top of page

Hasil pencarian

9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Yani yang Flamboyan, Nasution yang Puritan

    DI kota sejuk Bogor, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Letnan Jenderal TNI Abdul Haris Nasution sedang main golf bersama deputinya, Mayor Jenderal Ahmad Yani. Sambil menenteng stik golf, Nasution membuka perbincangan seputar gaya hidup masing-masing. Lagi asyik membeter lubang, Yani tetiba celetuk.  “Jangan harapkan orang lain akan memikirkan apalagi mengurus kita. Hendaklah kita uruskan sendiri untuk kita pribadi,” demikian ujar Yani yang diceritakan ulang oleh Nasution dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 6: Masa Kebangkitan Orde Baru . Berbicara soal gaya hidup, Nasution dan Yani memang saling silang. Nasution menekankan kesederhanaan. Sementara Yani tampil lebih glamor. Satu contoh. Menurut Nasution, pada saat itu Yani mempunyai sebuah vila kecil sebagai tempat rehat dan berekreasi yang disambangi saban akhir pekan. Di kalangan para jenderal, kepemilikan aset semacam itu masih agak jarang dan terdengar mewah. Kesempatan main golf bareng dimanfaatkan Nasution untuk menasihati Yani. “Satu-satunya hal yang kurang saya senangi padanya, sehingga tempo-tempo saya tegur, ia  tak mengikuti filsafat saya tentang kesederhanaan. Tapi ia pun berterus terang kepada saya,” kenang Nasution mengenai Yani. Perwira Andalan Sejak semula, Yani adalah perwira yang menonjol. Di masa revolusi, dia telah menyandang pangkat letnan kolonel. Ketika bertugas di Divisi Diponegoro, Yani membangun reputuasi sebagai penempur dengan membentuk pasukan komando Banteng Raiders. Pasukan elite ini dipersiapkan untuk membereskan pemberontakan Darul Islam. Nama Yani kian populer setelah memimpin “Operasi 17 Agustus” yang berhasil menggempur perlawanan PRRI di Sumatera Barat. Yani kemudian ditarik ke Markas Besar (Mabes) AD di Jakarta. Nasution mengangkatnya sebagai Deputi I (Operasi) dan kemudian Deputi II (Administrasi). Menurut Nasution, Yani adalah pembantunya yang sulit tergantikan. Ketika sedang berada di daerah operasi, Nasution mempercayakan Yani memimpin Staf Umum Angkatan Darat (SUAD). Pun selama menjadi deputi, Yani adalah sosok yang sehaluan dengan Nasution: antikomunis garis keras. Yani bernasib mujur. Rekam jejaknya yang gemilang terdengar sampai ke Istana. Selain kecakapannya sebagai tentara profesional, Yani adalah sosok yang gagah dan flamboyan. Banyak orang menilai Yani sebagai persona penuh pesona. Daya pikat Yani makin kuat melihat postur tubuhnya yang ramping atletis. Tipikal perwira cakap seperti ini begitu disenangi Sukarno.   “Sesudah PRRI, Pak Yani disegani. Wibawa. Dianggap strateeg (ahli strategi). Menarik perhatian Bung Karno,” kenang Yayu Rulia Sutowiryo, istri Ahmad Yani, dalam Ahmad Yani: Sebuah Kenang-kenangan . Diperhatikan Sukarno Yani mulai merapat ke Sukarno semasa kampanye pembebasan Irian Barat digencarkan. Sukarno mendapuk Yani menjadi Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi (KOTI) Pembebasan Irian Barat. KOTI berkantor di Istana dan struktur komandonya berada langsung di bawah presiden. Bertugas di Istana, Yani jadi semakin akrab ke tengah publik karena dia juga bertindak sebagai Juru Bicara KOTI. Pergaulannya pun kian lekat dengan kehidupan Istana, mengimbangi selebritas Presiden Sukarno. Di sisi lain, sebagai Deputi KSAD, Yani harus tetap membagi waktunya di Mabes AD. Tak pelak, keberadaan Yani di Istana membuat hubungannya dengan Nasution merenggang. “Setelah ia berada di Istana sehari-hari sebagai Kepala Staf KOTI, nyatalah bahwa ia tampil sebagai pengagum Bung Karno dan rupanya cocok pula mereka dalam pergaulan pribadi,” kata Nasution. Petaka bagi Nasution tiba tatkala Yani mencapai puncak kariernya. Pada 23 Juni 1962, Sukarno menunjuk Yani menggantikan Nasution sebagai KSAD. Sejak itu pula, reorganisasi TNI diberlakukan sesuai keinginan Sukarno. Panglima tiap angkatan berada di bawah komando presiden selaku panglima tertinggi. Yani kemudian menduduki posisi setara menteri, Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad). Pengangkatan Yani sebagai orang nomor satu di jajaran TNI AD jadi sorotan banyak pihak. Pasalnya, untuk kedudukan sepenting itu, Yani berhasil melangkahi beberapa jenderal yang lebih senior. Rosihan Anwar, jurnalis kawakan masa itu, bahkan mempertanyakan apakah Yani mempunyai kewibawaan moral yang besar atas AD? “Menurut kalangan peninjau politik di Jakarta, hal itu masih jadi pertanyaan. Sebab Yani punya kecendrungan hidup bermewah-mewah,” tulis Rosihan dalam Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik 1961-1965 . Kortsluiting Menjadi Menpangad menempatkan Yani berada di lingkaran dalam Sukarno. Sementara Nasution, “ditendang ke atas” menjabat Menteri Pertahanan dan Keamanan merangkap Kepala Staf Angkatan Bersenjata. Wewenang Nasution atas komando AD telah dilucuti. Otoritasnya sebatas mengkoordinasi angkatan perang. Menurut Ulf Sundhaussen dalam Politik Militer Indonesia 1945—1967 , Nasution sengaja disingkirkan karena galak mengkritik Sukarno terutama menyangkut korupsi dan kehidupan pribadi. Nasution mengakui, semenjak Yani menggantikan dirinya, hubungan mereka tak lagi serasi. Satu kata dalam bahasa Belanda, " kortsluiting”, (artinya: terputus)demikian Nasution menggambarkan relasinya dengan Yani. “Sejak 1963, tak pernah lagi ada konsultasi antara kami berdua, kecuali sekedar bertemu secara insidental saja,” ungkap Nasution. Menurut sesepuh TNI AD Letjen (Purn.) Sayidiman Suryohadiprodjo -orang dekat Yani yang pernah menjadi perwira pembantu di Mabes AD- latar belakang masing-masing turut mempengaruhi perbedaan pandangan antara Yani dan Nasution. Nasution sebagai orang Mandailing merupakan Muslim yang kuat. Sedangkan Yani, orang Purworejo yang sikapnya Muslim Jawa (abangan). Di tambah lagi, pada zaman Belanda, Yani sekolah di AMS (sekolah Belanda setara SMA) yang bergaul secara Barat. “Pak Nasution tak bisa dan tak biasa hidup senang-senang seperti Bung Karno. Berdansa-dansa dan dikerumuni perempuan-perempuan, itu jauh dari sikap hidup Pak Nas. Pak Yani beda, ia bisa sekalipun tak biasa melakukannya,” kata Sayidiman kepada Historia . Meski berbeda pendekatan terhadap Sukarno, Yani dan Nasution sepaham urusan melawan PKI. Menurut Sayidiman, dengan kedudukannya, Yani memainkan peran terselubung membungkam kebijakan dan lobi-lobi politik kubu PKI kepada Sukarno. Ini pun atas sepengetahuan Nasution. “Pak Nas juga setuju bahwa Pak Yani berusaha untuk menjauhkan Bung Karno dari pihak komunis. Kesediaan Pak Yani melayani Bung Karno dalam hidup bersenang-senang termasuk bagian usaha itu. Mungkin Pak Nas anggap Pak Yani terlalu jauh melayani Bung Karno," demikian ungkap Sayidiman.*

