Hasil pencarian
9580 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Si Bung dan Dua Gadis Jepang
AWAL 1966. Indonesia bergolak. Di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, ribuan demonstran nyaris tiap hari tumpah ruah ke jalanan. Selain menuntut penurunan harga, rombak kabinet dan pembubaran PKI (Partai Komunis Indonesia), mereka pun mengeritik tingkah polah Presiden Sukarno yang dinilai tidak peka terhadap penderitaan rakyat. Salah satu yang dikritik mahasiswa adalah kebiasaan Bung Karno memiliki banyak istri. Dalam Angkatan 66: Sebuah Catatan Harian Mahasiswa karya Yozar Anwar disebutkan bagaimana pada 9 Februari 1966, serombongan mahasiswa Jakarta berparade dalam dandanan ala geisha (perempuan penghibur Jepang) lengkap dengan o-icho (sanggul tradisional Jepang) dan kimono khas-nya. Di dada mereka sebuah poster tergantung dengan tulisan yang berbunyi: “Gundik-Gundik Impor” Kata-kata di poster itu sangat jelas ditujukan kepada Bung Karno. Seperti sudah umum diketahui, selain memiliki istri-istri pribumi, Sukarno pun mengambil seorang gadis Jepang bernama Naoko Nemoto menjadi pendamping hidupnya. Namun rupanya Naoko Nemoto bukanlah perempuan Jepang pertama yang hadir dalam hidup Bung Karno. Menurut seorang penulis Jepang bernama Masashi Nishihara, empat tahun sebelum menikahi Naoko, Si Bung ternyata pernah menjalin cerita cinta dengan seorang gadis Jepang yang lain. Namanya Sakiko Kanasue. “Ia adalah seorang model fesyen,” tulis Nishihara dalam The Japanese and Sukarno's Indonesia . Perjumpaan kali pertama Bung Karno dengan Sakiko terjadi di Kyoto. Begitu berkenalan, nampak sekali Si Bung sudah merasa tertarik dengannya. Sinyal cinta sang presiden rupanya tidak disia-siakan oleh Kinoshita, sebuah perusahaan Jepang yang memiliki kepentingan menanamkan investasi di Indonesia saat itu. Jadilah Sakiko ‘dibawa’ oleh grup Kinoshita sebagai bagian dari lobi bisnis tingkat tinggi di Indonesia. Ternyata Sukarno memang benar-benar suka kepada Sakiko. Maka pada suatu hari di penghujung 1958, didatangkanlah Sakiko ke Indonesia, sebagai “pengajar anak-anak ekspatriat Jepang” di Jakarta dan ditempatkan dalam wilayah elite Menteng. Namun aslinya, menurut Nishihara, Sakiko sebenarnya dijadikan sebagai salah satu nyonya rumah bagi Sukarno. Lengkap dengan nama Indonesianya: Nyonya Basuki. Namun menurut sejarawan Aiko Kurasawa, hubungan Sukarno-Sakiko tak berlangsung lama. Diperkirakan itu terjadi karena setahun kemudian, saat mengunjungi Jepang untuk kesekian kali, Sukarno jatuh cinta kembali kepada seorang perempuan Jepang berusia 19 tahun bernama Naoko Nemoto. Perempuan Jepang yang cantik itu ternyata menjadi andalan grup Tonichi (saingan Kinoshita) untuk memuluskan jalur bisnis perusahaan tersebut di Indonesia. Singkat cerita, sekembali dari Jepang Sukarno mengundang Naoko Nemoto untuk berlibur ke Indonesia. Tahun 1959, tepatnya di hari keempat belas dalam bulan September, Naoko dengan suka cita datang ke Indonesia. Menurut penulis CM Chow, Naoko datang tidak sendiri, ia didampingi oleh dua gadis Jepang cantik lainnya. “Mereka ditempatkan di rumah yang disediakan secara khusus oleh perusahaan Tonichi di Jakarta,“ tulis CM Chow dalam Autobiography as told to Atoh Matsuda . Lalu bagaimana nasib Sakiko setelah kedatangan Naoko? Entah merasa dirinya “terbuang” atau mungkin ada masalah lain, diberitakan dua minggu usai kunjungan Naoko itu, Sakiko Kanasue memilih mengakhiri hidupnya dengan cara memutus urat nadi. “Jasad Sakiko dimakamkan secara diam-diam di Pemakaman Blok P, namun sekitar akhir tahun 1970-an, kerangka Sakiko dipindahkan oleh keluarga besarnya ke Jepang,” ungkap Aiko. Demi mendengar kabar menyedihkan itu, Sukarno sendiri konon sempat shock dan berurai air mata. Tapi, umumnya lelaki di dunia, duka itu bisa terhapus seketika. Obatnya? Apalagi jika bukan Naoko yang tiga tahun setelah kejadian itu, akhirnya dinikahi secara resmi oleh Sukarno. Kelak nama gadis Jepang kedua-nya itu dia ubah menjadi lebih me-Nusantara: Ratna Sari Dewi.
