Hasil pencarian
9592 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Gunung Anak Krakatau dan Tsunami Selat Sunda
PADA suatu sore, 29 Juni 1927, hampir 44 tahun berlalu dari letusan dahsyat induknya, Gunung Krakatau. Nelayan yang tengah menarik jaring setelah seharian mengayuh perahu, menyaksikan sesuatu yang luar biasa dan tidak terduga. Dengan bergemuruh, gelombang-gelombang gas yang sangat besar mendadak menyembul ke permukaan laut. Gelembung-gelembung itu dengan kombinasi yang aneh dan acak, muncul di mana-mana, mengelilingi perahu. Nelayan itu kebingungan dan ketakutan. Gelembung-gelembung itu meledak, menyemburkan abu dan gas belerang yang berbau busuk. Gelembung-gelembung itu, menurut jurnalis Simon Winchester dalam Krakatau: Ketika Dunia Meledak, 27 Agustus 1883 , merupakan indikasi pertama di permukaan bahwa sebuah gunung berapi baru yang mengintai jauh di dasar laut tengah berusaha membangun dirinya. Pertumbuhannya begitu cepat dan aktivitasnya berubah. Selain gelembung-gelembung yang menjadi lebih ganas, bermunculan juga buih hitam, uap, batu, bahkan nyala api. Akhirnya, pada 26 Januari 1928, volume gelembung dan nyala api berubah menjadi abu dan batu solid, serta muncul ke permukaan: sebuah lapisan tipis daratan baru berbentuk kurva tampak untuk pertama kalinya di atas permukaan laut. Daratan baru itu tumbuh, hitam dan seperti sabit, sampai akhirnya membentuk sebuah pulau. Jumlah ledakannya semakin besar. Pada 3 Februari 1928 tak kurang dari 11.791 ledakan selama 24 jam. Bahkan angkanya bertambah pada 25 Juni 1928 mencapai 14.269 ledakan atau sekitar sepuluh ledakan per menit selama sehari semalam. Gunung Anak Krakatau berumur sekitar dua tahun pada Mei 1929. (W.G.N. van der Sleen/Tropenmuseum). Peneliti pertama yang mengamati kelahiran gunung baru itu adalah ahli geofisika asal Rusia, W.A. Petroeschevsky. Belakangan dia sampai membangun sebuah bunker dari beton cor dan besi di Pulau Panjang untuk mengamati aktivitas gunung baru itu. “Dia memberinya nama yang sampai sekarang masih terus melekat: Anak Krakatau,” tulis Simon. Menurut Simon pos pengamatan yang dibangun Petroeschevsky terbukti amat berharga untuk memantau perkembangan Anak Krakatau: tumbuh dari bayi setinggi 20 kaki dan sepanjang setengah mil, mulai hidup pada 1930, menjadi puncak setinggi 500 kaki dan sepanjang satu mil dan selebar satu mil pada 1950, dan sekarang menjadi pulau monster setinggi 1.500 kaki dan berkawah dua. Di peta-peta kawasan itu, lanjut Simon, para hidrografer dari berbagai angkatan laut mengubah tanda pulau itu dari titik-titik “biru” yang berarti “baru, sementara, dan tidak pasti” menjadi “hitam legam” yang berarti “mapan, permanen, dan sudah menetap.” “Dari dulu ia adalah gunung berapi yang luar biasa aktif, yang tumbuh dengan cepat dan tak terhentikan sejak kelahirannya,” tulis Simon. Erupsi setiap hari 91 tahun kemudian dari munculnya tanda-tanda kelahirannya, Anak Krakatau melakukan erupsi setiap hari sejak 29 Juni 2018. Aktivitas erupsi itu diduga menjadi penyebab tsunami di Selat Sunda pada Sabtu malam, 22 Desember 2018 pukul 21.27 WIB. Tsunami itu menerjang pesisir tiga wilayah: Pandeglang, Serang, dan Lampung Selatan. Melalui akun twitter -nya, @Sutopo_PN, Sutopo Purwo Nugroho, kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, menyampaikan bahwa tsunami di Selat Sunda termasuk langka. Letusan Gunung Anak Krakatau juga tidak besar. Tremor menerus namun tidak ada frekuensi tinggi yang mencurigakan. Tidak ada gempa yang memicu tsunami saat itu. Itulah sulitnya menentukan penyebab tsunami di awal kejadian. Meskipun demikian, Sutopo menyebut bahwa “penyebab tsunami di Pandeglang dan Lampung Selatan kemungkinan kombinasi dari longsor bawah laut akibat pengaruh erupsi Gunung Anak Krakatau dan gelombang pasang saat purnama.” Dalam konferensi pers pada 24 Desember 2018, Dwikorita Karnawati, kepala BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) menyampaikan bahwa tsunami Selat Sunda tak lazim dan kompleks. Pemicunya adalah erupsi Gunung Anak Krakatau yang mengakibatkan kepundan (kawah gunung berapi) kolaps sehingga terjadi longsor bawah laut di bagian barat daya. Penghitungan sementara longsoran itu seluas 64 hektar. Tremor vulkanik setara magnitudo 3,4 yang diperparah oleh curah hujan yang tinggi dan gelombang pasang. Dampak tsunami di Selat Sunda per 25 Desember 2018 tercatat 429 orang meninggal, 1.485 orang luka-luka, 154 orang hilang, dan 16.082 orang mengungsi. Kerusakan fisik sebanyak 882 rumah, 73 penginapan, 60 warung, 434 perahu dan kapal, 24 kendaraan roda empat, 41 kendaraan roda dua, satu dermaga, dan satu shelter rusak. Tulisan ini diperbarui pada 25 Desember 2018.
- Perkawinan Anak yang Tak Kunjung Hilang
MARYATI pasrah. Di usianya yang masih 14 tahun, dia terpaksa meninggalkan bangku sekolah. Ayahnya terlilit utang. Dia hendak menikahkan Maryati dengan seorang lelaki yang jauh lebih tua. Maryati menolak. Dia kabur ke rumah neneknya, mencari perlindungan. Tak sampai di situ, Maryati bahkan sempat mengancam akan bunuh diri. Namun, ayahnya mengancam balik. Dia akan memenjarakan sang ibu jika Maryati menolak dinikahkan. “Dalam alam pikir anak SMP, dia tidak kepikiran kalau seseorang tidak bisa dipenjara tanpa alasan. Akhirnya, Kak Maryati menuruti keinginan ayahnya,” kata Lia Anggiasih, kuasa hukum Koalisi 18+, kepada Historia. Maryati merupakan salah satu penyintas perkawinan anak dari Bengkulu. Maryati tak sendiri. Data Badan Pusat Statistik tahun 2017 menunjukkan, 25,71% perempuan Indonesia usia 20-24 tahun menikah di usia kurang dari 18 tahun. Angka ini dijaring dari 34 provinsi. Kalimantan menempati angka tertinggi, yakni 39,53 %. Sementara, persentase pernikahan anak di seluruh Indonesia berada di atas 10% dan 23 provinsi di antaranya mencapai angka 25%. Dari data ini Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) menyimpulkan bahwa 67% wilayah di Indonesia mengalami darurat perkawinan anak. Maryati bersama dua peyintas lain dari Indramayu, Endang Wasrinah dan Rasminah, ikut mengajukan judicial review (JR) pada Mahkamah Konstitusi (MK). Ketiga perempuan penyintas itu bersama KPI, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA), dan beberapa organisasi lain yang tergabung dalam Koalisi 18+, mengajukan JR pada UU Perkawinan tahun 1974 tentang batas usia perkawinan. “Usaha JR pertama dimulai sejak tahun 2014, tapi waktu itu (sidang tahun 2015, red. ) ditolak. Tahun 2016 kami kembali mengadakan FGD dan penjaringan data untuk pengajuan JR kembali pada 2017,” kata Lia. Pada Kamis, 13 Dsember 2018, Ketua Majelis Hakim MK Anwar Usman memutuskan batas minimal usia perkawinan untuk perempuan harus dinaikkan dari sebelumnya 16 tahun. “Salah satu yang jadi pertimbangan hakim, UU Perkawinan seharusnya sinkron sengan UU Perlindungan Anak. Di sini anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun,” kata Lia. Sebelum putusan MK, berbagai usaha dilakukan seperti pengusulan Perpu ke presiden pada 2016. Usaha ini disambut baik dan diterima oleh Kepala Kantor Staf Kepresidenan Jenderal Purnawirawan Moeldoko dan Sylvana Apituley. Pada pertemuan April 2018, Lia menyaksikan sendiri janji Presiden Joko Widodo untuk mengesahkan Perpu Pencegahan dan Penghentian Perkawinan anak. Ditolak Sejak Lama Nursama, anak perempuan asal Aceh, masih berusia delapan tahun pada 1890 . Gadis belia ini dinikahkan dengan pamannya yang jauh lebih tua, Tanim. Kala itu, pernikahan anak menjadi hal yang jamak ditemui bahkan dianggap bagian dari adat. Nursama mengalami trauma hingga butuh waktu tiga bulan untuk pulih lantaran menikah saat belum siap secara seksual dan mental. Seorang pejabat Belanda yang merasa iba melaporkan Tanim ke pengadilan setempat ( Landraad ). Tanim lantas dijatuhi hukuman 15 tahun kerja paksa karena meniduri isterinya yang belum cukup umur. Kasus ini dimuat dalam buku Menikah Muda di Indonesia karya Sita van Bemmelen dan Mies Grijns. Pemerintah Belanda sudah