Hasil pencarian
9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Papua di Antara Bung Besar dan Sang Jenderal
MAYOR Jenderal TNI Soeharto pernah jengkel benar kepada Presiden Sukarno. Saat itu, Soeharto menjabat panglima Komando Mandala untuk operasi pembebasan Irian Barat. Sekali waktu sang jenderal mendapat panggilan menghadap presiden ke Istana. Sekonyong-konyong, Sukarno memerintahkan Soeharto menenggelamkan kapal Belanda. “Aneh-aneh saja,” gumam Soeharto sebagaimana dituturkannya kepada penulis Gufron Dwipayana dan Ramadhan K.H. dalam otobiografi Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. Ide tersebut berasal dari Mohammad Yamin yang diutarakan pada rapat kabinet. Tujuannya untuk memberikan efek kejut bagi Belanda supaya undur dari Irian Barat. Sukarno setuju dan mendukung usulan ini. Menurut Soeharto, ide Yamin itu konyol karena lebih menekankan kepentingan politik ketimbang perhitungan militer. Kontan saja Soeharto menolak. Alasannya, dia telah menyusun rencana operasi militer sendiri dan masih memerlukan waktu persiapan. Untuk memukul Belanda, Soeharto telah merancang operasi gabungan dengan sandi Jayawijaya. Namun hingga sengketa Irian Barat usai, serangan militer skala besar urung terjadi. Irian Barat masuk ke dalam kekuasaan Republik lewat lobi-lobi diplomasi. Sukarno: Utang Demi Sabang Sampai Merauke Sukarno betapa gelisah selama Irian Barat masih dikangkangi Belanda. Baginya, kedaulatan negara dari Sabang sampai Merauke merupakan amalan terhadap pemenuhan amanat penderitaan rakyat. Setelah mendeklarasikan Tri Komando Rakyat, Sukarno bertekad membebaskan wilayah itu dengan jalan apapun: perang atau damai. Kawasan Pasifik dikhawatirkan akan dilanda gejolak. “Trikomando berarti agar supaya kita memasukkan Irian Barat itu kedalam wilayah kekuasaan Republik kembali, dengan segala jalan. Pegang teguh perkataan ini: dengan segala jalan!” seru Sukarno dalam pidato “Membebaskan Irian Barat dengan Segala Jalan” di depan mahasiswa Akademi Pembangunan Nasional Yogyakarta, 18 Maret 1962. Konflik dengan Belanda memang berakhir dengan kemenangan bagi Indonesia. Ancaman yang digencarkan Sukarno sekilas terlihat berhasil. Meski demikian, masalah Irian Barat menyisakan efek moneter. Jalan politik yang ditempuh Sukarno menghabiskan ongkos yang begitu besar. Selama kampanye pembebasan Irian Barat, Indonesia mengalami krisis ekonomi yang cukup parah. Indonesia telah menanggung beban ekonomi akibat menasionalisasi perusahaan Belanda. Beban ini semakin berat dengan penumpukan utang lewat pembelian persenjataan dari Uni Soviet. Hampir seluruh anggaran belanja Indonesia terserap untuk memperkuat pertahanan. Dalam penelitiannya di Cornell University, Franklin B. Weinstein mencatat, pada akhir 1965, Indonesia memiliki utang luar negeri sebesar 2,4 milyar dolar AS. Sebanyak 1,4 milyar dolar AS berasal dari kredit yang diberikan negara-negara komunis. “Penting untuk diingat bahwa kredit dari negara-negara komunis itu sebagian besar berupa bantuan militer yang berhubungan dengan kampanye Irian Barat, bukan bantuan ekonomi,” tulis Weinstein dalam Indonesian Foreign Policy and The Dilemma of Independence: From Sukarno to Soeharto . Sukarno sebenarnya bisa saja melunasi jeratan utang tersebut. Menurut sejarawan Belanda Pieter Drooglever, menjelang penyerahan Irian Barat kepada Indonesia, telah banyak investor asing yang mengintip dan meneliti kekayaan wilayah itu. Salah satu diantaranya perusahaan tambang Amerika, Freeport Sulphur. Freeport sudah menyiapkan rencana eksploitasi besar-besaran. “Namun ada satu kendala,” kata Drooglever dalam magnum opus Tindakan Pilihan Bebas!: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri . “Di bawah Sukarno tidak ada perusahaan luar negeri yang diizinkan.” Relasi terhadap modal asing baru berjalin lagi sesudah Soeharto menggantikan Sukarno sebagai presiden Indonesia. Soeharto: Curang demi Modal Asing Memasukan modal asing sebenarnya telah terpikir oleh Soeharto bahkan sebelum menjadi pejabat presiden. Pada 1966, Soeharto menyadari betapa peliknya persoalan ekonomi yang dihadapi rezim Sukarno. Pemerintahan Sukarno mempersulit investasi modal asing sementara kondisi ekonomi mengalami hiperinflasi. “Jalan yang dianggap bijaksana waktu itu ialah harus cepat mendapatkan bantuan luar negeri,” kata Soeharto dalam otobiografinya. “Dan jendela yang bisa kita buka waktu itu ialah pertama-tama yang menghadap ke Barat.” Kesempatan tiba ketika Soeharto menjadi pejabat presiden. Pada awal 1967, pintu untuk modal asing dibuka melalui Undang-Undang No. 1 yang mengatur tentang Penanaman Modal Asing (UUPMA). Dengan UUPMA, Freeport yang sedari lama mengincar wilayah konsesi di Irian Barat ketiban rejeki nomplok. Kontrak kerja sama antara pemerintah Indonesia dan Freeport ditandatangani 7 April 1967. Namun mufakat itu terganjal kewajiban Indonesia untuk mengadakan penentuan pendapat bagi rakyat Papua (Pepera). Sebagai konsekuensi Perjanjian New York, orang Papua dihadapkan pada pilihan untuk integrasi dengan Republik atau tidak. Untuk mengatasi Pepera, Soeharto menunjuk orang kepercayannya, Ali Murtopo, perwira intelijen yang dikenal mahir merancang operasi khusus. Menurut sejarawan Australia, Robert Edward Elson, Ali Murtopo diinstruksikan untuk mengambil langkah yang diperlukan guna memastikan rakyat Papua memberikan suara setuju berintegrasi. Dalam praktiknya, Ali memadukan kebijakan persuasi (baca: membujuk dan menyuap) dan intimidatif untuk menakut-nakuti. Di bawah pimpinan Brigjen Sarwo Edhie yang menjabat Panglima Kodam Cenderawasih, rakyat Papua tak diizinkan mengungkapkan keinginan apapun untuk merdeka. “Serta dengan leluasa menahan mereka yang berani menyuarakan pendapat-pendapat itu,” tulis Elson dalam Suharto: A Political Biography . Di Jakarta, lanjut Elson, Soeharto juga melakoni cara yang kurang lebih sama. Hadiah dan barang-barang konsumsi dalam jumlah amat besar dikirimkan ke Irian Barat. Gratifikasi itu dibagi-bagikan kepada para kepala suku yang berpengaruh dan para wakil rakyat. Jelang sidang Pepera, Ali Murtopo memastikan orang-orang Papua yang pro-integrasi hadir cukup banyak. Pada Agustus 1969, sidang Pepera secara bulat menghasilkan suara setuju sebagaimana yang diharapkan pemerintah Indonesia. Soeharto secara khusus menetapkan Irian Barat sebagai provinsi otonom pada 16 September 1969. Operasi khusus Ali Moertopo berjalan mulus. Soeharto bisa bernapas lega karena kemenangan Pepera ada dalam genggaman. Freeport pun dengan leluasa merambah kekayaan alam Papua.*
- Kala Ulama Perempuan Melawan