  • Misi Kina Indonesia

    MENDENGAR ada pesawat asing mendarat darurat di Lapangan Udara Cikalong, Tasikmalaya, pada 6 Juni 1947, KSAU Suryadi Suryadarma langsung mengutus Opsir Udara III Petit Muharto menuju lokasi. Yang diutus langsung berangkat dan meyakini pesawat asing itu merupakan pesawat rekannya asal Amerika Serikat yang ditungggu-tunggu. “Memang benar dugaan Muharto. Pilotnya adalah Bob Freeberg yang pernah diberi petunjuk, mengikuti rel kereta api untuk sampai ke Maguwo. Waktu itu ia terpaksa terbang rendah di bawah gumpalan awan, dan justru karena itu, ia sebagai orang baru kehilangan orientasi,” tulis Irna HN Soewito dkk. dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950 . Bob Freeberg, veteran AL AS, merupakan pilot Commercial Air Lines Incorporated (CALI) yang bersama Muharto menjalani misi menembus blokade Belanda di masa awal kemerdekaan. “Pesawat C-47 Dakota milik Bob Freeberg secara resmi disewa oleh Pemerintah RI dan diberi nomor registrasi RI-002,” tulis Adityawarman Suryadarma dalam Bapak Angkatan Udara: Suryadi Suryadarma . Misi Membiayai Revolusi Dari Tasik, Bob dan Muharto diterbangkan ke ibukota Yogyakarta menggunakan pesawat Nishikoreng yang dipiloti Sunaryo “Betet” untuk menemui KSAU Suryadarma. Keduanya langsung mendapat tugas baru dari Suryadarma. “Tugas yang harus dijalankan adalah mengangkut barang untuk dijual di luar negeri, berupa serbuk kina dan panili,” tulis Irna. Tugas menembus blokade Belanda itu dibuat Suryadarma untuk mencari tambahan dana guna membiayai perjuangan. “Dalam kondisi dikepung daerah Federal yang telah dikuasai Belanda, pada hakikatnya Djokjakarta sudah diblokade dengan rapat, sehingga tidak mungkin lagi bisa mendatangkan obat-obatan, begitu juga upaya mencukupi kebutuhan sandang serta beragam keperluan hidup lainnya. Blokade tersebut hanya bisa ditembus lewat udara, dengan memanfaatkan sejumlah penerbang pemberani, yang berani nekad menerobos blokade,” tulis Julius Pour dalam Doorstoot naar Djokja . Bersama “Betet”, Bob dan Muharto pun kembali ke Tasikmalaya. Sementara pesawat RI-002 diisi bahan bakar dan dimuati 29 peti serbuk kina dan 11 peti panili, dipasok oleh Divisi Siliwangi, Muharto selaku pemimpin misi memberi briefing kepada para awak. Selain Muharto dan Bob sebagai pilot, misi tersebut diawaki dua juru mesin berkebangsaan Filipina; Pang Suparto, perwira Siliwangi yang ditugaskan sebagai juru muat; dan Opsir II Boediardjo selaku juru radio. “Saya yang masih berada di Malang dipanggil untuk ikut mengawal pesawat Dakotanya Bob yang diberi nomer register RI-002. Setelah dimuati kina dan panili kami lepas landas,” ujar Boediardjo dalam memoarnya, Siapa Sudi Saya Dongengi. Pada 9 Juni, RI-002 terbang menuju Yogyakarta. Setelah para awak beristirahat, pukul 23.45 pesawat yang dipiloti Bob itu bertolak menuju Labuan untuk mencapai Manila. Setelah melalui perjalanan malam berbahaya itu para anggota misi langsung disambut masalah setibanya di Manila. “Siapa lagi kalau bukan Perwakilan Belanda yang menuduh RI-002 mengangkut kina hasil curian dari Pabrik Kina di Bandung, yang berada dalam yuridiksi kekuasaan Belanda,” lanjut Boediardjo. Lewat kuasa hukum Ponce Enrile, De Witt, dan Perkins, Konsul jenderal Belanda di Manila menuntut penyitaan terhadap semua peti berisi kina yang dibawa RI-002. Beruntung, misi AURI mendapat dukungan penuh dari Senator Filipina Salipada Pendatun. Veteran Guerilla Army of Muslims and Christians itu gigih melawan upaya yang dilakukan para advokat Konjen Belanda. Meski memakan waktu sebulan lebih, Indonesia akhirnya menang. Pemerintah Filipina menyatakan 29 peti kina dan 11 peti panili yang dibawa RI-002 menjadi hak penuh awak RI-002. Namun, selesai urusan dengan Konjen Belanda tak berarti masalah selesai. Ke mana kina dan panili itu harus dijual? Manila tak punya pasar untuk dua komoditas yang belum dikenal tersebut. Masalah kian bertambah ketika Boediardjo jatuh sakit akibat malaria. Dengan uang saku pas-pasan yang kian menipis sementara dagangan belum jelas kapan akan terjual, para awak misi mesti hidup hemat. “Setiap hari mereka berjalan kaki bersama sejauh setengah mil untuk makan di suatu kedai nasi murah. Yang disantap juga selalu menu yang itu-itu juga,” tulis Irna. Hari-hari berat itu dijalani para anggota misi dengan terus menawarkan dagangan kepada berbagai pihak, terutama peminat asal Amerika. Perjuangan mereka akhirnya berhasil, komoditas yang mereka bawa laku. Hasil penjualan kina dan panili, ditambah bantuan dana dari rekan-rekan Suparto di Singapura, langsung mereka gunakan untuk membayar utang-utang selama di Manila dan membayar jasa Bob. Sisanya, dibawa Suparto ke tanah air untuk biaya perejuangan.

  • Korem Bantah Larang Seminar di Malang

    BERITA mengenai pelarangan seminar sejarah di Universitas Negeri Malang (UM) oleh instansi militer setempat mendapat tanggapan dari Korem Kota Malang. Kepala Penerangan Komando Resort Militer (Kapenrem) 083/Baladhika Jaya (Bdj) Mayor (Inf.) Prasetya HK mengatakan pihaknya tak melakukan pelarangan acara tersebut, karena memang bukan ranah mereka, menilik UU No 12 tahun 2012 pasal 8 ayat 3 tentang kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan Perguruan Tinggi. “Kita menganggap permasalahan ini sudah selesai. Dari pihak panitia juga sudah mengklarifikasi bahwa pembatalan ini murni dari panitia, tidak ada intervensi dari Korem maupun Kodim,” ujar Kapenrem Prasetya ketika dimintai konfirmasi Historia , Jumat petang, 12 Oktober 2018. Konfirmasi itu menegaskan isi rilis yang tersebar di broadcast message pesan singkat sehari sebelumnya. Dalam rilis itu, Kapenrem keberatan dengan berita yang dimuat Historia pada 10 Oktober 2018 terkait pembatalan seminar sejarah di UM tersebut. Kapenrem juga menyayangkan berita di Historia yang dianggapnya tidak benar dan menyudutkan institusi TNI karena tidak meminta konfirmasi terlebih dahulu. Mengenai surat pembatalan dari panitia kepada para pembicara seminar yang menjadi sandaran berita di Historia , Korem 083/Bdj telah meminta klarifikasi kepada pihak panitia. Pihak panitia kemudian menyampaikan permohonan maaf karena mencantumkan nama Korem 083/Bdj dan Kodim 0833/Kota Malang dalam surat pembatalan tersebut. Sebagaimana diberitakan sebelumnya, UM sedianya akan menggelar seminar sejarah bertajuk “Perubahan dan Kesinambungan Historis dalam Perspektif Keilmuan dan Pembelajaran” pada 24 Oktober mendatang. Seminar akan menghadirkan empat pembicara, yakni Asvi Warman Adam (sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia/LIPI), Sri Margana (sejarawan Universitas Gajah Mada), Abdul Syukur (sejarawan Universitas Negeri Jakarta) dan Ari Sapto (sejarawan/Ketua Jurusan Sejarah UM). Namun acara tersebut akhirnya dibatalkan. Pihak panitia mengirimkan surat pemberitahuan bernomor 10.10.85/UN32.7.5.3/KP/2018 yang berisi penundaan/pembatalan seminar kepada empat narasumber. Surat itu ditandatangani Ari Sapto selaku Kajur Sejarah dan Reza Hudiyanto selaku ketua pelaksana. Di butir pertama keterangan dicantumkan bahwa muncul pemahaman yang keliru di masyarakat setempat dan beredar di media sosial, khususnya dari beberapa kelompok tertentu, sehingga menarik perhatian pihak keamanan/intelijen di Kota Malang. Sementara di butir kedua keterangan dicantumkan: “Berdasar hasil diskusi dan negosiasi panitia dengan pihak KOREM dan KODIM Kota Malang, diperoleh masukan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi bila seminar tetap dilaksanakan”. Dari informasi lain yang diterima Historia , memang muncul keberatan dan seruan dari kelompok tertentu atas acara seminar yang menurut mereka “kekiri-kirian”. Mereka juga menolak Asvi Warman Adam sebagai salah satu pembicara. Asvi Warman Adam, yang dikukuhkan sebagai profesor riset di LIPI pada 26 Juli lalu, dikenal sebagai sejarawan yang getol dengan pelurusan sejarah G30S 1965.