memberi perhatian terhadap penghapusan perkawinan anak sejak 1900-an. Pemerintah memerintahkan tiap residen di Jawa dan Madura untuk membatasi perkawinan anak. Definisi perkawinan anak di masa itu pun mengalami tubrukan dengan adat istiadat. Dalam berbagai adat di Indonesia seorang perempuan masih dikategorikan sebagai anak bila belum mencapai pubertas. Namun definisi anak dalam hukum pernikahan adalah, anak perempuan hanya diperbolehkan menikah ketika usianya mencapai 15 tahun sementara anak laki-laki berusia 18 tahun. Jika keduanya belum mencapai usia 21 tahun, mereka perlu izin dari orang tua atau wali. “Saya rasa aturan pemerintah Belanda tentang batas usia perkawinan dipengaruhi oleh kebijakan dari Inggris yang kala itu menguasai India. Di India juga marak pernikahan anak, bahkan lebih parah dari Indonesia,” kata Sita van Bemmelen kepada Historia . Sebuah riset yang dilakukan pada 1905-1914 menyingkap, pernikahan anak jamak ditemukan di kalangan pribumi. Bahkan, anak yang belum mencapai pubertas pun sudah menjalani pernikahan. “Pemerintah kolonial punya persepsi, kalau dalam bahasa sekarang, pembangunan masyarakat di Jawa tidak bisa maju apabila perkawinan anak terus berlanjut. Karena anak-anak tergantung sama orang tuanya. Kalau orang tuanya juga masih anak-anak, pembangunan itu tidak bisa berjalan,” kata Sita. Penelitian itu memuat pula pandangan sembilan perempuan pribumi. Mayoritas menolak pernikahan anak. Para pejuang seperti Raden Ajoe Soegianto, bidan Djarisah, dan Dewi Sartika sangat mencela perkawinan anak. Mereka mengusulkan agar kebiasaan itu dihapuskan. Dewi Sartika bahkan menyebut perkawinan anak sebagai kanker sosial. “Pemikiran Siti Soendari tentang penghapusan perkawinan anak saya rasa yang paling tajam dan tegas. Ia mengusulkan agar penghapusan pernikahan anak bisa dilakukan lewat pendidikan,” kata Sita. Siti Soendari, lulusan hukum Universitas Leiden dan pemimpin redaksi Wanito Sworo, bahkan tidak hanya mencela perkawinan anak tapi memberikan usulan penananganan masalahnya. Menurut Soendari, langkah-langkah hukum untuk menangani perkawinan anak hanya membuat prosesnya makin sulit karena berbenturan dengan golongan agama. "Pada akhirnya, saya tidak tahu ada senjata lain melawan kebiasaan busuk ini selain pendidikan," kata Soendari. Perempuan Belanda pun khawatir terhadap kebiasaan pernikahan anak. Pada 1917, Kepala Sekolah Kartini di Semarang FA. Schippers menulis surat terbuka di koran kepada istri Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum lantaran prihatin melihat murid-muridnya yang masih belia harus keluar dari sekolah karena dinikahkan oleh orang tua mereka. Ia meminta perempuan nomor satu di Hindia Belanda itu menggunakan pengaruhnya untuk melawan pernikahan anak. Namun, surat Nyonya Schippers tidak mendapat jawaban. Protes terhadap praktik perkawinan anak juga dibahas dalam Kongres Perempuan Pertama, 1928. Nyonya Moega Roemah dari Puteri Indonesia membahasnya dalam pidatonya. Meski mayoritas masalah yang dibahas adalah poligami, urusan perkawinan anak tak dikesampingkan. Keprhatinan Moega Roemah, yang menolak keras praktik perkawinan anak, bermula ketika ia menyaksikan murid-murid perempuan harus berhenti sekolah di usia 11 atau 12 tahun lantaran akan dikawinkan. Anak-anak perempuan yang masih senang-senangnya bermain itu dengan berurai air mata harus menikah dengan laki-laki yang tak dikenal. Dalam pidatonya, Nyonya Moega menjelaskan bahwa dalam dunia anak-anak, konsep pernikahan belum tergambarkan. Ia juga memberi dampak-dampak buruk yang diterima perempuan dalam pernikahan dini, seperti putus sekolah, ketidaksiapan anak menghadapi dunia pernikahan, dan beban yang harus ditanggung anak ketika hamil atau punya anak. “Dapatkah ibu yang kurang umur itu melakukan kewajibannya yang penting dan sukar itu? Perkawinan anak-anak itu suatu masalah penting dan harus kita perhatikan dengan sebaik-baiknya,” kata Moega dalam pidatonya seperti dimuat Susan Blackburn dalam Kongres Perempuan Pertama, Tinjauan Ulang. Moega menyarankan, karena perkawinan anak bukan termasuk pembahasan utama, agar kongres memberi ruang tersendiri untuk membahas lebih jauh soal perkawinan anak. Ia juga mengusulkan agar gerakan perempuan bersama-sama mendesak majelis agama untuk melarang perkawinan anak. Namun, usul itu tak ditolak mentah-mentah. Hasil kongres pertama hanya mengamanatkan anggotanya untuk membuat propaganda tentang keburukan perkawinan dini dan mendesak pejabat setempat untuk memberikan penerangan tentang efek buruk perkawinan anak. Usaha menghentikan pernikahan dini berlanjut di Kongres Perempuan Indonesia II di Jakarta. Kongres menyepakati pembentukan Komite Perlindungan Kaum Perempuan dan Anak-anak Indonesia (KPKPAI) yang salah satu tugasnya mempelajari dan mengawasi kondisi anak-anak, termasuk pernikahan anak. KPKPAI pada Kongres III di Bandung diganti menjadi Badan Perlindungan Perempuan dalam Perkawinan (BPPIP). Masalah Batas Usia Pascakemerdekaan, usaha penghapusan pernikahan anak terus berjalan. Pada 1946, tulis Saskia Eleonora Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia , pemerintah mengeluarkan aturan tentang pencatatan pernikahan. Aturan turunannya berupa Instruksi Menteri Agama No. 4 tahun 1947 yang berisi anjuran pada pegawai pencatatan nikah untuk mencegah perkawinan paksa dan anak. “Sayang, dalam praktiknya baik perkawinan anak maupun perkawinan paksa tidak menurun,” tulis Saskia. Produk hukum itu sepaket dengan aturan pernikahan lain yang tidak memuat tentang larangan poligami. Alhasil, gerakan perempuan menolak UU tersebut. Mereka lalu mengusulkan perumusan UU pernikahan yang adil ke parlemen. Hasilnya, dibentuknya Komisi Nikah Talak dan Rujuk (NTR) pada 1950. Anggotanya, Nani Suwondo, Sujatin Kartowijono, Kwari Sosrosumarto, Maria Ullfah, Mahmudal Mawardi, dan tokoh agama dari kaum pria. Pada Desember 1952, Komisi NTR menyampaikan RUU yang di dalamnya mengatur batas usia perkawinan, perempuan 15 dan lelaki 18 tahun. Batas usia yang tidak berbeda dari hukum Belanda itu merupakan hasil kompromi berbagai pihak. Lantaran merasa kemajuan perumusan UU Perkawinan sangat lambat, Nyonya Sumari bersama para perempuan yang duduk di DPR, mengajukan RUU Perkawinan yang adil pada 1958. Dalam usulan Nyonya Sumari, batas usia pernikahan sama seperti Komisi NTR, yakni 15 untuk perempuan dan 18 untuk lelaki. Usulan batas usia pernikahan mengalami perubahan pada Februari 1973 seiring dengan penggalakan program Keluarga Berencana oleh pemerintah. Usulan ini didapat ketika pemerintah mengadakan public hearing dengan tokoh-tokoh Kowani lewat DPR. Maria Ullfah ikut dalam pertemuan itu. Hasil pertemuan mengusulkan agar batas usia pernikahan menjadi 18 untuk perempuan dan 21 untuk laki-laki. “Umur 21 dianggap sebagai umur ideal untuk pria karena sudah dapat menghidupi diri sendiri. Sementara usia paling dini bagi perempuan untuk menikah adalah 18 tahun,” kata Maria Ullfah dalam ceramahnya di Gedung Kebangkitan Nasional, 28 Februari 1981, yang dibukukan dengan judul Perjuangan untuk Mencapai Undang-Undang Perkawinan. Pengawalan terhadap batas usia nikah itu terus dilakukan Maria Ullfah dan rekan-rekannya. Mereka terus mengejar DPR agar segera menyelesaikan UU Perkawinan. Salah seorang yang mereka temui adalah Wakil Ketua DPR Sumiskun. Namun, ketika UU No. 1 tahun 1974 disahkan, usia minimal perkawinan adalah 16 untuk perempuan dan 19 untuk lelaki. Batas usia itu berlaku sejak masa kolonial dan bertahan hingga kini. Putusan MK untuk menaikkan batas usia perkawinan pada Kamis (13/12) lalu menjadi titik cerah meski tenggat yang diberikan cukup lama, tiga tahun. Putusan ini menjadi satu hal yang dinanti sejak seabad lalu. “Putusan MK ini menjadi hadiah bagi 90 tahun perjuangan gerakan perempuan sejak 22 Desember 1928. Namun kami tak puas begitu saja, tenggat tiga tahun itu masih sangat panjang. Padahal, Indonesia sudah mengalami darurat pernikahan anak,” kata Lia.