TAK terima keinginannya ditolak oleh sang ibu, Rahmah kecil protes. Bocah kelahiran Padang tahun 1900 itu langsung menangis sepanjang hari sambil berguling-guling di atas tikar pandan. Rahmah dikenal sebagai anak yang keras hati dalam memperjuangkan keinginannya. Bila sudah punya keinginan, dia hanya ingin keinginan itu terlaksana. Lain tidak. Rahmah terlahir dari keluarga ulama progresif. Kakeknya Imanudin, seorang ahli ilmu falak dan pemimpin tarekat Naqsyabandiah di Minangkabau. Ayahnya, Syekh Muhammad Yunus, adalah seorang qaddi di Pandai Sikat. Sayangnya, Rahmah tidak pernah dididik ayahnya karena ayahnya keburu meninggal saat Rahmah masih bocah. Sebagai anak bungsu, dia sangat dekat dengan ibunya dan Zainuddin Labay El Yunusy kakaknya. Zainuddinlah yang mendidik dan mengajar banyak hal kepada Rahmah. Sang kakak merupakan tempat Rahmah bertukar pikiran. Zainuddin sendiri adalah ulama muda revolusioner yang mengubah sistem pendidikan sekolah agama menjadi pendidikan modern yang diperuntukkan untuk lelaki maupun perempuan. Sekolah milik Zainudin, tulis Aminuddin Rasyad dalam “Rahmah El Yunusiyyah, Kartini Perguruan Islam” yang dimuat Prisma Agustus 1977 , merupakan sekolah Islam pertama di Indonesia yang memperbolehkan perempuan dan lelaki bersekolah di tempat yang sama. Di sekolah milik kakaknya itulah Rahmah mengenyam pendidikan. Namun, Rahmah tak sampai setahun bersekolah lantaran dijodohkan. Kala itu usianya masih 15 tahun. Meski berat, Rahmah menyetujui perjodohan itu. Rahmah akhirnya menikah. Pada 1922, suami Rahamah berniat untuk menikah lagi dan meminta izin Rahmah untuk poligami. Rahmah menolak keras. Dia tidak secara langsung menolak poligami, namun ketika suaminya hendak melakukannya sehingga dihadapkan pilihan menerima atau memilih bercerai, Rahmah memilih yang kedua. Setelah bercerai, Rahmah sangat aktif dalam gerakan perempuan dan perjuangan pendidikan di Sumatera. Rahmah meimimpin rapat kaum ibu di Padang Panjang. Rapat itu rupanya diawasi Belanda sehingga dia dihukum denda 100 gulden dengan tuduhan membicarakan politik dan menjadi anggota pengurus Serikat Kaum Ibu Sumatera (SKIS). SKIS merupakan organisasi perempuan yang memperjuangkan hak perempuan. Organisasi ini mengeluarkan majalah bulanan yang megedukasi pembacanya tentang hak-hak perempuan dan derajat kaum perempuan yang tak selamanya manut saja bila ditindas. Selain aktif di majalah SKIS, Rahmah juga mengetuai khutub khanan , sejenis taman bacaan. Menurutnya, perempuan harus belajar, terdidik, dan pintar. Pada 1935, Rahmah mewakili perempuan Sumatera Tengah datang ke Kongres Perempuan di Bandung. Pandangannya bahwa perjuangan meningkatkan derajat kaum perempuan harus dilakukan oleh kaum perempuan sendiri membuat Rahmah mendirikan Diniyah Putri School Padang Panjang pada 1 November 1923. Dia mengelola perguruan itu sendiri dengan belajar pada kakaknya. Ketika Zainuddin meninggal tahun 1924, Rahmah amat terpukul. Dia juga harus belajar keras mempertahankan dan mengurus perguruannya sendiri sambil tetap memegang prinsip. Prinsip itu membuat Rahmah menolak mentah-mentah tawaran subsidi pemerintah Hindia Belanda untuk pendirian sekolahnya yang kekurangan dana. Rahmah, sebagaimana digambarkan buku Sejarah Setengah Abad Kesatuan Pergerakan Wanita Indonesia, merupakan sosok yang memilih perjuangan nonkooperasi dengan pemerintah kolonial. Tapi untuk urusan perjuangan perempuan, Rahmah ingin kaum ibu berjuang sendiri dulu sebelum menerima bantuan kaum lelaki. Bila kemudian kaum perempuan sudah berusaha namun tidak tercapai, kaum lelaki baru boleh membantu. Prinsip itu dia tunjukkan kala M Zen Djambek, ulama Minangkabau, menawarkan bantuan untuk menyelesaikan pembangunan gedung perguruannya. Rahmah menolaknya dengan halus. “Buat sementara, golongan puteri akan mencoba mengupayakannya sendiri,” kata Rahmah. Rahmah mengumpulkan dana dari ceramahnya di berbagai kota, seperti Aceh, Sumatera Utara, dan Semenenanjung Melayu pada 1926. Usahanya berhasil. Sekolahnya makin berkembang, bahkan dia mendirikan sekolah di Batavia. Sikap ulet dan keras kepala dalam perjuangan juga ditunjukkannya pada masa revolusi. Rahmah pernah ditangkap tentara Belanda lantaran kehadirannya di tengah laskar dapat mengobarkan perlawanan. Dia ditangkap di persembunyiannya di Gunung Singgalang pada 7 Januari 1949 dan ditahan selama 9 bulan.
- Kisah Petrus Saat Kudatuli Meletus
PAGI hari, 27 Juli 1996, kami mendengar kantor DPP PDI sedang diserbu. Terjawab sudah apa yang menjadi kekhawatiran pendukung Megawati kalau kantor partai berlambang kepala banteng segilima akan direbut paksa. “Mimbar Bebas” dalam kantor yang terletak di Jalan Diponegoro 58 itu telah benar-benar menjadi simbol perlawanan rakyat.
- Trailer Wiro Sableng 212 Diluncurkan
BAGI penikmat serial laga sejak era 1990-an, tentu tak asing dengan legenda Wiro Sableng, si pendekar kapak maut naga geni 212. Jagoan konyol nan jenaka namun sakti dengan rajah 212 di dadanya. Wiro Sableng diciptakan oleh Bastian Tito dalam serial novel yang muncul pertama kali pada 1967 dan terdiri dari 185 judul. Tokoh ini diangkat ke layar lebar pada 1988. Liliek Sudjio menyutradarai seri 1-7 dengan pemeran Tony Hidayat, sedangkan seri 8-9 disutradarai Bachrum Halilintar. Setelah itu, pada 1995 Wiro Sableng diadaptasi sebagai sinetron. Episode 1-59 diperankan oleh Ken Ken (Herning Sukendro), sedangkan episode 59-91 diperankan oleh Abhie Cancer. Baik film seri maupun sinetronnya mendapat tempat tersendiri bagi para penonton di masanya. Ken Ken Herning Sukendro (kanan) sebagai penasihat dalam film versi 2018/Foto: Youtube Lifelike Pictures) Wiro Sableng kembali diangkat ke layar lebar berjudul Wiro Sableng 212. Film garapan sineas Angga Dwimas Sasongko ini akan rilis 30 Agustus 2018. Film yang diproduksi Lifelike Pictures ini bekerja sama dengan rumah produksi tenar Amerika Serikat, 20th Century Fox. Film yang diproduseri Sheila Timothy ini diramaikan para aktor dan aktris papan atas antara lain Sherina Munaf, Marcella Zalianty, Happy Salma, Yayan Ruhiyan, serta Marsha Timothy, adik sang produser. Wiro Sableng sendiri diperankan oleh Vino G. Bastian, putra Bastian Tito. Trailer resmi berdurasi dua menit tujuh detik diluncurkan pada Sabtu, 28 Juli 2018, di Metropolis Town Square, Kota Tangerang, sekaligus acara meet and greet para pemerannya. Dampak kerja sama dengan 20th Century Fox begitu terasa jika melihat visual dan efek suara yang patut diacungi jempol. Mestinya bikin penasaran ingin menonton filmnya di bioskop-bioskop Agustus mendatang. Lewat tayangan pendek itu, kita hanya bisa menduga-duga jalan ceritanya. Di mana Wiro akan berkoalisi dengan beberapa pendekar golongan putih, seperti Anggini (Sherina Munaf), Bujang Gila Tapak Sakti (Fariz Alfarizi), hingga Bidadari Angin Timur yang diperankan istri Vino, Marsha Timothy. Lawan Wiro adalah Mahesa Birawa (Yayan Ruhiyan) yang akan menampilkan pertarungan seru. Adegan Bagaspati menodongkan pistol/Foto: Youtube Lifelike Pictures Jika jeli menyelidiki trailer itu terdapat satu adegan yang agak ganjil. Di menit pertama detik ke-17, nampak di antara gerombolan orang terlihat Bagaspati (Cecep Arif Rahman) yang mengenakan baju sakera merah-putih khas suku Madura, menodongkan senjata sejenis pistol flintlock . Senjata ini diperkenalkan Portugis pada abad 17. Sementara sinopsis film menyebut latar belakang film adalah Nusantara, tepatnya Jawa, abad 16. Mestinya pistol itu tak ada di film ini.