- Berkabung untuk Setan Merah
STADION Old Trafford hening pada petang 6 Februari 2018. Legenda hidup Sir Bobby Charlton dan Harry Gregg bersama jajaran petinggi dan staf klub Manchester United, para pemain dan pelatih Jose Mourinho, serta fans khidmat mengheningkan cipta selama satu menit. Usai mengheningkan cipta, di bawah hujan salju Mourinho memimpin para pemainnya meletakkan karangan bunga di sebuah panggung kecil dengan backrop hitam bertuliskan “Munich, 60 Years”. Para fans Manchester United (MU) yang hadir langsung menyambut dengan standing applause . Di waktu bersamaan, para bos klub Jerman Bayern Munich juga menghelat peringatan serupa meski tak sebesar di Manchester. Ketua klub Karl-Heinz Rummenigge dan Presiden Bayern Uli Hoeness memimpin acara yang dihadiri oleh Walikota Munich Dieter Reiter dan duta MU Denis Irwin itu. Mereka meletakkan karangan bunga di sebuah tugu peringatan di Manchesterplatz, Kota Munich. Sekira 1000 orang dengan bermacam atribut MU memadati Manchesterplatz petang itu. “Kepada para fans Manchester United, izinkan saya memperingati mereka hari ini, di saat kita berkabung bersama dengan disertai janji: Wir warden Euch nie vergessen (kami takkan melupan mereka,” cetus Rummenigge sebagaimana dilansir situs resmi klub, fcbayern.com . Mereka semua hadir di Manchester maupun Munich untuk memperingati 60 tahun “Munich Air Disaster” atau musibah yang menewaskan sejumlah pilar MU di Bandara Munich-Riem, Jerman pada pukul 03.03 petang, 6 Februari 1958. Selama enam dekade, hari terjadinya musibah itu dikenang publik sebagai salah satu hari paling menyedihkan dalam sepakbola. Akhir Tragis Busby Babes Tim besutan Matt Busby baru saja membawa pulang “tiket” ke semifinal European Cup (sebutan lama Liga Champions) dari Belgrade, Yugoslavia. Laga leg kedua perempatfinal kontra Red Star Belgrade, 5 Februari 1958, yang berakhir 3-3 cukup membuat mereka melaju ke semifinal berkat keunggulan agregat 5-4 (Manchester menang 2-1 di leg pertama). Dengan sukacita mereka pulang menggunakan pesawat carteran Airspeed AS-57 Ambassador milik maskapai British European Airways dengan nomor penerbangan 609. Dari Bandara Zemun, Belgrade, pesawat transit untuk mengisi bahan bakar di Bandara Munich-Riem. Namun saat hendak lepas landas lagi, pilot James Thain merasakan ketidakberesan pada mesin pesawat. Dua kali percobaan lepas landas, pesawat gagal terbang. Para penumpang pun turun dan menunggu di bandara. Keadaan tak mengenakkan itu, ditambah kian lebatnya hujan salju, melecutkan firasat dalam diri striker Liam Whelan. “Kejadian ini bisa berarti kematian, namun saya siap,” cetus Whelan, dikutip Jim White dalam Manchester United: The Biography . Setelah menunggu sekira 15 menit di bandara, para penumpang diinstruksikan untuk naik ke pesawat guna percobaan take-off ketiga. Namun ketika melaju untuk lepas landas, pesawat tergelincir di landasan hingga menabrak pagar landasan dan sebuah rumah di dekatnya. Badan pesawat hancur dan sebagian terbakar. Para penumpang dan kru yang selamat panik. Kiper Harry Gregg, satu dari beberapa yang selamat, langsung berinisiatif menyeret orang-orang yang masih selamat dari puing-puing pesawat, termasuk pelatih Matt Busby. Kecelakaan itu langsung menewaskan tujuh anggota “ Busby Babes ” (julukan bagi para pemain MU asuhan Matt Busby), Geoff Bent, Roger Byrne, Eddie Colman, Mark Jones, David Pegg, Tommy Talyor, dan Liam Whelan; tiga staf tim; delapan jurnalis Inggris; seorang travel agent ; dan seorang suporter MU yang merupakan sahabat Busby; dan dua kru pesawat. Dua kru itu masing-masing pramugara Tom Cable dan kopilot Kenneth Rayment. Duncan Edwards, salah satu pemain yang selamat, meninggal 15 hari kemudian akibat luka-luka yang dideritanya. Pasca-kejadian, butuh waktu lama tim "Setan Merah" untuk pulih dari duka. Meski begitu, Matt Busby masih bisa membangun kembali generasi kedua “Busby Babes” dengan bermodalkan para pemain lama yang selamat: Gregg, Charlton, Bill Foulkes, Kenny Morgans, Albert Scanlon, Dennis Viollet dan Ray Wood. Dua pemain lain, Johnny Berry dan Jackie Blanchflower, tak pernah merumput lagi usai kecelakaan itu akibat trauma dan cedera permanen.
- Polisi Khusus Bentukan Daendels
DI zaman kolonial, Tegal yang terletak di pantai utara Jawa Tengah, merupakan daerah pemasok beras ke bagian timur Nusantara. Karena punya nilai strategis, pemerintah kolonial secara khusus memproteksi kawasan ini. Pramoedya Ananta Toer dalam Jalan Raya Pos, Jalan Daendels menyebut keamanan di kota Tegal dilakukan oleh sejenis kesatuan polisi pribumi berkuda. Mereka berseragam dan berpeci biru dengan senjata kelewang dan pistol. Kesatuan tersebut dinamai: Jayeng-sekar. “Pasukan ini berada di bawah perintah masing-masing kepala distrik (kabupaten) tetapi di ibukota karesidenan (prefektur setara provinsi, red. ) di bawah pejabat kulit putih,” tulis Pram. Prajurit Pilihan Dalam Kamus Sansekerta Indonesia, Jayengsekar berarti nama kesatuan prajurit kraton. Pakar sejarah militer Indonesia, Nugroho Notosutanto menyebut Jeyengsekar sebagai salah satu diantara penerus tradisi keprajuritan Indonesia dalam bentuk yang sudah dicampuri unsur-unsur Barat. Pasukan khusus ini berupa detasemen kavaleri yang dibentuk oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels. Prajurit Jayengsekar direkrut dari kalangan anak-anak elite pribumi yang tak tertampung dalam birokrasi kolonial. Mereka juga tak dapat bekerja sebagai petani karena terbentur kelas sosial. Pada 1 September 1808, Daendels melakukan reorganisasi pemerintahan di Pantai Timur Laut Jawa dan ujung timur Jawa. Daendels tetap mempertahankan bupati sebagai penguasa tertinggi orang pribumi dan harus mengikuti perintah prefek, penguasa orang Eropa. Maka pada setiap prefektur dibentuk pasukan pengawal pribumi yang disebut Jayengsekar yang berjumlah antara 50–100 orang, tergantung dari luasnya wilayah. Menurut Nugroho dalam Tentara Peta pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia dengan memobilisasi prajurit Jayengsekar, pemerintah Belanda mencapai dua tujuan. Pertama, mencegah terjadinya pengangguran yang mungkin akan menjadi elemen berbahaya dalam masyarakat kolonial. Kedua, mereka bisa dikerahkan untuk mengisi kekurangan tenaga militer; melakukan tugas kepolisian sewaktu-waktu terjadi gejolak. Berasal dari