  • Gempa Bumi Terbesar di Indonesia

    GEMPA bumi dengan magnitudo 6,3 mengguncang Situbondo pada Kamis (11/10) pukul 01.44 WIB. Tiga orang meninggal dunia. Gempa susulan tercatat sudah 14 kali. Sebelumnya, gempa dan tsunami menerjang Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, yang menelan korban jiwa lebih dari 2.000 orang. Sedangkan gempa di Lombok, Nusa Tenggara Barat, menewaskan 563 orang. Indonesia memang rawan gempa dan tsunami. Bahkan, menurut United States Geological Survey (USGS), dari 20 gempa bumi terbesar di dunia sejak tahun 1900, lima di antaranya terjadi di Indonesia: Gempa bumi magnitudo 9,1 di Samudra Hindia (26 Desember 2004), gempa bumi magnitudo 8,6 di lepas pantai barat Sumatra (11 April 2012), gempa bumi magnitudo 8,6 di Nias (28 Maret 2005), gempa bumi magnitudo 8,5 di Laut Banda (1 Februari 1938), dan gempa bumi magnitudo 8,5 di Bengkulu, Sumatra Selatan (12 September 2007). Gempa bumi dengan magnitudo 9,1 di Samudra Hindia merupakan gempa bumi terbesar ketiga di dunia sejak tahun 1900. Gempa bumi terbesar pertama terjadi di Valdivia, Chile (22 Mei 1960) dengan magnitudo 9,5 dan terbesar kedua adalah gempa bumi di Prince William Sound, Alaska (28 Maret 1964) dengan magnitudo 9,2. Gempa bumi berkekuatan sama atau lebih kecil sedikit terjadi pada 11 Maret 2011 di Tohoku, Jepang, dengan magnitudo 9,1, dan gempa bumi di Kamchatka, Rusia, dengan magnitudo 9,0. Semua gempa bumi megathrust tersebut mengakibatkan tsunami yang merusak. Namun, kerusakan akibat tsunami setinggi 30 meter pada 26 Desember 2004 lebih besar dan luas. Gempa bumi tersebut terasa di Banda Aceh, Meulaboh, Medan; dan beberapa bagian Bangladesh, India, Malaysia, Maladewa, Myanmar, Singapura, Sri Lanka dan Thailand. Indonesia paling parah selain Sri Lanka, India, dan Thailand. Menurut USGS, tsunami menyebabkan lebih banyak korban daripada tsunami lain yang tercatat dalam sejarah. Tsunami ini juga tercatat hampir di seluruh dunia oleh alat pengukur pasang surut di Samudra Hindia, Pasifik dan Atlantik. Jumlah korban tewas mencapai 286.000 orang dari 14 negara yang terkena tsunami. Indonesia yang paling banyak korban, sekitar 170.000 tewas dan 50.000 hilang.

  • KTP dan Pajak Anjing

    KARTU identitas (KTP) tak hanya melekat pada manusia, melainkan juga terdapat pada anjing. Baru-baru ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengumumkan kartu identitas dan microchip khusus anjing ke khalayak. Kartu identitas memuat data anjing dan pemiliknya, sedangkan microchip berisi riwayat kesehatan anjing dan tertanam di leher belakang anjing. Pemberian kartu identitas dan microchip bertujuan untuk mendata anjing. Pendataan memudahkan petugas mengenali anjing rentan rabies dan anjing bebas rabies. Anjing berkartu identitas dan ber- microchip berarti mempunyai pemilik dan riwayat kesehatan. Pengaturan kepemilikan anjing seperti ini bukan baru kali ini saja terjadi. Pemerintah kolonial Belanda pernah mengeluarkan aturan kepemilikan anjing pada 1906. Aturan itu termaktub dalam Staatsblad (Lembaran Negara) 1906 No. 283 dan menyebut kewajiban bagi para pemilik anjing. Antara lain berupa kewajiban melapor jumlah anjingnya, memberi anjing medali atau peneng, membayar pajak untuk anjingnya, dan ketentuan hukuman bagi pelanggar. “Didenda uang sebanyak-banyaknya lima belas rupiah orang yang memelihara anjing jikalau anjingnya terdapat di jalan raya atau di tanah lapang dengan tiada memakai medali yang masih laku menurut aturan yang tersebut,” demikian bunyi Pasal 7 Staatsblad 1906 No. 283, sebagaimana dikutip dari buku Handleiding ten Dienste van de Inlandsche Bestuurambtenaren terbitan 1919 dan tersimpan di Perpustakaan Nasional Indonesia. Pemerintah kolonial menjelaskan bahwa pemberlakuan aturan itu demi mencegah bahaya penyakit anjing gila, bukan untuk semata-mata mengisi kas. Penyakit anjing gila memperoleh perhatian serius dari pemerintah kolonial. Buktinya pemerintah kolonial turut pula mengeluarkan ordonansi tentang penyakit anjing gila sepanjang 1905-1915. Termasuk pula penanganan terhadap korban gigitan anjing gila dan rumah sakit rujukannya. Pendataan dan pungutan pajak khusus anjing bertahan setelah kemerdekaan. Kebijakan ini terdapat di banyak daerah seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Mojokerto. Pemerintah daerah tersebut kerapkali memuat iklan di media massa tentang kewajiban pemilik anjing mendata anjing peliharaan dan membayar pajaknya. Pengumuman Gubernur Jakarta agar pemilik anjing mendata dan membayar pajaknya. ( Mingguan Djaja , 28 Oktober 1967). Menurut R. Soedargo dalam Padjak Daerah dan Retribusi Daerah terbitan 1964, alasan pemerintah daerah tersebut menerapkan pajak anjing masih laras dengan keinginan pemerintah kolonial, yaitu melindungi warga dari penyakit anjing gila. “Dengan adanya pungutan pajak anjing maka setiap anjing liar dapat ditangkap dengan alasan tidak mempunyai tanda penning untuk kemudian dibinasakan, sedangkan nafsu orang untuk memelihara anjing banyak dapat dikurangkan, sehingga bahaya bagi masyarakat yang datang dari penyakit anjing gila dengan demikian dapat diperkecil,” tulis Soedargo. Tapi keterangan berbeda datang dari Alwi Shahab. Dia mengemukakan pajak anjing berperan besar dalam mengisi kas daerah seperti Kota Bandung. “Pemungutan pajak anjing bagi pemasukan kas ke kocek pemerintah daerah memang cukup besar, bila diingat harga rokok ketika itu sekitar satu perak per bungkus,” tulis Alwi Shahab dalam “Pajak Anjing dan Bursa Kucing” termuat di Maria van Engels: Menantu Habib Kwitang . Sementara itu Ali Sadikin, gubernur Jakarta 1966-1977, mengingatkan para pemilik anjing untuk menaati Peraturan Pajak Andjing Djakarta 1967. Ali dalam  Djaja , 28 Oktober 1967, menyebut tiga kewajiban pemilik anjing. Pertama , melapor kepada Kantor Urusan Pendapatan dan Pajak DKI terkait jumlah, jenis, kelamin, warna, dan ciri-ciri anjing peliharaannya. Kedua, membayar pajak anjing. Ketiga, tiap anjing yang telah lunas pajaknya harus dilengkapi dengan tanda pajak anjing. Tapi lama-kelamaan pemberlakuan pajak anjing menyurut. Tak ada lagi gembar-gembor dari pemerintah daerah mengenai kewajiban mendata dan membayar pajak anjing. Sebuah penelitian dari Universitas Airlangga pada 1981 menyebut pemerintah justru kesulitan memantau anjing dan menerapkan pajak anjing. Anjing-anjing peliharaan berkeliaran di permukiman tanpa peneng. Tak ada tindakan apapun dari pemerintah terhadap anjing dan pemiliknya. “Jumlah petugas pajak anjing yang sangat terbatas dan disadari bahwa wilayah Kotamadya Surabaya sangat luas mengakibatkan ketidakmampuan petugas pajak anjing dalam melakukan penangkapan atau penahanan terhadap anjing-anjing yang berkeliaran tanpa pengalungan peneng anjing,” tulis Reinhard Rahaningmas dalam Pajak Anjing di Kotamadya Surabaya Suatu Tinjauan Deskriptif . Alasan lain pemberlakuan pajak anjing menyurut ialah rendahnya kesadaran para pemilik anjing terhadap pendataan dan pembayaran pajak anjing. Jangankan mendata dan membayar pajak anjing, kesadaran mengisi formulir surat pajak tahunan dan membayarnya pun masih rendah. Ini terjadi pula di banyak kota. Pajak anjing pun terdengar sayup-sayup. Hanya tersisa imbauan pendataan terhadap anjing, seperti terjadi di Jakarta sekarang.