- Setengah Abad Historiografi G30S dan Dua Solusi Kasus Genosida 1965
SETELAH 50 tahun berlalu, ada tiga periode perdebatan dalam historiografi peristiwa G30S 1965. Hal tersebut disampaikan Asvi Warman Adam dalam pidato pengukuhannya sebagai profesor riset di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kamis pagi 26 Juli 2018. Tiga periode itu menurut Asvi meliputi periode perdebatan di seputar siapa dalang peristiwa G30S 1965 yang terjadi pada kurun 1965-1968, periode kedua terjadi penulisan sejarah resmi oleh pemerintah Soeharto yang dimulai sejak 1968 sampai 1998. Pada periode ini pula upaya menghilangkan peran Sukarno dalam sejarah terjadi. Periode ketiga terjadi semenjak berhentinya Soeharto sebagai presiden pada 21 Mei 1998. Asvi menyebut periode ketiga ini sebagai periode pelurusan sejarah. “Buku yang pertama dipublikasi tentang Gerakan 30 September 1965 berjudul 40 Hari Kegagalan ‘G30S’, 1 Oktober-10 November 1965 diterbitkan oleh Lembaga Sejarah, Staf Pertahanan Keamanan atas prakarsa Jenderal Nasution yang menugasi beberapa pengajar UI. Cetakan pertama 27 Desember 1965,” kata Asvi dalam pidato pengukuhannya. Menurut sejarawan kelahiran Bukittinggi 1954 itu, kendati buku yang digagas Jenderal Nasution tersebut tidak mencantumkan kata PKI di akhir “G30S” namun sudah menyinggung keterlibatan PKI dalam percobaan kudeta tersebut. Pada periode pertama itu juga bermunculan berbagai karya lain yang menyajikan berbagai dugaan siapa dalang utama serta penyebab terjadinya peristiwa G30S 1965. “Naskah yang kemudian dikenal sebagai Cornell Paper keberadaannya terkuak kepada publik Amerika Serikat karena sebuah tulisan di surat kabar The Washington Post , 5 Maret 1966. Laporan penelitian tersebut ditulis Ben Anderson, Ruth McVey dan FP Bunnell yang baru secara resmi diterbitkan tahun 1971. Dokumen ini menyebut percobaan kudeta tersebut sebagai persoalan internal Angkatan Darat,” ujar Asvi. Laporan tersebut membuat Ben Anderson dilarang masuk ke Indonesia selama 30 tahun lebih dan membuatnya mengalihkan perhatian serta risetnya ke Thailand. Selain Ben, Asvi juga mencatat sejumlah karya yang menyuguhkan versi siapa yang berada di balik peristiwa pembunuhan jenderal 1 Oktober 1965, antara lain karya Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh, The Coup Attempt of September 30 Movement in Indonesia . Buku ini ditulis atas bantuan Guy Jean Pauker dari Rand Corporation yang disebut-sebut bekerja juga untuk CIA. Periode kedua berkisar di seputar usaha pemerintah Soeharto menyeragamkan versi sejarah G30S berdasarkan tafsir sepihak penguasa. Asvi menyebut nama Nugroho Notosusanto sebagai arsitek dari rekayasa penulisan sejarah tersebut. “Setelah berhasil melakukan standarisasi sejarah ABRI, Nugroho Notosusanto melakukan hal yang sama dalam sejarah nasional,” ujar Asvi. Selain menyeragamkan versi sejarah G30S, Nugroho Notosusanto pula yang berperan dalam upaya desukarnoisasi dalam peristiwa kelahiran Pancasila, 1 Juni 1945. Dia menyisihkan peran Sukarno dalam proses penggalian konsep Pancasila dengan mengedepankan peran Mohamad Yamin. Periode ketiga perdebatan mengenai historiografi G30S 1965 terjadi ketika Soeharto tumbang dari kekuasaannya pada 1998. Menurut Asvi pada periode pelurusan sejarah ini Persatuan Purnawirawan Angkatan Udara Republik Indonesia (PP AURI) jadi yang pertama memulai usaha meluruskan sejarah 1965. Melalui buku Menyingkap Kabut Halim , PP AURI mengajukan versi bahwa mereka tidak pernah terlibat dalam peristiwa G30S 1965. Setelah Mei 1998, berbagai ragam versi peristiwa G30S bermunculan, baik dari kesaksian para penyintas sampai dengan karya ilmiah hasil kajian para sarjana sejarah dari berbagai universitas, baik dalam maupun luar negeri. Namun demikian seluruh kesaksian dan kajian ilmiah tersebut seakan belum cukup untuk membuat pemerintah menyusun kebijakan penyelesaian kejahatan kemanusiaan yang terjadi pada kurun 1965-1966. Padahal menurut Asvi, peristiwa pembunuhan jenderal 1 Oktober 1965 hanya dalih bagi Soeharto untuk menghabisi Partai Komunis Indonesia (PKI) sekaligus merebut kekuasaan dari tangan Sukarno. Sebagian besar korban peristiwa tersebut dipersekusi massal dan tidak pernah bisa dibuktikan apa kesalahannya di muka pengadilan. Dalam pidato pengukuhannya, Asvi mengajukan rekomendasi kepada pemerintah agar menyelesaikan persoalan tersebut secara bertahap. Dimulai dari penyelesaian persoalan pencabutan kewarganegaraan terhadap warga negara Indonesia (eksil) yang pada saat kejadian berada di luar negeri dalam rangka tugas belajar dan tugas negara. Kasus kedua yang perlu diselesaikan adalah pembuangan tahanan politik ke Pulau Buru. “Kedua kasus tersebut perlu dituntaskan terlebih dahulu sebab dua kasus tersebut murni merupakan kebijakan negara,” kata Asvi. Selama berkarier sebagai peneliti LIPI, sejarawan lulusan Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS) Paris, Prancis itu telah menghasilkan 14 buku dan puluhan makalah serta artikel. Sejak 2012 Asvi juga tercatat sebagai dewan redaksi ahli majalah Historia dan dikenal giat memperjuangkan keadilan bagi para korban dan penyintas peristiwa 1965.*
- Papua di Tangan Soeharto
SABTU, 3 Maret 1973. Sejarah mencatat Presiden Soeharto meresmikan tambang tembaga milik Freeport Sulphur, (sebuah perusahaan tambang terkemuka asal Amerika Serikat) sekaligus meresmikan berdirinya kota Tembagapura. Saat memberikan pidato sambutan, Soeharto begitu sumringah.
