Barat. Debutnya dimulai dari menjadi ketua Dewan Kota Harrys County tahun 1963. Bush lalu jadi anggota House of Representatives pada 1966, duta besar AS untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1971, ketua Kantor Penghubung untuk China pada 1974, direktur CIA (Badan Intelijen AS) pada 1976, dan terpilih menjadi wakil presiden ke-43 sebelum menjadi presiden (1989-1993). Pesatnya laju karier politik Bush tak terlepas dari dua faktor. Pertama , Bush lahir dari keluarga pebisnis minyak. Kedua, statusnya sebagai pahlawan perang, kendati pengalamannya di kemiliteran dalam kurun 1942-1945. Dengan pangkat terakhir letnan penerbang, pria jangkung itu mengoleksi tiga keping medali penghargaan: Distinguished Flying Cross, Air Medal, dan Presidential Unit Citation. Sepakterjang di Perang Pasifik Lahir di Milton, Massachusetts pada 12 Juni 1924 dari pasangan Prescott Sheldon Bush dan Dorothy Walker, Bush tak pernah kesulitan mengenyam pendidikan lantaran ayahnya seorang bankir dan politisi. Begitu lulus dari sekolah di Phillips Academy, Andover, Bush mendaftarkan diri ke US Navy (AL AS) tepat di usia 18 tahun, enam bulan setelah AS menyatakan perang terhadap Jepang. Naval Historical Center 6 April 2001 menyebutkan, Bush menjalani karantina pelatihan penerbang USNR (AL Cadangan) di Kapal Induk USS Sable (IX-81) yang berbasis di Pangkalan AL Corpus Christi, Texas selama 10 bulan. Setelah lulus pada September 1943, Bush menjadi penerbang AL termuda. Dia ditugaskan di Skadron Torpedo 51 di Kapal Induk USS San Jacinto (CVL-30) dan berposisi sebagai pilot pesawat pembom torpedo Grumman TBM Avengers. Dari total 58 misi yang dijalani, Bush pernah hampir terserempet maut. Saat itu Bush menerbangkan Avengers-nya untuk misi pemboman ke sejumlah basis militer Jepang di Pulau Chichijima, pulau terpencil Kepulauan Bonin, 1 Agustus 1944. James Bradley mengungkapkan dalam Flyboys: A True Story of Courage , Bush berangkat dalam misi sebagai salah satu dari sembilan kru di empat pesawat Avengers yang take - off dari USS San Jacinto . Keempat pesawat itu sempat terkena tembakan meriam-meriam anti-udara Jepang hingga jatuh. Semua selamat kala mendarat darurat di perairan Chichijima dengan lokasi yang tersebar. Bush yang bertahan selama empat jam di perahu karet, lebih beruntung. Lokasinya lekas diketahui para kompatriotnya dan terus-menerus dikawal pesawat-pesawat AS dari udara demi mencegah penangkapan Jepang. Bush akhirnya diselamatkan para kru Kapal Selam USS Finback . Momen George HW Bush diselamatkan para kru Kapal Selam USS Finback (Foto: George Bush Library) Saat diselamatkan, kondisi Bush mengenaskan. Kepalanya terluka dan sudah muntah-muntah. “Senang bisa berada di kapal (selam),” tutur Bush setelah diselamatkan, dikutip Bradley. Namun, malang menimpa delapan rekan Bush yang hidup. Mereka ditangkap Jepang. Sampai investigasi Bradley diterbitkan dalam bentuk buku pada 2006, Bush tak pernah tahu bagaimana nasib kedelapan rekannya. Ternyata, menurut penelusuran Bradley, kedelapan rekan Bush itu mengalami penyiksaan yang luar biasa. Kepala mereka lantas dipenggal dan sisa tubuhnya dimakan para tentara Jepang. “Reaksinya (Bush) senyap, terdiam. Lebih banyak geleng-geleng kepala. Tidak ada reaksi jijik, syok atau ngeri. Dia seorang veteran dari generasi yang berbeda,” ujar Bradley setelah Bush tahu hasil investigasi insiden itu diungkap, dilansir Telegraph , 6 Februari 2017. Setelah mengetahui nasib kedelapan temannya, Bush hanya bisa bersyukur. “Kenapa saya yang terselamatkan dan apa yang direncanakan Tuhan untuk saya?” Bush mengunjungi lagi lokasi jatuhnya di Chichijima pada 2002. Dinukil Time , 15 September 2002, Bush ditemani Bradley, beberapa perwakilan pemerintah Jepang, dan Duta Besar AS untuk Jepang Howard Baker. “Kru saya, Ted White dan John Delaney, tewas dan saya masih hidup. Sampai hari ini saya masih merasa bertanggungjawab atas kematian mereka meski saya sudah melakukan apa yang seharusnya saat pesawat kami terbakar. Kunjungan ini bukan hanya sangat personal tapi juga sangat emosional. Meski begitu, saya berharap kunjungan ini bisa melupakan masa lalu yang brutal,” kata Bush yang mengakhiri kunjungan dengan melempar dua buket bunga ke laut.