  • Memperjuangkan Indonesia Lewat Bahasa

    MESKI terbilang masih muda, 24 tahun, Sarmidi Mangunsarkoro menyampaikan pidato dengan lantang ketika menjadi pembicara di sesi pertama hari kedua Kongres Pemuda tahun 1928. Dalam sesi dengan tema pendidikan kebangsaan itu, Mangunsarkoro menyampaikan gagasan tentang pentingnya kebudayaan bangsa untuk dijadikan landasan pendidikan putra-putri Indonesia. Menurutnya, pendidikan yang berlandaskan kebudayaan bangsa sendiri akan menjadi pupuk istimewa untuk menyuburkan pengetahuan. “Beliau bicara tentang pentignya pendidikan kebangsaan, pendidikan yang seimbang antara sekolah dan rumah, dan pendidikan demokrasi,” kata Anik Yudhastowo Mangunsarkoro, menantu Mangunsarkoro, pada Historia . Jalan Hidup Mangunsarkoro Mangunsarkoro, anak priyayi rendah yang lahir di Surakarta pada 23 Mei 1904, mengenyam pendidikan dasar sekolah ongko loro. Dia setelah itu melanjutkan sekolah di Yogyakrta, pertama di Prinses Juliana School lalu ke Sekolah Guru Arjuna. Lulus dari Sekolah Guru Arjuna, dia langsung berkecimpung dalam dunia pendidikan sembari menulis tentang pendidikan. Beberapa tulisannya seperti pendidikan nasional, ilmu kemasyrakatan, dan masyarakat sosialis. Mulanya, Mangunsarkoro mengajar di Taman Muda Perguruan Taman Siswa, Yogyakarta. Setelah pindah ke Jakarta, dia menjadi kepala sekolah HIS Budi Utomo dan kepala sekolah HIS Marsudi Rukun tahun 1929. Sebagai sesama mantan guru Taman Siswa dan orang yang memperjuangkan pendidikan, Mangunsarkoro bekerjasama dengan Ki Hadjar Dewantara. Mangunsarkoro Ialu mengutarakan keinginannya untuk mendirikan Taman Siswa di Jakarta. Atas restu Ki Hadjar dan bantuan Mohamad Husni Thamrin, berdirilah Perguruan Taman Siswa Jakarta pada 1926 dengan modal 500 gulden. Perguruan yang terletak di Jalan Garuda No.71 Kemayoran itu merupakan penyatuan dari HIS Budi Utomo dan HIS Marsudi Rukun yang dipimpin Mangunsarkoro. Perubahan dari HIS ke Perguruan Taman Siswa menjadi titik mula penanaman bibit-bibit kebangsaan di Jakarta. Dwi Rahmanto Yahya dalam tulisannya, “Peranan Ki Sarmidi Mangunsarkoro Dalam Bidang Pendidikan”, menyebut warga Kemayoran menyambut baik pendirian Perguruan Taman Siswa Jakarta ini. Kerjasama Ki Hadjar Dewantara terus berlanjut hingga 1930. Menyepakati hasil Sumpah Pemuda, Ki Hadjar meminta Ki Mangunsarkoro menyusun rancangan pelajaran baru yang mengacu pada hasil Kongres Pemuda 1928. Pada rancangan baru ini pengajaran ditekankan untuk mengajarkan bahasa Indonesia pun bahasa pengantar yang digunakan. Kesempatan ini digunakan Mangunsarkoro untuk menuangkan ide-idenya tentang pendidikan bagi bangsa Indoensia. Rancangan ini kemudian disahkan pada 1932 dan menajdi kurikulum Taman Siswa, dikenal sebagai Daftar Pelajaran Mangunsarkoro. Pengajaran bahasa Indonesia pun dimasukkan dalam Daftar Pelajaran Mangunsarkoro. Perubahan bahasa pengantar di Perguruan Taman Siswa menjadi bentuk perlawanan politis Mangunsarkoro lewat bangku sekolah. Kala itu, dan bahasa resmi dan bahasa pengantar di sekolah-sekolah Belanda adalah bahasa Belanda. Usaha-usaha melanggengkan bahasa Indonesia terus dilakukan hingga Indonesia merdeka. Lewat Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 1532/A, pemerintah pada 26 Februari 1948 mendirikan Balai Bahasa yang bernaung di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Mangunsarkoro masuk dalam Dewan Penasihat bersama Dr. Poerbatjaraka, Dr. Prijana, Dr. Priohutomo, Dr Soemadi, dan Ki Hadjar Dewantara. Satu tahun setelah duduk di Balai Bahasa, Mangunsarkoro dipercaya menjadi menteri pendidikan, menggantikan Ali Sastroamidjojo. Saat dilantik, Mangunsarkoro mengenakan sarung dan peci sampai-sampai media meledeknya sebagai Ki Mangunsarungan. “Tahun 1949 bentuk negara masih RIS, beliau tidak sepakat dengan itu. Beliau bersumpah kalau Indonesia belum menjadi negara kesatuan, seterusnya akan memakai sarung dan tidak akan pernah mengenakan celana karena sarung dan peci bagi beliau itu pakaian kebangsaan,” kata Anik. Semasa menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Mangunsarkoro ikut menggagas UU No. 4 tahun tahun 1950 yang menjadi dasar dalam penyelenggaraan pendidikan. Regulasi itu mencakup penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dan pendidikan gratis untuk murid-murid sekolah rendah serta berkebutuhan khusus. Perjuangan Mangunsarkoro baru berhenti tahun 1957 ketika radang selaput otak mengakhiri hidupnya. Kepergian Mangunsarkoro mengejutkan rekan-rekan seperjuangannya, seperti Natsir dan Hamka. “Natsir dari Masyumi beda pandangan dengan Ki Mangunsarkoro yang PNI tapi ketika kepergiannya, Natsir menangis mendengar kabar kepergian Mangunsarkoro yang mendadak,” kata Anik.