- Catatan tentang Islamisasi di Sumatra
PERDEBATAN soal kapan pertama kali Islam masuk ke Nusantara belumlah khatam. Sebagian percaya Islamisasi dimulai abad ke-7. Lainnya tak yakin dan menilai Islam baru masuk ke Nusantara sekira akhir abad ke-12 M. Arkeolog Uka Tjandrasasmita salah satu yang percaya Islam masuk sejak abad ke-7 M. Sedangkan abad ke-13 M adalah pertumbuhannya menjadi kerajaan bercorak Islam. Namun menurutnya hingga abad ke-13 M tahapan masuknya agama Islam masih terbatas di daerah Selat Malaka. Sebenarnya ada isyarat kalau pada abad ke-7 sampai ke-8 M Islam sudah masuk Sumatra. S.Q. Fatimi pada 1963 lewat jurnalnya berjudul “Two letters from the Maharaja to the Khalifah” dalam Islamic Studies menyebutkan raja Sriwijaya pernah mengirim surat kepada dua raja Arab: Khalifah Muawiyah ibn Abi Sufyan, pendiri Dinasti Umaiyah (661-680 M), dan Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz (717-720 M). Kedua surat itu ditemukan sastrawan al-Jahiz di arsip Dinasti Umayyah. Isinya maharaja Sriwijaya meminta raja Arab mengirim guru untuk mengajar Islam di Sriwijaya. Namun, tak diketahui apakah masing-masing raja Arab itu memenuhi permintaan maharaja Sriwijaya. Yang jelas, kata guru besar sejarah UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra, kedua surat itu menunjukkan kalau para pelaut, pedagang muslim pendatang tidak memperkenalkan Islam kepada maharaja Sriwijaya. "Sehingga dia merasal perlu meminta guru yang mengajarkan Islam," kata Azra dalam acara Borobudur Writers Cultural Festival ke-7 2018. Azra menyebut periwayatan al-Ramhurmuzi dalam kitab Ajaib al-Hind yang ditulis sekira 390 H (1000 M), sumber Timur Tengah paling awal tentang Nusantara. Isinya tentang kunjungan para pedagang muslim di Kerajaan Zabaj (Sriwijaya). Penuturannya mengindikasikan Islam sudah ada di Nusantara pada abad ke-10 M dengan adanya orang muslim di Sriwijaya. "Tapi nampaknya muslim itu orang asing. Sebaliknya tak ada indikasi kalau penduduk lokal telah masuk Islam apakah dalam jumlah relatif kecil, apalagi massal," ujar Azra. Lebih lanjut dia menegaskan lebih yakin proses Islamisasi di Nusantara mulai terjadi pada akhir abad ke-12 M. Kesultanan Perlak Keberadaan Kesultanan Perlak yang dipercaya berdiri abad ke-9 M, Uka Tjandrasasmita meragukannya. Dalam makalahnya, “Pasai dalam Dunia Perdagangan” yang terbit di Pasai Kota Pelabuhan Jalan Sutra: Kumpulan Makalah Diskusi, Uka menulis keberadaan Perlak masih perlu diteliti. Apakah menjelang kedatangan Marco Polo ke sana atau jauh sebelumnya sudah berkembang. Sepulang dari Tiongkok, penjelajah asal Venesia itu singgah di pesisir Selat Malaka pada 1292 M. Dia menceritakan di Ferlec (Perlak), sekarang Aceh timur, sudah terdapat pedagang Saracen yang berdatangan dengan kapal-kapalnya secara teratur. Merekalah yang mengenalkan hukum Islam kepada penduduk Perlak. Dulunya, orang-orang di Perlak adalah penyembah berhala. “Jadi, paling tidak beberapa tahun sebelumnya Perlak sudah didatangi pedagang muslim,” kata Uka. Kendati begitu, menurut Marco Polo, yang berubah kepercayaan rupanya hanya penduduk kota. Mereka yang tinggal di pegunungan hidup seperti binatang dan menyembah berbagai hal. Apapun yang mereka lihat pertama kali ketika bangun tidur di pagi hari, maka itulah yang mereka sembah. Marco Polo menyaksikan kondisi tak berbeda di Samudera atau yang dia sebut dengan Sumatra. Tempat itu yang kemudian menjadi pelabuhan terkemuka bernama Pasai. Dia melewatkan lima bulan di sana. Katanya penduduk di sana adalah penyembah berhala. Orang-orangnya liar. Agaknya 53 tahun kemudian kondisi di Samudera sudah jauh berbeda. Ini disaksikan Ibn Battuta, pelawat Maroko yang mampir ke Samudera Pasai pada 1345. Dalam Rihla Ibnu Batutah , Ibnu Battuta berkisah tentang pertemuannya dengan sultan ketiga Samudera Pasai, Sultan Malik al-Zahir II. Sang sultan merupakan muslim yang saleh, menjalankan Islam dengan penuh semangat. Sementara itu dia tak menyebut Perlak. “Satu hal yang penting, mereka yang menjemput (Ibnu Battuta di pelabuhan, red. ) adalah ulama dari mancanegara, yang dilihat dari namanya berasal dari Persia,” kata Azra. Ketika itu Samudera Pasai merupakan kesultanan yang kosmopolitan. Kendati keislaman di kesultanan sudah kuat, wilayah Pasai masih belum sepenuhnya Islam. Di sana masih banyak warga yang belum Islam. “Dia (sultan, red. ) sering terlibat dalam perang agama melawan orang-orang kafir maupun dalam misi penyerangan. Mereka menguasai orang kafir yang tinggal di daerah sekitar, yang akan membayar pajak kepada mereka demi mempertahankan kedamaian,” tulis Ibnu Battuta. Kesultanan Samudera Pasai Sekira dua abad berikutnya, penjelajah asal Portugis, Tome Pires datang memberikan kesaksian yang lebih lengkap soal Sumatra terutama Samudera Pasai. Perlak tak lagi muncul dalam kesaksiannya. Padahal dia menyebutkan nama-nama kerajaan lainnya di Sumatra. Menariknya, kata Pires, Pasai dulunya diperintah oleh raja Pagan. Ketika dia datang, 160 tahun seudah berlalu sejak raja pagan itu digulingkan oleh pedagang Moor yang licik. Waktu itu, orang Moor sudah menguasai pesisir pantai. Mereka akhirnya mengangkat seorang raja Moor yang berasal dari kasta Bengal. Mulai saat itu, Pasai selalu dipimpin oleh orang Moor. “Semua penduduknya yang berada di pesisir pantai di sisi Terusan Malaka beragama Moor. Meski demikian, hingga kini mereka masih berlum berhasil mengubah kepercayaan masyarakat pedalaman,” lanjut Pires. Dalam Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-kota Muslim di Indonesia, Uka Tjandrasasmita menjelaskan munculnya kerajaan Samudera Pasai dapat dihubungkan dengan kondisi politik Kerajaan Sriwijaya yang mulai melemah. Kerajaan maritim itu tak lagi mampu menguasai daerah kekuasaannya. Situasi itu kemudian dipergunakan oleh orang muslim. Tak hanya untuk membentuk perkampungan perdagang yang ersifat ekonomis. Namun juga untuk membentuk struktur pemerintahan, yang menurut cerita tradisi Hikayat Raja Pasai , dengan mengangkat Marah Silu, kepala suku Gampong Samudera, menjadi Sultan Malik as-Salih. Dialah sultan pertama Samudera Pasai. Adapun Perlak sudah merupakan kerajaan bercorak Islam ketika Marco Polo datang dengan sultannya, Marhum Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah. Pada masa pemerintahan Raja Muhammad Amin Syah (1225-1263 M) terjadi pernikahan antara putri dari Perlak bernama Ganggang Sari dengan Marah Silu yang kemudian mendirikan Kerajaan Samudera Pasai. Tentunya versi cerita tradisi ini agak berbeda dengan penuturan Tome Pires yang menyebut raja Samudera Pasai adalah orang Moor. Namun pastinya bahkan pada masa Samudera Pasai pun mayoritas masyarakat Nusantara belum memeluk Islam. Apalagi di Jawa, Majapahit masih berkuasa. Di Nusantara, pada abad ke-13 M, proses Islamisasi itu masih berlangsung.
- Ketika Poligami Jadi Soal Negara
SITI HARTINAH, istri Presiden Soeharto, punya pegangan hidup dalam membina biduk rumah tangga. Bagi Ibu Negara yang akrab di sapa Ibu Tien ini, prinsip pernikahan monogami adalah harga mati. “Hanya ada satu nyonya Soeharto, dan tidak ada lagi yang lainnya. Jika ada, akan timbullah satu pemberontakan yang terbuka dalam rumah tangga Soeharto,” kata Soeharto sambil tersenyum kepada jurnalis Jerman, O.G. Roeder dalam Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto. Baca juga: Soeharto-Hartinah, kisah romansa anak desa Prinsip ini pula yang dijunjung tinggi Soeharto sejak menyunting Tien sebagai pendamping hidupnya. Dalam suasana revolusi, Tien dan Soeharto memutuskan menikah pada 26 Desember 1947. Hingga akhir hayat masing-masing, keduanya tetap setia sebagai pasangan suami-istri. Suara dari Istana Menurut Roeder, Ibu Tien sangat menentang poligami. Soalnya, pria yang memperistri lebih dari satu perempuan seringkali menimbulkan ketidakadilan dalam perkawinan. Rentannya kedudukan perempuan akibat belenggu poligami memicu Tien ikut memperjuangkan hak perempuan. Itulah sebabnya, Tien berpadu dengan para pemimpin organisasi wanita yang getol memperjuangkan Undang-undang (UU) Perkawinan. Sejak pengujung 1960, Rancangan UU Perkawinan telah digulirkan. Namun prosesnya berjalan alot penuh aral. Di tingkat legislatif, wacana UU Perkawinan memantik perdebatan dan pertentangan yang ujung-ujungnya mentok. Baca juga: Hartini dan Jenderal AH Nasution yang antipoligami Penolakan terutama datang dari kelompok Islam karena praktik poligami dibenarkan dalam hukum syariat. Pasal-pasal dalam UU Perkawinan dianggap bertentangan dengan syariat Islam. Tak heran, demonstrasi kerap mewarnai perjalanan menggolkan UU Perkawinan baik dari mereka yang pro maupun kontra. Bila organisasi wanita saat itu memperjuangkan UU Perkawinan lewat serangkaian aksi unjuk rasa, maka Tien bergerak dari jalur istana. Tien mendorong suaminya agar memberikan ruang bagi perempuan melalui UU Perkawinan. Soeharto yang menerima RUU Perkawinan itu kemudian meneruskannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). “Dalam membina keluarga yang bahagia sangatlah perlu adanya usaha yang sungguh-sungguh untuk meletakkan perkawinan sebagai ikatan suami-istri dalam kedudukan yang semestinya dan suci,” kata Soeharto di hadapan DPR dikutip Abdul Gafur dalam Siti Hartinah: Ibu Utama Indonesia . "Karena itu sudah seharusnya negara memberikan perlindungan yang selayaknya kepada suami atau istri terhadap tujuan-tujuan yang menyimpang dari kerukunan perkawinan." Baca juga: Asal-usul batas usia minimal dalam UU Perkawinan No.1/1974 Pada 2 Januari 1974, RUU Perkawinan akhirnya diputuskan sebagai UU No. 1 tahun 1974. UU ini memang tak melarang poligami tetapi mengatur regulasinya sesuai peraturan perundang-undangan. Perjuangan kaum istri terjawab setelah UU ini menetapkan bahwa seorang pria hanya boleh memiliki seorang istri