- Penjara Tak Bikin Tobat
PENJARA jadi bahan gunjingan khalayak lagi. Kemarin lalu perkara rusuh napi teroris di Mako Brimob, Depok, Jawa Barat, sekarang perilaku cemar pegawai penjara dengan napi rasuah di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung. Boro-boro berupaya menjadi manusia susila di dalam penjara, para napi malah melanggar pidana lagi dengan menyogok pegawai supaya tetap hidup nyaman di lapas. Pegawai pun enteng saja menerima sogokan. Perilaku dua kelompok ini jauh dari tujuan awal pengelolaan penjara nasional setelah kemerdekaan. Penjara berasal dari sistem hukuman Eropa abad ke-17 untuk menggantikan hukuman badan dan mati. “Pidana penjara adalah pidana pencabutan kemerdekaan,” ungkap R.A. Koesnoen dalam Politik Pendjara Nasional . Penjara masuk ke Hindia Belanda pada abad ke-19. Sistem hukuman ini tegak di atas landasan formal pasal 10 Wetboek van Stafrecht voor de Inlanders in Nederlansch Indie atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terbitan 1872. Koesnoen menambahkan, asal-usul kata “penjara” berasal dari bahasa Jawa, penjoro ,yang berarti “tobat”. “Dipenjara berarti dibikin tobat,” tulis Koesnoen. Caranya, para pegawai penjara menekan, meneror, dan menggiring narapidana untuk bertobat atau kapok secara lekas. Ternyata penjara tak menghilangkan hukuman badan, melainkan justru melestarikannya. Menurut Koesnoen, sistem penjara Hindia Belanda hanya bertujuan membuat narapidana bertobat atau kapok. “Memang tujuan penjara kolonial, maksud utama untuk melaksanakan pidana, agar jangan berbuat melanggar hukum lagi bukan karena baik, tetapi karena kapok,” tulis Koesnoen. Padahal, lanjutnya, tidak dapat seorang narapidana menjadi baik karena dibikin tobat. Baik di sini berarti berperilaku sesuai dengan pandangan hidup masyarakat tempat dia berada saat itu. Ketika Indonesia telah mencapai kemerdekaannya pada 1945, pandangan hidup masyarakatnya berubah: dari masyarakat terjajah yang memandang segala sesuatu berdasarkan panduan kolonialis menjadi masyarakat merdeka yang memandang segala sesuatu berdasarkan adat, budaya, dan hukum bangsa sendiri. Kemerdekaan turut pula memperbarui orientasi penjara. “Tugas kepenjaraan bukanlah hanya dengan cara pasif saja menyimpan orang-orang yang telah melakukan kejahatan, lalu menunggu saat mereka harus dikeluarkan dari penjara terjerumus lagi dalam jurang kejahatan,” tulis Suara Buruh Kependjaraan, Mei-Juni 1954. Penjara juga bertugas memperbaiki tabiat para narapidana agar sesuai dengan asas dan tujuan Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan hukum turunannya. Tujuannya agar mereka kembali menjadi bagian dari masyarakat ( resosialisasi ) luar penjara. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah membentuk satu jawatan khusus kepenjaraan. Jawatan Kepenjaraan wajib membentuk tatanan masyarakat penjara yang terdiri atas sekumpulan hukum dan cara berperilaku penghuninya (pegawai dan narapidana). Koesnoen menyebut semua upaya untuk mengubah sistem penjara kolonial ke sistem penjara nasional disebut politik penjara nasional. Politik Penjara Nasional Politik penjara nasional menempatkan pegawai penjara sebagai ujung tombak perbaikan tabiat narapidana. “Tiap pegawai harus turut serta dengan aktif dan penuh semangat cinta-kasih membimbing para narapidana menjadi seorang manusia Indonesia susila,” catat Koesnoen. Pegawai penjara mesti berupaya keras menjadi teladan bagi para narapidana. Keteladanan mereka berpangkal pada perbuatan keseharian yang baik di dalam penjara. “Terutama sekali kita harus menghindarkan tindakan-tindakan yang koruptif, main suap, main sogok, dan tahu-sama-tahu, dengan keinsyafan yang akibatnya sangat merugikan, tidak saja negara dan jawatan tetapi juga yang dididik, dan pihak lainnya,” catat Suara Buruh Kependjaraan , Juni-Agustus 1955. Politik penjara nasional juga membebankan tugas pada narapidana. “Antara narapidana dengan para pegawai harus ada kerjasama dalam berjuang mencapai cita-cita politik penjara,” tulis Koesnoen. Para narapidana berperan selayaknya murid sekolah. Mereka mempunyai serangkaian kegiatan dan pendidikan selama masa penahanan. Guru-guru mereka ialah para pegawai penjara. Hubungan keduanya setara, tetapi berbeda dalam tugas. Tak heran jika muncul anggapan bahwa penjara telah menjelma rumah pendidikan negara pada dekade 1950-an. Tapi anggapan ini lantas disanggah oleh perwakilan serikat pegawai penjara. “Penjara itu tidak diganti dengan RPN (Rumah Pendidikan Negara), tetapi penjara tempat melatih yang maksudnya mendidik, melatih, memperbaiki orang-orang terpenjara dengan jalan berusaha bagaimanakah agar mereka itu kembali ke dalam masyarakat akan menjadi orang yang berguna dan bermanfaat bagi nusa dan bangsanya,” tulis Suara Buruh Kependjaraan , Maret-Mei 1957. Lembaga Pemasyarakatan Perubahan orientasi penjara nasional terjadi lagi pada 1962. Istilah lembaga pemasyarakatanmulai bergaung dari pidato Menteri Kehakiman Sahardjo di Blitar. Sahardjo menegaskan kembali gagasannya di hadapan Senat Guru Besar Universitas Indonesia pada 1963. Sahardjo mengemukakan tentang apa itu lembaga pemasyarakatan melalui dua kalimat pidatonya. Pertama, “Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk atau lebih jahat daripada sebelum dia dipenjarakan.” Kedua, “Tidak boleh selalu ditunjukkan pada narapidana bahwa dia itu penjahat.” Dua kalimat tadi membawa penjara kepada orientasi perlakuan yang kian humanis terhadap para narapidana. Gagasan ini memperoleh perdebatan luas di ranah pemerintahan dan kalangan ahli hukum. Tapi akhirnya konsep ini resmi diterima oleh pemerintah sebagai orientasi baru politik penjara nasional. “Istilah pemasyarakatan secara resmi dipergunakan sejak 27 April 1964 melalui amanat Presiden Republik Indonesia sehubungan dengan adanya Konferensi Dinas Kepenjaraan untuk seluruh Indonesia yang diadakan di Lembang dekat Bandung dari tanggal 27 April sampai tanggal 7 Mei 1964,” tulis Bahrudim Suryobroto dalam “Pemasyarakatan, Masalah dan Analisa” termuat di Prisma , 5 Mei 1982. Selain mengubah orientasi politik penjara nasional, Konferensi Dinas Kepenjaraan juga mengeluarkan prinsip pengelolaan penjara. Antara lain kerjasama triumvirat pegawai penjara, para narapidana, dan masyarakat; kegotongroyongan dan penghayatan dari pegawai penjara dalam mewujudkan pemasyarakatan; tidak menjadikan bangunan penjara sebagai tujuan pemasyarakatan , melainkan hanya sarana; dan tujuan akhir dari pemasyarakatan adalah masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Tapi gagasan ini tak selalu jalan. Ada saja pegawai penjara dan narapidana yang keluar dari gagasan pemasyarakatan. “Masyarakat penjara adalah miniatur masyarakat luar,” tulis Koesnoen. Di luar penjara ada perilaku korup, begitu pula di dalam penjara. Suap-menyuap atau tahu-sama-tahu antara pegawai penjara dan narapidana. Kongkalikong sindikat bohong kadung lumrah di penjara. Koesnoen dulu telah mengusulkan, “Jadi rentetan instansi-instansi tersebut bukannya bertugas memberantas kejahatan, tetapi mendidik penjahat-penjahat. Jika demikian keadaanya lebih baik semua instansi tersebut dibubarkan.” Menengok perbuatan pegawai penjara dan narapidana rasuah di Lapas Sukamiskin sekarang, masih aktualkah saran Koesnoen?*