  • Pejabat yang Bersyahwat Tinggi

    ALKISAH hiduplah sepasang pengantin yang baru menikah. Keduanya saling mencintai satu sama lain. Yang laki-laki bernama Gajahpara. Yang perempuan namanya Ken Endok. Suatu hari, Ken Endok pergi ke sawah untuk mengantar makanan bagi suaminya. Sementara itu, di angkasa Dewa Brahma tengah melihat-lihat siapa yang akan dijadikan temannya bersetubuh. Melihat Ken Endok, turunlah sang dewa. Lalu disetubuhilah istri Gajahpara itu. “Janganlah engkau bersetubuh dengan suamimu lagi. Jika engkau bersetubuh dengan suamimu, suamimu meninggal, karena kecampuran dengan anakku,” kata Dewa Brahma. Ken Endok pun bercerai dengan suaminya. Bahkan, beberapa hari kemudian, Gajahpara mati tapi tak diketahui penyebabnya. Begitulah awal mula Ken Angrok lahir menurut  Serat Pararaton.  Banyak peneliti yang menafsirkan a yah Angrok yang disebut Dewa Brahma adalah perumpamaan untuk seseorang yang punya jabatan tinggi. Tandanya, pamor sang ayah sangatlah kuat. Sebelumnya, Boechari dalam artikelnya “Ken Angrok: Bastard Son of Tunggul Ametung?" (1975), menyebut Dewa Brahma adalah penguasa yang bisa lepas dari jangakauan hukum.  Bahkan punya kekuasaan untuk menyingkirkan suami seorang perempuan yang diinginkannya.  Namun, apakah semua pejabat kerajaan pada masa Jawa Kuno mempunyai kekebalan hukum semacam itu? Dalam tata pemerintahan kerajaan masa Jawa Kuno terdapat sekumpulan kitab perundang-undangan agama. Tujuannya mengatur tata kehidupan pemerintahan dan masyarakat. Secara umum, kata sejarawan Malang, Suwardono, undang-undang itu diambil dari kitab  Manawa  dan kitab  Kutara. Untuk kasus ayah Ken Angrok, dalam teks undang-undang agama diatur oleh bab mengenai  paradara . Terdapat 17 pasal tentang  Paradara, yaitu pasal 198-214. Secara harfiah,  berarti istri orang lain atau perbuatan serong. Dalam bab ini menyebutkan berbagai jenis hukuman dan denda yang dikenakan kepada laki-laki yang mengganggu perempuan. Pasal  paradara  begitu keras. Pun sebenarnya tak ada kekebalan bagi siapa saja yang melakukan pelanggaran termasuk pendeta sekalipun. “Dalam melakukan kejahatan, tak ada pandang bulu antara golongan tinggi dan golongan rendah,” jelas Suwardono. Hal itu, kata Slamet Muljana dalam Perundang-undangan Madjapahit , ditegaskan lewat pasal 11 undang-undang agama: “Siapapun, guru, anak-anak, orang yang telah lanjut usianya, brahmana, cendikiawan, dan semua orang yang dipandang pendeta seperti kata orang banyak, jika ia melakukan  tatayi  (kejahatan), kemudian perbuatannya itu terbukti, maka ia akan dikenakan hukuman mati.” Sementara Suwardono dalam bukunya Tafsir Baru Kesejarahan Ken Angrok menjabarkan . perbuatan yang masuk ke dalam  tatayi,  adalah membakar rumah orang, terutama rumah raja yang berkuasa. Lalu meracuni sesama manusia, menenung sesama manusia, mengamuk, memfitnah raja yang berkuasa, dan merusak kehormatan perempuan. “Siapa yang melakukan salah satu dari enam kejahatan di atas, tidak layak diampuni oleh raja yang berkuasa,” kata dia. Jika kesalahannya terbukti, dia harus dijatuhi pidana mati tanpa proses apapun. Menjatuhi hukuman bagi yang bersalah ini bahkan bisa dihitung sebagai dharma seorang raja yang tak boleh dihindarkan. “Ditinjau dari pasal dan tuan pejabat yang menghamili Ken Endok hingga menghasilkan anak dijerat banyak pasal. Dia harus menjalani hukuman mati, atau minimal denda sangat berat,” jelas Suwardono. Lalu bagaimana dia bisa kebal hukum? Rupanya, pada masa Jawa Kuno ada beberapa pejabat yang memang diberikan hak istimewa semacam itu. Ada beberapa prasasti yang mengindikasikan kalau ada pejabat yang diberi hak istimewa. Mereka biasanya punya jasa terhadap raja. Beberapa prasasti yang menyebutkan soal anugerah raja, misalnya dari masa Tamwlang-Kahuripan: Prasasti Waharu IV (931 M), Prasasti Sobhamerta (939 M), dan Prasasti Kakurugan (1023 M). Dari masa Singhasari misalnya Sarwwadharma (1269 M). Sedangkan dari masa Majapahit: Tuhanaru (1323 M), Waringin Pitu (1447 M), Pamitihan (1437 M), dan Trilokyapuri I (1486 M). Prasasti lainnya yang tak berangka tahun: Waharu III, Leran, Biluluk IV, dan Trilokyapuri III. Prasasti-prasasti itu di dalamnya menyertakan pemberian berbagai jenis kewenangan kepada seseorang atau kelompok yang dianugrahi. Namun, di antara itu hanya sedikit yang menyebutkan soal pejabat yang diberikan pengecualian dalam penegakkan aturan tertentu. Prasasti Waharu IV (931 M) berisi pemberian hadiah Raja Sindok kepada warga Waharu. Itu terutama kepada yang bernama buyut Manggali. Ia diberikan hak untuk berhubungan badan dengan seorang gadis yang sudah diikat lamaran atau dengan perempuan yang telah bersuami. Dalam Prasasti Kakurugan (1023 M) dari zaman Raja Airlangga disebut pejabat bernama Dyah Kakingadulengen berhak mendatangi atau memperoleh seorang gadis yang sudah diikat lamaran atau seorang perempuan yang sudah bersuami. Dua prasasti itu juga menyebutkan alasan mengapa orang-orang tadi mendapatkan hak istimewa .  Yang bersangkutan rupanya rela berkorban mempertaruhkan jiwa dan raganya dalam membela sang raja ketika perang. Namun, selain itu, tak diketahui jelas apa indikator seseorang bisa mendapat kekebalan hukum. Yang jelas hak itu muncul sebagai suatu ketetapan istimewa masa Jawa Kuno. “Dari hasil perbincangan singkat dengan beberapa sarjana epigrafi, sementara dugaan mengarah kepada pemberian hak  paradara  itu hanya dilakukan terhadap seseorang yang memiliki syahwat seksual tinggi,” jelas Suwardono.