dan seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami. Presiden Soeharto membubuhkan tanda tangannya, mensahkan UU yang peka dan pelik itu. Menjewer Pejabat Negara Tien agaknya menyadari praktik poligami juga dilakukan oleh para pejabat tinggi negara. Di kalangan TNI, misalnya, beberapa jenderal teras punya reputasi sebagai “Don Juan”. Jenderal Soemitro dan Herman Sarens Sudiro hanyalah segelitir nama. Menyaksikan hal demikian, Tien pun jengah. “Memang Ibu Tien Soeharto sangat mengecam perwira yang poligami. Dan bisa jadi akhir buat karier perwira itu di TNI,” kata Sayidiman Suryohadiprodjo, wakil KSAD periode 1973-74, kepada Historia. Baca juga: Herman Sarens, perwira yang nyaris ditembak Soeharto Ikhtiar Tien untuk mencegah poligami dan perceraian pun tak berhenti sampai UU Perkawinan. Peraturan serupa diberlakukan kepada tentara pada 1980 dan polisi pada 1981. Puncaknya ketika dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 tentang izin pernikahan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada 21 April 1983. Menurut Cindya Esti Sumiwi, lahirnya PP tersebut lantaran berbagai tuntutan dari para anggota Dharma Wanita (istri-istri PNS) yang resah dengan kelakuan suami mereka. Kelakuan yang dimaksud seperti poligami secara diam-diam maupun perceraian yang sewenang-wenang. “Pada intinya, PP ini membahas mengenai peraturan pernikahan untuk PNS yang bersangkutan meminta izin kepada atasannya dan diizinkan secara tertulis, baik untuk percerain atau pernikahan yang kedua/ketiga/dan seterusnya,” tulis Cindya dalam skripsinya di Universitas Indonesia berjudul “Perjalanan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia 1974—1983”. Baca juga: Perempuan selalu menjadi korban dari praktik poligami Menurut Ny. T. Fuad Hasan dalam Dwiwindu Dharma Wanita: 5 Agustus 1974-5 Agustus 1990 , pengesahan rancangan PP No. 10 tak terlepas dari peranan Ibu Tien. Perannya secara gamblang terjejaki dalam buklet Dharma Wanita yang mengakui dukungan kuatnya dalam perjuangan Dhama Wanita untuk PP 10. Dalam artikelnya "Seksualitas dalam Pengaturan Negara", dimuat Prisma , 7 Juli 1991, sejarawan-cum-aktivis gender Julia Suryakusuma menyebut konon PP 10 merupakan cermin kecemasan dari seorang Tien Soeharto terhadap kebiasaan kawin-mawin pejabat elite bergaya priayi. Umum diketahui, Ibu Tien Soeharto dapat menentukan nasib pejabat tinggi pemerintahan yang melakukan “pelanggaran seksual”, seperti misalnya perceraian ataupun poligami. Bagi mereka yang berani membangkang, siap-siap saja kena ganjarannya. Baca juga: Widjojo Nitisastro, perancang ekonomi Orde Baru Widjojo Nitisastro yang menjabat menteri koordinator ekonomi merangkap ketua Bappenas hanyalah satu contoh yang harus menerima konsekuensi PP 10. Widjojo memutuskan menceraikan istrinya dan menikahi sekretarisnya. Dia akhirnya harus melepas jabatannya namun tetap dipertahankan sebagai penasihat ekonomi. “Sanksi pelanggaran berupa penundaan kenaikan pangkat atau gaji, dan paling buruk, dipecat dengan tidak hormat dari kepegawaian,” tulis Julia. Baca juga: Rahmah El Yunusiyah, ulama perempuan yang menolak keras dipoligami
- Tank Gaek Bertahan Hidup
SUARA mesinnya masih gahar. Manuver-manuvernya masih lincah. Tank tua M3A1 Stuart itu masih jadi momok buat pasukan TKR Resimen Magelang, Purwokerto, dan Banyumas bersama barisan rakyat. Namun, siang itu tank gaek yang dinamai “Alexander” itu tetap tak mampu melindungi serdadu Inggris yang telah terkepung pasukan republik. Fragmen klimaks Palagan Ambarawa (20 Oktober-15 Desember 1945) itu digambarkan secara kolosal dalam sebuah aksi teatrikal oleh TNI AD bekerjasama dengan komunitas Djokjakarta 45. Atraksi yang diikuti para reenactor dari Yogyakarta, Bekasi, Solo, Temanggung, hingga Palangkaraya itu diadakan di Lapangan Panglima Besar Jenderal Sudirman, Ambarawa, Sabtu siang, 15 Desember 1945 dalam rangka memperingati Hari Juang Kartika. Ribuan warga yang menyaksikannya dari pinggir lapangan kian merasakan sensasi pertempuran lewat beragam ledakan mercon sebagai efek pengeboman dari dua pesawat Grob G 120TP Skadron Pendidikan 101 TNI AU dari Lanud Adisucipto, Yogyakarta yang melakukan beberapa kali flypass di langit Ambarawa. Muasal Tank Stuart Light Tank M3A1 Stuart yang jadi “bintang” dalam aksi teatrikal itu merupakan koleksi Pusat Pendidikan Kavaleri (Pusdikav) yang berada di bawah naungan Pusat Kesenjataan Kavaleri Komando Pendidikan dan Pelatihan (Pussenkav Kodiklat) TNI AD. Tank bernomor lambung 40-32 itu buatan Amerika Serikat (AS) semasa Perang Dunia II. “Ini tinggal satu-satunya yang masih jalan dan masih hidup. Dulu sebenarnya masih ada dua di Pusdikav. Yang satu dibawa ke Palembang untuk dibuat cagar (Monumen Perjuangan Rakyat Palembang),” terang Lettu (Kav) Muhidin, kepala kru tank, kepada Historia. Lettu (Kav) Muhidin (kanan) bersama dua kru Tank Stuart yang berada di bawah naungan Pusdikav TNI AD Light Tank M3 Stuart dibuat oleh American Car and Foundry Company (kini ACF Industries LLC) sejak 1941. Mengutip Samuel Zaloga dalam M3 & M5 Stuart Light Tank , namanya diambil dari seorang jenderal ternama Pasukan Konfederasi di masa Perang Saudara AS James Ewell Brown “Jeb” Stuart. Tank ringan ini juga diproduksi sebagai tank berawak pertama AS di PD II. Berdimensi lebar 2,29 meter, panjang 4,84 meter plus berbobot 15,2 ton, serta dilindungi “baju zirah” setebal 63,5 milimeter, tank empat awak ini tenaganya disuplai mesin tujuh silinder Continental W-670 berbahan bakar bensin. Untuk daya gempur, Stuart dibekali meriam M6 (37 milimeter) plus tiga senapan mesin Browning M1919A4. Di eranya, Tank Stuart jadi salah satu yang tergesit dengan kecepatan maksimal 58km/jam. Inggris sebagai salah satu sekutu utama AS mengkloning tank serupa dengan beberapa varian khusus untuk misi pengintaian (Stuart Reece tanpa meriam), Stuart Command, dan Stuart Kangaroo untuk markas radio berjalan, serta Stuart Artilery Tractor untuk keperluan zeni. Di front Eropa Barat dan Afrika Utara, Tank Stuart M3 dan “saudaranya” M5 jarang beraksi lantaran Sekutu lebih memilih Tank Sherman untuk menembus pertahanan Jerman Nazi dengan tank-tank beratnya. Stuart lebih diandalkan AS di front Pasifik untuk meladeni Jepang yang mayoritas ranpurnya juga tank ringan macam Ha-Go dan Chi-Ha. Di Indonesia, Stuart masuk awalnya dibawa Inggris dan Belanda. Operasi-operasi militer keduanya acap memicu pertempuran besar, baik di Surabaya (Pertempuran 10 November), Bekasi (Pertempuran Sasak Kapuk 29 November dan Bekasi Lautan Api 13 Desember), Sukabumi (Pertempuran Bojongkokosan 9 Desember), maupun Ambarawa (Palagan Ambarawa 15 Desember). Dalam era revolusi itu pula sejumlah Stuart berpindahtangan ke pihak Indonesia. “Perebutan situasional (pertempuran) saja. Resminya semua hibah (Februari 1950),” kata pengamat alutsista Haryo Adjie Nogo Seno saat dihubungi Historia. Pemimpin Redaksi Indomiliter .com dan penulis Monster Tempur Kavaleri Indonesia itu juga mencatat, di bawah TNI AD, Tank Stuart warisan Belanda itu dijadikan kekuatan pengawal infantri dalam sejumlah operasi militer sejak hibah dari KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) pada Februari 1950. Seperti, operasi penumpasan RMS dan DI/TII (1950), PRRI dan Permesta (1958), dan penumpasan PKI 1965-1966. Pada 1970-an, Stuart tak lagi jadi kekuatan utama TNI AD seiring peremajaan alutsista. Langkanya beberapa spare parts membuat Stuart jadi alutsista usang yang kian jadi bangkai. Paling bagus dijadikan monumen seperti di beberapa kota seperti Bandung, Sukabumi, dan Palembang. Bertahan Hidup Setelah para “rekannya” menemui ajal, Stuart 40-32 kini sebatang kara. “Hanya untuk show saja di beberapa event dan film, seperti film Darah Garuda (2010). Kalau di negara asalnya jelas masih ada beberapa yang hidup. Tapi di Indonesia, itu (Tank 40-32) satu-satunya,” lanjut Haryo. Pun begitu, Pussenkav dan Pusdikav masih berkomitmen untuk menjaga tank legendaris ini tetap hidup kendati tak semudah membalikkan telapak tangan. “Lumayan susah. Dengan jenis mesin Continental tujuh silinder ini sudah enggak ada komponen dan spare part -nya di Indonesia. Contoh kecilnya saja, seperti platina. Kami sempat bingung cari yang sejenis dia ini seperti apa. Apalagi tipenya kan seperti mesin 2 tak. Tidak ada pendingin seperti air, hanya pendingin udara dan oli saja. Tapi memang dari jajaran petinggi di Pusdikav dan Pussenkav berpesan untuk dirawat, untuk mengenang sejarah,” kata Lettu (Kav) Muhidin lagi. Light Tank Stuart yang nyaris 100 persen masih orisinil dan dalam satu jam pengoperasian membutuhkan bahan bakar full tank 200 liter bensin (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Alhasil, Stuart yang dibawa ke Palembang untuk ditempatkan di Monpera, beberapa komponen pentingnya terlebih dulu dikanibal. “Karena memang awalnya yang satu lagi sudah rusak parah. Makanya kami kanibal untuk diambil suku cadangnya dipindahkan ke yang satu lagi ini. Kami cukup kerepotan merawat yang sudah rusak parah itu,” lanjutnya. Hampir semua komponen yang ada di Stuart yang masih bertahan hidup itu asli, kecuali starter -nya yang diganti dengan komponen dari Tank AMX. “Semua sistemnya masih berfungsi juga. Termasuk sistem tembaknya – kalau memang ada amunisinya. Kita ya sudah tidak ada,” imbuh Muhidin. Satu hal unik dari tank uzur ini, dalam beberapa kesempatan tank ini dinaungi beberapa hal mistis. “Ya ada saja sih, kejadian. Seperti di event peringatan Serangan Umum 1 Maret tahun 2016, pernah mesinnya menyala sendiri. Teman-teman dan anak buah juga di markas kadang-kadang melihat lampunya juga menyala sendiri. Padahal enggak ada orang di dalamnya. Ditambah malam sebelum acara Hari Juang Kartika ini, saat kami lakukan persiapan, kami mencium bau-bau wangi begitu,” tandasnya.