  • Mencari Arah Pendidikan Sejarah

    DIRJEN Kebudayaan Hilmar Farid mengatakan, pendidikan sejarah sekarang kurang menarik: membosankan, mengundang kantuk, dan penuh hafalan. Akibatnya, menjelang ujian kompetensi, banyak murid mengeluarkan jurus hafalan satu malam. Materi sejarah pun tak banyak masuk ke kepala mereka karena mayoritas pengajaran sejarah di sekolah semata membacakan ulang isi buku tanpa pemahaman sejarah yang riil dan relevan. Hal itu menjadi satu masalah yang disoroti Direktorat Jenderal Kebudayaan sejak penyelenggaraan Seminar Sejarah Nasional (SSN) tahun 2017. Banyak hal dalam pembelajaran sejarah yang perlu dibahas secara mendalam dan dirumuskan ulang, seperti cakupan materi, kisah-kisah terpinggirkan, dan pengajaran sejarah lokal. Bertolak dari situ, Direktorat Jenderal Sejarah mengambil “Paradigma dan Arah Baru Pendidikan Kesejarahan di Indonesia” sebagai tema SSN tahun ini. Baca juga:  Sejarah di mata generasi z “Tema (SSN, red.) merupakan amanat SSN yang pertama. Kita belum menemukan arah pendidikan sejarah. Seminar ini memberi masukan penting untuk pemerintah pada praktik pelajaran sejarah di sekolah,” kata Ketua Panitia Sri Margana dalam sambutannya di UGM, Senin (3/12) malam. Selama ini, lanjut Margana, pembahasan SSN lebih fokus pada penulisan sejarah. Sementara bahasan tentang pembelajaran kesejarahan kurang menjadi fokus, permasalahan dalam pengajaran sejarah pelan-pelan menumpuk. Hilmar yang berhalangan hadir dalam pembukaan SSN memberikan pidato sambutannya lewat video singkat. Menurutnya, pembelajaran sejarah di Indonesia memiliki cakupan sangat luas dan seringkali menyulitkan siswa dengan hafalan tahun, tokoh, dan peristiwa. Padahal, dia mencontohkan, di beberapa negara di Eropa, pendidikan sejarah selalu terkait dengan upaya mendidik sekaligus membangun generasi bangsa. Materi dan cakupan pengajarannya pun jauh lebih sederhana. Baca juga:  Penulisan sejarah dalam mode 2.0 “Dalam kurikulum kita, pembelajaran sejarah bertujuan menumbuhkembangkan nilai-nilai kebangsaan dan mengaitkan peristiwa nasional dengan peristiwa lokal serta membangun memori kolektif kebangsaan. Cita-citanya sangat idealis namun cakupan dalam silabus masih sangat luas,” kata Hilmar. Sebagai pembanding, Hilmar mencontohkan, pembelajaran sejarah di Singapura lebih sederhana dan tidak memberatkan siswa. Siswa tidak melulu dicekoki materi sejarah dari satu arah tetapi diajak aktif untuk menyingkap sejarah terdekat di lingkungannya. Siswa juga tidak menilai atau membuat kesimpulan tergesa-gesa atas peristiwa sejarah. Singapura mengajarkan siswa mereka untuk terbiasa melihat pandangan yang berbeda sehingga menimbulkan sikap toleran. “Selain itu, anak diberi pembelajaran secara perlahan yang sedikit-sedikit akan menimbulkan kesadaran sejarah dan empati.” Pembelajaran sejarah ala Romo Mangun Model pembelajaran yang disebutkan Hilmar pernah dicetuskan YB Mangunwijaya, tokoh pendidik asal Yogyakarta lewat Sekolah Dasar Kanisius Eksperimentasi Mangunan. Pengajaran sejarah, menurut Romo Mangun, sapaan akrabnya, bisa dimulai