anak negeri pilihan, Prajurit Jayengsekar dikenal cerdas dan tangkas. Mereka mendapat pelatihan militer, senjata (bayonet, sangkur, dan pistol), dan kuda berkualitas. Penggunaan seragam dan tanda-tanda kemiliteran secara khusus kian menan dai ciri Jayengsekar sebagai polisi profesional. Tersebar di sembilan prefektur, Jayengsekar bertugas menjaga keamanan dan melindungi warga di wilayahnya. Mereka dipimpin oleh perwiranya sendiri –berpangkat setara bupati– yang berjumlah tiga orang untuk setiap daerah komando. Sementara para bintara dan prajurit Jayengsekar diberikan pangkat setara para mantri besar dan mantri kecil agar berbeda dengan orang kebanyakan. “Pasukan Jayengsekar akan memperoleh sejumlah petak sawah di setiap distriknya,” tulis Djoko Marihandono dalam disertasinya di Universitas Indonesia berjudul “Sentralisme Kekuasaan Pemerintahan Herman Willem Daendels di Jawa 1808–1811. “Sawah-sawah yang digunakan sebagai ganti gaji para prajurit Jayengsekar diambil dari seluruh kabupaten yang berada di bawah prefektur sesuai dengan luas tanah dan jumlah penduduknya,” Berdasarkan pasal 25 Ordonantie den 18 Augustus 1808 , Djoko Marihandono mencatat sejumlah pasukan Jayengsekar di berbagai prefektur. Untuk wilayah Tegal dibentuk 80 pasukan Jayengsekar dengan kekuatan 80 prajurit; Pekalongan 50 prajurit; Semarang 100 prajurit; Jepara 100 prajurit; Rembang 50 prajurit; Gresik 50 prajurit; Surabaya 80 prajurit; Pasuruan 100 prajurit; Sumenep 100 prajurit. Selama tiga tahun memerintah Jawa, Daendels melaporkan kepada kaisar Prancis Napoleon Bonaparte bahwa dirinya telah merekrut sebanyak 13.838 pasukan Jayengsekar. Dibubarkan Jayangsekar tercatat dalam berbagai palagan penting. Ketika Inggris menyerbu Jawa pada 1811, Jayengsekar ikut memperkuat pertahanan Belanda yang saat itu dipimpin Gubernur Jenderal Janssens. Dalam Pertempuran Jatingaleh di Semarang, sebanyak 50 prajurit Jayengsekar menjadi garda terakhir. “Mereka gagah berani, namun jumlahnya tidak mencukupi,” tulis sejarawan Prancis Jean Rocher dalam Perang Napoleon di Jawa 1811: Kekalahan Memalukan Gubernur Jenderal Janssens. Sejarawan Universitas Indonesia Saleh As'ad Djamhari juga mengungkap keterlibatan Jayangsekar dalam Perang Diponegoro. Dalam disertasinya “Stelsel Benteng dalam Pemberontakan Diponegoro 1827–1830, Saleh mencatat sebanyak satu detasemen Jayengsekar dari Tegal didatangkan untuk menghadang pasukan Diponegoro yang hendak menyerang benteng Belanda di Bagelen. Pada operasi militer lain, barisan Jayengsekar dari Kendal masuk ke dalam Kolone Mobil 11 pimpinan Mayor Michiels. Ekspedisi yang diperintahkan Jenderal de Kock tersebut bertujuan untuk merebut dan menguasai kembali wilayah Mataram, Bagelen, dan Ledok selama tahun 1828. Begitu pula, Jayengsekar berperan dalam memadamkan kerusuhan di Cirebon pada 1830. Dalam perkembangannya, Jayengsekar menjadi kekuatan polisional yang begitu diandalkan pemerintah kolonial. Tetapi lambat laun, kemunduran terjadi pada mereka. Akibatnya disipilin pasukan memudar. Gejala pembangkangan yang mulai terlihat membuat pemerintah bersiap membubarkan Jayengsekar. “Pasukan Jayengsekar yang merasa dirinya berjasa, akhirnya sukar dikendalikan karena merasa kedudukannya terlalu tinggi untuk menjalankan tugas-tugas polisi, sehingga mereka sebagai aparatur kepolisian sudah tidak memenuhi syarat-syarat lagi,” tulis Suparno dalam Perkembangan Kepolisian dari Zaman Klasik–Modern. Dalam roman sejarah berjudul Semua untuk Hindia, Iksaka Banu menggurat sisi lain di balik pembangkangan pasukan Jayengsekar. Tak ada lagi kesetiaan dan rasa terimakasih dari mereka terhadap pemerintah kolonial. Mengapa? “Mereka melihat tuan-tuan mereka bukan orang terhormat yang bisa menjadi teladan. Tuan-tuan mereka memelihara gundik, melakukan kawin campur, serta segala bentuk kebejatan moral lain.” Pada 1874, sebagaimana dikutip Nugroho Notosutanto dalam Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie , unit terakhir Jayengsekar dileburkan ke resimen kavaleri kolonial. Sementara Jean Rocher menyebut, kesatuan Jayengsekar yang tersisa menjadi cikal bakal pasukan elite Marsose dalam Perang Aceh.
- Tiga Menteri Keuangan Terbaik Indonesia di Dunia
UNTUK ketiga kalinya World Government Summit di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA), mendaulat satu menteri sebagai Best Minister in the World Award atau Penghargaan Menteri Terbaik Dunia. Indonesia patut berbangga karena tahun ini penghargaan itu jatuh kepada Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati. Sebelumnya, penghargaan itu diberikan kepada Menteri Lingkungan Australia Greg Hunt pada 2016 dan Menteri Kesehatan dan Sosial Senegal Awa Marie Coll-Seck pada 2017. Emir UEA merangkap Wakil Presiden dan Perdana Menteri UEA, Sheikh Mohammed bin Rashid al-Maktoum, menyerahkan penghargaan itu kepada Sri Mulyani pada Minggu, 11 Februari 2018. Presiden Joko Widodo turut berbangga dan menyalami langsung Sri Mulyani pada rapat kabinet di Istana Negara, Senin, 12 Februari 2018. World Government Summit menilai Sri Mulyani mampu mengurangi 40 persen angka kemiskinan di Indonesia dalam lima tahun terakhir, memangkas ketimpangan pendapatan masyarakat, menciptakan lapangan kerja yang luas, peningkatan tiga persen perekonomian secara transparan, mengurangi 50 persen utang Indonesia, serta peningkatan cadangan devisa tertinggi dalam sejarah Indonesia senilai 50 juta dolar Amerika. Dilansir situs resmi Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, setkab.go.id , Minggu, 11 Februari 2018, Sri Mulyani menyatakan penghargaan itu merupakan pengakuan kerja kolektif pemerintah di bawah Presiden Jokowi, khususnya bidang ekonomi. “Menkeu juga mendedikasikan penghargaan tersebut kepada 257 juta rakyat Indonesia dan 78.164 jajaran Kemenkeu dalam pengelolaan keuangan negara dengan integritas dan komitmen untuk menyejahterakan rakyat yang merata dan berkeadilan,” demikian keterangan Setkab. Mantan Managing Director World Bank itu bukan menkeu pertama yang diakui dunia. Johannes Baptista (JB) Sumarlin, menkeu periode 1988-1993 juga pernah diakui sebagai menkeu terbaik dunia tahun 1989. Ketika dihelat Annual Meetings of World Bank-IMF (Pertemuan Tahunan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional) di Washington DC, Amerika Serikat, 25 September 1989, Sumarlin