- Keistimewaan Wallacea
Kawasan Wallacea, meski mungkin tak dinilai penting bagi negara lain, tapi sebaliknya untuk Indonesia. Wilayah itu dinilai sebagai laboratorium alam yang tak ada duanya di dunia. Wallacea adalah kawasan biogeografis yang mencakup kepulauan di wilayah Indonesia bagian tengah. Letaknya terpisah dari paparan benua Asia dan Australia. Ini meliputi tiga komponen, Pulau Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku. "Garis Wallace, untuk Indonesia penting. Inggris mungkin peduli dia, tapi ini luar biasa sebenarnya," jelas Sangkot Marzuki, Presiden Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), dalam acara Borobudur Writers & Cultural Festival ke-7, di Hotel Manohara, Magelang, Jawa Tengah. Kawasan Wallacea. (Wikipedia). Nama Wallacea diambil dari Alfred Russel Wallace, naturalis asal Inggris. Dari perjalanan berkelana di KepulauanNusantara selama delapan tahun (1854-1862), ia lalu membagi batas-batas fauna secara geografis, yang dikenal sebagai Garis Wallace. "Jadi Wallace dalam perjalanannya menjelajah Kepulauan Nusantara, dia berdiri di Lombok melihat, lalu sadar ada dua fauna yang berbeda," lanjut Sangkot. Tak ada batas yang tegas. Namun perbedaannya sebesar antara fauna di Afrika dan Amerika Selatan dan lebih dari Eropa dan Amerika Utara. Garis batas itu, lanjut Sangkot, lewat di antara pulau-pulau yang lebih dekat daripada pulau-pulau yang termasuk dalam kelompok yang sama. "Maksudnya Bali dan Lombok itu kan lebih dekat dibanding pulau lain, tapi garisnya ada di situ," ujar peneliti yang menekuni bidang biogenesis dan kelainan genetik manusia itu. Melihat ini, kata Sangkot, Wallace menjadi yakin sebelah barat merupakan bagian yang terpisah daripada benua Asia. Sementara sebelah timur adalah perpanjangan fragmen dari bekas benua barat Pasifik. "Bayangkan Darwin dan Wallace sama-sama bercerita tentang evolusi makhluk hidup, Wallace sudah bercerita tentang evolusi bumi," lanjut Sangkot, yang pernah menjabat sebagai direktur Lembaga Eijkman pada 1992-2014. Lalu apakah ada bukti kalau teori Wallace benar? Sangkot bilang, baru 150 tahun kemudian, seorang geolog di London mencoba merekonstruksi reformasi geologi di Nusantara. Sekira 50 juta tahun lalu Sumatra, Jawa dan Kalimantan merupakan bagian dari Asia. Adapun Sulawesi terdiri dari potongan-potongan daratan yang datang dari banyak arah. Pun fauna, flora, dan bakteria yang ada di Nusantara. Bagian barat datang dari Asia. Bagian timur dari Australia. Sementara yang di tengah merupakan campuran. "Kita lihat bahwa Kepulauan Nusantara yang ada sekarang ini sebagian datang dari Asia, sebagian dari Papua Australia, yang ini (Sulawesi, red. ) gado-gado dia," jelas Sangkot. Selain ada yang memang datang menyebrangdari luar, di wilayah Wallacea, flora dan faunanya pun ada yang berevolusi, lahir dan tumbuh di sana. Untuk kasus ini contohnya adalah cengkeh. Sampai 600-700 tahun lalu, hingga Eropa datang, cengkeh hanya tumbuh di Ternate dan Tidore, juga Pulau Makian. "Unik sekali hanya ada di situ. Betul-betul khas untuk daerah yang sekarang dinamakan daerah Wallacea, bukan Asia, bukan Papua atau Australia, tapi Wallacea," jelas Sangkot lagi. Itulah sebabnya, menurut dia, daerah Wallacea begitu unik sekaligus penting. Di sanalah, di mana ada satu pulau yang terdiri atas potongan-potongan daratan dari berbagai arah, lalu membawa organisme hidup yang berasal dari tempat berjauhan. "Wallacea ini banyak dibicarakan periset di sana. Ini laboratorium alam yang tak ada duanya di dunia," tegas Sangkot.
- Memahami Sejarah lewat Lukisan
SAMBIL menunggangi kuda hitamnya, Pengeran Diponegoro mengacungkan jari telunjuk. Tangannya yang lain memegangi tali untuk mengendalikan kuda. Penggambaran adegan itu terdapat dalam lukisan Diponegoro karya Basuki Abdullah yang dibuat tahun 1949. Tak ada satu pun potret wajahnya namun hal ini jadi kesempatan bagi para pelukis untuk mengabadikan profil dan kisah-kisahnya secara visual. Ada berbagai versi lukisan Diponegoro. Ada profilnya pakai blangkon dan surjan, atau potret setengah badan. “Lukisan Diponegoro yang paling populer yakni Diponegoro naik kuda karya Basuki Abdullah meniru gaya Napoleon Crossing the Alps (1801) karya Jacques Louis David,” kata Mikke Susanto ketika memaparkan makalahnya di Seminar Sejarah Nasional (3/12). Penggambaran Diponegoro lewat lukisan merupakan satu wujud dokumentasi sejarah ketika tokoh atau peristiwa sejarah tak sempat terekam dalam foto. Lukisan tentang potret pahlawan terus diproduksi pascakemerdekaan. Sukarno yang menggemari seni lukis, memajang lukisan potret para pahlawan di Istana Merdeka dan Bogor. Pada dekade 1980-an, potret pahlawan karya Basuki Abdullah menjadi paling populer. “Ratusan potret pahlawan direproduksi besar-besaran. Padahal Basuki Abdullah (ketika melukis Diponegoro, red. ) tidak bersumber dari foto, dia dari imajinasi,” kata Mikke. Selain sebagai wujud dokumentasi, lukisan juga bisa menjadi rujukan dalam penulisan sejarah. Keberadaan seni lukis, tulis Agus Burhan dalam artikel “Ikonografi dan Ikonologi Lukisan Djoko Pekik: ‘Tuan Tanah Kawin Muda’” yang dimuat dalam Jurnal Panggung, tidak bisa sekadar dilihat sebagai ungkapan artistik saja. Lebih dari itu, seni lukis bisa dipandang sebagai produk sosiokultural. Suatu karya yang diproduksi, dalam konteks sejarah, melibatkan kondisi sosiokultural yang membangunnya. Maka, Agus melanjutkan, seni lukis bisa menjadi rujukan yang memberi gambaran kondisi di masa tersebut. Ada lima aliran lukisan sejarah. Lukisan sejarah agama, mitologi, alegori, sastra, dan lukisan sejarah peradaban. Namun, tak semua lukisan bisa dijadikan rujukan dalam penulisan sejarah. “Kalau sebuah karya menganut konsep lukisan sejarah peradaban, lukisan itu bisa dipakai sebagai rujukan. Setidaknya memberikan gambaran tentang masyarakat di masa itu,” kata Mikke. Lukisan sejarah rata-rata beraliran realis, yang memudahkan orang mendapat gambaran atas hal yang ditampilkan. Pun sejak awal perkembangannya, lukisan sejarah diawali dengan gambaran yang paling mendekati wujud aslinya, baru kemudian berkembang lukisan sejarah dengan gaya non-realis. Di tangan Pablo Picasso, misalnya, lukisan sejarah disajikan dengan gaya kubistis yang berkembang di tahun 1930-an. Guernica (1937) karya Picasso punya konteks kesejarahan dengan peristiwa pengeboman di Kota Guernica pada April 1937 oleh tentara Nazi Jerman di tengah perang sipil Spanyol. Korban pengeboman yang mayoritas perempuan dan anak –karena para pria sedang pergi berperang– menggungah Picasso untuk membuat karya sebagai sikap protes. Lukisan itu selesai dibuat dua bulan setelah peristiwa. Guernica, seperti ditulis situs resmi pablopicasso . org, menjadi karya politis Picasso yang paling terkenal. Di Indonesia lukisan sejarah bisa dijumpai dalam karya Affandi Laskar Rakyat Mengatur Siasat (1946). Lukisan Affandi memberi gambaran para rakyat pejuang berkumpul dan mengatur strategi untuk melawan Belanda di masa revolusi. “Lukisan Affandi bisa dipakai sebagai sebuah rujukan untuk memberi gambaran bagaimana orang berkumpul di satu titik untuk membahas penyerangan,” kata Mikke. Karya lain yang bisa dijadikan rujukan, ialah Tuan Tanah Kawin Muda (1964) karya Djoko Pekik. Karya yang menampilkan seorang lelaki tua berbaring ditunggui seorang perempuan muda ini menjadi gambaran penindasan laki-laki pada perempuan lewat kekuasaan berupa modal ekonomi, sosial, dan kultural. Agus juga menilai Tuan Tanah Kawin Muda sebagai gembaran pertikaian kekuasaan laki-laki penguasa dengan perempuan rakyat jelata, dalam seting budaya feodal. Namun demikian, tak semua karya lukis bisa dijadikan sumber sejarah dan memerlukan kritik dengan membandingnya dengan fakta-fakta sejarah. Lukisan Raden Saleh berjudul Penangkapan Pangeran Diponegoro (1857) misalnya. Ada beberapa gambaran yang tidak sesuai dengan fakta sejarah seperti lokasi penangkapan. “Kalau dilihat pakaiannya benar, tapi tempatnya tidak seperti yang dilukisan. Jadi lukisan karya Raden Saleh pun perlu dikritik. Tidak semua lukisan sejarah benar adanya tapi bisa digunakan sebagai rujukan atau alat pembelajaran sejarah,” kata Mikke.