dari yang terdekat seperti sejarah keluarga, sejarah desa, atau muasal produk budaya yang ditemui sehari-hari, semisal seperti cara makan, cara berpakaian, dan makanan. Tema-tema yang dekat dengan lingkungan sekitar akan memudahkan anak dalam mempelajari sejarah. Pengajaran model ini, menurut Romo Mangun, membuat anak paham tentang perubahan dan perkembangan yang terjadi di sekelilingnya. Baca juga:  Mendikbud: pengajaran sejarah harus diubah Pengamatan dimulai dari yang terdekat seperti keluarga, sekolah, tetangga, desa, hingga wilayah yang lebih luas namun disesuaikan dengan kemampuan anak SD. Mengajarkan sejarah yang jauh dari jangkauan anak-anak, seperti sejarah politik, selain tidak punya relevansi langsung pada anak juga menyulitkan imajinasi mereka karena tidak dapat ditemui dalam dunia sederhana anak. “Pembelajaran sejarah menjadi bermakna ketika anak dapat menemukan nilai sebuah peristiwa masa lampau yang dapat gunakan untuk memahami kondisi masa kini. Pada dasarnya, belajar sejarah yakni memahami kemanusiaan dan melahirkan kesadaran sejarah,” kata Romo Mangun seperti dikutip Dedy Pradipto dalam Belajar Sejati vs Kurikulum Nasional. Baca juga:  Pengajaran sejarah tak lengkap dapat memicu konflik

  • Pers Berbahasa Arab Penyebar Kemerdekaan Indonesia

    SEBUAH lahan kosong tertutup pagar seng di Gang Tengah, Jalan Percetakan Negara, Jakarta Pusat. Di lahan ini dulu berdiri sebuah rumah. Aneka macam cerita keluar dari rumah itu. Pernah menjadi markas pemuda pro-Republik, anggota BKR, dan gudang senjata pada masa Jepang sampai awal kemerdekaan Indonesia. Tapi cerita berikut ini bukan tentang tiga hal itu. Ini cerita tentang peran kantor berita Arabian Press Board ( APB ). Dari rumah itulah APB turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia sejak 2 September 1945. Tapi peran APB tak selalu terang. Perlu penambahan data untuk memperjelasnya dan memperkuatnya. “Terkait peran pers APB dalam kemerdekaan, sangat menarik untuk penggalian sumber lagi,” ungkap sejarawan Rusdhy Hosein dalam diskusi “Diplomasi Pers Asad Shahab dalam Kemerdekaan Indonesia” di FISIP Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Selasa, 28 November 2018. Penggagas APB adalah dua bersaudara orang Indonesia keturunan Arab, Mohammad Dzya Shahab dan Mohammad Asad Shahab. Mereka memandang pendirian kantor berita cukup penting bagi kemerdekaan Indonesia. Menurut mereka, keadaan Indonesia setelah Proklamasi kemerdekaan harus disiarkan ke mancanegara. Ada dua kantor berita di Indonesia yang juga turut berperan dalam menyebarkan keadaan Indonesia merdeka : Antara dan Domei. Memberdayakan Jejaring Antara dan Domei mempunyai kelemahan. Antara hanya mampu menyiarkan berita itu di dalam negeri, sedangkan Domei masih berada dalam kendali Jepang. Ruang kosong penyiaran ke luar negeri diambil oleh APB . Demikian menurut A.M. Shahab dalam Sang Penyebar Berita Proklamasi: Perjuangan M. Asad Shahab & Arabian Press board . Dzya dan Asad menyasar negara-negara di Timur Tengah sebagai ruang penyebaran berita tentang Indonesia. Mereka memiliki