- Lima Atlet Muslim Turki Pengabdi Jerman
MESUT Özil misuh-misuh . Playmaker Jerman berdarah Turki itu merasa jadi korban diskriminasi rasial induk sepakbola Jerman DFB, media, dan fans Jerman. Padahal, dia merasa mestinya bisa lebih dihargai mengingat pengabdiannya di timnas Jerman telah membuahkan satu trofi Piala Dunia 2014. “Orang-orang dengan latar belakang diskriminatif secara rasial mestinya tak diperbolehkan bekerja di federasi sepakbola terbesar di dunia, di mana banyak pemainnya berasal dari keluarga asing… Saya takkan bermain lagi untuk Jerman, sementara saya mengalami rasisme dan rasa tidak hormat,” cetus Özil dalam berlembar-lembar pernyataannya yang diunggah ke akun Twitter @MesutOzil1088, Minggu (22/7/2018). Publik sepakbola Jerman pun geger. Gara-gara ini, isu etnis muslim Turki di Jerman meroket lagi. Banyak orang bersimpati namun tak sedikit yang menganggap Özil playing victim . Pengamat bola berdarah Jerman Timo Scheunemann tak sepakat jika DFB dan publik Jerman secara keseluruhan berlaku rasis terhadap Özil. “Bahwa ada orang rasis, tentu (ada, red ). Sayangnya di seluruh dunia ada saja manusia-manusia bumi datar seperti itu. Tetapi menggambarkan Jerman dan DFB rasis, tentu kelewatan,” ujar figur yang biasa disapa Coach Timo itu kepada Historia. Timo menambahkan bahwa fokus kritiknya terarah pada performa Özil yang payah dan diperparah dengan kegagalan timnas Jerman di Piala Dunia 2018. “Pernyataan Özil itu dikritik habis di Jerman. Pertama karena tak ada kesan self-criticism sama sekali. Tidak benar juga media Jerman mengkritik asal-usul, bahkan agama,” lanjut Timo yang melihat sendiri kritik terhadap Özil di Jerman kala “mudik” belum lama ini. DFB sendiri membantah telah memperlakukan Özil secara diskriminatif. “Perbedaan menjadi kekuatan, tidak hanya dalam sepakbola, dan itu alasannya kenapa upaya integrasi memiliki kepentingan mendasar di setiap level. Kami hidup berdampingan dengan beragam atlet berlatarbelakang imigran…DFB menyesali keputusan mundur Özil. Tetapi itu tak memengaruhi determinasi kami untuk terus menyukseskan integrasi,” demikian pernyataan DFB di laman resminya, Senin (23/7/2018). DFB menyatakan, integrasi bukan barang baru di Jerman, utamanya di beragam cabang olahraga. Berikut lima atlet berlatarbelakang etnis muslim Turki yang berprestasi dan mengabdi di bawah panji Jerman: Taşkın Aksoy – Sepakbola Taşkın Aksoy kini melatih Fortuna Düsseldorf II (Foto: dfb.de) Di pentas Bundesliga (kompetisi tertinggi sepakbola Jerman), beberapa pemain berdarah Turki telah berkecimpung sejak lama. Sebut saja Özcan Arkoç (Hamburger SV 1967-1975) atau Ali Erdal Keser (Borussia Dortmund 1980-1984). Namun Taşkın Aksoy lebih pas dijadikan perintis lantaran dia memilih kewarganegaraan Jerman. Anak imigran kelahiran Berlin, 13 Juni 1967 itu merintis kariernya di klub Hertha BSC sejak 1986 hingga 1989. Semenjak 2015, Aksoy melatih tim-tim akademi Fortuna Düsseldorf II. Sebagai perintis, Aksoy beberapa kali mengalami rasisme.“Kelompok-kelompok Neo-Nazi bermunculan pasca-reunifikasi (Jerman) 1990 dan laga-laga bola dimanfaatkan untuk mencaci etnis minoritas, terutama imigran Turki. Taşkın Aksoy di antara para pemain berdarah Turki di awal 1990-an yang mengalaminya,” ungkap Ellis Cashmore dan Jamie Cleland dalam Football’s Dark Side: Corruption, Homophobia, Violence and Racism in the Beautiful Game. Mehmet Scholl – Sepakbola Mehmet Yüksel alias Mehmet Scholl (kanan) saat memperkuat Der Panzer di Euro 1996 (Foto: spiegel.de) Mehmet menjadi pelopor pesepakbola berdarah Turki yang memperkuat timnas Jerman –pemain pertama Jerman yang lahir dan berasal dari keluarga imigran Turki adalah Mustafa Doğan (lahir di Isparta, Turki). Pemain kelahiran Karlsruhe, 16 Oktober 1970 dengan nama Mehmet Yüksel itu merupakan putra dari pasutri campuran Jerman-Turki, Hella dan Ergin Yüksel. Nama belakangnya berganti menjadi Scholl pasca-ibunya bercerai dan menikah lagi dengan pria Jerman, Hermann Scholl. Laman DFB mencatat, di timnas Jerman Scholl memegang 36 caps dalam kurun waktu 1995-2002. Dia menjadi motor kala Jerman meraih juara Euro 1996 di Inggris. Salih Avcı – Seni Beladiri Salih Avcı, master Wing Chun & Escrima Jerman berdarah Turki yang melatih satuan-satuan khusus polisi Jerman (Foto: wteo.at) Meski tak lahir di Jerman, Salih Avcı sangat berjasa dalam pendidikan dan pelatihan sejumlah unit khusus kepolisian Jerman. Avcı lahir di Karasu, Turki namun kemudian pindah ke Jerman mengikuti ayahnya pada 1971. Ketertarikan Avcı terhadap seni beladiri Wing Chun membawanya mengasah diri di EWTO atau Organisasi Wing Chun Eropa pada 1980, dan kemudian juga seni beladiri escrima. Tujuhbelas tahun berselang, Avcı membuka padepokan di Aachen, North-Rhein Westphalia (NRW), Jerman Barat pada 1984. Namanya kian menjulang setelah dia mengundang decak kagum petinggi polisi khusus NRW dalam sebuah aksi demonstrasi pada 1992. Sejak itu, Avcı diminta mengajar wing chun dan escrima kepada para personel Spezialiensatzkommandos (SEK) atau polisi komando NRW. Lima tahun setelahnya, Avcı mendirikan organisasi WTEO atau Organisasi Wing Chun-Escrima yang kini sudah punya 100 padepokan di Eropa. Setelah itu, Avcı kian disibukkan oleh permintaan melatih. Tidak hanya di SEK, namun juga di unit Zentrale Unterstützungsgruppe Zoll atau SWAT-nya Jerman dan GSG 9 Grenzschutzgruppe 9 atau Densus 88-nya Jerman. Mithat Demirel – Basket Mithat Demirel salah satu rekan seangkatan Dirk Nowitzky di timnas basket Jerman (Foto: fiba.basketball) Di arena basket, Mithat Demirel disebut-sebut sebagai pionir pebasket timnas Jerman peranakan Turki. Pebasket yang berposisi point guard itu lahir di Berlin, 10 Mei 1978 dari orangtua imigran Turki. Merintis kariernya di klub Alba Berlin sejak 1997, pemain berpostur 181 cm sudah menembus timnas sejak 2001 kala Jerman ambil bagian di Kejuaraan Eropa dan finis di urutan keempat klasemen. Menilik situs Federasi Bola Basket Internasional (FIBA), prestasi tertinggi Demirel bersama timnas Jerman adalah juara tiga Piala Dunia Basket FIBA 2002 dan runner up EuroBasket 2005. Namun ketika menginjak usia 31 tahun, cedera matanya yang tak kunjung sembuh memaksa dia pensiun pada Juni 2009. Setahun setelah pensiun, Demirel dipercaya menjadi Direktur Olahraga Alba Berlin. Dia kemudian menjadi General Manager Darüşşafaka SK, klub basket Turki yang berbasis di Istanbul. Sebagaimana orang berdarah Turki yang acap pulang ke kampung leluhurnya, Demirel tak tutup mata terhadap dinamika politik di Turki. “Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap hubungan Jerman dan Turki, saya melihat Turki mengalami masa-masa sulit dalam beberapa tahun terakhir. Tapi sampai terjadinya invasi ke Suriah, situasi di Turki tiba-tiba bisa tenang,” ujarnya, dikutip Der Tagesspiegel , 24 Januari 2018. Firat Arslan – Tinju Firat Arslan jadi satu dari sedikit petinju berkewarganegaraan Jerman yang mampu mengaitkan sabuk gelar dunia di pinggangnya (Foto: Youtube) Dari gelanggang tinju, muncul nama Firat Arslan yang lahir di Friedberg, 28 September 1970 dari orangtua asli Turki. Memulai kariernya di tinju profesional pada 1997, petinju kidal kelas jelajah ini menjalani total 53 pertarungan dengan catatan 43 kemenangan (28 menang KO), tiga kali kalah, dan dua kali imbang. Salah satu hasil imbangnya didapat dalam pertarungan tersengit sepanjang kariernya, saat menghadapi Vadim Tokarev asal Rusia di Nürburgring, 16 Agustus 2003. Pertarungan itu memperebutkan gelar kelas jelajah IBF Inter-Continental. John Grasso dalam Historical Dictionary of Boxing terbitan 2014 mencatat, Arslan merupakan satu dari (hanya) 19 petinju Jerman yang pernah mengaitkan sabuk gelar dunia. Gelar dunia pertama yang dikoleksi Arslan adalah sabuk WBA dunia kelas jelajah, pascamenang angka dari Valery Brudov (Rusia) pada 16 Juni 2007 di Porsche-Arena, Stuttgart. Arslan dua kali sukses mempertahankannya sampai akhirnya dicuri Guillermo Jones. Arslan kalah TKO di ronde 10 dari petinju Panama itu di Color Line Arena, Hamburg, 27 September 2008.