menerima penghargaan Finance Minister of the Year dari majalah tersohor Euromoney. Penghargaan yang diberikan di sela-sela pertemuan Bank Dunia-IMF itu, diserahkan langsung oleh pendiri Euromoney , Sir Patrick Sergeant. Sumarlin dianggap berperan besar meracik perombakan besar dalam perekonomian Indonesia yang sebelumnya sangat bergantung dari sektor minyak dan gas (migas) ke arah diversifikasi ekonomi non-migas, serta membalikkan orientasi substitusi impor ke orientasi ekspor. Sebagaimana Sri Mulyani, Sumarlin juga menyatakan bahwa penghargaan itu hasil kerja kolektif di Kabinet Pembangunan V di bawah Presiden Soeharto. “Hanya dari kepemimpinan yang tepat dari Presiden Soeharto serta kerjasama dari teman sekerja dan dukungan masyarakat terhadap kebijaksanaan ekonomi nasional yang membuat ekonomi Indonesia, memasuki pintu kemakmuran yang mulai dinikmati sekarang ini,” kata Sumarlin, dikutip harian Sinar Indonesia Baru , 28 September 1989. Mar’ie Muhammad yang menjadi suksesor Sumarlin juga tak kalah membanggakan. Dia menjabat Menkeu periode 1993-1998 dalam Kabinet Pembangunan VI. Menkeu berjuluk “Mr. Clean” itu diakui majalah Asiamoney sebagai Menkeu Terbaik pada Mei 1995. “Mar’ie Muhammad mendapat gelar Finance Minister of the Year dari majalah terkemuka Asiamoney yang berpusat di Hong Kong. Dia dipandang sukses menangani skandal Bapindo,” tulis mingguan Warta Ekonomi, Mei 1995. Dalam skandal megakredit Bapindo (Bank Pembangunan Indonesia) senilai Rp1,3 Triliun pada 1994 itu, awalnya Mar’ie mengambil tindakan likuidasi yang sialnya, tak direstui Soeharto. Meski begitu, Mar’ie “ditantang” Soeharto untuk menyelesaikan kasusnya. “Presiden Soeharto memerintahkan (Mar’ie) Muhammad untuk menyelesaikan Skandal Bapindo, di mana dia diperintahkan untuk bisa ‘menangkap ikannya, namun jangan memperkeruh airnya’,” tulis Andrew Rosser dalam The Politics of Economic Liberalization in Indonesia: State, Market and Power. Pada akhirnya, Mar’ie mampu membawa skandal itu ke meja hijau. Pengusaha Eddy Tansil dan empat direktur eksekutif Bapindo disidang ke pengadilan. Sementara sejumlah pejabat dekat Soeharto, termasuk Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Laksamana (Purn.) Sudomo, akhirnya tak tersentuh. Setidaknya dalam penyelesaian kasus itu, Sudomo bersama pendahulu Mar’ie, Sumarlin, turut “diseret” sebagai saksi peradilan Eddy Tansil. Pada putusannya, Eddy Tansil divonis 17 tahun bui, namun kemudian melarikan diri hingga kini belum tertangkap. Sedangkan empat petinggi Bapindo lainnya dihukum antara empat sampai sembilan tahun
- Kisah Kiri Melawan Kanan
WALUJO Martosugito masih ingat kejadian setengah abad lalu itu. Suatu siang saat dirinya dan Wakil Perdana Menteri Roeslan Abdulgani tengah berbincang dengan Presiden Sukarno di bagian belakang Istana Negara, seorang perwira tiba-tiba datang menghadap. Ia melaporkan bahwa Istana Negara sudah dikepung oleh para demonstran dari KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). “Dilapori itu, Bung Karno sama sekali tidak panik. Ia malah bilang supaya dinamika anak-anak muda jangan dimatikan,” ujar lelaki kelahiran Klaten 82 tahun lalu tersebut. Pulang dari Istana, Walujo tak tinggal diam. Sebagai anggota Presidium GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), ia langsung mengordinasi anak-anak muda sesama “marhanenis” untuk melakukan reaksi atas demonstrasi-demonstrasi itu. Caranya, tentu saja dengan mengadakan demonstrasi tandingan mendukung kepemimpinan Bung Karno. “Bung Karno itu kan ibarat bapak kami sendiri, wajar dong jika kami saat itu melakukan pembelaan terhadap beliau …” katanya kepada Historia . Memasuki tahun 1966, desakan kelompok kanan untuk mengeliminasi Presiden Sukarno dan kekuatan-kekuatan kiri semakin besar. Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang didominasi aktivis-aktivis HMI dan PMKRI (Pergerakan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia) hampir tiap waktu turun ke jalan. “Demonstrasi tersebut kerap diringi juga aksi penempelan poster dan pamflet yang isinya menggugat pemerintahan Sukarno dan PKI,” ujar John R. Maxwell dalam Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani . Aliansi kelompok mahasiswa kiri yang terdiri dari GMNI Ali-Surachman, Germindo (Gerakan Mahasiswa Indonesia) dan Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), tentu tak diam saja. Mereka pun membuat demonstrasi tandingan dan balik merobek poster-poster yang ditempelkan massa KAMI lalu menggantinya dengan poster-poster yang diantaranya berbunyi : “Hidup Bung Karno!” atau “KAMI kanan dan Ditunggangi Nekolim!” Menurut Soe Hok Gie, beberapa hari sebelum turun ke jalan, perwakilan GMNI-Germindo telah datang menemui Presiden Sukarno. Di hadapan sang presiden, mereka berjanji untuk membela Bung Karno sampai mati. Hok Gie juga juga melansir sebuah kabar yang ia dapat dari Soeripto, kawannya yang bekerja di KOTI (Komando Operasi Tertinggi) bahwa telah disediakan sejumlah dana untuk menandingi demonstrasi KAMI dan mendirikan Barisan Sukarno. “Jumlahnya 100 juta rupiah…” tulis Soe Hok Gie dalam Catatan Seorang Demonstran . Bentrok antara massa akhirnya tak terelakan. Bukan saja di jalanan, di kampus-kampus pun terjadi adu aksi berujung perkelahian. Suasana semakin kritis karena kedua pihak sama-sama didukung oleh kesatuan-kesatuan tentara. Itu terbukti saat chaos berlangsung di Salemba, suatu peleton pasukan Cakrabirawa sempat membuat pos di suatu sudut kampus UI. “Sementara pasukan-pasukan Kostrad dan RPKAD berpakaian preman selalu siap melindungi demonstrasi-demonstrasi mahasiswa anti Sukarno,” tulis John Maxwell. Perkembangan politik pada akhirnya tidak berpihak ke kubu kelompok sayap kiri. Pada Maret 1967, Presiden Sukarno dilengserkan lewat sidang MPRS. Jenderal Soeharto naik sebagai pejabat Presiden.Begitu berkuasa, Soeharto langsung memberangus kekuatan-kekuatan kiri termasuk Germindo dan CGMI. GMNI sendiri tentu saja langsung terkena imbas angin politik yang tengah bertiup kencang. Unsur-unsur kanan kaum yang bercokol di PNI (Partai Nasional Indonesia) pimpinan Osa Maliki dan Usep Ranawidjaja kembali menemukan momentumnya. Tanpa perlu waktu lama mereka pun membersihkan GMNI dari unsur-unsur kiri dan lewat kongres-nya yang kelima mengganti pimpinannya dengan orang-orang pro Orde Baru.