jaringan kuat di Timur Tengah. Mereka kenal dengan tokoh pers tempatan dan pelajar Indonesia di sana. Karena itu, menurut Solichin Salam dalam APB Arabian Press Board: Sejarah dan Perjuangannya , langkah awal APB untuk mengabarkan keadaan Indonesia setelah kemerdekaan adalah mengontak semua jejaring mereka di Timur Tengah. Alasan lain pemilihan lapangan bergerak APB di Timur Tengah adalah ikatan erat antara Indonesia dan Timur Tengah. Dua wilayah ini terikat oleh agama Islam dan jejaring pendidikan selama ratusan tahun. Tetapi pada kurun awal kemerdekaan Indonesia, banyak warga Timur Tengah belum tahu kelahiran negara merdeka baru bernama Indonesia. “Bagi orang-orang Mesir umumnya hanya tahu tentang bangsa-bangsa Timur Jauh, seperti India dan Cina. Sebagian kelompok intelektual mengetahui tentang jajahan Belanda, juga para mahasiswa Mesir yang kenal dengan orang Indonesia yang bersekolah di sana. Sedang para haji —yang karena pernah pergi ke Mekkah—menjadi tahu tentang Jawa,” catat A.R. Baswedan dalam “Catatan dan Kenangan”, termuat di Seratus Tahun Haji Agus Salim . A.R. Baswedan bersama Haji Agus Salim, Nazir St. Pamoentjak, dan Rasjidi merupakan anggota delegasi Indonesia di Mesir pada April 1947. Mereka bertugas mencari dukungan dan pengakuan dari Mesir dan negara Timur Tengah atas Proklamasi kemerdekaan Indonesia. Mereka juga berupaya meyakinkan pemerintah negara-negara di Timur Tengah bahwa Republik Indonesia bukanlah bentukan Jepang. Sebab kabar yang santer tersebar menyebutkan bahwa Republik Indonesia adalah negara bentukan Jepang. Alasan pemerintah Indonesia mencari dukungan dan pengakuan dari negara-negara Timur Tengah mirip dengan alasan APB bergerak di sana. Orang Indonesia memiliki kesamaan agama dan telah menjalin hubungan ratusan tahun dengan orang-orang di Timur Tengah. Dua hal ini menjadi modal penting untuk memperoleh dukungan dan pengakuan dari negara-negara di Timur Tengah. Sasaran pertama para diplomat Indonesia adalah Mesir. Suranta Abdul Rahman dalam “Diplomasi RI di Mesir dan Negara-Negara Arab pada Tahun 1947” termuat di Jurnal Wacana  Vol. 9 No. 2 Tahun 2007, menyebut Mesir adalah pemimpin Liga Arab. Liga Arab memiliki tujuan membantu negara-negara mayoritas muslim mencapai kemerdekaan. Dengan demikian, Mesir merupakan pintu bagi Indonesia untuk memperoleh dukungan dan pengakuan dari negara Timur Tengah lainnya. Bukti dukungan Liga Arab pada negara mayoritas muslim terjajah tampak dalam kunjungan Abdul Mun’im, utusan Liga Arab, ke Yogyakarta pada awal 1947. Kedatangan Mun’im ke Yogyakarta beralas pada sidang keputusan Liga Arab di Kairo, Mesir, pada November 1946. Liga Arab menganjurkan anggotanya mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Menembus Blokade Belanda menyadari ikatan erat agama dan historis antara Indonesia dengan Timur Tengah. Mereka berusaha memblokade segala macam bentuk komunikasi dan kontak antara Indonesia dan Timur Tengah. Blokade ini membuat kabar tentang Indonesia menjadi simpang-siur di Timur Tengah. Selain itu, Belanda juga mengirim sejumlah propagandis ke negara Timur Tengah untuk mempengaruhi pemerintahan di sana agar membatalkan dukungan kepada Indonesia. Pemimpin propagandis Belanda tersebut bernama Muhammad bin Abdullah Alamudi. “Dia bermaksud akan mempropagandakan Belanda dan membuat berita buruk tentang RI,” tulis Suranta.   