- Demi Ibu Pertiwi dan Nasib Kaum Putri
KERELAAN Artinah Samsuddin, istri mantan Walikota Sukabumi Mr. Samsuddin, membiarkan rumahnya di Gerjen, Yogyakarta didatangi para gerilyawan membuatnya dicurigai melindungi para gerilyawan republik. Alhasil, beberapa serdadu Belanda/NICA mendatanginya. Mereka memerintahkan Artinah menghadap ke sebuah pos militer. “Aku dituduh sebagai mata-mata kaum Republik. Aku merasa ngeri dan cemas. Tapi tekadku sudah mantap, apapun yang terjadi pada diriku, tidak akan berkhianat membuka rahasia,” ujar Artinah dalam memoarnya di buku Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi: Kumpulan Pengalaman dan Pemikiran. Buku II , “Pengalaman Fantastis Lolos dari Lubang Jarum”. Pengalaman mengerikan Artinah saat Agresi Militer Belanda II itu menjadi bagian dari risiko perjalanan hidupnya sebagai pejuang. Perjuangan Artinah bermula saat usinya 18 tahun. “Pada usia delapan belas tahun aku mulai merasakan getaran-getaran semangat perjuangan pada sekujur tubuhku. Aku sadar, belum terlambat untuk ikut berjuang. Kesadaran inilah yang menggerakkan nuraniku untuk ikut berjuang dalam pergerakan nasional,” ujarnya. Artinah bergabung dengan Indonesia Muda (IM). Saat menghadiri Kongres Pemuda II, yang menghasilkan Sumpah Pemuda, dia bertemu kembali guru idolanya yang populer disapa Ibu Sud. “Sejak itu aku selalu ikut bersama-sama beliau dan teman-teman yang lain bermain tonil (sandiwara) yang dipimpin oleh Mr. Moh. Yamin.” Kedekatan dengan para tokoh pergerakan membuat hasratnya ikut berjuang memerdekakan Indonesia makin kuat. “Karena begitu bersemangatnya, kadang-kadang kami bertindak berlebihan sebagai layaknya anak-anak muda yang aktif dalam dunia pergerakan, kami tidak ingat waktu, tidak ingat keluarga apalagi memikirkan hari depan pribadi.” Di sela-sela kesibukannya mengajar bahasa Belanda di sebuah sekolah di Kwitang, Jakarta, Artinah dan teman-temannya aktif memberi ceramah, mengadakan aktivitas pemberantasan buta huruf, dan kegiatan-kegiatan sosial lain. Suatu kali, saat sudah pindah tempat mengajar ke Ardjoena School di Petojo, Artinah berurusan dengan dinas intelijen kolonial PID. Musababnya, saat berpidato di sebuah pertemuan IM Artinah mengucapkan kata “merdeka”. Selain diinterogasi PID, Artinah juga terancam kehilangan pekerjaan. Tapi pembelaan gigih dari Mr. P. Post, seorang Belanda penganut Politik Etis, dan guru-guru lain membuatnya tak jadi dipecat. Aktivitas Artinah berlanjut ketika dia mendampingi suaminya tugas belajar di Belanda. Di negeri kincir angin, dia bergabung dengan Perhimpunan Indonesia (PI). Mereka aktif memberantas buta huruf yang umum terdapat pada para babu dan jongos Indonesia yang dibawa tuan mereka ke Belanda. Sambil mengajar membaca, mereka juga menanamkan nasionalisme. Pada 1933, Artinah diutus PI mewakili Indonesia di Konferensi Internasional untuk Perdamaian dan Anti-Fasisme yang dihelat di Selle Pleyel, Paris. “Karena meningkatnya kekuasaan Hitler semakin jelas, gerakan anti-fasis tahun 1930-an tumbuh yang kecil tumbuh untuk menjangkau banyak orang. Dua konferensi untuk perdamaian diadakan di Amsterdam pada 1932 dan di Salle Pleyel Paris pada 1933. Kaum perempuan yang hadir dengan kekuatan besar di kamp-kamp perdamaian anti-fasis tak bisa diragukan lagi mulai saat itu,” tulis Sian Reynolds dalam France Between the Wars: Gender and Politics . Sekembalinya ke tanah-air, dia berjuang lewat organisasi Istri Sedar sambil mendampingi suaminya yang jabatannya terus meningkat. Semasa pendudukan Jepang, Artinah aktif di Fujinkai. Dia aktif membantu Sukarno dan para tokoh bangsa yang menggembleng muda-mudi di Menteng 31. Saat itulah dia pernah mempermasalahkan seorang murid Sukarno yang melecehkan anak buahnya. Artinah melaporkannya pada Sukarno dan Sukarno langsung memarahi murid itu. “Esok harinya pemuda itu datang kepada anak buah saya dan juga kepada saya untuk meminta maaf,” kenang Artinah. Setelah proklamasi, Artinah berjuang di Sukabumi, tempat suaminya menjabat sebagai walikota. Bersama istri Abu Hanifah, tokoh Masyumi, dia memberi pelatihan bermacam keterampilan kepada para pemudi dari berbagai pelosok. Kegiatan itu terhenti begitu pasukan Sekutu masuk Sukabumi. Mereka lalu berjuang dengan cara mengirim makanan untuk para gerilyawan. “Aku bersama Ibu Abu Hanifah dan ibu-ibu pejuang lainnya setiap hari dengan tidak mengenal lelah dan takut terus mengirimkan bahan makanan untuk para pejuang kita yang berada di front Lido, Jawa Barat,” ujar Artinah. Menyusul didudukinya Sukabumi, Artinah mengikuti suaminya mengungsi ke Yogyakarta. Selain mengadakan dapur umum, Artinah mengizinkan rumahnya jadi basis gerilya. Hilir-mudi para gerilyawan ke rumahnya mengundang kecurigaan NICA. Beberapa hari sebelum diinterogasi pasukan Belanda, Artinah mengantarkan makanan ke istri Panglima Sudirman di tempat persembunyiannya. Interogasi terhadap Artinah berjalan lama dan menegangkan. Seorang perwira yang menginterogasinya amat marah lantaran Artinah selalu menjawab pertanyaan dengan tidak tahu. Namun, suasana mendadak berubah ketika Artinah berbicara dengan anaknya menggunakan bahasa Belanda. Perwira itu langsung menaruh sikap hormat begitu Artinah menjelaskan dia pernah tinggal di Belanda dan mengajar bahasa Belanda semasa muda. “Kata-kataku sangat mengena di hatinya. Setelah ia berpikir sejenak sambil mengangguk-anggukkan kepala, aku diperbolehkan pulang sambil dinasehati agar lebih berhati-hati dan jangan membantu para gerilyawan republik,” ujar Artinah. Nasehat perwira Belanda itu tak menyurutkan tekad Artinah membantu perjuangan. Maka ketika Sultan Hamengku Buwono IX memintanya membantu ibu-ibu mengumpulkan bantuan dana untuk membantu perjuangan, Artinah amat semangat. Perjuangan Artinah berlanjut lewat Kowani pasca-Pengakuan Kedaulatan. “Untuk semua yang kulakukan itu, setelah aman aku mendapat tanda terimakasih berupa sebidang tanah dari penduduk yang terletak di Kauman, namun tanah itu kuwakafkan kembali. Malu rasa hati menerima hadiah karena apalah arti perjuanganku bila dibandingkan pengorbanan saudara-saudara setanah air yang lain.”