- Soe Hok Gie dan Tentara
RUDY BADIL masih ingat kata-kata sobatnya, Soe Hok Gie. Suatu hari, aktor intelektual gerakan mahasiswa 1966 itu bilang bahwa politik merupakan dunia yang sangat dihindarinya. Kalaupun pada akhirnya dia ada di dunia politik, Soe meyakinkan bahwa itu adalah jalan terakhir yang terpaksa harus diambilnya karena jalan yang lain sudah tertutup. “Orang lurus macam dia memang tak cocok ada di dunia politik,” ujar mantan jurnalis senior itu kepada . Soe memang pernah mengungkapkan hal tersebut dalam catatan hariannya yang dibukukan berjudul . Pada 16 Maret 1964, dia menulis bahwa politik adalah barang paling kotor, lumpur-lumpur kotor yang di dalamnya sama sekali tak mengenal moral. “Tetapi suatu saat di mana kita tak dapat menghindari lagi maka terjunlah … Dan jika sekiranya saatnya sudah sampai aku akan ke lumpur ini,” ungkapnya. Namun apa yang dihindari Soe ternyata harus terjadi juga. Ketika kekuatan politik Presiden Sukarno semakin menguat pada pertengahan 1960-an, dia tak menemukan cara lain untuk meruntuhkannya selain bekerja sama dengan tentara (Angkatan Darat). “Yang penting ialah mendapatkan kekuatan yang diperlukan, sebab jika kita tak memelihara kekuatan dan hanya studi terus, kita akan disapu bersih oleh grup lawan,” kata Soe Hok Gie. Aliansi Mahasiswa-Tentara Sejak meyakini gerakan mahasiswa tidak akan berhasil meruntuhkan kekuasaan Presiden Sukarno tanpa kekuatan politik lain, Soe mulai melihat tentara (baca: Angkatan Darat) sebagai mitra yang potensial. Menurut Daniel Dhakidae dalam "Soe Hok Gie Sang Demonstran", kata pengantar untuk Catatan Seorang Demonstran , hubungan Soe dengan tentara bisa terwujud karena jasa Nugroho Notosusanto, seniornya di Fakultas Sastra jurusan sejarah Universitas Indonesia. Lewat Nugroho yang juga kepala Pusjarah ABRI (Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), Soe membangun jaringan dengan Kolonel Suwarto, komandan SSKAD (Sekolah Staf Komando Angkatan Darat). Siapakah sebenarnya Suwarto? Menurut Anton Ngenget (eks agen CIA dan KGB di Indonesia), Suwarto adalah seorang tentara yang memiliki kecenderungan politik kepada Barat. “Saya tahu persis, dia pro-Amerika,” ungkap Anton dalam suntingan Eros Djarot dkk. Soe juga merintis hubungan ke beberapa perwira Kodam Siliwangi yang anti-Sukarno. Lewat Suripto (eks aktivis mahasiswa Bandung yang bekerja di Komando Operasi Tertinggi), Soe bisa mengenal Brigadir Jenderal TNI Kemal Idris, kepala staf Kostrad, dan Brigadir Jenderal TNI Yoga Sugama, perwira intelijen Komando Operasi Tertinggi. “Soe sering berunding dengan Suripto di kawasan Senayan,” ujar John Maxwell dalam disertasinya Soe Hok Gie: A Biography of A Young Indonesian Intellectual (diterjemahkan menjadi Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani). Hubungan baik dengan para perwira anti-Sukarno itu terbukti banyak gunanya bagi gerakan mahasiswa yang sedang berupaya meruntuhkan kekuasaan Sukarno. Bukan saja sumbangan materi, namun juga back up keamanan dalam setiap demonstrasi anti-Sukarno. “Di sekeliling mahasiswa sudah disediakan RPKAD preman. Merekalah yang akan menghadapi tukang-tukang pukul dan orang-orang bayaran dari kaum ASU-Soebandrio-Chairul Saleh,” tulis Soe dalam catatan hariannya. Menurut Maxwell, banyak aktivis mahasiswa yang sering berkumpul di Senayan (kediaman Suripto) mendapat akses dan diizinkan menumpang kendaraan militer sehingga mereka bisa menghindari jam malam. Bahkan ada beberapa aktivis mahasiswa yang dibekali senjata, termasuk Soe Hok Gie. “Dia pernah membawa pistol kaliber FN 9 mm di dalam ranselnya,” tulis Daniel Dhakidae dalam “Sekali Lagi Soe Hok Gie,” Sinar Harapan , 8 Januari 1970. Daniel mengutip pernyataan Boeli Londa, sahabat Soe. Sejarah mencatat, aliansi mahasiswa-tentara itu berbuah manis. Sukarno yang berkuasa selama 22 tahun sejak 1945, akhirnya berhasil ditumbangkan untuk menerbitkan rezim Orde Baru di bawah Jenderal TNI Soeharto. Mengatur Jarak Kemenangan grup tentara anti-Sukarno disambut hangat oleh sebagian besar tokoh KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Tetapi tidak oleh Soe Hok Gie. Alih-alih merasa lega, dia justru mewaspadai munculnya “tendensi militerisme dan fasistis” dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia. Soe lantas mengatur jarak dengan tentara. Jopie Lasut, rekan Soe sesama aktivis anti-Sukarno, memiliki cerita sendiri terkait gelagat tersebut. Alkisah pada 15 Maret 1966, Jopie dan Soe diminta oleh mahasiswa Jakarta untuk mengonfirmasi sebuah info intelijen penting dari telik sandi Kudjang (kesatuan khusus Kodam Siliwangi) kepada dua perwira Siliwangi anti-Sukarno: Mayor Jenderal TNI H.R. Dharsono dan Brigadir Jenderal TNI Suwarto di Bandung. Dalam pertemuan itu, sambil lalu Dharsono menanyakan tentang situasi Jakarta dan bagaimana kira-kira pendapat KAMI mengenai “kerja sama setara” antara ABRI-Mahasiswa. “Kami datang ke sini bukan sebagai wakil formil dari KAMI. Namun sepanjang sepengetahuan saya, para mahasiswa tidak akan mempertahankan kerja sama dengan ABRI kalau jenderal-jenderalnya masih hidup bermewah-mewahan,” ujar Soe seperti dikisahkan Jopie Lasut dalam Soe Hok Gie, Sekali Lagi suntingan Rudy Badil, dkk. Mendengar jawaban Soe, air muka Dharsono langsung berubah. Sebaliknya Suwarto malah tertawa. Sambil melirik ke arah Dharsono, dia kemudian bilang: “Ya..., tapi jangan dimasukan jenderal-jenderal seperti kami dong. Kami masing-masing hanya memiliki satu mobil pribadi yang kami bawa dari luar negeri. Itu pun untuk modal penyambung hidup,” ungkap perwira yang mendukung terbentuknya Radio Ampera UI tersebut. Selanjutnya sikap Soe semakin jelas terhadap tentara. Terlebih saat dia mulai melakukan kritik-kritik pedasnya terhadap pembantaian massal orang-orang PKI yang salah satunya melibatkan tentara. Sejak saat itulah langkah Sang Demonstran semakin jauh dari markas tentara.
- Trauma Serdadu Belanda
MAARTEN HIDSKES tidak menampik jika Piet Hidskes (ayah kandungnya) mengalami trauma dan penyesalan dengan apa yang pernah dia buat puluhan tahun lalu di Sulawesi Selatan. Kendati tidak dihindari, kata “Indonesia” selalu tidak pernah secara mendalam dibahas di rumah mereka. “Padahal dia pernah menghabiskan salah satu fase hidupnya sebagai seorang prajurit komando di Sulawesi Selatan,” ungkap jurnalis Belanda itu kepada Historia . Menurut penulis buku Thuis Gelooft Nieman Midj: Zuid Celebes 1946-1947 (diterjemahkan menjadi Di Belanda Tak Seorang Pun Mempercayai Saya ) itu, tidak hanya sang ayah yang mengalami trauma di masa senjanya, kawan-kawan sesama anggota DST (Depot Pasukan Khusus) banyak mengalami situasi yang sama. “Bahkan salah satu kawan ayah saya menjadi gila karena tak kuasa menerima trauma itu,” ujar Maarten. Kisah para veteran yang masih mengalami trauma perang hingga masa-masa tuanya memang bukanlah suatu hal yang aneh bagi publik Belanda. Beberapa film dokumenter bahkan pernah mengupas kisah-kisah sedih itu. Sebut saja misalnya film dokumenter berjudul Hoe Nederland met Zijn Geschiendenis Omgaat atau karya yang lebih lawas lagi, Tabeek Toean . Brutalitas Perang Kawasan Stasiun Karangsari, Banyumas, 1949. Teng Bartels masih ingat kejadian itu. Sebagai penjaga kereta api jurusan Purwokerto-Bumiayu, dia bersama beberapa kawannya dari Batalyon Infanteri 425 Angkatan Darat Kerajaan Belanda (KL) tengah duduk di bagian kereta api yang terbuka berlindungkan karung-karung pasir. Masing-masing menggenggam senjata dalam posisi siaga dan tegang. Di tengah suasana mencekam itu, tetiba terdengar suara dentuman mitralyur. Kereta api pun dihentikan secara mendadak. Semua melompat keluar. Nampak di depan mereka menghadang barikade yang terdiri dari gelondongan kayu dan potongan besi. Belum sempat melepaskan satu peluru, mereka sudah dikepung dan diserang dari belakang. Para serdadu bule itu langsung tak berkutik. Dengan mata kepala sendiri, Bartels menyaksikan seorang anggota TNI (Tentara Nasional Indonesia) mengekesekusi Prajurit Boss. Anak muda itu menggelepar lalu diam. “Saya shock . Mereka membunuh Boss begitu saja. Ketika melihat saya tak berdaya, mereka memegangi saya dan mengambil semua yang ada di tubuh saya. Saya dan beberapa kawan lalu digiring ke kampung nyaris tanpa pakaian,” kenang Bartels seperti dituturkan kepada rekannya Ant. P. de Graaff dalam Met de TNI op Stap (edisi Indonesianya berjudul: Napak Tilas Tentara Belanda dan TNI ). Bartels dan ketiga kawannya otomatis menjadi tawanan hingga perang berakhir beberapa bulan kemudian. Kendati mengaku diperlakukan baik oleh TNI, kejadian-kejadian itu kerap menghantuinya seumur hidup. Terutama ketika tidur dan ada dalam situasi sendiri. Trauma akibat brutalitas perang juga dirasakan J.C. Princen. Anggota KL berpangkat kopral yang kemudian membelot ke kubu TNI itu mengaku tak pernah bisa melarikan diri sepenuhnya dari kejadian-kejadian mengerikan saat terlibat dalam peperangan. Terutama yang terkait dengan orang-orang dekatnya. “Saya pernah kehilangan istri yang sedang mengandung anak saya di Cianjur. Saya melihat sendiri, kepalanya pecah terhantam peluru Tommy Gun dari seorang letnan KST (Pasukan Khusus Angkatan Darat Kerajaan Belanda),” katanya dalam nada lirih. Princen mengaku tak pernah bisa melupakan kejadian itu. Dia berhari-hari menangisi kepergian Odah dan merasa marah kepada dirinya sendiri karena tidak bisa menyelamatkan sang istri. Akibat stres itu, Mayor Kemal Idris (atasan Princen di Batalyon Kala Hitam Divisi Siliwangi) sempat mengistirahatkannya di sebuah desa terpencil yang masuk dalam wilayah Kadupandak, Cianjur Selatan. Kekejaman perang yang menumbuhkan trauma pun terungkap dalam beberapa data oral yang dikutip oleh Gert Oostindie dalam Soldaat in Indonesie 1945-1950: Getuggenissen van een Oorlog Aan de Verkeerde Kant van de Geshciedenis (diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950: Kesaksian Perang pada Sisi Sejarah yang Salah ). Salah satunya adalah pengalaman seorang kopral bernama Kees. Dalam catatan hariannya bertahun 1949, Kees menulis bahwa dirinya bukanlah seorang pemuda Belanda yang beruntung karena kerap harus menghadapi situasi yang mengguncangkan jiwanya selama bertugas di Indonesia. Puncaknya terjadi saat dia harus menyaksikan dua gadis kecil tengah menangis seraya memeluk tubuh kaku sang ibu dan adik kecil mereka di sebuah parit dangkal. “Keduanya terbunuh oleh satu peluru yang sama,” ungkap Kees. Terapi ke Indonesia Bartels, Princen, dan Kees hanyalah sebagian kecil dari serdadu-serdadu Belanda yang pernah terluka jiwanya akibat perang. Menurut Oostindie, sesungguhnya masih banyak dari mereka yang mengalami penderitaan psikologis hingga masa tuanya. Itulah yang menjadi jawaban mengapa para veteran Belanda seolah enggan mengatakan apapun tentang pengalaman mereka di Indonesia. “Terlalu pahit dan cukup ditelan sendiri saja, tak usah anak dan cucu tahu, begitu yang pernah dikatakan oleh para veteran Belanda itu kepada saya,” ujar Iman Sardjono, salah seorang veteran Indonesia yang kemudian menjalin persahabatan dengan para bekas musuhnya itu. Lantas apa yang kemudian dilakukan oleh para veteran tersebut untuk mengobati rasa traumatik itu? Princen mengungkapkan bahwa satu-satunya jalan adalah berdamai dengan masa lalu. Caranya adalah dengan kembali mengunjungi tempat-tempat yang dulu sempat menorehkan kisah kelam dalam hidup mereka. “Saat masa-masa tua seperti ini (waktu saya wawancarai pada 1995, dia berusia 70 tahun), saya memerlukan kembali pergi ke masa lalu. Saya pernah datang ke Cilutung tempat istri saya gugur dan kembali menangis sejadi-jadinya saat tiba di tempat itu. Tapi seterusnya saya merasa lega,” ujar Princen. Hal yang sama juga dilakukan oleh Bartels. Bersama kawan-kawannya yang pernah bertugas di Banyumas, pada 1987 dia menelusuri kembali tempat saat dia ditangkap oleh TNI pada 1949. Ironisnya, di sana dia sempat bertemu dengan Salimin, anggota TNI yang bertempur dengan pasukannya di sekitar stasiun Karangsari itu. Sebuah pertemuan yang menurut Bartels sangat emosional. “Air mata saya meleleh saat Salimin meminta maaf atas apa yang telah dilakukan kepada kami puluhan tahun yang lalu,” ujarnya. Selanjutnya mereka mengikrarkan diri menjadi sahabat. Dengan bergandengan tangan, kedua orang tua yang semasa mudanya pernah berhadapan itu menyusuri rel kereta api seraya menceritakan dalam versi masing-masing tentang kejadian itu. Ternyata itu bukan yang terakhir. Pada 1991, para eks serdadu Belanda itu kembali datang. Kali ini atas undangan resmi dari orang-orang yang dulu pernah menjadi musuhnya: veteran Indonesia. Kendati ditentang oleh organisasi resmi veteran Belanda (VOMI), kunjungan itu tetap berlangsung dalam semangat persahabatan yang erat. ”Saya meminta pengertian kepada mereka yang belum bisa menerima musuh lama kita sebagai sesama manusia. Kami sudah ada di jalan yang benar, karena permusuhan antarsaudara harus berakhir,” demikian menurut F.L. Meijler, salah seorang veteran Belanda yang mengikuti tur tersebut.