- Dari Rangkasbitung untuk Dunia
RUMAH era kolonial di Alun alun timur Rangkasbitung, Lebak, Banten itu terlihat cantik. Mulai Minggu (11/2/2018), rumah cagar budaya eks tempat tinggal Wedana Rangkasbitung itu resmi menjadi Museum Multatuli, nama pena dari pengarang Max Havelaar . Di dalamnya terdapat sejumlah koleksi unik milik Eduard Douwes Dekker. Suasana "kolonial" di Museum Multatuli begitu sangat terasa. Nampak di beberapa bagian museum, ditampilkan peta dan sejumlah memorabilia terkait kebijakan cultuurstelsel alias tanam paksa di masa kolonialisme Belanda. Lainnya, turut dipamerkan sejumlah karya-karya asli Multatuli, hingga testimoni berbagai tokoh dunia terhadap Multatuli. Mulai dari Presiden Sukarno, hingga Jose Rizal, pemimpin revolusi Filipina. Juga ubin asli yang tersisa dari rumah Multatuli di Rangkasbitung turut menjadi koleksi museum anyar ini. Dalam peresmian tersebut, hadir beberapa tokoh. Salah satunya adalah sejarawan asal Inggris Peter Carey. Dalam kata sambutannya, Carey menyatakan turut senang dan mengapresiasi berdirinya Museum Multatuli. Dia berharap Museum Multatuli bisa menjadi pusat pencerah terkait sejarah kolonalisme, tidak hanya di Banten, tapi juga untuk segenap masyarakat Indonesia. "Museum adalah salah satu sumber cerita tentang feodalisme dan kolonialisme. Cerita yang tentunya berkelindan dengan etika dalam pemerintahan. Ini menjadi masalah yang kemudian diangkat Eduard Douwes Dekker. Oleh karenanya, diharapkan museum ini menjadi sumbangan sebagai pusat pendidikan, pusat pencerahan untuk mengangkat sejarah Lebak," ujar Carey. Hal senada disampaikan sejarawan sekaligus periset utama konten Museum Multatuli, Bonnie Triyana. Menurutnya, dengan didirikannya Museum Multatuli diharapkan bisa lebih membuka diskursus tentang sejarah kolonialisme yang ternyata tak sesederhana dipahami masyarakat awam. "Ini tidak hanya penting bagi Lebak, tapi juga Indonesia untuk lebih mengenal Multatuli. Karena ternyata sejarah kolonialisme ini lebih rumit dari yang kita pahami. Kehadiran museum ini bukan untuk mengkultuskan Multatuli. Tapi suatu cara baru menafsirkan sejarah Indonesia dengan lebih terbuka, lebih manusiawi dan lebih luas lagi, sehingga kita mendapat gambaran utuh tentang apa yang terjadi di masa lalu," ungkap Bonnie, pemimpin redaksi Historia . Secara resmi, peluncuran Museum Multatuli dilakukan oleh Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya. Usai melakukan penandatanganan prasasti dan gunting pita, Iti menyatakan harapan besarnya agar museum yang bertema antikolonial pertama ini, tidak hanya bisa mengangkat nama Rangkasbitung di Indonesia, namun juga di dunia. "Kami persembahkan museum ini untuk masyarakat Lebak dan juga untuk Indonesia. Kami juga berharap ini bisa menjadi milik dunia," kata Iti. Selain Museum Multatuli, Iti juga menekankan pentingnya fungsi Perpustakaan Saidjah-Adinda yang berdiri di sebelah Museum Multatuli. Perpustakaan itu diharapkan bisa menjadi mercusuar ilmu pengetahuan di Lebak, sebagaimana novel Multatuli di masanya.
- Pukulan Telak Bagi Gerakan Perempuan
DECA Park, taman hiburan di utara Lapangan Merdeka, dipenuhi perempuan pada 17 Desember 1953. Mereka berasal dari bermacam organisasi perempuan seperti Partai Wanita Rakyat, Ikatan Bidan Indonesia, Pemuda Putri Indonesia, Bhayangkari, Gerwani, Wanita Katolik dan masih banyak lagi. Tak hanya hendak menghadiri perayaan sewindu Perwari, mereka sekaligus mengadakan rapat umum untuk memprotes Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 Tahun 1952. PP yang mengatur tunjangan pensiun janda pegawai negeri itu menjadi pukulan telak bagi gerakan perempuan yang tengah getol memperjuangkan keadilan dalam pernikahan –pukulan telak berikutnya terjadi pada 1954 saat Sukarno melakukan poligini. PP itu mengatur pembagian pensiun seluruh janda pegawai negeri secara merata. Bila si almarhum pegawai negeri melakukan poligini, janda-jandanya semua mendapat uang pensiunannya. Negara memberi sejumlah uang yang nilainya dua kali pokok pensiun biasanya untuk dibagi rata sesuai jumlah janda yang ditinggalkan. Keputusan pemerintah itu menuai protes para aktivis perempuan dan kalangan yang memperjuangkan kepentingan gender. “Saya tidak mengerti mengapa soal ini bisa lolos dari perhatian saya, ketika saya bertugas sebagai direktur kabinet dan Abdul Wahab SH sebagai sekretaris Dewan Menteri. Mungkin waktu itu saya sedang sibuk dengan soal-soal lain sehingga tidak sempat membaca usul yang akan dibicarakan dalam sidang kabinet yang dipersiapkan oleh Abdul Wahab SH,” kata Maria Ulfah dalam biografinya yang disusun Gadis Rasyid, Maria Ulfah Subadio, Pembela Kaumnya . PP tersebut, menurut Ulfah, berarti pemerintah tak hanya mengakui bahwa seseorang pegawai diperbolehkan mengambil isteri kedua. Lebih dari itu, pemerintah seakan-akan memberi dorongan pada pegawai negeri untuk mengambil lebih dari seorang istri. Para perempuan yang mengikuti pertemuan di Deca Park juga sependapat dengannya. Mereka tidak memprotes tunjangannya, tetapi pengakuan secara tidak langsung negara pada praktik poligini. “Padahal dalam Angkatan Bersenjata gerakan wanita telah berhasil mencapai kemenangan kecil, yaitu bahwa seseorang anggota angkatan bersenjata tidak boleh mengambil istri kedua tanpa izin komandannya. Dan izin ini dalam praktik jarang diberikan,” kata Maria Ulfah. Di parlemen, para perempuan sedang memperjuangkan Undang-Undang Perkawinan yang adil. Pada 1950 dibentuk Panitia Penyelidik Peraturan Hukum Perkawinan, Talak, dan Rujuk atau lebih dikenal dengan Panitia NTR (Nikah, Talak, dan Rujuk). Anggotanya terdiri dari Maria Ulfah, Nani Suwondo, Sujatin Kartowijono, Kwari Sosrosumarto dari Wanita Katolik, dan Mahmudal Mawardi yang mewakili perempuan Muslim. Oleh karena itu, kemunculan PP tersebut di tengah pembahasan UU Perkawinan yang adil oleh Komisi NTR tentu menjadi pukulan bagi gerakan perempuan. Alhasil, mereka menempuh sejumlah upaya untuk menolak PP tersebut. Dalam dengar pendapat tentang PP No. 19 Tahun 1952 pada Agustus 1952, Perwari lantang menyuarakan penentangannya. Perlawanan