- Koro Juga Menghinggapi Perempuan
JIKA lelaki yang terserang koro merasakan histeria akibat rasa takut penis menyusut, perempuan yang terserang koro akan mengalami delusi penyusutan pada organ reproduksi, labia (bibir vagina), dan puting payudara. Pada dasarnya, gejala koro pada lelaki dan perempuan mirip: sakit di sekujur tubuh, kepanikan, dan merasa ada penyusutan pada organ reproduksi. Laporan pertama tentang koro pada perempuan ditemukan GD Shukla dan DN Mishra di India akhir 1982, dimuat dalam “Koro-like Syndrome”. Kala itu sedang terjadi wabah koro, lelaki dan perempuan sama-sama terserang. Pemicunya, buruknya komunikasi di antara mereka. Alih-alih memperingatkan adanya sindrom itu, masyarakat yang khawatir malah menyebarkan rumor penyakit tersebut sehingga memunculkan ketakutan. Histeria massal pun terjadi di wilayah perbatasan Utara Benggala, Assam, dan Megalaya. Para perempuan yang, kebanyakan berasal dari keluarga berpendidikan dan berpenghasilan rendah serta percaya takhayul, mendengar kabar buruk akan adanya ancaman terhadap organ reproduksi mereka pun jadi sama kahawatir dengan para lelaki. Mereka akhirnya juga terserang sindrom koro dan koro pun mewabah. Kebanyakan penderita adalah perempuan lajang yang belum memahami betul tubuhnya sendiri. Faktor lain yang menyebabkan kemunculan koro adalah kondisi pasien sebelum terserang sindrom itu. Menurut Amitava Dan bersama tim risetnya dalam “Socio Demographic Profile and Treatment Seeking Behaviour of Koro Patients in an Epidemic Reported from West Bengal, India”, faktor itu antara lain kurangnya kepercayaan seksual, peran agama yang menonjol, dan ketidakpercayaan diri akan kondisi tubuh. Hal itu harus diperhatikan para dokter ahli jiwa. Penelitian baru tentang sindrom koro yang diterbitkan Amitava Dan pada 2016, menunjukkan peningkatan jumlah pasien koro perempuan. Padahal, wabah koro di India, Singapura, dan Tiongkok pada akhir 1960-an-1990-an hampir tak melanda perempuan. Laporan tentang pasien koro perempuan sangat sedikit, tapi keluhan mereka dicatat cukup detail. Akar persoalan koro pada lelaki dan perempuan sebetulnya sama: konstruksi budaya. Organ reproduksi lelaki dan perempuan diatur oleh seperangkat norma, yang ujungnya menjadi tabu ketika berbicara urusan reproduksi. Di samping ditabukan, organ reproduksi juga diagungkan secara berlebihan sehingga dijadikan sebagai tolok ukur manusia paripurna. “Fenomena koro dikenal di berbagai kelompok etnis di Asia Tenggara dan Afrika. Biasanya muncul dalam budaya-budaya yang menggunakan kemampuan reproduksi sebagai penentu utama kualitas seseorang,” tulis Dan. Koro adalah buah dari pengagungan secara berlebihan yang akhirnya menjadi momok menakutkan. Lelaki ketakutan penis dan pelirnya menyusut dan perempuan takut bibir vagina dan putingnya menyusut. Mengenai jumlah pasien lelaki lebih banyak dibanding perempuan meski seksualitas perempuan diatur lebih ketat, menurut Dan, biang keladinya adalah ketabuan. Gangguan kejiwaan sampai hari ini adalah tabu yang urung dibahas, terlebih gangguan kejiwaan terkait seksualitas. Ketika seksualitas perempuan dijaga ketat bahkan dilarang untuk dibicarakan, gangguan kejiwaan terkait seksualitas yang diderita perempuan adalah aib yang harus dikubur dalam-dalam. Akibatnya, laporan tentang perempuan yang terkena sindrom koro lebih sedikit. “Akses ke tenaga medis lebih baik untuk pria. Bahkan jika perempuan memiliki akses ke dokter, seksualitas dan masalah-masalah perempuan lebih diabaikan dalam masyarakat India,” tulis Dan. Hingga kini di Indonesia laporan tentang pasien koro perempuan belum ditemukan. Tapi yang pasti, pengaturan terhadap genitalia laki-laki dan perempuan juga ada di beragam budaya, termasuk Indonesia. Pada masyarakat yang masih kolot, pembicaraan tentang genitalia merupakan hal sensitif sehingga menghalangi orang memahami tubuhnya sendiri. “(Kesalahpahaman tentang koro, red. ) hanya dapat dimodifikasi oleh pendidikan,” tulis Dan.
- Pertemuan Soeharto dan Dewi di Lapangan Golf
TAK lama setelah menerima Supersemar (Surat Perintah 11 Maret 1966), Panglima Kostrad Mayjen TNI Soeharto bertemu dengan Ratna Sari Dewi di lapangan golf di Rawamangun, Jakarta Timur. Pertemuan itu diatur dengan hati-hati mengingat Dewi adalah istri Presiden Sukarno.