  • Aparat Militer Larang Seminar Sejarah di Universitas Negeri Malang

    SEMINAR sejarah bertajuk “Perubahan dan Kesinambungan Historis dalam Perspektif Keilmuan dan Pembelajaran” yang semula bakal digelar pada 24 Oktober mendatang dibatalkan setelah aparat militer mendesak pihak kampus Universitas Negeri Malang (UM). Dalam surat pemberitahuan bernomor 10.10.85/UN32.7.5.3/KP/2018 yang diperoleh redaksi Historia.id , alasan pembatalan terdiri dari lima butir, antara lain mengkhawatirkan meluasnya pemahaman keliru dari masyarakat setempat yang beredar di media sosial hingga jadi sorotan pihak keamanan Kota Malang. Selanjutnya, penundaan itu merupakan hasil negosiasi panitia (Fakultas Ilmu Sosial Jurusan Sejarah UM) dengan pihak Komando Resort Militer (Korem) dan Komando Distrik Militer (Kodim) Kota Malang. Seminar sedianya akan menghadirkan empat pembicara, yakni Asvi Warman Adam (sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia/LIPI), Sri Margana (sejarawan Universitas Gajah Mada), Abdul Syukur (sejarawan Universitas Negeri Jakarta) dan Ari Sapto (sejarawan/Ketua Jurusan Sejarah UM). Dalam surat penundaan seminar yang mestinya dihelat di Aula Utama A3 Lantai 2 UM itu disebutkan pula bahwa penundaan berlangsung untuk batas waktu yang belum ditentukan. Sejarawan UGM Sri Margana yang diundang sebagai pembicara mengherankan alasan pembatalan tersebut. “Iya, saya dikirimi surat resmi yang ditandatangani (Ari Sapto selaku Ketua Jurusan Sejarah FIS UM dan Reza Hudiyanto selaku ketua pelaksana). Alasannya karena dianggap pihak Korem maupun militer, akan mengganggu stabilitas keamanan,” kata Sri Margana kepada Historia. Padahal menurutnya tema seminar bertema umum dan tak ada kaitannya dengan politik. “Tema akademik, kok. Saya juga belum membayangkan nanti mau membicarakan apa. Karena kan memang tema besarnya historiografi dan metodologi sejarah,” sambungnya. Doktor sejarah alumnus Universiteit Leiden, Belanda itu menduga kehadiran koleganya, Asvi Warman Adam, jadi pemicu larangan seminar ini. Sebagaimana diketahui, pada 26 Juli 2018 Asvi dikukuhkan sebagai professor riset LIPI, terkait tiga periode perdebatan dalam historiografi peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S). Asvi juga sejarawan yang selama ini dikenal luas giat menganjurkan penulisan sejarah kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh rezim Soeharto. “Mungkin karena ada nama Pak Asvi di situ dan bidang yang ia tekuni kan memang politis dan sensitif,” imbuh Sri Margana singkat. Perihal ini, Asvi pun turut memberi klarifikasi. Bahwa ia juga dikirimi surat yang sama Rabu (10/10/2018) petang tanpa ada penjelasan lebih lanjut dari pihak panitia. “Tema seminar kan sangat umum. Para pembicara yang lain kan juga macam-macam (bidangnya), pasti tidak semua setuju dengan saya. Saya juga belum memberikan judul (pembicaraan). Belum juga saya siapkan materi apa. Bisa saja yang saya sampaikan makalah tentang (sejarah pertempuran) 10 November 1945,” timpal Asvi dihubungi Historia. Yang dipermasalahkan Asvi adalah alasan penundaan atau pembatalan seminar itu. Terutama soal poin di mana penundaannya setelah ada konsultasi dengan pihak aparat Korem dan Kodim Kota Malang. “Apa hubungannya? Agak aneh itu kalau dibatalkan. Apalagi undangan sudah disebar. Berita yang beredar di media sosial juga tidak dijelaskan. Lalu panitia berkonsultasi dengan Kodim dan Korem, itu kenapa? Biasanya perizinan kan dari kepolisian. Mestinya juga kalau kegiatan di kampus mestinya tak perlu minta izin. Kalau ada pihak yang tidak setuju, menurut hemat saya pribadi, memang ada panitia yang takut,” tandasnya. Menurut Asvi semua kegiatan di kampus yang bersifat akademik, mestinya bebas digelar. Dalam Pasal 8 ayat 3 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi, di mana kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan di perguruan tinggi merupakan tanggung jawab civitas akademika. Sayangnya, pihak kampus UM tak juga bersedia memberi keterangan soal pembatalan seminar ini. Narahubung seminar itu, Arif Subekti, tak kunjung mengangkat telepon kala dihubungi Historia. Sementara ketua pelaksana Reza Hudiyanto, malah sempat mengaku tak tahu-menahu tentang seminar itu? “ Oh , saya tidak tahu soal seminar itu, Mas. Maaf sebentar, saya sedang repot,” singkatnya. Sampai berita ini diturunkan, pihak Universitas Negeri Malang belum bisa dihubungi.

  • Sejarah Gempa Bumi dan Tsunami di Bulukumba

    UNIT Tindak Pidana Tertentu (Tipidter) Polres Bulukumba, Sulawesi Selatan, menangkap IA (15 tahun) yang menyebarkan video hoax tentang gempa Bulukumba, pada Senin malam (8/10). Sebelumnya, pada Minggu (7/10) memang terjadi gempa dengan magnitudo 4,8 di wilayah Bulukumba. Merespons video yang beredar di berbagai media sosial tersebut, Sutopo Purwo Nugroho melalui akun twitter -nya (@Sutopo_PN), menjelaskan bahwa “beredar banyak hoax dampak gempa 5,2 SR di Palu dan 4,8 SR di Bulukumba. Kedua gempa tersebut tidak menimbulkan korban jiwa dan kerusakan rumah, jalan dan bangunan lain. Video ini adalah dampak gempa 7,4 SR di Donggala pada 28/9/2018. Jangan ikut menyebarkan hoax .” Dalam sejarah, Bulukumba pernah diguncang gempa yang mengakibatkan tsunami besar. Menurut Imanuela Indah Pertiwi, peneliti dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Wilayah IV Makassar; M. Hattah Fattah dan Abdul Rauf, keduanya peneliti dari Universitas Muslim Indonesia, Makassar; secara geografis sebelah selatan Provinsi Sulawesi Selatan berbatasan langsung dengan Laut Flores yang memiliki sesar aktif yang memanjang dari pantai utara Lombok hingga sebelah timur laut Bali. Sesar aktif ini dikenal sebagai Back Arc Thrust (sesar naik belakang busur kepulauan). Aktivitas sesar aktif tersebut yang menyebabkan banyak terjadi gempa bumi di utara kepulauan Sumbawa hingga Flores. Seperti pada 29 Desember 1820, gempa bumi berkekuatan magnitudo 7,5 dengan pusat di Laut Flores mengguncang Sumbawa dan Sulawesi. Menurut para peneliti tsunami tersebut terjadi di beberapa lokasi, membentang dari Sumenep ke beberapa daerah di sepanjang pantai selatan Sulawesi. Di Bima, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, gempa berlangsung lebih dari dua menit, diikuti tsunami yang mengempaskan kapal yang berlabuh di teluk ke pedalaman, rumah dan pohon-pohon tumbang, dan banyak struktur batu runtuh. Setelah gelombang tsunami, lumpur menutupi tanah dan rumah, serta beberapa orang tewas akibat reruntuhan bangunan. Di Makassar, Sulawesi Selatan, gempa berlangsung dua setengah menit ( Bataviashe Courant , 28 April 1821), yang juga dirasakan di tempat-tempat lain di pantai selatan Sulawesi. Tsunami menghancurkan desa-desa di barat Bonthain sampai timur Bulukumba, termasuk desa Terang-Terang dan Nipa-Nipa. Di Bulukumba gempa berlangsung sekitar 4-5 menit. Gempa mengakibatkan tsunami setinggi 25 meter menyapu pelabuhan Bulukumba dan merendam daratan sejauh 350-450 meter. Beberapa kendaraan terlempar dari pantai ke sawah, serta barak dan benteng hancur. Tsunami menewaskan sekitar 500 orang. Berdasarkan data sejarah gempa dan tsunami (29 Desember 1820) dan gempa berpotensi tsunami (3 Maret 1927), para peneliti menghitung potensi kejadian gempa dan tinggi tsunami di Bulukumba. Hasil penelitiannya dimuat di Jurnal Geofisika , Vol. 16, No. 01 (2018) yang diterbitkan Himpunan Ahli Geofisika Indonesia. Hasilnya, menurut mereka, berdasarkan data historis gempa bumi di Laut Flores yang berpotensi tsunami adalah gempa bumi magnitudo 7,5 (1820) dan 7,1 (1927). Berdasarkan perhitungan, mereka memprediksi pengulangan gempa bumi dengan magnitudo 7,5 dan 7,1 adalah 41 tahun (1861) dan 22 tahun (1949). Sedangkan tinggi tsunami dengan magnitudo 7,1 (17 meter) dan magnitudo 7,5 (25 meter). Prediksi itu terjadi pada 1949, gempa bumi di Laut Flores berkekuatan magnitudo 6,4 (bukan 7,1). Sedangkan pada 1861 tidak terjadi gempa bumi.