berlanjut pada November 1952 ketika 19 organisasi perempuan menyatakan penolakan terhadap PP tersebut. Mereka menilai PP itu sebagai wujud pemborosan uang negara untuk membiayai poligini. PP itu, lanjut mereka, juga mendorong merajalelanya perkawinan poligini. Puncak protes terjadi pada 17 Desember 1953. Usai mengadakan pertemuan di Deca Park, para perempuan berdemonstrasi. Berjalan dalam barisan, mereka menuju ke Istana Kepresidenan yang jaraknya hanya beberapa puluh meter. Demonstrasi ini, tulis Saskia Eleonora Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia , menjadi demonstrasi pertama yang dilakukan para perempuan pasca-kemerdekaan. Meski banyak anggota Kongres Wanita Indonesia (KWI) yang ikut dalam demo secara perseorangan, KWI sebagai organisasi tidak mendukung protes tersebut. KWI tak banyak meributkan soal PP No. 19 tahun 1952 itu lantaran beberapa organisasi yang tergabung dalam kongres mempunyai pandangan berbeda-beda tentang permen tersebut. Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) dan Muslimat NU, misalnya, menyatakan persetujuan pada PP tersebut sebagaimana pandangan partai Masyumi. Demo berjalan dengan tertib. Satuan polisi berjaga di sepanjang jalan dan mengatur lalu lintas. “Kami mengajak semua anggota Perwari di Jakarta dan wanita umumnya untuk berdemo,” kata Sujatin Kartowijono dalam biografinya yang disusun Hana Rambe, Mancari Makna Hidupku . Selain dihadiri aktivis perempuan, demo diramaikan oleh murid-murid dari Sekolah Kepandaian Putri di Jalan Sabang. Mereka datang membawa kertas besar yang bertuliskan protes terhadap PP. Sampai di Istana Kepresidenan, mereka disambut Sukarno. Perwari memberi mosi agar pemerintah meninjau kembali PP No. 19 Tahun 1952. Para perempuan juga mendesak agar pemerintah segera membuat Undang-Undang Perkawinan yang menjamin kedudukan istri sesuai UUD 1945. Dari istana, demostrasi berlanjut ke kantor Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo di Pejambon. Para demonstran menyerahkan petisi lalu bergerak ke kantor DPRS di pojok Lapangan Banteng. Meski publikasi terhadap demonstrasi itu baik, pemerintah tetap tak paham maksud para perempuan. Serangkaian pembahasan memang dilakukan di parlemen usai demonstasi itu, tapi pada Februari 1954 parlemen memutuskan ketetapan tentang pensiuan pada janda-janda pegawai negeri masih tetap berlaku.
- Sang Demonstran dan Politikus Berkartu Mahasiswa
SEBAGAI pejabat presiden, Soeharto berkepentingan membersihkan parlemen dari unsur Orde Lama. Sang Jenderal menginginkan lembaga perwakilan rakyat direstrukturisasi dan mengisinya dengan wajah baru. Manuver ini semata untuk tujuan politik: menarik dukungan yang efektif dari dewan legislatif atas setiap kebijakan rezim Soeharto. Tak hanya orang partai dan tentara, beberapa mahasiswa ikut dilibatkan. Mereka yang “terjaring” adalah aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI) yang berperan menjatuhkan kekuasaan Presiden Sukarno lewat serangkaian aksi demonstrasi. “Ujian pertama dari KAMI datang pada saat penawaran menjadi anggota DPR-GR. Golongan moral forces menolaknya, karena melihat racun berbungkus madu diatas kursi empuk DPR-GR. Sebaliknya golongan politisi setuju karena suara mereka diperlukan untuk voting anti Soekarno (yang makin lemah) dan menyusun UU Pemilihan Umum,” tulis Soe Hok Gie dalam artikel “Menyambut Dua Tahun KAMI: Moga-Moga KAMI Tidak Mendjadi Neo PPMI”, Kompas , 26 Oktober 1967. Pada Januari 1967, sebanyak tiga belas mahasiswa ditunjuk menjadi perwakilan mahasiswa di DPR-GR. Semuanya berasal dari KAMI Pusat (Jakarta). Mereka yang disebut Gie sebagai golongan politik antara lain: Slamet Sukirnanto, T. Zulfadli, Fahmi Idris, Mar’ie Muhammad, Firdaus Wadjdi, Soegeng Sarjadi, Cosmas Batubara, Liem Bian Khoen, Djoni Simanjuntak, David Napitupulu, Zamroni, Yozar Anwar, dan Salam Sumangat. “Agar partai-partai Orla (Orde Lama, red. ) tak mendominasi di sana,” kata seorang Ketua Presidium KAMI kepada Gie ketika ditanya soal kesediaannya menjadi anggota DPR-GR. Sinis bercampur sedih mengisi benak Gie tatkala memandang laku para rekannya yang menurutnya sudah mulai silau dengan kekuasaan. Dalam artikel yang sama, Gie menyebut sebagian besar aktivis-aktivis KAMI adalah tokoh-tokoh yang hidup dengan menunggangi status kemahasiswaannya. Umurnya rata-rata mendekati 30 tahun dan telah berkali-kali tak naik kelas karena jarang kuliah. Mereka bukan lagi mahasiwa yang berpolitik, tetapi politikus yang punya kartu mahasiswa. “Akhirnya Soekarno jatuh tetapi mahasiswa yang di DPR-GR juga jatuh martabatnya di mata mahasiswa biasa,” tulis Gie. Mendandani Bopeng Mahasiswa Begitu para aktivis kampus ini duduk di kursi anggota dewan, perpecahan mulai meletup. Pasalnya, mereka yang telah ditunjuk dalam parlemen bersekutu dengan partai politik. Mereka tak lagi berbicara atas nama mahasiswa, melainkan sebagai wakil golongan Islam, Katolik, dan sebagainya. Perselisihan pun mencuat ditingkat akar rumput, yaitu diantara sesama anggota KAMI. Sebagai organisasi mahasiswa yang menanungi berbagai golongan, KAMI tak lagi satu suara untuk kepentingan bersama. “Dari sini kelihatan bahwa tokoh-tokoh KAMI mulai kembali ke induknya,” ujar Gie. Gie secara radikal menentang mantan rekannya sesama aktivis mahasiswa yang memilih terjun berpolitik praktis. Mengapa? Dalam disertasinya di Australian National University, John Maxwell menjelaskan gagasan Gie bahwa mahasiswa seharusnya hanya muncul sebagai aktor politik manakala krisis sedang mencapai puncaknya. Ketika krisis sudah berlalu, mereka seharusnya kembali ke kampus. Gie membayangkan semangat aktivisme yang wajar: mulai soal olahraga sampai soal kebebasan mimbar kampus. Namun, yang terjadi kemudian justru sebaliknya. “Segera terlihat bahwa aktivis-aktivis terkemuka KAMI tidak tertarik untuk atau cakap menangani masalah sehari-hari yang paling signifikan bagi mahasiswa biasa, seperti kualitas pendidikan yang mereka dapatkan, kondisi sumber daya universitas, misalnya perpustakaan dan laboratorium, dan penyediaan fasilitas olahraga yang lebih baik,” tulis