- Mengapa Orang Batak Suka Daging Anjing?
MAKAN daging anjing dengan sayur kol. Kalimat tersebut merupakan nukilan lirik lagu berjudul Sayur Kol yang dipopulerkan band Punxgoaran. Band punk asal Siantar, Sumatera Utara ini memang kerap mengusung budaya Batak dalam lagunya. Lagu Sayur Kol berkisah tentang seorang pemuda Batak yang berkelana ke Siborong-borong. Di tengah jalan dia terjebak hujan deras. Beruntung, seorang namboru (tante) boru Panjaitan mengajak sang pemuda berteduh di rumahnya. Di rumah namboru , mereka menyantap daging anjing dan sayur kol dengan nikmatnya. Karena terdengar lucu, lagu itu kini jadi viral, bahkan anak bocah ikut menyanyikannya. Namun kritik datang dari komunitas pecinta satwa. Salah satunya Garda Satwa Indonesia yang menganggap lagu itu kurang etis. Sebabnya, yang tak banyak diketahui orang adalah proses pengolahan daging anjing terbilang sadis. Investigasi membuktikan, anjing-anjing mengalami penyiksaan sebelum dihidangkan. Beberapa metode anarkis dipakai dalam menjinakkan anjing untuk kemudian dimasak. Mulai dari dicekik pakai tongkat, dipukul, digebuk dalam karung, diberi racun, hingga langsung dibakar atau dikuliti. “Jika penyiksaan dianggap lucu, sudah hancurlah moral bangsa ini. Jiwanya sudah sakit,” tulis Garda Satwa Indonesia dalam laman Facebook -nya . Komunitas seperti Garda Satwa Indonesia gencar menyerukan kampanye berhenti makan anjing. Masalahnya, bagi sebagian kalangan, daging anjing lumrah dimakan, salah satunya suku Batak. Nikmat Bersama Tuak Menurut E.H. Tambunan dalam Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan Kebudayannya, orang Batak punya tradisi kuat makan daging. Dalam setiap upacara adat maupun upacara agama di kalangan penganut agama leluhur, daging selalu menjadi hidangan atau sesajian. Hewan yang disembelih beragam. Mulai dari yang halal seperti kerbau, ayam, dan kambing hingga non-halal seperti babi atau anjing. Berbeda dengan babi yang jelas hewan ternak, bagi orang Batak anjing diperlihara sebagai penjaga rumah atau penjaga ternak. Tapi, ketika di meja makan, keduanya sama saja: menjadi santapan. Kenapa anjing ikut disantap? Jan Johannes van de Velde, asisten residen Belanda di Tapanuli, punya jawaban. Pada 3 Maret 1940, van de Velde mendampingi residen ke dataran tinggi Habinsaran, sebelah selatan Kota Balige. Tujuan van de Velde dan rombongannya saat itu hendak meninjau huta-huta (perkampungan) terpencil. Perjalanan dinas ini memberikan van de Velde pengalaman kuliner dan kultural yang berkesan. “Pada suatu kesempatan, kami dijamu dengan segelas tuak enak, semacam anggur terbuat dari nira pohon enau; minuman ini digemari orang-orang Batak dan seminggu sekali bisa dibeli di pasar besar, di Porsea. Apalagi kalau ditemani sepotong daging anjing, maka mereka lebih menikmati tuak itu,” kenang van de Velde dalam korespondensinya yang dibukukan, Surat-surat dari Sumatra 1928-1949 . Van de Velde saat itu merasa enggan menyantap daging anjing karena jijik. Tapi di lain kesempatan dia mencicipi juga. Pada 17 November 1940, van de Velde kedatangan tamu dari Yale University, Profesor Karl Peltzer, yang datang untuk meneliti gejala erosi di Balige. Sebagai jamuan, seorang koki lokal menyajikan sepinggan daging anjing goreng dan rebus dengan cara khas Batak. “Kami mencicipi kedua masakan itu dan rasanya lumayan,” kata van de Velde. Namun van de Velde juga menyaksikan keadaan miris yang dialami oleh anjing-anjing santapan. Mereka kerap diperlakukan secara kasar dan kurang berharga. “Kita tak perlu mengasihani anjing-anjing di sini, di huta-huta , mereka sering ditendangi, dipukul, diusir, lagipula, jumlahnya memang terlalu banyak. Di Pasar Balige pun, bisa dibeli anjing yang sudah disembelih, juga yang sudah dimasak, dan sering dimakan di tempat, dengan ditemani segelas dua tuak,” demikian tutur van de Velde. Mengisi Daya Tondi (Roh) Kebiasaan orang Batak makan daging anjing terbawa hingga ke perantauan. Firman Lubis dalam memoarnya Jakarta 1950-an sering mendengar identifikasi yang ditujukan kepada orang Batak di Jakarta. Biasanya dilontarkan sebagai sentimen kesukuan atau ejekan. “Batak tukang makan orang atau tukang makan anjing – saya sendiri sering terkaget-kaget waktu ada yang melontarkan ejekan ini kepada saya karena kedua orang tua saya ‘cukup Islami’ dan saya agak takut dengan anjing,” kenang Firman Lubis. Rumah-rumah makan Batak ataupun lapo tuak yang menyajikan daging anjing lazimnya melabelkan kode B1 dalam daftar menu. B1 diambil dari bahasa Batak, biang yang artinya anjing, untuk membedakannya dari daging babi yang diberi kode B2. Dibandingkan babi, daging anjing memiliki tekstur keras dan tak berlemak. Jika menarik lebih jauh akar sejarah dan budayanya, makan daging anjing lebih dari sekedar penganan pendamping saat minum tuak. Tradisi menyatap anjing punya kaitan dengan keparcayaan animisme Batak kuno. Mengonsumsi daging anjing diyakini memberikan kekuatan kepada tondi (roh) manusia. Daging anjing yang dicincang khas Batak (saksang). Sumber: Kaskus. Sebelum masuknya pengaruh agama Samawi, suku Batak Toba percaya bahwa tondi adalah tenaga yang menghidupkan segala sesuatu yang ada di bumi. Keberadaan seseorang di dunia bergantung kepada persediaan dan kebesaran tondi- nya. Beberapa hewan seperti anjing, babi hutan, dan harimau mempunyai persediaan tondi yang jauh lebih besar ketimbang hewan lain. “Anjing mampu berlari cepat karena tondi -nya lebih kuat,” tulis Bisuk Siahaan dalam Batak Toba: Kehidupan Di Balik Tembok Bambu . “Memakan daging anjing akan menambah persediaan tondi secara besar-besaran.” Kepercayaan mengenai mustajabnya daging anjing menghinggap pada diri orang Batak tempo dulu yang gemar berperang. Menurut teolog Rudolf Pasaribu dalam Agama Suku dan Bataknologi , kebiasaan memakan anjing dalam tradisi kuno punya maksud agar mereka berani dan gesit dalam peperangan. Dalam tubuh anjing dipercayai mengandung semacam zat yang merangsang keberanian. Konsep magis demikian dalam masyarakat modern hari ini tak lebih dari omong kosong belaka. Kendati demikian, tradisi makan anjing telah terlegitimasi turun-temurun dari generasi ke generasi. Apalagi daging anjing disebut-sebut berkhasiat untuk menyembuhkan penyakit lepra –yang belum terbukti secara medis– ataupun keluhan seperti keletihan akut. Dan tentu saja karena faktor rasa, yang katanya enak.