- Özil dan Perkara Peranakan Muslim Turki
MESUT Özil, playmaker Jerman, memutuskan pensiun membela timnas Jerman. Playmaker berdarah Turki itu sakit hati dan menumpahkan curhat -nya panjang lebar via akun Twitter pribadi, @MesutOzil1088, Minggu (22/7/2018). Özil merasa dikambinghitamkan secara politis terkait kegagalan Jerman di Piala Dunia 2018. Fotonya bersama Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan dan Ilkay Gündoğan, yang juga pemain Jerman berdarah Turki, di sebuah acara amal di London, Inggris pada 14 Mei 2018 diungkit oleh sejumlah fans, media Jerman, dan terutama Presiden DFB (Induk Sepakbola Jerman) Reinhard Grindel. “Saya takkan lagi bermain untuk Jerman di level internasional, di mana saya mengalami rasisme dan sikap tidak hormat. Di mata Grindel dan para pendukungnya, saya hanya jadi orang Jerman saat kami menang, namun saya dianggap imigran saat kami kalah,” ketus Özil. Banyak yang bersimpati, namun banyak pula yang ikut mengkritik Özil. Pengamat dan kolumnis sepakbola berdarah Jerman Timo Scheunemann memaparkan, kasus itu mestinya tak jadi besar kalau sedari awal Özil memberi klarifikasi. Mesut Ozil (kedua dari kiri) yang berfoto bareng Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan (kedua dari kanan) beserta Ilkay Gundoğan (kiri) & Cenk Tosun (Foto: Kantor Berita Anadolu Agency) “Foto itu dikritik pedas karena timing -nya sebelum pemilihan presiden Turki. Di Jerman banyak orang Turki sehingga Özil sengaja atau tidak, tentu membantu Erdoğan meraup suara di Jerman. Dalam pernyataannya, Özil membenarkan atau sama sekali tidak mengakui kesalahannya. Beda dengan Gündoğan. Alasan Özil tak melakukannya secara politis naif karena dari sisi sang politisi pasti menggunakan momen tersebut,” ujar sosok yang biasa disapa Coach Timo itu kepada Historia. Meski manajer timnas Oliver Bierhoff dan pelatih Joachim Löw tak menanggapi isu foto itu secara serius sejak awal, sikap diam memicu keresahan di internal Die Mannshaft . “Mereka seharusnya bisa menyuruh Özil membuat pernyataan demi ketenangan dalam tim,” lanjutnya. Alih-alih menjelaskan, Özil malah menyatakan media-media Jerman berstandar ganda lantaran tak memberitakan buruk foto legenda Jerman Lothar Matthäus bersama Presiden Rusia Vladimir Putin. Bagi Timo, kasus Özil dan Matthäus harus dibedakan konteksnya. “Matthäus tak menulis ‘My President’ dan tidak dalam konteks kampanye. Meski Putin juga sangat dikritik di Jerman. Sementara pernyataan ‘My President’ yang ditulis Gündoğan secara tidak langsung diamini Özil, tidak disertai pernyataan seperti contohnya: ‘Tapi saja juga cinta Jerman, kok ’,” sambung Timo. Meski ada hak Özil untuk mendukung Erdoğan –sosok presiden yang oleh publik Jerman dianggap menindas kebebasan pers– sekalipun, diamnya Özil saat foto itu jadi isu politis membuat suasana jadi keruh. “Tidak benar media Jerman mengkritik asal-usul bahkan agama. Kebetulan saya sedang di Jerman dan melihat sendiri kritikan pada Özil. Intinya, dia main jelek dan tidak memberikan penjelasan soal foto. Kalau soal Grindel, bos DFB itu juga dikritik keras. Pakar-pakar bola Jerman menganggapnya amatiran,” lanjutnya. Muasal Imigran Turki di Bumi Jerman Masyarakat berdarah Turki sendiri, sebagaimana dituangkan David Horrocks dan Eva Kolinsky dalam Turkish Culture in German Society Today , merupakan etnis minoritas terbesar di Jerman dengan sebutan Deutsch-Türken. Mereka sudah menetap permanen di beberapa wilayah Jerman pasca-Pertempuran Wien (kini ibukota Austria) antara Koalisi Kristen (Polandia, Lithuania, Austria, Bavaria, Swabia, Saxony, Franconia, Habsburg Hungaria, dan Zaporozhian) melawan Kesultanan Usmani, 12 September 1683. Mereka kemudian mulai dirangkul. Sejumlah orang Turki di Jerman dijadikan serdadu bayaran Kerajaan Prusia pada 1701. Jørgen Nielsen dalam Muslims in Western Europe menuturkan, jumlah terbesar serdadu muslim berdarah Turki di bawah panji Prusia mencapai 1000 orang, yang ditugaskan di unit kavaleri di bawah Raja Frederick William I. Itu berlanjut terus, termasuk saat Prusia diperintah Frederick II. Masyarakat etnis Turki rutin menggelar Türkischer Tag atau Hari Turki sejak 2002 di Berlin (Foto: Wikimedia) “Semua agama sama baiknya, selama mereka bersikap tulus dan bahkan jika orang Turki ingin jadi bagian dari populasi di negeri ini, kami akan membangunkan masjid dan tempat-tempat persembahyangan bagi mereka,” cetus Frederick II pada 1740, dikutip Otto Bardon dalam Friedrich der Grosse. Kata-kata itu terealisasi pada 1779 kala masjid pertama di Jerman dibangun di kompleks Istana Schwetzingen. Pada 1798, situs pemakaman muslim pertama dibangun dalam rangka memakamkan Ali Aziz Efendi, seorang utusan Kekaisaran Ottoman. Hingga abad ke-20, kultur Turki mulai berbaur dalam masyarakat Jerman. Hubungan politik Jerman dan Turki-Usmani kian erat setelah bermitra dalam Perang Dunia I. Bangkitnya Jerman pasca-Perang Dunia II tak lepas dari peran orang-orang Turki. Saat Jerman mengalami krisis buruh pada 1961, pemerintah Jerman Barat meneken perjanjian dengan pemerintah Republik Turki mengenai perekrutan buruh dengan dengan status Gastarbeiter atau buruh tamu. Para buruh itu diperkenankan membawa keluarga untuk bekerja di Jerman. Tumbuhnya komunitas Turki kian meningkat setelah eksodus orang-orang Turki dari Bulgaria pada 1974. Terlepas dari adanya sentimen anti-imigran dari kelompok sayap kanan Jerman, sejak 1990 para buruh Turki mulai mengajukan naturalisasi menjadi warga Jerman jika sudah mencapai usia 18 tahun sesuai Undang-Undang Kewarganegaraan Jerman. UU itu memperbolehkan naturalisasi dengan syarat seseorang tidak boleh memiliki status dwi-kewarganegaraan. “Kalau kita mengizinkan dwi-kewarganegaraan, tak lama lagi akan ada empat, lima atau enam juta orang Turki di Jerman, bukannya tiga juta,” cetus Kanselir Jerman Helmut Kohl pada 1997, dikutip Philip L. Martin dalam Germany: Managing Migration in the Twenty-First Century . Namun, UU Kewarganegaraan 1999 menetapkan, orang-orang Turki baru bisa mengajukan status warga negara setelah delapan tahun tinggal di Jerman. Sementara, keturunannya tetap diperbolehkan memegang dwi-kewarganegaraan sampai usia 23 tahun dan harus memilih antara Turki atau Jerman setelahnya. Mehmet Scholl, pemain berdarah Turki pertama di Timnas Jerman (Foto: dfb.de) Khusus untuk atlet sepakbola, “naturalisasi” mulai eksis sejak 1993 kala timnas Jerman menjadikan Mehmet Yüksel sebagai pilarnya. Gelandang Bayern Munich kelahiran Karlsruhe, 16 Oktober 1970 itu ibunya, Hella, seorang Jerman dan ayahnya, Ergin Yüksel, seorang Turki. Nama belakangnya berganti “Scholl” setelah ibunya bercerai dan menikah lagi dengan pria asli Jerman, Hermann Scholl. Scholl membuka jalan bagi banyak pemain berdarah Turki lain yang mengikuti jejaknya masuk timnas Jerman. “Makanya saya juga menyayangkan hal yang relatif kecil bisa jadi besar. Soal Özil, karena tidak langsung beri penjelasan: 'Maaf, tak ada maksud politis. Saya sendiri cinta Jerman dan Turki'. Bahwa ada orang rasis (di Jerman), tentu iya. Sayangnya di seluruh dunia juga ada manusia-manusia bumi datar seperti itu. Tetapi menggambarkan Jerman dan DFB rasis, tentu kelewatan,” tandas Timo.





