Maxwell dalam Soe Hok-Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani . Prediksi Gie tentang “racun bercampur madu” yang menjerat di kursi di dewan legislatif terbukti. Kelakuan minus para aktivis mahasiswa-cum-anggota parlemen yang lupa diri ini terendus ke muka publik. Mulai dari wara-wiri keluar negeri dalam rangka “misi pencarian fakta” tanpa hasil, ketidakterbukaan soal gaji mahasiswa sebagai anggota DPR-GR, hingga berlomba-lomba kredit mobil mewah. Puncaknya ketika para anggota laskar menggemboskan mobil ban tokoh-tokoh mahasiswa di markas Laskar Arief Rachman Hakim. Mereka merasa tertipu melihat kemewahan para pemimpinnya. Maxwell mencatat beberapa pemimpin KAMI, yang ditunjuk untuk duduk di dewan legislatif ternyata terlibat dalam manipulasi penyediaan kendaraan bermotor untuk para anggota parlemen. Mereka mendapatkan jatah mobil Holden Spesial dengan pengaturan biaya khusus sehingga harga mobil-mobil ini bisa jauh di bawah harga pasar yang berlaku. Skandal ini ramai mengisi bagian muka berita media-media di Jakarta saat itu. Reaksi keras dan kritik juga berdatangan dari mahasiswa-mahasiswa lain, terutama dari Bandung. Gie tak ketinggalan. Dalam artikelnya “Menaklukkan Gunung Slamet” termuat di Kompas , 14 September 1967, Gie menyebut sebagian dari pemimpin-pemimpin KAMI adalah maling. “Mereka korupsi, mereka berebut kursi, ribut-ribut pesan mobil dan tukang kecap pula.” Tak cukup sampai di situ. Menyaksikan perangai cacat mantan kawan seperjuangannya, Gie tergerak memberikan apresiasi. Bersama beberapa rekannya, dia mencetuskan rencana untuk mengirimkan hadiah “Lebaran-Natal” kepada wakil-wakil mahasiswa di parlemen. Sebuah paket diantar pada 12 Desember 1969. Isinya antara lain: pemulas bibir, bedak pupur, cermin, jarum, dan benang. Sepucuk surat dan kumpulan tanda tangan mengiringi. Sebagaimana termuat dalam harian Nusantara , 15 Desember 1969, demikian pesan dalam paket tersebut. Bersama surat ini kami kirimkan kepada anda hadiah kecil kosemetik dan sebuah cermin kecil sehingga anda, saudara kami yang terhormat, dapat membuat diri kalian lebih menarik di mata penguasa dan rekan-rekan sejawat anda di DPR-GR. Bekerjalah dengan baik, hidup Orde Baru! Nikmatilah kursi anda –tidurlah nyeyak! Teman-teman mahasiswa anda di Jakarta dan ex-demonstran ’66.
- Hukuman bagi Jenderal Mongol
EKSPEDISI Mongol ke Jawa membuat tiga jenderalnya, Shi Bi, Gao Xing, dan Ike Mese, dihukum begitu kembali ke Tiongkok. Namun, petualangan mereka di Jawa tak benar-benar gagal.
- Sang Aktor Laga Telah Tiada
KABUT duka menyelimuti dunia hiburan. Aktor laga legendaris Advent Bangun mengembuskan napas terakhir di RSUP Fatmawati, Jakarta Selatan, Sabtu (10/2/2018) dini hari. Sedari Jumat malam, aktor layar lebar era 1970 sampai 1990 itu, sudah dilarikan ke IGD RSUP Fatmawati akibat sesak napas. Kendati sudah diupayakan pertolongan medis, detak jantungnya tak lagi berdetak. Dia dinyatakan meninggal sekira pukul 02.30 dini hari dalam usia 65 tahun. Thomas Advent Perangin-angin Bangun lahir di Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara pada 12 Oktober 1952. Dia dikenal sebagai bintang film layar lebar dengan memulai debutnya di film Rajawali Sakti (1976). Dia mulai dikenal luas sebagai pemeran utama di film Satria Bambu Kuning (1985). Hampir segala genre film pernah dibintanginya. Tak hanya film laga, komedi dan asmara, dia juga sempat meramaikan film perjuangan, Komando Samber Nyawa (1985) bersama Barry Prima. Perlahan namanya disejajarkan dengan legenda film laga lainnya seperti Barry Prima, George Rudy, Ratno Timoer hingga Johan Saimima. Sebelum menjadi bintang film, dia pernah meniti karier sebagai atlet karate. Sejak muda, Advent mendalami karate, ilmu beladiri asal Jepang, dengan bergabung ke INKAI (Institut Karate-Do Indonesia). Dia mendalami karate karena pengalaman pahit yang menimpanya di Tanjung Priok pada 1968. Ketika itu, dia bersama kakak perempuannya diganggu sekira 20 preman. Tak terima kakaknya diganggu, Advent pasang badan. Dia dikeroyok dan wajahnya penuh luka memar dan lebam. “Untung badan saya tak cedera,” kata Advent, dikutip dari Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia: 1981-1982. Oleh karena itu, Advent kemudian mendalami karate dengan sungguh-sungguh hingga menjadi atlet. Selama 12 tahun sejak 1971, dia langganan juara di kejuaraan nasional maupun Pekan Olahraga Nasional (PON). Dia juga sering ikut dalam beragam turnamen tingkat ASEAN, Asia hingga dunia. Advent mengawali karier internasional dalam kejuaraan karate ASEAN 1978 di Istora, Jakarta. Dia juga ikut di beberapa ajang dunia lainnya. Mulai dari kejuaraan dunia karate di Paris, Prancis 1972; Bremen, Jerman 1980; hingga World Games 1981 di Santa Clara, Amerika Serikat. Sayangnya, Indonesia belum bisa berbicara banyak. Advent hanya sempat menempati peringkat lima besar. Dengan karate pula Advent lantas masuk ke dunia hiburan layar lebar. “Keahliannya (dalam karate) ini yang membawa profesinya di bidang film. Sebelum terjun ke dunia film, (Advent) sempat menjadi pegawai negeri Bea & Cukai Tanjung Balai Karimun,” demikian tertulis dalam Apa Siapa Orang Film Indonesia. Advent sendiri menganggap olahraga beladiri hanya untuk pertahanan diri. Namun, ketika olahraga itu mengantarkannya ke dunia film yang serba gemerlap, dia lupa diri dan terhempas ke dalam kehidupan glamor. “Syukurlah, di tengah kesuksesan duniawi itu dia tiba-tiba tersadar dan berusaha kembali ke jalan Tuhan. Sosok yang berjuang supaya Advent kembali ke jalan Tuhan yakni sang istri,” tulis tabloid Reformata , edisi 51 Januari 2007. Setelah mendekatkan diri kepada Tuhan, Advent seakan telah melupakan segala piala maupun catatan panjang perjalanannya di dunia hiburan. Secara bertahap, dia rajin beribadah ke gereja. Sejak tahun 2000, dia menjadi koordinator di Gereja Tiberias Indonesia di Cawang, Jakarta Timur. Dari seorang petarung di arena dan layar lebar, Advent beralih menjadi pendeta. Namanya menjadi Yohanes Thomas Advent Bangun. Hari ini, dia berpulang ke haribaan Tuhan. Selamat jalan Advent Bangun.