  • Nyai Tak Pernah Diakui

    MENGENAKAN kebaya putih berhias renda, seorang perempuan berjalan sambil membawa kunci rumah. Sepasang kakinya memakai terompah atau selop. Di sela jarinya terselip sapu tangan putih. Jika tuannya orang cukup kaya, perempuan itu akan memakai beberapa perhiasan seperti anting atau kalung. Itu merupakan gambaran nyai, perempuan pribumi yang dijadikan teman hidup tuan berkulit putih tanpa ikatan resmi. Ada beragam cara seorang perempuan bisa diangkat menjadi nyai. Beberapa diambil dari salah satu pelayan rumah. Ada juga yang dimakcomblangi jongos si tuan. Begitu si tuan Belanda memerintahkan “cari perempuan” pada seorang jongos, tak lama kemudian disodorkanlah seorang gadis pribumi. Cara paling menyakitkan adalah “dijual” oleh keluarga atau suaminya. Si perempuan yang semula orang bebas langsung terikat untuk menghamba pada tuan Belanda. Sementara, suami atau keluarganya menikmati uang hasil menjual istri atau kerabat sendiri. Nasib si perempuan memang berubah begitu dijadikan nyai oleh lelaki Belanda. Statusnya lebih tinggi dari pelayan-pelayan lain di rumah orang Belanda. Kebaya sederhananya tak pernah lagi dipakainya. Namun, status nyai tak pernah diakui masyarakat kolonial, bahkan dianggap aib atau setara dengan pelacur. Meskipun fenomena umum di kalangan lelaki Eropa, hubungan nyai-tuan selalu disembunyikan. Pada 1620-an, gereja melarang pegundikan. Dengan ancaman tak boleh kembali ke negaranya, VOC pun melarang pegawainya menikahi perempuan pribumi. Namun, larangan yang terus dikeluarkan tak sanggup menghentikan fenomena itu. Hingga akhir abad ke-19, hampir separuh lelaki Eropa di Hindia Belanda masih tinggal dengan nyai. Awetnya fenomena pergundikan ini, menurut Ann Stoler dalam “Making Empire Respectable”, terjadi lantaran ambivalensi masyarakat kolonial dalam memandang nyai. Mereka tak ingin mengakui pergundikan karena dianggap nista, tapi mereka merasa diuntungkan karena menimbulkan stabilitas politik dan kesehatan kolonial. Nyai membuat mereka tak perlu repot mendatangkan perempuan Eropa, juga tak perlu pusing oleh penyakit kelamin yang tersebar di rumah bordil. Tak ada yang menyenangkan dari hubungan nyai-tuan: status tak jelas, hak pun tak ada. Nyai tak punya hak resmi hingga tak bisa menuntut ke mana pun bila tertimpa hal buruk. Ketiadaan pengakuan secara hukum oleh pemerintah itu menimbulkan perlakuan semena-mena. Bataviaach Nieuwsblad , 9 Maret 1898, sepeti dikutip Reegie Baay dalam Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda, memberitakan tentang seorang nyai yang dipukuli tuannya. Nyai yang tak tahan sikap kasar si tuan itu lantas mengadu pada tetangganya. Alih-alih mendapatkan permintaan maaf, nyai yang ketahuan mengadu itu justru dapat makian dan pukulan yang makin keras, bukan hanya oleh si tuan tetapi juga ayah si tuan. Tak sampai di situ, si nyai diminta mencuci sendiri bajunya yang berlumur darah dan membersihkan sisa-sisa penganiayaan pada dirinya. Yang lebih buruk lagi, tak ada ganjaran hukum yang diterima si penganiaya. Lelaki Eropa membenarkan diri untuk berlaku kasar dan tidak beradab karena superioritas kulit putih, uang, dan keinginan menunjukkan maskulinitasnya. Jika menyangkut perilaku seksual, tulis Baay, mereka berlaku sangat buruk, bahkan kotor. Lelaki Eropa menganggap perempuan pribumi hanya objek untuk dinikmati secara seksual dan diperlakukan semena-mena. Jika sudah diusir, para nyai tak bisa menolak. Pun hak atas anak dari hasil hubungannya dengan si tuan. Hal itu diatur pemerintah kolonial lewat Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tahun 1848 pasal 40 dan 354. Legislasi itu berbunyi hak asuh anak hasil pergundikan tidak dapat diambil oleh ibunya sekalipun si tuan meninggal. Celakanya, pemerintah kolonial juga menganggap anak hasil hubungan nyai-tuan tidak sah secara hukum. Baru pada awal abad ke-19 pemerintah menerima pendaftaran kelahiran anak di luar nikah. Lelaki Belanda yang enggan mengakui anak hasil pergundikannya bisa mendaftarkan kelahiran anak mereka namun dengan nama belakang dibalik. Misal, pegawai kehakiman Belanda, JTL Rhemrev yang lahir dari seorang gundik dan tuannya, bernama belakang Vermehr. Status anak yang tak diakui pun sama tak jelas dengan ibunya, tak diterima sebagai orang Eropa karena mengancam prestise kulit putih tapi tidak juga masuk golongan pribumi. Pada abad ke-19, si tuan bisa mengakui anak hasil hubungan pergundikan. Namun berapa pria Eropa yang secara sah mengakui keturunan mereka, banyak yang dipulangkan ke Belanda, Inggris, atau Prancis. Hal itu memutus hubungan sekaligus menelantarkan nyai dan anak-anaknya, meninggalkan si nyai dan jabang bayi tanpa bekal hidup. Ann menyebut buruknya perlakukan Belanda kepada para nyai sebagai eksploitasi seksual dan pekerjaan rumah tangga yang tidak dibayar.