- Catatan Ma Huan tentang Masyarakat Majapahit
PENDUDUK negara itu tidur sambil duduk. Mereka tak punya tempat tidur atau dipan. Jika makan, mereka tidak menggunakan sendok atau sumpit. Kalau mau makan, pertama-tama mereka akan mencuci mulut mereka untuk membersihkan sisa pinang. Karena baik pria maupun perempuan, mereka terus menerus mengunyah pinang dengan daun sirih dan limau. Setelah itu, mereka mencuci tangan dan duduk. Semangkuk penuh nasi mereka ambil. Di atasnya disiram dengan krim atau saus lainnya. Makanan ini dimasukkan ke mulut dengan tangan. Jika haus, mereka meminum air. “Jika menerima tamu, mereka tidak menawarkan minum tetapi menawarkan pinang,” kata Ma Huan dalam catatannya, Yingya Shenglan (Catatan Umum Pantai-pantai Samudra). Ma Huan merupakan penerjemah resmi yang mendampingi Cheng Ho. Sebagai Muslim yang mahir dalam bahasa Arab, Ma Huan dipilih sebagai juru bahasa Cheng Ho dalam tiga kali pelayarannya. Pada 1412, dia menerima tugas pertama dari Kerajaan Ming untuk menemani sang laksamana berlayar ke banyak negeri. Ma Huan mencatat segala sesuatu yang dilihat. Yingya Shenglan, yang terbit pada 1416, berisi catatannya tentang Negara Champa, Jawa, Palembang, Aru, Samudra, Nakur, Litai, Lambri, Liu San (Maldive, Male), Malaka, Bangal, Xi Lan San (Sri Lankan), Bangal kechil (Kulam, Quilon), Ko Chin, Kuli (Kalicut), Adam, Fazhu, Hormus, dan Tian Fang (Mecca). Yingya Shenglan merupakan satu dari dua sumber penting Tiongkok yang banyak bercerita tentang Majapahit. Karya ini bukan termasuk sejarah resmi kerajaan tapi tulisan pribadi Ma Huan. “Saat mencatat tentang Jawa, dia sangat teliti memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan budaya, kehidupan orang Jawa, termasuk upacara perkawinan, dan sistem penguburannya,” kata Nurni Wahyu Wuryandari, peneliti dari Pusat Studi Cina Universitas Indonesia. Dalam catatannya itu, Ma Huan menyaksikan Majapahit, di mana dia berlabuh, sebagai tempat sang raja tinggal. Kediaman raja dikelilingi tembok bata setinggi lebih dari 9 meter. Panjangnya lebih dari 90 meter. Gerbangnya dua lapis dan sangat bersih serta terpelihara. Rumah-rumah di dalamnya terletak 9-10 meter di atas tanah. Lantainya terbuat dari papan yang ditutupi dengan tikar rotan yang halus atau tikar rumput yang dianyam. Di atasnya orang-orang duduk bersila. Untuk atap, mereka menggunakan papan kayu keras yang dibelah dan dibentuk genting. Di Majapahit, kata Ma huan, raja tak mengenakan tutup kepala. Kadang kala dia mengenakan hiasan kepala yang dibuat dari dedaunan dan bunga emas. Tubuh bagian atasnya tidak ditutupi kain. Sementara bagian bawahnya ditutupi dengan satu atau dua kain berbunga-bunga. Untuk mengencangkan sarung itu, digunakan kain tipis atau linen yang dikencangkan di sekitar perut. Kain semacam ini disebut selendang. Raja juga tak mengenakan alas kaki. Terkadang, raja mengendarai gajah atau duduk di atas kereta yang ditarik sapi. Raja membawa satu atau dua pisau pendek. Senjata ini dicatat Ma Huan sebagai pu-lak. Kata W.P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa, kemungkinan ini merupakan terjemahan kata pribumi untuk badik. Senjata ini lebih kecil dari pedang dan lebih besar dari pisau. “Sepertinya orang Tionghoa menggunakan nama ini untuk setiap senjata yang mirip. Tentu saja orang Jawa menyebutnya keris,” kata dia. Adapun para pria di Majaphit membiarkan rambut mereka tergerai. Sementara para perempuan menyanggulnya. Mereka mengenakan semacam mantel dan kain yang menutupi bagian bawah tubuh. Para pria membawa pu-lak , yang disisipkan di ikat pinggang mereka. Setiap orang membawa senjata semacam ini, dari anak berusia tiga tahun hingga orang tertua. Senjata ini memiliki garis tipis dan bunga-bunga keputihan serta dibuat dari baja terbaik. Gagangnya terbuat dari emas, cula badak, atau gading gajah. Mereka dibentuk menjadi wajah manusia atau setan dan dikerjakan dengan sangat teliti. Para penduduk tinggal dalam rumah yang dialasi jerami. Rumah itu dilengkapi dengan ruang penyimpanan yang terbuat dari batu. Tingginya sekira 1 m dan digunakan untuk menyimpan barang-barang milik mereka. Di atas tempat penyimpanan inilah mereka biasanya duduk. Dalam hal kesopanan, para pria dan perempuan di Majapahit sangat menghargai kepala mereka. Jika seseorang menyentuhnya, atau mereka terlibat pertikaian dalam berdagang atau mereka mabuk dan saling menghina, mereka akan mengeluarkan senjata dan mulai menusuk. “Jadi permasalahan ini kan diselesaikan dengan kekerasan,” catat Ma Huan.*
- Putus-Sambung Usaha Pemajuan Kebudayaan
BANGSA yang maju adalah bangsa yang memahami dan menghargai budayanya. “Apabila sebuah bangsa mengesampingkan kebudayaan sendiri serta tidak menghargai apa yang diwariskan nenek moyangnya, maka bangsa itu tidak layak untuk maju,” kata Ferdiansyah, ketua Panitia Kerja RUU Kebudayaan, saat memberi kuliah umum di Kongres Kebudayaan (KK) 2018, Rabu, 5 Desember 2018. KK 2018 yang dihelat Direktorat Jenderal Kebudayaan pada 5-9 Desember 2019 merupakan upaya melanjutkan pencarian arah gerak budaya bangsa yang telah dirintis pada Kongres Budaya Jawa (KBJ) tahun 1918. Dalam KBJ, para cendekiawan berkumpul untuk mengupayakan persatuan guna meng- counter budaya kolonial. Upaya yang dilakukan di tengah penjajahan itu menjadi embrio perjuangan kaum nasionalis melalui budaya. Meski baru berfokus pada budaya Jawa, KBJ 1918 setidaknya memiliki semangat untuk melakukan gerak kolektif untuk memajukan kebudayaan Jawa. Salah satu amanat KBJ 1918 menjadi acuan penyelenggaraan kongres dan penyusunan strategi kebudayaan saat ini. “Dasar inilah yang menjadi acuan dengan menggarisbawahi kata maju dan mendasari nama UU Pemajuan Kebudayaan,” kata Ferdiansyah. Usaha Via Legislasi Usaha pemajuan kebudayan terus dilakukan hingga Indonesia merdeka. Pasal 32 Ayat 1 UUD 1945 mengamanatkan pemajuan budaya melalui strategi kebudayaan. Kala itu pelaksanaannya melalui Kongres Budaya. Lewat rekomendasi yang dihimpun melalui kongres, strategi kebudayaan dijalankan masyarakat dan pelaku budaya. “Waktu itu belum ada birokrasinya, masyarakat bergerak sendiri. Direktorat Jenderal Kebudayaan baru ada tahun 1966. Sebelumnya ada Jawatan Kebudayaan namun perannya tak signifikan,” kata Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid kepada Historia . Rencana pembuatan hukum turunan Pasal 32 UUD 1945 baru dilakukan tahun 1982. Kala itu, Dirjen Kebudayaan Hariati Subadio mengadakan diskusi dengan para pakar tentang perlunya undang-undang yang mengatur soal kebudayaan. Namun, pembuatan UU Kebudayaan tak terlaksana lantaran terjadi perdebatan panjang tentang apa yang perlu diatur. Rencana itu pun berhenti pada tahap kajian. “Buat sebagain orang, termasuk saya, kebudayan yang begitu kompleks tidak mungkin diatur. Padahal, kalau bicara tentang undang-undang kebudayaan harus spesifik tentang rumusan dan objek yang akan diatur,” kata Hilmar. Lebih jauh Hilmar menambahkan, hal yang bisa diatur dalam UU Kebudayaan adalah tata kelolanya karena budaya hidup di masyarakat dan pemerintah tidak bisa meregulasi kompleksitas budaya. Kongres yang Putus-Sambung Kongres Budaya pertama pascakemerdekaan diselenggarakan tahun 1948. Para peserta kongres merumuskan strategi budaya yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian pascapenjajahan. Kongres terus berlanjut hingga 1960 namun terhenti di masa Orde Baru. Terhentinya kongres di masa Orde Baru disebabkan oleh pemerintahan yang sentralistik dan refpresif. Stabilitas dan keamanan negara yang menjadi dasar kebijakan Orde Baru tak memungkinkan diselenggarakannya kongres yang merupakan tempat menyuarakan pendapat. Namun, pada dekade akhir Orde Baru corong-corong suara mulai terbuka sehingga Kongres Kebudyaan bisa kembali dilaksanakan pada 1991. Pascareformasi, kongres dilaksanakan pada 2003 dan menjadi agenda reguler lima tahunan. Perlindungan dan pengembangan kebudayaan nasional yang rinciannya dibahas melalui kongres mendapat titik terang dengan pengesahan Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. “Kita punya payung hukum yang cukup kuat untuk memajukan kebudayan,” kata Hilmar. UU ini berpegang pada pokok pikiran kebudayan daerah, strategi kebudayan, rencana induk pemajuan kebudayaan, dan membahas tentang tata kelola kebudayaan. Hilmar menambahkan, selama ini problem perumusan UU Kebudayaan terhenti pada pendefinisian budaya. Dalam perumusan UU Kebudayaan 2017, Hilmar bersama tim dan DPR berusaha menghindari perdebatan itu dan berfokus pada masalah konkret dengan memastikan objek budaya yang akan dikembangkan. Ada 10 objek kebudayan yang akan dikembangkan, yakni manuskrip, adat-istiadat, tradisi lisan, ritus, pengetahuan, teknologi, olah raga, bahasa, kesenian tradisional, dan permainan rakyat. Sejak Maret 2018, masyarakat dilibatkan dalam penyusunan strategi kebudayaan dengan cara penjaringan data dari Kabupaten/Kota dan 40 sektor kebudayaan melalui komunitas. Data dari tingkat daerah itu selanjutnya dirumuskan dalam Sidang Pleno Kebudayaan (9/12), yang menghasilkan strategi kebudayaan sebagai langkah jangka panjang dan resolusi Kongres Kebudayaan yang segera dilaksanakan. Resolusi itu berisi tujuh poin, yaitu: penyediaan ruang budaya yang inklusif berupa Pekan Kebudayaan Nasional, regenerasi karya kreatif, diplomasi budaya, membangun pusat inovasi budaya, pelibatan seniman dalam kebijakan kepariwisataan, membentuk dana perwalian kebudayaan, memfungsikan kembali aset publik untuk kegiatan budaya. “Dana perwalian ini penting sekali. Program ini semacam dana hibah untuk kesenian yang dibentuk oleh trust fund . Kami harap tahun depan sudah bisa dilaksanakan,” kata Hilmar, ketika ditemui selepas penyerahan Strategi Kebudayaan (9/12). Sementara, strategi kebudayaan yang diserahkan kepada presiden di hari yang sama untuk disahkan menjadi Perpres menjadi acuan dalam kebijakan terkait budaya di 22 kementerian. Strategi Kebudayaan ini merupakan kerangka kebijakan yang akan dilaksanakan selama 20 tahun ke depan, dengan visi Indonesia bahagia berlandaskan keanekaragaman budaya yang mencerdasakan, mendamaikan, dan menyejahterakan. “Inti dari kebudayaan adalah kegembiraan. Orientasi kebudayaan tak boleh keluar dari etos keseharian masyarakat. Untuk menjamin keberlangsungannya, negara harus hadir mendukung ruang ekspresi yang penuh toleransi, beragam, dan inklusif,” kata Presiden Joko Widodo dalam sambutannya (9/12). Dengan adanya strategi kebudayaan, Hilmar berharap, tiap kekurangan dan masalah terkait budaya di kabupaten/kota seperti kekurangan sumber daya manusia, ruang, atau anggaran dapat diatasi. “Setelahnya ada konsolidasi sumberdaya untuk mengelola kebudayaan, SDM, lembaga, anggaran, program, semua terkoneksi,” kata Hilmar.





