- Wushu dan Telepon Merah RI Satu
TEPAT di Hari Pahlawan 10 November 1992, Pengurus Besar Wushu Indonesia (PBWI) berdiri. I Gusti Kompyang (IGK) Manila yang sedari awal membidani dan membina wushu, punya pekerjaan rumah (PR) besar sebagai Ketua Umum pertama PBWI. Terlebih, target jangka pendek organisasi itu adalah pembinaan dan pengembangan para atlet untuk persiapan SEA Games 1993 di Singapura. Manila langsung mengagendakan beragam tur sosialisasi dan pengguliran kejuaraan di 27 provinsi. “Pak Manila ingin wushu lebih dikenal masyarakat,” kenang Ahmad Idris, praktisi dan salah satu atlet pertama wushu Indonesia yang sempat diminta ikut sosialisasi di berbagai kota selama tiga bulan, dikutip koran Tempo , 28 Januari 2004. Namun, kendala bermunculan. Dua hal paling urgent adalah dana untuk perlengkapan berstandar internasional dan kebutuhan akan pelatih-pelatih yang qualified. Manila lantas membawa persoalan ini ke Cendana, tempat kediaman Presiden Soeharto. Manila yang ketika itu masih berpangkat kolonel dari satuan intelijen Corps Polisi Militer (CPM), dikenal Soeharto sebagai komandan Operasi Ganesha dan manajer timnas PSSI di SEA Games 1991. Soeharto juga tahu gagasan dari KONI untuk mengembangkan Wushu yang dijalankan Manila. Dia menganggap Wushu bisa jadi sarana persahabatan yang lebih erat lagi dengan China setelah pemulihan hubungan RI-China, Agustus 1990. “Soeharto manggut-manggut waktu dilapori. Tidak banyak cakap, the smiling general itu langsung angkat telepon merah –yang hanya dipakai Soeharto menghubungi orang-orang untuk urusan yang sangat penting,” tulis Hardy R. Hermawan dan Edy Budiyarso di biografi IGK Manila: Panglima Gajah, Manajer Juara. Selesai mengontak seseorang lewat telepon merah, Soeharto memberi solusi singkat pada Manila. “Hubungi Gunung Sahari!” perintah Soeharto. “Siap,” jawab Manila. Gunung Sahari yang dimaksud Soeharto merupakan sebutan tempat tinggal konglomerat Tionghoa kenalan dekat Soeharto bernama Liem Sioe Liong alias Sudono Salim –yang beralamat di Jalan Gunung Sahari, Jakarta. Dari situ, Manila mendapat modal dana untuk memuluskan pengembangan wushu. Kendala Manila t inggal mencari pelatih wushu berkualitas. Perihal ini, Manila melakukan pendekatan ke Kedutaan Besar RRC. Dari situ, Manila mendapat rekomendasi mendatangkan dua pelatih: Wang Donglien dan Deng Changli. Kedua nama ini kemudian mengemban tugas penyeleksian terhadap 100 calon atlet yang tersaring dari berbagai daerah. Setelah tersaring 14 atlet, kedua pelatih itu lalu menebalkan skill para atlet di disiplin ilmu Taolu selama enam bulan. “Kita sempat dibawa ke China, tepatnya ke Shanxi. Jadi kita lima bulan pelatnas di Jakarta. Lalu sebulan sebelum SEA Games, kita dikirim ke Shanxi,” kenang Fonny Kusumadewi, salah satu mantan atlet timnas Wushu di SEA Games 1993, kepada Historia. Di sana, mereka lebih mendalami Taolu atau kategori keindahan jurus. Taolu terbagi menjadi nomor tangan kosong dan senjata. Tangan kosong berisi antara lain changquan (pukulan panjang utara), nanquan (tinju selatan), taijiquan ( style taichi), xingyiquan (pukulan jarak dekat), dan duilian yang dilakukan dua atlet berpasangan. Sedangkan Taolu yang menggunakan senjata terdiri dari daoshu (jurus golok/pedang bermata satu), jianshu (jurus golok/pedang bermata dua), nandao (jurus golok/pedang selatan), taijijuan (jurus pedang Taiji), gunshu (jurus tongkat/toya), nangun (jurus tongkat/toya selatan), dan Qiangshu (jurus tombak). Kategori Sanda atau pertarungan/duel berkembang kemudian. Ia berisi kelas nomor 48 kilogram (kg), 52 kg, 56 kg, 60 kg, 70 kg, dan 75 kg. Keempat belas atlet Indonesia yang belajar di Tiongkok itu lalu memulai debut di SEA Games 1993 Singapura. Sayangnya, mereka pulang dengan tangan hampa. “Karena kita Indonesia peserta terbaru, persiapan juga hanya enam bulan. Dari nol semua. Sementara negara lain persiapannya sudah sekian tahun karena berdiri lebih dulu. Dari 14 yang dikirim, satupun tak ada dapat medali. Tapi kita menyadari waktu itu masih paling bawah,” lanjut Fonny. Prestasi pertama mereka datang dua tahun kemudian di ajang Kejuaraan Dunia 1995 di Baltimore, Amerika Serikat (AS). Sebagaimana dilansir Kompas 12 Desember 2017, atlet Wushu Jainab memetik medali perak di kategori Taolu nomor Taijiquan putri. Prestasi ini baru bisa dilewati oleh Gogi Nebulana di Kejuaraan Dunia Wushu 2007 di Beijing. Gogi meraih emas untuk kategori Taolu nomor Jianshu putra. Di era Reformasi, wushu kian menggema. Indonesia akhirnya dipercaya IWUF (Federasi Wushu Internasional) untuk menggelar Kejuaraan Dunia Wushu 2015 di Jakarta. Gelaran akbar itu turut mendatangkan praktisi wushu yang tersohor sebagai aktor laga, Li Lian Jie. Publik sejagat mengenalnya sebagai Jet Li. Panitia mengundangnya untuk lebih mempromosikan wushu dan menularkan inspirasi pada khalayak Indonesia. Meski gagal juara umum, di ajang ini Indonesia jadi runner-up dengan 7 emas, 3 perak dan 6 perunggu, di bawah China.





