  • Pemburu dari Masa Lalu

    IA gagah bertengger di kanan depan halaman gedung Museum Mesin R. Ahmad Imanullah. Sejak kedatangannya bersama tiga mesin perang udara baru lain pada April 2018, ia menambah ramai kompleks Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala, Yogyakarta. Tapi tak seperti yang lain, pernah mengawal dirgantara republik, ia justru pernah jadi musuh Indonesia di angkasa. Puluhan tahun lalu, ia “mangkat”. Ironisnya, ia ditinggalkan begitu saja oleh Belanda sementara ke-11 kawannya dibawa pulang ke Negeri Tulip. Begitu lama ia hanya jadi bangkai di pangkalan udara (lanud) di Pulau Biak, Papua, sebelum direstorasi total. Burung besi itu adalah jet tempur Hawker Hunter (varian) F.4 yang kadang disebut Hawker Hunter Mk (Mark) 4. Pesawat bernomor registrasi N-112 yang tertera di kedua sisi haluannya itu berbeda dari koleksi-koleksi lain Museum Dirgantara. Nomor registrasi itu milik pesawat-pesawat AU Belanda. Siapa pemilik awalnya dipertegas oleh roundel (logo Angkatan Udara/AU) biru-merah-putih di kedua sisi bagian ekor dan masing-masing sepasang di atas dan bawah sayap menegaskan. Roundel atau logo AU Belanda di Bawah Sayap Pesawat (Foto: Randy Wirayudha/Historia) “Memang sengaja kita tampilkan persis seperti aslinya agar jadi pembelajaran dan pengetahuan bahwa Belanda bercokol lama sekali di negara kita. Termasuk saat operasi-operasi pembebasan Irian Barat (kini Papua),” terang Kepala Museum Dirgantara Mandala Kolonel (Sus.) Dede Nasrudin kepada Historia . Perongrong Angkasa Indonesia Timur Di eranya, pesawat buatan Hawker Aircraft (kini Hawker Siddeley) yang diproduksi dengan total 64 varian ini pernah jadi salah satu pesawat pemburu terbaik. Namun, sejatinya pesawat ini merupakan multirole fighter dengan kemampuan mengemban beragam tugas sekaligus mulai pengintai, penyerang darat, hingga pembom. Selain Royal Air Force (RAF/AU Inggris), penggunanya adalah Koninklijke Luchtmacht (AU Belanda), Uni Emirat Arab, Belgia, Cile, Denmark, Irak, India, Yordania, Kenya, Kuwait, Lebanon, Oman, Peru, Qatar, Rhodesia, Arab Saudi, Somalia, Zimbabwe, dan Singapura. Menurut David J. Griffin dalam Hawker Hunter: 1951-2007 , pesawat ini bisa mengangkasa dengan dua mesin: Rolls-Royce Avon 107 dan Armstrong Siddeley Sapphire 101. Untuk persenjataannya, selain dibekali empat senapan mesin ADEN kaliber 30 milimeter, Hawker Hunter dilengkapi misil AIM-9 Sidewinder dan AGM-65 Maverick. Pesawat Hawker Hunter F.4 di depan Museum Mesin R. Imanullah (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Khusus untuk varian F.4, spesifikasinya memiliki konfigurasi single seat , ditenagai mesin Rolls Royce Avon 115, dan dilengkapi tangki bahan bakar cadangan di bawah kedua sayapnya. Varian ini muncul pertamakali pada 20 Oktober 1954. Varian inilah yang lantas jadi bagian dari AU Belanda di Biak, pulau kecil di utara Papua yang hingga awal 1960-an tak kunjung diserahkan Belanda kepada Indonesia  kendati penyerahan kedaulatan telah dilakukan Belanda sejak 27 Desember 1949. “Hawker Hunter yang ini (N-112) merupakan bagian dari Skadron 322 AU Belanda. Sejak 1958 kekuatan militer Belanda di Irian Barat terus bertambah, termasuk didatangkan 12 Hawker Hunter F.4 yang diangkut Kapal Induk (HNMLS R81) Karel Doorman pada 1961,” ujar pengamat sejarah militer Wawan Kurniawan Joehanda kepada Historia . Penulis KNIL: Dari Serdadu Kolonial menjadi Republik , Djocjakarta: Mereka Pernah di Sini dan Palagan Maguwo dalam Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia: 1945-1949 itu menambahkan, operasi-operasi Hawker Hunter kian intens sejak Presiden Sukarno menyerukan Trikora (Tri Komando Rakyat) untuk membebaskan Irian Barat dari tangan Belanda pada 19 Desember 1961. “Ke-12 Hawker Hunter itu ditempatkan di Lanud Mokmer (kini Lanud Manuhua), Biak. Pilot dari N-112 ini Sersan Van Soest. Dalam sebuah latihan pada 30 Mei 1962, mengalami kerusakan di sabuk pasokan peluru. Akibatnya magasennya meledak hingga sistem kelistrikannya ikut mati,” lanjut Wawan. Tampak Asli Pesawat Hawker Hunter F.4 saat Kokpitnya Dibakar Belanda pada 1962 (Foto: Dok. Ministerie van Defensie) Dalam kondisi rusak parah di mana tekanan hidrolik pesawatnya ikut hilang, pilot Van Soest mati-matian berusaha mendaratkan pesawat ke Lanud Mokmer. Dia berhasil mendaratkan pesawatnya meski sampai melewati batas landasan dan menabrak pepohonan di ujung landasan. Pesawat pun ringsek. “Setelah diplomasi Belanda di PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) gagal mempertahankan Irian Barat dan kuatnya tekanan serta kecaman dunia internasional, Belanda akhirnya angkat kaki. Semua alutsistanya ditarik, kecuali N-112 karena sudah tak lagi bisa diperbaiki. Kokpit pesawat dibakar habis agar teknologi avionik-nya tak jatuh ke tangan militer Indonesia,” lanjutnya. Direstorasi Lama menjadi rongsokan, pesawat N-112 direstorasi akhir tahun lalu. “Pesawat ini setelah terlunta-lunta di dekat sebuah hanggar Lanud (Manuhua) Biak, dibawa ke sini atas perintah Panglima TNI (Marsekal Hadi Tjahjanto, red .). Dibawa dari Biak via Makassar dan diperbaiki di Malang. Di Malang direstorasi selama 3-4 bulan. Setelah itu baru dibawa ke museum dan dirangkai lagi terlebih dulu selama dua minggu,” sambung Dede. Restorasi digarap 30 teknisi Sathar 32 dari Depo Pemeliharaan 30 Lanud Abdulrachman Saleh, Malang di bawah pimpinan Mayor (Tek) Slamet Riyanto. Untuk menyamai aslinya, tim museum diikutsertakan untuk melakukan riset mendalam. Kepala Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala, Kolonel (Sus.) Dede Nasrudin (Foto: Randy Wirayudha/Historia) “Riset dari tim museum dan hasilnya kita berikan ke para teknisi agar ukuran, logo ( roundel ), nomor registrasi, bahkan warna kamuflase Belanda-nya benar-benar sama seperti aslinya. Kokpit yang dibakar habis juga dibuat seperti aslinya. Hanya saja, memang tidak ada engine -nya karena memang sepertinya dulu sempat dibawa pulang Belanda,” imbuhnya. Pesawat N-112 akhirnya diresmikan Panglima TNI pada 24 April 2018 bersamaan dengan peresmian tiga koleksi baru: Hercules C-130B, Fokker F-27, dan Ilyushin Il-14 Avia, serta Museum Mesin R. Ahmad Imanullah. “Pesan Panglima, agar penambahan koleksi museum ini tak hanya dijadikan wahana edukasi dan rekreasi, tapi juga agar bisa dirawat betul. Karena perjuangannya luar biasa untuk membawa dari Biak ke sini. Orang Belanda pun dari Museum Soesterberg (Nationaal Militair Museum) sampai kaget kita punya koleksi ini. Di sana pun mereka cuma punya dua yang seperti ini,” tandas Dede.

  • Jenderal Soedirman Menjadi Tawanan

    PADA masa perjuangan muncul suasana saling mencurigai. Sampai-sampai rombongan gerilya Panglima Besar Jenderal Soedirman pernah ditawan oleh Batalion 102 pada 23 Desember 1948 di Bendo, kurang lebih 24 kilometer dari Tulungagung. Kapten Soepardjo, ajudan merangkap sekretaris pribadi Soedirman, dibawa ke markas batalion. Sedangkan Soedirman tetap di dalam mobil dengan pasukan pengawal yang telah dilucuti. Di markas batalion, Soepardjo hanya bertemu beberapa perwira yang tak dikenali. Dia pun meminta bertemu dengan komandan batalion, Kapten Zainal Fanani. Seorang perwira menjawab sulit bagi tawanan bertemu dengan komandan. Soepardjo digeledah dan didapati buku harian yang isinya lengkap dengan gambar pertahanan dan catatan yang berhubungan dengan ketentaraan. Untung ada seorang perwira yang mau memanggil komandan batalion. Waktu sudah magrib. Soedirman minta supaya diizinkan ke mesjid untuk salat. Permintaan itu dipenuhi dan dia dibawa ke mesjid yang letaknya tidak jauh dari markas batalion. Harsono Tjokroaminoto, penasihat politik Soedirman, yang besarung dan kaos oblong keluar dan duduk di teras mesjid. Dia bercakap-cakap dengan pasukan penawan. Tak lama kemudian datanglah komandan batalion dengan mengendarai jip. Kepala piket melapor bahwa pasukannya telah menawan satu rombongan dan melucuti senjatanya. Sementara komandan menerima laporan, matanya tertuju kepada Harsono dan mengenalinya. Zainal Fanani menanyakan, “di manakah tawanan itu?” “Di mesjid,” jawab Harsono. Zainal Fanani kemudian masuk ke mesjid dan menghampiri tawanan itu. Dia terperanjat ketika melihat bahwa tawanannya adalah Jenderal Soedirman. “Mayor Fanani langsung sujud di depan Pak Dirman sambil menangis dan meminta maaf atas kekeliruan pasukannya,” kata Harsono dalam otobiografinya, Selaku Perintis Kemerdekaan . Zainal Fanani kemudian memberi hormat militer. Seketika itu juga Soedirman dipindahkan ke tempat yang baik. Semua anggota pasukan, termasuk para perwira merasa heran, mengapa komandannya memberi hormat kepada tawanan yang berpakaian preman, pakai peci yang sudah tua, mantel hijau dan tak memakai sepatu, hanya slof saja. Mereka pun terperanjat setelah diberi tahu bawah tawanan itu adalah panglima besar yang sedang menyamar. Malam itu, beberapa orang dikirim ke Tulungagung supaya mengadakan hubungan telepon dengan Kediri. Beberapa jam kemudian, dari Kediri datang mobil dengan para perwira staf Kolonel Soengkono untuk menjemput Soedirman. Malam itu juga rombongan berangkat menuju Kediri.

bottom of page