Dalam keadaan inilah, APB berperan menjernihkan kabar tentang Indonesia dan turut mencegah infiltrasi utusan Belanda ke Timur Tengah. APB juga giat mengabarkan kegiatan delegasi Indonesia selama berada di Timur Tengah. “Masyarakat Arab dapat mengakses langsung informasi pergerakan dan perjuangan dari Indonesia berkat kantor berita The Arabian Press Board ( APB ),” tulis Suranta. APB menerjemahkan berita-berita berbahasa Indonesia ke dalam bahasa Arab, kemudian menjembarkannya ke jejaring mereka di Timur Tengah. Dari situlah, warga Timur Tengah memperoleh kabar terbaru tentang Indonesia dan gerakan mempertahankan kemerdekaan. Dukungan pun datang dari sejumlah organisasi masyarakat di Timur Tengah seperti Ikhwanul Muslimin. Asvi Warman Adam, sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, menyorot cara APB menembus blokade informasi Belanda. “Buku A.M. Shahab menyebut keberhasilan APB . Tetapi bagaimana APB menembus blokade tersebut tak diterangkan secara detail. Barangkali menarik kalau ada tambahan dokumentasi terkait hal tersebut,” kata Asvi. Oleh sebab minim sumber, Asvi lebih banyak menerangkan peran golongan Arab dalam upaya pencapaian kemerdekaan Indonesia.   Terkait pencegahan utusan Belanda ke negara Timur Tengah, Suranta mengulasnya secara terang. “ APB menggalang semua surat kabar Arab untuk menyiarkan berita dengan judul ‘Rombongan Pengkhianat akan Mengunjungi Negara-Negara Arab’, ‘Propagandis Belanda’, dan ‘Pedagang Belanda’,” catat Suranta. Pemimpin politik di Timur Tengah membaca berita-berita tersebut. Berkat informasi dari APB , sikap pemimpin politik di Timur Tengah tidak goyah terhadap kemerdekaan Indonesia. Jasanya Terawat Mulyadi, doktor Ilmu Politik FISIP UI, memperkuat pernyataan Suranta. Menurut Mulyadi, dukungan dan pengakuan dari negara Timur Tengah terhadap Indonesia tak lepas dari peran APB . “Negara-negara tersebut memperoleh berita terpercaya dari orang-orang dan lembaga yang terpercaya pula, dimana hal itu telah dilakukan oleh Asad Shahab melalui kantor berita Arabian Press Board ,” kata Mulyadi. Mulyadi menambahkan, dari sudut pandang ilmu politik dan hubungan internasional, pengakuan dan dukungan dari negara lain terhadap Indonesia turut memperkuat posisi Indonesia. Salah satu cara untuk memperoleh pengakuan dan dukungan negara lain adalah melalui pemberitaan pers. Inilah peran pers dan Asad Shahab yang luput dari amatan. Asad Shahab, melalui APB- nya, telah meninggalkan jejak perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan. Jejak itu tak melulu berupa perjuangan bersenjata dan diplomasi, melainkan juga catatan tinta para jurnalis. Sekarang kantor APB sudah rata dengan tanah. Tetapi Mulyadi mengingatkan bahwa jejak APB dan jasa Shahab bersaudara tidak akan bisa dihapus dan ditelan zaman.

bottom of page